Belakang Hotel.docx

  • Uploaded by: Laksmana Widi
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Belakang Hotel.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,684
  • Pages: 14
TUGAS PANCASILA KELOMPOK 13

ANGGOTA : Angga K. Ary Aziz Harya Gumilang Bernardus Plasenta P. C. Kristophorus Satya E. Laksmana Widi P.

I0416011 I0416016 I0416019 I0416045 I0416046

Belakang Hotel 1. PENDAHULUAN Film merupakan sebuah media komunikasi yang masih diminati oleh kebanyakan orang. Film dapat memuat unsur visual maupun audio secara kompleks. Maka tidak jarang film menjadi sebuah sarana dari penyampaian kritik baik sosial, ekonomi, budaya dan juga isu lingkungan. Salah satu film dokumenter yang memuat unsur kritik yang sangat kental adalah film dokumenter dari Watchdoc yang berjudul Belakang Hotel. Belakang Hotel merupakan sebuah film yang diproduksi oleh para jurnalis video dengan bekerja sama dengan Komunitas Warga Berdaya Yogyakarta. Film ini mengangkat tentang isu Jogja Asat yang sangat gencar pada tahun 2014 lalu. Sebuah isu dari masyarakat Yogyakarta sendiri terkait dengan asatnya (keringnya) sumur warga yang terjadi pada beberapa bulan di tahun tersebut. Beberapa wilayah Yogyakarta seperti Gowongan, Miliran, dan Godean diambil untuk kemudian dibuat untuk sudut pandang film tersebut. Tambah menarik ketika terdapat beberapa warga langsung yang menyampaikan fakta kesehariannya dengan logat bahasa Jawanya terkait dengan keringnya sumur-sumur di daerah tersebut. Dalam film juga terdapat cuplikan dari komunitas ketika menyuarakan aspirasi mereka dengan mandi pasir tepat di depan salah satu hotel yang marak dibicarakan dalam film tersebut yaitu Hotel Fave. Pasir sebagai simbol kekeringan dan keterpaksaan dari warga terkait dengan susahnya mendapatkan air di "ladangnya" sendiri. Film berdurasi 39 menit 42 detik tersebut bercerita mengenai sumur-sumur warga di kawasan Gowongan, Malioboro, Miliran, Penumping, dan Kotagede yang mengering pada musim kemarau 2014 lalu. 2. ISI Belakang Hotel dibuka dengan scene warga menimba air dalam sumur yang dalam nyaris kering dan narasi mengenai jumlah kamar hotel di Yogya. Pada

2003, Yogya memiliki 7.237 kamar hotel. Angka ini meningkat drastis pada 2013 menjadi 10.303 kamar. Bayangkan, satu kamar hotel membutuhkan 380 liter air per hari. Sedangkan satu rumah tangga hanya butuh 300 liter air per hari. Disebutkan paparan tentang data penggunaan debit air yang digunakan oleh hotel dan para warga. Di awal film tercantum tentang penggunaan air perharinya dalam hotel mencapai 380 liter per kamar. Kemudian terdapat perbandingan dengan pemakaian air rata-rata oleh satu keluarga di Yogyakarta yang hanya 300 liter air per hari. Menurut data pada tahun 2003 di kota Jogja terdapat 7.237 kamar hotel dan dari tahun ke tahun jumlah ini terus meningkat hingga pada tahun 2013 mencapai 10.303 kamar. Tentu hal ini merupakan kenaikan yang tidak sedikit mengingat kota Jogja juga termasuk kota yang padat. Untuk itu pembangunan hotel yang cukup pesat berdampak pada lingkungan sekitar terutama dalam hal kebutuhan air. Sarana hotel yang paling utama yakni tersedianya pasokan air yang melimpah demi kenyamanan penghuninya, untuk itu hotel yang dibangun di tengah kawasan padat penduduk akan menimbulkan masalah baru terhadap lingkungan sekitar yakni tersedotnya semua sumber mata air masyarakat di sekitar hotel. Seperti yang kita ketahui bahwa agar mendapatkan pasokan air yang melimpah, pihak hotel melakukan pengeboran ke dalam tanah agar mendapatkan sumber mata air yang diinginkan. Tentu saja hal tersebut berimbas pada masyarakat sekitar karena mendadak sumur yang telah mereka bangun sejak dulu tiba-tiba mengering dan akhinya masyarakat kesulitan dalam mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Kemudian sangat kental film tersebut memvisualisasikan para warga yang terlihat tetap santai (dengan gaya yang tetap tersenyum dan tanpa emosi) menganggapi keringnya sumur yang memang baru pertama mereka rasakan setelah satu hingga dua tahun hotel dibangun. Ketika musim kemarau dipaparkan oleh beberapa warga bahwa tidak pernah wilayahnya sampai kering sedemikan rupa. Maka kemudian muncullah sebuah protes akan pembangunan hotel yang seakan-akan tidak memperhatikan warga sekitar dalam keseharian dan kesejahteraannya.

Pertentangan yang diperlihatkan dalam film adalah antara warga Yogyakarta dan pihak hotel dan para investor. Para warga yang dipelopori oleh komunitas Warga Berdaya Yogyakarta sangat menyayangkan terjadinya pembangunan yang justru merugikan warga asli sekitar Yogyakarta. Salah satunya adalah kekeringan yang melanda sumur-sumur sekitar hotel. Air untuk para warga adalah sebuah hal yang sangat membantu menunjang kehidupan sehari-hari. Ketika secara tiba-tiba sumur yang telah menghidupi mereka berpuluh-puluh tahun mengalami kekeringan, maka di situ terjadi kekhawatiran yang cukup besar dampaknya terhadap warga. Kekeringan yang terjadi berada dalam waktu yang tidak jauh rentangnya dengan pembangunan hotel maupun apartemen di Yogyakarta. Dapat dikatakan sebenarnya sebuah perkembangan pesat dari pariwisata dan budaya di Yogyakarta dengan melihat banyaknya wisatawan yang masuk ke Yogyakarta. Terjadinya pembangunan pun menjadi tolok ukur akan perkembangan yang terjadi di Yogyakarta. Namun, perkembangan dari segi pariwisata tersebut juga perlu diimbangi dengan perkembangan kesejahteraan dari warga nya pula. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya konflik terhadap pembangunan terutama hotel yang ada di Yogyakarta. Sebuah efek yaitu kekeringan menjadi hal yang tidak dapat ditolerir kembali. Sebuah prediksi dari Eko Teguh Paripurno, Dosen Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, mengatakan bahwa ketika pengelolaan akan pembangunan hotel maupun apartermen jika tidak dikelola dengan baik dapat menurunkan hingga 15-50 cm per tahun. Dalam lima tahun ke depan ketika situasi tetap begitu maka dapat menurunkan air tanah hingga 2,5 meter. Kondisi yang parah yang dapat dirasakan warga Yogyakarta. Ketika melihat data terakhir terkait pembangunan di Yogyakarta, tahun 2013, telah ada 106 hotel yang dapat berpotensi untuk dibangun di Yogyakarta. Hingga Juni 2014, terdapat 1.050 hotel non-bintang dengan 20.000 kamar dan 65 hotel bintang dengan 7.000 kamar (dikutip dari tribunnews.com). Selain hotel, terdapat pembangunan mall hingga Desember 2014 terdapat enam pusat belanja yang sudah beroperasi. Kemudian ditambah sejumlah enam pusat belanja baru yang bakal beroperasi tahun 2015 sampai 2018 mendatang (dikutip dari kompas.com).

Melihat hal tersebut memang dapat diakui Yogyakarta telah menjadi salah satu kota "idaman" bagi warga luar yang masuk. Destinasi wisata Yogyakarta dirasa sangat menarik dan banyak ragamnya dari alam, kebudayaan, maupun desa wisatanya. Kemudian julukan bagi Yogyakarta tentang Kota Pendidikan sepertinya menjadi penarik bagi mahasiswa maupun pelajar yang datang untuk menuntut ilmu di kota Yogyakarta. Banyaknya warga yang masuk ke Yogyakarta menjadi sebuah pacuan juga bagi Yogyakarta dalam memperlihatkan eksistensinya di nasional atau bahkan ke ranah internasional. Sebuah kenyataan yang membanggakan untuk perkembangan Yogyakarta. Namun ketika melihat kembali pada dampak pembangunan, maka perlu adanya regulasi khusus yang perlu dibuat untuk menanggapi perkembangan Yogyakarta tersebut. Film Belakang Layar terkesan ditunjukan untuk pemiliki hotel dan para investor. Memang tentunya ada unsur supaya pemerintah juga menilik karya film tersebut. Namun ambil andil pemerintah masih dirasa kurang dalam hal ini. Film di Belakang Hotel menunjukan BLH yang mau untuk kemudian memberikan tanggapan dan terjun langsung ke lapangan dalam menanggapi keresahan warga tersebut. Dalam film memang masih belum adanya indikasi bahwa pihak pemerintah memutuskan suatu hal, namun seolah-olah tetap menganggap Hotel Fave (dalam film) sudah benar dalam pembangunan dan juga izinnya. Kemudian dalam film kurangnya ada penunjukan dari reaksi dari pihak Hotel Fave dalam menanggapi berbagai penyampaian aspirasi yang dilakukan langsung di depan hotel. Ketika dalam film hanya terdapat cuplikan dari seorang talent bahwa pihak Hotel Fave sama sekali tidak memberikan respon terkait penyampaian suara warga tersebut. Secara garis besar memang kemudian film tersebut dapat menimbulkan banyak respon, dilihat dari media yang memberitakan tentang karya film dokumentasi tersebut. Namun, akan lebih menarik ketika dalam film ditunjukan suatu fakta tentang ada tidaknya MoU atau perjanjian antara warga sekitar hotel dengan pihak hotelnya sendiri. Dengan melihat hal tersebut, maka paling tidak dapat dilihat tentang peran pemerintah dalam memutuskan izin untuk pembangunan. Ketika memang ternyata tidak ada izin, maka perlu muncul dipertanyakan ketika pemerintah memutuskan izin pembangunan apakah

memperhatikan dampak lingkungan yang dapat terjadi dengan berdirinya banyak hotel dan apartemen? Terkesan sangat mudah pemerintah dalam memberikan izin akan pembangunan yang terjadi. Ketika memang pemerintah mengizinkan berdirinya hotel, mall, ataupun apartemen maka setidaknya pemerintah perlu melakukan program tentang pemberdayaan lingkungan, salah satunya pengembangan air, yang ditunjukan langsung kepada masyarakat. Dalam film juga terdapat cuplikan mengenai hal tersebut. Dibicarakan tentang kemana lari uang dengan adanya pembangunan hotel dari pihak investor tersebut. Maka dari itu disayangkan bahwa sudut pandang dari film dokumenter Belakang Hotel ini kurang diarahkan pada bagian tersebut. Film dokumenter Belakang Hotel sangat berisikan tentang kritik lingkungan. Menurut Salim (1976), secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempat dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Satu fokus dari film dokumenter Belakang Hotel adalah salah satu unsur lingkungan, yaitu air. Seperti yang dikatakan Salim, bahwa lingkungan sangat berpengaruh terhadap kegiatan aktivitas manusia yang menjalani kehidupan di lingkungan tersebut. Dalam segi tersebut, film Belakang Hotel telah membuat pandangan bahwa sangat lekatnya lingkungan dengan individu yang terlibat di dalamnya. Hal itu ditunjukan dengan dominasi scene yang memperlihatkan masyarakat kesusahan dalam mengambil air. Sebuah kekhawatiran tentunya dapat timbul dalam masyarakat Yogyakarta, jika Yogya menjadi sebuah kota seperti yang digambarkan Kevin Lynch (dalam Azis, dkk. 2010: 282) dalam tulisannya, The City as Environment (1965), Ia berpendapat bahwa kota memiliki wajah atau penampilan yang buruk. Seperti halnya, jauh dari alam dan semuanya serba sama. Sebuah jurnal dari Nola Buhr terdapat tulisan tentang permasalahan lingkungan adalah manusiwa sendiri yang menyebabkan. Maka dengan begitu, permasalahan dan konflik tentang Jogja Asat juga merupakan tanggung jawab dari semua pihak.

Perkembangan penduduk yang terjadi di Yogyakarta menjadi perhatian bagi seluruh masyarakat pula dalam memperhatikan lingkungan yang telah menjadi keprihatinan dunia. Film dokumenter dari Watchdoc telah mengubah pandangan dari banyak pihak terkait isu lingkungan yang terjadi di kota Yogyakarta. Film yang memvisualisasikan keprihatinan warga atas pembangunan yang tanpa memperhatikan kondisi masyarakatnya. Dengan mengambil sudut pandang dari perlawanan masyarakat terhadap pihak hotel, para investor dan keluhan terhadap pemerintah, membuat film ini menjadi bahan diskusi di banyak komunitas. Beberapa kritik yang disampaikan terkait film adalah kurangnya konten dalam memvisualisasikan pihak fave hotel dalam menyelenggarakan pembangunan dan juga transparasi pemerintah dalam menanggapi hal permasalahan tersebut. Film tersebut hingga sekarang belum juga mendapat respon pemerintah daerah dengan cepat. Belum adanya regulasi jelas akan pembangunan dan tata kota di Yogyakarta.hal tersebut dilihat dari tetap maraknya pembangunan hotel dan mall yang masih ada di Yogyakarta serta respon dari pemerintah terhadap tindakan protes warga. “Belakang Hotel” diproduksi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Sutradara Belakang Hotel, Dandhy Dwi Laksono, menyebutkan, dokumenter tersebut digarap pada November 2014. “Prinsip produksi atau liputannya harus sederhana dan cepat,” kata Dandhy. Adegan lain memperlihatkan aksi teatrikal warga mandi dengan debu di depan sebuah hotel pada Agustus 2014. Ini sebagai bentuk protes warga terhadap sumur mereka yang mengering. Bertambahnya jumlah hotel di Yogya menyebabkan sumber air tanah berkurang. Akibatnya, sumur warga menjadi semakin dalam dan mengalami kekeringan pada musim kemarau. Kekeringan yang melanda sumur warga tersebut terbilang langka. Pasalnya, ini merupakan kekeringan pertama dan terburuk dalam sejarah Yogyakarta.

“Baru tahun ini keringnya merata, padahal kemarau-kemarau sebelumnya nggak seperti ini,” sebut Dandhy. Hal senada diungkapkan seorang warga Miliran yang melancarkan aksi protes di depan hotel. “Saya lahir tahun 1977, jadi sudah 37 tahun sumur warga belum pernah mengalami kekeringan. Kalau pun kemarau panjang, masih ada air,” ujarnya. Pegiat sosial dan jurnalis di Yogyakarta menyikapi serius persoalan ini. Mereka membentuk gerakan Jogja Asat (Yogya Kekeringan). Kekeringan itu diyakini akibat tataruang dan pembangunan hotel serta apartemen yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, terutama air tanah bagi warga. “Kawan-kawan Yogya terinspirasi video Onde Mandeh yang juga diproduksi WatchdoC tentang Pulau Cubadak di Sumatera Barat, yang mengabaikan ruangruang publik untuk kepentingan privat,” sebut Dandhy yang saat ini tengah melakukan perjalanan jurnalistik keliling Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru. “Itulah yang menjadi ide awal pembuatan Belakang Hotel.” Watchdoc dan jurnalis di Yogya menggarap liputan Belakang Hotel dalam kurun waktu selama seminggu. Untuk editing membutuhkan waktu dua bulan. Namun, perilisan dokumenter ini molor karena kesibukan yang dialami kru. “Film ini memang tidak ada sponsor,” ujar Dandhy. Apa yang diharapkan dari Belakang Hotel? Dandhy berharap, Belakang Hotel membuka mata para pengambil kebijakan untuk lebih memperhatikan tata ruang dan dampak lingkungan dalam memberikan izin pembangunan hotel, perumahan, mal, dan apartemen di Yogyakarta. “Kita berharap ada perubahan kebijakan terkait tata ruang dan perizinan pembangunan yang berdampak pada warga,” ujar Dandhy. Dampak lain yang diharapkan adalah semakin terbukanya akses informasi dan pemahaman bagi warga bahwa pembangunan di lingkungan mereka membawa konsekuensi yang tidak kecil. “Karena itu warga harus dilibatkan atau terlibat aktif memantau,” sebut Dandhy.

Kemajuan pesat yang telah terjadi di kota Yogyakarta salah satunya yaitu bisnis perhotelan. Bisnis ini lama kelamaan semakin menjamur di kota ini seiring dengan banyaknya turis lokal maupun mancanegara yang datang ke yogyakarta untuk berwisata. Hal ini tentunya menambah kesan betapa semrawutnya kota Jogja saat ini. Sarana hotel yang paling utama yakni tersedianya pasokan air yang melimpah demi kenyamanan penghuninya, untuk itu hotel yang dibangun di tengah kawasan padat penduduk akan menimbulkan masalah baru terhadap lingkungan sekitar yakni tersedotnya semua sumber mata air masyarakat di sekitar hotel. Seperti yang kita ketahui bahwa agar mendapatkan pasokan air yang melimpah, pihak hotel melakukan pengeboran ke dalam tanah agar mendapatkan sumber mata air yang diinginkan. Tentu saja hal tersebut berimbas pada masyarakat sekitar karena mendadak sumur yang telah mereka bangun sejak dulu tiba-tiba mengering dan akhinya masyarakat kesulitan dalam mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Menyangkut hal ini masyarakat sekitar tidak hanya tinggal diam dan pasrah akan keadaan. Mereka telah melakukan berbagai upaya agar sumber air mereka kembali yakni dengan cara melakukan aksi unjuk rasa di depan hotel “Fave” menuntut kejelasan dan keadilan akan hak mereka yang telah hilang. Mereka menuntut agar sumber air yang telah mereka ambil segera dikembalikan karena sesuai UUD 1945 pasal 33 bahwa “Bumi dan air yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan oleh masyarkat“ bukan dimanfaatkan oleh hotel “Fave”. Menurut salah seorang warga selama 37 tahun terakhir sumur warga di sekitar hotel tidak pernah mengalami kekeringan, meskipun kemarau panjang air tetap mengalir meski di timba dalam selang waktu lima menit sekali. Semenjak dibangun hotel “Fave” dua tahun lalu masyarakat sekitar hotel baru sekarang mereka merasakan bahwa sumur yang dahulunya tidak pernah mengalami kekeringan akhirnya kering hingga tidak ada yang tersisa. Untuk itu masayarakat menuntuttentang kejelasan pembangunan pengeboran sumber mata air di hotel “Fave” ini. Selain itu mereka juga mempertanyakan tentang kejelasan amdal yang telah dibuat, karena pembangunan hotel tersebut telah menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan.

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya sampai disitu saja, mereka juga pernah menuntut kejelasan dengan mendatangi badan lingkungan hidup (BLH). Namun yang dikatakan BLH adalah menganggap bahwa penyebab sumur kekeringan ini adalah akibat dari musim kemarau. Namun setelah hotel “Fave” disegel oleh dinas perizinan, barulah sumur warga yang kering sedikit demi sedikit mulai muncul mata airnya. Hal ini tentu membuktikan bahwa BLH hanya asal bicara dan tidak melakukan survei yang mendalam terhadap keringnya sumur di masyarakat. Departemen pemerintah telah memberikan perizinan terhadap pembangunan hotel tersebut dan mereka memberikan dana agar hotel tersebut dapat menjaga dan mengolah sumber daya yang ada di sekitarnya. Namun kenyataannya mereka tidak melaksanakan tugasnya dan akibat dari perbuatan mereka akhirnya masyarakat lah yang menderita karena kekurangan dalam kebutuhan air. Untuk itu sudah dipastikan dana yang diberikan oleh pemerintah disalahgunakan untuk keuntungan pihak hotel. “Kami butuh tanggung jawabmu bukan bantuanmu! Kami punya harga diri!” Begitulah kiranya tulisan yang terdapat dalam spanduk yang mereka bawa untuk berunjuk rasa. Jadi segala sesuatu yang terdapat di alam haruslah saling berbagi dan jangan sampai mereka yang berkepentingan untuk mengeruk keuntungan dibiarkan begitu saja tanpa adanya tanggung jawab. Film ini menceritakan tentang pembangunan hotel-hotel yang begitu marak terjadi di Yogyakarta. Dalam film yang berdurasi sekitar empat puluh menit itu kita menyaksikan bagaimana maraknya pembangunan hotel yang terjadi di Yogyakarta ternyata memberikan dampak negatif bagi warga sekitar lokasi hotel dibangun. Film yang dibuat pada tahun 2014 ini menggambarkan kehidupan warga di kampung Miliran, Gowongan, dan Penumping yang terdampak langsung atas keberadaan hotel di wilayahnya masing-masing. Dampak utama yang digambarkan dalam film ini, yaitu bagaimana sumur-sumur warga di wilayah tersebut mengalami kekeringan. Padahal selama bertahun-tahun mereka tinggal di wilayah tersebut, bahkan saat kemarau panjang sekali pun belum pernah terjadi kekeringan seperti saat itu. Dengan terjadinya sumur kering atau asat di wilayah-wilayah tersebut, kehidupan sehari-hari masyarakat di lingkungan tersebut juga tentunya mengalami

kesulitan. Ketika sumber-sumber air di sumur-sumur itu mulai mengering mereka harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mendapatkan air. Salah satu warga bahkan sampai harus ke pasar untuk mandi itupun masih harus bayar. Ada pula kisah seorang ibu yang harus menimba sampai puluhan kali hanya untuk mengisi bak airnya. Serta ada juga warga yang terpaksa harus membeli pompa air baru demi bisa menyedot air dari dalam tanah, namun tak berhasil karena sumber air mereka terampas oleh kehadiran bangunan-bangunan hotel di sekitarnya. Sebagai wujud kekecewaan dari masyarakat yang menjadi korban dari maraknya pembangunan hotel-hotel di sekitar pemukiman mereka, mereka mengirimkan kertas bertuliskan “Kembalikan Air Kami”, “Warga Resah Sumur Kering”, dan “Periksa Sumur Hotel-Hotel” kepada pihak yang berwenang. Selain itu ada juga yang menunjukkan wujud kekecewaannya dengan aksi mandi tanah di depan hotel yang diduga menyebabkan bencana sumur kering itu terjadi, dengan disaksikan oleh warga sekitar lainnya dan juga beberapa pegawai hotel itu sendiri. Berbagai upaya juga telah dilakukan dengan menemui pejabat daerah terkait dan ahli dalam bidang sumur dan pertanahan tetapi juga tidak membuahkan hasil yang maksimal. Yang dapat dirasakan hanya sumur warga sudah mulai membaik seminggu setelah hotel disegel oleh dinas perizinan. Hanya saja belum bisa dikatakan sesuai dengan harapan karena masih jauh jika dibandingkan dengan keadaan sebelum hotel dibangun. Di lihat dari sisi sosiologis, sudah jelas bagaimana dampak dari peristiwa tersebut terhadap kehidupan masyarakat, terutama masyarakat di daerah yang secara langsung terkena dampak dari pembangunan hotel tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa air merupakan salah satu sumber kehidupan paling penting bagi manusia. Segala kegiatan yang dilakukan manusia sebagian besar membutuhkan air. Saat air tersebut sulit didapatkan, banyak kegiatan mereka yang menjadi terhambat dan sulit untuk dilaksanakan. Bagaimana masyarakat mengalami kesulitan untuk mandi, memasak, mencuci, bahkan bekerja sekalipun. Terbatasnya sumber air dalam hal ini menjadi masalah yang sangat krusial pada saat itu. Masalah yang seperti ini, tidak diragukan lagi sangat tidak sesuai dengan amanat yang termaktub dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pada pasal ini yang perlu digarisbawahi adalah digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dimana dalam kasus ini kenyataannya sangat bertolak belakang. Kemakmuran rakyat diabaikan

dan dikesampingkan oleh kepentingan dan keuntungan para pengusaha serta para pemodal. Begitu juga dalam Pasal 33 ayat (4) yang berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Prinsip-prinsip seperti yang disebutkan dalam pasal tersebut sama sekali belum dapat diwujudkan secara nyata. Terlebih lagi jika dikaitkan dalam kasus sumur kering di wilayah-wilayah Yogyakarta tersebut. Jika dilihat dari segi tata ruang wilayah kota, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa “Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas: a) keterpaduan ; b) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan ; c) keberlanjutan ; d) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan ; e) keterbukaan ; f) kebersamaan dan kemitraan ; g) perlindungan kepentingan umum ; h) kepastian hukum dan keadilan ; dan i) akuntabilitas”. Jika dikaji satu persatu sebagian besar asas-asas yang ada dalam undang-undang tersebut sangat jelas telah diabaikan dalam pertimbangan pembangunan hotel di kawasan tersebut. Asas keterpaduan terlihat jelas diabaikan dibuktikan dengan tidak teraturnya kehidupan warga sekitar dan tidak harmonisnya keinginan pihak masyarakat dan pihak hotel. Diabaikannya asas keberlanjutan dapat dibuktikan dengan berkurangnya sumber air di wilayah pemukiman warga, yang mana apabila hal ini dibiarkan terus menerus dan tidak ada tindak lanjut yang berarti oleh pemerintah maka persediaan sumber daya air akan terus menerus berkurang dan prinsip pembangunan berkelanjutan tidak akan terwujud. Yang paling terlihat diabaikan di antara asas-asas pada pasal tersebut adalah asas perlindungan kepentingan umum pada poin g. Poin terakhir yaitu akuntabilitas. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggung jawabannya. Prinsip ini terlihat jelas tidak dapat diwujudkan dibuktikan dengan tidak adanya pertanggungjawaban pihak hotel atas terjadinya peristiwa keringnya sumur di wilayah-wilayah tersebut. Dengan adanya kejadian tersebut, perlu dikaji kembali apakah pembangunan hotel-hotel di wilayah yang mengalami kekeringan tersebut sudah memenuhi syaratsyarat yang memadai untuk membangun usaha, dalam hal ini usaha perhotelan, baik

dari segi lingkungan maupun dari segi izin usaha. Pasal 1 ayat (35) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan mengenai izin lingkungan (AMDAL) yang berbunyi “Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan”. Dan ayat (35) selanjutnya menjelaskan mengenai izin usaha, yaitu “Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan”. Yang perlu diperhatikan disini apakah izin lingkungan atau AMDAL yang dikeluarkan oleh pemerintah atau instansi yang berwenang berkaitan dengan pembangunan hotel tersebut sudah dikaji dengan benar termasuk dengan dampak-dampak yang akan ditimbulkan di kemudian hari. Selain itu juga apakah izin usaha yang diterbitkan sudah valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Perlu dipersiapkan juga apabila ada peristiwa yang tidak diinginkan seperti terjadinya kekeringan di sumur masyarakat di wilayah tersebut apa yang seharusnya dilakukan baik oleh pemerintah atau instansi yang terkait maupun dari pihak hotel-hotel tersebut. 3. PENUTUP Pada film tersebut terdapat nilai-nilai dari pancasila, salah satunya adalah pancasila sila yang ke-5, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Terlihat dari konflik yang terjadi antara warga dengan pihak hotel dimana bermula dari sebuah isu keringnya sumur-sumur warga Yogyakarta di sekitar wilayah dimana hotel dibangun. Padahal faktanya sumur warga dari dulu belum pernah sekalipun kering, dan tak lama setelah hotel dibangun, sumur warga tiba-tiba kering. Sarana hotel yang paling utama yakni tersedianya pasokan air yang melimpah demi kenyamanan penghuninya, untuk itu hotel yang dibangun di tengah kawasan padat penduduk akan menimbulkan masalah baru terhadap lingkungan sekitar yakni tersedotnya semua sumber mata air masyarakat di sekitar hotel. Seperti yang kita ketahui bahwa agar mendapatkan pasokan air yang melimpah, pihak hotel melakukan pengeboran ke dalam tanah agar mendapatkan sumber mata air yang diinginkan. Tentu saja hal tersebut berimbas pada masyarakat sekitar karena mendadak sumur yang telah mereka bangun sejak dulu tiba-tiba mengering dan akhinya masyarakat kesulitan dalam mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Nilai-nilai pancasila sila ke-5 yang dapat kami ambil adalah :

1. Perlunya mengembangkan sikap adil terhadap sesama. 2. Menghormati hak orang lain. 3. Tidak menggunakan hak-hak milik untuk hal-hal yang bertentangan dengan kepetingan umum. 4. Pentingnya mengembangkan sikap menghargai dan mau berbagi. 5. Kesadaran akan pentingnya saling menghargai dan menghormati setiap suara atau usulan dari setiap rakyat.

Related Documents

Latar Belakang
May 2020 45
Belakang Rumah.docx
November 2019 27
Latar Belakang
May 2020 19
Latar Belakang
August 2019 39
Latar Belakang
November 2019 34
Latar Belakang
June 2020 16

More Documents from "Mary Walker"