Belanda Akan Mengakui Kemerdekaan RI: HARUSKAH Presiden RI ke Belanda Untuk Menerima Pernyataan Belanda?
Catatan Batara R. Hutagalung Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Pemerintah belanda dikabarkan akan mengundang Ir. Joko Widodo ke belanda. Namun, tidak jelas status Ir. Joko Widodo dalam kunjungan ini sebagai apa. Pasalnya, sampai hari ini, 7 Desember 2015, belanda tetap tidak mau mengakui de jure (secara yuridis) kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Untuk belanda, kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika belanda “melimpahkan kewenangan” (transfer of sovereignty/soevereniteitsoverdracht) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Dari sudut pandang belanda, pelimpahan kewenangan pada 27 Desember 1949 ini adalah “hadiah kemerdekaan” dari penjajah. Untuk mendapat “pelimpahan kewenangan” tersebut, RIS yang dipandang sebagai kelanjutan pemerintahNederlands Indië (India belanda), harus menanggung utang pemerintah nederlands Indië kepada pemerintah belanda sebesar 4,5 milyar gulden, waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $. Di dalamnya termasuk biaya untuk agresi militer belanda terhadap Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Sampai tahun 1956 telah dicicil sebesar 4 milyar gulden. Tahun 1956 pemerintah RI membatalkan secara sepihak hasil KMB, karena dinilai sangat merugikan Indonesia dan menghentikan sisa cicilan selanjutnya. Antara tahun 1945 – 1950, di masa agresi militer belanda yang dibantu tentara sekutunya, tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia, diperkirakan sekitar SATU JUTA rakyat Indonesia tewas dibantai tanpa proses hukum apapun. Dengan kata lain, Indonesia membayar kepada pemerintah belanda, biaya untuk agresi militer belanda terhadap Indonesia, dan membunuh satu juta rakyat Indonesia! Sukarno diangkat menjadi Presiden RIS. RIS terdiri dari 16 Negara Bagian, yaitu Republik Indonesia dan 15 negara boneka bentukan belanda. Ibukota Republik Indonesia adalah Yogyakarta dan Pejabat Presiden RI adalah Mr. Asaat Datuk Mudo. Kemudian satu-persatu 15 negara bentukan belanda dibubarkan dan bergabung ke Republik Indonesia. Pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali NKRI. Pada bulan September 1950, Republik Indonesia menjadi anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB) ke 60. Jadi yang terdaftar di PBB adalah RI, bukan RIS! Pada bulan Oktober 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rencananya akan ke Belanda, memenuhi undangan dari Ratu Belanda. Namun pada menit-menit terakhir, Presiden Yudhoyono beserta rombongan telah berada di Bandara Halim Perdanakusumah, kunjungan tersebut dibatalkan, karena adanya tuntutan dari kelompok separatis RMS (Republik Maluku Selatan) ke pengadilan di Belanda, agar
mengeluarkan perintah untuk menangkap Presiden RI setibanya di belanda, atas tuduhan pelanggaran HAM terhadap warga Maluku di Ambon. Kemudian pada akhir Maret 2014, Presiden Yudhoyono dikabarkan akan ke belanda untuk menghadiri Konferensi Internasional mengenai Nuklir. Kali ini juga batal, dan presiden diwakili oleh Wakil Presiden Budiono. Sampai akhir masa jabatannya sebagai Presiden, Dr. S.B. Yudhoyono tidak pernah mengunjungi Belanda, sehingga tanpa disadari, telah terhindar dari masalah besar yang menyangkut kedaulatan NKRI dan martabat bangsa Indonesia. Seandainya seorang Presiden Republik Indonesia ke Belanda sebelum pemerintah Belanda mengakui de jurekemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 akan memunculkan tiga masalah: Masalah pertama adalah, Pemerintah Belanda hingga saat ini tetap tidak mau mengakui de jurekemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Bahkan hingga 16 Agustus 2005, pemerintah Belanda juga tidak mau mengakui de facto kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. (Lihat tulisan: Mengapa Belanda tak mau akui de jurekemerdekaan RI 17.8.1945? Mengapa Pemerintah RI Membiarkannya? Dapat dibaca di:http://batarahutagalung.blogspot.com/2013/08/mengapa-belanda-takmau-akui-de-jure_11.html) Hal ini terungkap dengan pernyataan Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot, yang pada 16 Agustus 2005 di gedung Kemlu di Jl. Pejambon, Jakarta mengatakan, bahwa kini (2005) pemerintah Belanda menerima proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis. (Lihat lampiran, bahasa Inggris)). Namun dalam pidatonya pada 15.8.2005 di Den Haag, Ben Bot mengatakan dengan lebih jelas, bahwa kini (2005) pemerintah Belanda menerima de facto kemerdekaan RI 17.8.1945. (Lihat lampiran, bahasa belanda). Juga dalam wawancara dengan satu stasiun TV di Jakarta yang disiarkan pada 18.8.2005, dia menggaris-bawahi, bahwa pengakuan secara yuridis telah diberikan akhir 1949. Berarti yang dimaksud adalah kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Ketika memberikan kuliah umum di UI pada 20 Agustus 2015, Dr. Yudhoyono membenarkan hal ini. Dia mengatakan: "Menlu Belanda saat itu hadir ke saya, sebenarnya secara de facto persepsi saya, sebenarnya Belanda mengakui kita proklamasikan kemerdekaan secara simbolik meaning pada 10 years ago. Itu diakui," jelas SBY saat menyampaikan kuliah umum di Balai Sidang UI bertema 'Memaknai 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Tengah Dunia yang Berubah dalam Perspektif Sejarah', Depok, Kamis (20/8/2015).
Seharusnya pernyataan menlu belanda pada 16 Agustus 2005 membuat marah seluruh rakyat dan para petinggi Negara Republik Indonesia, karena dengan ucapan Ben Bot terungkap, bahwa hingga 16 Agustus 2005, untuk pemerintah belanda, REPUBLIK INDONESIA TIDAK EKSIS SAMA SEKALI, dan baru pada 16.8.2005, berarti 60 tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI, mantan penjajah di Nusantara, setelah “pertimbangan yang matang”, baru secara lisan menyampaikan, bahwa belanda MENERIMA DE FACTO proklamasi kemerdekaan Indonesia 17.8.1945. Dan setelah 65 tahun, baru akan memberikan pernyataan tertulis, yang ternyata batal terlaksana. Sebenarnya sesuai Konvensi Montevideo yang dicetuskan tanggal 26 Desember 1933, apabila telah memenuhi persyaratan untuk berdirinya suatu Negara, yaitu: 1. Adanya wilayah tertentu, 2. Adanya penduduk permanen, 3. Adanya pemerintahan, maka Negara baru tersebut TIDAK MEMERLUKAN PENGAKUAN DARI NEGARA LAIN! Juga adalah hak satu Negara untuk mengakui atau tidak mengakui Negara lain. Tetapi hal harus ini berlaku timbal-balik (resiprokal).RRC yang puluhan tahun tidak mau diakui oleh Amerika Serikat dan sekutunya, tidak mengalami kesulitan apapun. Demikian juga halnya sekarang dengan Taiwan, yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan banyak Negara, termasuk dengan Indonesia. Namun tidak ada masalah dalam berbagai hubungan bilateral antara Indonesia dengan Taiwan. Investasi Taiwan di Indonesia menempati urutang ke 9, Wisatawan dari Taiwan tahun 2002 menempati urutan 4, dan saat ini terdapat lebih dari 150.000 TKI di Taiwan. Yang menjadi masalah antara Republik Indonesia dengan kerajaan belanda adalah, Indonesia MENGAKUI belanda, namun belanda TIDAK MAU MENGAKUI Indonesia. Dan sikap belanda ini telah melanggar tata-krama hubungan antar Negara dan melanggar HAK ASASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA. Hak Asasi Negara adalah: 1. Kedaulatan, 2. KESETARAAN, 3. Mempertahankan diri. Kemudian mengenai batas wilayah Negara, apabila mengacu kepada hukum internasional: UTI POSSIDETIS IURIS, maka wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh bekas wilayah Nederlands Indië (India Belanda). Pernyataan kemerdekaan Indonesia juga sejalan dengan semangat yang dituangkan oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill di dalam Atlantic Charter (Piagam Atlantik), mengenai Hak bangsaBangsa Untuk Menentukan Nasibnya Sendiri (Rights for selfdetermination of
people). Atlantic Charter ini juga didukung oleh Ratu Belanda Wilhelmina, sebagaimana disampaikannya dalam pidato Radio di London, Inggris, pada 7 Desember 1942. Pada 30.9.2010 staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah mengatakan, bahwa (pada waktu itu) Presiden SBY akan mencatat sejarah hubungan Indonesia-Belanda dengan melakukan kunjungan kenegaraan. Ini merupakan kunjungan kenegaraan yang pertama dari seorang Kepala Negara RI ke Kerajaan Belanda. Faizasyah mengatakan: “Waktu Pak Harto, Gusdur dan Bu Mega dahulu bukan kunjungan kenegaraan.” (lihat lampiran) Oleh karena itu, kalau pemerintah Belanda TIDAKmengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, dan RIS yang diakui secara yuridis oleh pemerintah Belanda sudah dibubarkan, timbul pertanyaan: DR Susilo Bambang Yudhoyono (atau kemudian Ir. Joko Widodo) datang ke Belanda sebagai apa? Jadi Dr. Susilo Bambang Yudhoyono datang ke belanda bukan sebagai Presiden Republik Indonesia,karena belanda tidak mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945. Juga bukan sebagai Presiden RIS, sebagaimana mungkin dalam pandangan belanda, karena RIS sudah dibubarkan pada 16 Agustus 1950.
Masalah kedua adalah, dikabarkan bahwa dalam kunjungan (yang batal) tersebut akan disampaikan naskah resmi pengakuan pemerintah Belanda terhadap kemerdekaan RI, karena pada 16.8.2005 di Jakarta, Ben Bot sebagai Menlu Belanda (waktu itu) hanya menyampaikan secara lisan. Janggal kedengarannya, bahwa untuk pengakuan dari suatu Negara, kepala Negara dari Negara yang akan diberi pengakuan, harus datang ke Negara yang akan memberi pengakuan. Mungkin hal ini pernah terjadi di antara Negara yang masih berstatus jajahan, yang datang ke tuan penjajahnya untuk menerima “hadiah kemerdekaannya.” Namun belum pernah ada suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, bahkan yang sudah eksis sejak 65 tahun (tahun 1945 - 2010), terdaftar sebagai anggota PBB dan diakui oleh dunia internasional, Kepala Negaranya harus menghadap ke kepala Negara/pemerintah yang akan memberi pengakuan, apalagi mantan penjajah! Juga peristiwa ini akan mengukuhkan “versi Belanda”, bahwa Indonesia belum merdeka pada 17.8.1945. Oleh karena itu, apabila hal ini terjadi, yaitu dalam kunjungan ini, Kepala Negara Republik Indonesia, baru menerima pernyataan tertulis pengakuan dari Kerajaan Belanda, hal ini merupakan pelecehan terhadap KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA dan penghinaan terhadap MARTABAT BANGSA INDONESIA! Masalah ketiga adalah, pengakuan apa yang akan diberikan oleh pemerintah Belanda kepada Kepala Negara Republik Indonesia? Apakah PENGAKUAN DE JURE,
atau PENERIMAAN (ACCEPTANCE) DE FACTO? Yaitu hanya mengukuhkan secara tertulis pernyataan lisan Menlu belanda Ben Bot di Jakarta pada 16 Agustus 2005? Apabila yang akan diberikan adalah PENERIMAAN DE FACTO, maka ini hanyalah suatu pengulangan yang aneh, karena dalam Persetujaun Linggajati tahun 1946, pemerintah Belanda telah resmi menerima de facto Republik Indonesia, walaupun wilayah Republik Indonesia yang pada waktu diakui oleh Inggris dan belanda hanya meliputi Sumatera, Jawa dan Madura, KARENA BERKAT BANTUAN DUA DIVISI TENTARA Australia, belanda berhasil menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, dari Kalimantan, Sulawesi, Bali dst. Peristiwa penggabungan satu Negara ke Negara lain mirip dengan kasus Jerman Barat (Republik Federal Jerman) dan Jerman Timur (Republik Demokratik Jerman). Tahun 1990. Jerman Timur dinyatakan bubar, dan bergabung dengan Republik Federal Jerman (Jerman Barat). Dalam hal ini, wilayah Jerman Barat yang menjadi makin luas. Demikian juga dengan Republik Indonesia, setelah bubarnya RIS, Negara-negara bagian bekas RIS bergabung dengan Republik Indonesia. Apabila dalam kunjungan Presiden Republik Indonesia ke Belanda, di mana halhal tersebut di atas belum jelas, maka penyerahan pernyataan pengakuan terhadap Republik Indonesia oleh Belanda kepada Kepala Negara RI, sangat merendahkan MARTABAT BANGSA INDONESIA. Bahkan yang paling fatal adalah, apabila yang diserahkan, ternyata hanya PENERIMAAN DE FACTO KEMERDEKAAN RI 17.8.1945. Pemerintah Belanda hingga saat ini TAKUT mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945, karena pemerintah Belanda sadar akan konsekuensinya, yaitu, apabila pemerintah belanda mengakui de jure kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, maka apa yang dinamakan oleh pemerintah Belanda tahun 1947 dan 1948 sebagai “aksi polisional”, adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda harus membayar WAR REPARATION (pampasan perang), dan yang lebih fatal untuk veteran Belanda yang ikut dalam agresi militer tersebut menjadi WAR CRIMINALS (penjahat perang). Apalagi sejak diberlakukannya Statuta Roma, yang menjadi dasar dari International Criminal Court (Mahkamah Kejahatan Internasional) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, semua kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda dapat dituntut. Hal ini pernah diusulkan oleh seorang Dosen Fakultas Hukum Universitas Erasmus, Rotterdam, Manuel Kneepkens. Tahun 1993 dia mengusulkan agar dibentuk tribunal internasional untuk mengadili penjahat perang Belanda, terutama kejahatan Westerling. Dalam Statuta Roma, untuk empat jenis kejahatan dinyatakan tidak diterapkan azas kadaluarsa, yaitu untuk: 1. Genocide (pembersihan etnis), 2. Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan),
3. 4.
War crimes (kejahatan perang), dan Crime of aggression (kejahatan agresi). Empat jenis kejahatan tersebut telah dilakukan oleh tentara Belanda dan sekutunya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Tahun 1969, atas desakan dari parlemen Belanda, pemerintah Belanda melakukan penyelidikan terhadap tindakan-tindakan militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, yang kemudian diterbitkan dengan judul De Excessennota (Catatan ekses), di mana tercantum sekitar 100-an tindakan yang dilakukan oleh militer Belanda, yang oleh pemerintah Belanda dinilai sebagai “ekses.” Namun banyak pakar hukum di Belanda sendiri menyatakan, bahwa yang telah dilakukan adalah kejahatan perang. Beberapa peristiwa pembantaian terhadap penduduk sipil, seperti di Sulawesi Selatan, di desa Galung Lombok, Sulawesi Barat, Rawagede, dll., juga dicantumkan, walaupun jumlah korbannya disebutkan jauh lebih kecil dibandingkan kenyataannya. Pada 14 September 2011, pengadilan sipil di Den Haag Belanda, atas gugatan 8 orang janda dan satu korban selamat dari pembantaian di desa Rawagede, telah menjatuhkan vonis, bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggungjawab. Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk sipil di desa Rawagede, dekat Karawang, Jawa Barat. Tuntutan bahkan tidak perlu dimajukan ke Mahkamah Kejahatan Internasional, cukup di pengadilan sipil di Belanda.
Pembantaian di desa Galung Lombok, dekat Majene, Sulawesi Barat (sebelum pemekaran, dahulu termasuk Provinsi Sulawesi Selatan), termasuk peristiwa pembantaian terhadap penduduk sipil yang paling kejam dan biadab. Di tengah kerumunan massa yang berjumlah ribuan orang, Letnan Vermeulen, anak buah Westerling, memerintahkan untuk menembak secara membabi-buta. Akibatnya, dalam waktu hanya beberapa jam, pembantaian yang dilakukan tiga tahap, lebih dari 730 orang tewas, termasuk seorang wanita hamil dan anak-anak, yang sebenarnya diangkut oleh belanda guna menyaksikan eksekusi “para pemberontak, pembunuh dan pengacau keamanan.” Tidak terhitung yang luka-luka. Kemudian para penduduk yang masih hidup diperintahkan untuk segera mengubur mayat-mayat tersebut dengan ancaman, apabila tentara belanda kembali sore hari dan mayat-mayat tersbut belum dikuburkan, maka semua akan ditembak mati. Kalau kebetulan yang menguburkan adalah kenalan atau kerabat, mereka masih dapat mengingat siapa-siapa saja yang dikuburkan di dalam satu lubang. Oleh karena itu sangat diragukan, bahwa pemerintah Belanda akan memberikan pernyataan tertulis untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, karena
berarti pemerintah Belanda sendiri yang membuka pintu lebar-lebar untuk gugatan terhadap agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Sedangkan penerimaan (ACCEPTANCE) de factoPROKLAMASI 17.8.1945, tidak dapat diterima oleh bangsa Indonesia, karena merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan NKRI dan melecehkan MARTABAT BANGSA.
Penting kiranya hal-hal tersebut di atas menjadi pertimbangan, seandainya Ir. Joko Widodo akan memenuhi undangan (panggilan) ke belanda untuk menerima “pengakuan tertulis” (de jure atau hanya de facto lagi?) kemerdekaan Indonesia 17. Agustus 1945 .
Masalah-masalah tersebut di atas berlaku untuk semua Presiden Republik Indonesia, selama pemerintah Belanda tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945!
Sikap Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) tegas: Tanggal 10 Agustus 2015, KUKB telah menyampaikan PETISI kepada Presiden Republik Indonesia yang isinya:
Demi mempertahankan Kedaulatan NKRI dan menjunjung tinggi martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), mendesak pemerintah Republik Indonesia, agar segera:
MEMUTUS “HUBUNGAN DIPLOMATIK” ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN BELANDA!
Namun hingga hari ini, 7 Desember 2015, Petisi KUKB juga belum ditanggapi oleh Presiden Joko Widodo.
Sehubungan dengan rencana pemerintah belanda mengundang Ir. Joko Widodo ke belanda untuk menerima PERNYATAAN TERTULIS, apapun bentuknya, apakah PENERIMAAN DE FACTO, atau PENGAKUAN DE JURE, kami, Komite Utang Kehormatan Belanda DENGAN TEGAS MENYATAKAN MENOLAK KUNJUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KE BELANDA.
Juga, demi mempertahankan KEDAULATAN NEGARA dan menjunjung tinggi MARTABAT BANGSA, mendesak agar para pejabat Negara RI TIDAK MENGUNJUNGI BELANDA, SELAMA BELANDA TIDAK MAU MENGAKUI PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI 17 AGUSTUS 1945, YANG BERARTI BELANDA TIDAK MENGAKUI KEDAULATAN NKRI!!!
PERTANYAAN KEPADA RAKYAT INDONESIA: APAKAH ANDA SETUJU, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KE BALANDA UNTUK MENERIMA PERNYATAAN TERTULIS PENGAKUAN BELANDA (MUNGKIN HANYA PENERIMAAN DE FACTO) ATAS KEMERDEKAAN RI 17 AGUSTUS 1945.
KALAU BELANDA MEMBERIKAN PENGAKUAN DE JURE, INDONESIA DAPAT SEGERA MENUNTUT BELANDA KE MAHKAMAH KEJAHATAN INTERNASIONAL DI DEN HAAG, BELANDA, ATAS AGRESI TERHADAP REPUBLIK INDONESIA YANG MERDEKA DAN BERDAULAT SERTA ATAS KEJAHATAN PERANG.
Catatan: Seperti yang telah terjadi kami menuntut pemerintah belanda, ANTEKANTEK belanda di Indonesia segera menyerukan, bahwa hal-hal ini adalah peristiwa masa lalu … lupakan, kemudian menyerang balik dengan berbagai isu pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia antara tahun 1950 sampai sekarang, yang sebenarnya didalangi oleh Belanda dan ANTEK-ANTEKNYA di Indonesia.
********
LAMPIRAN-LAMPIRAN
SOLOPOS.COM > News > Belanda akan serahkan surat pengakuan Kemerdekaan RI ke SBY Kamis, 30 September 2010 19:44 WIB | |
Jakarta–Kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Belanda pekan depan punya makna sejarah. Dalam kesempatan itu akan disampaikan naskah resmi pengakuan pemerintah Belanda terhadap kedaulatan dan kemerdekaan RI. Demikian papar Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, tentang agenda Presiden SBY di Belanda. Dia ditemui di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (30/9). “Suratnya sudah diinisiasi sejak 2009 oleh pemerintah Belanda,” kata Faiz. Menurut jadwal, pada tanggal 6-8 Oktober mendatang Presiden SBY berada di Belanda dengan agenda utama kunjungan kenegaraan. Ini kali pertama Presiden RI adakan kunjungan kenegaraan resmi ke Belanda semenjak proklamasi kemerdekaan RI pada 65 tahun silam. “Waktu Pak Harto, Gus Dur dan Bu Mega duhulu itu bukan kunjungan kenegaraan,” jelas Faiz.
Sementara kunjungan kenegaraan Presiden SBY nanti, berlangsung atas undangan Ratu Beatrix. Surat undangan resmi dari Kerajaan Belanda itu sudah disampaikan sejak 4 tahun lalu. “Kegiatan formal di sana nanti bertemu dengan Ratu Belanda, PM Belanda dan menandatangani satu perjanjian kemitraan komprehensif,” papar Faiz. Agenda lain Presiden SBY selama di Belanda adalah bussiness meeting dengan para pengusaha besar dan berpidato di salah satu perguruan tinggi. Tak ketinggalan Presiden SBY dialog dengan WNI dan mahasiswa Indonesia yang berada di Belanda. Menyinggung pernyataan Dubes JE Habibie yang jadi kontroversi di Belanda, menurut Faiz sudah tak lagi jadi masalah. Semua salah paham sudah dijelaskan dan tak lagi yang menjadi ganjalan bagi pemerintah Belanda.“Kita maklumi ada salah kutip. Pemerintah di sana juga tidak mempermasalahkan apa yang disampaikan Pak Habibie. Kita anggap sudah selesai,” paparnya. dtc/nad
Sumber: http://www.solopos.com/2010/09/30/belanda-akan-serahkan-suratpengakuan-kemerdekaan-ri-ke-sby-2-56725 Belanda Akui Kemerdekaan RI secara Tertulis Selama ini, Belanda hanya memberikan penyerahan kedaulatan, bukan pengakuan.
Ita Lismawati F. Malau, Nur Farida Ahniar | Kamis, 30 September 2010, 17:48 WIB
VIVAnews - Setelah 65 tahun Indonesia merdeka, Belanda akhirnya akan memberikan pengakuan tertulis. Selama ini Belanda hanya memberikan penyerahan kedaulatan, bukan pengakuan kedaulatan. Pernyataan tertulis ini akan diserahkan pada kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, 5-8 Oktober mendatang. Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan pengakuan itu akan ditandatangani oleh pemerintah Belanda. Dengan kunjungan ini diharapkan, kedua negara bisa lebih melihat ke depan, dan tidak
terseret oleh beban sejarah. "Ini juga menunjukkan kedewasaan hubungan kedua negara," kata Faizasyah di Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Kamis 30 September 2010. Meski belum memberikan pengakuan secara tertulis, namun secara de facto, Menteri Luar Negeri Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dengan menghadiri peringatan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 2005. Dalam lawatannya itu, Yudhoyono akan bertemu dengan Ratu Belanda Beatrix dan Perdana Menteri Belanda. Indonesia-Belanda juga akan menandatangani perjanjian kemitraan komprehensif. Kunjungan kenegaraan itu juga mengagendakan pertemuan bisnis dengan pengusaha besar Belanda. Yudhoyono juga akan berbicara di salah satu Perguruan Tinggi di Belanda. Menurut Faizasyah, kunjungan Presiden ini merupakan kunjungan yang tertunda selama 4 tahun. Ratu Belanda telah memberikan undangan sejak 4 tahun lalu.(ywn)
Pidato Ben Bot di Jakarta, 16.8.2005: Belanda KINI MENERIMA PROKLAMASI 17.8.1945 SECARA POLITIS DAN MORAL SBY Klaim Belanda Sudah Akui Kemerdekaan RI