Bahan Ajar 2

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bahan Ajar 2 as PDF for free.

More details

  • Words: 1,734
  • Pages: 5
BAHAN AJAR Mata kuliah Kode Mata Kuliah Semester / Kelas Pertemuan Minggu keWaktu Pengampu

2

: Teori sastra : 212216 : I / A,B,C dan D : 2 : 3X50 menit : Dra. Elyusra, M.Pd.

Standar Kompetensi sastra dan studi sastra.

:

1. Mendefinisikan konsep-konsep dasar

Kompetensi Dasar : 1.1 Merumuskan definisi sastra berdasarkan pendapat para ahli. 1.2 Menjelaskan hakikat sastra 1.3 Menjelaskan maksud kaidah-kaidah sastra

I.

Pendahuluan Mempelajari konsep-konsep dasar sastra merupakan kegiatan awal atau pengalaman belajar awal dalam mata kuliah Teori Sastra. Pembelajaran ini merupakan pembuka jalan untuk memahami bidang studi sastra dalam rangka mencapai kemampuan apresiasi sastra. Sebagai mata kuliah prasyarat kompetensi Anda di bidang ini menentukan keikutsertaan dan keberhasilan Anda pada program-program pembelajaran sastra selanjutnya. Selain itu, kompetensi menguasai pengertian sastra merupakan bagian bidang ilmu yang harus Anda miliki karena merupakan bahan ajar di lapangan kerja. Program pembelajaran ini merupakan bagian dari standar kompetensi; ”mampu mendefinisikan konsep-konsep dasar sastra dan studi sastra. Pembelajaran ini mencakup: pengertian sastra secara etimologi, secara historis, dan definisi sastra yang dikemukakan para ahli, hakikat sastra, kaidah sastra, dan nilai atau kegunaan sastra.

II. Materi Konsep-konsep Dasar Sastra

2.1 Definisi Sastra menurut Para Ahli Banyak sudah definisi sastra yang telah dikemukakan oleh para ahli . Pada dasarnya, definisi tersebut mempunyai dasar pengertian yang sama, meskipun diuraikan dengan kat dan bahasa yang berbeda.Walaupun usaha mendefinisikan sastra sudah dilakukan oleh

banyak ahli , batasan yang tepat mengenai sastra itu belum dapat dirumuskan. Batasanbatasan yang ada seringkali hanya didasarkan pads aspek-aspek tertentu sehingga masih terdapat kemungkinan untuk disanggah atau dipertanyakan. Hal tersebut disebabkan adanya celah-celah kelemahan atau terlalu longgarnya batasan-batasan yang ada. Secara intuitif, memang kita mengetahui apa yang disebut sastra itu. Namun, deskripsi dari pengertian yang ada pada pikiran kita itulah yang masih sulit dirumuskan dalam bentuk kalimat yang tepat. Jika kita mencoba merumuskan definisi sastra berdasarkan intuisi tersebut biasanya banyak gejala yang luput dari kalimat yang kita susun. Sebagai contoh, merumuskan kata sastra saja masih banyak perbedaan persepsi. Sastra misalnya dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata sas yang berarti mengarahkan , memberi petunjuk atau instruksi, sedang tra berarti alat atau sarana (Teeuw, 1984: 23). Padahal dalam pengertian sekarang (bahasa Melayu), sastra banyak diartikan sebagai tulisan. Pengertian ini kemudian ditambah dengan kata su yang berarti indah atau baik. Jadilah susastra yang bermakna tulisan yang indah. Pengertian sastra yang didasarkan pada makna kata di atas, tentu tidak dapat menggambarkan definisi sastra secara keseluruhan. Hal tersebut misalnya dapat dibandingkan dengan makna sastra yang terdapat dalam bahasa-bahasa Barat. Kerancuan makna pun masih melingkupi makna sastra tersebut. Dalam bahasa Inggris misalnya dikenal istilah literature, Perancis litterature, Jerman literatur, dan Belanda letterkunde. Secara etimologis, katakata tersebut berasal dari bahasa Latin yaitu litterature yang merupakan terjemahan dari kata grammatika yang mengandung makna tats bahasa dan puisi. Namur kenyataannya, dalam pengertian yang dikenal saat ini kata literature ternyata mengacu pada makna segala sesuatu yang tertulis. Padahal jika kits simak lebih jauh, manifestasi makna tersebut tentu tidak dapat menggambarkan sastra dalam pengertian karya fiksi. Seperti diketahui bahwa bentuk-bentuk tulisan pada umumnya yang tidak mengandung unsur estetika bahasa, estetika isi, imajinasi tidak dapat dikategorikan sebagai karya sastra. Dengan demikian, referensi makna yang didasarkan pada referensi harfiah dari pengertian sastra tidak dapat dipakai sebagai perwujudan pengertian sastra itu sendiri. Jika sampai saat ini banyak pendapat yang mengungkapkan batasan bahwa sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik, bukan berarti bahwa pandangan tersebut dapat menjabarkan pengertian sastra secara tuntas. Banyak hal yang merupakan bagian dari sastra belum terangkum. Secara mendasar, suatu teks sastra setidaknya harus mengandung tiga aspek utama yaitu,decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectare (memberikan kenikmatan (mampu menggerakkan kreativitas pembaca). Kriteria dasar di atas, tentu saja masih harus dijabarkan lebih lanjut pada bagianbagian yang lebih khusus. Karena mendefinisikan sastra tidak hanya sekedar mengurai maknanya secara harfiah spontan dan sastra itu bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain, dan mempunyai koherensi antara unsur-unsurnya. Kreativitas dan

spontanitas merupakan dasar definisi jaman romantik. Tokoh-tokoh Romantik seperti Sartre, Coleridge ataupun Roland Barthes merupakan pendukung bahwa sastra memang tidak lepas dari kreasi, ekspresi, otonomi, koherensi, dan sintesis, di samping makna yang tidak terhingga. Sebaliknya, kaum formalis, lebih menitikberatkan pada masalah sintaktik dan grafik. Fungsi puitiklah yang dianggap dominan yang tertuang dalam struktur sintaktiknya. Tokoh formalis seperti Mukarovsky, EE Cummings, Sjklovski, Tolstoj selalu berpangkal bahwa unsur puitik yang terefleksi mulai aspek foregrounding merupakan faktor utama. Unsur-unsur tersebut, misalnya, berupa ekuivalensi dan juga penyimpangan struktur-struktur bahasa yang lazim dipakai. Dari sinilah teks sastra ditentukan kualitasnya dan kekhasannya yang istimewa. Merumuskan pengertian sastra secara utuh memang sangat sulit. Karena seperti yang diutarakan oleh Mukarovsky di atas bahwa umumnya definisi yang ada hanya bersifat arsial. Namun demikian, berdasaran definisi historik di atas, paling tidak secara global dapat dirumuskan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang. spontan yang mampu mengungkapan aspek estetik baik antara aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetika bahasa biasanya , diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface structure) sedang estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure. Mursal Esten menyatakan "sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan)" (1978 : 9). Kemudian dikatakan pula bahwa sastra. adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1988 : 8). Panuti Sudjiman mendefinisikan sastra sebagai "karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapanya" (1986 : 68). Selain itu, Ahmad Badrun berpendapat bahwa "Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif" (1983 : 16). Menurut Engleton (1988 : 4), sastra yang disebutnya "karya tulisan yang halus" (belle letters) adalah karya yang mencatatkan bentuk bahasa. harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan, dibelitkan, dipanjangtipiskan dan diterbalikkan, dijadikan ganjil. Keempat definisi di atas berangkat dari dasar pengertian yang sama walaupun diungkapkan dengan kalimat dan bahasa yang berbeda. Selain itu, antara satu definisi dengan definisi yang lain saling melengkapi. Oleh sebab itu, apabila diminta kepada Anda tentang pengertian sastra sebaiknya Anda memberikan rumusan Anda sendiri yang berdasarkan pada pendapat para ahli di atas. Ada satu formula yang diberikan oleh Merrill ( 1983 ) untuk membuat definisi, yaitu: tuliskan nama

konsep, tulis kelas superordinat, sebutkan 2.2

Hakikat Sastra

Pengertian sastra yang dikemukakan para ahli di atas, memberikan gambaran bagi kita tentang hakikat sastra itu. Dikemukakan oleh M.Atar Semi (1988:18-19), bahwa ada tiga hakikat sastra, yaitu: sastra menggunakan bahasa, 2) sastra terkait dengan berbagai cabang ilmu dan 3) sastra didukung oleh cerita. Secara singkat, ketiga hakikat sastra tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ini. Sebagai suatu hasil karya seni kreatif sastra mempunyai kedudukan yang sama dengan karya seni yang lain. Karya sastra bagi pengarang merupakan suatu jalan untuk mengemukakan ide, pikiran, atau perasaannya. Pengungkapan semua hal di atas menggunakan alat, sarana, atau media penyampai berupa bahasa, sebagaimana pelukis menggunakan cat dan pematung menggunakan kayu atau batu. Namun demikian, ada satu hal yang harus diingat, bahwa bahasa yang digunakan para sastrawan walaupun pada mulanya berasal dari bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi dalam proses kreativitasnya bahasa tersebut ikut mengalami pengolahan, sehingga tidak sama lagi dengan bahasa komunikasi sehari-hari. Biasa dikatakan bahasa sastra itu bermakna konotatif atau ambigu. Bahasa sastra tidak selalu dapat diartikan secara harfiah atau menurut arti kata yang ada dalam kamus. Hal ini pun menimbulkan sifat khas sastra yang bersifat tidak komunikatif praktis. Sastra pada hakikatnya berkaitan dengan berbagai cabang ilmu. Hakikat sastra ini dapat kita jelaskan dari sudut pengarang, pembaca, atau dari sudut karya sastra itu sendiri.Seorang sastrawan yang akan mencipta sastra sangatlah dituntut memiliki kompetensi bahasa. Hal inilah yang memungkinkan ide, gagasan, atau perasaan yang akan diungkapkan dapat disampaikan. Kompetensi dimaksud bukan hanya sekedar mengetahui kaidah-kaidah yang berlaku atau memahami sistem yang ada pada suatu bahasa. Sastrawan dituntut lebih dari itu. Sastrawan sangat dituntut mampu mengolah bahasa yang akan digunakannya itu secara kreatif sehingga menimbulkan daya pesona bagi pembacanya. Selain itu, ide atau gagasan dan juga perasaan yang akan diungkapkan itu merupakan pengalaman batin sastrawan yang telah melalui proses yang melibatkan berbagai pengetahuan yang dimiliki dan menghendaki pula wawasan yang luas. Banyak pelaku seni sastra yang melakukan studi mendalam tentang objek yang sedang digarapnya. Misalnya, penulis novel Gajah Mada merasa perlu mengadakan perjalanan dan mengunjungi Singapura untuk mendapatkan pemahaman atau gambaran tentang luasnya daerah ekspansi Gajah Mada di Kerajaan Maja Pahit ( Kick andy, Metro TV, Januari, akhir Desember 2007). Cornelia Agata, artis yang memerankan tokoh dokter jiwa dalam drama Kenapa Leonardo? yang diproduksi Teater Koma melakukan studi dengan membaca ilmu psikoanalisa, Sigmun Frud ( Show Biz on Location, 11 Januari,2008 ). Demikian juga dengan penikmat karya sastra, yang tidak cukup hanya menguasai ilmu bahasa saja. Tak jarang seorang pembaca dituntut memiliki ilmu dan wawasan yang luas agar dapat memberikan makna yang sempurna terhadap karya

sastra yang dinikmatinya. Hal ini semakin terasa pentingnya apabila aspek kehidupan yang digarap pengarang sangat berjauhan dengan kehidupan pembaca tersebut. Misalnya, seorang pembaca dengan latar belakang budaya Minangkabau akan merasa sulit saat berhadapan dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk yang berlatarbelakang kebudayaan Jawa tersebut. Pembaca ini tentu harus memahami dahulu aspek kebudayaan Jawa yang dikemukakan pengarang itu. Suatu karya sastra tidak hanya sarat dengan estetika bahasa dan kesastraan saja, tetapi sarat pula dengan berbagai aspek kehidupan yang lain. Seluruh aspek kehidupan manusia akan ditemukan dalam karya sastra. Demikianlah gambaran keterkaitan sastra dengan berbagai cabang ilmu. Suatu saat seorang sastrawan ingin mengemukakan sesuatu. Akan tetapi hal itu sangat rumit untuk diutarakan. Kalau ia mengungkapkan dengan begitu saja, dikhawatirkan pembaca akan sulit menangkap maksudnya dan tentu saja karyanya itu akan sama saja dengan tulisan yang berbentuk laporan biasa. Dalam situasi seperti ini, sering sastrawan memulianya dengan cerita. Dengan demikian, pengarang lebih mudah mengemukakan gagasannya dan pembaca pun lebih senang menerimanya. Selain hal di atas, Rene Wellek dan Austin Warren (1989) mengemukakan sifat imajinatif sebagai hakikat sastra. Maksudnya pengalaman atau peristiwa yang disampaikan sastrawan dalam karyanya bukanlah pengalaman atau peristiwa yang sesungguhnya, sebagaimana yang terdapat dalam realitas objektif. Kendatipun demikian, pengalam dan peristiwa itu telah mengalami proses pengolaahn dengan menggunakan daya imajinasi atau daya khayal sastrawan. III.

Petunjuk Pembelajaran

1. Bacalah materi konsep-konsep dasar sastra secara mandiri dengan seksama. 2. Tandailah pokok-pokok pikiran, rinciannya, dan konsep-konsep atau istilah yang ada pada uraian di atas kemudian pahamilah maksudnya! IV.

Tugas Lengkapilah kerangka peta konsep dengan topik Konsep-konsep dasar

sastra dan studi sastra yang telah ada pada Anda!

Bengkulu, Oktober 2007 Pengampu M.K.’ Elyusra, M.Pd.

Related Documents

Bahan Ajar Jiwa 2
October 2019 33
Bahan Ajar 2
June 2020 14
Bahan Ajar
October 2019 63
Bahan Ajar
August 2019 78
Bahan Ajar
May 2020 58