BALANCED SCORECARD
1. Pendahuluan Balanced scorecard (BSC) merupakan salah satu konsep yang paling berpengaruh dalam bidang manajemen kinerja dan pengukurannya. Downing (2001) menyatakan bahwa di pertengahan tahun 2001, terdapat lebih dari 50% perusahaan di seluruh dunia yang telah mengadopsi konsep BSC dalam perusahaan mereka. Penelitian terbaru mengenai hal ini juga diungkapkan oleh Rigby (2011), dimana sekitar 54% dari 1.230 perusahaan yang disurvey telah menggunakan konsep BSC. Penelitian-penelitian di atas telah membuktikan bahwa betapa populer dan berpengaruhnya konsep BSC ini. Konsep BSC dapat diterapkan di berbagai sektor industri, mulai dari sektor industri retail sampai jasa. Neely (2004) menggunakan konsep BSC untuk meneliti tentang kinerja sebuah perusahaan yang berada di industri retail elektronik dan penerapan konsep ini di sektor industri manufaktur petrochemical telah dilakukan salah satunya oleh Varma dan Deshmukh (2009). Untuk lebih luasnya, Khatoon dan Farooq (2014) telah mengkaji berbagai literatur yang membahas tentang penerapan BSC di industri kesehatan, pendidikan sampai perhotelan. Sejak BSC diperkenalkan pertama kali oleh Kaplan dan Norton di tahun 1992, beberapa penelitian yang memberi andil pada pengembangan konsep ini bermunculan dan menjadikan konsep BSC tidak hanya menjadi sebuah alat pengukuran kinerja tetapi berevolusi menjadi sebuah sistem manajemen kinerja. Makalah ini akan menyajikan beberapa penelitian tentang bagaimana BSC
1
kemudian berkembang sejak diperkenalkan pertama kali di tahun 1992 sampai sekarang, bagaimana implementasi konsep BSC dalam berbagai industri dan apa perbedaan BSC dengan sistem manajemen kinerja yang lain.
2. Kajian Literatur 2.1. Konsep Awal Balanced Scorecard BSC pertama kali dikembangkan oleh Robert Kaplan dan David Norton di tahun 1992. Metode BSC menggabungkan alat pengukuran finansial dan nonfinansial sehingga seorang manajer akan memperoleh informasi bisnis yang lebih rinci dan komprehensif, dibandingkan jika ia hanya melihat aspek finansial saja (Kaplan dan Norton, 1992). Dengan menampilkan seluruh informasi finansial dan non-finansial perusahaan dalam satu laporan, BSC diyakini dapat meningkatkan efektivitas informasi kinerja dan berimplikasi pada suatu kondisi dimana seorang manajer dapat melihat bahwa perubahan di suatu area pengukuran berimbas pada area pengukuran lainnya. Sebagaimana disebutkan di atas, konsep BSC berjalan dengan cara menggabungkan 2 alat pengukuran kinerja yaitu finansial dan non-finansial. Lebih lanjutnya Kaplan dan Norton menyebutkan bahwa terdapat empat perspektif yang diukur untuk mengetahui tingkat kinerja perusahaan yaitu perspektif konsumen, perspektif proses internal bisnis, perspektif pertumbuhan dan inovasi serta perspektif finansial.
Perspektif Konsumen
2
Perspektif konsumen membutuhkan perhatian perusahaan mengenai apa yang dibutuhkan konsumen dan bagaimana mengukur kinerja perusahaan dalam memenuhi ekspektasi konsumen tersebut. Menurut Kaplan dan Norton (1992), konsumen pada umumnya fokus pada 4 hal yaitu waktu, kualitas, kinerja dan layanan serta biaya. Dengan melakukan eksplorasi pada perspektif ini, maka perusahaan dapat dengan efektif mencari titik temu antara kinerja perusahaan dengan ekspektasi konsumen. Perspektif Proses Bisnis Internal Eksplorasi pada perspektif ini mendorong perusahaan untuk merancang suatu proses internal yang efektif dan fokus pada aktivitas-aktivitas yang memberikan nilai tambah besar pada operasi bisnis (value added activities). Aspek-aspek yang dapat diukur dalam perspektif ini antara lain waktu siklus produk, produktivitas, biaya produksi dan time to market. Perspektif Pertumbuhan dan Inovasi Eksplorasi pada perspektif ini mendorong perusahaan untuk memperhatikan seberapa baik perusahaan mengembangkan dan meningkatkan kinerja mereka dalam beradaptasi. Aspek-aspek yang diukur dalam perspektif ini antara lain tingkat kepuasan karyawan, kemampuan sistem informasi, serta motivasi, pemberian wewenang dan pembatasan wewenang karyawan. Perspektif Finansial Perspektif terakhir dalam BSC dan umumnya menjadi fokus bagi perusahaan adalah aspek finansial. Tiga perspektif sebelumnya di atas merupakan alat bagi perusahaan untuk memiliki kinerja yang baik di masa depan, sementara perspektif
3
finansial ini berfungsi sebagai sebuah spion untuk melihat kinerja perusahaan yang telah lampau. Kaplan dan Norton (1992) menegaskan bahwa tujuan yang tertuang dalam perspektif konsumen, proses bisnis internal serta pertumbuhan dan inovasi akan memberikan keuntungan kepada perusahaan hanya jika dapat meningkatkan penjualan, peningkatan market share perusahaan, menurunkan biaya operasional atau meningkatkan aset perusahaan. Dengan kata lain, tiga aspek tersebut harus membawa dampak positif bagi aspek finansial perusahaan.
Gambar 1. Empat Perspektif dalam Konsep Balanced Scorecard (Kaplan & Norton, 1992) Keseimbangan dalam BSC Dalam konsep BSC, Kaplan dan Norton (1992) menyatakan bahwa harus ada keseimbangan antara kinerja keuangan dan non-keuangan, kinerja jangka pendek dan jangka panjang, serta antara kinerja yang bersifat internal dan kinerja yang bersifat eksternal. Dengan adanya keseimbangan ini, maka seorang manajer akan memiliki pemahaman yang luas terhadap manajemen kinerja perusahaannya dan mendorong manajer untuk memperhatikan aspek-aspek non-finansial perusahaan.
2.2. Pengembangan Balanced Scorecard
4
Prinsip konsep BSC yang menggunakan empat perspektif finansial dan nonfinansial pada dasarnya tidak banyak berubah seiring semakin banyaknya ilmuan yang menulis dan meneliti tentang BSC. Penelitian dan pengembangan BSC lebih ke arah mendorong evolusi BSC dari sekedar sebuah alat ukur kinerja menjadi sebuah alat strategis sebuah performance management system dimana keempat perspektif tersebut merupakan penjabaran dan upaya penerjemahan visi, misi dan strategi perusahaan serta terminologi operasional.
BSC sebagai Alat Manajemen Strategis Konsep lanjutan dari BSC dicetuskan oleh Kaplan dan Norton di tahun 1993. Pada konsep lanjutan ini, Kaplan dan Norton menjadikan BSC sebagai kerangka kerja sebuah sistem strategi perusahaan dimana tujuan perusahaan dijabarkan dalam bentuk strategi-strategi unit bisnis yang memiliki obyektif dalam basis kerangka perspektif-perspektif BSC.
Gambar 2. Pengembangan Konsep BSC oleh Kaplan dan Norton (1993)
5
Konsep translasi strategi korporat ke dalam perspektif BSC dikembangkan lebih lanjut oleh Kaplan dan Norton di tahun 1996 dalam empat tahap yaitu (1) Menerjemahkan Visi, (2) Komunikasi dan Menghubungkan, (3) Perencanaan Bisnis dan (4) Umpan Balik dan Pembelajaran. Keempat tahap ini menjadi dasar bagi perusahaan untuk menghubungkan tujuan strategi jangka panjang dengan aksi jangka pendek dimana perspektif BSC tetap menjadi kerangka kerjanya.
Gambar 3. Hubungan antara 4 tahap perumusan strategi korporat dan perspektif BSC (Kaplan dan Norton, 1996) Konsep BSC generasi pertama di 1992 dan pengembangan pertama di tahun 1996 menghasilkan suatu konsep komprehensif bernama Peta Strategic (Kaplan dan Norton, 2000). Peta strategi Kaplan dan Norton ini merupakan suatu alat penyusunan strategi yang dibangun berdasarkan BSC dan menghasilkan kerangka kerja mencapai obyektif perusahaan berdasarkan empat perspektif BSC. Peta strategi ini menggambarkan hubungan antara strategi korporat dengan aksi harian
6
operasional perusahaan sehingga suatu strategi menjadi in-line dengan obyektifnya (Kaplan dan Norton, 2000).
Gambar 4. Kerangka kerja peta strategi (Kaplan dan Norton, 2000) Sayangnya, kerangka kerja Kaplan dan Norton (2000) tidak memasukkan intangible assets kepada kerangka kerjanya. Hal ini disempurnakan oleh Kaplan dan Norton di tahun 2004. Intangible assets yang dimaksud oleh Kaplan dan Norton (2004) antara lain sumber daya manusia, sumber daya informasi dan sumber daya organisasi. Peta strategi (2004) fokus pada bottom-up analysis sehingga terlihat jelas pengaruh intangible assets terhadap kinerja perusahaan.
7
Gambar 5. Kerangka kerja peta strategi dengan memasukkan unsur Intangible Assets (Kaplan dan Norton, 2004) Pengembangan selanjutnya dari teori BSC setelah peta strategi yang disempurnakan oleh Kaplan dan Norton (2004) adalah sebuah konsep dari Cobbold dan Lawrie (2002) yang dikenal dengan nama generasi ketiga dari BSC. Perbedaan mencolok dari generasi ketiga BSC Cobbold dan Lawrie (2002) ini adalah adanya destination statement. Destination statement gambaran ingin menjadi apa seperti perusahaan di masa depan (Cobbold dan Lawrie, 2004).
8
Gambar 6. Kerangka kerja peta strategi BSC generasi 3 (Cobbold dan Lawrie, 2004) Lawrie (2004) mengemukakan bahwa dengan adanya destination statement, maka secara otomatis aspek non-finansial juga menjadi bagian dari penyusunan strategi, sebagaimana yang dikemukakan oleh BSC Kaplan dan Norton (1992, 1996, 2000, 2002). Itu artinya, pengembangan konsep BSC generasi 3 dari Lawrie (2004) ini menggabungkan perspektif finansial dan konsumen menjadi perspektif hasil, sementara perspektif aktivitas menggantikan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan dan perspektif proses internal.
9
Gambar 7. Pengembangan BSC generasi 3 (Lawrie, 2004) 2.3. Implementasi Balanced Scorecard pada Berbagai Sektor BSC telah diterapkan pada berbagai sektor, mulai dari sektor kesehatan (Kocakulah dan Austill, 2007), sektor pendidikan (Ruben, 1999; Karathanos dan Karathanos, 2005), sampai sektor hospitalitas / perhotelan (Denton dan White, 2000). Implementasi BSC dapat saja mengalami kegagalan, khususnya untuk perusahaan berskala besar. Kaplan dan Norton (2001) mengidentifikasi 2 sumber kegagalan implementasi BSC pada perusahaan besar yaitu kegagalan disain BSC dan kegagalan proses implementasi BSC. Kegagalan disain BSC muncul karena terlalu sedikit alat ukur yang digunakan untuk setiap perspektif, terlalu banyak indikator yang digunakan dan tidak dilakukannya screening agar KPI yang digunakan merupakan KPI langsung yang berpengaruh terhadap tujuan strategi. Sementara kegagalan implementasi
10
BSC umumnya terjadi karena kurangnya komitmen manajemen senior terhadap penerapan BSC, terlalu sedikit karyawan yang terlibat dalam proses perancangan dan penerapannya, proses development yang terlalu panjang, atau BSC diperlakukan sebagai sebuah proyek kerja saja.
3. Kesimpulan BSC telah menjadi konsep manajemen kinerja yang populer sejak diperkenalkan pertama kali oleh Kaplan dan Norton di tahun 1992. Dari waktu ke waktu, konsep ini berevolusi menjadi lebih kompleks sehingga BSC tidak hanya menjadi alat ukur kinerja, tetapi kemudian menjadi kerangka berpikir dalam perumusan strategi perusahaan. BSC telah diimplementasikan dalam berbagai sektor industri, mulai dari manufaktur sampai jasa. Walau banyak perusahaan yang telah berhasil menerapkan BSC, tetapi Kaplan dan Norton (2001) telah berhasil mengidentifikasi dua faktor yang menyebabkan kegagalan penerapan BSC pada perusahaan.
11
DAFTAR PUSTAKA Cobbold, I. dan Lawrie, G. (2002), "The development of the balanced scorecard as a strategic management tool", PMA Conference, Boston, MA, May. Downing, I (2001), "The global BSC community: a special repot on implementation experience from scorecard users worldwide", Balanced Scorecard European Summit, Nice, May. Kaplan, R. dan Norton, D. (1992), "The balanced scorecard - measures that drive performance". Harvard Business Review, January-February. Kaplan, R. dan Norton, D. (1993), "Putting the balanced scorecard to work". Harvard Business Review, September-October. Kaplan, R. dan Norton, D. (1996), "Using the balanced scorecard as a strategic management system". Harvard Business Review, January-February. Kaplan, R. dan Norton, D. (1996), "Linking the balanced scorecard to strategy". California Management Review, Vol. 39 No. 1. Kaplan, R. dan Norton, D. (2000), "The strategy focused organization: How balanced scorecard companies thrive in the new business environment". Harvard Business School Press, Cambrige. Kaplan, R. dan Norton, D. (2001), "Transforming the balanced scorecard from performance measurement to strategic management: part 1", Accounting Horizon, Vol. 15 No. 1. Kaplan, R. dan Norton, D. (2004), "Measuring the strategic readiness of intangible assets", Harvard Business Review, Vol. 82 No. 2. Kaplan, R. dan Norton, D. (2004), "Strategic maps: converting intangible assets into tangible assets outcomes", Harvard Business School Press, Boston, MA. Kaplan, R. dan Norton, D. (2006), "Allignment: Using the balanced scorecard to create corporate synergies", Harvard Business School Press, Boston, MA. Lawrie, G. dan Cobbold, I. (2004), "Third generation balanced scorecard: evolution of an effective strategic control technique", International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 53 No. 7. Lawrie, G, Cobbold, I dan Issa, K. (2004), "Designing a strategic management system using the third-generation balanced scorecard", International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 53 No. 7.
12