PERKOTAAN DAN PERMUKIMAN TANGGAP BENCANA
“BANJIR THAILAND”
Disusun oleh : rizki yaumus shafar (160701076) yazir akramullah (160701093) Dosen pembimbing : zakiul fuady , M.sc
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY TAHUN AJARAN 2018
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Banjir merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di belahan bumi Asia termasuk di negara Thailand, hal ini dikarenakan Thailand termasuk salah satu negara tropis yang memiliki curah hujan yang sangat tinggi di musim hujan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa sebesar 45 % bencana yang terjadi pada tahun 2011 berada di belahan benua Asia. Salah satu bencana banjir yang terbesar selama beberapa dekade di negara Thailand terjadi pada bulan Oktober 2011 yang lalu. Bencana banjir tahun 2011 tersebut merupakan bencana banjir terbesar selama lima dekade terakhir . Menurut perkiraan atau estimasi kasar diperkirakan kerugian yang ditimbulkan mencapai USD 40 milyar dan lebih dari 800 orang meninggal dunia. Hal ini tentu berdampak signifikan terhadap aktivitas di Thailand terutama bagi sektor pariwisata yang menjadi sektor andalan dari negara Thailand. risiko bencana juga berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di negara Thailand dan beberapa negara lain di dunia. Laporan ini membahas masalah banjir Thailand berikut upayaupaya yang dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan manajemen bencana, dimana diharapkan bisa menjadi pelajaran untuk diaplikasikan di daerah Indonesia khususnya, karena Indonesia juga termasuk salah satu daerah rawan banjir.
B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana banjir di Thailand terjadi 2. Bagaimana manajemen bencana di Thailand dalam bencana banjir 3. Apa kelebihan dari sistem manajemen bencana Thailand C. TUJUAN PENULISAN 1. Mengetahui bagaimana banjir Thailand bisa terjadi 2. Mengetahui sistem manajemen bencana Thailand 3. Mengetahui kelebihan sistem manajemen bencana Thailand
BAB 2 LANDASAN TEORI A. Bencana Coburn, A. W. dkk. 1994. Di dalam UNDP mengemukakan bahwa Bencana adalah Satu kejadian atau serangkaian kejadian yang memberikan akibat meningkatkan jumlah korban dan/atau kerusakan, kerugian harta benda, infrastruktur, pelayanan-pelayanan penting atau sarana kehidupan pada satu skala yang berada di luar kapasitas norma. Heru Sri Haryanto (2001 : 35 ) Mengemukakan bahwa: Bencana adalah Terjadinya kerusakan pada pola pola kehidupan normal, bersipat merugikan kehidupan manusia, struktur sosial serta munculnya kebutuhan masyarakat. Menurut Departement kesehatan RI (2001), makna dari bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkankerusakan ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar. Undang-undang No. 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. terdapat beberapa sebab yang dapat menimbulkan bencana, sehingga menurut asalnya bencana dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Bencana alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemic, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror
(gambar 2.1 sumber:bpbd.bone.go.id)
B. FILOSOFI ARSITEKTUR SURYA Sejak lama arsitektur dinyatakan sebagai tatanan ruang tiga dimensi yang mempunyai karakteristik bentuk dan material serta dibatasi oleh dimensi tinggi, panjang dan lebar. Pemahaman artikulasi makna matahari dalam arsitektur menambahkan dimensi keempat, yakni waktu. Dengan dimensi waktu sebagai elemen disain, arsitektur bukan hanya mengandalkan dari estetika bentuk semata, tetapi bergerak dari suatu kreativitas statis menuju suatu inovasi yang dinamis. Bentuk di definisikan kembali, bukan hanya sebagai penampilan (appearance), melainkan sebagai kinerja (performance) dimana seni bangunan bukan hanya
masalah penampilan bangunan semata, tetapi juga mampu mewujudkan kinerja bangunan yang maksimal. Bangunan bangunan yang direncanakan memanfaatkan matahari dan iklim sebagai sumber energi primer haruslah dirancang untuk meng akomodasi perubahan perubahan sebagai konsekwensi siklus iklim secara harian, musiman maupun tahunan dan mengalami versi cuaca yang berbeda sesuai dengan keberadaannya pada suatu garis lintang geografis tertentu dibumi ini. Setiap bangunan berada disuatu daerah klimatik yang berbeda setiap menit setiap hari. Disini peran arsitek adalah belajar untuk meng optimasi hubungan bangunan dengan iklim spesifiknya dalam tahapan tahapan perancangan. Karena setiap bangunan ber interaksi dengan lingkungan suryanya masing masing, permasalahan yang timbul adalah bagaimana pengolahan hubungan ini menguntungkan bagi manusia.
Karena itu bangunan bangunan yang
memanfaatkan energi surya pada faktanya merupakan versi romantik dari pemahaman penggunaan sumber energi baru yang melahirkan kriteria perancangan arsitektur yang baru pula. Bangunan sadar energi (termasuk arsitektur surya) mencari hubungan simbiotik dengan lingkungannya dan menengahi kebutuhan penghuni bangunan dengan kondisi iklimnya. Ia mengandalkan pada sumber daya dan pola matahari untuk penerangan, pemanasan maupun pendinginan untuk waktu waktu tertentu, pada sirkulasi angin untuk kenyamanan dan beralih pada sistim kenyamanan buatan hanya apabila terjadi kondisi cuaca yang ekstrim pada saat saat yang tertentu saja. C. ENERGI SOLAR MEMPENGARUHI BANGUNAN Pada waktu disain pasif memerlukan suatu sistim aktif sebagai penunjang, bangunan sadar energi mengambil keuntungan teknologi teknologi baru yang memungkinkannya mengandalkan sumberdaya energi yang dapat diperbaharui (matahari dan angin) dan menempatkan sistim yang bersumber energi fosil (minyak bumi) sebagai sumber cadangan terakhir (the last resort resource). Arsitektur surya dapat di identifikasikan sebagai arsitektur sadar energi yang merupakan sintesis tempat dan waktu (time and place).
D. PEMANFAATAN SOLAR ENERGI Penggunaan energi surya umumnya dibedakan antara pemanfaatan secara tidak langsung, yaitu dengan mengolah pergerakan angin sebagai efek tidak langsung energi surya, maupun pemanfaatan secara langsung. Dalam sistim ini dibedakan antara sistim thermosyphoning, yang memanfaatkan panas radiasi matahari melalui benda padat, cair, udara, dan sistim foto-voltaik (PV system) yang meng konversikan panas matahari langsung menjadi arus listrik dengan bantuan sel surya (PV cell).
BAB 3
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SOLAR ENERGI Energi surya adalah energi yang didapat dengan mengubah energi panas surya (matahari) melalui peralatan tertentu menjadi sumber daya dalam bentuk lain. Energi surya telah banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa diantara aplikasi tersebut antara lain : Pencahayaan bertenaga surya, pemanasan bertenaga surya, untuk memanaskan air, memanaskan dan
mendinginkan ruangan, Desalinisasi dan desinfektisasi, Untuk memasak, dengan menggunakan kompor tenaga surya. Pembagian iklim matahari didasarkan pada banyak sedikitnya sinar matahari atau berdasarkan letak dan kedudukan matahari terhadap permukaan bumi. Kedudukan matahari dalam setahun adalah: 1. Matahari beredar pada garis khatulistiwa (garis lintang 0º) tanggal 21 Maret. 2. Matahari beredar pada garis balik utara (23,5º LU) tanggal 21 Juni. 3. Matahari beredar pada garis khatulistiwa (garis lintang 0º) tanggal 23 September. 4. Matahari beredar pada garis balik selatan (23,5º LS) tanggal 22 Desember. Iklim Tropis terletak antara 0°-23½° LU dan 0°-23½° LS. Ciri – ciri iklim tropis adalah sebagai berikut : Suhu udara rata – rata tinggi, karena matahari selalu vertikal. Umumnya suhu udara antara 20°-23° C. Bahkan dibeberapa tempat suhu tahunannya mencapai 30°C, Amplitudo suhu rata-rata tahunan kecil. Di khatulistiwa antara 1°-5°C, sedangkan amplitudo hariannya besar, Tekanan udara lebih rendah dan perubahannya secara perlahan dan beraturan, Hujan banyak dan umumnya lebih banyak dari daerah lain di dunia.
B. PEMAHAMAN MENGENAI ARSITEKTUR SURYA Arsitektur surya adalah Arsitektur yang melibatkan pemanfaatan tenaga atau sinar matahari seoptimal mungkin ke dalam situasi perancangannya. Sehingga segala keputusan yang diambil dalam langkah-langkah perancangan bangunan selalu di pertimbangkan dengan faktor-faktor aplikasi tenaga matahari. Jadi tinggal menata korelasi antara matahari dan proses perancangannya.
(Gambar3.1 CIS solar tower)
C. PEMANFAATAN TENAGA SURYA DALAM KAITANNYA DENGAN RANCANGAN ARSITEKTUR
Dari sekian banyak sasaran yang perlu dicapai oleh suatu karya arsitektur, dua diantaranya adalah, pertama, karya arsitektur harus mampu memenuhi kebutuhan kenyamanan, kedua karya arsitektur harus memiliki nilai estetika. Dalam pemenuhan kebutuhan terhadap kenyamanan, terlibat didalamnya beberapa aspek kenyamanan - spatial, visual, audial, dan termal. Kenyamanan spatial (ruang) berhubungan dengan persoalan antropometri tubuh manusia, ergonomi, organisasi ruang, sementara kenyamanan visual berkaitan dengan jumlah intensitas cahaya yang diperlukan manusia pada suatu tempat atau ruang bagi penunjang aktifitas tertentu, sedangkan kenyamanan audial berhubungan dengan intensitas suara yang diperlukan manusia agar tidak terlalu keras atau lunak atau menimbulkan cacad akustik. Sementara itu, kenyamanan thermal berhubungan
dengan kebutuhan manusia akan lingkungan termal (kombinasi dari suhu udara, radiasi, aliran udara dan kelembaban udara) yang nyaman agar produktifitas kerja manusia optimal. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya pemanfaatan tenaga surya dalam arsitektur dapat dilakukan dengan dua cara: pasif dan aktif. Pemanfaatan secara pasif dilakukan apabila tenaga surya tersebut tidak perlu dikonversikan terlebih dahulu menjadi tenaga listrik. Dalam pemanfaatan secara pasif ini termasuk juga didalamnya pemanasan ruang (memanfaatkan efek rumah kaca) bagi wilayah bersuhu udara rendah.
Juga teknik-teknik untuk mencegah
pemanasan udara dalam ruang pada bangunan di kawasan Tropis termasuk kedalam jenis pemanfaatan secara pasif, dimana komponen sinar matahari yang terdiri dari: cahaya dan panas, hanya dimanfaatkan pada komponen 'cahaya' nya bagi kebutuhan penerangan alami dalam bangunan. Strategi perancangan secara pasif ini akan sangat berbeda antara bangunan yang berada pada iklim Tropis dan iklim Sub Tropis/dingin. Pada iklim Tropis, radiasi langsung dari matahari cenderung dihindari oleh bangunan agar perolehan panas (heat gain) dalam bangunan menjadi rendah, sehingga peningkatan suhu udara dalam bangunan dapat dicegah. Sementara pada iklim Sub Tropis, strategi perancangan pasif merupakan langkah sebaliknya dari strategi pada iklim Tropis, dimana perolehan panas dari matahari cenderung dimaksimalkan (kecuali pada musim panas), melalui radiasi matahari langsung yang jatuh pada bangunan sehingga terjadi peningkatan suhu dalam bangunan, mengingat suhu udara di sekitarnya yang rendah. Dalam memanfaatkan tenaga surya secara aktif dengan menggunakan photovoltaic, seharusnya secara simultan arsitek juga menerapkan strategi perancangan secara pasif. Tanpa penerapan strategi perancangan pasif, penggunaan energi dalam bangunan kemungkinan besar akan tetap tinggi apabila tingkat kenyamanan termal dan visual harus dicapai. Dalam situasi semacam ini, tenaga listrik yang berasal dari konversi tenaga surya oleh solar sel menjadi tidak terlalu banyak artinya. Dengan dimensi panel solar sel yang besar kebutuhan listrik bagi pencapaian kenyamanan termal dan visual pada bangunan sulit dipenuhi. Masih diperlukan energi listrik bagi mesin pendingin udara dengan
kapasitas besar, karena suhu udara dalam bangunan yang tinggi, juga diperlukan energi listrik untuk lampu-lampu penerang dalam ruang bangunan yang gelap ketika strategi perancangan pasif yang mengarah pada penghematan energi tidak diterapkan. Peran tenaga surya untuk menggantikan tenaga listrik yang diperlukan bangunan guna mencapai kenyamanan (visual dan termal) akhirnya gagal karena bangunan tidak dirancang sedemikian rupa agar kenyamanan dicapai tanpa mengkonsumsi banyak energi listrik. Energi listrik yang dihasilkan oleh photovoltaic kemungkinan besar tidak akan memadai untuk mendinginkan dan menerangi bangunan. Dengan kata lain pertimbangan perancangan secara pasif untuk menekan penggunaan energi dalam bangunan dalam hal ini tidak dapat diabaikan. D. ARSITEKTUR SOLAR DENGAN SISTIM SOLAR AKTIF DAN PASIF Arsitektur solar dapat di definisikan sebagai tatanan arsitektur yang memanfaatkan teknologi energi surya baik secara langsung maupun secara tidak langsung kedalam bangunan secara maksimal, dimana elemen elemen ruang arsitektur (lantai, dinding, atap, langit langit, aksesoris bangunan) berfungsi sebagai suatu sistim surya aktif maupun sistim surya pasif. Pada umumnya arsitektur surya ini mempunyai identitas sebagai tipologi arsitektur untuk konservasi energi. Sistim Surya Aktif (active solar system) merupakan suatu teknologi yang memanfaatkan energi surya dalam bangunan melalui konversi energi cahaya menjadi energi panas dengan bantuan peralatan peralatan mekanis untuk tujuan pemanasan air domestik, pemanasan dan pendinginan ruang atau melalui konversi energi cahaya menjadi energi listrik untuk tujuan penerangan/penggunaan alat alat elektronik lainnya. Sistim Surya Pasif (passive solar system) merupakan suatu teknik pemanfaatan energi surya secara langsung dalam bangunan tanpa atau seminimal mungkin menggunakan peralatan mekanis, melalui perancangan elemen elemen arsitektur (lantai, dinding, atap, langit langit, aksesoris bangunan) untuk tujuan
kenyamanan manusia (mengatur sirkulasi udara alamiah, pengaturan temperatur dan kelembaban, kontrol radiasi matahari, penggunaan insulasi termal). Terdapat
banyak
teknik
sistim
surya
aktif/pasif
yang
bisa
di
implementasikan di Indonesia sehingga memerlukan analisis yang akurat untuk menentukan suatu pilihan yang tepat bagi suatu tempat tertentu disini. Karakteristik iklim panas lembab di Indonesia (temperatur 300 C-35 0C DBT-dry bulb temperature dan kelembaban 80%-100% RHrelative humidity) menuntut sintesis antara arsitektur tropis dengan arsitektur solar yang tentu saja membutuhkan ke piawaian untuk memadukannya. Kriteria teknis fisibilitas penggunaan energi solar disuatu lokasi sedikitnya ditentukan oleh intensitas radiasi matahari (kW/M2) yang diukur dengan pyranometer dan jumlah hari cerah (hari/tahun atau jam/hari) yang diukur dengan solarimeter.
(Gambar3.2 sistem solar energi) E. PRINSIP KERJA DAN KLASIFIKASI PENGUMPULAN TENAGA SOLAR Pengumpulan sinar surya dalam sistim surya aktif memerlukan peralatan yang disebut kolektor surya. Kolektor mengubah radiasi matahari (langsung
maupun difus) menjadi panas yang terpakai ataupun energi listrik melalui absorpsi pada suatu permukaan tertentu. Pada sistim non elektrikal, energi termal yang terserap ditransmisikan melalui suatu media penghantar panas. Pada umumnya kolektor menggunakan penutup transparan (kaca/plastik) dengan transmitansi tinggi untuk gelombang pendek dan absorptansi tinggi untuk gelombang panjang sinar matahari. Pada dasar kolektor ditempatkan material penyerap efektif untuk radiasi matahari tetapi bersifat emitansi rendah serta konduktivitas termal yang tinggi untuk menghasilkan panas ke cairan atau gas dan diberi coating berwarna gelap. Kolektor energi solar dibedakan atas kolektor datar (nonfocusing collector) dan kolektor fokus (focusing collector). Kolektor datar pada dasarnya terdapat beberapa tipe, antara lain Open Water Collector, Air-Cooled Collector dan Liquid-Cooled Collector. Sedangkan kolektor fokus dibedakan antara Linear Concentrating Collector dan Circular Cocentrating Collector.
(Gambar3.3 kolektor solar energi) F. IMPLEMENTASI ARSITEKTUR SOLAR DALAM BANGUNAN Implementasi teknologi surya kedalam bangunan menimbulkan tantangan tantangan spesifik untuk memadukan aspek teknologi surya beserta peralatannya
dengan aspek arsitektur yang melibatkan fisik bangunan dengan program kebutuhan ruang bagi penghuninya. Permasalahan teknis yang timbul adalah bagaimana panel kolektor itu mampu menangkap radiasi panas surya semaksimal mungkin dan sejauh mana posisi panel kolektor menjadi faktor dominan yang menentukan orientasi, konfigurasi ruang dan bentuk fasade bangunan. Dengan adanya penempatan panel panel kolektor maupun modul PV sebagai faktor dominan penentu bentuk (form-giver) menyebabkan adanya implikasi implikasi disain arsitektur khusus yang sekaligus merupakan kriteria perancangan bagi arsitektur solar. Beberapa kriteria perancangan arsitektur surya: 1. Integrasi Sistim Surya Pada Bangunan Kolektor surya atau modul PV (fotovoltaik) sekaligus merupakan elemen bidang atap, bidang dinding, lantai, langit langit atau aksesoris bangunan (penangkal matahari, cantilever, canopy, kolam, aquarium, dsb). Misalnya Thrombe-Wall
untuk pemanasan ruang, Dinding Energi untuk pendinginan
ruang, Atap Berventilasi untuk mengurangi beban panas dalam ruang, dan sebagainya.
(Gambar3.4 penerapan solar cell pada atap) 2. Orientasi Bangunan. Orientasi kolektor surya/modul fotovoltaik (PV) sangat kritis bagi arah hadap optimum kolektor terhadap radiasi matahari. Karena lintasan matahari
terhadap bumi berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya, sedangkan umumnya kolektor surya berkedudukan tetap (kecuali “tracking collector”), maka orientasi kolektor yang terpasang pada bangunan (bidang atap atau dinding) harus tepat untuk mengusahakan radiasi matahari maksimum. Bagi lokasi dibelahan bumi utara, orientasi kolektor adalah arah selatan Bagi lokasi dibelahan bumi selatan, orientasi kolektor adalah arah utara. Bagi lokasi dikhatulistiwa (Indonesia), orientasi kolektor adalah arah barat-timur.
(Gambar3.5 orientasi solar cell) 3. Sudut Kemiringan Kolektor Sudut kemiringan kolektor mempengaruhi kinerja kolektor. Sudut kemiringan pada kolektor tetap (pada bidang atap atau dinding) perlu ditentukan dengan tepat untuk me maksimalkan intensitas matahari yang jatuh pada bidang kolektor serta mempertimbangkan aliran air hujan/salju yang mencair. Acuan sudut kemiringan kolektor bagi belahan bumi utara/selatan adalah Lintang Geografis Lokasi +100 -150 (AIA Research Corporation, Solar Dwelling Concepts). Acuan sudut kemiringan kolektor bagi jalur khatulistiwa (Indonesia) adalah + 300 (Priatman, Pusat Riset Energi Surya).
4. Luas Bidang Kolektor Luas
bidang
kolektor
(atap/dinding)
ditentukan
oleh
kebutuhan
pemanasan/pendinginan, sistim kolektor yang akan dipakai, kondisi intensitas matahari setempat, tingkat kebutuhan energi yang dibutuhkan bagi sistim surya (100% sistim surya atau sebagai back-up system saja), voltage –ampere/jam, dsb. Sebagai acuan pra rancang dapat digunakan rule of thumb + 50% dari luas ruang yang dilayani sistim kolektor surya (thermosyphoning) sampai + 150% dari luas ruang yang dilayani sistim modul PV (Wright, Natural Solar Architecture). 5. Komponen Sistim Surya Sistim surya non elektrikal (thermosyphoning) terdiri dari komponen komponen sistim yang harus di akomodasi dalam perancangan. Komponen komponen sistim itu meliputi Kolektor Surya, Reservoir/Gudang Penyimpan Panas, Distribusi, Transportasi, Energi Cadangan, Kontrok Elektronik. Arsitektur surya merupakan wadah dari sistim surya beserta dengan seluruh komponen pendukungnya. Sistim surya elektrikal, terdiri dari komponen komponen modul fotovoltaik (PV), kotak konektor (connector box), inverter untuk mengubah arus searah (DC) menjadi arus bolak balik (AC).
6. Unsur Kekuatan, Kenyamanan dan Estetika
Bangunan pada umumnya harus memenuhi kebutuhan kekuatan struktur untuk menjamin keamanan konstruksinya dan tingkat kenyaman tertentu untuk menjamin kesehatan dan kenyamanan penghuninya. Bangunan baru dapat di klasifikasikan sebagai arsitektur apabila dipenuhi kebutuhan nilai estetikanya dalam bentuk konfigurasi ruang yang kompak, nyaman, proporsionil maupun dalam bentuk fasade eksteriornya yang menampilkan komposisi bidang masiftransparan, tekstur lembut dan keras, warna pastel atau ekstrim, dan sebagainya dimana unsur seni artistik memainkan perannya. Kolektor surya (dengan warna gelap tertutup kaca/plastik transparan) dapat menghasilkan penampilan yang baik apabila dipikirkan sebagai kombinasi dan komposisi antara bidang dinding dan atap yang melibatkan sudut kemiringan dan luasan luasan yang dibutuhkan. Modul PV pun kini tersedia dalam belbagai pola dan tekstur yang atraktif baik masif maupun transparan dalam pelbagai warna dan di laminasi (laminated film) pada bidang bidang jendela maupun skylight.
BAB 4 PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa energi solar sangat berpotensi untuk dimanfaatkan, selain karena sumber daya yang dibisa diperbarui, juga energi solar ramah dengan lingkungan, dalam hubungannya dengan arsitektur energi solar bisa diimplementasikan melalui beberapa cara. Penerapan solar panel dalam suatu desain juga tidak boleh mengganggu estetika bangunan itu sendiri, karena adalah mutlak hukumnya sebuah bangunan memiliki estetika yang bagus, sehingga penghuni atau pemilik bangunan tersebut mencapai kenyamanan yang diekspektasikan, dewasa ini peralatan energi solar seperti solar cell sudah mulai berkembang dalam segi desain dan bentuknya, jadi tidak ada alasan untuk masih menggunakan energi fosil, karena selayaknya energi fosil yang tidak bisa diperbaharui dijadikan sebagai opsi kedua dari sumber energi.
B. SARAN Sudah selayaknya arsitek zaman sekarang mengkombinasikan gaya arsitekturnya dengan arsitektur solar, karena mengingat kondisi bumi yang semakin hari semakin dekat dengan kehancurannya, sehingga dengan penggunaan energi solar, setidaknya secara individual kita sudah mencoba mengurangi dampak dari penggunaan energi fosil yaitu pemanasan global. C. REFERENSI Karyono Tri Harso (2003) tenaga surya dan arsitektur: suatu analisis lingkungan dan perancangan. DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 31, No. 1, Juli 2003: 68-74 Laloma Indriani, F. Manganguwi Ronald, Pantow Megani R. N, Egam Pingkan (2015) Optimalisasi Energi Surya pada Arsitektur di Daerah Tropis Lembab. Pascasarjana Arsitektur, Universitas Sam Ratulangi 2015. Priatman, J. (2000). PERSPEKTIF ARSITEKTUR SURYA DI INDONESIA. PERSPEKTIF ARSITEKTUR SURYA DI INDONESIA , 1-7.