BANGUN PLTA, DAPAT : LISTRIK, BERAS, IKAN, AIR BAKU, DAN REKREASI Oleh : Ir. I Wayan Jondra Dosen Teknik Elektro Politeknik Negeri Bali Ditengah terjangan globalisasi, dimana segala sesuatu diukur dengan cara terpusat, membuat tolak ukur tentang pangan juga terpusat, masyarkat belum dikatakan makan apabila belum makan nasi, yang notabene berasal dari beras. Namun disatu sisi tidak semua masyarakat indonesia makan beras, demikian juga sebagian masyarakat Bali pada mulanya tidak memakan beras, namun beberapa dekade belakangan ini, makan beras dikampanyekan besar-besaran, dengan dalih peningkatan gizi. Alhasil, masyarkat yang gandrung memakan beras jumlahnya meningkat drastis, dimana masyarakat yang sebelumnya makan sagu, ketela rambat, ketela pohon dan jagung beralih makan beras. Namun kondisi yang dilematis, terjadi perubahan pola konsumsi tidak dibarengi dengan upaya peningkatan produksi beras. Berbarengan dengan ini krisis multi demensional melilit bangsa ini, dengan terjadinya krisis : ekonomi, listrik, BBM, beras, air dan sebagainya. PLTA (Pembangkit listrik tenaga air) merupakan pemangkit listrik yang bersekala besar, sedangkan PLTMH (pembangkit listrik tenaga mikro hydro) merupakan pemangkit listrik yang bersekala kecil sangat cocok untuk Bali, dimana kedua pembangkit listrik ini memanfaatkan energi potensial air untuk memutar turbin (kincir), kemudian kincir memutar generator sehingga menghasilkan listrik. Air untuk memutar turbin ini diperoleh dari air terjun atau bendungan yang mempunyai posisi yang cukup tinggi, sehingga energi jatuh air ini dapat dijatuhkan pada turbin dan membuat turbin berputar. Sehingga biasanya untuk membangun PLTA ini perlu dibuatkan bendungan guna memenuhi kebutuhan air. Dengan pembangunan bendungan ini, maka air yang ditampung pada bendungan pembangkit selain dimanfaatkan energinya untuk memutar turbin, dapat pula digunakan untuk, tempat pembenihan ikan, tempat rekreasi, menampung air untuk irigasi pertanian, dan setelah keluar dari pembangkit, ditampung kembali, air dapat digunakan sebagai air baku, untuk kemudian diolah menjadi air minum (PAM). Air yang ditampung pada bendungan sebagian digunakan untuk irigasi (mengairi sawah), sehinggga disekitar bendungan dapat dibuka lahan basah baru, baik membuat tegalan menjadi sawah atau membuat lahan kritis menjadi lahan basah sehingga bisa ditanami padi. Dengan memanfaatkan air bendungan ini, maka ketersediaan air untuk persawahan menjadi relatif setabil sepanjang waktu. Dengan sendirinya produksi beras akan setabil, tentunya hal ini membuat produksi beras akan meningkat, terlebih-lebih dengan pertanian palawija yang membutuhkan air jauh lebih sedikit dibandingkan dengan padi. Dengan adanya bendungan, maka kelompok tani yang ada disekitar bendungan dapat meningkatkan variasi usahanya, disamping menanam padi, dapat pula memelihara ikan. Caranya dengan membuat karamba-karamba, maka masing-masing petani akan memiliki lahan yang adil pada bendungan tersebut untuk memelihara ikan. Ikan hasil peliharaan petani ini dapat dijual ke pasar, atau dijual setempat, kepada wisatawan yang datang ke bendungan guna melakukan rekreasi, tentunya hal ini merupakan suatu langkah yang sangat menarik, dan menguntungkan semua pihak, masyarakat yang tanahnya
menjadi korban, pembangunan bendungan perlu diberikan hak yang lebih istimewa untuk memanfaatkan bendungan. Di atas bendungan ini berbagai atraksi wisata dapat dilakukan antara lain : perahu sepeda, sampan, boat, memancing dan sebagainya, yang penting semua fasilitas tersebut ditata dengan rapih, yang tentunya tidak melupakan keamanan. Dengan adanya fasilitas wisata ini perekonomian di wilayah bendungan menjadi meningkat, tidak saja oleh pertanian, namun juga oleh jasa dan perdangangan. Listrik yang dihasilkan oleh PLTA/PLTMH ini dapat dikelola oleh investor maupun, pemerintah daerah untuk dijual kepada PLN, untuk penerangan wilayah bendungan bersangkutan, maupun dijual ke perkotaan. PLTA/PLTMH merupakan pembangkit yang nihil pencemaran dan dampak lingkungan, sehingga sangat relevan diterapkan di Indonesia umum dan di Bali khususnya. Yang memiliki daerah yang relatif terbatas namun sarat muatan. Air yang keluar dari PLTA/PLTMH dan pertanian, baru kemudian ditampung kembali di hilir sungai (dekan dengan pantai), guna disedot untuk keperluan air baku. Dengan cara seperti ini, semua pihak kebagian air, dan sumber air dikelola secara cerdas. Namun kenyataan dilapangan sering terjadi salah urus, sehingga air yang ada dibendungan, disamping untuk pariwisata, dan pertanian, air juga dipompa untuk kebutuhan PDAM, sehingga kondisi ini berdampak, tidak semua lahan pertanian mendapatkan air. Dengan demikian, maka pembangunan PLTA/PLTMH sangatlah relevan dengan konsep tri hita karana.