BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lembaga Perbankan Syariah
2.1.1 Pengertian Dalam undang-undang nomor 10/16/PBI/2008 pasal 1 pengertian Bank Syari'ah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syari'ah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syari'ah dan bank pembiayaan rakyat
syariah.
Didalam oprasionalisasinya bank islam harus mengikuti atau berpedoman kepada praktek-praktek usaha yang dilakukan di zaman Rasulullah Saw, bentuk-brntuk usaha yang telah ada sebelumnya tetapi tidak dilarang oleh Rasul atau bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad para ulama yang tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan AlHadist. Pada umumnya yang dimaksud dengan bank syari'ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain alam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syari'ah.Heri Sudarsono (2005 ; 27)
2.1.2
Fungsi dan Peran Bank Syari'ah Fungsi dan peran bank syari'ah yang diantaranya tercantum dalam
Pendahuluan Pedoman Akuntansi Syari'ah Indonesia (PAPSI) 2003, adalah sebagai berikut : 1.
Manajer Investasi Bank syari'ah dapat mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi.
2.
Investor Bank syari'ah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan syari'ah. Keuntungan yang diperoleh dibagi secara proporsioal sesuai nisbah yang disepakati anatara bank dan pemilik dana.
3.
Penyedia Jasa Keuangan dan lalu lintas pembayaran. Bank Syari'ah dapat melakukan kegiatan jasa-jasa layanan perbankan seperti bank non-syari'ah sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Syari'ah.
4.
Pengemban Fungsi Sosial Bank Syari'ah dapat memberikan pelayanan sosial dalam bentuk pengelolaan dana zakat, infaq, shadaqah serta pinjaman kebajikan (qardhul hasan) sesuai ketentuan yang berlaku.
2.1.3
Tujuan Bank Syari'ah Dalam Undang-undang RI No. 10 Tahun 1998, tentang perubahan Undang-
undang RI No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dapat disimpulkan bahwa sistem perbankan syari'ah dikembangkan dengan tujuan antara lain sebagai berikut : 1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. 2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. 3. Kebutuhan akan produk dann jasa perbankan unggulan. Menurut Heri Sudarsono (2003 ; 40), bahwa "Bank Syari'ah mempunyai beberapa tujuan-tujuan yang pada dasarnya unttuk mensejahterakan masyarakat muslim". Tujuan tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk ber-muamalat secara islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis usaha perdagangan lain yang mengandung unsur gharar (tipuan), dimana jenis usaha tersebut dilarang dalam islam dan telah menimbulkan dampak negatif terhadapkehidupan ekonomi rakyat. 2. Untuk menciptakan suatu keadilan dibidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang terlalu besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana.
3. Untuk meningkatan kualitas hidup umat dengan membuka peluang berusaha lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha. 4. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program utama dari Negara-negara yang sedang berkembang. 5. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. 6. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank nonsyari'ah.
2.1.4
Ciri - Ciri Bank Syari'ah Ciri – ciri Bank Syari’ah menurut M. Syafii Antonio (2001 : 34) antara lain
sebagai berikut. 1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja. 2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli atau sewa. 3. Profit dan falah oriented. 4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan. 5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatma Dewan Pengawas Syariah.
2.2
BPR Syari'ah
2.2.1
Pengertian BPR Syari'ah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menutut Undang-Undang (UU) Perbankan
No. 7 tahun 1992, Pasal 1 ayat 3 adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sedangkan pada UU Perbankan No. 10 tahun 1998, disebutkan bahwa “Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksankan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
tidak
memberikan
jasa
dalam
lalu
lintas
pembayaran.”
BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam hal ini, secara teknis BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR konvensional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah terutama bagi hasil.
2.2.2
Tujuan BPR Syari'ah
Terdapat beberapa tujuan yang dikehendaki dari berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Di bawah ini disampaikan tujuan-tujuan tersebut beberapa sumber hanya menyebutkan butir-butirnya saja (Sudarsono, 2004:85), keterangan tiap-tiap butir ditambahkan oleh penulis. 1. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama kelompok masyarakat ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan. Sasaran utama dari BPRS adalah umat Islam yang berada di pedesaan dan di tingkat kecamatan. Masyarakat yang berada di kawasan tersebut pada umumnya ternasuk pada masyarakat golongan ekonomi lemah. Kehadiran BPRS bisa menjadi sumber permodalan bagi pengembangan usaha-usaha masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahtertaan mereka. 2. Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi. Kehadiran BPRS di kecamatan-kecamatan ikut memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat yang memiliki potensi perbankan, baik dalam permodalan maupun dalam hal tenaga ahli. Sehingga semakin banyaknya BPRS di kecamatan-kecamatan maka akan semakin banyak pula tenaga yang terserap disektor perbankan. Selain itu, pembiayaanpembiayaan yang disalurkan BPRS bagi masyarakat membuka peluang usaha dan kerja yang semakin luas, maka pada gilirannya kehadiran BPRS akan menjadi penghambat bagi lajunya urbanisasi.
3. Membina ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai. Hal ini mengandung makna bahwa dalam BPRS ditumbuhkan nilai ta’awun (saling membantu) antara pemilik modal dengan pemilik pekerjaan. Dengan nilai ta’awun inilah akan tumbuh kebersamaan antara bank dan nasabah yang merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan Ukhuwah Islamiyah. Melalui kebersamaan tersebut usaha-usaha yang yang dilakukan masyarakat dengan modal yang diberikan oleh BPRS bisa meningkatkan pendapatan masyarakat, maka pada tingkat yang lebih tinggi akan pula meningkatkan perkapita baik lokal maupun nasional. Djazuli dan Yadi Janwari menjabarkan tiga tujuan diatas menjadi lima tujuan, yaitu (Djazuli, 2002: 108) : 1) Meningkatkan
kesejahteraan
ekonomi
umat
Islam,
terutama
masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumya berada di daerah pedesaan. 2) Meningkatkan pendapatan per kapita. 3) Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan. 4) Mengurangi Urbanisasi. 5) Membina semangat Ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi.
Untuk mencapai tujuan operasionalnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
tersebut diperlukan strategi operasional. Pertama, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik. Kedua, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil. Terakhir, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi pembiayaan.
2.2.3
Usaha - usaha BPR Syari'ah
1. Menghimpun dana masyarakat dalam bentuk : a. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah. b. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah. 2. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan : a. Prinsip jual beli (murabahah, istishna’, salam) b. Prinsip sewa menyewa (ijarah) c. Prinsip bagi hasil (mudharabah, musyarakah) d. Prinsip kebajikan (qardh) 3. Menempatkan dana dalam bentuk giro, tabungan, deposito pada bank syariah lain. 4. Melakukan kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan UU Perbankan dan prinsip syariah. (Mengenal BPR Syari’ah, www.bi.go.id).
2.3
Pembiayaan
2.3.1
Pengertian Pembiayaan. Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak
kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan (Muhamad IV, 2005 : 17). Pasal 1 ayat (12) UUP menyatakan: Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
2.3.2
Jenis - jenis pembiayaan.
Menurut Undang – undang No. 21 Tahun 2008, tentang Perbankan Syariah, Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.
2.4
Ijarah
2.4.1
Pengertian Ijarah Menurut Habib Nazir & Muh. Hasan (2004 : 246) Ijarah berarti sewa, jasa
atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Ijarah (sewa menyewa) merupakan mekanisme syariat dalam mengelola lahan yang dimiliki oleh negara tau milik pribadi untuk disewakan (dikontrakkan). Perjanjian dalam kontrak menyewa lahan ini harus ditentukan jangka waktunya dan ditentukan secara spesifik keperluannya. Dalam masa kontrak lahan tersebut si pemilik kontrak tetap memiliki asset yang mereka (dia) bangun selama kontrak. Maka apabila kontrak berakhir, pengontrak tetap diperkenankan memiliki pohon yang telah ditanamnya atau bangunan yang dikembangkannya. Kecuali ada perjanjian sebelumnya dimana pengontrak dapat memindahtangankan bangunan dan pohon yang mereka tanam, si pemilik tanah dapat membongkar bangunan atau mencabut pohon yang ditanam di lahan tersebut di akhir periode kontrak jika pemilik tanah menghendaki, atau si pemilik tanah dapat membayar bangunan dan pohon yang ditanam tersebut.(Pasal 531. Kitab undang-undang hukum perdata Islam. Kitab ini merupaka terjemahan dari Majalla al-Ahkam al-Adaliyyah (The Ottoman Court Manual), diterjemahkan
oleh H.A. Djazuli dkk. Kiblat Press Bandung 2002). Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa. Dalam Hukum Islam ada dua jenis ijarah, yaitu : a. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang mempekerjakan disebut mustajir, pihak pekerja disebut ajir dan upah yang dibayarkan disebut ujrah. Ascarya (2007 : 99). b. Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) pada bisnis konvensional. Pihak yang menyewa (lessee) disebut mustajir, pihak yang menyewakan (lessor) disebut mu’jir/muajir dan biaya sewa disebut ujrah. Ijarah bentuk pertama banyak diterapkan dalam pelayanan jasa perbankan syari’ah, sementara ijarah bentuk kedua biasa dipakai sebagai bentuk investasi atau pembiayaan di perbankan syari’ah
2.4.2
Landasan Syari'ah Ijarah sebagai suatu transaksi yang sifatnya saling tolong
menolong mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Konsep ini mulai dikembangkan pada masa Khlaifah Umar bin Khathab yaitu ketika adanya sistem bagian tanah dan adanya langkah revolusioner dari Khalifah Umar yang melarang pemberian tanah bagi kaum muslim di wilayah yang ditaklukkan. Dan sebagai langkah alternatif adalah membudidayakan tanah berdasarkan pembayaran kharaj dan jizyah. Dalam Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syari’ah (2001 : 54). Adapun yang menjadi dasar hukum ijarah adalah : a. Al-Qur'an surat al-Zukhruf : 32 Yang artinya : Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagaian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagaian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan . b. Al-Qur’an surat al-Baqarah : 233 : Yang artinya : Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. c. Al-Qur’an surat al-Qashash : 26 : Yang artinya : Salah seorang dari kedua wanita itu berkata : Hai ayahku! Ambilah ia sebagai orang yang bekerja pada (kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. c. Hadis riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada : Artinya : Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering. d. Hadis riwayat Abd.Razaq dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada : Artinya : Barangsiapa yang mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.
e. Hadis riwayat Abu Dawud dari Saad bin Abi Waqqash, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada : Artinya : Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil
pertaniannya, maka Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak. f. Hadis riwayat Tirmizi dari Amr bin Auf, bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabada : Artinya : Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. g. Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa. h. Kaidah fiqh Artinya : Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalilyang mengharamkannya. i. Kaidah fiqh Artinya : Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.
2.4.3
Syarat dan Rukun Ijarah
1. Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah : a. Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa), adalah pihak yang
menyewa aset dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset. b. Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan) dan ujrah (harga sewa). c. Sighat yaitu ijab dan qabul. Ascarya (2004 : 99). 2. Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam, sebagai berikut : a. Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak. b. Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa. c. Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku. d. Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir. Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSNMUI/ IV2000 tanggal 13 April 2000 Tentang Pembiayan Ijarah ditetapkan6:
1. Rukun dan Syarat Ijarah : a. Pernyataan ijab dan qabul. b. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak) : terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, Lembaga Keuangan Syariah) dan penyewa Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (2001 : 55). (Lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah). c. Objek kontrak : pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset. d. Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah objek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri. e. Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset (lembaga keuangan syariah) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah). 2. Ketentuan Objek Ijarah : a. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa. b. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak. c. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
d. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah. e. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa. f. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah. h. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak. i. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak. 3. Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah : - Kewajiban Lembaga Keuangan Syariah sebagai pemberi sewa : a. Menyediakan aset yang disewakan. b. Menanggung biaya pemeliharaan aset.
c. Penjamin bila terdapat cacat pada aset yang disewakan. - Kewajiban nasabah sebagai penyewa : a. Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai dengan kontrak. b. Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan (materiil) Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dan penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
2.4.4
Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Hak dan kewajiban pemberi sewa atau pemberi jasa dan penyewa atau pengguna jasa menurut KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: KEP- 131/BL/2006 TENTANG AKAD-AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL 1) Hak dan kewajiban pemberi sewa atau pemberi jasa adalah: a) menerima pembayaran harga sewa atau upah (ujrah) sesuai yang disepakati dalam Ijarah;
b) menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan; c) menanggung biaya pemeliharaan barang yang disewakan; d) menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan; e) bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewakan yang bukan disebabkan oleh pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan atau bukan karena kelalaian Pihak penyewa; dan f) menyatakan secara tertulis bahwa pemberi sewa atau pemberi jasa menyerahkan hak penggunaan atau pemanfaatan atas suatu barang dan atau memberikan jasa yang dimilikinya kepada penyewa atau pengguna jasa (pernyataan ijab). 2) Hak dan kewajiban penyewa atau pengguna jasa adalah: a) manfaatkan barang dan atau jasa sesuai yang disepakati dalam Ijarah; b) membayar harga sewa atau upah (ujrah) sesuai yang disepakati dalam Ijarah; c) bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai yang disepakati dalam Ijarah; d) menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak material) sesuai yang disepakati dalam Ijarah; e) bertanggung jawab atas kerusakan barang yang disewakan yang disebabkan oleh pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan
atau karena kelalaian Pihak penyewa; dan f) menyatakan secara tertulis bahwa penyewa atau penerima jasa menerima hak penggunaan atau pemanfaatan atas suatu barang dan atau memberikan jasa yang dimiliki pemberi sewa atau pemberi jasa (pernyataan qabul).
2.4.5
Skema Ijarah