See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/327756107
Perilaku Prososial Chapter · September 2018
CITATIONS
READS
0
2,120
1 author: Muhammad Abdan Shadiqi University of Indonesia 10 PUBLICATIONS 2 CITATIONS SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Konformitas View project
Enviromental Psychology View project
All content following this page was uploaded by Muhammad Abdan Shadiqi on 01 December 2018. The user has requested enhancement of the downloaded file.
Cara sitasi (APA): Shadiqi, M. A. (2018). Perilaku Prososial. Dalam A. Pitaloka, Z. Abidin, & M. N. Milla (Eds.), Buku psikologi sosial, pengantar teori dan penelitian (227-260). Jakarta: Salemba Humanika. Bab 8 Perilaku Prososial Muhammad Abdan Shadiqi Fokus Utama a. Fenomena perilaku prososial di Indonesia dan global b. Definisi perilaku prososial c. Penelitian klasik dalam perilaku prososial d. Perkembangan penelitian perilaku prososial e. Tokoh psikologi dalam perilaku prososial f. Kesimpulan g. Diskusi A. Fenomena perilaku prososial
P r
b u
il c
i t a
n o
Selama dua bulan berturut-turut, yaitu di bulan Agustus dan September 2017, ada dua
o F
aparatur negara dari dua institusi berbeda mendapat penghargaan karena tindakan ‘heroik’ yang mereka lakukan. Virus virtual atau viral yang berasal dari jejaring sosial di internet
t f a
mengantarkan Aipda Ismet Ishak dan Serka Darwis mendapatkan penghargaan dari institusi masing-masing, yaitu Kepolisian Republik Indonesia dan TNI. (Indrawan, 2017; Harlina,
r D
2017). Penghargaan tersebut diberikan berkat ketulusan mereka menolong anak-anak SD, yaitu menyeberangkan anak-anak SD melintasi sungai arus deras di dua lokasi yang berbeda. Pada video viral tersebut, Aipda Ismet terlihat menggandeng dua tangan siswa dan menggendong satu anak melintasi sebuah sungai di Kabupaten Bone, Gorontalo. Sementara, Serka Darwis tertangkap kamera dan fotonya viral di dunia maya sedang menolong tiga siswa SD melintasi sungai dengan tali bergelantungan di Kendari. Keduanya tidak hanya sekali melakukan hal tersebut, melainkan menolong anak-anak menyebrang sungani telah menjadi rutinitas mereka. Apakah Anda pernah menjumpai orang-orang serupa yang ikhlas membantu orang lain, bahkan tanpa saling kenal sebelumnya? Atau apakah Anda pernah mengalami sendiri menolong atau menjadi orang yang ditolong oleh orang lain?
1
Begitu banyak orang di dunia ini yang bersedia memberikan pertolongan kepada sesama, akan tetapi tidak semua perbuatan baik tersebut diketahui orang banyak. Beberapa diantaranya diketahui secara luas karena tersebar di dunia maya. Seperti kasus yang terjadi pada tahun 2016, terkait dengan gambar seorang wanita bertato yang sedang memberi minum seorang bocah Afrika yang sangat kurus karena kekurangan gizi (Gandhi, 2016). Foto bocah kurus tersebut berdiri tanpa mengenakan pakaian, menurut cerita ia dituduh sebagai penyihir oleh penduduk lokal. Wanita yang menolong bocah itu adalah pekerja bantuan kemanusiaan, Anja Ringgren Loven, pendiri Yayasan Pembangunan dan Pendidikan Anak Afrika. Anja mengatakan bahwa ribuan anak disiksa, meninggal atau ketakutan karena dituduh penyihir,
n o
Anja rela menjual semua hartanya dan pindah ke daerah terpencil tersebut. Menariknya,
i t a
setahun kemudian kembali viral foto yang memperlihatkan perbandingan antara foto anak tersebut pada tahun 2016 dan 2017. Anak itu tumbuh gemuk mengenakan pakaian sekolah
il c
rapi dengan fose yang sama seperti tahun lalu, sungguh menyentuh apa yang dilakukan Anja pada anak tersebut (Edward, 2017). Selain relawan kemanusian, menurut Anda pekerjaan
b u
apa saja yang berkaitan dengan usaha menolong tanpa mengharap imbalan dan berkorban untuk orang lain? Menurut Anda, apa latar belakang atau penyebab orang-
P r
orang seperti Aipda Ismet, Serka Darwis, dan Anja menolong anak-anak tersebut? Anak-anak tersebut adalah orang asing yang tidak mereka kenal sebelumnya, namun
o F
mereka tetap bersedia memberikan pertolongan.
t f a
Pada bab ini akan dibahas kajian teori dan empiris yang menjelaskan tiga contoh fenomena tersebut. Dalam literatur Psikologi Sosial perilaku menolong ini dikenal dengan
r D
konsep perilaku prososial. Fokus pembahasan meliputi topik berikut: a. Apa yang dimaksud dengan perilaku prososial b. Apa faktor penyebab seseorang melakukan perilaku prososial? c. Mengapa seseorang melakukan perilaku prososial pada kondisi darurat, berbahaya, dan tidak terkontrol? d. Bagaimana tahap perkembangan perilaku prososial pada kehidupan manusia? e. Bagaimana penjelasan teori-teori dan temuan-temuan empiris terkait dengan perilaku prososial?
2
B. Definisi B.1. Definisi Perilaku Prososial Perilaku prososial adalah tindakan individu untuk menolong orang lain yang seringkali tanpa memberi manfaat langsung pada si penolong (Baron dan Branscombe, 2012). Perilaku ini memberi manfaat bagi orang lain (Irwin, 2009), bertentangan dengan kepentingan egois seseorang dan berpotensi dapat memberikan hasil bagi orang lain (Kline, Bankert, Levitan, & Kraft, 2017). Eisenberg dan Mussen (1989) mendefinisikan perilaku prososial sebagai tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau memberi manfaat bagi orang lain atau kelompok individu. Perilaku prososial juga diartikan sebagai
n o
setiap kesukarelaan, tindakan yang disengaja untuk memberikan hasil yang positif atau
i t a
bermanfaat bagi penerima (the recipient), terlepas apakah tindakan tersebut memiliki nilai harga, tidak berdampak apapun atau malah menguntungkan bagi pemberi (the donor) (Grusec, Davidov, & Lundell, 2002).
il c
Istilah prososial dan altruisme sering kali digunakan secara bergantian, akan tetapi
b u
pengertian keduanya tidaklah sama. Para peneliti menggunakan istilah perilaku prososial untuk menjelaskan perilaku membantu, berbagi, dan perilaku positif lainnya yang terlihat
P r
disengaja dan sukarela, serta dapat memiliki motif yang tidak ditentukan, tidak diketahui, atau tidak altruistik (Eisenberg, 1982). Sementara alturisme merupakan salah satu bentuk
o F
spesifik dari perilaku prososial (Batson & Powel, 2003; Eisenberg & Mussen, 1989), merupakan tindakan sukarela untuk memberi manfaat bagi orang lain, dimana altruisme lebih
t f a
dimotivasi secara instrinsik (internal). Seperti perhatian dan simpati kepada orang lain, serta nilai dan penghargaan diri (Eisenberg & Mussen, 1989). Menurut Grusec dkk. (2002), pada
r D
altruisme terdapat kesukarelaan dalam membantu orang lain yang memunculkan biaya (cost) atau pengorbanan tertentu pada pemberi. Meskipun demikian, pada altruisme, penolong berkorban tanpa mengharapkan imbalan atas kesukarelaannya dan ini berasal dari motivasi dalam diri. Altruisme salah satu faktor motivasional dari perilaku prososial (lihat pada B.3. domain faktor di level mikro dan meso). Selain itu, perbedaan lainnya adalah perilaku prososial terkadang mengharapkan imbalan psikologis atau sosial (misalnya saja ucapan terima kasih, harga diri, dan kepercayaan dari orang lain), hal ini tidak berlaku saat seseorang melakukan altruisme. Contoh perilaku menolong dari polisi dan anggota TNI, maupun wartawan seperti dijelaskan sebelumnya (pada bagian A), dapat menggambarkan bahwa Aipda Ismet, Serka Darwis, dan Anja secara sukarela bertindak untuk menolong anak-anak tanpa mengharap imbalan dan tanpa memikirkan dampaknya bagi mereka. Berdasarkan beberapa definisi yang 3
telah dipaparkan, dapat disimpulkan pengertian perilaku prososial sebagai setiap bentuk tindakan sukarela untuk menolong orang lain sehingga memberi manfaat positif bagi si penerima bantuan dan mungkin tidak memberi manfaat langsung pada si pemberi pertolongan.
B.2. Jenis dan Tahapan dalam Perilaku Prososial Tindakan yang menampilkan perilaku prososial dapat berupa menolong, berbagi, menampilkan pertimbangan, memberi perhatian, melakukan pembelaan, dan melakukan
n o
pemulihan setelah adanya penyimpangan (Batson & Powel, 2003; Grusec dkk., 2002; Grusec
i t a
& Sherman, 2011). Studi yang dilakukan McGuire (1994), berhasil mengidentifkasi 72 jenis perilaku menolong pada mahasiswa. Setelah dilakukan analisis faktor, McGuire mendapatkan
il c
bahwa perilaku menolong dapat dibedakan menjadi empat jenis: (1) causal helping adalah bantuan kecil pada perkenalan biasa, contohnya berbagi makanan ringan, memberi petunjuk
b u
arah lokasi pada orang yang baru dikenal, dan meminjamkan pulpen; (2) subtantial personal helping adalah bantuan dengan manfaat nyata yang diberikan oleh teman, memberi layanan
P r
personal dan memberi/meminjamkan barang berharga, contohnya meminjamkan sepeda motor dan mempersiapkan kencan pertama; (3) emotional helping adalah menawarkan
o F
bantuan/dukungan masalah personal, contohnya memberi rasa aman dengan berada di dekat teman, memberikan dukungan moral saat teman kesusahan, dan mendengarkan curahan hati;
t f a
(4) emergency helping adalah bantuan yang diberikan pada situasi bahaya atau situasi yang tidak terkontrol, contohnya menolong korban kecelakaan dan mengembalikan dompet yang
r D
hilang ke pemiliknya.
Pada situasi bahaya atau darurat, perilaku prososial dapat terjadi kompleks (Baron dan Branscombe, 2012). Kita mengambil contoh sebuah kasus kriminal tragis yang terkenal di New York tahun 1964, yaitu kasus pembunuhan Kitty Genovese. Kitty diserang ketika pulang ke apartemennya, saat kejadian banyak orang yang menyaksikan dan mendengar Kitty diserang, akan tetapi 38 tentangga yang mengetahui langsung kejadian tersebuy tidak melakukan apapun (Merry, 2016). Kitty akhirnya meninggal dan tidak ada satu orang pun yang melaporkan kejadian tersebut ke polisi atau bahkan mencari bantuan dengan menelpon layanan darurat 911. Menelaah kasus pembunuhan Kitty Genovese, dua orang ahli Psikologi Sosial, yakni John Darley dan Bibb Latane berpikir keras untuk mengurai kasus ini. Muncul pertanyaan dalam benak mereka mengapa sebanyak 38 orang tetangga Kitty tidak tergerak untuk 4
melakukan apapun (Baron & Branscombe, 2012). Kesimpulan mereka mengarah ke diffusion of responsibility, yakni semakin banyak jumlah bystander (pengamat atau penonton), semakin kecil proporsi orang yang menolong korban (Baron & Branscombe, 2012; lihat studi Darley & Latané, 1968). Berdasarkan contoh tersebut, Baron dan Branscombe (2012) menjelaskan bahwa semakin banyak jumlah penolong potensial, orang akan merasakan kurang bertanggung jawab, hal ini disebabkan karena mereka berasumsi bahwa “ada orang lain akan melakukan pertolongan”. Hal ini sangat mungkin terjadi pada orang yang tidak saling kenal, akan tetapi hal yang sama kurang bekerja pada sesama anggota kelompok yang saling mengenal.
n o
Kasus Kitty Genovese ini dapat diklasifikasikan sebagai kondisi darurat. Dimana pada
i t a
kondisi darurat tersebut, dijelaskan oleh Latané and Darley (lihat Baron dan Branscombe, 2012) terdapat lima tahapan seseorang memutuskan untuk menolong atau tidak, keputusan yang tidak sederhana ini melewati tahapan berikut:
il c
Tahap pertama: Memperhatikan sesuatu atau peristiwa yang janggal atau tidak biasa terjadi.
b u
Terdapat beberapa kondisi yang dapat memengaruhi perhatian kita pada peristiwa yang janggal, seperti mengantuk, terlalu berpikir mendalam, dan konsentrasi penuh pada satu hal.
P r
Dalam kondisi tersebut kita mungkin gagal untuk memperhatikan peristiwa janggal di sekitar kita.
o F
Tahap kedua: Menginterpretasikan peristiwa sebagai suatu kondisi darurat. Terdapat situasi yang mungkin memengaruhi proses dalam interpretasi peristiwa. Ketika individu dikelilingi
t f a
orang yang tidak dikenal, maka akan mungkin terjadi pluralistic ignorance, yaitu kenyataan yang terjadi saat tidak ada yang merespon adanya kondisi genting, keadaan darurat dipikir
r D
tidak begitu serius, saat tidak ada yang tahu pasti apa yang sedang terjadi dan masing-masing bergantung pada orang lain untuk menafsirkan kondisi. Tahap ketiga: Memutuskan apakah kita mengambil tanggung jawab untuk menolong. Saat tidak ada kejelasan siapa yang memiliki tanggung jawab menolong, maka orang cenderung memilih seseorang yang memiliki peran sebagai pemimpin untuk mengambil tanggung jawab tersebut, misalnya mahasiswa-profesor. Tahap keempat: Memutuskan apakah kita memiliki pengetahuan dan/atau kemampuan untuk menangani kondisi ini. Misalnya saat ada orang yang tenggelam, maka orang yang bisa berenang yang akan menolong. Tahap kelima: Membuat keputusan akhir untuk memberikan pertolongan. Meskipun bystander telah melewati empat tahapan sebelumnya, belum tentu seseorang akan melakukan
5
tindakan menolong. Keputusan untuk membantu orang lain bisa terhambat karena adanya rasa takut. Kembali ke kasus Kitty Genovese, banyak bystander (38 orang tetangga) tidak melakukan apapun, hal ini mungkin disebabkan mereka tertahan pada salah satu dari empat tahapan keputusan menolong dalam kondisi darurat. Atau meskipun ada bystander telah melewati empat tahapan tersebut, mereka bisa saja belum memutuskan melakukan pertolongan, yang disebabkan terhambat oleh rasa takut (Baron & Branscombe, 2012). B.3. Domain faktor penyebab perilaku prososial berdasarkan level unit analisis Penner, Dovidio, Piliavin, dan Schroeder (2005) menjelaskan faktor-faktor penyebab
n o
perilaku yang ditulis ulang oleh Schroeder dan Graziano (2018). Struktur elemen perilaku
i t a
prososial dapat dilihat berdasarkan domain hirarki pada tiga tingkat unit analisis, yakni level mikro (tingkat individu, internal), meso (antara dua individu atau dyadic), dan makro
il c
(kelompok). Penjelasan domain-domain ini dapat memberi wawasan mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perilaku prososial. Penjelasan faktor-faktor ini dapat menjadi
b u
pertimbangan untuk diteliti lebih jauh dalam konteks Indonesia. 1. Level Mikro
P r
Pada level mikro dijelaskan fungsi disposisional yang membuat individu cenderung
o F
melakuan perilaku prososial (Schroeder & Graziano, 2018), serta adanya perbedaan individual yang dapat menjelaskan permulaan munculnya kecenderungan prososial pada
t f a
manusia (Penner et al., 2005). a.
r D
Pendekatan evolusioner dari perilaku prososial
1. Inclusive fitness dan kin selection Melalui pendekatan evolusi Darwinian, Hamilton (1964) menjelaskan model matematis genetis dimana spesies (organisme secara umum, tidak hanya manusia) yang mengikuti model ini cenderung untuk melakukan evolusi perilaku untuk memaksimalkan kesesuaian/kecocokan inklusi atau inclusive fitness. Schroeder dan Graziano (2018) menjelaskan konsep inclusive fitness lebih
lanjut dibagi menjadi, yaitu; (1)
menyelamatkan diri sendiri dan menjaga kelangsungan genetik ke generasi yang akan datang dengan melakukan kecocokan langsung (direct fitness), dan (2) menyelamatkan salah satu bagian keluarga (misalnya saudara, keturunan, keponakan, sepupu, dll) dengan membuat individu “maju dan berkembang biak” sehingga membuat kemungkinan gen
6
seseorang diturunkan ke generasi selanjutnya. Hal ini oleh Hamilton dinamakan sebagai kecocokan tidak langsung (indirect fitness). Inclusive fitness memunculkan proses kin selection (seleksi keluarga), yaitu proses selektif yang menguntungkan pihak-pihak yang memiliki satu materi genetik yang sama (Schroeder & Graziano, 2018; Grusec dkk., 2002). Melalui teori kin selection ini, prososial terjadi karena adanya tujuan untuk mempertahankan gen kita ke generasi selanjutnya (Baron & Branscombe, 2012). Ini membuat individu memiliki keinginan lebih kuat untuk menolong orang lain yang memiliki ikatan dekat daripada yang tidak terhubung dengan individu itu sama sekali.
n o
Berdasarkan perspektif evolusi ini, perilaku prososial dilakukan karena (Eisenberg,
i t a
Fabes, & Spinrad, 2006): (1) meningkatkan keberlangsungan individu agar usia lebih produktif; (2) meningkatkan kapasitas reproduksi dari individu; (3) meningkatkan
il c
kencerungan untuk melakukan satu atau dua hal sebelumnya (poin 1 dan 2) pada anggota lain yang membawa gen yang sama. 2. Altruisme resiprokal (timbal balik)
P r
b u
Selain adanya kecenderungan membantu orang yang dekat dengan kita, kita juga sering kali melihat orang membantu orang yang tak dikenal. Hal ini dapat dijelaskan oleh
o F
reciprocal altruism theory, yakni adanya anggapan bahwa kita menolong seseorang karena nanti mereka juga akan menolong kita, sehingga kita juga akan mendapatkan keuntungan
t f a
(Baron & Branscombe, 2012).
Berdasarkan penjelasan teori evolusi, pada awal sejarah evolusi, manusia bekerja
r D
bersama sebagai kelompok untuk saling melidungi dari predator dan mengamankan sumber makanan serta menyediakan tepat berlindung untuk bertahan hidup (Schroeder & Graziano, 2018). Perspektif evolusi pada altruisme resiprokal dapat dijelaskan dari penjelasan Trivers (1971) yang membedakan menjadi resiprokal langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Selama proses pertukaran barang atau jasa terjadi, individu akan menerima imbalan yang setara dengan apa yang mereka keluarkan, hubungan ini berlanjut menjadi timbal balik atau resiprokal langung (direct reciprocity). Sementara itu, pada kondisi lain mungkin akan menerima imbalan secara tidak langsung dari orang yang dibantu, mungkin saja berasal dari orang lain. Ini yang memunculkan resiprokal tidak langsung (indirect reciprocity) dan jenis timbal balik ini berdampak pada peningkatan kohesivitas kelompok dan kepedulian pada orang lain (Schroeder & Graziano, 2018).
7
Orang-orang dalam kelompok akan saling berbagi, meski ia menerima imbalan dari orang lain yang tidak ia bantu secara langsung. b.
Faktor biologis: Struktur neurologis dan heriditas
1.
Struktur syaraf dan Mirror System Pada fungsi sistem syarat, Lieberman (2013 dalam Schroeder & Graziano, 2018)
menjelaskan dua sistem yang mendukung perilaku prososial (meskipun juga memiliki fungsi selain prososial), yakni mirror system dan Theory of Mind (ToM). Fungsi sistem ini berkaitan dengan salah satu fungsi sistem syaraf di otak manusia seperti lobus frontal,
n o
sistem limbik, dan amigdala. Mirror system aktif ketika manusia melakukan observasi
i t a
terhadap orang lain yang terlibat pada beberapa aktivitas. Sementara itu ToM aktif ketika individu menentukan pemaknaan pada tindakan.
il c
Pembahasan mengenai faktor biologis ini menjadi area studi yang menarik hingga saat ini, karena studi neuropsikologi mencoba mengaitkan antara keterkaitan fungsi tubuh
b u
(fisiologis, seperti sistem kerja otak) dengan perilaku, motif, sikap, pengetahuan, dan hal lain terkait dengan psikologis manusia. Namun, perlu diketahui studi-studi di bidang
P r
neuropsikologi membutuhkan pengukuran yang mutakhir seperti bantuan alat FMRI (Fungsional Magnetic Resonance Imaging) untuk memetakan kerja sistem otak melalui
o F
gambar otak secara real-time.
t f a
2. Fungsi hormon: Oksitosin
Selain fungsi sistem otak tersebut, terdapat pula sistem hormonal, khususnya
r D
hormon oksitosin (dihasilkan oleh kalenjar hipotalamus) yang terkait dengan sejumlah tindakan prososial termasuk diantaranya adalah aktivitas positif seperti ikatan ibu, laktasi (menyusui), aktivitas seksual, dan hubungan sosial dasar (Schroeder & Graziano, 2018). 3. Hereditas (warisan genetik) Kontribusi genetis pada perbedaan respon prososial (heritabilitas) diteliti pada studi anak kembar (Eisenberg dkk., 2015; lihat Davis, Luce, & Kraus, 1994). Pemilihan studi anak kembar ini karena mereka diasumsikan memiliki umur yang identik, tumbuh di lingkungan rumah yang sama, atau setidaknya berbagi lingkungan hidup yang sama (Grusec & Sherman, 2011). Karena mereka dibagikan lingkungan yang sama, suatu perbedaan seharusnya disebabkan oleh faktor mediator lain. Hasil studi Davis dkk., (1994) menemukan bahwa skor prososial yang lebih tinggi pada kembar identik (monozigotik, 8
satu indung telur yang dibuahi menjadi satu zigot) dibandingkan kembar fraternal (dizigotik). Pada studi anak kembar dan prososial berkaitan pula dengan faktor lingkungan, khususnya pada non-shared environmental atau kondisi saat anak tidak melakukan proses berbagi dengan keluarga (misalnya ia lebih berbagi dengan temanteman di penitipan anak) saat anak-anak yang tumbuh bersama (Knafo & Plomin, 2006). c.
Empati Empati termasuk sebagai proses di level mikro, beberapa hal yang termasuk dalam
penjelasan faktor empati adalah proses kognitif empati, perspective-taking, fantasi, proses
n o
afektif pada empati, distres personal, dan perhatian empati (empathic concern) (Schroeder
i t a
& Graziano, 2018). Untuk diketahui, konsep empati berbeda dengan simpati (Grusec dkk., 2002), empati dijelaskan sebagai cara merespon distres orang lain dengan emosi yang
il c
sama. Sementara simpati adalah cara merespon distres orang lain dengan perasaan kesedihan atau kepedulian.
b u
Grusec dkk. (2002) memaparkan bahwa anak-anak yang memiliki empati dan simpati yang tinggi sebagai reaksi terhadap orang lain yang tertekan/membutuhkan akan
P r
cenderung lebih melakukan perilaku prososial untuk menolong orang lain yang membutuhkan. Sebaliknya, ketika anak merespon orang lain yang tertekan (distres)
o F
dengan distres personal yang terfokus pada diri sendiri (misalnya, dilihat dari ekspresi kecemasan dan indikasi distres) cenderung kurang melakukan perilaku prososial.
t f a
Empati adalah reaksi emosional yang terfokus/terorientasi pada orang lain dan ini menyangkut perasaan belas kasih, simpati, dan kepedulian (Baron & Branscombe, 2012).
r D
Baron dan Branscombe (2012) menyebutkan bahwa empati terdiri dari 3 komponen yang berbeda: (1) aspek emosional (empati emosional) pembagian perasaan dan emosional orang lain; (2) komponen kognitif, persepsi terhadap pikiran dan perasaan yang akurat (akurasi empati), hal ini penting untuk mendapatkan penyesuaian sosial yang baik pada pergaulan. (3) perhatian empati, perasaan perhatian/peduli pada kesejahteraan orang lain. Terdapat hipotesa emphatic joy, teori ini didasarkan dari Smith, Keating, dan Stotland tahun 1989. Menurut Baron dan Branscombe (2012), hipotesa ini berpendapat bahwa penolong senang akan reaksi positif (misalnya hadiah, senyuman dan ucapan terima kasih) yang ditampilkan oleh orang yang mereka tolong. Sehingga penting bagi individu bahwa pertolongan mereka memiliki dampak positif bagi yang ditolong.
9
d. Proses perkembangan individu Keterkaitan antara perilaku prososial dengan proses perkembangan adalah pada peran temperamen, sosialisasi, sosial kognitif, perubahan usia, dan program intervensi untuk memengaruhi perilaku prososial (Schroeder & Graziano, 2018). Gagasan utama yang menjelaskan temperamen dengan perilaku prososial adalah adanya asumsi bahwa setiap manusia mewarisi emotional core atau dasar emosional (temperamen) yang membentuk kepribadian seseorang (Schroeder & Graziano, 2018). Dasar emosional ini terdiri dari sejumlah kecil trait, seperti kerahaman (sociability) dan kecemasan (anxiety). Menurut Schroeder dan Graziano (2018), pada perspektif ini perilaku prososial dianggap sebagai turunan dari proses regulasi dan kontrol emosi.
i t a
n o
Beberapa temuan empiris menjelaskan bahwa perkembangan perilaku prososial dan empati/simpati ditingkatkan oleh perasaan terhubung dengan orang lain (seperti kelekatan,
il c
paparan kehangatan orang tua), disiplin dan pedoman hidup yang positif, dan partisipasi pada aktivitas prososial (Eisenberg dkk., 2015). Proses sosialisasi ini juga terkait dengan
b u
gaya pengasuhan yang penting bagi perkembangan perilaku prososial, terutama pola asuh otoritatif (pola asuh yang tetap memiliki kontrol sekaligus sensitif dan responsif dengan
P r
kebutuhan anak) lebih menghasilkan perilaku prososial (Grusec dkk., 2002). Lebih lanjut lagi menurut Grusec dkk., teman sebaya dan saudara juga memegang peran seperti orang
o F
tua dalam memberi pelajaran untuk memberikan respon emosional demi menolong orang lain. Pada penelitian yang dilakukan oleh Eisenberg dkk. (2009), mereka menemukan
t f a
bahwa remaja minoritas di Bandung yang memiliki teman dekat berbeda agama dinilai lebih prososial oleh guru mereka, ini artinya remaja tersebut memiliki keterampilan sosial
r D
yang lebih baik. Remaja minoritas yang populer akan lebih berperilaku prososial dan memiliki kesempatan berteman dengan remaja lain yang berbeda agama. Pendekatan perkembangan sosial kognisi berkaitan langsung dengan perilaku sosial pada perkembangan moralitas Piaget (Schroeder & Graziano, 2018). Pada perkembangan kognitif anak-anak jika mengambil teori Piaget, maka menurut Schroeder dan Graziano anaka-anak berada pada tahap egosentris dan dominasi terpusat pada diri sendiri. Setelah melakukan interaksi berulang-ulang dengan orang lain, anak akan terlibat pada proses akomodasi (proses penyesuaian sosial pada perkembangan kognitif), dan ini akan membuat anak membuat pengambilan perspektif (perpective taking) dan empati yang akhirnya berujung pada pembentukan perilaku prososial. Meta analisis yang dilakukan oleh Eisenberg dan Fabes (lihat Eisenberg dkk., 2006) menjelaskan bahwa remaja cenderung lebih tinggi perilaku prososialnya daripada anak10
anak usia 7-12 tahun, tetapi hanya pada perilaku prososial dengan jenis berbagi/donasi. Remaja (13-15 tahun) dan remaja tua (16-18 tahun) lebih tinggi kecenderungan perilaku prososialnya daripada anak sekolah dasar. Orang dewasa memiliki tingkat prososial yang menetap, tidak jauh berbeda dengan usia remaja (Eisenberg dkk., 2006). Jenis perilaku prososial yang lebih umum terjadi pada remaja adalah kegiatan sukarela/relawan (aktivitas layanan), hal ini karena remaja berusaha untuk mencari pengalaman. Jika penelitian perilaku prososial mampu memprediksi antiseden (penyebab), maka perlu juga dikembangkan program intervensi untuk meningkatkan tindakan prososial (Schroeder & Graziano, 2018). Program pendidikan berbasis sekolah digunakan untuk
n o
meningkatkan nilai, perilaku dan sikap prososial pada anak yang dapat efektif pada
i t a
pemeliharaan sikap dan perilaku prososial (Eisenberg dkk., 2015). Akan tetapi kebijakan pemerintah juga menentukan, karena sistem pendidikan kadang berfokus pada ujian
il c
akademik daripada belajar meningkatkan kemampuan sosioemosional anak. e.
Kepribadian
b u
Aspek temperamen/kepribadian dan perbedaan individual pada perilaku dan nilai
P r
sosial cenderung konsisten berhubungan dengan perilaku prososial anak dan remaja dan respon lain terkait empati (Eisenberg dkk., 2015). Namun, menurut Eisenberg dkk.,
o F
hubungan ini akan tidak konsisten saat dimoderasi oleh sejumlah faktor lain, seperti jenis perilaku prososial (contoh: kerelaan, spontanitas, termotivasi secara egoistik, atau
t f a
altruistik) atau respon empati (contoh: simpati, empati atau distres personal), konteks (contoh: situasi tertentu dan kondisi penerima pertolongan, budaya), dan karakteristik lain
r D
pada anak (contoh: usia, kemampuan sosiokognitf, dan jenis kelamin) dan sejarah dari perkembangan proses sosialisasi anak. Studi di bidang psikometrik yang dilakukan oleh Penner, Fritzsche, Craiger, dan Freifeld (1995) mengonstruksi pengukuran kepribadian prososial dengan nama Prosocial Personality Battery. Schroeder dan Graziano (2018) merangkum hasil penelitian Penner dan kolega, hasilnya diperoleh orientasi kepribadian prososial yang terdiri dari empati yang terorientasi pada orang lain atau other-oriented empathy (seperti tanggung jawab sosial, empati afektif, empati kognitif, dan penalaran moral) dan dimensi menolong atau helfulness (seperti menolong pada masa lalu, distres personal egoistik). Selain itu, Schroeder dan Graziano (2018) mencatat beberapa studi dari Graziano dan kolega (lihat Graziano & Habashi, 2010) yang mengaitkan kepribadian dengan perilaku prososial menggunakan dimensi big five personality, hasilnya terdapat hubungan 11
antara agreeableness dengan perilaku prososial (dan juga prasangka). Meta analisis yang dilakukan oleh Kline dkk., (2017) melaliui analisis Bayesian multilevel meta-analisi dari 15 studi dan sekitar 2.500 partisipan menemukan bahwa dimensi agreeableness dan openness signfikan dan positif berhubungan dengan perilaku prososial, sedangkan tiga dimensi yang lain tidak signifikan. Hal ini menjelaskan bahwa orang-orang yang mudah bekerjasama dan bersifat baik (agrreabeleness) dan terbuka/memiliki ketertarikan pada hal-hal baru (openness) lebih cenderung melakukan perilaku prososial. Selain aspek kepribadian, perilaku prososial juga berkaitan dengan jenis kelamin. Anak perempuan lebih prososial daripada laki-laki dan meningkat seiring perkembangan
n o
usia (Eisenberg dkk., 2015). Studi terkait jenis kelamin lebih banyak menggunakan studi
i t a
self reported (kuesioner/skala pengukuran) daripada metode observasional. Schroeder dan Graziano (2018) menjelaskan mengapa perempuan lebih tinggi prososialnya karena peran
il c
tradisional jenis kelamin. Wanita memiliki peran tradisional yang lebih mendorong belas kasih, perhatian, dan pengasuhan sehingga lebih menawarkan kenyaman dan dukungan
b u
sosial. Sementara itu, laki-laki menurut Schroeder dan Graziano (2018) memiliki peran tradisional yang menekankan pada aksi dan pengambilan risiko fisik guna menghadapi situasi yang berbahaya.
P r
Terdapat studi yang menjelaskan bagaimana perbedaan perilaku prososial jenis
o F
kelamin pada anak-anak di Indonesia. Eisenberg, Liew, dan Pidada (2004) melakukan studi longitudinal pada 112 anak kelas 6 sekolah dasar di Bandung. Hasil yang menarik
t f a
adalah anak laki-laki yang pemalu dinilai memiliki prososial yang rendah, sedangkan hal ini tidak terjadi pada anak perempuan. Hal ini mungkin saja berkaitan dengan orang
r D
Indonesia lebih menerima rasa malu pada anak perempuan daripada anak laki-laki, sementara peran jenis kelamin laki-laki adalah lebih tegas dibandingkan anak perempuan. Hal ini berbeda dengan, studi yang dilakukan di Yogyakarta (Purnamasari, Ekowarni, dan Fadhila, 2004). Tidak ditemukan perbedaan intensi perilaku prososial antara siswa lakilaki dan perempuan di tingkat sekolah menengah atas, dengan total sampel 214 siswa SMA/MAN di Yogyakarta. Menurut Eisenberg dkk. (2006) ketika mencapai dewasa perilaku prososial lebih menetap daripada remaja. Untuk itu penelitian lanjutan perlu kiranya memperhatikan faktor lain yang diperkirakan menjadi faktor mediator atau moderator yang dapat menjelaskan perilaku prososial.
12
f.
Kelekatan dan Hubungan Orang cenderung berusaha memenuhi permintaan dan kewajiban terhadap orang
lain. Pemenuhan kewajiban dapat dijelaskan melalui sejarah hubungan relasional individu (Schroeder & Graziano, 2018). Selama proses relasi, individu akan membangun model kerja internal ketika menghadapi suatu kewajiban, ada yang memiliki sistem kerja positif ada pula yang negatif sesuai dengan pengalaman hidup. Model kerja internal yang dibangun dari teori kelekatan membuat relasi sosial mewakili karakteristik level mikro (individual) yang memengaruhi perilaku prososial para tingkat level yang lebih tinggi (meso dan makro) (Schroeder & Graziano, 2018).
n o
Salah satu teori yang didasarkan pada hubungan relasional untuk menjelaskan
i t a
perilaku menolong adalah teori communal (and exchange) relationship (Clark & Mills, 2012). Penjelasan mengenai teori Clark dan Mills ini diuraikan kembali oleh Schroeder
il c
dan Graziano (2018), yaitu orang-orang yang memandang diri mereka berada pada hubungan pertukaran (exchange) memiliki dasar keseimbangan dari biaya (cost) dan
b u
imbalan (reward) yang dibagikan dengan orang lain. Meskipun hubungan pertukaran ini dapat stabil, akan tetapi jika tidak ada kekuatan faktor interpersonal dan kedekatan, maka
P r
apabila terjadi kondisi tidak diuntungkan, hubungan dapat hancur hanya dengan sedikit perasaan kehilangan (dirugikan).
o F
Alternatif lain, dua individu mungkin saja merasa lebih senang dengan hubungan komunal (communal) (Schroeder & Graziano, 2018) dengan ciri berkebalikan dengan
t f a
hubungan pertukaran, yakni kurang pentingnya biaya dan imbalan. Contoh hubungan ini terjadi pada keluarga dan teman dekat. Menurut Schroeder dan Graziano (2018) adanya
r D
kepedulian/perhatian, akan membuat perilaku prososial lebih mungkin terjadi. Selain itu, perasaan empatik akan meningkatkan perasaan diperhatikan dan ketika berhasil mengurangi distres orang lain maka akan merasa sangat dihargai. Ini artinya, perilaku prososial dan tingkat responsif akan lebih muncul pada hubungan komunal dibandingkan kondisi hubungan pertukaran (Clark & Mills, 2012; lihat studi 1, Clark, Oullette, Powell, & Milberg, 1987). Namun demikian tidak selalu pada masyarakat komunal, perilaku prososial lebih baik. Terdapat sebuah studi yang membandingkan perilaku prososial anak-anak terhadap orang yang lebih dewasa di Jerman, Israel, Indonesia, dan Malaysia (Trommsdorff, Friedlmeier, & Mayer, 2007), hasilnya ternyata perilaku prososial anak-anak di Jerman dan Israel lebih tinggi daripada Indonesia dan Malaysia. Mengapa demikian? Padahal Indonesia dan Malaysia adalah negara yang memiliki landasan pergaulan dan relasi sosial 13
komunal. Lebih lanjut lagi Trommsdorff dkk. (2007) menjelaskan bahwa di budaya dengan nilai interdependensi (saling ketergantungan) dan menghormati hirarki sosial (anak dengan orang dewasa, atau murid dengan guru), anak-anak mungkin menahan diri untuk tidak melakukan prososial, karena berusaha mempertahankan nilai penyelamatan harga diri (face-saving). Gaya hubungan relasi pada anak-anak seperti di Indonesia dan Malaysia, cenderung sungkan dan merasa “tidak enak” membantu orang yang lebih dewasa (terlebih pada figur otoritas), anak-anak menilai dan berusaha agar orang dewasa tersebut tidak kehilangan muka (face-saving) karena ditolong mereka. Ini artinya, untuk memahami peran kelekatan dan relasi sosial dikaitkan dengan jenis hubungan (komunal vs
n o
pertukaran) perlu melibatkan faktor lainnya, seperti target orang yang ditolong dan budaya.
i t a
Face-saving merupakan salah satu contoh faktor penghambat keinginan menolong.
il c
Baron dan Branscombe (2012) menjelaskan ada faktor lain yang menurunka keinginan menolong seseorang, yakni (1) social exclusion atau pengucilan sosial, pengalaman pernah
b u
dikucilkan membuat orang hati-hati untuk bertindak, ia memiliki empati yang lemah. Karena ingin membina hubungan baik dan berusaha agar tidak ditolak secara sosial, maka
P r
individu kurang berusaha beraksi prososial untuk mendapat teman baru dan dukungan baru. (2) Kesuraman atau kegelapan (darkness), individu merasa pada kondisi anonim, dan
o F
ini membuat mereka kurang ingin menolong orang lain. (3) Menempatkan nilai ekonomis pada tiap waktu, salah satu faktor menilai waktu yang digunakan untuk menolong orang
t f a
lain tidak dapat digunakan untuk aktivitas lain yang menciptakan penghasilan.
r D
2. Level Meso
Pada level meso, prososial berfokus pada tingkah laku antara dua orang (dyadic) atau satu orang menolong satu orang yang lain (Penner dkk., 2005). Schroeder dan Graziano (2018) menjelaskan faktor penyebab orang melakukan perilaku prososial pada level ini berdasarkan pada faktor situasional, motivasi menolong, dan reaksi penerima yang mendapat bantuan. a.
Faktor situasional Faktor situasional dan sosial adalah salah satu penjelasan yang menentukan keinginan
menolong melalui intervensi bystander (pengamat). Seperti dalam kasus Kitty Gevonese tahun 1964 (lihat penjelasan di bagian A). Adanya kehadiran simbolik dari contoh model pertolongan dapat meningkatkan perilaku menolong (Baron & Branscombe, 2012). 14
Misalnya, saat kita keluar mini market, kemudian samping pintu keluar ada kotak amal yang di dalamnya terdapat uang, maka kita mungkin akan berdonasi. Hal ini terjadi karena kita berpikir bahwa “orang lain berdonasi, jadi saya juga semestinya melakukannya”. b.
Motivasi menolong: egoistik, alturisme, dan kolektivisme dan prinsipisme melalui
pendekatan Batson 1. Egoistik Motivasi perilaku prososial ini berasal dari Batson (2011), yakni memberikan bantuan kepada orang lain tetapi penolong memiliki tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan
n o
pribadi. Jika membantu seseorang dapat memberi konsekuensi positif (hadiah, pujian,
i t a
perasaan baik) dan akan mengurangi konsekuensi negatif (tidak menyenangkan dan afek negatif), maka akan cenderung kembali membantu di waktu yang akan datang (Schroeder
il c
dan Graziano, 2018). Faktor instrumental yang membuat kita melakukan perilaku prososial ini lah yang disebut dengan motivasi egoistik.
b u
Model cost-reward merupakan salah satu penjelasan motif egoistik dengan kombinasi antara (1) pengorbanan (biaya) untuk menolong dan (2) pengorbanan (biaya) yang
P r
diterima korban ketika tidak ditolong, melalui model ini dapat dibuat persilangan antara “tinggi vs rendahnya pengorbanan (biaya) untuk menolong” dan “tinggi vs rendahnya
o F
pengorbanan (biaya) yang didapat korban ketika tidak mendapat pertolongan” yang akan menghasilkan empat respon (Schroeder & Graziano, 2018). Empat respon yang didasarkan
t f a
dari model cost-reward Batson ini dapat disimulasikan melalui 4 kuadran (lihat gambar 1) untuk memudahkan penjelasan interaksi antara kuadrannya. Gambar kuadran ini disusun
r D
berdasarkan penjelasan Schroeder dan Graziano (2018). (1) tingginya biaya untuk penolong tingginya biaya (3) korban jika tidak ditolong
(2) rendahnya biaya untuk penolong (4) rendahnya biaya korban jika tidak ditolong
Gambar 1. Empat respon persilangan model cost-reward Berdasarkan penjelasan Schroeder dan Graziano (2018) keempat respon dari persilangan adalah (a) antara 2-3: akan menolong; (b) antara 2-4: menggunakan standar normatif, karakter diposisional (bawaan) dan kondisi lain saat itu; (c) antara 1-3: memilih 15
pertolongan tidak langsung (memanggil otoritas) agar mengurangi biaya personal, tetapi tetap membantu korban; (d) antara 1-4: keinginan memberi bantuan menjadi rendah, karena merasa bantuan tidak begitu dibutuhkan atau diharapkan. Selain pendekatan model cost-reward, terdapat model lain terkait motivasi egoistik yang ditawarkan Cialdini, yakni negative state relief model (Schroeder & Graziano, 2018). Saat melakukan pertolongan, kadang orang dapat mengurangi perasaan yang tidak menyenangkan (Baron & Branscombe, 2012). Penjelasannya, individu akan merasa jengkel ketika dinilai buruk, atau terlihat buruk dengan membiarkan orang lain terluka. Untuk memperbaiki mood negatif tersebut, maka individu akan berperilaku prososial
n o
(Baron & Branscombe, 2012; lihat Cialdini, Baumann, & Kenrick, 1981). 2. Altruisme
il c
i t a
Seperti halnya model cost-reward dan negative state relief, hipotesis empati-alturisme berpendapat bahwa mengamati orang lain yang membutuhkan pertolongan atau distres
b u
mungkin akan menimbulkan reaksi emosi negatif (Schroeder & Graziano, 2018). Batson, Duncan, Ackerman, Buckley, dan Birch (1981) memperkenalkan hipotesis empati-
P r
altruisme, yakni gagasan bahwa beberapa aksi prososial termotivasi hanya oleh keinginan menolong orang lain yang membutuhkan. Ada kalanya menolong karena untuk
o F
meningkatkan kesejateraan orang lain (Batson, 2011; Schroeder & Graziano, 2018). Bagi Batson perbedaan utama motivasi altruistik dengan motivasi egoistik adalah pada siapa
t f a
sasaran utama yang mendapat manfaat, bukan sifat dari tindakan. Studi yang dilakukan terhadap relawan Tsunami Aceh oleh Safrilsyah, Jusoff, dan Fadhil (2009), menguji
r D
hipotesis empati-altruisme ini. Safrilsyah dkk., melakukan studi pada 147 mahasiswa di Banda Aceh dan Aceh Besar (86 laki-laki dan 91 perempuan) pada Juli 2005 sampai Februari 2006. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda pada 3 model motivasi perilaku pro-sosial (Empathy-Altruism Hypothesis, Negative State Relief Hypothesis dan Empathic Joy Hypothesis) dengan beberapa jenis karakteristik demografi responden (umur, latar belakang pendidikan, domisili dan jenis kelamin), ditemukan bahwa hanya motivasi Hipotesis Empati-Altruisme dan jenis kelamin secara signifikan berkorelasi dengan perilaku pro-sosial relawan dalam kegiatan kemanusiaan dalam membantu korban Tsunami di Aceh. Ini menjelaskan bahwa pada kondisi darurat bencana alam, para relawan lebih termotivasi melakukan perilaku prososial dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain berdasarkan perbedaan jenis kelamin individu.
16
3. Kolektivisme Motivasi prososial kolektivisme adalah motivasi ketiga yang dikemukakan oleh Batson, yang memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok atau kolektif (Batson, 2011; Schroeder & Graziano, 2018). Motivasi ini berkaitan dengan kerjasama antara intra-grup dan inter-grup, dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan bersama bagi orang-orang yang terlibat (Schroeder & Graziano, 2018). Pada konteks Indonesia dikenal istilah “gotong royong”, ini merupakan salah satu bentuk model perilaku prososial yang tertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok melalui bekerjasama. Kondisi lingkungan mempengaruhi perubahan intensitas gotong royong,
n o
seperti dijelaskan oleh Suprihatin (2014). Ia menemukan perubahan perilaku bergotong
i t a
royong masyarakat terjadi seiring dengan perubahan lingkungan tempat tinggalnya, sebagai contoh perubahan lingkungan karena hadirnya pertambangan batubara (Suprihatin,
il c
2014). Guna mendapatkan penjelasan yang lebih komprehensif terkait dengan faktor di level meso ini, sebaiknya dilakukan penelitian-penelitian perilaku menolong/prososial
b u
dengan faktor kolektivisme ini, mengingat budaya di Indonesia sangat variatif dan beberapa kearifan lokal dapat dikaitkan dengan model perilaku prososial. Dari penelurusan
P r
literatur Psikologi untuk studi perilaku prososial di Indonesia, lebih banyak membahas pada level mikro atau di level individual. 4. Prinsipisme
t f a
o F
Motivasi prososial terakhir dari Batson adalah prinsipisme yang memberikan tujuan utama untuk menegakkan prinsip moral (Batson, 2011). Motif ini konsisten dengan
r D
standar moral yang berlaku luas, sehingga selain adanya motivasi yang memberi manfaat bagi orang (egoisme, bagi penolong; altruisme, bagi korban; kolektisme, bagi kelompok) juga ada motivasi yang berasal dari pinsip universal untuk mempertahankan dan mendukung prinsip moral kebajikan (Schroeder & Graziano, 2018). Sebuah studi yang dilakukan oleh Septianto dan Soegianto (2017), pada 140 pengunjung (konsumen/pasien) di Rumah Sakit, Ridogalih, Sukabumi, Jawa Barat, menemukan bahwa penilaian moral, emosi moral, dan identitas moral menyebabkan tingginya intensi untuk berperilaku prososial. Lebih lanjut lagi Septianto dan Soegianto (2017) juga menjelaskan implikasi dari hasil ini pada rumah sakit, seperti untuk meningkatkan perilaku prososial (kegiatan relawan, donasi) dapat dipertontonkan video iklan dengan konten moral dan belas kasih.
17
c.
Reaksi penerima terhadap pertolongan Pencarian bantuan (help-seeking) membutuhkan tiga hal, yaitu individu yang
membutuhkan pertolongan, penolong, dan spesifik bentuk pertolongan yang dibutuhkan. Nadler (lihat Schroeder & Graziano, 2018) menjelaskan lebih rinci ke dalam; (1) karakteristik dari orang yang membutuhkan pertolongan, misalnya jenis kelamin (perempuan lebih membutuhkan pertolongan), usia (semakin tua semakin ingin ditolong), dan tingkat harga diri (rendahnya harga diri semakin cenderung meminta pertolongan); (2) penolong, penolong biasanya melindungi citra diri mereka, sehingga cenderung akan berusaha menolong. Penolong juga biasanya orang yang dekat secara komunal, seperti
n o
sahabat dan anggota keluarga lebih mungkin akan menolong daripada teman biasa, (3)
i t a
sifat dari pertolongan yang dibutuhkan, misalnya orang-orang lebih cenderung meminta bantuan untuk masalah psikologis jika merasa semakin serius. Bagi orang-orang dengan
il c
ego-sentralitas yang kuat (mementingkan aspek dari diri sendiri, seperti karakter, kepribadian, dan gambaran diri) akan kurang berminat untuk meminta pertolongan kepada orang lain.
b u
Atribusi juga dapat menjelaskan perilaku menolong. Melalui proses atribusi yang
P r
dilakukan, kita mungkin tidak menolong orang yang tak sadarkan diri di tepi jalan dan sedang memegang botol anggur (alkohol) dengan pakaian kotor dan sobek (Baron &
o F
Branscombe, 2012). Hal ini karena kita memiliki penilaian buruk melalui proses atribusi pada orang tersebut, kita mungkin memiliki persepsi kalau dia adalah orang mabuk, jahat,
t f a
dan lain sebagainya. Menurut Baron dan Branscombe (2012), kita akan cenderung kurang menolong pada orang yang tidak peduli dengan masalah mereka sendiri. Hal ini berbeda
r D
jika orang yang tergeletak di jalanan mengenakan pakaian rapi seperti berjas dan dasi. Kita mungkin akan memilih menolong dia. Persepsi orang bisa jadi berkebalikan dengan penjelasan pertama. Orang melakukan atribusi dan menilai bahwa orang yang terlihat rapi ini mungkin saja korban kejahatan, dan sedang tidak sadarkan diri. Baron dan Branscombe (2012) juga menjelaskan bahwa orang cenderung akan menolong orang yang memiliki kemiripan dengan kita (umur, kewarganegaraan, atau faktor lain). Dalam hal menolong, empati sangat menentukan, dimana komponen emosional dari empati lebih berpengaruh dibandingkan komponen kognitif (akurasi empati) dalam perilaku menolong. Ucapan terima kasih juga dapat meningkatkan keinginan menolong (Baron & Branscombe, 2012). Pada penelitian eksperimen Grant dan Gino (2010) menemukan bahwa ucapan terima kasih dapat meningkatkan keinginan menolong saat individu merasa 18
lebih bernilai secara sosial. Hal ini dapat dijelaskan karena dua hal (Grant & Gino, 2010), yakni (1) ucapan terima kasih menambahkan perasaan harga diri, merasa mampu dan kompeten dan melakukan aksi secara efektif (2) adanya perasaan bernilai bagi orang lain (self-worth), dan kondisi ini akan lebih meningkatkan kecenderungan keterlibatan pada aksi prososial lebih lanjut. 3. Level Makro Perilaku prososial pada level makro adalah penjelasan pada perilaku prososial level kelompok (Schroeder & Graziano, 2018). Pada pembahasan sub bab ini akan dijelaskan
n o
mengenai kegiatan sukarela, dan kerjasama dalam satu kelompok serta antar-beberapa kelompok. a.
Sukarela (volunteerism)
il c
i t a
Kegiatan sukarela biasanya melibatkan satu orang yang memberi sumber daya yang
b u
mereka miliki (misalnya waktu, keahlian, harta benda) untuk organiassi yang melayani sekelompok orang yang membutuhkan (Schroeder & Graziano, 2018). Tidak seperti aksi
P r
pada kondisi darurat, aksi sukarela adalah jenis perilaku prososial yang terencana. Clary dkk. (1998) dalam enam studinya mengenai aksi sukarela menentukan enam motif
o F
melakukan aksi sukarela yang dapat dijelaskan sebagai berikut (Clary dkk., 1998;
t f a
Schroeder & Graziano, 2018): (1) value, ekspresi nilai kemanusian terhadap orang lain; (2) enhancement, meningkatkan perkembangan diri dan gambaran diri seseorang; (3)
r D
understanding, para relawan memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman, mempraktikkan kemampuan dan keahlian mereka; (4) protective, memiliki fungsi proteksi dengan melindungi diri dari rasa bersalah karena menjadi lebih beruntung daripada orang lain; (5) social, memiliki interaksi sosial dengan teman atau orang lain yang mungkin terkesan dengan partisipasi mereka; (6) career, memiliki keuntungan atau manfaat bagi karir pribadi. Enam motif ini mengantarkan Clary dkk. (1998) dalam mengonstruksi alat ukur Volunteer Functions Inventory. Kegiatan sukarela dilakukan berdasarkan motif-motif tertentu dan memiliki dampak bagi relawan (Clary dkk., 1998). Schroeder dan Graziano (2018) mencoba menguraikan konsekuensi-konsekuensi menjadi relawan, seperti memiliki perasaan efikasi yang lebih tinggi, harga diri yang positif, dan memiliki apresiasi/menghormati adanya perbedaan umur, ras, dan budaya. Selain itu, mengacu dari studi longitudinal Piliavin tahun 2005, 19
Schroeder dan Graziano (2018) menambahkan bahwa para relawan mendapatkan manfaat positif khususnya pada mereka yang memiliki kendala kontak sosial dan dukungan sosial. Bahkan kegiatan sukarela ini berdampak positif pada kesehatan dengan turut dipengaruhi oleh mediasi kesejahteraan psikologis dan perasaan akan tujuan hidup. b.
Kerjasama
1. Kerjasama intrakelompok Untuk menjelaskan bagaimana kerjasama intra (dalam) kelompok, Schroeder dan Graziano (2018) mengilustrasikan “Tragedy of the Commons” dari Garret Hardin tahun
n o
1986. Tragedi kepemilikan bersama ini terjadi ketika di suatu desa kecil yang memiliki
i t a
akses bebas ke kota dan dapat mencari rumput sesuka hati mereka. Suatu ketika, dilema terjadi ketika masing-masing individu melakukan tindakan yang berusaha memaksimalkan
il c
keuntungan bagi dirinya sendiri tetapi bertentangan dengan kesejahteraan jangka panjang bagi semua orang. Ketika semua orang merumput sebanyak yang mereka inginkan, maka
b u
padang rumput akan menipis dan semua akan kehilangan sumber daya. Untuk mengindari tragedi ini, semua warga desa berkumpul, menahan diri atas keinginan pribadi mereka, dan melakukan kerjasama.
P r
Komunikasi membuat anggota kelompok dapat mengkoordinasikan tindakan mereka
o F
dan hal ini dapat meningkatkan kepercayaan pada anggota kelompok lain (Schroeder & Graziano, 2018). Setelah komunikasi terjalin, anggota akan memahami berbagai
t f a
kepentingan yang ada dari berbagai pihak. Demi menjaga keberlanjutan hubungan maka tiap anggota akan menginternalisasi kepentingan bersama menjadi keputusan pribadi. Pada
r D
bagian akhir komunikasi seperti ini akan membentuk kerjasama intrakelompok (Schroeder & Graziano, 2018).
Selain komunikasi, orientasi nilai sosial juga dapat menentukan strategi menghadapi situasi dilema (Schroeder & Graziano, 2018). Ada tiga kategori dasar orientasi nilai sosial, yakni (1) “competitors” (sekitar 10-15%), yaitu keinginan yang kuat dalam memaksimalkan manfaat dari mereka sendiri dan sekaligus manfaat yang berasal dari orang lain. (2) “individualist” (sekitar 30-35%) hanya memperhatikan manfaat hasil bagi diri sendiri tanpa memperhatikan hasil dari orang lain. (3) “cooperators” (sekitar 55%), disebut juga prososial, yaitu memaksimalkan keuntungan bersama.
20
2. Kerjasama antarkelompok Jika terjadi konflik antar kelompok, maka dibutuhkan solusi untuk mengatasinya. Schroeder dan Graziano (2018) menjelaskan kembali Hipotesis Kontak (contact hypothesis) yang berasal dari Buku Allport “The Nature of Prejudice”. Hipotesis ini menjelaskan bahwa ketika dua kelompok disatukan untuk mencapai tujuan bersama, batasan/hambatan di antara kedua kelompok akan berkurang, dan tiap anggota kelompok akan membentuk perasaan positif dan lebih bertindak prososial (kerjasama). Pettigrew (lihat Schroeder & Graziano, 2018) memberikan penjelasan tambahan terkait hipotesis kontak, yakni (1) anggota kelompok mesti mendapatkan waktu tambahan
n o
untuk berinteraksi; (2) memunculkan dekategorisasi pada kontak awal, ini akan membuat
i t a
pandangan sebagai bagian kelompok tertentu menurun dan lebih menganggap diri mereka sebagai individu yang berinteraksi dengan individu lain; (3) individu akan rekategorisasi
il c
dan menggabungkan diri mereka dengan kelompok superordinat (kelompok yang memiliki kedudukan lebih tinggi).
b u
Proses kategorisasi sosial orang-orang sebagai ingroup dan outgroup dapat diubah dengan membuat individu sadar akan kategori yang lebih tinggi (Pinner dkk., 2005).
P r
Melanjutkan penjelasan Pettigrew pada proses dekategorisasi kelompok, maka teori identitas ingroup bersama menjadi penting untuk dibahas. Menurut Schroeder dan
o F
Graziano (2018), teori yang dikembangkan oleh Dovidio dan Gaertner dapat menjelaskan langkah-langah yang harus diambil oleh individu sebagai anggota kelompok untuk
t f a
mengalihkan/memindahkan identitas mereka dari identitas ingroup/kategori outgroup ke identitas ingroup yang lebih tinggi.
r D
Bentuk kerjasama antar-kelompok yang lain adalah toleransi, yakni bentuk kerjasama yang meminta tiap pihak menawan diri dari agresi dalam menghadapi perbedaan sikap dan tujuan (Schroeder & Graziano, 2018). Para level praktis, toleransi dapat menghadirkan kedamaian, harmoni sosial, dan pertumbungan ekonomi. Tiap orang menurut Schroeder dan Graziano (2018) tidak harus memiliki tujuan yang sama dan saling menyukai, tujuan utama adalah membina kerukunan antar kelompok dan menghambat agresi. Di Indonesia, semangat toleransi dapat menumbuhkan perilaku prososial. Perbedaan agama tidak menghambat toleransi, sebagai contoh saat tahun 2015, saat perayaan hari besar umat Islam dan Kristen berlangsung hampir bersamaan. Di Cirebon, para pemuda Kristen membantu persiapan acara Maulid Nabi Muhammad, sebaliknya pemuda Islam juga membantu persiapan acara Natal dengan mengangkut kursi, soundsystem dan
21
perlengkapan lain seperti dekorasi (Wisharti, 2015). Topik toleransi ini menjadi topik yang baru dalam studi prososial.
B.4. Tahap perkembangan perilaku prososial Perkembangan perilaku prososial telah terjadi pada, masa anak-anak. Eisenberg dkk. (2015) menggunakan teori perkembangan empati dari Hoffman (2000) untuk merumuskan lima model teoritik yang menggambarkan peran dari afeksi dan kognitif bayi dan anak-anak
n o
terhadap kesadaran diri dan diferensiasi diri untuk membentuk perilaku prososial.
i t a
1. Tahap 1: Global Empathy. Bayi yang baru lahir akan menampilkan respon empati yang merupakan manisfestasi sebagai “empati global”, karena bayi tidak bisa melakukan
il c
pembedaan antara distres (tekanan/kondisi tidak mengenakkan) diri mereka dengan orang lain (Eisenberg dkk., 2015). Maka biasanya pengalaman distres ditunjukkan
b u
melalui respon dari distres orang lain. Contohnya, bayi secara reaktif akan menangis mendengar dan merespon tangisan bayi lain, ini yang disebut dengan empati global.
P r
2. Tahap 2: egosentric empathic distress. Sekitar akhir umur 1 tahun, bayi akan mengalami egocentric empathic distress (Hoofman, 2006) dan berpikir untuk mencapai kenyamanan
o F
bagi mereka sendiri (egosentris atau berpusat pada diri sendiri) ketika dihadapkan dengan distres orang lain (Eisenberg dkk., 2015). Pada kondisi ini, bayi akan
t f a
mengembangkan perasaan diri yang terpisah dengan orang lain, meskipun belum matang, mereka belum mampu dengan jelas membedakan antara diri dan orang lain (Eisenberg
r D
dkk., 2015). Bayi merespon distres orang lain seakan-akan mereka sendiri yang berada pada distres tersebut. Hoffman (2006) menjelaskan contoh pada tahap ini, bayi akan merespon kesedihan bayi lain dengan terlihat sedih, mengerutkan bibir mereka, hingga menangis, tetapi tangisan mereka mungkin disertai dengan mengamati temannya sesama bayi. 3. Tahap 3: quasi-egocentric empathic distress. Awal tahun kedua, bayi mulai membantu korban yang mengalami distres lebih dari tahap kedua (Eisenberg dkk., 2015; Hoofman, 2006). Misalnya menyentuh, memeluk, hingga meminta bantuan orang lain (Hoofman, 2006). Level ini dinamakan quasi-egocentric empathic distress, mereka dapat membedakan antara diri dan orang lain, meskipun mereka tetap belum bisa membedakan dengan baik antara kondisi internal mereka dan orang lain (Eisenberg dkk., 2015). Lebih lanjut lagi menurut Eisenberg dan kolega, bayi masih mengalami kebingungan untuk 22
memahami kondisi batin orang lain dengan kondisi mereka dan mencoba untuk menolong dengan melakukan sesuatu yang nyaman bagi orang lain. Mereka terkadang juga dapat menghibur orang lain, meskipun perlu melibatkan kehadiran orang lain yang menenangkan bagi si bayi. Empati tahapan ini berbeda dengan empati tahap sebelumnya, mereka tidak egosentris lagi dan cenderung merespon dengan afek empati yang tepat (Eisenberg dkk., 2015). 4. Tahap 4: veridical empatic distress. Bayi memasuki periode veridical empatic distress pada saat memasuki umur tahun kedua (Hoofman, 2006). Kesadaran mereka terhadap perasaan orang lain mulai meningkat. Mereka mulai mampu memahami perspektif
n o
orang-orang dan perasaan yang mungkin berbeda dengan bayi tersebut (Eisenberg dkk.,
i t a
2015; Hoffman, 2006). Tindakan prososial sudah merefleksikan kesadaran akan kebutuhan orang lain (vs egoentric empathic distress), dan anak-anak lebih akurat
il c
membuat respon empatik dan menolong orang lain dengan mengurangi cara yang egosentris (Eisenberg dkk., 2015). Hoffman (2006) mengilustrasikan dengan contoh
b u
David (2 tahun) membawa boneka beruang miliknya untuk diberikan pada temannya yang menangis karena terluka memperebutkan mainan (masih tahap quasi-eqocentric
P r
empatic distress), kemudian David melihat temannya masih menangis saat diberi boneka milik David. Melihat kondisi ini, David berlari ke kamar sebelah, melakukan tindakan
o F
refleks untuk mencari boneka milik temannya sendiri. Saat ini lah tahap 4 ini terjadi, yakni melakukan koreksi atas tindakannya sendiri dan memahami perspektif orang lain.
t f a
5. Tahap 5: Berempati untuk pengalaman orang lain melalui situasi yang dialami secara langsung (seperti empati terhadap orang dengan penyakit kronis, kesulitan ekonomi,
r D
kekurangan) (Hoffman, 2000). Ketika anak menyadari bahwa hidup orang lain lebih menyedihkan atau menyenangkan, dan ketika anak-anak berempati pada sebuah kelompok (misalnya kelompok tunawisma). C. Penelitian klasik Sejarah perkembangan studi perilaku prososial pernah ditulis oleh Balton (2012). Menurut Balton, ahli Psikologi Sosial pertama yang mempertanyakan “mengapa ada orang yang melakukan dan tidak melakukan aksi prososial?” adalah Willam McDougall tahun 1908. McDougall menjelaskan bahwa masalah dasar dalam Psikologi Sosial adalah moral individu karena manusia lebih cenderung sebagai makhluk yang non-moral dan egoistik daripada altruistik. Balton (2012) kemudian memusatkan pada tiga hal, yaitu (1) memusatkan perhatian ke insting dan/atau sosialisasi untuk menjelaskan apa yang membuat orang 23
prososial, (2) memusatkan perhatian ke faktor situasional untuk menjelaskan kapan seseorang melakukan perilaku prososial; (3) memusatkan perhatian pada proses psikologis proksimal (proses yang mendekati suatu titik), baik kognitif atau afektif. Setelah tahun 1910-an pembahasan prososial menggunakan pendekatan psikoanalisis, behaviorisme, dan teori belajar sosial (Batson, 2012; Eisenberg dkk., 2006). Topik prososial menjadi populer pada studi 1970an dan awal 1980an (Eisenberg dkk., 2006; 2015). Setelah itu, popularitasnya menurun hingga akhir 1980an sampai 1990an. Pada akhir 1990an topik prososial kembali diminati sejalan dengan berkembangan pergerakan psikologi positif, yakni ketertarikan pada aspek positif dari perkembangan manusia (Eisenberg dkk., 2006). Menurut
n o
Eisenberg dkk. (2006), pada tahun1990an, studi perilaku prososial dikaitkan dengan
i t a
pergerakan psikologi positif, seperti kekuatan interpersonal dan relasional, empati, simpati, belas kasih, kerjasama, toleransi, dan altruisme.
il c
Untuk melacak studi-studi klasik terkait perilaku prososial, penulis telah melakukan penelusuran online untuk mencari studi awal pengembangan perilaku prososial. Pencarian
b u
artikel ilmiah, tesis, disertasi, bab buku, ebook dan referensi ilmiah lainnya disediakan banyak mesin pencarian online. Salah satunya adalah PsycInfo, yakni database abstrak dan
P r
indeksasi yang ekspansif dengan lebih dari tiga juta tulisan ilmiah sejak 1800an pada ilmu perilaku dan kesehatan mental (APA, 2017). PsycInfo merupakan salah satu produk dari
o F
American Psychological Association (APA), selain PsycArticle, PsycBooks, PsycExtra (berisi seperti materi konferensi, newsletter), PsycCritiques (riviu buku dan film), PsycTest (alat
t f a
ukur psikologi), PsycTherapy (video demonstrasi terapi) dan produk-produk lain berkaitan dengan Psikologi.
r D
Pencarian di PsycInfo khusus hanya artikel ilmiah jurnal dengan kata
kunci
“prosocial”, batasan tahun adalah 1963 hingga 1980, sesuai dengan penjelasan Eisenberg dkk. (2006) tentang periode populernya studi prososial. Dari hasil pencarian diperoleh 222 artikel ilmiah terkait perilaku prososial. Selain berdasarkan pencarian online, dari buku rujukan untuk menulis bab ini juga mengarahkan pemilihan artikel yang mesti dijelaskan. Penulis memilih setidaknya ada 3 artikel yang menarik untuk dikupas, semuanya berkaitan dengan perilaku menolong baik pada situasi darurat atau situasi biasa. Artikel pertama berjudul “Bystander intervention in emergencies: Diffusion of responsibility” yang ditulis oleh Bibb Latanè dan John Darley tahun 1968, mengungkap mengapa banyak bystander (pengamat) berdiam diri tidak melakukan pertolongan di kasus pembunuhan Kitty Genovese. Penelitian eksperimen ini melibatkan 56 mahasiswi dan 13 mahasiswa sarjana di New York University. Penelitian ini menggunakan cover story atau 24
manipulasi agar tidak diketahui apa maksud sebenarnya dilakukannya studi ini. Yaitu, semua partisipan diundang mengikuti diskusi mengenai permasalahan personal. Namun diskusi dilakukan dengan sejumlah orang dimana salah satunya adalah partisipan, selebihnya adalah confederate (eksperimenter yang berpura-pura sebagai partisipan). Mereka berdiskusi pada ruang terpisah menggunakan alat komunikasi interkom. Kemudian partisipan akan mendengar orang yang diajak bicara mengalami serangan seperti epilepsi, berbicara terbatabata disertai suara tersedak. Saat kondisi darurat ini hanya partisipan yang mendengar suara interkom, sedangkan yang lainnya tidak mendengar (kondisi off). Untuk variabel bebas partisipan di penelitian Latanè dan Darley (1968), partisipan
n o
diatur untuk berdiskusi dengan dua orang (terdiri dari korban yang berpura-pura terkena
i t a
serangan sakit dan partisipan), kelompok tiga orang (terdiri dari korban, partisipan, dan satu suara konfederasi), atau kelompok enam orang (terdiri dari korban, subjek partisipan, dan
il c
empat suara konfederasi). Perilaku menolong diukur dengan kecepatan partisipan melaporkan kondisi darurat pada eksperimenter utama (yang mengundang ke studi dengan cover story
b u
diskusi masalah personal). Hasilnya, kehadiran orang lain mengurangi perasaan individual dari tanggung jawab pribadi dan menurunkan kecepatan melaporkan (menolong). Pada
P r
kelompok dengan jumlah tiga orang, laki-laki lebih lamban melaporkan situasi darurat (menolong) daripada perempuan, dan perempuan di kelompok tiga orang ini lebih lamban
o F
melaporkan situasi darurat ketika satu orang bystander-nya adalah laki-laki dan lebih cepat ketika bystander-nya perempuan juga. Ketidaknyamanan partisipan (bystander) ini pada
t f a
kehidupan nyata sering diklasifikasikan sebagai “apatis”, “alineasi/keterasingan”, dan “anomie”. Dua hal yang menyebabkan seseorang tidak menolong orang lain pada kondisi
r D
darurat dan berkelompok adalah diffusion of responsibility dan pluralistic ignorance (lihat kembali B.2. Jenis dan Tahapan dalam Perilaku Prososial) Penelitian ini kemudian k diulang kembali setahun kemudian oleh Latanè dan Rodin (1969) dengan cover story studi riset pasar. Partisipan mengikuti riset pasar dimana terdapat peneliti (eksperimenter) perempuan. Suatu ketika peneliti perempuan mempersiapkan riset pasar di ruangan sebelah, sedang partisipan menunggu sendiran vs bersama teman vs bersama orang tak dikenal (eksperimenter lain/confiderate) vs bersama orang yang benar-benar tak dikenal di depan pintu ruang. Peneliti perempuan ceritanya terjatuh dan terluka kaki hingga berteriak, menangis, dan mengerang kesakitan, kemudian dilihat reaksinya, apakah partisipan menolong si perempuan. Hasilnya (1) kelompok dua orang cenderung kurang menawarkan bantuan pada perempuan yang terluka (peneliti riset pasar) daripada saat seseorang sendirian,
25
(2) bersama teman, maka orang akan cenderung lebih mau melakukan intervensi daripada dengan orang asing, dan cenderung lebih cepat menolong. Artikel kedua masih menjelaskan tentang bystender effect. Ditulis oleh Liebert, R. M., Fernandez, L. E., dan Gill, L. (1969) di jurnal Psychonomic Science. Penelitian ini menarik karena menggunakan pendekatan behaviorisme klasik, yakni pendekatan Bandura-modeling dan imitasi melalui tayangan film (Liebert, Fernandez, & Gill, 1969). Studi dengan desain eksperimen dilakukan pada 36 anak laki-laki pada perkemahan musim panas di wilayah Neshville. Kelompok dibedakan menjadi kelompok friendless (tanpa teman), netral (kelompok) dan kontrol. Prosedurnya, pada sesi 1, sebanyak 36 partisipan (usia 6-11 tahun)
n o
diajak oleh eksperimenter ke karavan (trailer) satu per satu (untuk kelompok “friendless”)
i t a
dan berkelompok (kelompok netral) dan saat di dalam karavan ditanya “apa saja hal-hal yang disukai anak?” dan meminta tiap anak membantu menjawabnya dengan memilih 12 tayangan
il c
gambar di proyektor, seperti gambar puzze kuda vs sapi, mainan gitar vs robot, dst.
Di sesi 2, anak-anak kembali di ajak ke karavan, kemudian dipertontonkan tayangan
b u
film yang isinya mengenai seorang anak (Mike) berumur 9 tahun yang disuruh memilih hal yang ia suka melalui tayangan gambar diproyektor, seperti seperti yang dilakukan oleh
P r
partisipan di sesi 1. Kemudian pada kelompok friendless diberi tahu bahwa “Mike tidak begitu disukai, ia tidak punya banyak teman”. Sementara pada kelompok netral
o F
(berkelompok), diberi tahui bahwa “sangat sulit untuk mengingat apa yang dipilih Mike pada tayangan film”. Kemudian semua anak (baik kelompok friendless dan netral) akan diberi tahu
t f a
peraturan bahwa mereka menerima token untuk tiap jawaban benar (sesuai dengan pilihan Mike), token dapat ditukar dengan hadiah, dan semakin banyak token semakin banyak hadiah
r D
yang akan didapat.
Setelah tayangan dan partisipan menjawab gambar-gambar yang dipilih Mike (sebanyak 3 kali penayangan slide gambar), maka sebelum diberi hadiah, dua orang eksperimenter berbicara di depan anak (masing-masing kondisi tiap kedua kelompok pada waktu berbeda) bahwa “Mike tidak mendapatkan satupun token dan dia tidak mendapatkan hadiah”. Kemudian eskperimenter membawa kotak donasi dan memberi tahu ke partisipan bahwa mereka boleh tidak memberikan token yang didapat jika mereka tidak mau. Hasilnya diperoleh bahwa kelompok partisipan pada manipulasi “friendlessness” atau tanpa teman (sendirian mendapat paparan model simbolik melalui tayangan film) signifikan meningkatkan perilaku prososial mereka (F=8,46; p<0.1) (Liebert dkk., 1969). Ini artinya ketika individu dihadapkan pada kondisi tidak menguntungkan orang lain (distres) dimana ia menghadapinya sendirian akan cenderung lebih menolong orang tersebut. Kondisi seperti ini 26
tidak terjadi jika para pengamat (bystander) berkelompok atau merasa ada orang lain dari kelompok mereka yang mungkin akan membantu orang lain yang kesusahan. D. Perkembangan Penelitian Prososial D.1. Studi-studi perilaku prososial di Indonesia Melakukan pencarian studi-studi periaku prososial di pencarian online seperti Google Scholar tidak lah sulit. Begitu banyak studi-studi dari hasil tugas akhir mahasiswa dan artikel jurnal ilmiah yang muncul dengan kata kunci “perilaku prososial”. Namun untuk memahami studi-studi perilaku prososial dibutuhkan referensi yang berkualitas dengan tujuan untuk
n o
menggambarkan studi mungkin dapat menjadi acuan bagi para mahasiswa dan peneliti Indonesia secara umum.
i t a
Seperti halnya pencarian studi klasik, perncarian studi prososial Indonesia juga
il c
menggunakan PsycInfo dengan kata kunci “prosocial” dan “Indonesia” ditemukan hanya ada 15 artikel ilmiah jurnal yang berasal dari jurnal ilmiah yang bereputasi bagus. Di antara 15
b u
artikel tersebut kemudian dikerucutkan kembali menjadi sejumlah 6 artikel yang dianggap relevan untuk pembahasan perilaku prososial di Indonesia. Kriteria yang digunakan untuk
P r
menentukan relevansi artikel adalah topik penelitian, terdiri dari peneliti Indonesia (baik penulis utama atau bukan utama), dan/atau studi yang dilakukan oleh peneliti luar Indonesia
o F
dengan menggunakan data yang berasal dari Indonesia. Kemudian dari 6 artikel dipilih sebanyak 3 artikel yang terbit 5 tahun terakhir (2013-2017), tujuannya adalah untuk memberi
t f a
gambaran perkembangan terbaru studi perilaku prososial di Indonesia. Studi pertama dengan topik keagamaan (religiusitas) dikaitkan dengan alasan orang
r D
menjadi relawan. Arli dan Lasmono (2015) melakukan studi survei pada data 258 partisipan mahasiswa S1 dari universitas swasta di Surabaya. Peneliti menggunakan alat ukur yang diadaptasi ke Bahasa Indonesia, seperti alat ukur religiusitas dari skala Religious Orientation Scale (ROS) dari Allport (versi revisi oleh Krikpatrick tahun1989), alat ukur alasan menjadi relawan dari skala Volunteer Fuctions Inventory dari Clary dkk. tahun 1998 dan pengukuran sikap prososial menggunakan alat ukur dari Webb dkk. tahun 2000 terdiri dari sikap terhadap menolong orang lain dan sikap terhadap organisasi amal. Salah satu kekuatan studi ini adalah melakukan pengujian Structural Equation Modeling (SEM), yakni uji statistik yang menggabungkan model struktural (regresi) dengan model pengukuran (alat ukur) (Ghozali & Fuad, 2012). Maka tidak salah jika penelitian masuk ke jurnal yang terindeks internasional seperti Scopus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu dengan tingkat religiusitas personal instrinsik dan ekstrinsik (dua dimensi dari tiga dimensi alat ukur religiusitas, 27
dimensi yang lain adalah religiusitas sosial ekstrinsik) yang tinggi cenderung memiliki alasan “other-oriented” atau berorientasi pada keuntungan bagi orang lain, ketika mereka terlibat pada aktivitas filantropi (relawan). Meski demikian religuisitas tidak memengaruhi sikap menolong orang lain. Masih dengan topik religiusitas, French dkk (2013) melakukan studi survei mengenai hubungan orangtua dan anak, religiusitas, dan penyesuaian sosial pada remaja Muslim Indonesia. Salah satu peneliti adalah pengajar Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran, Urip Purwono. Studi survei untuk menguji model melalui SEM pada 296 remaja 13,3-16,9 tahun Indonesia. Alat ukur yang digunakan ada yang diadaptasi dari studi sebelumnya dan ada pula
n o
yang dikembangkan langsung oleh Purwono tahun 2010, yakni pengukuran religiusitas.
i t a
Khusus untuk nilai perilaku prososial berasal dari hasil alat ukur yang dikembangkan oleh Eisenberg dkk., tahun 2001. Hasil studi ini dapat menjelaskan bagaimana relasi sosial antara
il c
anak dan orang tua dapat memengaruhi religiusitas anak yang kemudian dapat memengaruhi pula perilaku prososial anak. Jika kita bandingkan dengan hasil studi dari Arli dan Lasmono
b u
(2015) ternyata terbukti bahwa religuisitas dapat memengaruhi perilaku prososial tetapi bertindak sebagai faktor mediator dari relasi sosial antara anak dan orang tua. Untuk itu,
P r
melakukan studi perilaku prososial semestinya memperhatikan faktor atau variabel lain yang mungkin menjadi variabel mediator (perantara) atau moderator (memengaruhi garis hubungan antar-varabel)
o F
Artikel ketiga berjudul “Popularity of Indonesian Adolescents: Do the Findings from
t f a
the USA Generalize to a Muslim Majority Developing Country?” oleh French, Niu, dan Purwono (2016). Artikel ini menyajikan studi replikasi yang dilakukan di Amerika Serikat
r D
(USA) mengenai popularitas remaja. Data diambil dengan metode survei berjumlah 452 siswa muslim kelas 7 (13 tahun) dan kelas 10 (16 tahun) di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Pada penelitian diuji beberapa hal seperti preferensi dan popularitas sosial untuk variabel bebas (independent variables) dan sejumlah variabel terikat (dependent variabel), yakni penggunaan rokok dan alkohol, agresivitas dan perilaku prososial (dari penilaian teman sebaya dan guru), prestasi akademik dan jumlah teman. Hasilnya ditemukan bahwa preferensi dan popularitas sosial berhubungan positif dengan perilaku prososial dan jumlah teman. Ini artinya semakin disukai (preferensi) dan semakin populer seorang remaja di kalangan temantemannya, maka semakin tinggi perilaku prososial dan jumlah teman mereka. Berdasarkan tiga studi perilaku prososial yang dilakukan di Indonesia dapat dipahami beberapa hal: (1) kebanyakan studi mengambil data di Indonesia, tetapi hanya sedikit penulis pertama yang berasal dari Indonesia, ini artinya banyak para peneliti Indonesia melakukan 28
kolaborasi riset dengan peneliti luar Indonesia untuk melakukan penelitian berkualitas; (2) studi prososial di Indonesia lebih banyak dilakukan dengan survei korelasional, sehingga sangat memungkinkan untuk dilakukan studi longitudinal seperti yang dilakukan Eisenberg, Liew, dan Pidada (2009). Rancangan penelitian lain yang dapat dipertimbangkan adalah ekperimental; (3) diantara 3 studi yang dijelaskan, ada yang melakukan dua pengujian SEM yang artinya melibatkan banyak variabel. Salah satunya menggunakan efek mediasi. Pengembangan studi perilaku prososial ke depan dapat mempertimbangkan efek variabel mediator dan moderator. Dengan begitu dibutuhkan pula analisis statistik yang lebih mutakhir, tidak hanya menggunakan pengujian statistik sederhana. Untuk saran penelitian di
n o
masa yang akan datang dijelaskan khusus pada bagian D.4. Arah pengembangan studi perilaku prososial. D.4. Perkembangan studi perilaku prososial terkini
il c
i t a
Pencarian juga dilakukan dengan PsycInfo, melalui kata kunci “prosocial” pada abstrak
b u
diperoleh 6.347 artikel ilmiah di bidang Psikologi. Kemudian angka pencarian dikecilkan menjadi 416 artikel hanya pada tahun 2017 dan dipilih 2 artikel yang relevan dengan studi
P r
prososial. Artikel pertama yang dipilih adalah studi dari Nicolas Ruth (2017), berjudul “Heal the world”: A field experiment on the effects of music with prosocial lyrics on prosocial
o F
behavior” yang terbit dijurnal Psychology of Music. Pemilihan artikel ini berlandaskan bahwa tidak semua penelitian harus kaku, tetapi juga bisa kreatif dan menghibur. Apalagi menurut
t f a
artikel ini, masih sedikit studi yang menunjukkan bahwa musik dengan lirik prososial dapat meningkatkan perilaku prososial.
r D
Penelitian Ruth (2017) adalah eksprimen lapangan pada setting kehidupan sehari-hari dengan desain 2x1 between subjek dengan pemilihan secara acak untuk pengelompokkan partisipan. Variabel bebasnya adalah versi program musik (lagu prososial vs netral) yang diputar di cafe. Data diambil dengan observasi selama 8 hari, dimana playlist lagu prososial pada minggu 1 dimainkan pada hari Jumat dan Minggu, sedangkan musik netral dimainkan pada Sabtu dan Senin. Pada minggu 2, pemutaran musik ditukar (dibalik) antara jadwal pemutaran jenis lagu. Manajemen cafe memperbolehkan penelitian pada jam padat, yakni pukul 10.00 hingga 12.00 siang. Variabel terikat diukur dengan perilaku prososial global dengan membeli kopi organik (memperlihatkan kesadaran lingkungan dan sosial) pada penjualan yang adil (lebih mahal 0,3 euro daripada kopi biasa). Variabel terikat juga diukur dengan melihat perilaku menolong langsung dengan menghitung jumlah tip yang diberikan
29
pengunjung cafe. Agar partisipan lebih terbawa pada suasana penelitian, pengunjung cafe diperkenalkan pada tawaran akan kopi yang dijual secara adil dan manfaat jika membeli. Sementara itu, lagu yang digunakan pada studi Ruth (2017) telah melewati prosedur studi pilot dan dari 152 lagu dipilih 18 lagu yang sering diputar dan dikomplasi menjadi kurang lebih 1 jam. Satu artis/penyanyi/grup musik terdiri dari 1 lagu prososial dan 1 lagu netral sebagai variabel kontrol. Contoh beberapa lagu prososial yang diputar adalah The Earth Song dan Heal the World dari Michael Jackson, Imagine dari Jonh Lennon, hingga See you Again dari Wizz Khalifa. Sementara lagu netral adalah Thriller dari Michael Jackson, Stand by Me dari John Lennon, dan Genie in a Bottle dari Cristina Aguilera.
n o
Sebanyak 256 partisipan (87 pria dan 169 wanita) dengan usia 21-30 tahun sebanyak
i t a
43%. Untuk kelompok lagu prososial terdiri dari 123 orang (67% wanita, sisanya pria) dan kelompok musik netral sebanyak 133 (65% wanita, sisanya pria). Hasilnya ditemukan bahwa
il c
ternyata partisipan yang mendengar musik prososial signifikan lebih memilih kopi dengan penjualan adil (38%) daripada pada musik netral (18.4%). Sementara pada pemberian tip,
b u
tidak signifikan berbeda antara kelompok partisipan musik prososial dengan netral. Ini artinya musik dengan lirik prososial dapat memengaruhi perilaku prososial pada kehidupan sehari-hari.
o F
P r
D.5. Arah pengembangan studi perilaku prososial
Perkembangan terakhir studi perilaku prososial dapat dideskripsikan dari penelitian
t f a
Eisenberg dkk. (2015) yang secara komprehensif menjelaskan topik prososial pada ranah psikologi perkembangan. Mereka memberikan beberapa arah pengembangan studi-studi
r D
perilaku prososial. Berikut beberapa rangkuman penjelasan Eisenberg dkk. (2015), 1. Banyak studi prososial adalah korelasional, peneliti perlu melakukan pengembangan pada pengujian kausalitas melalui metode eksperimen. Seperti, pada studi dengan topik sosiokognitif, melakukan manipulasi perkembangan atau ketersediaan tingkatan tertentu dari penilaian moral atau kognisi untuk membuktikan hubungan kausalitasnya dengan perilaku prososial. 2. Peningkatan studi pada perbedaan budaya, khususnya untuk mengetahui peran budaya pada variasi jenis perilaku prososial dan nilai serta keanggotan ingroup vs outgroup. Dapat pula studi non-Barat untuk membangun peran budaya sebagai moderator potensial dari peran faktor biologis (neurosains) pada prososial dan empati. 3. Mempertimbangkan penelitian longitudinal (studi yang berlangsung sepanjang waktu periode tertentu) dan mengkombinasikannya dengan metode lain seperti korelasional. 30
Mengontrol level titik awal dari perilaku prososial. Menguji alur perkembangan dari perbedaan jenis kelamin dan untuk menguji perbedaan jenis kelamin pada perbedaan respon perilaku prososial. 4. Riset dengan menggunakan proses moderasi dan mediasi dan bagaimana berubahnya perilaku prososial sepanjang usia. Tidak hanya mengidentifikasi hubungan kausal, faktor hereditas dan lingkungan (pengasuhan, pengalaman dengan teman sebaya) nungkin akan berdampak pada kecenderungan prososial anak dan fungsi dari domain lainnya. 5. Penelitian intervensi untuk menjelaskan program-program yang cocok yang digunakan untuk meningkatkan perilaku prososial. E. Tokoh Psikologi
i t a
n o
Untuk menentukan tokoh psikologi kontemporer yang hingga sekarang masih aktif
il c
meneliti tentang perilaku prososial dilakukan pencarian melalui scopus. Melalui kata kunci “prosocial” dan “altruism” dua nama penulis dengan publikasi terbesar yang muncul adalah
b u
Nancy Eisenberg. Selain Eisenberg, dipilih pula tokoh pengembang teori perilaku prososial yang lebih klasik, yakni Bibb Latenè dan John Darley. Pemilihan 1 tokoh kontemporer dan 3
P r
tokoh klasik penelitian perilaku prososial dapat digunakan acuan untuk menelusuri studi-studi prososial berdasarkan tokoh yang banyak berkecimpung di topik ini. Dua tokoh klasik
o F
penting untuk dikenal karena berjasa memberikan penjelasan tentang efek bystander (pengamat) pada kasus pembunuhan Kitty Genoverse. Sementara itu, dengan mengetahui
t f a
tokoh kontemporer saat ini, diharapkan para lulusan sarjana psikologi Indonesia yang memiliki kesempatan menempuh pendidikan di luar negeri dapat mengetahui siapa ahli yang
r D
harus dijadikan guru untuk mempelajari topik perilaku prososial. E.1. Bibb Latanè
Bibb Latané (Lahir: July 19th, 1937) adalah profesor Psikologi yang pernah mengajar dibeberapa universitas seperti University Columbia (1961), Ohio State University (19681981), University of North Carolina (1982–1989), dan Florida Atlantic University (1989– 2000). Saat ini ia bekerja bekerja di Center for Human Science. Seorang penulis besar dengan lebih dari 140 artikel, bab buku, dan buku mengenai penelitiannya terkait dengan intervensi bystander (pengamat) pada kondisi darurat, dampak sosial dan pengaruh kelompok, penyebab dan konsekuensi “social loafing”, dll. Bukunya yang berjudul "The Unresponsive Bystander" (dengan John Darley) membawa pembahasan klasisk pada Psikologi Kontemporer. Dia adalah ahli psikologi sosial dengan sitasi terbesar pada buku teks. Area risetnya terkait 31
dengan demam panggung, tip di restoran, perbedaan jenis kelamin pada sosiabilitas, perbandingan sosial, dan ketertarikan sosial pada hewan. Latané memenangkan penghargaan sebanyak dua kali pada Behavioral Science Award yang diberikan oleh American Association untuk the Advancement of Science, saat ia meneliti tentang intervensi bystander pada kondisi darurat dan social loafing. Dia juga menerima penghargaan pada karir risetnya dari Society of Experimental Social Psychology dan dari Society for Personality and Social Psychology. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bab perilaku prososial ini, Latanè bersama John Darley berhasil memecahkan masalah bystander (pengamat) di kasus pembunuhan Kitte Genovese tahun 1964, melalui studinya yang dibahas pada penelitian klasik (lihat C.
n o
Penelitian Klasik) berjudul “Bystander intervention in emergencies: Diffusion of responsibility”. E.1. John Darley
il c
i t a
John Darley (Lahir: 3 April 1938) adalah Profesor bidang psikolog di Princeton
b u
University. Darlen dulu adalah presiden the American Psychological Society. Ia pernah mendapatkan beberapa penghargaan nasional dari Amerika Serikat, seperti the American
P r
Association for the Advancement of Science Socio-Psychological Essay Prize (dengan Bibb Latané), the Society of Experimental Social Psychology Distinguished Scientist Award, dan
o F
the American Psychological Foundation Media Award untuk kontribusinya dalam mengkomunikasikan Psikologi ke Publik. Untuk sumbangan terbesar Darley pada penelitian
t f a
perilaku prososial adalah keberhasilannya menjelaskan efek bystander pada kasus pembunuhan Kitty Genovese dengan Bibb Latané. Area penelitian Darley mengenai
r D
keputusan dan aksi yang memiliki komponen moral atau implikasinya (misalnya memutuskan apakah menghukum orang yang bersalah). Selain itu, ia juga tertarik pada kekuatan interpersonal dalam memainkan peran apda interaksi sosial dan bagaimana orang-orang mencoba mengendalikan orang lain dengan sistem insentif. (John Darley, n.d.). John Darley memiliki murid yang tidak kalah terkenal, seperti Dan Balton penenemu hipotesis empatialtruisme (lihat pembahasan altruisme, bagian B.5). E.3. Nancy Eisenberg Nancy Eisenberg adalah profesor wanita psikologi perkembangan dari Arizona State University. Dipilihnya Eisenberg ke ulasan tokoh Psikologi, karena dia banyak melakukan riset kolaborasi dengan peneliti Indonesia. Ia menyelesaikan studi doktoral pada tahun 1976 di University of California, Berkley. Minat risetnya adalah regulasi terkait emosi dan relasi dengan penyesuaian dan kompetensi sosio-emosional. Pada bidang perkembangan moral dan 32
emosional terfokus pada altruism, empati. Serta studi-studi terkait dengan faktor sosialisasi dan budaya. Salah satu proyek risetnya adalah peran perbedaan individu pada emosi dna regulasi pada penyesuaian diri anak dan kompetensi sosial, proyek dilakukan di Indonesia, Cina, Francis, dan Amerika Serikat Nancy Eisenberg (n.d). Pada profile scopus (ID: 7102540176), Eisenberg memiliki 337 dokumen publikasi dan terdapat lebih dari 76 studi perilaku prososial, dengan total pengutipan sebanyak 10.662 kali untuk semua artikel publikasinya. Khusus pada penelitian perilaku prososial pengutipan terbesar pada naskah (862 kali) di Psychology Bulliten tahun 1987 berjudul “The Relation of Empathy to Prosocial and Related Behaviors”. Jika kita amati melalui profil google scholar, Eisenberg pengutipan
n o
terbesar pada bab buku yang ia tulis tahun 2006, berjudul “prosocial behavior” dari
i t a
Handbook of child psychology: Vol. 3. Social, emotional, and personality development (total pengutipan 3.025 kali). Sumbangan Eisenberg pada pengembangan studi perilaku prososial sangatlah besar. F. Kesimpulan •
b u
il c
Perilaku prososial dapat diartikan sebagai setiap bentuk tindakan sukarela untuk
P r
menolong orang lain sehingga memberi manfaat positif bagi si penerima bantuan dan mungkin tidak memberi manfaat langsung pada si pemberi pertolongan. •
o F
Perilaku menolong pada kondisi biasa dengan kondisi darurat memiliki perbedaan, saat peristiwa berbahaya (darurat) orang akan memiliki pertimbangan
t f a
panjang yang tidak sederhana untuk bertindak. Salah satu faktor yang berperan penting yang dapat menghambat perilaku prososial dalam kondisi darurat adalah
r D
rasa takut. •
Terdapat banyak faktor yang menjelaskan perilaku prososial. Terdapat tiga level unit analisis untuk menjelaskan faktor-faktor ini, yakni level mikro (internal), meso (dua orang), dan makro (kelompok).
•
Pada level mikro, faktor-faktor penyebab perilaku prososial adalah faktor evolusioner, biologis, neuron, empati, proses perkembangan, kepribadian, dan kelekatan dan hubungan.
•
Pada level meso terdiri dari faktor situasional, motivasi egosentris, altruisme, colektivisme, dan prinsipalisme, serta respon dari orang yang ditolong.
33
•
Pada level makro terdiri dari penjelasan mengenai mengapa orang mengikuti kegiatan sukarela (voulenter), proses kerjasama intrakelompok, dan kerjasama antarkelompok.
•
Berdasarkan beberapa paparan hasil-hasil empiris dari studi klasik, studi di Indonesia, dan terkini dapat ditarik kesimpulan tentang arah pengembangan studi prososial, yaitu (1) menggunakan metode-metode penelitian yang bervariasi (korelasional, eksprimental, longitudinal); (2) menggunakan pengujian statistik yang lebih baik (seperti SEM); dan (3) melakukan studi perbandingan budaya serta intervensi sosial.
H. Diskusi
il c
i t a
n o
Lakukan diskusi dengan kelompok atau teman Anda untuk menjelaskan beberapa hal berikut:
b u
1. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara perilaku prososial dan altruisme? 2. Pada bagian awal pemaparan fenomena yang terjadi di Indonesia dan global,
P r
diskusikan apa saja faktor-faktor yang menyebabkan tiap orang-orang (Aipda Ismet, Serka Darwis, dan Anja) di kasus fenomena melakukan perilaku prososial? Analisis
o F
berdasarkan penjelasan teori dan kajian empiris yang telah kalian baca pada bab ini! 3. Diantara beberapa contoh studi-studi yang telah dijelaskan (bagian D. Perkembangan
t f a
Penelitian), studi yang mana yang menurut Anda paling menarik? Diskusikan, apakah ada faktor atau variabel lain yang mungkin dapat cocok diteliti di studi tersebut?
r D
Daftar Pustaka
American Psychological Association (APA). (2017). APA Databases: Creating Value for Libraries. Retrieved from http://www.apa.org/pubs/marketing/value.aspx Arli, D., & Lasmono, H. (2015). Are religious people more caring? Exploring the impact of religiosity on charitable organizations in a developing country. International Journal of Nonprofit and Voluntary Sector Marketing, 20(1), 38-51. Baron, R. A., & Branscombe, N. R. (2012). Social psychology 13th edition. Unites States of America: Pearson Educati
34
Batson, C. D. (2012). The history of prosocial behavior research. In A. W. Kruglanski & W. Stroebe (Eds.), Handbook of the History of Social Psychology, (243-264). New York: Psychology Press. Batson, C. D. (2011). Altruism in humans. Oxford University Press, USA. Batson, C. D., & Powel, A. A. (2003). Altruism and prosocial behavior. In T. Millon & M. J. Lerner, Handbook of psychology, volume 5: personality and social psychology (463479). New Jersey: John Wiley & Son. Batson, C. D., Duncan, B. D., Ackerman, P., Buckley, T., & Birch, K. (1981). Is empathic emotion a source of altruistic motivation? Journal of personality and Social Psychology, 40(2), 290
i t a
Bibb Latanè. (n.d). Retrieved from http://latane.socialpsychology.org
n o
Cialdini, R. B., Baumann, D. J., & Kenrick, D. T. (1981). Insights from sadness: A three-step
il c
model of the development of altruism as hedonism. Developmental review, 1(3), 207-223.
b u
Clark, M. S., & Mills, J. R. (2012). A theory of communal (and exchange) relationships. In: P. van Lange, A. Kruglanski, & T. Higgins (Eds.). Handbook of theories of social
P r
psychology Vol. 2, (232-250). London: Sage.
Clark, M. S., Oullette, R., Powell, M. C., & Milberg, S. (1987). Recipient's mood,
o F
relationship type, and helping. Journal of Personality and Social Psychology, 53(1), 94-103
t f a
Clary, E. G., Snyder, M., Ridge, R. D., Copeland, J., Stukas, A. A., Haugen, J., & Miene, P. (1998). Understanding and assessing the motivations of volunteers: a functional
r D
approach. Journal of personality and social psychology, 74(6), 1516. Darley, J. M., & Latané, B. (1968). Bystander intervention in emergencies: Diffusion of responsibility. Journal of Personality and Social Psychology, 8, 377–383. Davis, M. H., Luce, C., & Kraus, S. J. (1994). The heritability of characteristics associated with dispositional empathy. Journal of personality, 62(3), 369-391. Edward, M. (2017, Februari 04). Ingat dengan Bocah yang Ditolong Bule Bertatto Ini? Kondisinya
Sekarang
Mengejutkan.
Tribun
Sumsel.
Retrieved
from
http://sumsel.tribunnews.com/2017/02/04/ingat-dengan-bocah-yang-ditolong-bulebertatto-ini-kondisinya-sekarang-mengejutkan?page=2 Eisenberg, N. (1982). Introduction. In N. Eisenberg, The developmental of rosocial behavior (1-21). New York: Academic Press.
35
Eisenberg, N., & Mussen, P. H. (1989). The roots of prosocial behavior in children. Cambridge University Press. Eisenberg, N., Fabes, R. A., & Spinrad T.R. (2006). Prosocial development. In N. Eisenberg, W. Damon, R.M., Lerner (eds). Handbook of child psychology: Vol. 3. Social, emotional, and personality development. 6th ed. (pp. 646-702). New York: Wiley. Eisenberg, N., Spinrad T.R., & Knafo-Noam, A. (2015). Prosocial development. In N. Eisenberg, W. Damon, R.M., Lerner (eds). Handbook of child psychology: Vol. 3. Social, emotional, and personality development. 7th ed, pp. 646-702. New York: Wiley.
n o
Eisenberg, N., Liew, J., & Pidada, S. U. (2004). The longitudinal relations of regulation and emotionality
to
quality
of
Indonesian
i t a
children's
functioning. Developmental psychology, 40(5), 790.
il c
socioemotional
Eisenberg, N., Sallquist, J., French, D. C., Purwono, U., Suryanti, T. A., & Pidada, S. (2009). The relations of majority-minority group status and having an other-religion friend
b u
to Indonesian youths' socioemotional functioning. Developmental Psychology, 45(1), 248.
P r
Fishman, J. R., & Solomon, F. (1963). Youth and social action: Perspectives on the student sit-in movement. American Journal of Orthopsychiatry, 33(5), 872.
o F
French, D. C., Niu, L., & Purwono, U. (2016). Popularity of Indonesian Adolescents: Do the Findings from the USA Generalize to a Muslim Majority Developing
t f a
Country? Social Development, 25(2), 405-421. French, D. C., Eisenberg, N., Sallquist, J., Purwono, U., Lu, T., & Christ, S. (2013). Parent−
r D
adolescent relationships, religiosity, and the social adjustment of Indonesian Muslim adolescents. Journal of Family Psychology, 27(3), 421. Gandhi, G. (2016, Februari 16). Kisah Sedih di Balik Foto Anak Afrika & Wanita Bertato. Tempo.co. Retrieved from https://dunia.tempo.co/read/745252/kisah-sedih-di-balikfoto-anak-afrika Ghozali, I., & Fuad. (2012). Structural Equation Modeling: Teori, Konsep, dan Aplikasi dengan Program Lisrel 8.80, Edisi III.
Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Grant, A. M., & Gino, F. (2010). A little thanks goes a long way: Explaining why gratitude expressions motivate prosocial behavior. Journal of personality and social psychology, 98(6), 946.
36
Graziano, W. G., & Habashi, M. M. (2010). Motivational processes underlying both prejudice and helping. Personality and Social Psychology Review, 14(3), 313-331. Grusec, J. E., & Sherman A. (2011). Prosocial Behavior. In M. K. Underwood & L. H. Rosen (Eds.), Social development: Relationship infancy, childhood, and adolescence (pp. 263-288). New York: Guilford. Grusec, J. E., Davidov, M., & Lundell. (2002). Prosocial and helping behavior. In P. K. Smith & C. H. Hart (Eds.), Blackwell Handbook of Childhood Social Development (pp 457-474). Great Britain: Blackwell Publishers. Harlina, S. (2017, Agustus 08). Dapat Penghargaan, Serka Darwis Makin Tertantang Bantu Masyarakat.
detikNews.
Retrieved
from
n o
https://news.detik.com/berita/d-
i t a
3590581/dapat-penghargaan-serka-darwis-makin-tertantang-bantu-
masyarakat?_ga=2.150282302.982737220.1507392987-760677338.1496497144.
il c
Hamilton, W. D. (1964). The genetical evolution of social behaviour. I. Journal of theoretical biology, 7(1), 1-16.
b u
Indrawan, A. F. (2017, September 07). Salut, Polisi Bantu Bocah SD Seberangi Sungai di Gorontalo. detikNews. Retrived from https://news.detik.com/berita/d-3631838/salut-
P r
polisi-bantu-bocah-sd-seberangi-sungai-di-
gorontalo?_ga=2.154496816.982737220.1507392987-760677338.1496497144
o F
Irwin, K. (2009). Prosocial behavior across cultures: The effects of institutional versus generalized trust. In S. R. Thye & E. J. Lawyer (Eds.), Altruism and prosocial
t f a
behavior in groups, vol 26 (pp. 165-198). Emerald Group Publishing Limited. John Darley. (n.d.). Retrieved from http://darley.socialpsychology.org
r D
Kline, R., Bankert, A., Levitan, L., & Kraft, P. (2017). Personality and Prosocial Behavior: A Multilevel Meta-Analysis. Political Science Research and Methods, 1-18. Knafo, A., & Plomin, R. (2006). Prosocial behavior from early to middle childhood: Genetic and environmental influences on stability and change. Developmental Psychology, 42(5), 771-786. Latané, B., & Rodin, J. (1969). A lady in distress: Inhibiting effects of friends and strangers on bystander intervention. Journal of Experimental Social Psychology, 5(2), 189202. Liebert, R. M., Fernandez, L. E., & Gill, L. (1969). Effects of a “friendless” model on imitation and prosocial behavior. Psychonomic Science, 16(2), 81-82. Meery, S. (2016, Juli 4). Kitty Genovese murder: The real story of the woman killed 'in front of 38 witnesses' in Queens in 1964. The Washington Post. Retrieved from 37
http://www.independent.co.uk/news/world/americas/kitty-genovese-murder-the-realstory-of-the-woman-killed-in-front-of-38-witnesses-in-queens-in-1964a7118876.html McGuire, A. M. (1994). Helping behaviors in the natural environment: Dimensions and correlates of helping. Personality and Social Psychology Bulletin, 20(1), 45-56 Nadler, A. (1991). Help-seeking behavior: Psychological costs and instrumental benefits. In M. S. Clark (Ed.), Review of personality and social psychology, Vol. 12. Prosocial behavior (pp. 290-311). Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Nancy Eisenberg. (n.d). Retrieved from https://psychology.clas.asu.edu/content/nancyeisenberg.
i t a
n o
Penner, L. A., Fritzsche, B. A., Craiger, J. P., & Freifeld, T. R. (1995). Measuring the prosocial personality. Advances in personality assessment, 10, 147-163.
il c
Penner, L. A., Dovidio, J. F., Piliavin, J. A., & Schroeder, D. A. (2005). Prosocial behavior: Multilevel perspectives. Annu. Rev. Psychol., 56, 365-39
b u
Purnamasari, A., Ekowarni, E., & Fadhila, A. (2004). Perbedaan intensi prososial siswa SMUN
dan
MAN
di
Yogyakarta. Humanitas
Journal, 1(1), 32-42.
P r
Indonesian
Psychological
Ruth, N. (2017). “Heal the World”: A field experiment on the effects of music with prosocial
o F
lyrics on prosocial behavior. Psychology of Music, 45(2), 298-304. Safrilsyah, S., Jusoff, K., & Fadhil, R. (2009). Prosocial Behavior Motivation of Acheness
t f a
Volunteers in Helping Tsunami Disaster Victims. Canadian Social Science, 5(3), 50-55.
r D
Septianto, F., & Soegianto, B. (2017). Being moral and doing good to others: Re-examining the role of emotion, judgment, and identity on prosocial behavior. Marketing Intelligence & Planning, 35(2), 180-191. Schroeder, D. A., & Graziano, W. G. (2018). Prosocial behavior. In T. D. Nelson (Eds.), Getting grounded in social psychology: The essential literature of beginning researcher. (pp 245-285) New York: Routledge. Suprihatin, I. (2014). Perubahan perilaku bergotong royong masyarakat sekitar perusahaan tambang
batu
bara
di
Desa
Mulawarman,
Kecamatan
Tenggarong
Seberang. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Kutai Kartanegara.
38
Trommsdorff, G., Friedlmeier, W., & Mayer, B. (2007). Sympathy, distress, and prosocial behavior of preschool children in four cultures. International Journal of Behavioral Development, 31(3), 284-293. Trivers, R. L. (1971). The evolution of reciprocal altruism. The Quarterly review of biology, 46(1), 35-57. Wisharti, R. (2015, Desember 24). Umat Islam dan Kristen tunjukkan toleransi di hari raya. BBC Indonesia. Retrieved http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/ 12/151224_indonesia_toleransi_agama
r D
t f a
o F
P r
b u
il c
i t a
n o
39
Glosari: Altruisme: bentuk atau motivasi dari perilaku prososial, ditandai dengan tindakan sukarela tanpa mengharap imbalan, lebih disebabkan oleh faktor internal. Altruisme resiprokal: anggapan bahwa saat kita menolong orang lain, maka mereka suatu ketika juga akan menolong kita. Causal helping: bentuk pertolongan/bantuan kecil dan sederhana yang sering kali dilakukan pada pada perkenalan biasa. Diffusion of responsibility: suatu kondisi yang terjadi pada saat peritiwa genting/darurat dimana semakin banyak orang yang melihat kejadian (bystander atau penonton) maka semakin kecil kemungkinan keinginan menolong terjadi.
i t a
n o
Egoistik: motivasi dari perilaku prososial, membantu orang lain karena adanya usaha untuk mencapai keuntungan pribadi, terdapat pertimbangan cost-reward.
il c
Egosentric empathic distress: tahap kedua perkembangan empati-prososial, ditandai dengan empati yang berpusat pada diri sendiri ketika dihadapkan dengan distres orang lain,
b u
misalnya merepon kesedihan bayi lain dengan ikut terlihat sedih (mengerutkan bibir, hingga menangis).
P r
Emotional helping: bentuk pertolongan/bantuan yang biasanya ditawarkan untuk menyelesaikan masalah emosi personal.
o F
Emergency helping: bantuan pertolongan/bantuan yang biasanya diberikan pada suatu kondisi yang berbahaya dan tak terkontrol.
t f a
Empati: cara merespon distres (tekanan) orang lain dengan memiliki emosi yang sama dengan orang tersebut
r D
Empati global: tahap pertama perkembangan empati-prososial, respon emosi pada bayi yang baru lahir ditandai dengan respon reaktif terhadap tangisan bayi lain. Face-saving: usaha untuk menutupi rasa malu, agar tidak kehilangan muka. Hereditas: faktor keturunan, genetik. Hubungan komunal (communal relationship): kebalikan dari hubungan pertukaran, hubungan yang didasarkan pada pentingnya komunal, kolektif, dan berkelompok, kurang mementingkan cost dan rewad, teori Clark dan Mills. Hubungan pertukaran (exchange relationship): hubungan yang didasarkan pada pertukaran untuk kesimbangan cost (biaya) dan reward (imbalan), teori Clark dan Mills. Inclusive fitness atau kecocokan inklusif: kondisi dimana orang-orang melakukan perilaku prososial untuk menyelamatkan kelangsungan gen ke generasi baik dengan
40
melakukan kecocokan/kesesuaian secara langsung (menyelamatkan diri sendiri) atau tidak langsung (menyelamatkan keluarga). Kin selection (seleksi keluarga): proses yang muncul dari kecocokan inklusif, berusaha menguntungkan pihak tertentu yang memiliki kesamaan genetik (satu keluarga). Mirror system: kegiatan observasi terhadap orang lain yang melakukan aktivitas. Negative state relief: hipotesis yang menjelaskan orang melakukan pertolongan agar mengurangi perasaan negatif atau tidak menyenangkan, sehingga setelah menolong mood-nya akan berubah. Quasi-egocentric empathic distress: tahap ketiga perkembangan empati-prososial, bayi
n o
berusaha membantu bayi lain yang mengalami kondisi distres, sudah dapat membedakan antara respon diri dan orang lain.
i t a
Pluralistic ignorance: kondisi yang membuat orang-orang membiarkan suatu peristiwa
il c
darurat terjadi, karena semua orang merasa tidak mengerti tentang apa yang terjadi, pikiran bahwa keadaan darurat tidaklah serius dan masing-masing orang
b u
menafsirkan kondisi tergantung pada orang lain.
Perilaku prososial: setiap bentuk tindakan sukarela untuk menolong orang lain sehingga
P r
memberi manfaat positif bagi si penerima bantuan dan mungkin tidak memberi manfaat langsung pada si pemberi pertolongan.
o F
Perspective-taking: pengambilan perspektif atau sudut pandang dari orang lain. Reciprocal altruism theory: altruisme timbal-balik, terjadi ketika ketika menolong atau
t f a
keuntungan orang lain, maka kita juga akan mendapat pertolongan atau keuntungan dari orang yang ditolong.
r D
Simpati: cara merespon distres (tekanan) orang lain dengan merasakan kesedihan atau kepedulian orang lain. Subtantial personal helping: bentuk pertolongan/bantuan yang biasanya memberi manfaat nyata, contohnya bantuan dari teman. Sukarela (Volunterism): kegiatan menolong yang ditujukan pada orang atau kelompok yang mengalami kesusahan, disertai dengan pengorbanan akan sumber daya yang dimiliki penolong. Theory of Mind: kegiatan untuk memberikan pemaknaan akan tindakan. Tragedy of the Commons: tragedi kepemilikan bersama, Garret Hardin, cerita tentang warga desa yang mengalami dilema konflik kepentingan.
41
Veridical empatic distress: tahap keempat perkembangan empati-prososial, bayi mempunyai kepekaan terhadap perasaan orang lain lebih baik, dapat memahami perspektif orang lain.
r D
t f a
o F
P r
b u
il c
i t a
n o
42
Indeks: Altruisme 3, 7, 16 Amigdala 8 Big five personality 11 Bystander 4, 5, 14, 24, 32 Causal helping 4 Egoistik 11, 15 Egosentric empathic distress 22 Emotional helping 4 Emotional core 9 Emergency helping 4 Empati 11, 18, 22-23 Global empati, 22 Face-saving 13 FMRI 8 Friendless 26 Hereditas 8 Help-seeking 17 Hipolamus 8 Hipotesis kontak 20
t f a
o F
P r
b u
il c
i t a
n o
Hubungan pertukaran (exchange relationship) 13 Hubungan komunal (communal relationship) 13
r D
Inclusive fitness 6 Kin selection 6
Kolektivisme 16 Laktasi 8 Lobus frontal 8 Oksitosin 8
Quasi-egocentric empathic distress 22 Perilaku prososial 1 Pluralistic ignorance 5, 25 Perspective taking 9 Prinsipisme 17 Reciprocal altruism theory 7 43
Indirect reciprocity 7 Direct reciprocity 7 Religiusitas 27-28 Simpati 3, 9 Sukarela (Volunteerism) 3, 19 Social exclusion (pengucilan sosial) 14 Mirror system 7 Subtantial personal helping 4 Theory of Mind 7 Tragedy of the Commons 20 Veridical empatic distress 23 Zigot 8 Monozigot 8 Dizigot 8
r D
t f a
o F
P r
b u
il c
i t a
n o
44
Muhammad Abdan Shadiqi lahir di Angkinang (Kalimantan Selatan) pada 23 Februari 1991. Pada tahun 2012, menyelesaikan S1 Psikologi di Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin. Setelah lulus, bekerja di Prodi Psikologi (ULM) sebagai tenaga pengajar dan tenaga kependidikan, kemudian pada 2015 mendapatkan beasiswa percepatan S2 ke S3 dari Menristekdikti, yakni PMDSU (Program Magister menuju Doktoral untuk Sarjana Unggul). Pada tahun 2017 telah menyelesaikan kulah S2 bidang Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, dan saat ini masih melanjutkan studi S3-nya di Universitas Indonesia (UI), Depok. Saat ini aktif sebagai pengurus Ikatan Psikologi Sosial – Himpunan Psikologi Indonesia (IPS-HIMPSI) bagian publikasi dan komunikasi, serta menjadi peneliti di Laboratorium Psikologi Politik F. Psikologi UI. Selain itu, ia menjadi asisten editor di Jurnal Makara Hubs-Asia UI; administrator di Jurnal Psikologi Sosial IPS-HIMPSI; dan editor di Jurnal Ecopsy ULM. Minat studinya adalah berkaitan dengan psikologi sosial dan politik, khususnya pada tema penelitian pergerakan sosial dan aksi kolektif, perilaku politik, dan isu politik-keagamaan. Untuk kebutuhan korespondensi dapat menghubungi penulis melalui email:
[email protected].
r D
t f a
o F
P r
b u
il c
i t a
n o
45
View publication stats