Bemp April 2008

  • Uploaded by: Bambang Wisnu Wijaya
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bemp April 2008 as PDF for free.

More details

  • Words: 29,339
  • Pages: 98
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Penyantun/Patron Dewan Gubernur Bank Indonesia Board of Governors of Bank Indonesia Dewan Penasehat/Advisory Board Prof. DR. Anwar Nasution Prof. DR. Insukindro Prof. DR. Iwan Jaya Azis DR. M. Syamsuddin Pemimpin Redaksi/Chairman of Editorial Board Made Sukada Wijoyo Santoso Dewan Penyunting/Editorial Board Halim Alamsyah Perry Warjiyo Suseno Wimboh Santoso Endy Dwi Tjahjono Solikin M. Juhro Haris Munandar Redaktur Pelaksana/Staff Editor/Editorial Administrator Andi Alfian Parewangi Sekretariat/Secretariat Rakianto Irawanto M.S. Artiningsih Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected]. Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan: telp. (021) 381-8636, fax. (021) 231-1219, email: [email protected]

1

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007

1

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Volume 10, Nomor 4, April 2008

Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan I - 2008 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

299

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule? Solikin M. Juhro

303

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham Untoro, Priyo R. Widodo

337

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia Yuyun Istavirti, SE., MSM, Dr. Ruslan Prijadi, Dr. Andi M. Alfian Parewangi

361

2

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2007

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2008

299

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2008 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Di tengah berkembangnya berbagai gejolak eksternal maupun domestik, perekonomian Indonesia pada triwulan II-2008 diprakirakan masih mencatat pertumbuhan yang tinggi meskipun lebih rendah dari triwulan sebelumnya. PDB triwulan II-2008 diprakirakan akan tumbuh sebesar 6,0% (yoy), setelah mencatat pertumbuhan sebesar 6,3% (yoy) pada triwulan I-2008. Lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi tersebut didorong oleh kecenderungan menurunnya permintaan domestik akibat kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir Mei 2008. Di sisi permintaan, kegiatan konsumsi dan investasi masyarakat diprakirakan tumbuh melambat seiring dengan penurunan daya beli masyarakat akibat tingginya tekanan inflasi sebagai akibat kenaikan harga BBM, serta sentimen bisnis yang menurun. Sementara itu, kinerja ekspor juga berpotensi untuk tumbuh lebih rendah dari prakiraan sejalan dengan belum membaiknya iklim perekonomian dunia dan melemahnya permintaan eksternal. Kinerja impor juga diprakirakan akan mengalami penurunan seiring dengan melambatnya kegiatan perekonomian. Kondisi tersebut dapat mendorong turunnya kontribusi permintaan domestik dan net ekspor. Di sisi penawaran, hampir seluruh sektor perekonomian diprakirakan akan mengalami penurunan pertumbuhan pada triwulan II-2008. Namun demikian, sektor-sektor utama ekonomi seperti sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pengangkutan dan telekomunikasi masih mencatat pertumbuhan yang tinggi. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan II-2008 diprakirakan akan tetap mencatat surplus. Seiring dengan masih tingginya pertumbuhan ekonomi, impor bahan baku dan barang modal untuk keperluan ekspor dan investasi menunjukkan peningkatan. Kenaikan nilai impor ini dalam jangka waktu pendek akan mengurangi surplus pada NPI. Namun ke depan, dengan tetap solidnya pertumbuhan ekonomi, perkembangan NPI pada tahun 2008 diharapkan tetap mencatat surplus yang tinggi. Sementara itu, perkembangan transaksi modal dan finansial diwarnai oleh penerbitan obligasi valas Pemerintah serta tetap terjaganya minat investor asing terhadap aset domestik. Secara keseluruhan, kinerja NPI pada triwulan II-2008 diprakirakan masih mencatat surplus. Dengan berbagai perkembangan tersebut, realisasi posisi

300 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

cadangan devisa sampai dengan akhir triwulan II-2008 mencapai USD59,5 miliar atau setara dengan 5,1 bulan impor dan utang luar negeri Pemerintah. Dengan kinerja NPI tersebut, indikator kerentanan eksternal hingga akhir triwulan II-2008 masih relatif membaik. Posisi utang luar negeri yang terus meningkat dapat diimbangi dengan peningkatan kegiatan ekonomi, termasuk kinerja ekspor dan posisi realisasi cadangan devisa. Nilai tukar rupiah selama triwulan II-2008 bergerak relatif stabil meski sempat mengalami tekanan. Tingginya harga minyak serta dampak lanjutannya yang memengaruhi faktor sentimen pasar sempat memberikan tekanan terhadap nilai rupiah. Rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang triwulan II-2008 bergerak dari Rp9.258/USD menjadi Rp9.259/USD. Pergerakan rupiah selama triwulan II-2008 relatif terjaga yang tercermin dari penurunan tingkat volatilitas dari 1,42% pada triwulan I-2008 menjadi 0,61%. Laju inflasi IHK pada triwulan II-2008 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan menggunakan tahun dasar 2007, laju inflasi tahunan pada akhir triwulan II-2008 mencapai 11,03% (yoy), meningkat dari 8,17% (yoy) pada triwulan I-2008. Peningkatan inflasi IHK tersebut terutama disebabkan oleh dampak langsung dan tidak langsung dari kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 28,7% pada akhir Mei 2008. Berdasarkan komponennya, tingginya inflasi pada triwulan laporan terutama didorong oleh faktor nonfundamental yaitu administered price dan volatile food. Peningkatan inflasi administered price terutama terkait dengan kenaikan harga BBM dan kelangkaan komoditas energi. Sementara itu, meningkatnya inflasi volatile food terkait dengan dampak kenaikan harga pangan internasional. Di samping itu, kenaikan inflasi juga ditengarai oleh adanya tekanan dari sisi permintaan domestik. Perkembangan BI Rate diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito, namun belum menghalangi berlanjutnya penurunan suku bunga kredit. Hingga Mei 2008, suku bunga Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) masih menunjukkan penurunan dengan besaran yang bervariasi, sedangkan suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) tercatat relatif stabil. Di sisi penghimpunan dana, rata-rata suku bunga deposito periode 1 bulan pada Mei 2008 tercatat sebesar 6,98%, sedikit meningkat dibandingkan dengan akhir triwulan sebelumnya. Sementara itu, IHSG pada akhir laporan ditutup pada level 2349 atau melemah 4,01% dibandingkan dengan akhir triwulan I-2008. Kinerja IHSG selama triwulan II-2008 cenderung lebih fluktuatif sejalan dengan meningkatnya berbagai faktor risiko domestik dan regional. Di tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,0%. Pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut didorong oleh kinerja ekspor dan investasi, walaupun dibayangi oleh kemungkinan melambatnya

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan I - 2008

301

pertumbuhan konsumsi swasta akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga komoditas yang tinggi serta pertumbuhan ekonomi di negara berkembang yang tetap kuat diprakirakan menjadi insentif bagi kenaikan ekspor. Prospek ekspor yang cukup cerah diprakirakan mendorong kenaikan pertumbuhan investasi. Dari sisi produksi, prakiraan tersebut didukung oleh pertumbuhan sektor-sektor yang berorientasi ekspor, khususnya sektor pertambangan dan sektor pertanian. Sementara itu, pengeluaran pemerintah diprakirakan dapat tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya disebabkan oleh kelonggaran belanja pemerintah pascapengurangan subsidi BBM. Peranan sinergi kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi semakin penting dalam memitigasi dampak negatif gejolak eksternal terhadap prospek perekonomian. Bank Indonesia (BI) akan tetap konsisten mengarahkan kebijakan moneternya untuk mengamankan arah perkembangan inflasi guna mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Laju inflasi IHK tahun 2008 diprakirakan akan berada pada kisaran 11,5%-12,5% (yoy), jauh lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya atau berada di atas sasaran yang ditetapkan Pemerintah sebesar 5%+1%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 masih akan menghadapi berbagai risiko, baik yang bersumber dari gejolak eksternal maupun kondisi domestik domestik. Risiko paling utama saat ini berasal dari perkembangan eksternal yaitu kenaikan harga-harga komoditas internasional, khususnya harga minyak dan bahan pangan, serta gejolak di pasar finansial global. Berbagai hal tersebut dapat meningkatkan tekanan inflasi domestik. Selain itu, masih adanya selisih antara harga pasar dan harga subsidi serta kemungkinan peningkatan konsumsi BBM dapat menimbulkan risiko pengurangan subsidi BBM lebih lanjut. Dalam kaitan ini, BI akan tetap melaksanakan kebijakan moneter secara terukur dan hati-hati dengan terus mencermati berbagai dinamika perekonomian. Keputusan BI pada awal Juli 2008 untuk menaikkan BI Rate menjadi 8,75% didasari atas pertimbangan secara seksama akan risiko terhadap stabilitas perekonomian dan sistem keuangan Indonesia serta prospek pertumbuhan ekonomi ke depan. Bank Indonesia melihat adanya peningkatan tekanan pada sisi permintaan dan indikasi kenaikan ekspektasi inflasi yang dapat menimbulkan kenaikan inflasi putaran kedua. Oleh karena itu, Bank Indonesia memandang perlu untuk menaikkan BI Rate untuk mencegah dampak lanjutan kenaikan harga BBM dan bahan pangan terhadap harga barang-barang lain serta menjangkar ekspektasi inflasi masyarakat ke depan.

302 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

halaman ini sengaja dikosongkan

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

303

RESPON KEBIJAKAN MONETER YANG OPTIMAL DI INDONESIA: The State-Contingent Rule? Solikin M. Juhro 1

Abstract

By developing a long-run macro structural model, The Structural Cointegrating Vector Autoregression (VAR), the optimality principle of monetary policy response in Indonesia is formulated. It accommodates not only long-run policy response and short-run dynamic errorcorrection mechanism, but also specific shocks emerged due to structural changes in the economy. In that context, the generated policy response basically reflects the optimal response of a ≈state-contingent rule∆, different from common simple policy rules, such as Taylor rule and McCallum rule. This study captures several important aspects related to the implementation of ≈state-contingent rule∆ as an optimal monetary policy in Indonesia, namely: (i) the superiority of interest rate as a policy variable, or an operational target, against monetary base, (ii) the identification of monetary policy lag which is estimated averagely one-and-a half year, and (iii) the sub optimality of central bank monetary policy response, attributed by an over tight or loose policy response.

JEL Classification: C32, E52

Keywords: Kebijakan Moneter di Indonesia, Respon Kebijakan Moneter, Structural Cointegration Vector Autoregression (VAR).

1 Penulis adalah peneliti ekonomi di Bank Indonesia dan pengajar tamu pada beberapa universitas di tanah air ([email protected]). Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Rustam Didong, Dr. N. Haidy A. Pasay, dan Dr. Perry Warjiyo atas segala bantuan pemikiran dan arahan dalam penyempurnaan tulisan ini. Apa yang disampaikan pada tulisan ini merupakan pemikiran dan analisis pribadi, bukan lembaga tempat penulis bekerja.

304 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

I. PENDAHULUAN Perubahan struktural perekonomian Indonesia, terutama pada periode pasca-krisis ekonomi 1997, yang dibarengi oleh fluktuasi dan keterkaitan yang kurang stabil antara beberapa indikator makro utama, serta perkembangan yang tidak sejalan antara sektor keuangan dan sektor riil, menyebabkan upaya pencarian pijakan baru dalam manajemen pengendalian moneter di Indonesia menjadi sesuatu yang sangat penting. Sementara itu, dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari permasalahan yang timbul sebagai akibat krisis ekonomi 1997 tersebut, tantangan bagi penerapan paradigma kebijakan moneter yang baru juga semakin berat dan kompleks. Dengan komitmen Bank Indonesia pada penerapan kerangka kerja Inflation

Targeting2 serta kecenderungan kekurangstabilan keterkaitan antara besaran moneter dengan output dan inflasi, maka kecenderungan untuk memilih sasaran operasional suku bunga dibandingkan dengan besaran moneter (uang primer) cukup kuat. Terkait dengan permasalahan tersebut, pemahaman mengenai respon kebijakan mana yang sebaiknya dipakai di Indonesia: rules atau discretion juga masih merupakan pertanyaan empiris sampai saat ini. Seperti diketahui, penerapan respon kebijakan moneter di Indonesia saat ini masih cenderung (bias) kepada penggunaan pola discretion dengan penekanan unsur

pre-emptive policy yang minimal. Dalam kondisi pasar dan permasalahan yang belum begitu kompleks pada periode sebelum 1990-an, paradigma pengendalian moneter dengan menggunakan uang primer dianggap lebih relevan, bahkan pada dua setengah tahun terakhir pada periode setelah krisis 1997. Namun, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa relevansi dari penggunaan uang primer sebagai sasaran operasional belum menunjukkan unsur kebijakan yang berorientasi forward-looking. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, efektivitas dan keoptimalan strategi kebijakan moneter di Indonesia sampai saat ini masih dipertanyakan. Berkaitan dengan tantangan tersebut, dapat dikemukakan pula bahwa strategi kebijakan mana yang dipilih akan sangat bergantung pada karakteristik dari perekonomian dan paradigma pengendalian moneter di Indonesia yang mengalami pasang surut selama tiga dasawarsa terakhir. Hal ini terlebih dengan mempertimbangkan tingginya fluktuasi makroekonomi sebagai akibat terjadinya perubahan struktural di Indonesia, khususnya dalam tiga dasawarsa terakhir, serta adanya reorientasi strategi kebijakan moneter dengan sasaran akhir kebijakan berupa kestabilan harga.3 Akan tetapi, dengan mendasarkan pada beberapa temuan empiris, dapat

2 Sejalan dengan makna yang tersirat dalam UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, yang diamandemen oleh UU No.3/2004., tujuan Bank Indonesia adalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. 3 Perjalanan siklus kegiatan ekonomi di Indonesia mencatat peranan penting beberapa langkah kebijakan reformasi dan deregulasi di pasar keuangan, dua di antaranya yaitu Kebijakan Deregulasi Perbankan 1 Juni 1983 dan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988, dalam mempengaruhi perkembangan dan struktur perbankan, serta konsentrasi kredit. Perkembangan di sektor keuangan yang cukup

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

305

ditarik pemahaman bahwa, apapun alternatif kerangka kerja yang dipilih, kebijakan moneter harus diterapkan dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah yang terkait dengan prinsip manfaat dan kerugian, khususnya dalam jangka menengah-panjang. Secara konseptual, penerapan kebijakan moneter perlu senantiasa diarahkan untuk mengacu pada prinsip-prinsip keoptimalan Penelitian ini ditujukan untuk menjawab isu-isu strategis yang terkait dengan penerapan kebijakan moneter yang optimal di Indonesia, terutama yang terkait dengan perumusan kerangka kerja kebijakan moneter yang optimal dikaitkan dengan perumusan respon kebijakan yang sesuai dengan karakteristik dasar perekonomian Indonesia. Agenda penelitian ini akan diarahkan untuk meneliti hal-hal yang terkait dengan beberapa isu tersebut. Permodelan hipotetis akan dikembangkan dengan tujuan akhir adalah mencari dan menguji alternatif respon kebijakan dalam rangka penerapan kebijakan moneter yang «optimal» yang sesuai dengan karakteristik perekonomian Indonesia, terutama dikaitkan dengan reorientasi strategi kebijakan dalam era perubahan ekonomi pasca krisis 1997. Adapun pengembangan analisis untuk kasus Indonesia dilakukan melalui pengembangan model makro stuktural jangka panjang, Structural

Cointegrating Vector Autoregression (Solikin, 2005). Pertimbangan utama dari hal tersebut, selain dikarenakan oleh karateristik sistem permodelan yang dilandaskan pada karakteristik dasar model dinamis keseimbangan umum jangka panjang, sistem permodelan yang dikembangkan oleh Garratt et al. (1998) tersebut juga mampu dalam menjelaskan respon kebijakan berdasarkan kaidah keoptimalan. Melalui pengembangan model tersebut, kaidah keoptimalan yang dirumuskan merepresentasikan baik respon kebijakan jangka panjang maupun jangka pendek dengan mekanisme pengkoreksian kesalahan (error correction). Selain itu, dengan diperhitungkannya juga keberadaan shocks spesifik dalam permodelan tersebut, respon kebijakan yang dihasilkan pada dasarnya mencerminkan respon optimal dalam suatu ≈kaidah terkondisi∆ atau ≈State-

Contingent rule∆, sebagaimana terminologi yang disampaikan oleh J.M. Keyness pada tujuh dasa warsa yang lalu.4 Apa yang dimaksud dengan ≈State-Contingent rule∆? Dalam kaitan ini, King (1997) menjelaskan bahwa ≈The coice of monetary strategy is often described as choice

between rules and discretion º The optimal strategy is a State-Contingent rule, which allows flexibility in the response of policy to shocks while retaining a credible commitment to price stability∆. Sementara itu, Woodford (2003) menekankan bahwa: ≈The fully optimal policy pesat pada akhirnya tidak dapat diimbangi oleh perkembangan di sektor riil, yang pada gilirannya menyebabkan munculnya permasalahan ketidakseimbangan struktural dalam perekonomian. Beberapa hasil penelitian untuk kasus Indonesia yang mendukung pernyataan tersebut menunjukkan bahwa perubahan yang cepat di sektor keuangan Indonesia telah menyebabkan kegiatan penciptaan uang oleh sistem keuangan menjadi berlipat ganda dan melampaui penciptaan uang oleh bank sentral, yang selanjutnya menyebabkan perilaku angka pelipat ganda uang cenderung tidak stabil (Sarwono, 1996). Lebih jauh lagi, kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada perilaku angka pelipat ganda uang, tetapi juga income velocity dan fungsi permintaan uang (Solikin, 1998). 4 Dipublikasikan di Lloyd»s Bank Monthly Review. Lihat: Boughton (2002) dan Muchlinski (2002).

306 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

commitment would lead not only to the optimal long-run average values of target variables, but also to the optimal responses to disturbances∆. Dengan demikian, ≈State-Contingent rule∆ dianggap sebagai strategi kebijakan yang optimal, yang memungkinkan bank sentral untuk merespon shocks tanpa mengorbankan pencapaian tujuan stabilitas harga. Dari hasil studi ini diperoleh temuan utama, yaitu bahwasanya rumusan respon kebijakan yang didasarkan pada disain ≈State-Contingent rule∆ berhasil merepresentasikan disain policy

rule yang optimal bagi perekonomian Indonesia, dengan suatu karakteristik emerging market yang unik. Pada akhirnya, lima bagian dari penelitian ini disampaikan dengan cukup sederhana. Melanjutkan bagian pendahuluan ini, bagian selanjutnya mengulas sebuah pemikiran awal mengenai respon kebijakan dalam kerangka pelaksanaan kebijakan moneter yang optimal. Sebelum diketengahkan hasil pengujian empiris, akan disampaikan terlebih dahulu tinjauan moetodologi dan permodelan yang terkait. Bagian terakhir berupa beberapa catatan penutup.

II. TEORI II.1 Respons Kebijakan Moneter yang Optimal Pada dasarnya, alternatif penentuan respon kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menggunakan suatu rule atau dengan menggunakan discretion. Konsensus yang diambil setelah melalui perdebatan panjang di antara para ekonom berkaitan dengan pilihan terhadap kedua pola penetapan tersebut menyatakan bahwa bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan moneter sepenuhnya berdasarkan pola discretion. Di sisi lain, beberapa pola rule diyakini sebagai suatu prasarat bagi penerapan kebijakan moneter yang baik sehingga penerapan kebijakan tanpa menggunakan suatu rule tertentu mungkin akan menimbulkan konsekuensi yang sebaliknya. Dari keberadaan disain utama policy rule yang dikenal secara umum, monetary growth

rule dan interest rate rule, dapat dikemukakan dua pokok pemikiran. Pertama, bahwa disain policy rule pada dasarnya merefleksikan keterkaitan antara sasaran akhir kebijakan (perkembangan output dan harga) dengan sasaran operasional atau instrumen kebijakan (perkembangan besaran moneter - yaitu uang primer - dan suku bunga jangka pendek). Umumnya, apabila dipilih pertumbuhan output sebagai sasaran akhir kebijakan dalam kerangka strategis GDP nominal targeting, maka monetary growth rule menjadi pilihan. Sebaliknya, apabila dipilih stabilitas harga sebagai sasaran akhir kebijakan dalam kerangka strategis inflation

targeting, maka interest rate rule menjadi pilihan. Namun demikian, McCallum and Nelson (1999), menekankan bahwa peran indikator sasaran akhir dalam kedua disain rule tersebut dapat dipertukarkan sehingga dimungkinkan, misalnya, penetapan suatu rule dengan uang

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

307

primer sebagai sasaan operasional/ instrumen dimana perkembangannya merupakan respon dari perkembangan output dan inflasi. Demikian pula, dimungkinkan penetapan interest rate

rule yang mendasarkan feedback-nya dari perkembangan output. Kedua, dalam analisis kebijakan moneter policy rule tidak mesti atau harus mencerminkan perilaku optimal dari bank sentral, tergantung pada tujuan analisis. Apabila tujuan analisis adalah mencari kebijakan yang optimal, maka disain policy rule seyogyanya dihasilkan dari langkah optimalisasi yang mengacu pada fungsi tujuan bank sentral, yang tentunya dapat didasarkan pada perilaku atau fungsi utilitas masyarakat; dimana dalam praktek, tidak ada satupun bank sentral yang menyatakan fungsi tujuan tersebut secara tegas. Dengan demikian, tidak semua analisis yang disarankan untuk dipakai harus mengasumsikan adanya langkah optimal dari bank sentral. Dalam hal ini, cukup diyakini bahwa analisis positif yang mengkaji pengaruh dari hypothetical rules yang mencerminkan beberapa alternatif pendekatan merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat (McCallum, 2001). Apabila diyakini bahwa policy rule seharusnya mencerminkan perilaku optimal, maka secara mendasar strategi pemilihan kerangka kebijakan moneter oleh bank sentral seharusnya diarahkan secara langsung pada penggunaan asumsi perilaku optimal dari agen-agen ekonomi. Untuk menyimpulkan bahwa suatu kebijakan adalah optimal biasanya diperlukan evaluasi terhadap perubahan kemakmuran dari masing-masing agen ekonomi sebagai akibat dari penerapan beberapa alternatif kebijakan, yang dapat diturunkan melalui sistem permodelan yang sederhana maupun analisis keseimbangan umum (general equilibrium). Secara teoritis, berdasarkan beberapa studi antara lain oleh Ball (1997), Svensson (1997), Rudesbusch and Svensson (1998), dan Blake et al., (1998), dapat ditunjukkan bahwa perumusan kebijakan yang optimal umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan (paling tidak) unsur pokok yaitu analisis costs-benefits dari penerapan suatu kebijakan, misalnya stabilisasi output atau harga, yang didasarkan pada langkah optimisasi dalam pengambilan keputusan oleh bank sentral. Dalam kaitan ini, analisis tersebut dapat dijabarkan dengan merujuk pada fungsi kerugian (loss function) yang harus diminimalkan oleh bank sentral, dengan subyek penetapan instrumen kebijakan serta beberapa fungsi kendala mengenai keterkaitan struktural antar-variabel dalam sistem perekonomian. Berdasakan kondisi tersebut, kebijakan moneter yang optimal dapat diturunkan (secara matematis) sebagai suatu fungsi reaksi yang optimal dari bank sentral, atau yang dikenal dengan ≈optimal decision rule∆ atau ≈optimal policy rule∆, yang menetapkan nilai instrumen kebijakan sebagai fungsi dari segenap informasi yang tersedia. Di luar unsur pokok tersebut, agar dapat dicapai kerangka penerapan dan monitoring kebijakan yang terbaik, secara spesifik perumus kebijakan perlu mempertimbangkan dua aspek.

Pertama, orientasi kebijakan forward looking dengan memperhitungkan tenggat waktu dari

308 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

pengaruh kebijakan moneter (Svensson, 1997). Dalam kaitan ini, Svensson mengajukan proposal mengenai pelaksanaan kebijakan moneter berdasarkan inflation forecast, bukan nilai aktual. Keunggulan teoritis pendekatan ini, selain dapat menghasilkan respon yang ekuivalen dengan kondisi optimal, juga dapat meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter melalui pemfokusan pada ekspektasi inflasi. Kedua, informational requirements dalam perumusan kebijakan dengan memperhitungkan mekanisme penyesuaian perilaku dalam jangka pendek (Blake,2000). Dalam kaitan ini, disarankan bahwa bank sentral sebaiknya mengadopsi policy rule yang lebih umum, dengan memperhitungkan faktor-faktor yang digunakan dalam melakukan forecast. Dengan kemungkinan penggunaan spesifikasi model yang lebih detail, menurut Blake, representasi model dengan error correction mechanism dapat memberikan kerangka pengendalian kebijakan terbaik. Dalam studinya, Blake et al. (1998) menunjukkan bahwa suatu rule yang sederhana, misalnya tipe Taylor rule, bersifat inferior terhadap rule lain yang lebih optimal dan bersifat lebih kompleks, yang ditaksir dengan memperhitungkan pola penyimpangan (deviasi) terhadap

rule yang sederhana apabila terjadi shocks dalam perekonomian. Dalam kaitan tersebut, isu mendasar yang muncul adalah bagaimana mengimplementasikan penetapan target eksplisit dari suatu kebijakan moneter pada penggunaan instrumen dan pemilihan respon kebijakan. Hal ini terkait dengan kondisi empiris bahwa perilaku ekonomi aktual yang diamati mungkin saja konsisten dengan perilaku perumus kebijakan, baik yang didasarkan pada optimalisasi respon kebijakan yang sederhana maupun yang relatif kompleks. Dengan beberapa kondisi yang telah diuraikan di atas, kajian terhadap bagaimana seharusnya kebijakan moneter diterapkan secara optimal dalam kerangka permodelan ekonomi yang realistis, yang sesuai dengan karakteristik atau fluktuasi perekonomian, menjadi suatu pilihan yang strategis. Untuk kasus perekonomian yang sedang mengalami masa transisi struktural dan kelembagaan ekonomi yang panjang dengan fluktuasi indikator ekonomi yang cukup tinggi seperti Indonesia, aidah keoptimalan tersebut seharusnya dirumuskan dalam disain yang merepresentasikan baik respon kebijakan jangka panjang maupun jangka pendek, maupun keberadaan shocks spesifik dalam perekonomian, yang pada dasarnya tercermin dalam suatu ≈State-Contingent rule∆, suatu konsep mendasar yang belum mendapatkan perhatian memadai dalam riset kebijakan moneter selama ini.

II.2. Model Pengembangan model keseimbangan umum dalam menerangkan keterkaitan di antara beberapa variabel makro utama, termasuk sasaran akhir dan sasaran operasional kebijakan, termasuk pengidentifikasian lag kebijakan, dilakukan melalui pengembangan model makro stuktural jangka panjang, yang dirumuskan dalam Structural Cointegrating Vector

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

309

Autoregression (VAR) yang dikembangkan oleh Garratt et al (1998). Dengan menggunakan strategi tersebut, selain didapatkan statistik yang lebih realistik secara teoritis, juga dapat dikaji karakteristik keterkaitan jangka panjang yang sesuai dengan landasan teoritis ala model dinamis keseimbangan umum (dynamic general equilibrium models).5 Dalam kaitan ini, untuk kasus Indonesia, sebagaimana yang dilakukan oleh Solikin (2005), terdapat empat persamaan keseimbangan jangka panjang yang dapat merepresentasikan keterkaitan antara variabel ekonomi makro utama, khususnya variabel sasaran operasional dan sasaran akhir kebijakan, yaitu: (i) Hubungan kesimbangan arbitrasi pasar barang (Purchasing Power Parity - PPP) (ii) Sintesa Okun»s Law dan hubungan keseimbangan pasar barang (Employment Determination

Equilibrium - EDE) (iii) Hubungan keseimbangan pasar uang (Money Market Equilibrium - MME) (iv) Hubungan paritas suku bunga (Interest Rate Parity - IRP) Berdasarkan paparan landasan teoritis beberapa model keseimbangan jangka panjang di atas, maka formulasi dari ≈core model∆ keseimbangan jangka panjang untuk tujuan pengujian empiris yang diajukan adalah:

pt √ p*t √ et

= a10 + a11 t + ξ1,t+1

(II.1)

nt

= a20+ a21 t + β22 (rt √ pt) + β21 yt + ξ2,t+1

(II.2)

m t √ pt

= a30+ a31t + β33 rt +β35 yt + ξ3,t+1

(II.3)

rt √ r*t

= a40+ ξ4,t+1

(II.4)

Dari bangun model di atas, vektor error term (reduced form) dapat dituliskan sebagai:

ξt = β» zt-1 √ ( a0 √ a1 ) √ a1t ,

(II.5)

dimana: zt = (rt , pt, yt , nt , p*t , et , mt , st, r*t )»,

rt : suku bunga nominal. pt : indeks harga barang domestik. yt : output riil. nt : kesempatan (lapangan) kerja. 5 Sebagaimana bangun model umumnya yang memperhitungkan mekanisme ≈error corection∆ dalam sistem, maka sistem permodelan struktural cointegrating VAR ini juga menekankan adanya mekanisme penyesuaian dinamis jangka pendek dari keterkaitan antar variabel dengan mengacu pada kondisi keseimbangan jangka panjang dalam sistem. Dengan demikian, bangun sistem permodelan pada dasarnya diarahkan untuk dapat menangkap keterkaitan jangka panjang antar-variabel yang konsisten dengan landasan teori (theory consistent) dan mempunyai interpretasi ekonomi yang jelas, dengan interaksi dinamis jangka pendek antar variabel yang secara fleksibel dapat ditaksir dengan menggunakan kerangka model VAR.

310 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

p*t : indeks harga barang internasional. et : nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang internasional (US$). mt : besaran moneter nominal. st : indeks harga saham. r*t : suku bunga internasional. Sementara itu, a0 = (a10, a20 , a30 , a40)» , a1 = (a11, a21 , a31 )», ξt = (ξ1t, ξ2t , ξ3t , ξ4t)», dan

β' =

0 1 0 0 -1 -β22 β22 -β21 1 0

-1

0 0 0

0

0 0 0

-β33 -1 -β35 0 0 1 0 0 0 0

0 1 0 0 0 0 0

(II.5)»

-1

Dalam permodelan dinamis jangka pendek, penyimpangan terhadap hubungan jangka panjang,

ξt , dapat diaproksimasi dengan menggunakan fungsi linier dari sejumlah (finite) perubahan dari nilai masa lalu dari zt-1. Dengan demikian, strategi permodelan yang digunakan adalah memperhitungkan ξt dalam error correction model: s-1

∆zt = b α ξt +

Σ Γ ∆z i

t-i +

ut

(II.6)

i=1

dimana b adalah vektor 4x1 dari intercept, α adalah matrik 4x4 dari koefisien error correction Γi , i=1,...,s-1} adalah matrik 4x9 dari (juga dikenal sebagai the loading coefficient matrix), {Γ koefisien jangka pendek, ut adalah vektor 9x1 dari disturbances yang diasumsikan IID(0,Σ), dengan Σ = (σij) adalah matrik positive definite. Dengan menggunakan persamaan (4.4), didapatkan: s-1

∆zt = c + α (a1 t - β' zt-1) +

Σ Γ ∆z i

t-i

+ ut

i=1

(II.7)

, dimana c = b + α (a1 √ a0 ) dan ξt = β» zt-1 adalah error correction terms. Dilihat dari konstruksinya, spesifikasi permodelan di atas mengandung prediksi jangka panjang dari teori ekonomi, berbeda dengan pendekatan yang didasarkan pada unrestricted VAR yang mengasumsikan adanya sifat keterkaitan jangka panjang secara ≈tersamar∆.

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

311

II.3. Pengidentifikasian Shocks Kebijakan Moneter Strategi untuk asumsi pengidentifikasian shocks kebijakan moneter dalam penelitian ini merupakan feedback rule or reaction function dari otoritas moneter, yaitu suatu rule yang mengkaitkan respon kebijakan otoritas moneter dengan kondisi perekonomian. Dengan demikian, asumsi yang diperlukan (necessary assumptions) umumnya meliputi asumsi bentuk fungsional, asumsi mengenai variabel yang diperhitungkan oleh otoritas moneter dalam penetapan instrumen dan kerangka oparasional, dan asumsi mengenai apa instrumen atau sasaran operasional itu sendiri. Selain itu, asumsi yang harus diacu adalah asumsi mengenai sifat dari keterkaitan antara kebijakan moneter dengan variabel-variabel dalam feedback rule. Berkaitan dengan hal tersebut, banyak pendapat yang menyatakan bahwa fraksi yang cukup besar dari variasi langkah otoritas moneter merefleksikan respon yang sistematis terhadap kondisi ekonomi. Dalam praktek ditemukan fakta bahwa tidak semua variasi dari langkah otoritas moneter merefleksikan respon yang sistematis terhadap kondisi ekonomi. Dalam kaitan ini, variasi yang tidak dapat diperhitungkan tersebut secara formal dikenal sebagai shocks kebijakan moneter. Sebagaimana pendekatan-pendekatan yang lazim digunakan, misalnya oleh Sims (1992), Bernanke et al. (1999), dan Garratt et al. (1998), diasumsikan bahwa shocks kebijakan moneter ditaksir sebagai komponen yang tidak sistematis (non-systematic component) dari perubahan perilaku sasaran operasional atau instrumen kebijakan. Dengan demikian, komponen yang sitematis (systematic component) dari kebijakan moneter dapat diturunkan sebagai solusi problem optimisasi otoritas moneter. Dalam penelitian ini akan digunakan beberapa indikator sasaran operasional kebijakan moneter, yaitu suku bunga (price-based approach). Selain itu, penting pula untuk melihat peranan variabel operasional lain, yaitu nilai tukar dan uang primer (quantity-based approach), walaupun terdapat kecenderungan bagi otoritas moneter untuk meninggalkan penggunaanya. Analogi dengan pendekatan Garratt et al, problem optimisasi yang ditetapkan adalah minimisasi fungsi kerugian (loss function) otoritas moneter yang memperhitungkan keberadaan sasaran akhir dan sasaran operasional atau instrumen kebijakan moneter secara lebih umum, yaitu:

Minrt {E [C (wt, rt ) Ψt-1 ] }

(II.8)

wt, rt) , dimana Ψt-1 adalah information set dari otoritas moneter pada akhir periode t-1 dan C (w adalah fungsi kerugian kuadratik: 2 C (wt,rt ) = 1/2 { (wt- wtt )‘ Q(wt- wtt ) + θ (rt - rt-1) }

(II.9)

312 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

, dimana wt = (pt yt nt)« dan wtt = (ptt ytt ntt)« adalah matrik variabel-variabel indikator sasaran akhir (target variables), dan masing-masing tingkat yang diharapkan (desired values), yang diasumsikan mempunyai derajad itegrasi satu, I(1). Fungsi tujuan tersebut dapat pula dituliskan dalam bentuk variabel stasioner, yaitu:

C (wt, rt )= 1/2 { (∆wt - ∆wt )‘ Q(∆wt - ∆wt ) + θ (∆rt)2 }

(II.10)

Q adalah matrik 3 x 3 yang memperhitungkan preferensi jangka pendek bank sentral dalam pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter, yaitu stabilisasi harga, output riil, dan kesempatan kerja. 6 Selanjutnya, term terakhir dimaksudkan untuk menangkap adanya biaya penyesuaian (cost of adjustments) dari penggunaan sasaran operasional atau instumen kebijakan (policy

instrument), rt. 7 s

Selanjutnya, komponen yang sistematis dari suatu respon kebijakan moneter, rt , wt, ∆rt) | Ψt-1]} dengan memperhitungkan adanya ditentukan dengan meminimumkan E{C [(∆w ≈common knowledge∆ mengenai keterkaitan antara target variable, wt, dengan policy

instrument, rt , yang dapat diturunkan sebagai sub-sistem dari suatu model umum struktural error correction model, sebagai berikut: s-1

∆ wt =

Πww + Πwr ∆rt + Πwξ (a1 t - β' zt-1 ) + Σ Πi, wz ∆zt-i + ut, ww i-1

(II.11)

dimana: ∏ww , ∏wr , ∏wξ , ∏i,wz, dan ut,ww adalah matrik parameter sistem persamaan reduced

form yang mengkaitkan target variables dengan policy instruments. Dari First-order condition dari minimisasi persamaan (9) diperoleh: s-1

E[∆rt Ψt-1] = ϕ0 + ϕ‘ (a 1 t - β' zt-1 ) +

Σ ϕ‘ i-1

i, 2

∆zt-i (II.12)

, dimana:

Secara sederhana, bagian sebelah kiri persamaan (12) dapat dijabarkan sebagai E[∆rt |Ψt-1] = E[rt - rt-1 |Ψt-1] = E[rt |Ψt-1] √ E[rt-1|Ψt-1] = rst - rt-1. Dengan pemahaman bahwa komponen yang sistematis dari suatu respon kebijakan moneter adalah, maka feedback rule atau reaction

function diperoleh sebagai berikut: 6 Dalam formulasi umum persamaan (II.10), dimungkinkan adanya fleksibilitas dalam penetapan sasaran akhir kebijakan moneter, yang tidak hanya terbatas merujuk pada adanya ≈trade-off∆ jangka pendek antara perkembangan harga dan output, namun juga aspek lainnya seperti peningkatan kesempatan kerja. Dengan demikian terjadi peningkatan dimensi matrik preferensi, Q, dan perubahan formulasi fungsi kerugian, tidak seperti formulasi pada umumnya. 7 Sebagaimana pula dalam kajian yang dilakukan oleh Svensson (1997).

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

313

s-1

rst - rt-1 = ϕ0 + ϕ‘1 (a 1 t - β' zt-1 ) +

Σ ϕ‘

i, 2

∆zt-i

i-1

(II.13)

Sebagaimana diasumsikan sebelumnya bahwa shocks kebijakan moneter , εrt , ditaksir sebagai komponen yang tidak sistematis dari respon kebijakan moneter. Dengan kata lain,

shocks kebijakan moneter tersebut dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara perilaku sasaran operasional atau instrumen kebijakan yang terjadi/aktual, rt , dengan perilaku komponen yang sistematis dari suatu respon kebijakan moneter, rst , atau dapat dituliskan sebagai:

εrt = rt - rst

(II.14)

Dengan menggunakan (II.13) dan (II.14), diperoleh keterkaitan struktural untuk persamaan perilaku instrumen yang konsisten dengan karakteristik jangka panjang dari model strutural

Cointegrating Vector Autoregression, sebagaimana persamaan (7), yaitu: s-1

∆rt = ϕ0 + ϕ‘ 1 (a1 t - β' zt-1 ) +

Σ ϕ‘

i, 2

∆zt-i + εrt

(II.15)

i-1

II.4. Perumusan ≈The State-Contingent rule∆ Perumusan respon kebijakan moneter di Indonesia disusun dengan jalan mendisain suatu sintesis yang mengakomodir perkembangan instrumen/sasaran operasional berdasarkan suatu

rule si satu sisi dan pola penyimpangannya ≈yang optimal∆ di sisi lain dalam hal otoritas moneter merepons suatu shocks dalam perekonomian dari waktu ke waktu. Pertimbangan tersebut sangat relevan apabila dkaitkan dengan karakteristik perekonomian Indonesia, terutama terkait dengan perubahan struktural dan fluktuasi jangka pendek variabel-variabel ekonomi makro. Variasi pengembangan tersebut mengarah pada perumusan ≈State-Contingent rule∆ dalam bentuk ≈error correcting rules∆. Walaupun sedikit lebih kompleks dari bentuk rule pada umumnya, secara teknis, paling tidak terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya mempertimbangkan pola tersebut, yaitu: (i) Perkembangan variabel yang terkait dengan pola hubungan dalam suatu rule umumnya bersifat non-stasioner. Dengan demikian, dengan asumsi terdapatnya hubungan keseimbangan jangka panjang di antara variabel-variabel tersebut, maka dimungkinkan pola dinamis dari suatu instrumen yang berupa respon dari terjadinya fluktuasi dalam jangka pendek di satu sisi, serta respon terhadap adanya penyimpangan terhadap keseimbangan jangka panjangnya di sisi lain. (ii) Hubungan keseimbangan jangka panjang yang diperhitungkan dalam sistem pada dasarnya selaras dengan hubungan keseimbangan dalam sistem permodelan yang digunakan secara umum dalam analisis kebijakan, yaitu persamaan sintesa Okun»s law (yang mengaitkan

314 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Kurva Phillips dan penawaran agregat) dan Kurva IS, persamaan Kurva LM, dan persamaan perilaku yang merepresentasikan keterkaitan antara nilai tukar dan pembentukan harga domestik. (iii) Dalam disain umumnya, rule yang dipaparkan sebelumnya cenderung bersifat telalu restriktif, yaitu bahwa respon kebijakan hanya didasarkan pada perkembangan beberapa variabel saja. Dengan pendekatan alternatif ini dimungkinkan dilakukan pengujian spesifikasi dan restriksi permodelan lebih lanjut. Dengan demikian, disarankan untuk mengadopsi policy

rule yang lebih umum yang memperhitungkan faktor-faktor atau informasi lain yang terkait dengan pembentukan perilaku target variables. Berdasarkan strategi pengidentifikasian shocks kebijakan moneter serta penurunan

error correction rule pada model makro structural cointegration VAR sebelumnya, maka ≈StateContingent rule∆ dengan bentuk ≈error correcting rule∆ dapat diturunkan berdasarkan penurunan persamaan (15), persamaan perilaku respon kebijakan: s-1

∆rt = ϕ0 + ϕ‘ 1 (a1 t - β' zt-1 ) +

Σ ϕ‘

i, 2

∆zt-i + εrt

i-1

(II.15)

Selanjutnya, untuk mengakomodir pengaruh shocks spesifik dalam perilaku respon kebijakan, ditambahkan term yang secara teknis direfleksikan oleh respon perilaku sasaran operasional terhadap impuls yang ditimbulkan oleh structural innovations tertentu, ψ j (ε t ). Dengan mengakomodir konsep generalized impulse response function, 8 maka state-contingent rule dapat diformulasikan sebagai: * ϕ11 ' - et-1 ) a11t - (p t-1 - pt-1 ϕ a21t - (- β22 rt-1 + β22 pt-1 - β21 y t-1 + n t-1 ) * rt* = rt-1 + ϕ0 + 21 ϕ31 a31t - ( - β33 rt-1 - β35 y t-1 - p t-1 + m t-1 ) * ϕ41 a11t - rt-1 - rt-1

(

s-1

+

i-1

)

ϕ ir ∆ rt-i +ϕ ip ∆p t-i + ϕiy ∆y t-i + ϕiu ∆n t-i + ϕip* ∆p* t-i

Σ +ϕ

(II.15)*

* ie ∆e t-i + ϕ im ∆m t-i +ϕ is ∆s t-i + +ϕis ∆r t-i

+ Ψ j (ε t )

8 Analisis dinamis model VAR umumnya dilakukan dengan menerapkan «orthogonalized» impulse response, dimana sebelum dilakukan analisis impulse response dan variance decompositions, perilaku shocks pada model VAR diortogonalisasi dengan menggunakan Cholesky decomposition. Pendekatan ini mengandung kelemahan karena sangat bergantung pada urutan variabel dalam sistem model VAR. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pesaran and Shin (1997) mengajukan analisis «generalized» impulse response, suatu pendekatan yang tidak memerlukan pengortogonalisaian shocks dan tidak terpengaruh oleh urutan variabel dalam sistem model VAR. Dalam kaitan ini, untuk untuk suatu matrik error variance yang non-diagonal, «orthogonalized» dan «generalized» impulse response memiliki kesamaan hanya pada kasus pengenaan impulse reseponse dari shocks pada persamaan pertama dalam sistem model VAR.

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

315

Dari persamaan (II.15)* dapat dilihat beberapa karakteristik respon kebijakan, yaitu: (i) Bagian pertama dari struktur feedback pada persamaan tersebut (yang diekspresikan oleh variabel dalam level) pada dasarnya selaras dengan pola feedback dalam simple rules pada umumnya. Apabila alternatif instrumen/sasaran operasional yang dipilih adalah suku bunga, maka dihasilkan salah satu variasi dari bentuk umum Taylor rule. (ii) Bagian kedua (yang diekspresikan oleh variabel dalam first-different) mencerminkan struktur

feedback berupa respon dinamis jangka pendek dalam rangka penyesuaian menuju keseimbangan jangka panjang (error correcting mechanism). (iii) Bagian terakhir, ψj ( εt ), pada dasarnya menangkap pengaruh shocks spesifik yang bersumber dari keterkaitan atau fungsi dari komponen yang tidak sistematis pada perilaku respon kebijakan (dalam rentang periode ke depan), yaitu structural innovations yang bersumber dari perilaku variabel tertentu dalam sistem, misalnya expenditure (demand) shocks, labor

market (supply) shocks, dan external shocks. Pola feedback dalam persamaan tersebut dapat dianggap sebagai yang pola rule yang konsisten dengan karakteristik jangka panjang dari model strutural berdasarkan konsep keoptimalan dalam analisis keseimbangan umum dinamis. Selain itu, perilaku instrumen berdasarkan persamaan tersebut dihipotesiskan sesuai dengan karakteristik ekonomi serta kerangka operasional kebijakan moneter di Indonesia. Selain mengakomodir manfaat dari penggunaan mekanisme ≈error correction∆ dari suatu

rules, perumusan strategi tersebut mempunyai beberapa keunggulan lain, antara lain: (i) Mengakomodir konsep keoptimalan serta kesederhanaan penaksiran secara bersama-sama dalam suatu permodelan ekonomi yang bersifat ≈satelite model∆ dengan ukuran yang tidak terlalu besar. (ii) Dengan menggunakan analisis generalized impulse response function yang mengatasi permasalahan ordering dalam analisis VAR pada umumnya, kinerja rules ini dapat dianalisis dengan derajat fleksibilitas yang tinggi dalam mengakomodir pola keterkaitan antar variabel ekonomi makro diantara pilihan/kombinasi strategi penetapan sasaran operasional dan sasaran akhir kebijakan moneter. (iii) Perilaku sasaran operasional pada persamaan (15)* sekaligus mencerminkan respon kebijakan moneter yang sistematis dan non-sistematis. Dengan demikian, pola ini sejalan dengan pola ≈State-Contingent rule∆, yaitu alternatif pola yang sebaiknya dianut seperti yang dikemukakan oleh Keynes, sebagaimana disebutkan dalam Boughton (2002) dan Muchlinski (2002)) dan Fischer (1996), yaitu tidak hanya mengacu pada kondisi keseimbangan jangka panjang, namun juga respon dinamis jangka pendek dan shocks spesifik yang muncul dari interaksi variabel dalam sistem.

316 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

III. METODOLOGI Metode estimasi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Structural Cointegrating

Vector Autoregressive (SCVAR), merujuk pada pendekatan yang dilakukan oleh Pesaran dan Shin (1997) dan Pesaran, Shin, dan Smith (1998). Penaksiran parameter struktural dengan prosedur Maximum Likelihood Estimation (MLE) diaplikasikan terhadap data set data triwulanan dengan rentang waktu 1974.1 √ 2003.4. Pengaruh perubahan struktural khususnya dampak dari krisis ekonomi 1997 akan diidentifikasi sejak triwulan ketiga 1997 sampai triwulan terakhir 2003. Data yang diidentifikasi dalam penelitian ini meliputi: (i) inflasi domestik, yang diukur dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen tahun dasar 1996 (IHK); (ii) tingkat output , yang diukur dengan menggunakan angka Produk Domestik Bruto tahun dasar 1993 (Y); (iii) kesempatan kerja (N), yang diukur dengan menggunakan angka kesempatan kerja menurut definisi Badan Pusat Statistik (BPS); (iv) besaran moneter, yang diukur dengan menggunakan data besaran moneter dalam artian sempit, yaitu uang primer (M0); (v) suku bunga, yang diukur dengan menggunakan indikator suku bunga kebijakan, yaitu suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, dengan jangka waktu 3 bulan (RSBI3); (vi) nilai tukar, yang diukur dengan menggunakan nilai tukar mata uang rupiah terhadap US$ (KURS); (vii) indeks harga saham, yang diukur dengan menggunakan angka Indeks Harga Saham Gabungan tahun dasar 1982 (IHSG); (viii) inflasi luar negeri, yang diukur dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen perekonomian Amerika Serikat tahun dasar 1996 (IHKUS); dan (ix) suku bunga luar negeri, yang diukur dengan menggunakan suku bunga London Interbank Over-Rates jangka waktu 3 bulan (RLIB3).

IV. HASIL DAN ANALISIS Merujuk pada metode penaksiran yang diuraikan pada Solikin (2005), penaksiran model makro yang menunjukkan Long-Run Equilbrium Relationships dan diformulasikan dalam persamaan (1) √ (4) memberikan hasil sebagai berikut.9 (1) Purchasing Power Parity (PPP): LIHK - LIHKUS - LKURS = -7.411 - 0.009*Trend + ξ1,t+1 (2) Employment Determination Equilibrium (EDE): LN = 7.286 - 0.019*RSBI + 0.220*LIHK + 0.300*LY - 0.727E-3*Trend + ξ2,t+1 (3) Money Market Equilibrium (MME): LM0 - LIHK = -11.428 - 0.018*RSBI + 1.743*LY - 0.419*LIHSG + ξ3,t+1 9 Notasi L di depan nama variabel merujuk pada transformasi logaritma natural (ln).

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

317

(4) Interest Rate Parity (IRP): RSBI3 √ RLIB3 = 8.600 + ξ4,t+1 Dapat dikemukakan bahwa koefisien negatif dari unsur trend pada persamaan (II.1) menunjukkan bahwa dalam jangka panjang perilaku nilai tukar rupiah cenderung depresiatif terhadap US$. Dari persamaan (II.2) diperlihatkan bahwa dalam jangka panjang, perkembangan Tabel II.1. Rangkuman Hasil Penaksiran Model (Reduced Form) Vector Error Correcting Model (VECM) Var. Dependen

R2

ECM Terms

Perilaku Kestabilan

D(RSBI3)

0,74

PPP EDE MME IRP

( √ ), ** (+) (√) ( √ ), ***

Kecenderungan ke arah ketidakstabilan terlihat padaperiode pasca krisis ekonomi 1997, tapi masih dalam batas kisaran kestabilan.

D(LIHK)

0,64

0,33

D(N)

0,51

D(LIHKUS)

0,57

(+) (√) ( + ), */( + ), */(+) ( √ ), ** ( + ), * (+) (√) ( √ ), ** ( + ), ** ( + ), */(√) ( √ ), *** ( + ), ** (+) ( + ), */(√) (+) (+) ( + ), */(+) (√) (√) (√) ( + ), */( √ ), ** (√) (√) ( √ ), * (+) (+)

Walaupun masih dalam batas kisaran kestabilan, perilaku persamaan cender-ung rentan terhadap gejolak ekonomi.

D(LY)

PPP EDE MME IRP PPP EDE MME IRP PPP EDE MME IRP PPP EDE MME IRP PPP EDE MME IRP PPP EDE MME IRP PPP EDE MME IRP PPP EDE MME IRP

D(LKURS)

0,25

D(LM0)

0,18

D(LIHSG)

0,25

D(RLIB3)

0,13

Walaupun masih dalam batas kisaran kestabilan, perilaku persamaan cender-ung rentan terhadap gejolak ekonomi. Walaupun masih dalam batas kisaran kestabilan, perilaku persamaan cender-ung rentan terhadap gejolak ekonomi.

-

Sangat stabil sebelum 1997, dan cenderung bergejolak pada periode pasca krisis ekonomi 1997. Kecenderungan ke arah ketidakstabilan terlihat sejak awal 1990-an (fenomena tingginya capital inflow), tapi masih dalam batas kisaran kestabilan. Kecenderungan ke arah ketidakstabilan terlihat sejak awal 1990-an (fenomena tingginya capital inflow), tapi masih dalam batas kisaran kestabilan. -

Keterangan: Notasi D di depan nama variabel merujuk pada transformasi first difference. Tanda dalam kurung (º) pada kolom keempat menunjukkan arah pengaruh ECM terms pada masing-masing persamaam reduced VECM. Tanda ***, **, *, */- masingmasing menunjukkan tingkat signifikasi parameter (level of significance) 99%, 95%, 90%, dan 80% (opsional).

318 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

harga dan output secara signifikan mempengaruhi penciptaan kesempatan kerja; sementara pengaruh suku bunga, walaupun secara teoritis mempunyai arah benar (negatif) tidak begitu signifikan secara statistik. Kecenderungan penurunan kesempatan kerja dalam jangka panjang tidak terlalu signifikan. Sementara itu, dalam jangka panjang perilaku real money balance (M0) pada persamaan (II.3) secara signifikan tergantung pada perkembangan output riil dan pasar modal; sementara suku bunga berpengaruh tidak terlalu signifikan. Yang terakhir, persamaan (II.4) menunjukkan bahwa dalam jangka panjang perilaku interest rate differential relatif konstan. Sementara itu, penaksiran model (Reduced Form) Vector Error Correcting Model (VECM). memberikan hasil yang pada umumnya yang cukup baik, yang tercermin pada beberapa kriteria, antara lain Goodness of fit (koefisien determinasi, R2) yang cukup tinggi untuk konteks regresi antar variabel dalam bentuk first difference, adanya respon (penyesuaian) dinamis perkembangan jangka pendek masing-masing variabel terhadap kondisi keseimbangan jangka panjang (error

correcting term) dalam sistem, dan hasil uji stabilitas parameter berdasarkan cummulative sum recursive residuals (CUSUM test) menujukkan bahwa secara umum persamaan cukup stabil. Rangkuman hasil penaksiran disampaikan pada Tabel II.1.10

IV.1. Penaksiran Respon Kebijakan Moneter: State-Contingent rule Dari penaksiran sistem permodelan, masing-masing persamaan policy rule dalam bentuk

error correction model yang dihasilkan adalah sebagi berikut: a. Policy rule berdasarkan perilaku suku bunga (Interest rate rule): D(RSBI3) = -38,05 √ 4,74*ECM1(-1) √ 2,22*ECM2(-1) √ 1,83*ECM3(-1) √ 0,25*ECM4(-1) + 0,22*D(RSBI3(-1)) + 23,69*D(LIHK(-1)) √ 16,09*D(LY(-1)) √ 14,29*D(LN(-1)) + 15,44*D(LKURS(-1)) √ 99,76*D(LIHKUS(-1)) + 10,83*D(LM0(-1)) √ 0,16*D(LIHSG(-1)) + 0,14*D(RLIB3(-1)) b. Policy rule berdasarkan perilaku uang primer (Monetary base rule): D(LM0) = 1,38 + 0,08*ECM1(-1) √ 0,10*ECM2(-1) + 0,01*ECM3(-1) + 0,002*ECM4(-1) √ 7,83e-05*D(RSBI3(-1)) √ 0,01*D(LIHK(-1)) + 0,25*D(LY(-1)) √ 0,51*D(LN(-1)) + 0,20*D(LKURS(-1)) + 1,90*D(LIHKUS(-1)) √ 0,02*D(LM0(-1)) √ 0,02*D(LIHSG(-1)) + 0,001*D(RLIB3(-1)) Keterangan: D(º)menunjukkan ekspresi variabel dalam bentuk first difference. ECM[1 s.d. 4] merupakan error correction term. Lº merupakan ekspresi variabel dalam bentuk logaritma natural.

10 Detail hasil penaksiran dan analisis model dapat dilihat di Solikin (2005).

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

319

Secara grafis, perilaku masing-masing policy rule tersebut, termasuk konsekuensinya pada

stance kebijakan moneter ditunjukkan pada Grafik II.1 dan Grafik II.2 berikut.

% 70 60 50 40 30 20 10 0

80

82

84

86

88

90

92

R S B I3 a k tu a l

94

96

98

00

02

R S B I3 r ule

% 25 20 15 A r e a k e b i j a k a n te r l a l u k e ta t

10 5

1,0 S D 0,5 S D

0 -5 -10 80

82

84

86

88

90

92

94

96

98

00

02

M o ne ta ry S ta nc e 1

Grafik II.1. Interest rate rule dan stance kebijakan moneter

320 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

% 80 70 60 50 40 30 20 10 0 -10 80

82

84

86

88

90

92

94

M 0 Y a ktu a l

96

98

00

02

M 0 Y ru le

% 40 30 20

A r e a ke b i ja k a n te r l a l u l o n g g a r

10

1.0 SD 0.5 SD

0 -10 -20

80

82

84

86

88

90

92

94

96

98

00

02

M o n e ta ry S ta n c e 2

Grafik II.2. Monetary base rule dan stance kebijakan moneter

Keterangan: Indikator stance kebijakan moneter (monetary stance) pada grafik panel bawah merupakan selisih antara perkembangan indikator sasaran operasional aktual terhadap optimal rule-nya. Standard deviasi (SD) dari kisaran (+ 0.5 √ 1 SD) dihitung berdasarkan centered moving average (7 kuartal).

Perlu kemukakan bahwa perilaku tersebut pada dasarnya belum memperhitungkan pengaruh shock spesifik, karena pada dasarnya pengaruh tersebut dapat diperlakukan dengan cukup fleksibel, tergantung pada jenis dan sumber dari structural innovation yang terjadi. Dalam analisis ini, salah satu fenomena menarik yang dapat diamati adalah menyangkut perubahan perilaku respon kebijakan moneter sebagai dengan adanya shocks dari sisi eksternal sebagai akibat gejolak nilai tukar, misalnya dalam masa krisis ekonomi yang dimulai pada kuartal ke-3 tahun 1997. Dengan demikian, perilaku respon kebijakan mengalami perubahan dalam besaran yang proposional dengan besarnya shocks spesifik yang oleh structural innovations dari persamaan perilaku nilai tukar. Lihat Grafik II.3.

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

50

321

%

40

30

20

10

0 95

96

97

98

shocks 50

99

00

01

RSBI3 rule

02

03

RSBI3 rule +

%

40

30

20

10

0 95

96

97 shocks

98

99

00

M0Y rule

01

02

03

M0Y rule +

Grafik II.3. Policy Rule dan Stance Kebijakan Moneter dengan Shocks Spesifik

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa pengaruh shocks nilai tukar tersebut pada perilaku sasaran operasional suku bunga cukup signifikan pada 1,5 tahun pertama periode krisis, dimana pengaruh maksimal terjadi setelah 3 kuartal. Selanjutnya, pengaruh tersebut mengecil dan cenderung bersifat netral dalam jangka mengengah-panjang. Sementara itu, pengaruh shocks nilai tukar pada perikau sasaran operasional (pertumbuhan) uang primer juga cukup signifikan pada 1,5 tahun pertama periode krisis, dimana pengaruh tersebut mencapai maksimal pada kuartal kedua, dan selanjutnya berkurang namun bersifat permanen dalam jangka menengahpanjang. Walaupun cukup signifikan, dalam kedua kasus tersebut pengaruh shocks nilai tukar tidak memberikan perubahan yang berarti pada stance kebijakan moneter secara umum, apakah terlalu ketat atau longgar. Hal ini dikarenakan pada 2 tahun pertama periode krisis, deviasi perilaku respon kebijakan aktual terhadap perilaku respon kebijakan berdasarkan optimal policy

rate sangat besar.

322 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

IV.2. Evaluasi Penerapan Respon Kebijakan Moneter Arah umum stance kebijakan moneter di Indonesia pada periode 1980 √ 2003 akan diamati berdasarkan periodisasi pelaksanaan kebijakan moneter dalam lebih dari dua dasawasa terakhir. Dalam kaitan ini, diidentifikasikan 9 periode pelaksanaan kebijakan moneter sejak awal tahun 1980-an, yang didasarkan pada perubahan stance kebijakan moneter sebagai respon dari perubahan struktural dalam perekonomian. Identifikasi perubahan struktural tersebut didasarkan pada perbedaan perilaku yang signifikan antara perkembangan output nominal dan output riil, dimana perbedaan yang terjadi pada dasarnya mencerminkan perubahan kondisi fundamental perekonomian yang disertai dengan perkembangan di sektor keuangan, termasuk diantaranya reformasi struktural dan krisis keuangan. Lihat Grafik II.4.

% 50 PDB Nominal PDB Riil

40 30 20 10 0 -10

I 80

II 82

84

III 86

IV 88

V 90

92

IV 94

VII 96

VIII 98

00

IX 02

Grafik II.4. Pertumbuhan Tahunan PDB Nominal dan Riil (Centered 7-Quarter Moving Average) Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah.

Sementara itu, berdasarkan perumusan respon kebijakan moneter yang optimal dalam bentuk « State-Contingent rule », evaluasi kinerja kebijakan moneter dalam merespon perkembangan yang terjadi menunjukkan kekurangoptimalan respon kebijakan moneter dalam beberapa periode, baik yang terkait dengan terlalu ketat/longgar maupun keterlambatan respon. Kekurangoptimalan respon kebijakan moneter tersebut diamati melalui pembandingan respon kebijakan monter, yang tercermin dari perkembangan suku bunga SBI dan M0, secara aktual, dengan respon kebijakan yang optimal yang ditaksir dari perilaku policy rule. Perbedaaan dari perilaku tersebut merefleksikan stance kebijakan moneter, apakah cenderung terlalu ketat atau longgar, dengan memberikan batas toleransi berupa kisaran + 0,5 √ 1,0 simpangan baku dari masing-masing perilaku respon kebijakan moneter. Penetapan kisaran tersebut dilakukan dengan

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

323

lebih mempertimbangkan aspek teknis dengan tujuan untuk menangkap kondisi dimana kebijakan moneter diterapkan dalam kondisi yang cukup ekstrim secara praktis dan dengan derajad sensitivitas tertentu. Sementara itu, untuk meredam pengaruh fluktuasi data terhadap besarnya nilai simpangan baku tersebut, simpangan baku tersebut dihitung dengan berdasarkan data dengan trasformasi centered moving average (7 kuartal).11 Transformasi ini sekaligus mempunyai dampak berupa peredaman permasalahan yang timbul sebagai akibat adanya pengukuran variabel yang tidak mempunyai kesetaraan unit. Berkaitan dengan penetapan batas toleransi tersebut, deviasi respon kebijakan pada kisaran 0 √ 0,5 simpangan baku dapat dianggap sebagai diviasi yang dapat ditolerir, sehingga Tabel II.2. Evaluasi Penerapan Respons Kebijakan Moneter Periode

Arah Umum Kebijkan Moneter

Evaluasi stance kebijakan berdasarkan optimal policy rule Suku Bunga

1980 - 1982 1983 - 1984

1985 - 1987

1988 - 1989

Kebijakan moneter sebelum era deregulasi dan liberalisasi sektor keuangan Kebijaksanaan moneter untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi perkembangan perbankan guna mendukung tujuan pemba-ngunan. Kebijakan moneter yang berhati-hati (discretionary policy) di tengah-tengah tekanan pada neraca pembayaran. Kebijakan moneter ekspansif guna mendorong kegiatan ekonomi

Kecenderungan ketat

Kecenderungan ketat

Cukup optimal

Kecenderungan terlalu longgar pada 1983.3 1984.2

Cukup optimal pada 1985/86, tetapi terlalu longgar pada 1987 Terlalu longgar

Cukup optimal

1990 - 1992

Kebijakan moneter ketat dan penerapan prinsip kehati-hatian di bidang perbankan

Terlalu ketat

1993 - 1994

Kebijakan moneter dalam situasi ekonomi yang cenderung stabil Kebijakan moneter yang cenderung berhati-hati di tengah tekanan peningkatan permintaan agregat dan inflasi. Kebijakan moneter dalam periode krisis ekonomi Kebijakan moneter untuk menciptakan stabilitas guna mendukung proses pemulihan ekonomi.

Cukup optimal

1995 - 1997.2

1997.3 - 1999 2000 - 2003

Uang Primer

Terlalu ketat

Terlalu ketat (ekstrim)12 Terlalu longgar pada 2000/01, tetapi cukup optimal pada 2002/03

Cukup optimal, tetapi Terlalu ketat pada 1988.4 -1999.3 Terlalu longgar pada 1990, tetapi terlalu ketat pada 1991/92 Cukup optimal Terlalu ketat pada 1995, dan cukup optimal pada 1996 Terlalu longgar pada 1998 (ekstrim) Cukup optimal pada 2000/01, tetapi terlalu ketat pada 2002/03

11 Beberapa penulis menggunakan transformasi ≈moving average∆ sebagai tolok ukur untuk menangkap penyimpangan perilaku suatu variable terhadap kecenderungan perilaku normalnya. Sebagai misal, Bernanke and Mihov (1998) menggunakan deviasi dari 36-month moving average (normalized) sebagai angka indikator. 12 Respons kebijakan yang sangat ketat tersebut tidak terlepas dari implementasi program stabilisasi untuk mengatasi krisis ekonomi berdasarkan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan IMF pada 1997. Beberapa analisis dan evaluasi atas pelaksanaan program IMF di beberapa negara Asia menunjukkan bahwa stance kebijakan suku bunga yang ditetapkan di beberapa negara pada umumnya terlalu ketat.

324 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

respon kebijakan dalam kisaran ini dapat dianggap cukup optimal. Sementara itu, deviasi respon kebijakan pada kisaran 0,5 √ 1,0 simpangan baku dapat dianggap sebagai diviasi yang mengarah pada kecenderungan ketidakoptimalan (sub-optimal) dari respon kebijakan. Selanjutnya, deviasi respon kebijakan pada kisaran di atas 1,0 simpangan baku dianggap sebagai divaiasi respon mengarah pada kondisi ekstrim, yang mengindikasikan ketidakopimalan dengan derajat yang lebih tinggi (terlalu ketat/longgar). Perubahan kisaran tentunya akan mempengaruhi kondisi ekstrim yang teridentifikasi. Dengan membandingkan arah umum kebijakan moneter di satu sisi, serta stance kebijakan moneter berdasarkan sasaran operasional suku bunga SBI dan uang primer di sisi lain, hasil evaluasi penerapan respon kebijakan moneter secara umum disampaikan pada Tabel II.2. Dari Tabel II.2, dapat disimpulkan mengenai beberapa hal. Pertama, episode pelaksanaan kebijakan moneter umumnya diwarnai oleh penerapan respon kebijakan yang suboptimal dan reaktif dengan unsur discretion yang cukup dominan. Hal ini tercermin pada adanya kecenderungan penerapan respon kebijakan yang terlalu ketat/longgar, maupun adanya respon kebijakan yang cenderung merupakan reaksi dari kondisi yang terjadi secara instan, yang dapat diinterpretasikan sebagai adanya kekurangkonsistenan kebijakan dari waktu ke waktu. Misalnya, respon kebijakan dilaksanakan terlalu ketat pada tahun pertama yang dilanjutkan dengan ekpsansi di tahun-tahun berikutnya.

Kedua, selain adanya ruang gerak pelaksanaan respon kebijakan yang cukup optimal pada beberapa tahun tertentu, dengan menggunakan kedua sasaran operasional uang primer dan suku bunga SBI, evaluasi respon pelaksanaan kebijakan pada tahun 1991 dan 1995 menunjukkan hasil yang konsisten, yaitu pelaksanaan respon kebijakan moneter yang terlalu ketat.

Ketiga, kecuali periode 1993 √ 1994 dan beberapa tahun tertentu dimana kebijakan moneter dilaksanakan dengan cukup optimal, masing-masing perilaku respon kebijakan berdasarkan suku bunga dan uang primer cenderung menghasilkan evaluasi stance kebijakan yang berbeda. Hal ini dimungkinkan antara lain karena adanya perbedaan orientasi dari penggunaan masing-masing instrumen dan sasaran operasional kebijakan. Misalnya, pada saat diterapkan Pakto 88, penurunan RR dari 15% ke 2% menyebabkan penurunan uang primer secara signifikan, sementara di sisi lain, dengan suku bunga pasar yang berlaku ekspansi kredit perbankan mengalami peningkatan yang tinggi. Sementara itu, pada periode krisis ekonomi (1997.3 √ 1999) diwarnai oleh dua kejadian. Di satu sisi, kebijakan moneter ketat yang diterapkan atas rekomendasi IMF, melalui peningkatan suku bunga SBI yang drastis, diharapkan dapat meredam penurunan nilai tukar rupiah yang semakin cepat dan menjaga kepercayaan masyarakat pada kinerja sistem keuangan. Di sisi lain, tekanan perlemahan nilai tukar pada

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

325

neraca keuangan (balance sheet) perusahaan dan bank telah menimbulkan permasalahan utang sektor swasta yang semakin berat, sehingga dapat memicu krisis kepercayaan masyarakat dan keterpurukan sektor perbankan lebih jauh, apabila Pemerintah dan Bank Indonesia tidak melakukan langkah pengamanan berupa pengucuran bantuan likuiditas yang sangat besar.

Keempat, adanya kecederungan penggunaan kedua sasaran operasional uang primer dan suku bunga SBI bersama-sama secara ≈kompelementif∆, dimana perilaku keduanya bersifat saling merespon satu sama lain. Sebagai contoh, dalam kondisi terjadi kelebihan likuiditas sebagi akibat penyaluran bantuan likuiditas dan penarikan dana oleh masyarakat pada masa awal krisis ekonomi, suku bunga SBI meningkat (ditingkatkan) secara signifikan. Pertanyaan berikutnya adalah apakah kondisi sebaliknya, bahwa peningkatan suku bunga direspon oleh peningkatan uang primer? Jawabannya ya. Secara tidak langsung, dalam kasus ini dapat dicontohkan pada kodisi dimana terjadi offsetting pada pengaruh kebijakan moneter, terutama pada periode sebelum diterapkannya kebijakan nilai tukar mengambang bebas pada 1997. Dalam kaitan ini, peningkatan suku bunga SBI yang ditujukan untuk kontraksi moneter berdampak pada peningkatan perbedaan suku bunga dalam dan luar negeri (interest rate

differential), sehingga berdampak pula pada peningkatan arus modal masuk. Walaupun tidak terjadi sebagai akibat suatu respon kebijakan moneter secara langsung, pada akhirnya uang primer akan mengalami peningkatan.

Kelima, adanya keterkaitan erat antara ketidakoptimalan stance kebijakan moneter pada periode krisis ekonomi (1997.3 √ 1999) dengan fenomena twin crises. 13 Berdasarkan hasil evaluasi, disimpulkan bahwa dengan menggunakan sasaran operasional suku bunga dan uang primer, penerapan respon kebijakan moneter tidak hanya mengindikasikan respon kebijakan yang berlawanan, yaitu terlalu ketat berdasarkan perilaku suku bunga dan terlalu longgar berdasarkan perilaku uang primer, tetapi juga tidak optimal. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, respon kebijakan yang berlawanan tersebut lebih dikarenakan oleh adanya perbedaan orientasi kebijakan pada masa krisis. Dengan demikian, kondisi tersebut tidak terkait dengan adanya permasalahan ketidakkonsistenan stance kebijakan moneter selama masa krisis, namun sangat terkait dengan kondisi lain, yaitu ketidakoptimalan penerapan respon kebijakan moneter yang mencapai level ekstrim. Dalam kaitan ini, dapat dikemukakan bahwa dalam kondisi normal, pengaruh kebijakan moneter umumnya dapat diarahkan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Kebijakan 13 Kaminsky and Reinhart (1999) mengidentifikasi terjadinya twin crises di negara-negara Amerika Latin dan Asia pada tahun 1990an dan menyimpulkan bahwa keterkaitan «vicious spiral» antara krisis mata uang (currnecy crises) dan krisis perbankan (banking crises). Umumnya, permasalahan di sektor perbankan mendahului terjadinya krisis mata uang, dan selanjutnya krisis mata uang tersebut memperparah permasalahan perbankan, dimana untuk selanjutnya kedua krisis tersebut satu sama lain saling memperparah dampak negatfnya pada perekonomian

326 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

moneter ketat melalui peningkatan suku bunga, misalnya, dapat mengurangi tekanan pada nilai tukar mata uang domestik, mengurangi tekanan inflasi, meredakan krisis kepercayaan, dan selanjutnya mencegah krisis nilai tukar (currency crises). Namun, dalam kondisi tidak normal, seperti yang terjadi pada periode 1997.3 √ 1999, kebijakan moneter tersebut dapat menghasilkan pengaruh sebaliknya yang cenderung tidak optimal. Hal ini terutama apabila dikaitkan dengan permasalahan kompleks yang muncul secara simultan, tidak hanya tekanan yang berat pada nilai tukar domestik, tetapi juga terpuruknya sistem perbankan secara keseluruhan (banking

crises) sebagai dampak dari melonjaknya posisi utang swasta dan memburuknya neraca keuangan bank. Dalam terjadinya twin crises tersebut, pengaruh kebijakan moneter tidak seperti yang diharapkan, atau bahkan berbalik arah (Goldfajn and Gupta, 2002). Dalam kondisi dimana hanya terjadi krisis mata uang, kebijakan moneter ketat mempunyai potensi untuk menstabilkan nilai tukar dan sektor keuangan. Namun, apabila juga terjadi krisis perbankan maka yang terjadi adalah kondisi sebaliknya. Dalam situasi yang demikian, keoptimalan respon kebijakan moneter juga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah sampai sajauhmana currency

mismatch yang terjadi pada neraca keuangan bank-bank domestik, serta sampai sejauhmana kewenangan (discretion) bank sentral dalam menyuplai likuiditas dalam situasi krisis (Shin, 2005). Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, kompleksitas permasalahan, yang menyebabkan ketidakoptimalan respon kebijakan, terjadi tidak hanya tercerin pada peningkatan suku bunga yang sangat tinggi, namun juga aliran likuiditas yang sangat besar.

IV.3. Perbandingan State-Contingent Rule dengan Simple Rules Lain Dalam studi ini, beberapa simple rule yang diperhitungkan adalah Taylor rule, Taylor-

Smoothing rule, dan McCallum rule. Formulasi masing-masing policy rule tersebut dapat disampaikan sebagi berikut. (i) Taylor rule (Taylor, 1993): it = α + γπ (πt - π∗) + γy (yt - y*) α = i*t + πt ,dimana it adalah suku bunga kebijakan (jangka pendek), i*t adalah suku bunga keseimbangan jangka panjang, yt adalah output riil, dan πt adalah rata-rata inflasi dalam empat periode terakhir. Sementara itu, π∗ dan y* masing-masing merupakan target inflasi dan tingkat output potensial.

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

327

(ii) Taylor-Smoothing rule (Clarida, Galli, and Gertler, 1998):14 it = α + γπ (Et [πt+1]- π∗) + γy (yt - y*) α = ρit+1 + (1 - ρ)it ,dimana it adalah suku bunga kebijakan yang ditargetkan, it suku bunga kebijakan aktual, dan Et[πt+1] adalah ekspektasi inflasi satu periode ke depan. Sementara itu, ρ adalah smoothing

parameter, yang menangkap proses penyesuaian dalam perilaku suku bunga kebijakan. (iii) McCallum rule (McCallum, 1987): bt = α - ∆ v γx (x* - xt-1) , dimana bt adalah pertumbuhan uang primer (base money), α = x* adalah target pertumbuhan output nominal per periode (rata-rata dalam setahun), xt-1 adalah output nominal aktual pada periode sebelumnya, dan ∆v adalah rata-rata perubahan base velocity dalam siklus kurun waktu beberapa tahun terakhir (misal 4 tahun) . Untuk tujuan analisis, penaksiran parameter dari masing-masing policy rule tersebut dilakukan dengan beberapa asumsi pokok, yaitu: (i) target inflasi jangka menengah/panjang sebesar 5%; (ii) output potensial ditaksir dengan menggunakan metode filterisasi HoddrickPrescott; (iii) pertumbuhan output nominal jangka penengah/panjang 12% (inflasi sebesar 5% dan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%). Dengan memperhitungkan adanya perilaku komponen policy rule yang tidak sistematik, yang tercermin dari perilaku error-term, serta keterkaitan antar variabel dalam persamaan, maka persamaan Taylor rule dan McCallum rule ditaksir dengan menggunakan metode penaksiran Ordinary Least Squares (OLS), sementara Taylor-Smoothing rule ditaksir dengan menggunakan metode penaksiran Generalized Method of Moment (GMM).15 Dalam kaitan ini, variabel instrumental yang digunakan adalah data dua periode terakhir dari variabel-variabel inflasi tahunan, output gap, pertumbuhan uang primer tahunan, dan konstanta. Selain itu, 14 Clarida, Galli, and Gertler (1998) mengajukan disain rule yang merupakan modifikasi dari spesifikasi Taylor rule, yaitu dengan memperhitungkan adanya pemulusan suku bunga kebijakan (interest rate smoothing). Dalam kaitan ini, Taylor rule dengan spesifikasi standar pada umumnya dianggap terlalu restriktif dalam menggambarkan perilaku suku bunga aktual. Paling tidak terdapat tiga alasan: (i) spesifikasi tersebut mengasmsikan terdapatnya penyesuaian perilaku suku bunga kebijakan yang bersifat segera sehingga mengabaikan adanya kecenderungan bank sentral untuk melakukan pemulusan (smoothing), (ii)spesifikasi tersebut mengasumsikan bahwa suku bunga kebijakan bereaksi secara sistematis terhadap kondisi ekonomi sepanjang waktu, sehingga tidak memperhitungkan adanya kerandoman dalam langkah kebijakan, dan (iii) spesifikasi tersebut mengasumsikan bahwa bank sentral dapat mengendalikan suku bunga kebijakan dengan sempurna, pada target yang diinginkan. 15 Generalized Method of Moments (GMM) adalah metode penaksiran yang merupakan robust esrimator, dengan prinsip melakukan pemilihan nilai taksiran parameter (parameter estimate) agar moments dari sampel selaras dengan moments dari populasi, yaitu sama dengan nol. Dengan demikikian, keterkaitan teoritis yang disyaratkan adalah adanya kondisi ortogonalitas (orthogonality conditions) antara suatu fungsi dari parameter, linier atau non-linier, dengan kumpulan variabel instrumental (instrumental variables). Berbeda dengan metode penaksiran OLS dan MLE, GMM tidak menyaratkan adanya informasi mengenai bentuk distribusi dari residual. Selain itu, metode penaksiran pada umumnya merupakan kasus spesial dari GMM.

328 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

normalisasi parameter preferensi kebijakan bank sentral dilakukan dalam penaksiran Taylor

rule melalui restriksi parameter+ =1. Adapun hasil penaksiran parameter persamaan dengan menggunakan data kuartalan mulai awal tahun 1980 disampaikan pada Tabel 3 (untuk memudahkan interpretasi ditampilkan dalam format yang lebih sederhana: Tabel II.3. Hasil penaksiran parameter policy rule Policy Rule 1.a. 1.b. 2.

Taylor Taylor-Smoothing McCallum

α

ρ

γπ

13 12 5

0,4 -

0,5 0,7 -

γy

γx

0,5 0,3 -

0,3

Dari hasil tersebut dapat dilihat beberapa hal bahwa: (a) Parameter pada Taylor rule berkisar antara 12√13%. Untuk kasus peekonomian Amerika Serikat, Taylor menetapkan judgment untuk parameter sebesar 4%, dengan rincian suku bunga keseimbangan jangka panjang dan rata-rata target inflasi masing-masing-masing sebesar 2%. Dengan melihat perkembangan historis data inflasi di Indonesia yang rata-rata sekitar 6 √ 7 %, maka hal tersebut yang berimplikasi bahwa dalam suku bunga keseimbangan jangka panjang di Indonesia berkisar antara 5 √ 7 %. Dalam jangka panjang, apabila target inflasi 5% dapat diperihara, maka suku bunga keseimbangan akan berkisar antara 7 √ 8%. Spesifikasi Taylor rule standard menunjukkan adanya penyeimbangan prioritas strategi kebijakan dalam pencapaian kestabilan harga dan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, dengan memperhitungkan adanya proses penyesuaian perilaku suku bunga kebijakan secara gradual, terlihat bahwa pegendalian inflasi mendapatkan prioritas lebih. (b) Parameter pada McCallum rule mencapai 5%. Angka berbeda dari target pertumbuhan output nominal yang ditetapkan, sebagaimana rumusan McCallum, yaitu sebesar rata-rata 3% per triwulan. Secara empiris, perbedaan tersebut dimungkinkan terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia yang mengalami perubahan struktural yang berarti dalam dua dasawarsa terakhir. Dalam kaitan ini, perbedaan sebesar 2% dapat diperhitungkan sebagai margin positif dalam kaitannya dengan perubahan base velocity dalam siklus jangka panjang. Perbandingan perilaku policy variables (respon kebijakan) dengan menggunakan rumusan

State-Contingent rule dan masing-masing simple rule secara kualitatif (visual) dapat dilihat pada Grafik II.5 dan Grafik II.6. Dapat dilihat bahwa secara umum, respon kebijakan yang didasarkan pada rumusan Taylor rule, baik versi standard maupun dengan memperhitungkan

interest rate smoothing, bebeda dengan respon kebijakan dengan sasaran operasional suku bunga yang didasarkan pada rumusan State-Contingent rule. Secara signifikan perbedaan

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

329

terlihat pada tiga periode, yaitu periode sebelum 1 Juni 1983 (1980 √ 1982), periode 1988 √ 1989, dan periode awal krisis (1997.3 √ 1999). Pada dua periode pertama terlihat bahwa rumusan respon kebijakan berdasarkan Taylor rule mengimplikasikan stance kebijakan yang cukup longgar pada periode awal 1980-an, dan sebaliknya terlalu ketat pada masa diterapkannya Pakto 1988. Kedua kondisi tersebut kurang didukung oleh fakta empiris yang terjadi. Sementara itu, pada awal masa krisis masing-masing rumusan Taylor rule mengindikasikan stance kebijakan moneter berbeda, yaitu terlalu ketat (Taylor rule) dan relatif optimal (Taylor-Smoothing rule). Hasil tersebut menyimpulkan bahwa respon kebijakan berdasarkan rumusan State-Contingent

rule suprior dibandingkan dengan respon kebijakan berdasarkan rumusan Taylor rule. Sementara itu, temuan yang cukup menarik adalah berkaitan dengan penerapan respon kebijakan moneter berdasarkan sasaran operasional uang primer. Dapat dilihat bahwa secara umum, terdapat kecenderungan arah respon kebijakan yang didasarkan pada rumusan

McCallum rule relatif selaras dengan respon kebijakan dengan sasaran operasional uang primer

% 70 State Cont. Rule 1 Tylor Rule Tylor-Smoothing Rule

60 50 40 30 20 10 0 80

82

84

86

88

90

92

94

96

98

00

02

88

90

92

94

96

98

00

02

% 40 M-Stance 1 (SCR) M-Stance 1 (TR) M-Stance 1 (TSR)

30 20 10 0 -10 -20 80

82

84

86

Grafik II.5. Perbandingan policy rule 1: interest rate rule

330 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

yang didasarkan pada rumusan State-Contingent rule. Dalam kaitan ini, perbedaan yang terjadi lebih terkait pada intensitas dari respon kebijakan yang diterapkan, misalnya ≈terlalu∆ atau hanya sekadar ≈cukup∆, sehingga konsekuensi yang ditimbulkan pada evaluasi stance kebijakan umumnya tidak terlalu serius.

50

% State Cont. Rule 1 McCallum Rule

40

30

20

10

0 86

88

90

92

94

96

98

00

02

92

94

96

98

00

02

% 60 M-Stance 2 (SCR) M-Stance 2 (MCR)

40

20

0

-20

-40 86

88

90

Grafik II.6. Perbandingan policy rule 2:monetary base rule Keterangan: Indikator stance kebijakan moneter (monetary stance) pada grafik panel bawah merupakan selisih antara perkembangan indikator sasaran operasional aktual terhadap optimal rule-nya.

Perbedaan interpretasi terlihat pada periode mulai 1985 sampai pertengahan 1988, dimana kebijakan moneter dilaksanakan secara berhati-hati (discretionary policy) di tengahtengah tekanan pada neraca pembayaran. Dalam hal ini, rumusan McCallum rule mengindikasikan adanya respon kebijakan yang terlalu ketat, sementara rumusan State-

Contingent rule mengindikasikan kebijakan moneter yang cukup optimal. Selain itu, pada periode krisis ekonomi (1997.3 √ 1999), rumusan McCallum rule tidak dapat mengakomodir sepenuhnya

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

331

pengaruh krisis ekonomi pada lonjakan pertumbuhan besaran moneter, yang tercermin pada taksiran perkembangan respon kebijakan yang relatif sama dengan periode sebelum dan sesudahnya, sehingga respon kebijakan diindikasikan dalam tingkatan yang sangat ketat, melebihi indikasi yang dihasilkan dari rumusan State-Contingent rule. Analisis perbandingan selanjutnya dilakukan secara kuantitatif, yaitu dengan melakukan penaksiran fungsi kerugian bank sentral berdasarkan taksiran perkembangan sasaran operasional yang mencerminkan respon kebijakan moneter yang optimal. Dari sisi metodologi dan empiris, langkah tersebut dapat diterapkan pada perbandingan respon dengan sasaran operasional suku bunga, yaitu antara State-Contingent rule dengan Taylor rule. Dalam kaitan ini, untuk mengamati keterkaitan antara perkembangan suku bunga dengan fungsi kerugian bank sentral, dilakukan penyederhanaan dengan penggunaan sistem permodelan »ad-hoc» yang diajukan oleh Ball (1997), yang terdiri dari kurva IS dinamis sebagai representasi permintaan agregat dan Kurva Phillips sebagai representasi penawaran agregat. Sementara itu, fungsi kerugian kuadratik distandarisasi dengan mengetengahkan peran variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter dengan bobot yang agak berbeda. Dalam kaitan ini, sesuai dengan hasil penaksiran preferensi strategis kebijakan, rata-rata bobot pertumbuhan ekonomi dan inflasi berdasarkan perilaku State-Contingent rule masing-masing adalah sekitar 0,6 dan 0,4. Sementara itu, berdasarkan perilaku Taylor rule rata-rata bobot pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah sama, yaitu masing-masing 0,5. Selanjutnya, dengan asumsi bahwa level sasaran akhir yang ditargetkan sama dan bersifat konstan, serta dimungkinkan timbulnya biaya penggunaan instrumen kebijakan dalam bentuk fluktuasi perilaku sasaran operasional terkait, maka fungsi kerugian bank sentral (berdasarkan perilaku policy rule) ditaksir dari penjumlahan varians dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan perubahan policy rule. Hasil penaksiran fungsi kerugian bank sentral berdasarkan respon State-Contingent rule menunjukkan jumlah varians pertumbuhan ekonomi dan inflasi sebesar 0,037%, serta biaya penggunaan instrumen sebesar 0,113%. Sementara itu, berdasarkan Taylor rule, jumlah varians pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah sebesar 0,040%, dengan biaya penggunaan instrumen sebesar 0,133%. Dengan demikian, dengan atau tanpa memperhitungkan biaya penggunaan instrumen kebijakan, fungsi kerugian bank sentral berdasarkan respon State-Contingent rule lebih kecil (relatif minimal) dibandingkan dengan fungsi kerugian bank sentral berdasarkan respon Taylor rule, yaitu dengan rasio masing-masing sekitar 0,93 (tanpa biaya penggunaan instrumen) dan 0,87 (dengan biaya penggunaan instrumen); masing-masing lebih kecil dari satu. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai policy rule, State-Contingent rule mempunyai kontribusi yang lebih besar (superior) dalam mendukung pelaksanaan kebijakan moneter yang efisien.

332 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

V. KESIMPULAN Perumusan kerangka kebijakan moneter yang sesuai, dengan mengacu pada prinsipprinsip keoptimalan, untuk kasus Indonesia tentunya tidaklah mudah. Hal ini mengingat karakteristik perekonomian Indonesia cukup unik dan masih dalam proses transisi struktural dan kelembagaan yang cukup panjang, yang diwarnai dengan tingginya fluktuasi beberapa perkembangan variabel makro ekonomi. Penelitian ini mengetengahkan satu hal yang mendasar dalam merumuskan respon kebijakan yang optimal untuk kasus di Indonesia, yaitu bahwasannya rumusan respon kebijakan yang didasarkan pada disain ≈State-Contingent rule∆ berhasil merepresentasikan disain policy rule yang optimal bagi perekonomian Indonesia. Disain policy

rule tersebut mengakomodir baik respon kebijakan jangka panjang maupun jangka pendek dengan mekanisme pengkoreksian kesalahan (error correction), serta keberadaan shocks spesifik yang muncul dari adanya perubahan struktural perekonomian secara tiba-tiba maupun perubahan dinamis dari adanya unsur ketidakpastian yang mempengaruhi volatilitas perilaku respon kebijakan moneter. Dua aspek terkait yang dapat ditarik dari hasil pengujian empiris adalah bahwa berdasarkan perumusan respon kebijakan moneter yang optimal dalam disain «State-Contingent rule», evaluasi kinerja kebijakan moneter dalam merespon perkembangan yang terjadi menunjukkan kekurangoptimalan (sub-optimal) penerapan respon kebijakan moneter pada beberapa periode, terutama yang terkait dengan terlalu ketat atau longgarnya respon kebijakan. Sementara itu, sebagai sebagai suatu policy rule, dengan diperhitungkannya komponen mekanisme penyesuaian perubahan struktural, State-Contingent rule relatif superior dibandingkan dengan

simple policy rule lain yang lazim digunakan, yaitu Taylor rule dan McCallum rule. Hasil tersebut juga didukung oleh penaksiran fungsi kerugian bank sentral, yang menunjukkan bahwa State-

Contingent rule mempunyai kontribusi yang lebih besar dalam mendukung pelaksanaan kebijakan moneter yang efisien dibandingkan dengan Taylor rule, dalam artian bahwa State-

Contingent rule menghasilkan taksiran fungsi kerugian yang relatif minimal dibandingkan Taylor rule, yaitu dengan rasio rata-rata sebesar 0,9 (lebih kecil dari 1). Selain itu, perilaku jangka panjang State-Contingent rule tersebut dapat diidentifikasikan dengan baik dalam kondisi dengan adanya perubahan struktural dan unsur ketidakpastian. Berkaitan dengan hasil evaluasi stance kebijakan moneter pada masa krisis ekonomi (1997.3 √ 1999), dapat disimpulkan bahwa respon kebijakan moneter yang berlawanan arah dan tidak optimal (pada level ekstrim) pada periode ini sangat terkait dengan fenomena twin

crises. Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, fenomena twin crises telah menyebabkan peningkatan suku bunga SBI sempat dilakukan beberapa kali, mengingat peningkatan suku bunga pada tahap awal belum mampu meredam perlemahan rupiah, sementara kepercayaan

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

333

pasar pada sistem keuangan terus menurun sehingga terjadi penarikan dana simpanan perbankan yang sangat besar (bank runs). Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi perbankan dan perekonomian secara makro, bantuan likuiditas (BLBI) kepada perbankan diberikan dalam jumlah yang sangat besar, sehingga pada gilirannya mendorong ekspansi besaran moneter yang sangat drastis. Pada tahap berikutnya, untuk menyerap kelebihan likuiditas di masyarakat dan membatasi ekspansi BLBI, kebijakan pengetatan moneter kembali dilakukan, antara lain melalui peningkatan suku bunga. Sementara itu, terkait dengan pengidentifikasian respon kebijakan dengan adanya perubahan struktural, dapat dilihat pula adanya perbedaan perilaku antara disain State-

Contingent rule dan simple rules, misalnya Taylor rule. Dalam disain State-Contingent rule, perubahan struktural dalam perekonomian secara otomatis diakomodir melalui keberadaan dua komponen, yaitu error correction terms dan shocks spesifik (misalnya gejolak nilai tukar pada periode krisis) dalam bentuk impuls. Sementara itu, dalam disain Taylor rule, komponen mekanisme penyesuaian tersebut tidak ada, sehingga pengamatan terhadap kemungkinan adanya perubahan respon diamati melalui penggunaan variabel dummy (structural break). Yang terakhir, di luar beberapa temuan yang telah diuraikan di atas, perlu dikemukakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini lebih ditujukan pada relevansi permasalahan yang diajukan serta asumsi yang mendasari, khususnya terkait dengan pengaruh kebijakan dan perkembangan di sektor-sektor lain (fiskal, nilai tukar, dan riil) yang berjalan seperti yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia. Dengan demikian, dengan adanya kendala keterbatasan dan pengolahan data (terutama data kesempatan kerja), potensi perubahan karakteristik perkembangan data, keunikan struktur perekonomian Indonesia, serta pergeseran orientasi kebijakan moneter, terutama pada masa terjadinya twin crises pada periode 1997.3 √ 1999, sangat diperlukan suatu kehati-hatian dalam menginterpretasikan ≈magnitude∆ parameter permodelan. Selain itu, juga disadari akan perlunya penggunaan kerangka pengkajian alternatif, atau bahkan pengembangan kerangka permodelan yang lebih realistis. Hal tersebut terutama terkait dengan fakta bahwa sebagai salah satu aspek strategis dalam bidang kajian kebijakan, perumusan kerangka kerja kebijakan moneter akan senantiasa menjadi suatu topik kajian yang layak untuk dicermati. Demikian pula, penelitian dengan hasil yang telah disampaikan di atas pada dasarnya juga dapat dianggap sebagai suatu penelitian awal. Dalam perspektif yang lebih luas, dalam penelitian ini belum dikaji secara tegas beberapa hal, antara lain terkait dengan konsistensi dan kredibilitas kebijakan moneter. Berkaitan dengan penyusunan kerangka kebijakan moneter yang berlangsung saat ini, topik lanjutan tersebut tentunya merupakan suatu yang penting untuk dilakukan selanjutnya.

334 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Daftar Pustaka

Ball, L. (1997), ≈Efficient rule for Monetary Policy∆, NBER Working Paper No. 5952, March. Bank Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 1999, yang diamandemen dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004. Bernanke, B. et al. (1999), Inflation Targeting: Lessons from International Experience, Princenton University Press. Blake, Andrew P. (1998), et al., ≈Optimal Monetary Policy∆, National Institute Economic Review. Blake, Andrew P. (2000), ≈Optimality and Taylor Rules∆, mimeo, National Institute of Economic and Social Research. Boughton, James M. (2002), ≈Why White, Not Keyness? Inventing the Postwar International Monetary System∆, IMF Working Paper, WP/02/52, Washington DC. Clarida, R.H. (2001), ≈The Empirics of Monetary Policy rules in Open Economies∆, on Seminar on Monetary Policy in Open Economics, IMF, June 2001. Clarida, Richard, Jordi Gali, and Mark Gertler (1998), ≈Monetary Policy Rules in Practice: Some International Evidence,∆ European Economic Review, Vol. 42, pp. 1033-67. Fischer, Stanley (1996), Central Banking: the Challenges Ahead √ Maintaining Price Stability, Finance and Development. Garratt, A., K. Lee, M.H. Pesaran, Y. Shin (1998), ≈A Long Run Structural Macroeconomic Model of the UK∆, DAE Working Paper, University of Cambridge, June, Revised April 2001. Garratt, A., K. Lee, M.H. Pesaran, Y. Shin (1999), ≈A Structural Cointegrating VAR Approach to Macroeconomic Modelling∆, DAE Working Paper, University of Cambridge, January. Goldfajn, Ilan and Poonam Gupta (2002), «Overshootings and Reversals: The Role of Monetary Policy», in Banking, Financial Integration, and International Crises, edited by Hernandez and Klaus Schmidt-Hebbel, Central Bank of Chile. Kaminsky, G. L. and Carmen M. Reinhart (1999), «The Twin Crises: The Causes of Banking and Balance of Payments Problems», American Economic Review, Vol. 89, No. 3. King, Menvyn (1997), ≈Changes in the UK Monetary Policy: rules and Discretion in Practice∆,

Journal of Monetary Economics, 39,. McCallum, Bennett T. (1987), ≈Robustness Properties of a rule for Monetary Policy∆, Carnegie-

Rochester Conference Series on Public Policy, Autumn. ________ (2001), ≈Should Monetary Policy Respond Strongly to Output Gaps?∆, NBER Working

Paper No. 8226, April.

Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The State-Contingent Rule?

335

_________ and E. Nelson (1999),∆Performance of operational Policy rules in an Estimated Semi-Classical Structural Model∆, in Taylor, J.B. (ed) Monetary Policy rules, University of Chicago Press for NBER. Muchlinski, Elke (2002), Against Rigid rules √ Keynes»s Economic Theory, Discussion Paper, Frein Universitat Berlin. Pesaran, MH, Y. Shin and RJ Smith (1998), ≈Structural Analysis of Error Correction Models∆,

DAE Working Paper, University Chambridge. Pesaran, M.H. and Yongcheol Shin (1997), ≈Generalized Impulse Response Analysis in Linier Multivariate Models∆, DAE Working Paper, University Chambridge, Mei, Revised July. Rudebusch, G. D. and Lars E. O. Svensson (1998), ≈Policy rules for Inflation Targeting∆, NBER

Working Paper, No. 6512, April. Sarwono, H.A. dan Warjiyo, P. (1998), ≈Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter dalam Sistem Nilai Tukar Fleksibel: Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia∆, Buletin

Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 1. Shin, Hyung Song (2005), ≈Liquidity and Twin Crises∆, Working Paper, London School of Economics, January. Sims, Christoper A. (1992), ≈Interpreting the Macroeconomic Time Series Facts: The Effects of Monetary Policy∆, Cowles Foundation Discussion Paper, No.1011. _________ (1986), «Are Forecasting Models Usable for Policy Analysis?», FRB of Minneapolis

Quarterly Review, No.10. Solikin (2005), «Analisis Kebijakan Moneter dalam Model Makroekonometrik Struktural Jangka Panjang: Structural Cointegrating Vector Autoregression», Buletin Ekonomi Moneter dan

Perbankan, Bank Indonesia, Vol. 8 (2). ________ (1998), ≈The Stability of Income Velocity, Demand for Money, and Money Multiplier in Indonesia, 1971-1996∆, Unpublished Working Paper, Department of Economics, The University of Michigan, August. Svensson, Lars E.O. (1997), ≈Optimal Inflation Targets, ≈Consevative∆ Central Banks, and Linear Inflation Contracts∆, The American Economic Review, March. ________ (1997), ≈Inflation Forecast Targeting: Implementing and Monitoring Inflation Targets∆,

European Economic Review, Vol. 41. ________ (2002), ≈Inflation Targeting: Should It be Modeled as AnInstrument rule or A Targeting rule?∆, NBER Working Paper, No. 8925, May. Taylor, J.B. (1993), ≈Discretion versus Policy rules in Practice∆, Carnegie-Rochester Congferences

Series on Public Policy, 39. _________ (1996), ≈How Should Monetary Respond to Shocks While Maintaining Long-Run Price Stability √ Conceptual Issues∆, Conference Paper, Federal Reserve Bank of Kansas.

336 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

_________ (2000), ≈Using Monetary Policy rules in Emerging Market Economies∆, Conference Paper, Banko de Mexico. Woodford, Michael (2003), Interest and Prices: Foundations of A Theory of Monetary Policy, Princenton University Press, NJ.

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

337

MENGKAJI PERUBAHAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN PASAR SAHAM

Untoro, Priyo R. Widodo 1

Abstract

This paper analyzes the relationship between the Exchange rate and the stock market in Jakarta, Singapore, Malaysia, Thailand, Philippine and Hongkong using a high frequency data. We applied the Vector Autoregressive method on the daily data covering 1 July 1997 to 30 June 2006. The analysis provides several results as follows: (i) the exchange rate movements is influenced by the regional and the Hongkong stock market index, except Thailand, (ii) Jakarta stock market index is influenced by the regional stock market except Thailand, (iii) the Rupiah rate influence the regional and Hongkong stock index, (iv) the Jakarta»s stock market index is integrated to the regional stock market index. These results may be a usefull as an additional guidance to evaluate the Rupiah»s exchange rate and the regional stock market movement in general.

JEL Classification: C32, F31, G15

Keywords: Stock, Vector Autoregressive, exchange rate.

1 Untoro is a senior researcher in PPSK√ Bank Indoneisa ([email protected]); Priyo R. Widodo is a researcher in PPSK√ Bank Indonesia ([email protected]) .

338 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

I. PENDAHULUAN Kegiatan portfolio investasi oleh pelaku pasar luar negeri kedalam aset dalam negeri, yaitu dalam penanaman di pasar modal dapat mempengarui pergerakan nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Indikasi ini tampak pada grafik pergerakan nilai tukar rupiah dan grafik pergerakan indeks harga saham gabungan bursa efek Jakarta. Pergerakan yang terjadi secara grafis menunjukkan pergerakan yang simetris, dimana penguatan nilai tukar akan diikuti oleh penguatan indeks harga saham. Demikian pula sebaliknya perlemahan indeks harga saham akan diikuti dengan menelahnya nilai tukar rupiah.

Rupiah

Indeks

18.000

1.800

16.000

1.600

14.000

1.400

12.000

1.200

Rupiah

10.000

1.000

8.000

800

6.000

600

4.000

IHSG

2.000 0

30 Des 01 01 01 30 27 25 22 19 16 14 11 09 06 04 01 29 25 24 20 19 Jul Jan Jun Des Jun Des Jun Des Jul Des Jun Des Jun Des Mei Nop Mei Nop Mei 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

400 200 0

Sumber: CEIC Data

Grafik III.1 Perkembangan Harian Nilai tukar Rupiah dan Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan Jakarta

Atas dasar kajian grafis tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan pengujian atas hubungan simetris tersebut. Kajian tersebut diperlukan karena kajian mengenai hubungan antara pergerakan nilai tukar dan pergerakan saham penting dilakukan dalam kerangka kebijakan moneter, karena pergerakan diantara kedua pasar tersebut pada umumnya saling berkaitan. Dalam teori ekonomi klasik (lihat Dornbusch dan Fisher, 1980) dijelaskan bahwa pergerakan nilai tukar akan berdampak pada international competitiveness dan posisi neraca perdagangan serta kepada real output dari suatu Negara, yang selanjutnya akan berdampak pada cash flow dari perusahaan dan harga saham dari perusahaan tersebut. Untuk melakukan kajian lebih mendalam, maka kajian terhadap volatilitas nilai tukar rupiah dan pasar saham di Indonesia akan dibandingkan dengan kasus yang sama dari beberapa Negara lainnya yaitu Singapore, Malaysia, Thailand, Philipine dan Hongkong. Pembandingan ini perlu dilakukan dalam kaitannya dengan upaya untuk menangkap kecenderungan Negara tujuan kegiatan portfolio investasi yang dilakukan oleh para investor.

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

339

Dalam periode Januari 1998 hingga Desember 2005, perkembangan pasar saham di Indonesia menunjukkan perkembangan yang bergejolak dengan tren jangka panjang indeks harga saham yang meningkat. Sementara itu, pada periode yang sama terjadi pula gejolak pada nilai tukar rupiah dan tren jangka panjangnya menunjukkan penguatan nilai tukar rupiah. Paper ini melakukan pengujian kemungkinan adanya saling pengaruh antara perubahan harga saham di Indonesia dengan perubahan nilai tukar rupiah ini. Lebih jauh penelitian ini mengkaji keterkaitan harga saham di Indonesia dan beberapa negara lain yakni Malaysia, Singapura, Hong Kong, Filipina dan Thailand.

II. TEORI Literatur empiris yang menguji hubungan harga saham dengan nilai tukar sebagian besar menguji keterkaitan tersebut dalam negara maju, namun masih sedikit yang memberikan perhatian dalam negara yang sedang berkembang. Hasil studi tersebut tidak menunjukkan kesimpulan yang mengkerucut. Studi yang dilakukan Smith (1992), Solnik (1997) dan Aggarwal (1981) menemukan hubungan positif yang signifikan antara harga saham dengan nilai tukar. Sebaliknya, Soenen dan Hennigar (1998) menemukan hubungan negatif yang signifikan. Selain itu, studi yang dilakukan Franck dan Young (1972) serta Eli Bartov dan Gordo (1994) menunjukkan keterkaitan yang lemah diantara kedua pasar. Hubungan arah kausalitas keduanya juga tidak seragam. Abdala dan Murinde (1997) menemukan arah kausalitas dari nilai tukar ke harga saham, namun Ajayi dan Moungoe (1996) melaporkan sebaliknya yaitu kausalitas terjadi dari harga saham ke nilai tukar. Sedangkan, Bahmani Oskooe dan Sohrabian (1992) menyatakan adanya kausalitas dua arah antara harga saham dan nilai tukar dalam jangka pendek tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang. Hubungan antara harga saham dan nilai tukar belum ada keseragman atau konsesus teori. Misalnya, model keseimbangan portofolio penentu nilai tukar menyatakan hubungan negatif antara harga saham dan nilai tukar dengan arah kausalitas dari harga saham ke nilai tukar. Dalam model ini, individu-individu memegang aset domestik dan asing, termasuk mata uang dalam portofolio mereka. Nilai tukar mempunyai peran dalam menyeimbangkan permintaan dan penawaran aset. Kenaikan harga saham domestik mendorong individu untuk membeli lebih banyak aset domestik. Investor lokal yang ingin membeli lebih banyak aset domestik akan menjual aset asing yang menyebabkan mata uang domestik mengalami apresiasi. Kenaikan kesejahteraan akibat kenaikan harga aset domestik akan mendorong investor meningkatkan permintaan uang yang pada gilirannya akan meningkatkan tingkat bunga domestik. Selanjutnya, kenaikan tingkat bunga tersebut akan menarik modal asing yang mendorong apresiasi mata uang domestik.

340 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Sebaliknya, hubungan positif antara harga saham dan nilai tukar dengan arah kausalitas dari nilai tukar ke harga saham disebabkan depresiasi mata uang domestik menjadikan perusahaan domestik lebih kompetitif yang menorong kenaikan ekspor mereka. Kondisi ini selanjunya meningkatkan harga saham-saham perusahaan tersebut. Penjelasan mengenai lemahnya keterkaitan antara harga saham dan nilai tukar dapat dijelaskan dengan asset market approach. Pendekatan ini menyatakan nilai tukar menjadi penentu harga suatu aset (harga satu unit mata uang asing). Sehingga, seperti halnya hargaharga asset lain, nilai tukar juga ditentukan oleh ekspetasi nilai tukar mendatang. News atau faktor yang mempengaruhi nilai tukar masa mendatang akan mempengaruhi nilai tukar sekarang. Faktor atau news yang menyebabkan perubahan nilai tukar mempunyai kemungkinan untuk berbeda dengan faktor yang menyebabkan perubahan harga saham. Perbedaan inilah yang menyebabkan tidak ada keterkaitan antara nilai tukar dan harga saham.

II.1 Pengaruh pasar saham terhadap nilai tukar Mishkin (2001) menjelaskan pengaruh kenaikan harga-harga saham terhadap pengeluaran. Pengaruh ini berawal ketika kenaikan harga saham meningkatkan investasi yang dilakukan oleh perusahaan. Nilai equiti perusahaan meningkat dengan adanya kenaikan harga saham sedangkan dalam jangka pendek harga-harga equipment tidak berubah. Akibatnya investasi menjadi lebih murah dan perusahaan terdorong melakukan investasi lebih banyak lagi. Dengan demikian, investasi merupakan fungsi dari harga saham:

I = f (R, SP)

(III.1)

√,+ Di mana I adalah investasi, SP adalah harga-harga saham, dan R tingkat bunga pinjaman. Kedua, kenaikan harga saham akan berpengaruh positif terhadap nilai asset keuangan yang dipegang rumah tangga dengan meningkatkan kekayaan rumah tangga dan konsumsi. Orang yang mempunyai kakayaan lebih biasanya lebih memilih illiquid assets, artinya pengeluaran terhadap baranng durables dan perumahan akan meningkat.

C = f [ MPC (Y-T), W(SP) ] +

,

(III.2)

+

di mana C adalah konsumsi, Y adalah pendapatan, T adalah pajak, W adalah kekayaan dan MPC adalah marginal propensity to consume. Perekonomian suatu negara akan mempunyai pengeluaran (E) agregat sama dengan pendapatan (Y) dalam posisi keseimbangan, selajutnya dapat dituliskan sebagai:

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

Y=E= C + I + G + NX = C(MPC(Y-T), W(SP)) + I(S, SP) + G + NX +,+

+

-,+

+

341

(III.3)

+

di mana G adalah pengeluaran pemerintah, dan NX adalah ekspor bersih. Dengan memasukan pengaruh harga saham terhadap pola konsumsi dan investasi diperoleh hubungan investasi dan tabungan (IS) yang tergantung dari harga-harga saham. Ini modifikasi perekonomian terbuka Model Mundell-Fleming. Alur kedua berbeda dari model standar yaitu dangan suatu asumsi keterkaitan jangka pendek antara nilai tukar nominal dan

current account. Asumsi ini berdasar hubungan negatif antara nilai tukar dengan current account yang disebut J-curve effect. J-curve effect menyatakan bahwa pengaruh segera dari depresiasi adalah membuat current account defisit sebelum berubah menjadi surplus. Ini berarti ada hubungan terbalik antara nilai tukar dan current account. Dengan demikian current account dalam kerangka neraca pembayaran mempunyai karakteristik sebagai berikut:

CA = f (Y, E, Y*)

(III.4)

-, -,+ di mana Y adalah pendapatan domestik, Y* adalah pendapatan luar negeri, dan E adalah nilai tukar nominal. Setelah modifikasi model-model tersebut di susun ulang menjadi:

BP = CA(Y, E, Y*) + K (R √ R*) = 0 -, -, +

(III.5)

+

IS: Y = C(Y, T, W(SP)) + I(R, SP) + G + CA(Y, E, Y*) +, -,

+

+, -

+

(III.6)

-, +, -

LM: MB / P = L (Y, R)

(III.7)

+, di mana CA sebagai current account didefinisikan sebagai: CA = NX = X*P √ M*P*E

(III.8)

X adalah jumlah ekspor, M adalah jumlah impor, P adalah tingkat nilai tukar mata uang domestik yang tetap dalam model jangka pendek, MB/P adalah keseimbangan mata uang riil, K adalah neraca modal, R adalah tingkat bunga pinjaman, serta NX adalah ekspor bersih. Model tersebut secara sederhana divisualisasikan pada Grafik III.2 Kurva BP menunjukkan indentitas akuntansi neraca pembayaran. Ini merupakan mekanisme yang menyeimbangkan pasar modal dan keuangan internasional. Negara yang memiliki current account negatif, akan meminjam uang dari luar. Kurva BP yang berslope slightly

342 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

LM

R

BP 1

B



BP A IS 1

Ro *

IS Y



Y

Grafik III.2 : Model Mundell-Fleming Perekonomian Terbuka dan Reaksi Terhadap kejutan Pasar Modal

upward mengikuti asumsi imperfect capital mobility. Kurva LM menggambarkan tingkat pendapatan ( Y ) dan tingkat bunga ( R ) keseimbangan yang mungkin tercapai dalam pasar uang domestik. Keseimbangan pasar uang akan konsisten lebih tinggi jika bank sentral melakukan penawaran uang tetap. Sehingga kurava LM mempunyai slope upward. Kurva IS mencerminkan keseimbangan antara tabungan danninvestasi dalam perekonomian. Perusahaan akan meminjam lebih banyak ketika tingkat bunga rendah (lebih murah) sehingga pengeluaran (output) dalam keseimbangan menjadi lebih tinggi. Kenaikan harga-harga saham akan meningkatkan tingkat pengeluaran pada tingkat bunga tertentu (kurva IS bergeser ke kanan IS1). Kurva LM tidak terpengaruh perubahan harga-harga saham. Sehingga, pengaruh positif kenaikan harga-harga saham adalah keseimbangan baru dengan output dan tingkat bunga yang lebih tinggi di titik B. Keseimbangan baru yang berada di atas kurva BP menegaskan bahwa untuk setiap output tertentu tingkat bunga yang terjadi adalah lebih tinggi dari sebelumnya. Tingkat bunga yang lebih tinggi ini menarik aliran modal asing masuk (R > R* mendorong kenaikan K dalam persamaan 5). Hasilnya neraca pembayaran menjadi surplus (BP > 0). Penyesuaian neraca modal dapat berlangsung cepat dalam pasar yang mempunyai mobilitas tinggi. Keseimbangan baru di titik B juga mempunyai tingkat pendapatan (Y) lebih tinggi. Hal ini konsisten dengan pengeluaran yang lebih tinggi dari perekonomian domestik dan luar negeri yang berakibat kenaikan impor dan memburuknya current account (lihat persamaan 8). Meski, impor tidak segera menyesuaikan diri secepat pasar modal dalam jangka pendek. Dengan demikian, pengaruh surplus neraca modal lebih besar daripada pengaruh defisit, sehingga

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

343

secara keseluruhan neraca pembayaran adalah surplus. Inilah alasan kenapa titik B di atas kurva B. Untuk mencapai keseimbangan pasar internasional, penyesuaian neraca pembayaran memerlukan jalur nilai tukar ketika harga tetap. Kenaikan nilai tukar (depresiasi mata uang) menyebabkan memburuknya current account dan neraca pembayaran kembali ke nol. Kenaikan nilai tukar sejalan dengan pergeseran kurva BP ke atas ( BP ke BP1). Keseimbangan akhir semua pasar tercapai pada titik B (R1, Y1). Keseimbangan baru ini konsieten dengan tingkat pengeluaran, tingkat bunga, nilai tukar domestik, dan harga-harga saham yang lebih tinggi. Hasil paling penting analisis ini adalah bahwa kenaikan harga-harga saham dikuti dengan depresiasi mata uang.

II.2 Pengaruh Nilai Tukar Terhadap Pasar Saham Nilai tukar mampu mempenagruhi pasar saham melalui beberapa alur. Pertama, depresiasi mata uang menyebabkan penurunan harga-harga saham yang didorong adanya ekspektasi inflasi (Ajayi dan Mongoue, 1996). RER =

E *P P

*

(III.9)

di mana RER merupakan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal yang lebih tinggi dalam jangka pendek sejalan dengan penurunan rasio harga P*/P dalam keseimbangan jangka panjang (nilai tukar riil sama dengan satu). Rendahnya rasio P*/P berimplikasi relatif tingginya harga domestik. Dengan demikian, depresiasi nilai tukar nominal menciptakan ekspetasi inflasi di masa mendatang. Inflasi ditanggapi sebagai berita negatif oleh pasar modal karena cenderung membatasi pengeluaran konsumen dan akan mengurangi pendapatan perusahaan. Kedua, investor tidak mempunyai keinginan untuk memegang asset yang mata uangnya mengalami depresiasi karena akan mengikis pengembalian investasi. Misalnya, kasus depresiasi USD, investor akan menahan diri untuk memegang asset dalam AS termasuk saham. Jika investor asing menjual kepemilikan saham-saham AS maka harga saham akan turun. Ketiga, pengaruh depresiasi nilai tukar akan berbeda terhadap setiap perusahaan tergantung apakah perusahaan mengimpor atau mengekspor lebih banyak dan apakah perusahaan tersebut melakukan hedging dari fluktuasi nilai tukar. Importir akan menanggung biaya yang lebih tinggi karena pelemahan mata uang domestik dan pendapatan menjadi lebih rendah yng berakibat turunnya harga saham.

344 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Terakhir, depresiasi mata uang domestik akan mendorong industri berorientasi ekspor dan melemahkan industri ynag tergantung dari impor. Ini berpengaruh positif terhadap output domestik. Kenaikan output ini dapat dipandang sebagai indikator boming perekonomian yang mendorong kenaikan harga saham. Secara keseluruhan, pengaruh nilai tukar harga-harga saham tidak seragam, keterkaitan positif dan negatif mempunyai dasar pendukung. Ajayi dan Mongoue (1996) mengasumsikan hubungan negatif lebih dominant. Dalam jangka pendek, ekspetasi investor lebih mempengaruhi pasar saham daripada kondisi fundamental perekonomian. Dari uraian di atas, kita dapat melakukan spesifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham sebagai berikut:

SP = f (Y, INF, E)

(III.10)

+, - , di mana Y adalah output, INF adalah inflasi dan E adalah nilai tukar.

II.3 Tinjauan Empiris Franck dan Young (1972) melakukan pengujian hubungan harga saham dan nilai tukar petama kali. Mereka tidak menemukan keterkaitan antara kedua variabel keuangan tersebut. Aggarwal (1981) menguji keterkaitan antara perubahan nilai tukar dolar dan perubahan indek harga saham. Dia menggunakan data harga saham bulanan AS dan nilai tukar riil periode 1974-1978. Hasil penelitian tersebut dengan regresi sederhana menunjukkan bahwa harga saham dan nilai dolar AS berkorelasi positif dan keterkaitan ini lebih kuat dalam jangka pendek daripada dalam jangka panjang. Solnik (1987) menguji dampak beberapa variabel (nilai tukar, tingkat bunga dan perubahan ekspetasi inflasi) terhadap harga saham. Dia menggunakan data bulanan dari sembilan negara. Solnik menemukan depresiasi mempunyai pengaruh positif namun tidak signifikan terhadap pasar saham AS dibandingkan perubahan ekspetasi inflasi dan tingkat bunga. Soenen dan Hanniger (1988) menggunakan data bulanan harga saham dan nilai tukar efektif periode 1980-1986. Mereka menemukan hubungan negatif yang kuat antara nilai dolar AS dan perubahan harga saham. Mohsen Bhmani dan Ahmad Sohbrain (1992) menganalisis hubungan jangka panjang harga-harga saham dan nilai tukar menggunakan kointegrasi serta pengujian kausalitas Granger. Mereka menggunakan data bulanan indeks harga saham dan nilai tukar efektif selama periode 1973-1988. Hasil studi mereka menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah antara

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

345

harga saham dan nilai tukar efektif dalam jangka pendek. Namun, mereka tidak menukan keterkaitan jangka panjang variable tersebut. Smith (1992) menggunakan model keseimbangan Portofolio menguji faktor-faktor yang menentukan nilai tukar. Model memasukan equities, stocks of bonds and money sebagai faktor penentu nilai tukar. Hasilnya menunjukkan nilai equity secara signifikan mempengaruhi nilai tukar, stock of money dan bond mempunyai pengaruh kecil terhadap nilai tukar. Hasil ini mempunyai implikasi equities bukan hanya sebagai faktor tambahan dalam model keseimbangan portofolio nilai tukar, juga menegaskan pengaruh equities lebih penting daripada obligasi pemerintah dan uang. Eli Bartov dan Gordon M. Bodnor (1994) menyimpulkan bahwa perubahan nilai dolar saat sekarang hanya mempunyai kekuatan kecil dalam menjelaskan abnormal stock returns. «Mereka juga menemukan perubahan lag dolar mempunyai keterkaitan negatif dengan abnormal

stock returns. Hasil regresi menunjukkan perubahan lag dolar mempunyai kekuatan untuk menjelaskan kesalahan dalam analisis peramalan pendapatan kuartalan. Ajayi dan Mougoue (1996) menunjukkan kenaikan agregat harga saham domestik mempunyai dampak negatif dalam jangka pendek terhadap mata uang domestik, namun dalam jangka panjang kenaikan harga saham mempunyai pengaruh positif nilai mata uang domestik. Meskipun, depresiasi mata uang mempunyai pengaruh negatif terhadap pasar saham dalam jangka pendek. Yu Qiao (1997) menggunakan data indek harga saham harian dan nilai tukar spot dari pasar keuangan keuangan Hongkong, Tokyo, dan Singapura selama periode 3 Januari 1983 sampai dengan Juni 1994 untuk menguji kemungkinan interaksi variabel keuangan tersebut. Hasil studi dengan menggunakan kausalitas Granger menunjukkan perubahan harga saham disebabkan perubahan nilai tukar di pasar Tokyo dan Hongkong. Pasar Singapura tidak menujukkan adanya kausalitas tersebut. Sedangkan kausalitas dari nilai harga saham ke nilai tukar terjadi di pasar Tokyo. Dengan demikian, di pasar Tokyo menunjukkan adanya kausalitas dua arah antara harga saham dan perubahan nilai tukar. Dia juga menggunakan model VAR untuk menganalisis kestabilan jangka panjang keterkaitan harga saham dan nilai tukar dalam pasar keuangan Asia. Hasilnya menunjukkan hubungan yang stabil dalam jangka panjang antara harga saham dan nilai tukar. Isam Abdala dan Victor Murinde (1997) mengaplikasikan pendekatan kointegrasi untuk menguji hubungan jangka panjang antara indek harga saham dan nilai tukar efektif riil untuk Pakistan, Korea, India, dan Philipina. Mereka menggunakan data bulanan dari Januari 1985

346 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

sampai dengan Juli 1994. Studi mereka menunjukkan tidak ada keterkaitan jangka panjang di Pakistan dan Korea, sedangkan keterkaitan jangka panjang ditemukan di India dan Philipina. Mereka juga menemukan kausalitas satu arah dari nilai tukar ke harga saham untuk Pakistan dan Korea. Adanya keterkaitan jangka panjang di India dan Pakistan memungkinkan mereka menggunakan pendekatan error correction model untuk menguji kausalitas untuk kedua negara. Hasilnya menunjukkan kausalitas satu arah dari nilai tukar ke harga saham untuk India, sedangkan Philipina menunjukkan kausalitas sebaliknya, yaitu dari harga saham ke nilai tukar. Naeem M. dan Abdul R. menguji keterkaitan harga saham dan nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang. Mereka menggunakan data bulanan empat negara Asia yang terdiri dari Pakistan, India, Bangladesh, dan Sri-Lanka selama Januari 1994 sampai dengan Desember 2000. Alat analisis yang digunakan untuk pengujian hubungan jangka pendek dan jangka panjang adalah kointegrasi, vector error correction model dan uji kausalitas Granger. Hasil studi menunjukkan tidak ada keterkaitan harga saham dan nilai tukar di keempat negara tersebut. Sedangkan dalam jangka panjang, mereka menemukan kausalitas dua arah variabel harga saham dan nilai tukar di Bangladesh dan Sri-Lanka. Meski tidak terdapat keseragaman teori mengenai keterkaitan antara variabel harga saham dan nilai tukar, alur keterkaitan kedua variabel tersebut sebetulny dapat juga di cari runtutan yang logis secara ekonomi berdasr teori ekonomi yang telah ada. Bagian ini akan menguraikan alur keterkaitan tersebut. Dengan demikian, kenaikan harga saham akan meningkatkan output melalui kenaikan kekayaan dan investasi. Kemudian, analisis model Mundell-Fleming dan pengaruh kurva J digunakan untuk melihat pengaruh output yang tinggi terhadap nilai tukar.

III. METODOLOGI III.1. Data Data yang digunakan adalah data nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan dari Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand, Phillipina dan Hongkong. Adapun periode waktu yang digunakan diupayakan sama yaitu dari data periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Juni 2006. Jenis data yang dipergunakan meliputi data harian stock market index , dan nilai tukar rupiah terhadap USDollar. Seluruh data diambil dari CEIC data. Stock market index yang dipergunakan yaitu Jakarta Stock Exchange Composite Price Index untuk Indonesia, Kuala Lumpur Composite Price Index untuk Malaysia, Bangkok S.E.T price index untuk Thailand, Singapore Straits Times Price Index untuk Singapore, Phillipine SE Composite Price Index untuk phillipine dan Hang Seng Price Index untuk Hong Kong.

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

347

III.2. Model Model yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian ini adalah model vector

autoregression (VAR). Analisis menggunakan VAR diharapkan dapat menjelaskan perilaku dinamis antar dua variabel atau lebih variabel endogen yang saling terkait. Penggunaan bivariate VAR untuk melihat keterkaitan dua variabel dan Multitivariate VAR digunakan untuk melihat keterkaitan lebih variabel.

Multivariate VAR akan memasukan beberapa variabel harga saham negara-negara Asia Tenggara dan Hongkong untuk melihat pengaruh keterkaitan variabel-variabel dari negaranegara tersebut. Model bivariate VAR yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu indeks harga saham gabungan Jakarta (IHSG) dan nilai tukar.

Multivariate VAR yang akan digunakan dalam penelitian ini akan mengikuti bentuk umum VAR yang telah banyak digunakan oleh penelitian-penelitian sebelum dari kasus yang serupa untuk berbagai negara. Secara umum bentuk multivariate VAR adalah sebagai berikut (Enders, 1995:312). (III.11)

di mana Ai0 merupakan parameter yang menunjukkan intersep, dan Aij(L) merupakan variabel lag dalam operator. Dengan mengikuti model persamaan (III.11 ) maka model multivariate VAR yang akan dibangun dalam penelitian ini menjadi:

Di mana ER adalah nilai tukar riil Indonesia, Sedangkan SINDO, SMALAY, SSING, STHAI, PHI DAN SHKG adalah indek harga saham Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, dan Hongkong.

348 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang yang digunakan di dalam model. Sesuai dengan metodologi Sims (1980), variabel yang digunakan di dalam persamaan VAR dipilih berdasarkan model ekonomi yang relevan. Teori ekonomi jelas berperan di dalam pemilihan variabel ini, karena itu Bernanke dan Blinder (1992) menyebutnya sebagai pendekatan semi-structural VAR. Adapun hubungan antar variabel dapat dilihat pada diagram berikut:

Pergerakan Kurs IDR

Pergerakan KLCI/STI/TSI/ PSI/HSI

Pergerakan IHSG

Grafik III.3. Alur Pikir

Para fund manager akan memindahkan investasinya dari pasar finansial di luar negeri kepasar saham di Indonesia bila dinilai pasar saham Indonesia memberikan potensi keuntungan yang memadai. Akibatnya ketika para fund manager melakukan tindakan tersebut, maka melalui pemindahan dana dari mata uang asing ke dalam bentuk rupiah akan menggerakkan nilai tukar rupiah dan pada akhirnya akan dipindahakan dalam bentuk investasi di pasar saham. Sehingga pergerakan nilai tukar akan diikuti dengan pergerakan pasar saham Jakarta. Demikian sebaliknya, para fund manager asing akan melakukan keputusan untuk melepas portfolio investasi di pasar saham Jakarta dan akan memindahkan dana mereka pada pasar finansial di luar negeri. Tindakan mereka akan berdampak pada pergerakan nilai tukar rupiah. Sehingga pergerakan pasar saham Jakarta akan diikuti dengan perubahan nilai tukar rupiah. Pergerakan antar pasar saham yang saling mempengaruhi tidak harus diikuti oleh pergerakan dana. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh psikologis dari para pelaku pasar yang dalam mengambil keputusan investasinya akan memperhatikan perkembangan pergerakan pasar saham regional. Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan bahwa pergerakan pasar saham Jakarta dipengaruhi atau mempengaruhi pergerakan pasar saham Singapore, Kuala Lumpur, Thailand, Phillipine dan Hongkong.

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

349

IV. HASIL DAN ANALISIS Secara garis besar terdapat empat hal yang ingin diperoleh dalam pembentukan suatu sistem persamaan dengan menggunakan persamaan VAR, yaitu mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel, melacak respon variabel saat ini atau diwaktu yang akan datang jika terdapat shock pada variable tertentu lainnya, memprediksi kontribusi presentase varian setiap variable terhadap perubahan variabel tertentu, dan melakukan ektrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaat seluruh informasi masa lalu variabel. Selanjutnya seperti yang telah dipaparkan diatas, pengujian empiris yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode VAR. Metode VAR dipilih berkaitan dengan tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk melakukan kajian saling pengaruh antar variabel.

IV.1. Uji Kausalitas Uji kausalitas antar variabel dilakukan hingga lag 5 dengan menggunakan pendekatan Granger untuk sample waktu 1 Juli 1997 hingga 30 Juni 2006 menunjukkan bahwa : a. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh nilai tukar rupiah dengan lag 2, lag 3, lag 4, dan lag 5. b. Nilai tukar Rupiah secara granger berpengaruh kepada bursa efek Jakarta dengan lag 1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5. c. Bursa saham Kuala Lumpur secara granger berpengaruh nilai tukar rupiah dengan lag 2, lag 3, lag 4, dan lag 5. d. Nilai tukar Rupiah secara granger berpengaruh kepada bursa efek Kuala Lumpur dengan lag 1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5. e. Bursa saham Bangkok secara granger berpengaruh nilai tukar rupiah dengan lag 2, lag 3, lag 4, dan lag 5. f. Nilai tukar Rupiah secara granger berpengaruh kepada bursa efek Bangkok dengan lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5. g. Bursa saham Philipine secara granger berpengaruh nilai tukar rupiah dengan lag 2, lag 3, lag 4, dan lag 5. h. Nilai tukar Rupiah secara granger berpengaruh kepada bursa efek Philipine dengan lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5. i. Bursa saham Hongkong secara granger berpengaruh nilai tukar rupiah dengan lag 2, lag 3, lag 4, dan lag 5. j. Nilai tukar Rupiah secara granger berpengaruh kepada bursa efek Hongkong dengan Lag 5.

350 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

k. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Singapore dengan lag 1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5. l. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Kuala Lumpur dengan lag 1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5. m. Bursa saham Bangkok secara granger berpengaruh kepada bursa efek Jakarta dengan lag 1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5. n. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Bangkok dengan lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5. o. Bursa saham Phillipine secara granger berpengaruh kepada bursa efek Jakarta dengan lag 4, dan Lag 5. p. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Phillipine dengan lag 1, lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5. q. Bursa saham Hongkong secara granger berpengaruh kepada bursa efek Jakarta dengan lag 2, lag 3, lag 4, dan Lag 5. r. Bursa saham Jakarta secara granger berpengaruh kepada bursa efek Hongkong dengan Lag 5.

IV.2. Uji Stabilitas Data Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Nilai Tukar Rupiah (ler), Jakarta Stock Exchange Composite Price Index untuk Indonesia (lsindo), Kuala Lumpur Composite Price Index untuk Malaysia (lsmalay), Bangkok S.E.T price index untuk Thailand (lsthai), Singapore Straits Times Price Index untuk Singapore (lssing), Phillipine SE Composite Price Index untuk Phillipine (lsphi) dan Hang Seng Price Index untuk Hong Kong (lshkg). Variabel-variabel tersebut sebelum diestimasi menggunakan sistem VAR terlebih dahulu diuji kestasioneran datanya menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF) dan Phillips-Perron (PP). dari hasil uji tersebut akan didapatkan nilai kritis dari masing-masing metode tersebut. Untuk keperluan pengujian akar unit, kita menggunakan hipotesis nol yang menyatakan bahwa setiap data mempunyai akar unit (data tidak stasioner). Jika dari hasil pengujian tenyata menolak hipotesis nol (data tidak stasioner) maka berarti data telah stasioner. Hasil pengujian dinyatakan menolak hipotesis nol jika nila p-value (prob.) lebih kecil dari dari nilai alpha (critical

value) yang kita gunakan. Dalam pada itu dalam penelitian ini kita menggunakan nilai alpha 10% atau 0,1. dengan demikian dari hasil ADF dan PP maka menunjukkan bahwa pada first defference semua data menunjukkan tolak hipotesa nol yang berarti data stasioner.

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

351

Table III.1 Hasil Uji Stasionaritas Uji Stasioneritas Variabel

ADF (Prob. Value)

Variabel

I(0)

Ler Lsindo Lshkg Lsmalay Lsphi Lssing Lsthai

0.0013 0.3431 0.4164 0.0364 0.6127 0.7002 0.2985

Test Critical Value 1% level 5% level 10% level

I(1) 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

-3.961970 -3.411730 -3.127747

PP (Prob. Value) I(0)

I(1)

0.0026 0.3555 0.4792 0.0413 0.6434 0.0600 0.3903

0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0000

-3.960837 -3.411175 -3.127417

IV.3. Penetapan dan Uji Sample Waktu Setelah dilakukan pengamatan atas periode data yang akan diteliti yaitu dari 01-071997 hingga 30-06-2006, maka dalam kajian diputuskan untuk membagi periode waktu penelitian menjadi beberapa periode sampel waktu. Pembagian periode waktu didasarkan pada pengamatan tren pergerakan nilai tukar rupiah dan tren pergerakan indeks saham gabungan Jakarta. Atas dasar pergerakan nilai tukar rupiah maka ditetapkan : -

Sampel 1 : periode 01Juli 1997 s.d. 30 Desember 2001

-

Sampel 2 : periode 1 Januari 2002 s.d. 30 Juni 2006

-

Selanjutnya dilakukan pula analisa dengan menggunakan sampel penuh yaitu :

-

Sampel 3 : periode 01 Juli 1997 s.d. 30 Juni 2006 Pengujian 4 sampel waktu ini dilakukan dengan (i) uji kointegrasi, (ii) uji stabilitas VAR

dan (iii) pembentukan model VAR. Uji kointegrasi dilakukan dengan maksud untuk mengindikasikan hubungan antar variabel, khususnya mengindikasikan hubungan dua arah atau satu arah atau tidak memiliki hubungan antar variabel. Sedangkan uji stabilitas VAR dilakukan untuk memperoleh keyakinan bahwa model VAR yang dibentuk seluruh roots nya kurang dari satu, sehingga persamaan VAR yang akan dihasilkan tidak bias.

352 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

IV.3.1. Uji Kointegrasi dan Stabilitas VAR untuk Periode 01Juli 1997 s.d. 30 Desember 2001 Dari hasil uji kointegrasi untuk periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Desember 2001, menunjukkan bahwa dengan tingkat kepercayaan 5% mengindikasikan terdapat 2 kointegrasi dan dengan tingkat kepercayaan 1% menunjukkan bahwa terdapat setidak-tidaknya satu hubungan kointegrasi dari variable yang diuji. Uji stabilitas VAR untuk data periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Desember 2001 menunjukkan hasil VAR stabil tercapai pada selang 30 dengan seluruh roots nya memiliki modulus kurang dari satu dan semuanya terletak didalam unit circle.nPembentukan Model VAR Pada uji VAR optimum menunjukkan bahwa untuk data periode 01 Juli 1997 hingga 30 Desember 2001, VAR optimum tercapai pada selang 1 periode. Dengan demikian multivariate VAR model yang dihasilkan sebagaimana pada Tabel III.2. menunjukkan hal-hal sebagai berikut: a. Perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi perkembangan satu hari sebelumnya dari perkembangan nilai tukar rupiah, pasar saham Jakarta, pasar saham Singapore, pasar saham Kuala Lumpur, dan Pasar saham Hongkong b. Bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan perdagangan saham Jakarta, pasar saham Hongkong dan pasar saham Thailand pada satu hari sebelumnya. c. Perubahan nilai tukar rupiah selain mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah satu hari kemudian , mempengaruhi pula pergerakan bursa saham Philipina dan bursa saham Singapore pada satu hari kemudian. d. Bursa saham Jakarta selain mempengaruhi perkembanagn rupiah dan bursa saham Jakarta, mempengaruhi pula perkembangan bursa saham Kuala Lumpur dan bursa saham Thailand pada satu hari kemudian.

Table III.2 Hasil Estimasi VAR, Januari 1997 √ Desember 2001 Hasil Vector Autoregression Estimates Sample(adjusted): 7/03/1997 12/30/2001

D(LER(-1)) D(LSINDO(-1)) D(LSHKG(-1)) D(LSMALAY(-1)) D(LPHI(-1)) D(LSSING(-1)) D(LSTHAI(-1))

D(LER)

D(LSINDO)

-0.042097*) -0.098368*) -0.151070*) -0.177830*) 0.021475 0.138610*) -0.016770

0.021049 0.074817*) 0.068652*) -0.029906 0.001056 -0.028947 0.068844*)

Sumber: Pengolahan data

D(LSHKG) D(LSMALAY) -0.013291 0.007512 -0.045884 -0.012506 -0.014090 0.041543 0.034665

-0.016489 0.086115*) 0.064585*) -0.137634*) 0.043777 -0.004473 0.027020

Keterangan : *) significan pada α = 5%

D(LPHI)

D(LSSING)

-0.044478*) 0.020760 0.040087 0.034524 -0.005259 0.078236*) 0.065471*)

-0.029640*) 0.005335 0.037667*) -0.006022 -0.010642 0.006765 0.018066

D(LSTHAI) -0.010066 0.060022*) 0.002113 -0.055669*) 0.012910 0.157111*) 0.021009

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

353

IV.3.2. Uji Kointegrasi dan Stabilitas VAR untuk Periode 1 Januari 2002 s.d. 30 Juni 2006 Dari hasil uji stabilitas VAR, Var stabil tercapai pada selang 30 dengan seluruh roots nya memiliki modulus kurang dari satu dan semuanya terletak didalamunit circle. Selang optimum untuk data periode 01 Januari 2002 hingga 30 Juni 2006 tercapai pada selang 6 periode. Dengan demikian multivariate VAR model yang dihasilkan sebagaimana pada Tabel III.3. menunjukkan hal-hal sebagai berikut : a. Perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah (1, 2 dan 4 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Jakarta (1, 3 dam 6 hari sebelumnya), dan perkembangan bursa saham Phillipine (6 hari sebelumnya). b. Bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah (4 dan 5 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Jakarta (4 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Kuala Lumpur ( 4 dan 5 hari sebelumnya), bursa saham Thailand (3 hari sebelumnya), dan perkembangan bursa saham Phillipine (4 dan 6 hari sebelumnya), c. Perubahan nilai tukar rupiah tidak mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan Hongkong. d. Bursa saham Jakarta mempengaruhi pergerakan pasar saham Singapore (1 dan 3 hari kemudian), bursa saham Kuala Lumpur (2, 4 dan 6 hari kemudian), bursa saham Thailand (3, dan 4 hari kemudian), bursa saham Phillipine (1hari kemudian) dan bursa saham Hongkong (4 hari kemudian)

IV.3.3. Uji Kointegrasi dan Stabilitas VAR untuk Periode 01 Juli 1997 s.d. 30 Juni 2006 Dari hasil uji kointegrasi untuk periode waktu 01 Juli 1997 hingga 30 Juni 2006, menunjukkan bahwa terdapat 2 kointegrasi pada critical value baik 5% maupun 1%. Hasil VAR stabil tercapai pada selang 30 dengan seluruh roots nya memiliki modulus kurang dari satu dan semuanya terletak didalam unit circle Selang optimum untuk data periode 01 Juli 2007 hingga 30 Juni 2006 tercapai pada selang 7 periode. Dengan demikian multivariate VAR model yang dihasilkan sebagaimana pada Tabel III.4. menunjukkan hal-hal sebagai berikut : a. Perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah ( 1, 3 , 4, 5, 6 dan 7 hari sebelumnya) , perkembangan bursa saham Jakarta (1 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Kuala Lumpur (1 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Phillipine (2 hari sebelumnya), dan perkembangan bursa saham Hongkong (1 dan 5 hari sebelumnya).

354 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Table III.3 Hasil Estimasi VAR, Januari 2002 √ Juli 2006 Hasil Vector Autoregression Estimates Sample(adjusted): 1/01/2002 6/26/2006

D(LER) D(LER(-1)) D(LER(-1)) D(LER(-2)) D(LER(-3)) D(LER(-4)) D(LER(-5)) D(LER(-6)) D(LSINDO(-1)) D(LSINDO(-2)) D(LSINDO(-3)) D(LSINDO(-4)) D(LSINDO(-5)) D(LSINDO(-6)) D(LSSING(-1)) D(LSSING(-2)) D(LSSING(-3)) D(LSSING(-4)) D(LSSING(-5)) D(LSSING(-6)) D(LSMALAY(-1)) D(LSMALAY(-2)) D(LSMALAY(-3)) D(LSMALAY(-4)) D(LSMALAY(-5)) D(LSMALAY(-6)) D(LSTHAI(-1)) D(LSTHAI(-2)) D(LSTHAI(-3)) D(LSTHAI(-4)) D(LSTHAI(-5)) D(LSTHAI(-6)) D(LPHI(-1)) D(LPHI(-2)) D(LPHI(-3)) D(LPHI(-4)) D(LPHI(-5)) D(LPHI(-6)) D(LSHKG(-1)) D(LSHKG(-2)) D(LSHKG(-3)) D(LSHKG(-4)) D(LSHKG(-5)) D(LSHKG(-6))

D(LSINDO)

-0.042097*) -0.076122*) -0.084171*) -0.039269 0.050325*) -0.015979 -0.010431 -0.065395*) 0.009045 -0.032642*) -0.017898 -0.012637 -0.035347*) -0.001202 -0.000190 0.000331 2.44E-05 8.18E-05 0.000530 0.002206 0.008570 -0.034898 -0.003308 -0.012508 0.029861 -0.008595 0.000386 -0.011671 -0.001557 -0.003680 0.005474 0.007936 0.017486 0.005030 0.007845 0.003802 -0.023780*) -0.026081 -0.025519 0.021814 0.020017 0.005048 0.020751

Sumber: Pengolahan data

D(LSSING) D(LSMALAY) D(LSTHAI)

0.021049 -0.013291 0.014852 -0.047191 -0.021548 0.179602 -0.059636 0.149356 -0.116281*) -0.134972 0.096232*) 0.027740 -0.082524 -0.029821 0.029636 0.226544*) -0.049589 0.104428 0.044654 0.140710*) -0.065916*) -0.026236 0.002152 -0.047344 0.006214 -0.066607 0.004590 0.000541 0.000467 -0.005912 0.004082 -0.647783*) 0.005279 -0.002996 -0.000148 -0.001772 0.002651 -0.311454*) -0.005346 0.002888 0.064782 -0.000501 -0.093834*) 0.266858*) 0.155330*) -0.071033 0.008572 -0.030639 -0.028245 -0.003966 0.047794 -0.042198 -0.031314 -0.026371 0.063360*) 0.022284 -0.017118 -0.039331 0.003046 0.043952 -0.021697 0.082084 -0.002237 -0.210549*) 0.005831 0.065846 0.035453 -0.077385 0.092761*) 0.038607 0.006544 -0.049543 0.075663*) 0.022142 0.051446 -0.079409 -0.034841 -0.076264 -0.015331 0.338673*) 0.007120 -0.091535 0.038406 0.109367 0.027937 0.153159

-0.016489 -0.020365 -0.031731 -0.030083 -0.020090 0.003243 0.022671 0.020452 -0.029421*) 0.005414 -0.035616*) 0.008960 0.026134*) 0.001922 3.85E-05 0.000698 0.001460 9.92E-05 0.005525 0.053118*) 0.021648 0.040217 0.007808 0.010502 -0.014818 0.005676 -0.014553 -0.004145 0.034707*) -0.002749 -0.015163 -0.021246 0.013907 -0.009181 0.020397 -0.005029 5.79E-05 0.022164 0.042875*) 0.032809*) -0.018461 0.022186 0.008886

-0.044478*) -0.052818 -0.005872 0.041847 -0.049279 0.022651 -0.039997 0.007998 -0.040307 0.051382*) -0.056828*) -0.020997 -0.023229 0.003043 -0.002449 0.002904 0.001670 0.004347 0.006029 0.074149 0.056807 -0.020020 -0.027274 0.065886 0.005695 0.001591 0.015110 0.012524 0.026967 -0.015185 -0.040308 0.035013 -0.010660 0.004898 0.061248*) 0.011983 0.062878 -0.016661 0.014329 0.016501 0.002192 0.006404 -0.005590

D(LPHI) -0.029640*) -0.017916 -0.022320 -0.022077 0.074897 -0.031720 0.034258 0.073356*) -0.003003 0.007600 -0.033284 0.021781 -0.016804 -0.000237 0.000807 0.005688 -0.002043 0.001694 0.007908 0.005701 0.030222 -0.000589 0.042264 -0.067937 0.038203 0.057930 -0.038440 0.032397 0.033238 0.039229 0.016180 0.088112 -0.002026 0.021846 -0.040652 -0.032785 0.054967 0.041149 -0.014838 0.025791 -0.000105 -0.001653 -0.010715

D(LSHKG) -0.010066 -0.026199 -0.021598 -0.016344 -0.033684 0.060020 0.038975 -0.025133 -0.028083 0.007502 -0.050493*) -0.012833 -0.014783 0.009193 -0.002897 -0.001886 0.011244*) -0.001758 -0.000981 -0.045023 0.029833 0.007396 0.041949 -0.026403 0.044287 -0.005968 -0.016581 0.031135 0.009268 0.027024 0.027242 -0.046468*) 0.003683 0.014966 0.020919 -0.031373 0.002865 0.029823 0.050209 0.028759 -0.052829 0.009467 -0.008536

Keterangan : *) significan pada α = 5%

b. Bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham Jakarta (1, 3 dan 6 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Kuala Lumpur (3 dan 6 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Thailand (1, 3, 4 dan 7 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Phillipine (2 hari sebelumnya), dan perkembangan bursa saham Hongkong (1, 3 dan 5 hari sebelumnya).

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

355

Table III.4 Hasil Estimasi VAR, Seluruh Sampel Hasil Vector Autoregression Estimates Sample(adjusted): 7/09/1997 6/26/2006

D(LER) D(LER(-1)) D(LER(-2)) D(LER(-3)) D(LER(-4)) D(LER(-5)) D(LER(-6)) D(LER(-7)) D(LSINDO(-1)) D(LSINDO(-2)) D(LSINDO(-3)) D(LSINDO(-4)) D(LSINDO(-5)) D(LSINDO(-6)) D(LSINDO(-7)) D(LSSING(-1)) D(LSSING(-2)) D(LSSING(-3)) D(LSSING(-4)) D(LSSING(-5)) D(LSSING(-6)) D(LSSING(-7)) D(LSMALAY(-1)) D(LSMALAY(-2)) D(LSMALAY(-3)) D(LSMALAY(-4)) D(LSMALAY(-5)) D(LSMALAY(-6)) D(LSMALAY(-7)) D(LSTHAI(-1)) D(LSTHAI(-2)) D(LSTHAI(-3)) D(LSTHAI(-4)) D(LSTHAI(-5)) D(LSTHAI(-6)) D(LSTHAI(-7)) D(LPHI(-1)) D(LPHI(-2)) D(LPHI(-3)) D(LPHI(-4)) D(LPHI(-5)) D(LPHI(-6)) D(LPHI(-7)) D(LSHKG(-1)) D(LSHKG(-2)) D(LSHKG(-3)) D(LSHKG(-4)) D(LSHKG(-5)) D(LSHKG(-6)) D(LSHKG(-7))

-0.040097*) 0.029206 -0.029769*) 0.053998*) -0.049271*) -0.041718*) 0.036070*) -0.074854*) -0.018675 -0.019316 -0.008663 -0.036996 0.026283 0.033064 0.014510 0.000577 0.000599 0.011398 0.002851 -0.000637 0.014936 -0.158991*) 0.042417 -0.001992 0.003356 0.024465 -0.023391 -0.021397 -0.006948 -0.005346 -0.041984 0.009596 -0.017431 0.019108 -0.015129 0.022167 0.086593*) -0.009063 0.046270 0.029838 0.052960 0.037352 -0.108306*) -0.044816 0.039607 -0.022980 -0.071820*) 0.035595 0.018849

Sumber: Pengolahan data

D(LSINDO) 0.020852 -0.010518 0.006627 -0.001947 -0.003950 0.022492 0.069009*) 0.058352*) -0.000439 0.050602*) -0.003216 -0.018517 -0.050830*) 0.002097 -0.003614 -0.004903 0.002545 -0.001312 -0.001852 0.000470 -0.003769 -0.019686 0.001430 0.035849*) -0.004981 -0.018253 -0.040944*) 0.023835 0.062780*) 0.007902 0.063343*) 0.042151*) -0.010468 -0.010903 0.071243*) 0.003144 -0.041862*) 0.032634 0.025501 0.028675 0.005674 -0.025744 0.057099*) -0.017825 -0.038478*) -0.042347 0.039714*) 0.022695 -0.014632

D(LSSING) D(LSMALAY) -0.034028 -0.004806 0.001906 -0.037290*) -0.008424 0.001614 -0.025450 0.060523*) 0.011427 0.088238*) -0.001486 -0.033456 -0.011888 -0.046525 -0.005333 -0.007165 -0.586498*) -0.015729 -0.004084 -0.265217*) -0.009672 -0.014370 0.021777 0.077032*) 0.019769 0.001268 -0.000655 0.035973 -0.000438 -0.007931 0.082499*) -0.008390 -0.001172 0.040761 0.009221 -0.074023*) 0.022917 0.046531 -0.005121 0.016521 0.027211 0.043626 0.037866 0.002321 0.194998*) -0.005889 0.103458*) 0.096881*) -0.021913

-0.011834 0.027584*) 0.048303*) -0.048162*) 0.032896*) -0.016267 -0.014481 0.062692*) 0.012058 0.018217 0.055926*) 0.001698 0.003471 0.021691 -0.001135 -0.011534 0.004579 0.002203 -0.010791 0.010710 0.003770 -0.096801*) 0.064919*) 0.087402*) -0.035901*) 0.006788 -0.113214*) 0.062067*) 0.019744 -0.040536*) 0.012862 0.095672*) -0.031568*) 0.019509 -0.001687 0.022900 -0.025360 0.003443 0.053332*) -0.004620 -0.028165 -0.028683 0.067020*) 0.042891*) -0.003191 -0.101696*) 0.065246*) 0.041643*) -0.059188*)

Keterangan : *) significan pada α = 5%

D(LSTHAI)

D(LPHI)

-0.011946 -0.000629 0.022154*) -0.020954 -0.006251 0.014258 0.045560 0.056522*) -0.005512 0.040417*) -0.021422 -0.006423 -0.030068 -0.001305 0.010662 -0.005377 0.002145 0.002943 -0.001722 0.004491 -0.001379 -0.024443 0.018332 0.047496*) -0.006765 -0.020515 -0.027953 0.024872 0.001869 -0.020964 0.027445 0.039595 -0.013691 -0.020944 0.018927 0.040557*) -0.015834 0.053090*) 0.023940 0.005595 0.021812 -0.008152 0.045615*) 0.042408*) -0.004960 -0.022515 0.056753*) 0.029918 -0.023470

-0.044745 -0.032079*) 0.021746*) -0.005380 -0.020606 0.021862*) 0.009885 0.039942*) -0.031349*) 0.039236*) 0.025054 -0.006946 -0.012974 0.024023 0.006954 -0.006939 0.005593 0.006679 -0.001079 0.006710 0.002904 0.036575*) 0.013399 -0.004301 0.011574 -0.006406 -0.022774 -0.007068 0.072948*) 0.014238 0.036817*) 0.009152 0.004983 -0.000194 0.060564 0.027335 -0.051075*) 0.036553*) -0.013834 -0.035601*) 0.009231 -0.056814*) 0.050634*) -0.000935 -2.21E-05 -0.018456 0.029436 0.017520 -0.006595

D(LSHKG) -0.020363 -0.019025 0.034464*) -0.017123 -0.016107 0.001214 -0.010976 0.000101 -0.020466 0.023426 0.030451 -0.039991 -0.025105 0.019979 0.012518 -0.005991 0.002846 0.019047 -0.008579 0.001199 0.017333 -0.006028 -0.035286*) -0.025606 0.041048*) 0.005104 -0.028969 -0.028264 0.029727 -0.020126 0.032701 0.011678 -0.053839*) 0.036745*) 0.020890 -0.011242 -0.030459 0.052674*) 0.013704 0.003908 -0.030679 0.003419 -0.019465 0.013690 0.015568 -0.075115*) 0.113595*) -0.020198 -0.040140*)

356 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

c. Perubahan nilai tukar rupiah mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan Hongkong, yaitu bursa saham Singapore ( 1 dan 3 hari kemudian), bursa saham Kuala Lumpur (1 dan 4 hari kemudian), Bursa saham Thailand (1 dan 3 hari kemudian), Bursa saham Phillipine (1, 2, dan 3, hari kemudian ) d. Bursa saham Jakarta mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan Hongkong, yaitu bursa saham Singapore ( 4 hari kemudian), bursa saham Kuala Lumpur (2, 3, 4 dan 5 hari kemudian), Bursa saham Thailand (1 dan 3 hari kemudian), dan Bursa saham Phillipine (1, 2, dan 3 kemudian)

IV.4. Pembandingan Sample Waktu IV.4.1. Pergerakan Nilai Tukar Rupiah Dengan melihat kembali pergerakan Rupiah (Grafik III.1), maka kita dapat menyatakan bahwa Sample 1 merupakan periode pelemahan rupiah ternyata terkait dengan perkembangan satu hari sebelumnya dari perkembangan nilai tukar rupiah, pasar saham Jakarta, pasar saham Singapore, pasar saham Kuala Lumpur, dan Pasar saham Hongkong Pada sample 2, yang merupakan periode stabilisasi nilai rupiah dan penguatan bursa saham Jakarta, maka nilai tukar rupiah dipengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah (1, 2 dan 4 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Jakarta (1, 3 dam 6 hari sebelumnya), dan perkembangan bursa saham Phillipine (6 hari sebelumnya). Sedang untuk sample 3 yang merupakan penggabungan seluruh sample waktu menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar adalah perkembangan nilai tukar rupiah ( 1, 3 , 4, 5, 6 dan 7 hari sebelumnya) , perkembangan bursa saham Jakarta (1 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Kuala Lumpur (1 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Phillipine (2 hari sebelumnya), dan perkembangan bursa saham Hongkong (1 dan 5 hari sebelumnya). Dari kajian ketiga periode waktu tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perubahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional dan bursa saham Hongkong kecuali bursa saham Thailand, yang secara statistik ternyata tidak berdampak pada pergerakan nilai tukar rupiah.

IV.4.2. Pengaruh bursa saham regional dan bursa saham Hongkong terhadap pergerakan Bursa Saham Jakarta Pergerakan bursa saham di Jakarta ternyata tidak dipengaruhi oleh pergerakan bursa

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

357

saham Singapore dan bursa saham Hongkong., namun perkembangan bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional lainnya. Pada umumnya pengaruh regional pasar saham tersebut terjadi pada 1, 3, 4, 5 , 6 dan 7 hari kemudian. Terutama oleh perkembangan bursa saham Thailand (1, 3, 4 dan 7 hari sebelumnya), perkembangan bursa saham Hongkong (1, 3 dan 5 hari sebelumnya) dan perkembangan bursa saham Kuala Lumpur (3 dan 6 hari sebelumnya),

IV.4.3. Dampak Nilai Rupiah Terhadap Bursa Saham Regional Dalam periode ketika nilai tukar rupiah bergejolak, yaitu periode 1 Juli 1997 hingga 30 Desember 2001, Perubahan nilai tukar rupiah selain mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah satu hari kemudian , mempengaruhi pula pergerakan bursa saham Philipina dan bursa saham Singapore pada satu hari kemudian, dan ketika nilai tukar rupiah relatif stabil, yaitu pada periode 1 Januari 2002 hingga 30 juni 2006, ternyata tidak terbukti secara statistik menunjukkan bahwa gejolak nilai tukar rupiah mempengaruhi pergerakan bursa saham regional dan bursa saham Hongkong. Namun dengan mendasarkan pada gabungan sample waktu menunjukkan adanya pengaruh pergerakan nilai tukar rupiah terhadap pergerakan pasar saham regional dan Hongkong, yaitu bursa saham Singapore ( 1 dan 3 hari kemudian), bursa saham Kuala Lumpur (1 dan 4 hari kemudian), Bursa saham Thailand (1 dan 3 hari kemudian), Bursa saham Phillipine (1, 2, dan 3, hari kemudian ), dengan koefisien yang kecil.

IV.4.4. Dampak Bursa Saham Jakarta Terhadap Bursa Saham Regional Bursa saham Jakarta mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan Hongkong, pada periode yang berbeda. Pergerakan bursa saham Jakarta lebih banyak mempengaruhi bursa saham Kuala Lumpur dalam 2, 3, 4 dan 5 hari kemudian, kemudian Bursa saham Phillipine dalam 1, 2, dan 3 hari kemudian, bursa saham Thailand dalam 1 dan 3 hari kemudian, dan bursa saham Sinngapore dan bursa saham Hongkong dalam 4 hari kemudian. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pergerakan bursa saham Jakarta terintegrasi dengan pergerakan bursa saham regional lainnya .

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI V.1. Kesimpulan Dari kajian yang dilakukan dengan pendekatan VAR melalui pemisahan periode waktu pertama yaitu dari tanggal 1 Juli 1997 hingga 30 Desember 2001; periode waktu kedua yaitu

358 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

dari tanggal 1 Januair 2002 hingga 30 Juni 2006; dan periode waktu secara keseluruhan yaitu dari 1 Juli 1997 hingga 30 Juni 2006 dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Pergerakan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional dan bursa saham Hongkong kecuali bursa saham Thailand, yang secara statistik ternyata tidak berdampak pada pergerakan nilai tukar rupiah. b. Pergerakan bursa saham Jakarta dipengaruhi oleh perkembangan bursa saham regional, selain bursa saham Singapore dan bursa saham Hongkong. c. Terbukti secara statistik bahwa gejolak nilai tukar rupiah mempengaruhi pergerakan bursa saham regional dan bursa saham Hongkong, walaupun dalam koefisien yang terbatas d. Pergerakan bursa saham Jakarta terintegrasi dengan pergerakan bursa saham regional lainnya . Bursa saham Jakarta mempengaruhi pergerakan pasar saham regional dan Hongkong, pada periode yang berbeda. Pergerakan bursa saham Jakarta lebih banyak mempengaruhi bursa saham Kuala Lumpur dalam 2, 3, 4 dan 5 hari kemudian, kemudian Bursa saham Phillipine dalam 1, 2, dan 3 hari kemudian, bursa saham Thailand dalam 1 dan 3 hari kemudian, dan bursa saham Sinngapore dan bursa saham Hongkong dalam 4 hari kemudian.

V.2. Rekomendasi Disadari bahwa kajian ini tidak dapat secara langsung dipakai sebagai dasar pengambilan kebijakan di bidang nilai tukar maupun di bidang capital market mengingat kajian hubungan antara nilai rupiah dan perkembangan bursa saham regional maupun hubungan antara bursa saham Jakarta dengan bursa regional hanya mendasarkan pada data variabel indeks harga saham dan nilai rupiah. Namun demikian temuan dari kajian ini dapat dipergunakan sebagai sinyal atas hubungan pengaruh antara perkembangan nilai tukar rupiah dan pergerakan pasar saham di regional dan pasar saham Hongkong, maupun hubungan integrasi antar pasar saham di kawasan regional dan pasar Hongkong. Selanjutnya untuk lebih memperdalam kajian ini, pengembangan penelitian dengan mempergunakan variabel lainnya seperti perkembangan transaksi modal, perkembangan nilai tukar mata uang negara yang bersangkutan dan beberapa variabel lainnya dapat dipergunakan dalam kajian mendatang.

Mengkaji Perubahan Nilai Tukar Rupiah dan Pasar Saham

359

Daftar Pustaka

Abdalla, Issam S.A. and Victor Murinde, 1997, Exchange Rate and Stock Price Interactions in Emerging Financial Markets: Evidence on India, Korea, Pakistan and the Philippines, Applied

Financial Economics, 7, 25 - 35 Aggarwal, Reena, Carla Inclan, and Ricardo Leal, 2001,Volatility in Emerging Stock Markets,

The Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 34. Ajayi, Richard A and Mbodja Mougoue, 1996, On the dynamic relaption between stock prices and exchange rates, The Journal of Financial Research, Vol. XIX, No. 2, pages 193-207. Ajayi, Richard A, Joseph Friedman, and Seyed M. Mehdian, 1998, On the relationship between stock returns and exchange rates: tests of granger causality, Global Finance Journal, 9(2):241251 Bekaert, Geert and Campbell R. Harvey, 2000, Foreign Speculators and Emerging Equity Market,

The Journal of Finance, VOL. LV, No. 2 Crowder, William J. and Mark E. Wohar, Cointegration, 1998, Forecasting and International Stock Prices, Global Finance Journal, 9(2): 181 √ 204 Edison, Hali J., 1991, Forecast performance of exchange rate models revised, Applied Economics, 23, 187 √ 1996. Fang, Wenshwo, 2001, Stock Return Process and Expected Depreciation Over the Asian Financial Crisis, Applied Economics, 33, 905 - 912 Granger, C.W.J., Namwon Hyung, and Yongil Jeon, 2001, Spurious regressions with stationary series, Applied Economics, Vol 33, 899-904 Hatemi-J, Abdulnasser and Manuchehr Irandoust, 2002, On the Causality Between Exchange Rates and Stock Prices: A Note, Bulletin of Economic Research 54:2 Huang, Roger D. and William A. Kracaw, 1984, Stock Market Returns and Real Activity: A Note, The Journal of Finance, VOL. XXXIX, No. I. Oskooee, Mohsen Bahmani and Ahmad Sohrabian, 1992, Stock prices and the effective exchnge rate of the dollar, Applied Economics, Vol 24, 459-464 Solnik, Bruno, 1987, Using Financial Price to Test Exchange Rate Models: A Note, The Journal

of Finance, VOL. XLII, No. 1

360 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

halaman ini sengaja dikosongkan

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

361

KINERJA PENGELOLAAN DANA PADA PASAR MODAL INDONESIA Yuyun Istavirti, SE., MSM 1, Dr. Ruslan Prijadi, Dr. Andi M. Alfian Parewangi

Abstract The mutual fund is a fast growing, flexible and sizely attainable product, hence make it as favourable choice for the investors. As in other developing countries, however, the management of the fund invested in mutual fund is done by pointed fund manager. This paper raises and answers the question of how efficient the fund management is. This paper ustilizes the decomposition return model on the monthly data set from 2002-2006 in Indonesia. The model derived, enable us to trace and decompose the management performance into (i) the allocation policy skill, (ii) the security selection skill and (iii) the market timing strategy or the tactical asset allocation abilty. The model estimation result shows significant management capabilities on allocating the fund into suitable asset class. We record that the best asset allocation policy was on February 2002, June 2004, August 2004 and February 2006. Inline with this, another result shows the negatif contribution of the short term-tactical asset allocation as conformed by several previous studies; Treynor-Mazuy (1996), Wardhani (2003), and Henriksson (1984) among others. There is an exception for February 2006 where a successful market timing strategy contributed an additional 7.34% return. The security selection strategy is confirmed to have a positive and significant impact on the mutual fund performance. During the observation period, the best security selection strategy was achieved on February, March and July 2002, September 2003, and March, October, and December 2005. For these certain period, the security selection activities gave more than 2% additional monthly return.

1 Yuyun Istavirti adalah lulusan Program Pascasarjan Ilmu Manejemen Universits Indonesia ([email protected]); Dr. Ruslan Prijadi adalah Ketua PPS Bidang Ilmu Manajemen Universitas Indonesia; Andi M. Alfian Parewangi adalah staf pengajar FEUI dan konsultan pada Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter - Bank Indonesia ([email protected]). Penulis berterima kasih kepada Prof Dr. I Gusti Ngurah Agung dan Dr. Rofiqoh Rokhim atas komentar dan saran yang diberikan dalam penelitian ini.

362 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

The policy implication is straightforward; a more intensively monitoring on the implementation of the planned asset allocation to give a safer financial investment environment for the investors. This pper also suggest the investment manager to provide a sufficient information about the portfolio»s risk profile. Our quantitative description has shown a large varieties both on return and risk across the mutual fund manager showing their varied risk taking behaviour, on which the investor has a right to know.

JEL Classification: H54, G11, G31, O16

Keywords: Mutual fund, asset allocation, security selection, market timing, period specific estimation, financial investment.

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

363

I. PENDAHULUAN Indonesia sebagaimana negara berkembang lainnya, cenderung didominasi oleh pasar uang ketimbang pasar modal. Sejauh ini, dapat dikatakan bahwa peran industri perbankan dalam mengakselerasi sektor riil belum dapat dikatakan memuaskan. Berbagai permasalahan seperti patahnya pass through effect suku bunga dari otorita moneter ke perbankan serta tingginya resiko sektor riil merupakan kendala yang menghambat fungsi utama dari institusi keuangan bank sebagai pool dan intermediator dana. Menghadapi hal ini pasar modal merupakan salah satu alternatif. Meski pasar modal Indonesia masih tergolong baru, namun merupakan pasar modal tertua di Asia Tenggara dan keempat tertua di Asia setelah Bombay (1830), Hongkong (1871) dan Tokyo (1871) 2 . Dengan jumlah investor yang sedikit, dari segi prestasi pasar modal Indonesia termasuk salah satu diantara 3 negara yang disebut sebagai the fastest growing capital market in Asia (Bapepam-LK,1995). Selama 10 tahun terakhir rata-rata peningkatan indeks tahunan bursa Indonesia mencapai 12,76%, yang merupakan peningkatan tertinggi dibandingkan dengan pergerakan indeks bursa regional lainnya. Dalam pengelolaan reksadana, dana investor dipercayakan kepada manajer investasi. Ini memunculkan pertanyaan tentang kemampuan manajer investasi untuk mengoptimalkan return dana investasi untuk mencapai tujuan investasi3 sesuai dengan yang tercantum dalam prospektus. Secara umum terdapat 3 jenis aktivitas pengelolaan yang dilakukan oleh manajer investasi, pertama, kebijakan alokasi aset yakni keputusan untuk mengalokasikan dana kedalam kelas aset yang ada, kedua, pemilihan sekuritas (stock picking) yakni keputusan untuk memilih instrumen atau produk keuangan dari suatu kelas aset yang sama, dan ketiga, waktu pasar (market timing atau sering dikenal dengan tactical asset allocation) yakni keputusan tentang kapan transaksi dilakukan. Di Indonesia studi tentang reksa dana menyangkut kemampuan manajer dalam hal

market timing dan stock picking dengan memasukkan variabel ekonomi makro pernah dilakukan dengan menggunakan model Henriksson dan Merton (HM). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa secara keseluruhan manajer investasi masih belum memiliki kemampuan market timing dan faktor ekonomi makro tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap kinerja reksa dana saham (Partawidjaja, 2005).

2 Bapepam √LK Tahun 2004 3 Tujuan investasi yang biasa disebut dalam prospektus adalah menjaga nilai atau melindungi kapital (dana yang diinvestasikan), memperoleh pendapatan tetap, dan membuat pertumbuhan jangka panjang.

364 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Wardani (2003) dalam studinya mengaplikasikan model Henriksson dan Merton (HM) yang dikombinasikan dengan model Carhart (1997), menemukan bahwa dari 18 reksa dana saham yang diobservasi, hanya satu pengelola yang memiliki menunjukkan kemampuan stock

picking yang signifikan. Yati (2000) dengan data harian pada periode 1997-1999 menggunaka model Treynor dan Mazuy (TM), menunjukkan adanya hubungan antara kinerja saham-saham LQ 45 secara individual dengan kemampuan market timing pengelolaan dana. Dia juga memperlihatkan bahwa beta adalah indikator penentu yang pentng dalam market timing sahamsaham di BEJ. Sedangkan penelitian di luar negeri yang berkaitan dengan reksa dana dalam kaitannya dengan asset allocation, security selection dan market timing telah banyak dilakukan diantaranya oleh Kon (1983) yang menggunakan model pengukuran timing perfomance dari Fama dan

risk-adjusted selectivity perfomance-nya Jensen dengan meyertakan Quandt switching-regression model ditambah faktor identitifiability condition dan prosedur diskriminan tambahan yang ia kembangkan sendiri. Kon menemukan bahwa hanya 1 (satu) reksa dana yang memiliki kemampuan pemilihan sekuritas dan market timing yang positif dan signifikan pada level signifikansi 0.05. Studi lain yang dilakukan Henriksson (1984) yang menggunakan model HenrikssonMerton, menemukan bahwa hanya 3 dari 116 reksa dana yang memperlihatkan kemampuan

timing yang positif signifikan. Dari 3 reksa dana tersebut, keseluruhannya memiliki yang negatif (2 diantaranya bahkan signifikan negatif) yang memperlihatkan inferior stock picking

perfomance. Dari serangkaian telaah studi empiris yang penulis lakukan, sejauh ini penulis belum mendapatkan studi yang menganalisa pengaruh kebijakan alokasi aset, pemilihan sekuritas, dan waktu pasar terhadap kinerja reksa dana saham di Indonesia dalam satu analisis atau model yang terintegrasi. Studi yang ada selama ini menganalisis 3 (tiga) strategi tersebut secara terpisah-pisah. Ini yang merupakan latar belakang dari paper ini yakni apllikasi model yang mampu mengintegrasikan 3 aspek pengelolaan dana secara bersamaan. Secara eksplisit, paper ini berutujuan untuk menganalisa perkembangan pasar modal di Indonesia melalui pengukuran kemampuan pengelolaan dana investasi oleh para pelaku di pasar modal. Bagian selanjutnya dari paper ini akan menguraikan tinjauan teori dan model teoritis yang menjadi landasaan. Bagian ketiga akan membahas model emprisi dan metodologi yang dipergunakan untuk mengolah data, bagian keempat menyajikan hasil dan analisis sementara kesimpulan akan diberikan pada bagian akhir.

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

365

II. TEORI II.1 Konsep Dasar Salah satu produk keuangan yang dipandang sebagai terobosan besar dalam pasar keuangan khususnya pasar modal adalah mutal fund. Per definisi, reksa dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam bentuk portofolio efek oleh manajer investasi. Karena sifatnya yang seperti ini, maka potensi partisipatory pelaku ekonomi menjadi lebih besar. Ditambah denngan fleksibilitasnya yang besar, dalam skala agregat reksadana berpotensi menciptakan akumulasi modal yang signifikan. Terdapat 2 cara mengklasifikasikan reksa dana, pertama berdasarkan sifat operasionalnya dan kedua berdasarkan jenis aset yang terkandung dalam reksa dana itu. Berdasarkan sifat operasionalnya, reksa dana dapat terbagi menjadi 2 yakni reksa dana terbuka (open√end) dengan ciri tidak perlu tercatat di bursa, dapat dijual sepanjang ada peminat, investor dapat menjual kembali produk reksa dana ini ke pengelola dan harga produk ditentukan berdasarkan NAB per saham yang dihitung oleh bank kustodia. Sebaliknya dari ciri itu dikategorikan sebagai reksa dana tertutup (close-end) (Pratomo et al,2002:46). Berdasarkan berdasarkan kategorisasi investasi, saat ini terdapat 6 jenis reksadana, 4 diantaranya yang diobservasi dalam paper ini adalah reksadana pasar uang, reksadana pendapatan tetap, reksadana saham dana dan reksadana campuran. Dalam pengelolaan dana, manajer investasi dapat mengaplikasikan strategi pertama yakni kebijakan alokasi aset yang merupakan informasi penting bagi setiap investor, terkait dengan toleransi risiko yang mereka miliki. Alokasi aset ini biasanya diartikan sebagai pembentukan bobot kelas aset normal atau bobot kelas aset pasif (Drobetz dan Kohler, 2002). Secara empiris, kebijakan alokasi pasif ini disimpulkan sebagai faktor utama yang menentukan return investasi (Blake et.al.,1998)4 dengan peran mencapai 91.5% (Brinson, Hood dan Beebower, 1986)5 . Konsep utama yang melatarbelakangi lahirnya konsep pengalokasian aset adalah teori portofolio

modern6 yang diformalkan oleh Harry Markowitz dalam bentuk memasukkan prinsip diversifikasi. Paper seminalnya ini yang mengantarkannya memperoleh hadiah Nobel Ekonomi pada tahun 1990.

4 Blake,David,Bruce N.Lehmann,Allan Timmerman (1998),∆Asset Allocation Dynamics and Pension Fund Perfomance∆, Journal of Economics Literature,G11,G23 5 Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Brinson, Hood dan Beebower dengan data tahun 1977 sampai dengan tahun 1987, alokasi aset menyumbangkan 91.5% bagi kinerja investasi, sisanya ditentukan pemilihan sekuritas, market timing dan faktor lainnya. 6 Markowitz, H.M (1952), ≈ Portfolio Selection∆ The Journal of Finance, March ,Vol.7-1,77-91

366 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Strategi alokasi aset dapat diverifikasi lebih lanjut menjadi 3 tipe (Manurung,2007)7 , yaitu (i) strategic asset allocation, (ii) tactical asset allocation yang merekomendasikan contrarian

trades sesuai dengan kondisi pasar (market timing) yang terjadi, dan (iii) dynamic asset allocation, yang menyerupai aset alokasi strategis namun lebih menekankan pada pengendalian risiko. Pendekatan ini disebut juga sebagai portfolio insurance. Strategi kedua yang dapat dilakukan manajer investasi adalah pemilihan sekuritas (security

selection). 2 buah portofolio dapat memiliki komposisi alokasi yang sama namun dapat berbeda dalam pilihan sekuritas. Tergantung pada kinerja sekuritas yang ada dalam masing-masing portofolio, return kedua portofolio tersebut dapat berbeda. Kebijakan yang ketiga adalah penentuan kapan harus membeli dan kapan harus menjual instrumen dalam portfolio atau sering disebut strategi waktu pasar (market timing). Rule of

thumb implementasi strategi ini adalah buy low sell high. Strategi market timing yang tepat membutuhkan pemahaman atas kondisi dan dinamika pasar. Disini, kemampuan untuk memprediksi variabel-variabel kunci akan menentukan keberhasilan strategi ini. Informasi investor yang lengkap tentang perilaku dan kinerja manajer investasi, akan memudahkan penilaian apakah manajer investasi mereka telah melakukan smart-investing atau

speculative investing. Jika ditelusuri, akar teori untuk alokasi aset dan pemilihan sekuritas adalah sama; kebijakan alokasi merupakan upaya untuk membentuk sebuah frontier yang efisien (efficient frontier) 8 , sementara pemilihan sekuritas sesungguhnya adalah upaya untuk memilih portofolio tertentu di-sepanjang frontier yang telah dipilih sebelumnya.

II.2. Penentuan Benchmark Penggunaan tolak ukur (benchmark) dalam pengukuran kinerja reksa dana dimaksudkan untuk membandingkan apakah kinerja reksa dana yang dikelola oleh manajer investasi dapat ≈mengalahkan∆ (outperform) pasar atau justru ≈kalah∆ (underperform) dari pasar. Terdapat satu isu yang seringkali menjadi area kontroversi diantara studi-studi tersebut, yakni pemilihan dan penentuan tolok ukur ( benchmark ). Patokan ini perlu untuk membandingkan kinerja investasi dan mengetahui portofolio mana yang memiliki kinerja lebih baik ditinjau dari besarnya tingkat return dari risiko dibandingkan patokan tersebut (Izakia et

al, 1997). Tolak ukur yang digunakan dalam paper ini menggunakan pembanding yang relevan dan umum dipakai oleh pihak reksa dana, seperti Tabel 1. 7 Manurung, Adler. H (2007). ≈Reksa Dana Investasiku∆, September, Penerbit Buku Kompas-Jakarta 8 Grafik yang menunjukkan portofolio-portofolio yang memaksimalkan imbal hasil harapan untuk setiap tingkat risiko.

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

367

Tabel IV.1 Pembanding Kinerja Reksa Dana (Benchmark) 9 No.

Jenis Reksa Dana

1.

Reksa dana saham

2.

Reksa dana pendapatan tetap

3.

Reksa dana pasar uang

4.

Reksa dana campuran

Pembanding Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), LQ 45 dan Bisnis 40. Rata-rata bunga deposito tiga bank (pemerintah dan swasta) untuk periode 12 bulan. Rata-rata bunga deposito tiga bank (pemerintah dan swasta) untuk periode 3 bulan setelah pajak. Menggunakan ketiga pembanding diatas

Sumber: Izakia Mahdi, Eko P.Pratomo,Jasper J.Meijerink,1997:144, Mengukur Kinerja Reksa Dana, Mengapa Harus Reksa Dana? cetakan kedua, Jakarta:Glory Offset Press

Pada bagian berikutnya akan diuraikan konstruksi model empiris yang mengintegrasikan kebijakan alokasi aset, stock picking dan market timing secara bersamaan.

II.3. Model Dekomposisi Return Diasumsikan terdapat suatu portofolio P dimana p ∈ P . Masing-masing portofolio terdiri dari N aset dimana i ∈ N (dalam paper ini terdapat 3 kelas aset). Pada setiap aset i dalam portofolio p tersebut, terdapat M kemungkinan kejadian dimana j ∈ M . Kejadian yang dimaksud adalah seperti kondisi pasar. Misalkan dalam suatu kurun periode tertentu t, terdapat M = 3 variasi kejadian yakni kondisi pasar yang baik, sedang dan buruk. Probabilita suatu masing-masing kejadian untuk suatu aset i adalah Pij. Tentu saja untuk 2 aset yang berbeda, katakan saham 1 dan saham 2 (i =1 dan i =2), probabilita untuk masing-masing kejadian sangat mungkin berbeda. Dengan spesifikasi seperti ini, maka return yang diharapkan dari sebuah investasi i, secara umum dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut: (Elton et al,2003:46): M

Rˆ i = E ( Ri ) = ∑ Pij Rij

(IV.I)

j =1

Dalam hal ini Rˆ i = E (Ri ) adalah tingkat return yang diharapkan dari investasi i, Pij merupakan probabilitas memperoleh return pada investasi i untuk peristiwa j, dan M adalah banyaknya peristiwa (event) j yang mungkin terjadi. Rumus tersebut hanya dapat dipergunakan apabila tingkat probabilitas kejadian (probabilitas masing-masing tingkat return) dapat 9 Tolak ukur yang sama juga dikemukakan dalam buku Karvof, Anatoli., (2004). ≈Guide to Investing in Capital Market∆ ,PT. Citra Aditya Bakri-Bandung. Pratomo, Eko dan Ubaidillah Nugraha (2005). ≈ Reksa Dana Solusi Perencanaan Investasi di Era Modern∆, PT. Gramedia Pustaka Utama-Jakarta.

368 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

diperkirakan. Dalam kenyataan umumnya sulit menentukan probabilitas tingkat return, oleh karena itu probabilitas return untuk setiap investasi dianggap sama yaitu:

1 sehingga: M

M

(IV.2)

∑R

ij

Ri =

j =1

M

Mengacu pada setting di atas, model dekomposisi total return yang mampu mengadopsi kebijakan alokasi aset, stock picking dan market timing dapat diturunkan dari \h Gambar 1. Model ini dikembangkan dari model dasar yang diajukan oleh Brinson, Hood dan Beebower (1986) dan kemudian diaplikasikan oleh Blake et.al.(1999). Aplikasi model ini untuk Indonesia dilakukan pertama kali oleh Isavirti (2008). Gambar IV.1. Dekomposisi Total Return

PEMILIHAN SEKURITAS

AKTUAL PASIF

MARKET TIMING

AKTUAL

PASIF

Kuadran-4

Kuadran-2

Return Aktual

Return dari Kebijakan Alokasi dan Market Timing

Kuadran-3

Kuadran-1

Return dari Kebijakan Alokasi dan

Return dari Kebijakan Alokasi (Sesuai dengan benchmark

Sumber: Brinson, Hood dan Beenbower, 1986

Kerangka ini menampilkan kombinasi dari 2 teknik pengelolaan dana, yakni pemilihan sekuritas dan market timing. Setiap pengelola dana memiliki pilihan apakah secara aktif mengaplikasikan teknik tersebut (kolom/ baris pertama) atau tidak mengaplikasikannya alias pasif (kolom/ baris kedua). Jika pengelola dana tidak melakukan aktifitas pemilihan sekuritas dan market timing, maka return yang dihasilkan semata-mata merefleksikan kebijakan alokasi aset sesuai dengan benchmark. Keuntungan alokasi aset ini tercermin pada Kuadran √ 1. Retun aktual yang dihasilkan oleh dana yang dikelola, tergambar pada Kuadran √ 4 (return aktual). Return aktual ini meliputi semua teknik pengelolaan dana. Jika pengelola dana

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

369

secara aktif melakukan pemilihan sekuritas dan tidak melakukan aktifitas market timing, maka

return yang diperoleh merupakan gabungan antara pemilihan sekuritas dan kebijakan alokasi, dan tercermin pada Kuadran √ 3. Sebaliknya, ketika pengeola dana secara aktif melakukan market timing namun tidak melakukan pemilihan sekuritas, maka return yang diperoleh sematamata merupakan return dari aktivitas pemilihan sekuritas dan kebijakan alokasi aset. Ini tercermin pada Kuadran √ 2. Dengan demikian, kontribusi masing-masing teknik pengelolaan dana dapat diberikan sebagai:

Kebijakan Alokas = Kuadran 1 Market Timing = Kuadran 2√ Kuadran 1 Pemilihan Sekuritas = Kuadran 3√Kuadran 1 Sub Total

= Kuadran 2 + Kuadran 3 - Kuadran 1

Perlu diperhatikan bahwa selain kebijakan alokasi aset, pemilihan sekuritas dan market timing, terdapat kemungkinan perbedaan total return di atas dengan aktual return (Kuadran √ 4). Selisih ini merupakan faktor lain seperti perubahan harga aset akibat perubahan ekspektasi masyarakat, dinamika bursa di luar negeri, atau hal-hal sebab lain yang memberikan shock pada pasar keuangan. Formulasi kerangka dekomposisi ini dapat diberikan secara eksplisit. Asumsikan pengelola dana menghadapi K kelas aset. Jika diasumsikan bahwa pengelola dana tidak melakukan aktifitas pemilihan sekuritas dan market timing, maka satu-satunya yang dilakukan adalah kebijakan alokasi yang merupakan kebijakan pasif. Kebijakan alokasi ini merupakan kebijakan alokasi normal yang idealnya merefleksikan alokasi aset dalam kondisi keseimbangan pasar modal jangka panjang. Alokasi normal untuk setiap kelas aset k pada periode t dinotasikan sebagai

Wnit. Retun yang diperoleh dari kebijakan alokasi aset semata ini, dinotasikan sebagai Rnit. Dengan asumsi bahwa terdapat K kelas aset, maka total return dari kebijakan alokasi aset pada K

periode t, adalah sebesar: ∑ Wn pkt .Rn pkt , berkesesuaian dengan Kuadran √ 1 pada Gambar IV.1. k

Dalam dinamika pasar, retun setiap kelas aset ini dapat berubah-ubah sesuai dengan tarik menarik permintaan dan penawaran pasar. Return aktual setiap kelas aset k pada periode

t dinotasikan sebagai Rait. Menyikapi hal tersebut, sangat rasional jika pengelola dana mengantisipasi return aktual yang terjadi sedemikian rupa sehingga komposisi alokasi aktual dalam portofolio akan berubah menjadi Wait. Dari sini kita memperoleh total aktual return

370 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

K

∑Wa

pada periode t sebesar

pkt

.Ra pkt , berkesuaian dengan Kuadran √ 4 pada Gambar IV.1.

k

Kebijakan market timing memiliki konsekuensi langsung terhadap pengalokasian dana. Ketika seorang pengelola dana memutuskan untuk melepas suatu saham X hari ini dan berencana akan membeli saham yang sama keesokan harinya, maka pada saat itu terjadi rekomposisi alokasi aset dalam portofolio menjadi Wait. Dengan demikian, maka return yang dihasilkan murni dari market timing ini adalah perubahan bobot alokasi dikalikan dengan return K

normal,

∑ (Wa

pkt

− Wn pkt ).Rn pkt .

k

Untuk strategi pemilihan sekuritas, alokasi aset tidak mengalami perubahan sehingga bobot yang dipergunakan tetap bobot alokasi normal Wnkt. Namun strategi ini merupakan strategi yang mengantisipasi perubahan return aktual yang terjadi, sehingga net return yang K

diperoleh dari pemilihan sekuritas adalah sebesar

∑ Wn

pkt

(Ra pkt − Rn pkt ) .

i

Dengan kerangka ini kita dapat mengkonstruksi model empiris yang mendekomposisikan total return secara lengkap kedalam komponen-komponennya yakni, K

∑Wa

K pkt

Ra pkt =

k =1

∑Wn k =1

K

K pkt

Rn pkt + ∑Wn pkt ( Ra pkt − Rn pkt ) k =1

K

(IV.3)

+ ∑ (Wa pit − Wn pit ) Rn pit + ∑ (Wa pkt − Wn pkt )( Ra pkt − Rn pkt ) k =1

k =1

Wn pkt dan Wa pkt adalah strategi alokasi normal dan aktual untuk kelas aset

k periode t

dalam suatu portofolio p, sementara dan menunjukkan return normal dan aktual dan untuk kelas aset k pada periode t, dalam suatu portofolio p. Suku pertama dari model di atas merupakan kontribusi kebijakan alokasi aset terhadap total kinerja, suku kedua merupakan kontribusi pemilihan sekuritas, suku ketiga menunjukkan kontribusi market timing, dan suku keempat merupakan residu yang diasumsikan sangat kecil.

III. METODOLOGI III.1. Data Data yang berhasil dikumpulkan untuk penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari BEJ, Bapepam dan dari pengelola dana. Variabel yang terlibat adalah (i) Net Asset Value (NAV/unit)10 , (ii) return harian saham yang terdaftar di BEJ, (iii) tingkat suku bunga SBI (110 Data reinvested Dividend/Cash/Capital Gain Distribution tidak berhasil dikumpulkan karena tidak dipublikasikan.

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

371

Bulan) yang merupakan proxy dari Risk-Free Rate, (iv) rencana alokasi aset masing-masing reksa dana saham yang terdapat dalam prospektusnya, (v) realisasi alokasi aset masing-masing reksa dana saham yang didapatkan dari Bapepam, (vi) tolok ukur (benchmark) return untuk masingmasing kelas aset yakni Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) penutupan untuk kelas aset saham, rata-rata suku bunga deposito 3 bulan bank pemerintah dan swasta untuk kelas aset hutang, dan suku bunga SBI 1 bulan untuk kelas aset deposito. Alokasi berdasarkan rencana alokasi yang tertuang dalam prospektus, dipergunakan sebagai proksi untuk bobot alokasi aset normal yang mencerminkan alokasi aset dalam kondisi keseimbangan jangka panjang. Ini berbeda dengan Brinson, Hood dan Beebower yang menggunakan rata-rata alokasi aktual dari seluruh periode observasi. Secara umum, perkembangan return dan alokasi dana oleh 14 pengelola reksadana saham yang diobservasi, tampak pada gambar berikut:

III.2. Teknik Estimasi Panel Period-Specific Tersedia banyak pilihan model dalam menganalisa kinerja pasar modal. Beberapa diantaranya adalah CAPM Model, multi-factor model dan conditional multi-factor model, lihat Howe dan Pope (1996), Chalmers et al (1999), Wermers (2000), Pastor dan Stambugh (2001), Kothari dan Warner (2001), Bauer et al. (2002), Kazemi et al,.(2003), Otten dan Bams (2003) dan Patro (2005) untuk kasus pasar modal Amerika Serikat atau Jayadev (1996) untuk reksa dana India, Deaves (2004) untuk reksa dana Kanada, Bangassa (2000) untuk reksa dana Inggris, Christensen untuk reksa dana Denmark, Casarin (2000) untuk reksa dana Italia, dan Annaert et

al. (2001) untuk reksa dana di negara-negara Eropa. Dalam paper ini, penulis mengaplikasikan model data panel dengan teknik estimasi period-

specific. Teknik estimasi ini memungkinkan untuk menganalisa kontribusi ketiga strategi pengelola dana dari waktu ke waktu yang terefleksi pada arah, besaran dan signifikansi dari parameter βit. Secara umum, estimasi yang melibatkan series dan cross section dapat diklassfikasikan berdasarkan variasi parameternya. Model yang paling sederhana adalah ketika seluruh koefisien konstan lintas waktu dan lintas individu. Model dengan parameter yang konstan ini akan mengarah pada (i) model variabel dummy atau model kovarian dan (ii) seemingly unrelated regression (SUR). Model dengan koefisien yang bersifat random akan mengarah pada model error components dan Swamy

random coefficient model. Model panel period-specific ini tergolong dalam varian model Swamy random coefficient

372 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

model (Swamy dan Mehta, 1975, 1977), dalam hal sifat random parameter lintas waktu. Spesifikasi yang paling umum untuk model panel adalah yang memungkinkan parameter bervariasi lintas individu dan waktu, K

y it

= ∑ β k .it x k .it + ϑit

(IV.4)

k =1

Vektor yit merupakan serangkaian variabel endogen berukuran (NxT), xk.it adalah vektor variabel penjelas berukuran (NxTxK) untuk individu i ∈ N pada periode t ∈ T dan k ∈ K jumlah variabel penjelas. Jika diasumsikan tidak ada perbedaan parameter lintas individu (cross section invariant) maka modelnya menjadi, K

y it

= ∑ ( β k + λ kt ) x k .it + eit

(IV.5)

k =1

Sebagaimana umumnya permasalahan model time series, model panel period specific ini juga berpotensi mengalami kasus otokorelasi dan kasus heteroscedasticity. Untuk model standar

y = xβ + ε , dengan kovarian E[ε , ε ' ] = σ t2 .Φ , kasus ini muncul ketika matriks kovarian residual 2 Φ , tidak diagonal dengan elemen diagonal yang merupakan fungsi dari regressor, σ t = f (x k .it ) .

Mengatasi kemungkinan ini, maka struktur kovarian parameter random diset secara lebih bebas yakni;

∆ ; ∀ t = s E[λ t , λ s ] =  0 ;∀ t ≠ s

(IV.6)

∆ ; ∀ i = j , t = s E[eit , e js ] =  ii ; otherwise 0 Setting ini menunjukkan bahwa vektor residual persamaan yang terdiri dari K-buah residul,

eit=( e1it , e2it , ..., eKit) selain memiliki rata-rata nol E(e e)= 0, juga tidak direstriksi untuk diagonal. Keleluasaan yang sama juga diaplikasikan pada efek waktu yang random terhadap slope parameter dengan struktur kovarian E[λλ ' ] = ∆ , yang juga tidak harus diagonal. Dalan notasi matriks, model ini dapat diberikan sebagai:

~ ~ yi = Xi β + Z i λ +e i

(IV.7)

‘ ‘ ‘ ‘ Dimensi dari yi dan Xi masing-masing (T x 1) dan (T x K). Matriksλ = ( λ 1 , λ 2 , ...., λ T ) merupakan

vektor dengan T buah elemen yang mana elemennya sendiri juga merupakan matriks

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

373

λ t = ( λ 1t , λ 2t , ...., λ Kt ) dengan ukuran (T x K) sehingga secara total ukuran λ» adalah (TK x T). Residu dari persamaan et = (eit , eit ,..., eit ) juga merupakan matriks dengan ukuran (T x 1). ~ ' Matriks Z i merupakan matirks diagonal dengan elemen x it = ( xi1 , x i2 , xi 3 ,...., xiT ) yang

juga merupakan matriks dengan ukuran (N x T). Ukuran total matriks ~ Z i adalah (T x TK)

xi'1 ~ Zi =

(IV.8)

xi' 2 . . xiT'

~

~

Jika diperhitungkan N individu, maka (4 dapat dituliskan kembali sebagai y = X β + Z λ + e, ~ dimana y, X, dan Z i masing-masing berukuran (NT), (NT x K), dan (NT x TK). Sejauh ini, kita mengasumsikan bahwa hanya time effect yang ada dalam model. Dengan setting seperti ini, maka matriks kovarian dari seluruh komponen random model diberikan sebagai:

O I

~ ~ = E [( Z λ + e )( Z λ + e )' =

~ ~ E [ Z ( λλ ' ) Z '+ ee ' ]

(IV.9)

= Z ( I T ⊗ ∆ ) Z ' + σ 2 I NT e Bermodalkan ini maka dengan mengaplikasikan teknik estimated generalized least square (EGLS), estimator yang tidak bias dan efisien dapat diperoleh yakni:βˆ = ( X' O I −1 X) −1 X' OI −1 y .

III.3. Model Empiris Sebelum estimasi model, terlebih dahulu dilakukan pengujian stasioneritas data dengan panel unit root test. Alternatif pertama pengujian stasioneritas data ini diberikan oleh Levin, Lin dan Chu dan Breitung dengan hipotesa nol ada common unit root. Alternatif lain adalah ImPesaran-Shin, ADF-Fisher dan PP-Fisher dengan hipotesa nol terdapat individual unit root, serta spesifikasi oleh Hadri dengan hipotesa nol tidak ada common unit root. Berdasarkan model teoritis yang diuraikan sebelumnya model empiris yang diestimasi adalah:

RETit = ( β 1 + λ1t ).ALit + ( β 2 + λ2 t ).SS it + ( β 3 + λ3t ).MTit + ( β 4 + λ 4t ).Otherit + ε t

(IV.10)

374 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

dimana RETit, ALit, dan SSit beruturut-turut adalah return investasi yang dihasilkan, keputusan alokasi, pemilihan sekuritas, dan market timing yang dilakukan oleh pengelola dana untuk reksadana i pada periode t. Variabel Otherit menangkap faktor lain yang mempengaruhi return diluar 3 kebijakan dan strategi pengelolaan dana. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, parameter random

λ1 t , λ2 t , λ3t dan λ4 t yang menunjukkan time effect dari setiap kebijakan

pengelolaan dana yang dilakukan oleh fund manajer, dapat kita peroleh dengan estimasi

~

ˆ ) ditaksir dari estimator GLS (β) Estimated Generalized Least Square (EGLS). Parameter EGLS (β dengan terlebih dahulu menaksir matriks kovarian O Iˆ dari O .

I

Berdasarkan arah, besaran dan signifikansi dari parameter ini, kita dapat mengukur tingkat efisiensi pengelolaan dana pada pasar modal di Indonesia. Dalam taraf aplikasi, mengacu pada model panel period specific yang dijelaskan sebelumya, maka estimasi model empiris ini dilakuan dengan metode kovarian koefisien (coefficient covariant method) Period SUR yang tergolong dalam pendekatan Panel Corrected Standard Error (PCSE), (Beck dan Katz, 1995). Kovarian koefisien ini robust terhadap perbedaan varian lintas periode meski tidak robust ketika terdapat korelasi contemporenous antar lintas residu persamaan T. Sesungguhnya terdapat asumsi yang lebih tepat dalam menspesifiksi residu seperti mengasumsikan proses residu berjalan mengikuti first order autoregressive namun dalam aplikasi empiris, hal ini dapat menurunkan tingkat akurasi parameter yang diestimasi sehingga tidak penulis ikuti (Doran dan Griffiths, 1983 dalam Judge et.al., 1985).

IV. HASIL DAN ANALISIS Inspeksi awal data menunjukkan bahwa semua variabel stasioner pada, baik menggunakan Levin-Lin-Chu, Breitung, Im-Pesaran-Shin maupun dengan Hadri. Pengujian unit root atas residual model juga menunjukkan hal yang sama. Ini menguatkan bahwa tidak ada masalah dalam spesifikasi dan kemungkinan spurious. Pengujian atas normalitas error tidak dilakukan sebab jumlah series data yang dipergunakan sebanyak 60 periode dengan 14 cross section. Jumlah observasi ini 2 kali lebih besar dari yang umumnya dipersyaratkan yakni 30 periode. Uji multikolinearitas juga tidak dilakukan sebab data merupakan data panel yang merupakan salah satu cara mengatasi kasus multikolinearitas selain transformasi (Gujarati, 1986). Selain itu tanda-tanda adanya kasus multikolinearitas yang ditandai dengan nilai R2 yang besar dan t-statistik yang umumnya tidak signifikan, tidak ditemukan pada setiap hasil estimasi model.

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Tabel IV.2 Kontribusi Strategi Pengelolaan Dana terhadap Return Bulanan Reksadana Periode Feb-02 Mar-02 Apr-02 May-02 Jun-02 Jul-02 Aug-02 Sep-02 Oct-02 Nov-02 Dec-02 Jan-03 Feb-03 Mar-03 Apr-03 May-03 Jun-03 Jul-03 Aug-03 Sep-03 Oct-03 Nov-03 Dec-03 Jan-04 Feb-04 Mar-04 Apr-04 May-04 Jun-04 Jul-04 Aug-04 Sep-04 Oct-04 Nov-04 Dec-04 Jan-05 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 Jun-05 Jul-05 Aug-05 Sep-05 Oct-05 Nov-05 Dec-05 Jan-06 Feb-06 Mar-06 Apr-06 May-06 Jun-06 Jul-06 Aug-06 Sep-06 Oct-06 Nov-06 Dec-06

Kebijakan Alokasi 0,84 1,95 * 1,80 * 2,43 * 1,68 * 1,94 * 1,76 * 1,76 * 1,81 * 1,82 * 1,69 * 1,69 * 1,74 * -7,04 1,82 * 1,68 * 1,70 * 1,97 * 1,64 * 1,95 * 1,79 * 1,83 * 1,75 * 1,74 * 1,80 * 1,85 * 1,73 * 1,67 * 2,37 * 1,75 * 3,17 * 1,80 * 1,78 * 1,74 * 1,35 * 1,96 * 1,83 * 1,89 * 1,68 * 1,68 * 1,71 * 1,75 * 1,80 * 1,99 * 1,96 * 1,78 * 1,92 * 1,81 * 3,88 *** 1,72 * 1,79 * 1,73 * 1,88 * 1,75 * 1,71 * 1,74 * 1,71 * 1,90 * 1,63 *

Alokasi Aset Taktis

Stock Picking

4,76 -1,74 -1,32 -2,76 -0,64 0,15 -0,23 -1,52 -1,12 -0,86 -0,73 -0,83 -1,00 15,25 -1,48 -0,83 -0,88 -2,78 -0,55 -1,43 -1,27 -1,35 -1,06 -1,04 -1,22 -1,44 -0,96 -0,56 -1,00 -1,18 -2,16 -1,38 -1,25 -1,02 0,72 -3,08 -2,13 -0,56 -0,68 -0,86 -0,91 -1,16 -1,31 -0,98 -1,94 -1,23 -1,47 -1,38 -2,35 -0,97 -1,16 -0,99 -1,63 -1,16 -0,95 -0,95 -1,14 -1,49 1,05

2,06 2,06 1,80 1,72 1,60 2,13 1,84 1,77 1,81 1,83 1,60 1,56 1,72 1,80 1,78 1,55 1,65 1,83 1,55 2,24 1,72 1,78 1,66 1,61 1,84 1,67 1,65 1,58 1,83 1,69 1,61 1,75 1,74 1,77 1,71 1,62 1,70 2,04 1,58 1,43 1,64 1,68 1,65 1,87 2,01 1,83 2,07 1,87 1,79 1,73 1,80 1,73 1,82 1,57 1,70 1,73 1,59 1,87 1,86

* * * * ** * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * ** * * * * * * * * * * * * * * * *** ** **

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Lainnya 0,79 -1,85 -0,90 -1,10 0,08 0,93 0,40 -0,18 -0,35 0,13 -0,10 -0,38 0,02 -1,52 -1,22 -0,27 -0,72 -1,58 -0,09 -0,46 -0,75 -0,99 -0,62 -0,47 -1,25 -0,86 0,18 0,23 -1,26 -0,30 -0,61 -1,19 -0,35 -1,05 -0,91 -0,34 -0,62 -2,21 0,09 0,09 -0,67 -0,82 -0,74 1,39 -2,15 -1,48 -0,70 -1,19 -1,47 -1,04 -0,48 -1,02 -1,17 -0,29 -0,94 -0,62 -0,55 -1,13 2,34

*) Signifikan pada α = 1%, , **) pada 5% dan ***) pada 10%. Estimasi model dekomposisi period specific. Variable dependent : Total Return, Method: Pooled EGLS (Period weights). R-squared = 0.999905, Adjusted R-squared = 0.999867, S.E. of regression = 0.007401, DW stat = 2.004910.

** ** *** **

** * * * * * ** * * * * * * * ** * * * * * *

* * * * * *** * * * * ** *

***

375

376 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Hasil estimasi divisualisasikan pada Gambar IV.2 dan Tabel IV.2. Secara umum model empiris tergolong baik dengan Adjusted R2 = 0.999, standar error = 0.007401, dan statistik Durbin Watson = 2.0049 yang menunjukkan model terbebas dari serial korelasi. Sepanjang periode observasi, hasil estimasi menunjukkan signifikansi peran positif strategi alokasi aset dan pemilihan sekuritas terhadap kinerja reksa dana di Indonesia. Untuk tahun 2002, kontribusi strategi alokasi aset terbesar terjadi pada bulan Mei 2002 dengan koefisien 2,43. Besaran koefisien ini menunjukkan bahwa kebijakan alokasi pasif ini mampu memberikan return yang senantiasa lebih besar dari return pasar, dan untuk bulan Mei 2002 ini, kebijakan alokasi pasif tersebut memberikan tambahan return 2,43% per bulan diatas return pasar. Pada bulan Mei 2002 ini NAB mencapai angka tertinggi sepanjang tahun dengan rata-rata 1488,2. Setelah itu, NAB mengalami penurunan hingga 1211,23 pada akhir tahun.

Dinamika Kemampuan Rata-rata Pengelola Dana Sepanjang Periode Observasi 20

Slope Regresi Alokasi Security Selection Market Timing Other

15 10

Normal Allocation Weight Rencana Alokasi sesuai Prospektus

5 0 -5 -10 M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11 M02 M05 M08 M11

2002

2003

2004

2005

2006

Gambar IV.2 Perkembangan Rata-rata Kemampuan manajer investasi dalam Alokasi Aset, Pemilihan Sekuritas dan Market Timing Hasil estimasi panel dengan alokasi sesuai prospektus sebagai proksi bobot alokasi normal.

Secara umum, perkembangan kinerja reksa dana saham di Indonesia sampai tahun 2002 relatif buruk. Rata-rata tingkat return masing-masing reksa dana saham pada tahun ini bernilai negatif kecuali 3 reksa dana Si Dana Saham, Nikko Saham Nusantara dan Arjuna dari 14 reksadana yang diobservasi. Salah satu penyebabnya adalah lebih banyak investor yang tertarik untuk menaruh dana-nya pada jenis reksa dana pendapatan tetap. Ketertarikan penempatan dana pada reksa dana pendapatan tetap ini didorong oleh sekuritisasi obligasi rekap (securitization of recap bond) yakni obligasi negara yang dipak dan

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

377

dijual sebagai reksa dana. Hal ini juga ditunjang oleh tren penurunan suku bunga SBI. Kelesuan pasar saham secara umum tercermin dari peningkatan total nilai perdagangan saham di BEJ yang sangat kecil, Rp 7.063 miliar, menyusul penurunan frekuensi perdagangan per November 2002 hanya 1.763 kali sedangkan tahun sebelumnya 1.814 kali (Bapepam, 2002). Tabel IV.3 NAB dan Rata-rata Alokasi Kelas Aset, Tahun 2002 Periode

Nilai Aktiva Bersih

Kelas Aset Uang

Kelas Aset Hutang

Kelas Aset Ekuitas

1.255,75 1.257,96 1.312,51 1.474,64 1.488,22 1.424,98 1.337,11 1.298,05 1.198,86 1.077,55 1.127,50 1.211,23

18,7% 25,4% 16,4% 16,8% 13,4% 18,7% 18,3% 31,2% 16,4% 22,2% 21,4% 19,4%

1,9% 7,8% 2,4% 3,1% 2,4% 1,9% 18,9% 24,5% 19,7% 1,1% 18,4% 1,0%

79,4% 66,8% 81,2% 80,1% 84,3% 79,4% 62,8% 44,3% 63,9% 76,7% 60,2% 79,6%

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber: Bapepam (2007), diolah.

Menghadapi hal ini, reaksi utama dari para pengelola dana adalah melakukan realokasi dana sebagaimana diilustrasikan pada Gambar IV.3. Terdapat 2 titik waktu yakni bulan September dan November 2002 yang mana alokasi atas ekuitas mengalami titik terendah. Upaya realokasi jangka pendek atau tactical asset allocation yang disesuikan dengan kondisi pasar ini tidak membantu bahkan memberikan kontribusi negatif terhadap return. Berdasaran hasil estimasi panel period-specific, koefisien alokasi aset taktis adalah sebesar minus 1,52 (September 2002) dan minus 0,86 (November 2002). Bahkan pada bulan Mei 2002 ketika NAB mengalami titik tertinggi dan kebijakan alokasi pasif memberikan marginal return terbesar (2,43% per bulan), kebijakan alokasi aset taktis (market timing) justru memberikan pengurangan return terbesar, minus 2,76% per bulan (signifikan pada). Satu-satunya kontribusi kebijakan market timing yang positif hanya terjadi pada bulan Juni 2002 dengan koefisien yang sangat kecil (0,15), itupun secara statistik tidak signifikan. Kegagalan alokasi aktif para menajer investasi reksadana saham ini menunjukkan bahwa kebijakan alokasi pasif yang tertuang dalam prospektus masih merupakan kebijakan alokasi yang superior dan memberikan return lebih dibandingkan return

benchmark. Berbeda dengan upaya realokasi dana, upaya pemilihan sekuritas (stock picking) selama tahun 2002 ini mampu memberikan kontribusi positif terhadap total return, terutama pada

378 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Rata-rata NAB

Rata-rata Alokasi Aset Hutang

6000

.25

5000

.20

4000

.15

3000

.10

2000

.05

1000

.00 2002

2003

2004

2005

2006

2002

2003

2004

2005

2006

Rata-rata Alokasi Ekuitas

Rata-rata Alokasi Aset Uang .35

1.0

.30

0.9

.25

0.8

.20

0.7

.15

0.6

.10

0.5 0.4

.05 2002

2003

2004

2005

2006

2002

2003

2004

2005

2006

Gambar IV.3 Perkembangan NAB dan Kebijakan Alokasi Aktual Sumber: Bapepam, diolah.

semester pertama. Khususnya pada bulan Juli 2002 para pengelola reksadana mampu memilih efek yang memberikan return lebih diatas return rata-rata pasar. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa kemampuan pemilihan sekuritas ini senantiasa positif sepanjang periode observasi. Pada periode 2003, meski NAB reksadana saham secara rata-rata masih lebih rendah dari tahun 2002, reksadana saham mulai kembali mengalami peningkatan. Alokasi dana untuk ekuitas naik 11% menjadi 91% yang merupakan pengalihan dari kelas aset uang. Salah satu faktor pedorong utama menggeliatnya pasar modal pada tahun ini adalah kecenderungan inflasi yang semakin menurun dengan volatilitas yang rendah. Tercatat inflasi sebesar 8,76% (y.o.y) pada awal tahun dan terus menurun hingga 5,09% pada akhir tahun 2003. Penurunan inflasi domestik ini berkebalikan dengan laju inflasi dunia. Pada kelompok negara maju, laju inflasi meningkat menjadi menjadi 1,9% dari 1,5% pada tahun 2002 Pada sisi lain, nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi terhadap Dollar dan stabil pada level rata-rata Rp8.577,13. Faktor ini mendorong suku bunga terus menurun sepanjang tahun

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

379

Tabel IV.4 NAB dan Rata-rata Alokasi atas Kelas Aset, Tahun 2003 Periode Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

Nilai Aktiva Bersih 1117,83 1149,30 1139,86 1287,80 1406,07 1440,31 1449,04 1477,72 1617,44 1699,80 1683,13 1856,15

Kelas Aset Uang 8% 19% 16% 17% 13% 8% 13% 17% 20% 22% 19% 17%

Kelas Aset Hutang 1% 1% 2% 3% 2% 1% 2% 3% 4% 1% 1% 3%

Kelas Aset Ekuitas 91% 80% 81% 80% 84% 91% 84% 80% 75% 77% 80% 80%

Sumber : Bapepam, diolah.

seiring menurunnya tingkat suku bunga SBI 1 bulan sebesar 462 bps dibandingkan tahun sebelumnya, yang diantisipasi oleh pelaku bursa dengan pengalokasian dana dari pasar uang ke pasar modal. Meski tahun 2003 ini dapat dikategorikan sebagai tahun yang stabil, reaksi dari pengelola reksa dana saham bervariasi dari bulan ke bulan sepanjang tahun ini, sebagaimana terlihat dalam Tabel IV.4. Berdasarkan hasil estimasi, kebijakan alokasi taktis yang dilakukan oleh para pengelola dana yang disesuaikan dengan kondisi pasar secara statistik justru memberikan tambahan negatif bagi return. Kesalahan terbesar dalam hal pembobotan kelas aset terjadi pada bulan Juli 2003 yang memberikan marginal return negatif sebesar minus 2,78%. Ini berarti setiap pergerakan alokasi sebesar 1% yang menyimpang dari rencana alokasi awal, secara rata-rata menurunkan return rekasadana saham sebesar minus 2,78% per bulan. Dalam hal strategi pememilihan sekuritas, para pengelola dana berhasil memilih sekuritas yang memberikan return diatas rata-rata return pasar sepanjang tahun 2003. Pada bulan September 2003, kemampuan stock picking dalam memberikan marginal return mencapai 2,4% yang tertinggi selang periode 2002- 2006. Maret 2003 merupakan pengecualian. Pada bulan ini, koefisien marginal untuk pemilihan sekuritas sebesar 1,8%, yang menunjukkan performa baik para manajer investasi dalam memilih sekuritas yang menguntungkan. Pada sisi lain, kebijakan alokasi pasif yang direncanakan sesuai dengan prospektus, justru memberikan return yang jauh dibawah return benchmark. Hal ini ditunjukkan dengan koefisien marginal return sebesar minus 7,04%. Strategi alokasi taktis yang merupakan keputusan realokasi dana lintas kelas aset oleh manajer investasi, justru membuahkan tambahan return sebesar 15,25% per bulan.

380 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Fenomena bulan Maret 2003 ini perlu digarisbawahi; yakni secara statistik 2 strategi terakhir (alokasi pasif dan alokasi taktis) tidak signifikan. Ini dapat diinterpretasikan bahwa kebijakan alokasi ini tidak berlaku umum untuk seluruh pengelola dana yang diobservasi dalam penelitian ini. Pada bulan Maret 2003 ini, variasi return reksa dana sangat tinggi (1,62), atau 28 kali lebih tinggi dibanding rata-rata variasi 11 bulan lainnya pada tahun yang sama. Pemicu fenomena bursa saham pada bulan Maret 2003 ini adalah mencuatnya kekhawatiran akan percahnya perang di Irak, menyusul berakhirnya masa tenggak waktu yang diberikan Amerika kepada Irak untuk melucuti senjatanya. Dalam skala global, antisipasi telah dilakukan oleh berbagai pihak antara lain Jepang dan Amerika yang membuat kesepakatan untuk mengambil langkah bersama ketika perang mengancam bursa (Fukuda, konferensi pers 19 Maret 2003) sementara Taiwan menurunkan band pergerakan harga saham yang tadinya + 7% dalam sehari dan bahkan membuka kemungkinan untuk menghentikan transaksi bursa sama sekali. Selain itu Taiwan juga berencana mengaktifkan Dana Stabilitas Nasional (NSF). Di Korea Selatan, otoritas moneter menegaskan langkah intervensi dalam bentuk tax break dan injeksi likuiditas manakala diperlukan untuk meredam gejolak bursa. Ketika pasar sedang menunggu, reaksi dari 14 pengelola dana yang diobservasi ini beragam sehingga memberikan hasil yang sangat variatif, lihat Lampiran 1. Penelusuran individual menunjukkan reksa dana Nikko, BIG Nusantara, Master Dinamis, Mawar dan Bahana mencatat return yang fantastis pada Maret 2003 ini yakni 459%, 141%, 88% , 66% dan 27,88%. Pada sisi lain, reksa dana yang terpuruk adalah Si Dana Saham, Panin Dana Maksima, Phinisi dan Schroder masing-masing dengan return minus 66%, minus 47%, minus 40% dan minus 37%. Hal ini dapat diilustrasikan pada perkembangan NAB dari 14 reksadana saham yang diobservasi pada Gambar IV.4.

6000

ABN AMRO Cerdas Sentosa Master Din.

5000

Bahana D.P BIG Nus. Panin D.M Phinisi

Si Dana Schroder BNI Berk. Mawar

Nikko Arjuna

4000 3000 2000 1000 0 M01

M04

M07

M10

2003

Gambar IV.4 Perkembangan NAB atas 14 Reksa Dana Saham selama tahun 2003

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

381

Tahun 2004 merupakan tahap perkembangan lebih lanjut reksa dana di Indonesia. Dengan situasi perekonomian yang relatif stabil, rata-rata return reksa dana saham di Indonesia tercatat 34% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata return di Asia seperti di Filipina, 27,1% (Lipper Company). Lonjakan NAB untuk reksa dana secara umum di Indonesia sangat signifikan yakni Rp104,04 trilyun dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar Rp69,47 trilyun. Meskipun demikian 14 reksa dana saham yang diobservasi dalam penelitian ini hanya menunjukkan tingkat return rata-rata 3,7%. Rata-rata return tertinggi sepanjang tahun 2004 ini dibukukan oleh BIG Nusantara sebesar 21,6% sementara yang terburuk adalah Danareksa Mawar dengan return rata-rata minus 1,6%. Variasi alokasi aset taktis lintas 14 reksa dana yang diobservasi cukup besar. Kecuali untuk beberapa pengeloa dana, secara umum hasil estimasi menunjukkan strategi alokasi aset taktis tidak mampu meningkatkan return, bahkan memberikan marginal return yang negatif yang menunjukkan pembobotan kelas aset yang salah arah. Pada bulan Agustus 2004, kesalahan pembobotan ini memberikan penurunan marginal atas return sebesar minus 2,16%. Pada saat yang bersamaan, kebijakan alokasi pasif secara signifikan memberikan tambahan return sebesar 3,17%. Tahun 2005 ditandai dengan pengetatan likuiditas otoritas moneter melalui peningkatan suku bunga SBI dan mengakibatkan crash pada pasar modal. Kondisi ini kemudian mendorong sebagian pemilik reksa dana melakukan redemption sehingga mengakibatkan aset industri reksa dana diawal tahun sebesar Rp 108,223 triliun anjlok 74.49% menjadi Rp 27,589 diakhir tahun 2005. Dampak dari kebijakan ini mengalami puncaknya pada bulan Maret dengan beralihnya alokasi dana ke pasar uang menjadi 22% dari 13% pada awal tahun. Reaksi individual dalam bentuk kebijakan alokasi taktis dapat dilihat dalam Lampiran IV.1. Pada akhir Agustus 2005, harga minyak dunia merangkak naik dan mencapai level tertinggi pada US$ 71 per barel. Ini memicu kenaikan harga BBM yang pada akhirnya memicu inflasi. Menghadapi shock eksternal ini, pengelola dana merealokasi dana dalam portofolio mereka, dan berupaya memilih sekuritas yang berpotensi memberikan keuntungan lebih besar, dalam hal ini pasar uang dana aset riil. Saat ini harga minyak mentah per Mei 2008 telah menyentuh US$143 per barel, atau 200% dibandingkan Agustus 2005. Meski tidak masuk dalam periode observasi, namun pola perilaku investor menghadapi kenaikan harga minyak mentah yang memicu inflasi, relatif sama. Perbandingan inflasi yang kontras dapat terlihat pada angka inflasi 1.42% per Januari 2005, dan di akhir Oktober mencapai 15.65% (Bank Indonesia, 2005). Meski inflasi berdampak secara menyeluruh terhadap semua produk pasar uang dan pasar modal, namun reaksi dari jenis produk tersebut terhadap perubahan inflasi berbeda-beda, tergantung pada tingkat elastisitas pasar atas inflasi. Peningkatan inflasi ini menurunkan tingkat suku bunga riil yang

382 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

merupakan biaya dalam memegang uang. Dari sudut pandang investor, ini merupakan penurunan daya tarik produk pasar uang, dan pada periode ini rata-rata tingkat realokasi untuk pasar uang menurunkan sebesar 3%. Bagi produk pasar modal terutama obligasi, inflasi yang terjadi selang tahun 2005 ini akan meningkatkan penawaran obligasi akibat menurunnya biaya relatif pendanaan perusahaan melalui penerbitan obligasi. Pada saat yang bersamaan inflasi secara relatif menurunkan return obligasi dibandingkan dengan aset riil, dari sudut pandang investor. Hal ini memicu penurunan permintaan obligasi. Hasil estimasi menunjukkan bahwa upaya realokasi dana yang dilakukan oleh para manajer investor pada tahun 2005 ini, tidak berhasil. Berdasarkan hasil estimasi hanya upaya pemilihan sekuritas yang mampu memberikan marginal return yang positif. Pada akhir 2005, strategi pemilihan sekuritas mampu memberikan marginal return sebesar 2,97%.

V. KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menunjukkan kontribusi positif yang signifikan atas kebijakan alokasi aset pasif yang telah ditentukan dan tertuang dalam prospektus masing-masing reksadana. Temuan ini selaras dengan berbagai penelitian sebelumnya tentang peran besar kebijakan alokasi dalam menentukan return investasi reksadana. Hasil penelitian juga menunjukkan peran positif dan signifikan dari strategi pemilihan sekuritas terhadap kinerja reksa dana saham yang diobservasi. Ini menunjukkan kemampuan para pengelola untuk melihat perkembangan pasar menyangkut sekuritas yang mampu memberikan return yang lebih baik dari return pasar. Pada sisi lain, strategi alokasi aset taktis yang disesuaikan dengan kondisi pasar (market

timing) justru memberikan marginal return yang negatif. Secara rata-rata, kesalahan manajer investasi dalam hal strategi market timing yang terbesar, terjadi pada Januari 2005, Juli 2003, Mei 2002 dan Februari 2006, masing-masing dengan koefisien sebesar minus 3.0773, minus 2.7850, minus 2.7636 dan minus 2.3539. Ini menunjukkan stretegi pembobotan kelas aset oleh manajer investasi pada bulan-bulan ini, salah dalam arah pengalokasian. Mengingat alokasi aset memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja reksa dana, maka sebaiknya Bapepam melakukan monitoring yang intensif terhadap pelaksanaan kebijakan alokasi aset yang telah ditetapkan oleh masing-masing reksa dana sebagaimana tercantum di dalam prospektusnya. Hal ini diharapkan dapat memicu para manajer investasi untuk melakukan kebijakan investasi yang konsisten sehingga para investor merasa terlindungi. Hasil penelitian ini menyarankan perlunya penyediaan informasi yang memadai untuk investor mengenai risiko oleh pengelola aset (asset management). Memang setelah crash tahun

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

383

2005 prospektus yang terbit telah mencantumkan risiko tetapi risiko yang tercantum hanya informasi umum yang berkaitan dengan pengelolaan investasi. Saran ini didasarkan pada identifikasi kuantitatif atas dinamika return dan risiko yang cukup bervariasi lintas reksa dana yang menunjukkan tingkat pengambilan risiko yang bervariasi lintas pengelola. Negatifnya kontribusi strategi market timing yang ditunjukkan dalam penelitian ini, secara eksplisit memberikan saran kepada para pengelola dana untuk memperpanjang horizon waktu yang dipertimbangkan dalam optimalisasi kinerja pengelolaan dana mereka. Dengan kata lain, penulis menyarankan agar para pengelola dana tidak terlalu bereaksi atas volatilitas pasar jangka pendek. Sebaliknya, kontribusi positif dari strategi security selection secara eksplisit memberikan saran agar para pengelola lebih mencermati kondisi fundamental dari para perusahaan yang me-listing sahamnya pada bursa. Ini menggiring pada saran lebih lanjut agar dilakukan penyempurnaan informasi tentang kondisi fundamental perusahaan baik oleh pengelola dana maupuan oleh lembaga yang memiliki otoritas atas pasar modal termasuk Bapepam dan pengelola bursa. Informasi ini juga melingkupi informasi tentang fundametal makro perekonomian seperti ekonomi dan politik, peraturan, nilai tukar, risiko likuiditas. Mengingat kemungkinan konflik interst yang potensial terjadi, penulis menyarankan kepada otoritas moneter untuk mendukung adanya lembaga yang independen untuk melakukan analisa kinerja para pengelola dana. Dalam jangka panjang, penulis meyakini hal ini akan mendukung perkembangan reksa dana yang lebih baik. Untuk penelitian lebih lanjut, paper ini perlu dikembangkan dalam bentuk aplikasi teknik estimasi yang memiliki selain kelebihan teknik estimasi panel, juga berkemampuan untuk mengatasi masalah-masalah yang sering terjadi pada data runtun waktu seperti masalah serial korelasi. Salah satu contoh teknik seperti ini adalah panel GARCH. Hal ini penting untuk mempertajam analisis terhadap reksa dana yang ada di Indonesia. Mengingat keterbatasan data sebagaimana yang penulis alami, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan cakupan data yang lebih baik. Baik dalam hal jumlah jenis reksa dana, dan juga dalam hal panjang series serta frekuensi yang lebih tinggi misalnya harian. Penelitian ini telah berhasil mendekomposisikan dan mengatribusikan total return kedalam 3 komponennya; alokasi aset, pemilihan sekuritas dan waktu pasar. Namun demikian, penelitian ini tidak secara khusus menguraikan tentang penyebab dinamika dan variasi dari 3 komponen tersebut sepanjang waktu. Ini juga membuka ruang penelitian lebih lanjut yang turut memperhitungkan faktor-faktor perilaku, persepsi dan interprestasi terhadap kondisi pasar, serta variabel kebijakan.

384 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

Daftar Pustaka

Bapepam, Statistik Pasar Modal, Minggu ke V Desember 2003 Black,David,Bruce N.Lehmann,Allan Timmerman (1998), ∆Asset Allocation Dynamics and Pension Fund Perfomance∆,Journal of Economics Literature,G11,G23 Brinson,G.P.,L.,Hood L.R dan Beebower G.L.,(1986),∆Determinants Portofolio Perfomance∆, Financial Analyst Journal,(July/August),39-48. Brinson,G.P.,L.,Singer B.D dan Beebower G.L.,(1991), ∆Determinants Portofolio Perfomance

II: An Update∆, Financial Analyst Journal,(May/June), 40-48. Carhart, Mark M (1997). On Persistence in Mutual Fund Perfomance, The Journal of Finance, Vol II No.1, p.57-82. Drobetz,Wolfgang, Friederike Kohler (2002).∆ The Contribution of Asset Allocation Policy to

Portfolio Perfomance∆,Working Paper,No.2/02, Basel: Department of Finance, University of Basel. Elton, Edwin J., Martin J.Gruber, Stephen J. Brown, William Goetzmann, 2003, Modern Portofolio

Theory and Investments Analysis, USA: John Wiley & Sons, Inc. Gujarati N, Damodar, (2003). Basic Econometrics, Fourth Edition, New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Howe, Thomas S. And Ralph A. Pope, (1996). Equity Mutual Fund Historical Perfomance Ratings

As Predictors of Future Istavirti, Yuyun, (2008), Pengaruh Strategi Asset Allocation, Security Selection dan Market Timing terhadap Kinerja Reksa Dana Saham di Indonesia, tesis pada Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia. Judge, et.al, (1985), The Theory and Practice of Econometrics, John Wiley & Sons, Singapore. Kothari, S.P. and Jerold B.Warner (2001). Evaluating Mutual Fund Perfomance, Journal of Finance, Vol . LVI No.5. Mahdi, Izakia, Eko P. Pratomo dan Jasper J. Mejerink, 2002, Mengukur Kinerja Reksa Dana,

Mengapa harus Reksa Dana?, p. 141-157. Manurung, Adler H., (2007). Reksa Dana Investasiku. Penerbit Buku Kompas √Jakarta Markowitz, H.M (1952), ≈ Portfolio Selection∆ The Journal of Finance, March ,Vol.7-1,77-91. Partawidjaja, Djumyati (2005), ≈ Pengukuran Kinerja Reksa Dana Saham Berdasarkan Market Timing dan Stock Selection Serta Fakor Ekonomi Makro yang Mempengaruhinya∆, Tesis S2 yang tidak dipublikasikan, Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia. Pratomo,Eko.P. dan Ubaidillah Nugraha (2002). Reksa Dana Solusi Perencanaan Investasi di Era

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

385

Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama-Jakarta. Roy D. Henriksson, R.C. Merton, ≈On Market Timing and Investment Perfomance: Statistical Procedure for Evaluating Forcast Skills,∆Journal Business 54, October 1981. Swamy dan Mehta, (1975), ≈Bayesian and Non Bayesian Analysis of Switching Regressions ande of Random Coefficient Regression Models∆, Journal of the American Statistical

Association, 70, 593-602. _______________, (1977), ≈Estimation of Linear Models with Time and Cross-Sectionally Varying Coefficients∆, Journal of the American Statistical Association, 72, 80-898 Treynor, Jack L. and K. Mazuy (1996). Can Mutual Funds Outguess the Market?., Harvard Business Review, p. 131-136. Wardani, Ratna (2003), Analisis Faktor-Faktor Determinasi Kinerja Reksa Dana Saham di Indonesia

Periode 1998-2001, Tesis S-2 yang tidak dipublikasikan, Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia.

386 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

1,0

1,0

0,8

0,8

0,6

0,6

0,4

0,4

0,2

0,2

0,0

0,0

-0,2

ABN AMRO 2002

2003

2004

2005

ARJUNA

-0,2

2006

2002

Ht_1Aasahe Ret_1Aasahe

Eku_1Aasahe Uang_1Aasahe

2003

2004

Eku_1Uparje Uang_1Uparje

2005

2006

Ht_1Uparje Ret_1Uparje

4

1,0

3 0,5

2 1 0,0

0 BAHANA DANA PRIMA

-0,2 2002

2003

2004

Ret_1Dxprie Eku_1Dxprie

2005

BIG NUSANTARA

-1

2006

2002

Uang_1Dxprie Ht_1Dxprie

2003

2004

Ret_1Epnuse Eku_1Epnuse

2005

2006

Uang_1Epnuse Ht_1Epnuse

1.0

1,2

0.8

0,8

0.6 0,4

0.4 0.2

0,0

0.0 -0,4 -0.2 BNI BERKEMBANG

-0,8 2002

2003 Ret_1Nikemf Eku_1Nikemf

2004

2005 Uang_1Nikemf Ht_1Nikemf

2006

MAWAR

-0.4 2002

2003 Ret_1Odmawe Eku_1Odmawe

2004

2005 Uang_1Odmawe Ht_1Odmawe

Grafik Lampiran IV.1 Return dan Alokasi Dana atas 14 Reksadana Saham, 2002-2006

2006

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

5

1.0

4 3

0.5

2

0.0

1 0

MASTER DINAMIS

-0.5 2002

2003

2004

Ret_1Dhdine Ku_1Dhdinee

2005

NIKKO

-1 2002

2006

2003

2004

Ret_1Rbsahe Eku_1Rbsahe

Uang_1Dhdine Ht_1Dhdine

1.6

2,5

1.2

2,0

2005

2006

Uang_1Rbsahe Ht_1Rbsahe

1,5

0.8

1,0

0.4 0,5

0.0

0,0

-0.4

-0,5

PANIN DANA MAKSIMA

-0.8 2002

2003

2004

Ret_1Gr Make Eku_1Gr Make

2005

-1,0 2002

2006

2003

2004

Ret_1Hzphse Eku_1Hzphse

Uang_1Gr Make Ht_1Gr Make

1.2

2005

2006

Uang_1Hzphse Ht_1Hzphse

1.0 0.8

0.8 0.6 0.4

0.4 0.2

0.0 0.0 DANA SENTOSA

-0.4 2002

2003 Ret_1Bs Sene Eku_1Bs Sene

2004

2005 Uang_1Bs Sene Ht_1Bs Sene

2006

RENCANA CERDAS

-0.2 2002

2003 Ret_1Axcere Eku_1Axcere

2004

2005 Uang_1Axcere Ht_1Axcere

Sumber: Bapepam, diolah.

Grafik Lampiran IV.1 Return dan Alokasi Dana atas 14 Reksadana Saham, 2002-2006 (Lanjutan)

2006

387

388 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

1.0

2.4

0.8

2.0 1.6

0.6

1.2

0.4

0.8 0.2

0.4

0.0

0.0

-0.2

-0.4 SCHRODER

-0.4 2002

2003 Ret_1Kxplue Eku_1Kxplue

2004

2005 Uang_1Kxplue Ht_1Kxplue

2006

SI DANA SAHAM

-0.8 2002

2003 Ret_1In Sahe Eku_1In Sahe

2004

2005 Uang_1In sahe Ht_1In Sahe

Grafik Lampiran IV.1 Return dan Alokasi Dana atas 14 Reksadana Saham, 2002-2006 (Lanjutan)

2006

Kinerja Pengelolaan Dana pada Pasar Modal Indonesia

Pertumbuhan IHK

Suku Bunga Diskonto (% pa.)

20

18 16

16 14 12

12 10

8 8 4

6 2002

2003

2004

2005

2006

2002

2003

2004

2005

2006

Call Money Rate (% pa.) 20 16 12 8 4 0 2002

2003

2004

2005

Harga Minyak Mentah (US$ per Barrel)

2006

Kurs Rata-rata Rupiah terhadap US$

80

10400

70

10000

60

9600

50 9200 40 8800

30

8400

20 10

8000 2002

2003

2004

2005

2006

2002

2003

Sumber: International Financial Statistic, IMF (2007).

Grafik Lampiran IV.2 Indikator Makro Indonesia, 2002-2006

2004

2005

2006

389

390 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

halaman ini sengaja dikosongkan

PETUNJUK PENULISAN

1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 1.000.000,- s.d. Rp 3.000.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan

softcopy anda ke: [email protected] Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394 4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12. 5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation. 6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya. 7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal

of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.acaweb.org/journal/ jel_class_system.html. 8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,

392 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2008

I. JUDUL BAB I.1. Sub Bab I.1.1. Sub Sub Bab 9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote. 10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,

a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch,, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. ≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel.. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John.. ≈Can Parental Decision Explain U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston,, Alan W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆, Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56. 11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.

Related Documents

Bemp April 2008
June 2020 23
April-2008
October 2019 28
April 2008
May 2020 16
April 2008
May 2020 19
April 2008
April 2020 12
April 2008
June 2020 2

More Documents from ""