Bab8_penataan Taru Kaw Metro.pdf

  • Uploaded by: Adnan Adin Nugraha
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab8_penataan Taru Kaw Metro.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 3,894
  • Pages: 16
BAGIAN III PENATAAN RUANG KAWASAN METROPOLITAN

306

Metropolitan di Indonesia

Arahan Kebijakan Penataan Ruang

307

8 Arahan Kebijakan Penataan Ruang

PENDAHULUAN Perancanaan tata ruang di Indonesia sudah menjadi perhatian pemerintah sejak tahun 1980-an. Pada waktu itu perhatian terutama diberikan pada usaha untuk mengganti praktek perencanaan kota yang masih berlandaskan pada undang-undang yang dibuat pada masa pendudukan Belanda, yaitu SVO dan SVV1, sebagai suatu konsep perencanaan tata ruang (Spatial Planning). Diskusi mengenai tata ruang di Indonesia ini sudah termasuk sangat maju. Di Eropa, konsep tata ruang baru secara umum dipakai pada tahun 1990-an.: "Spatial planning refers to the methods used largely by the public sector to influence the future distribution of activities in space. It is undertaken with the aims of creating a more rational territorial organisation of land uses and the linkages between them, to balance demands for development with the need to protect the environment, and to achieve social and economic objectives. Spatial planning embraces measures to co-ordinate the spatial impacts of other sector policies, to achieve a more even distribution of economic development between regions than would otherwise be created by market forces, and to regulate the conversion of land and property uses." (European Commission 1997, Compendium of European Spatial Planning Systems, p.24)

Perencanaan tata ruang dibedakan dari perencanaan tata guna lahan yang biasa dipakai di Eropa (selain di Belanda dan Jerman yang sudah menggunakan istilah Ruijmtelijke planning atau Raumordnung). Dikatakan bahwa: 'Spatial planning goes beyond traditional land use planning to bring together and integrate policies for the development and use of land with other policies and programmes which influence the nature of places and how they function. This will include policies which can impact on land use, for example, by influencing the demands 1

Penjelasan yang lebih lengkap bisa dibaca di buku “Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang di Indonesia 1948-2000” Ditjen Penataan Ruang, Dep. Kimpraswil (2001)

308

Metropolitan di Indonesia

on or needs for development, but which are not capable of being delivered solely or mainly through the granting of planning permission and may be delivered through other means,' (ODPM, 2004, pp3).

Pengertian seperti di atas pun sudah digunakan di Indonesia; secara legal formal penataan ruang di Indonesia didefinisikan sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (pasal 1: UU 24- 1992). Jelas dalam proses ini termasuk kebijakan yang terintegrasi dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Namun demikian, pengertian yang tertulis dalam UU 24 tahun 1992 tersebut adalah berlaku umum untuk seluruh kawasan; tidak disebutkan secara khusus mengenai kawasan metropolitan. Bagaimana penataan ruang untuk kawasan metropolitan di Indonesia harus dilakukan? Dalam bagian ini akan dibahas terlebih dahulu, berdasarkan uraian dari babbab sebelumnya; definisi metropolitan di Indonesia; mengapa metropolitan perlu mendapat perhatian khusus; dan arah kebijakan dan strategi penataan ruang seperti apa yang harus dilakukan untuk kawasan metropolitan. DEFINISI METROPOLITAN DI INDONESIA Di bagian pertama buku ini dijelaskan bahwa kawasan metropolitan secara umum didefinisikan sebagai “satu kawasan yang mempunyai konsentrasi penduduk yang besar, kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu dan mencirikan ativitas kota”, dan jumlah penduduk kawasan tersebut melebihi 1 juta jiwa. Definisi umum tersebut digunakan dalam bagian pertama dan kedua buku ini semata-mata untuk mendapatkan gambaran bahwa di beberapa kawasan perkotaan di Indonesia telah terjadi fenomena kawasan metropolitan. Beberapa kawasan tersebut antara lain adalah Jabodetabekjur, Bandung dan sekitarnya, Mebidang, Kedungsepur, Mamminasata. Pembahasan mengenai kependudukan di Bab 5 dengan jelas menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di beberapa kawasan perkotaan di Indonesia mengalami lonjakan yang besar, terutama di beberapa kawasan di Jawa dengan Jabodetabekjur sebagai kawasan yang mengalami pertumbuhan paling cepat. Namun, apakah semua kawasan dengan ciri umum seperti itu adalah metropolitan? Bagaimana dengan Barlingmascakeb (Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen)? Apakah kawasan ini bisa dikatakan sebagai kawasan metropolitan? Kawasan tersebut berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa dan telah mengarah pada kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu, walaupun belum semuanya bercirikan aktivitas kota. Sebaliknya, bagaimana dengan Yogyakarta dan Denpasar yang penduduknya kurang dari 1 juta jiwa? Fenomena tersebut menunjukkan bahwa diperlukan definisi yang lebih tegas mengenai kawasan metropolitan untuk Indonesia. Dengan memperhatikan hal di atas dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, kawasan metropolitan di Indonesia dapat didefinisikan sebagai: “suatu kawasan dengan konsentrasi penduduk lebih besar dari 1 juta jiwa dan sebagian besar penduduknya bekerja di sektor non pertanian. Secara struktur, kawasan itu dapat terbentuk oleh satu atau beberapa pusat dengan konfigurasi menyebar atau berbentuk pita; Aktivitas ekonomi yang terjadi ditunjang oleh jaringan distribusi yang berada dalam satu kesatuan orientasi menuju pada kota inti yang menjadi pusat utama”.

Arahan Kebijakan Penataan Ruang

309

Memang tidak ada alasan yang kuat untuk menyatakan batasan jumlah penduduk, apakah 1 juta jiwa, 700.000 jiwa, 500.000 jiwa atau jumlah yang lain. Batasan penduduk 1 juta jiwa diambil lebih untuk kepraktisan untuk menyatakan bahwa kawasan tersebut adalah kota besar. Demikian juga mengenai sebagian besar penduduk bekerja disektor non pertanian sesuai dengan definisi kota yang ditentukan oleh BPS. Ciri utama metropolitan, selain dari jumlah penduduk dan jenis pekerjaan, adalah ciri mobilitas penduduk dan budaya kota – budaya cosmopolis – yang sulit diukur tetapi dapat dirasakan. Untuk kasus Denpasar misalnya, yang sudah merasakan budaya kota dan pengaruh budaya global, maka yang disebut kawasan metropolitan adalah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) dengan jumlah penduduk 1.581.215 jiwa (BPS Propinsi Bali, 2004) dan secara kultural telah menunjukkan aktivitas sebagai suatu kawasan metropolitan. Diskusi di bagian dua buku ini menggambarkan bahwa struktur tata ruang yang terbentuk karena berbagai aktivitas merupakan hal yang penting. Pertambahan penduduk yang signifikan seperti diuraikan di Bab 5 menunjukkan bahwa pola-pola konsentris telah lama ditinggalkan, pola yang terjadi adalah mengikuti jalan atau mengikuti tumbuhnya pusat-pusat baru. Gambaran pola ruang yang mengikuti sektor dan multi pusatlah yang terbentuk. Dari sisi ekonomi pembahasan pada Bab 5 menunjukkan bahwa dominasi ekonomi kota besar akan meluas dan akan terjadi pusat dan sub-pusat kegiatan ekonomi, dengan implikasi keruangan yang mengarah ke banyak pusat. Sementara itu, pembahasan di Bab 5 juga menunjukkan bahwa pengaruh budaya global cepat berkembang di kawasan metropolitan. Budaya ini mempunyai implikasi pada berkembangnya aktivitas-aktivitas yang mempunyai nilai global (mall, kafe-kafe) yang terkelompok pada beberapa pusat di kawasan metropolitan. Implikasi keruangan dari perumahan sebagaimana dibahas di Bab 6 juga menunjukkan bahwa dalam metropolitan akan terjadi segregasi keruangan yang jelas, ada perumahan untuk golongan menengah yang harus berbentuk rumah susun. Demikian juga pusat metropolitan karena harga lahan yang semakin mahal maka kecenderungan akan semakin mengefisienkan penggunaan lahannya dengan membangun perumahan yang vertikal. Bagian kedua buku ini juga telah membicarakan persoalan yang dihadapi oleh metropolitan di Indonesia. Ada metropolitan yang sudah ”jadi” seperti Jabodetabek, Membidang, ada yang masih dalam proses menjadi metropolitan seperti Metropolitan Bandung, Kedungsepur, Mamminasata, dan Yogyakarta. Di kedua tipe metropolitan tersebut persoalan latent yang sama harus dihadapi: kemacetan lalu-lintas, pengelolaan sampah, perumahan, dan menurunnya kualitas lingkungan alam walaupun dalam tingkat yang berbeda. Persoalan-persoalan tersebut jika tidak diantisipasi secara dini akan menjadi persolan yang nyata dan akan memerlukan biaya besar untuk menanggulanginya. Uraian-uraian di bagian dua buku ini juga menunjukkan implikasi keruangan yang terjadi dari persoalan-persoalan sektoral tersebut. Bagian pertama dan kedua buku ini juga menunjukkan adanya beberapa fenomena yang dihadapi kawasan metropolitan yang mesti mendapat perhatian khusus dalam penataan ruangnya. Fenomena tersebut antara lain adalah: 1. Penduduk metropolitan akan terus bertambah besar dan di beberapa kawasan metropolitan yang besar pertambahan penduduknya lebih cepat dari perkembangan

310

Metropolitan di Indonesia

kawasannya sehingga akan menjurus pada kepadatan yang lebih tinggi. Sementara pengabungan secara fungsional beberapa kawasan di dekatnya mengarah pada pada terbentuknya megalopolitan (misalnya Jabodetabekjur); 2. Kawasan metropolitan yang masih kecil mengalami perkembangan wilayah yang pesat dengan penggabungan beberapa kawasan di sekeliling kota inti menjadi satu kawasan metropolitan yang besar. 3. Luas kawasan metropolitan yang semakin bertambah besar memerlukan sistem infrastruktur yang terpadu, jaringan sarana dan prasarana transportasi yang lebih baik dan jangkauan pelayanan yang semakin luas dan besar. 4. Struktur metropolitan menunjukkan perubahan ke arah banyak pusat dengan perkembangan penduduk terutama di sepanjang jalan penghubung pusat-pusat aktivitas dalam metropolitan. 5. Terjadi segregasi perumahan yang mengarah pada pengelompokan sosial walaupun ditengarai terjadi perbaikan dalam luasan rumah; rumah dengan ukuran yang lebih besar meningkat, sementara rumah dengan ukuran kecil menurun. 6. Pengelolaan lingkungan menjadi semakin rumit karena luasan yang bertambah besar dan keterkaitan ekologis pada kawasan yang lebih luas. Persoalan ini terkait dengan pengendalian banjir, penyediaan air minum, dan pengelolaan sampah yang produksinya terus bertambah dan dalan kawasan yang semakin luas. 7. Penyediaan fasilitas umum, seperti sekolah, rumah sakit, dan ruang terbuka hijau dan fasilitas perkotaan lain, memerlukan perhatian yang besar seiring dengan pertambahan penduduk kawasan metropolitan. 8. Kawasan metropolitan mempunyai peran ekonomi yang signifikan dan terus meningkat baik di tingkat regional, propinsi, maupun nasional. 9. Kawasan metropolitan umumnya menyediakan peluang investasi dan lapangan pekerjaan yang lebih banyak daripada umumnya kawasan perkotaan atau perdesaan. 10. Kawasan metropolitan memberikan fasilitas pelayanan dan jasa yang lebih efisien, seperti sistem informasi, perbankan, jaringan pemasaran dan prasarana ekonomi lainnya yang lebih baik dibandingkan kawasan perkotaan atau perdesaan pada umumnya . ARAH KEBIJAKAN PENATAAN RUANG KAWASAN METROPOLITAN Dengan memperhatikan fenomena-fenomena dan peran kawasan metropolitan seperti disebutkan di atas, pertanyaan yang muncul adalah kebijakan penataan ruang seperti apa yang seharusnya dilakukan? Karena secara alamiah pembentukan kawasan metropolitan tersebut terus terjadi. Apakah harus dibatasi? Atau diarahkan? Sebelum menjelaskan kebijakan penataan ruang, ada baiknya dilihat perkembangan pendekatan dalam menangani masalah metropolitan di dunia. Perkembangan kota yang terus membesar di berbagai belahan dunia ini menumbuhkan suatu aliran yang disebut urbanisme. Aliran ini percaya bahwa kota

Arahan Kebijakan Penataan Ruang

311

memberikan berbagai keuntungan, dan merupakan proses alami bahwa kota akan terus berkembang. Kota-kota besar akan memberikan kesempatan kerja yang lebih banyak, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan berperan sebagai engine of growth suatu negara. Untuk menciptakan keadaan tersebut maka yang diperlukan adalah suatu penataan yang memungkinkan orang makin cepat bekerja; transportasi yang harus mampu menghubungkan berbagai aktivitas dengan baik sehingga memungkinkan kecepatan pencapaiannya (Talen 2005, Moule 2002). Namun, pengalaman juga menunjukkan bahwa kota yang semakin besar dan semakin cepat ini menimbulkan persoalan-persoalan lain. Secara sosial, penduduk kota menjadi semakin individualis, tergesa-gesa. Sementara itu, pertumbuhan kendaraan yang digunakan untuk menjamin kecepatan bahkan menyebabkan polusi udara dan suara sehingga udara kota menjadi semakin panas. Beberapa ahli yang berkumpul untuk menjawab persoalan ini pada akhir tahun 1990-an memperkenalkan aliran pemikiran baru yang dikenal sebagai ”new urbanism”. Pemikiran ”baru” ini melihat bahwa pertumbuhan kota sebaiknya tidak dibiarkan semakin meluas. Kredo-kredo yang diyakini oleh ”new urbanism” adalah slowness, inclusiveness dan legibility (Moule 2002). Slowness; tidak lagi cepat, tetapi perlahan. Manusia yang tinggal di kota sebaiknya bekerja di dekat tempat tinggalnya dalam sebuah ”compact city”. Pada kota metropolitan harus didesain pusat-pusat yang mewadahi aktivitas bekerja dan perumahan dalam kawasan guna campuran kredonya adalah inclusiveness semua orang harus mempunyai kesempatan yang sama. Orang bisa berjalan dengan tenang tanpa terganggu oleh polusi dan kendaraan bermotor yang lalu lalang. Kota harus terdiri dari beberapa pusat yang di antara pusat tersebut dihubungkan dengan sistem transportasi yang baik. Sementara legibility menuntut bahwa kota harus dapat memberikan kejelasan bagi masyarakat. Struktur yang jelas, struktur yang mampu membedakan pusat dan subpusat. Fungsi yang jelas tidak saling tumpang tindih sangat diperlukan sehingga masyarakat tidak bingung dalam menggunakan dan ”membaca” tata ruang perkotaan tempat mereka tinggal dan bekerja. Konsep ’new urbanism” memang keluar dari pengalaman kota-kota di Amerika yang telah lebih matang dan berkembang lebih dulu dan dalam luasan yang sangat besar jika dibandingkan dengan metropolitan di Indonesia. Sebagai suatu konsep penataan ruang, pendekatan slowness, inclusiveness, dan legibility itu patut dipertimbangkan untuk dapat digunakan pada kawasan metropolitan di Indonesia. Sebagaimana telah diindikasikan di pengantar buku ini, penataan ruang untuk kawasan metropolitan adalah mengaturnya dalam beberapa pusat dan sub-pusat yang memungkinkan adanya pembagian hierarkial aktivitas-aktivitas sosial ekonomi metropolitan. Hal ini penting untuk menjaga supaya tidak terjadi penumpukan aktivitas di satu kawasan saja. Penataan ruang harus diarahkan sedemikian sehingga suatu pusat dapat mempunyai fasilitas yang memadai untuk aktivitas sosial ekonominya dan yang proporsional terhadap kebutuhan pusat. Demikian juga di dalam sub-pusat terdapat fasilitas-fasilitas yang menunjukkan kejelasan fungsi pelayanannya. Untuk mencapai apa yang diiginkan tersebut maka kebijakan diarahkan pada perencanaan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruangnya.

312

Metropolitan di Indonesia

Perencanaan Tata Ruang Secara garis besar dapat dikatakan bahwa perencanaan ruang kawasan metropolitan, di samping mengikuti asas yang telah digariskan dalam UU no 24 pasal 2, harus pula memperhatikan 4 hal berikut: 1.

Kejelasan struktur;

2.

Kejelasan fungsi;

3.

Efisiensi pemanfaatan ruang;

4.

Kemudahan transportasi; dan

5.

Penyediaan fasilitas perkotaan yang memadai.

Kejelasan Struktur Penataan ruang kawasan metropolitan harus mampu menunjukkan struktur tata ruang yang jelas yang terbentuk karena adanya pusat dan sub-pusat kegiatan yang saling terkait dan dihubungkan oleh sistem tranportasi yang terpadu. Pusat dan sub-pusat mempunyai skala layanan yang harus dapat didefinisikan dengan baik. Pusat kawasan metropolitan, selain harus dapat melayani seluruh kawasan metropolitan tersebut, juga harus dapat melayani kebutuhan regional di luar kawasan metropolitan, bahkan nasional, karena tidak dapat disangkal bahwa kawasan metropolitan mempunyai peran yang sangat strategis di tingkat nasional. Sub pusat di kawasan metropolitan sebaiknya berupa kota satelit yang berfungsi untuk mendukung Pusat dalam pengembangan kawasan metropolitan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan tentunya lingkungan. Secara lebih jelas, struktur kawasan metropolitan tersebut diilustrasikan pada Error! Reference source not found. (hal. ix) dan GAMBAR 8 - 1.

GAMBAR 8 - 1 Ilustrasi Sub Kawasan Metropolitan yang Memiliki Kejelasan Struktur

Arahan Kebijakan Penataan Ruang

313

Kejelasan Fungsi Struktur perkotaan dalam kawasan metropolitan harus mempunyai kejelasan fungsi masing-masing, walaupun beberapa perkotaan dapat mempunyai fungsi yang sama. Fungsi tersebut antara lain dapat berupa pusat bisnis, pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat industri, pusat tempat tinggal (dormitory town), dan sebagainya. Kota pusat kawasan metropolitan biasanya menyandang fungsi sebagai pusat bisnis dan pemerintahan, sedangkan kota-kota lainnya dapat berfungsi sebagai dormitory town, pusat pendidkan, dan sebagainya. Dengan adanya kejelasan fungsi tersebut maka diharapkan akan terbentuk sinergi antar kota-kota tersebut, dan terdapat kejelasan arah pengembangan masing-masing kota tersebut. Secara internal, di masing-masing kota tersebut juga perlu membentuk struktur tertentu berupa pusat kota yang berfungsi untuk melayani kota secara keseluruhan, dan sub pusat yang berfungsi untuk melayani bagian wilayah kota.

GAMBAR 8 - 2 Ilustrasi Sub Kawasan Metropolitan yang Memiliki Kejelasan Fungsi

Efisiensi Pemanfaatan Ruang Keterbatasan ruang di kawasan metropolitan mengharuskan perencanaan penataan ruang harus memperhatikan keadilan. Ruang kota digunakan sesuai dengan nilai ruang yang terbentuk. Kawasan pusat kota misalnya, harus mempunyai kepadatan tinggi dan oleh karenanya jika untuk perumahan harus perumahan vertikal yang mampu mengakomodasi penduduk yang lebih banyak dan memungkinkan terjangkau dari berbagai tingkat ekonomi, tetapi pada saat yang sama mampu memberikan ruang terbuka hijau yang cukup. Dengan demikian, termasuk dalam efisiensi pemanfaatan ruang ini adalah penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai untuk menjaga keberlanjutan pembangunan.

314

Metropolitan di Indonesia

GAMBAR 8 - 3 Ilustrasi Kawasan yang Mencerminkan Efisiensi dalam Pemanfaatan Ruang

Kemudahan Transportasi Kejelasan struktur menuntut adanya kejelasan sistem jaringan trasportasi (sebagai ilustrasi, lihat GAMBAR 8 - 4 dan GAMBAR 8 - 5). Sistem jaringan transportasi yang jelas akan memudahkan mobilitas penduduk. Kemudahan transportasi juga terjadi jika ada pembagian fungsi ruang yang baik termasuk adanya fungsi campuran di pusat atau sub-pusat kegiatan kawasan metropolitan. Perencanaan dan pemaanfaatan ruang kawasan metropolitan tersebut harus lintas daerah dan menjadi acuan bagi daerah-daerah administratif yang menjadi bagian kawasan metropolitan tersebut. Kawasan metropolitan, walaupun terus bertambah besar, namun ruang yang tersedia hampir selalu kurang. Sementara itu, kawasan metropolitan yang besar juga peka terhadap perubahan lingkungan alamnya. Oleh sebab itu, pemanfaatan ruang kawasan metropolitan harus secara sadar dilakukan untuk mendapatkan keseimbangan lingkungan hidup sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat diciptakan.

Arahan Kebijakan Penataan Ruang

315

Arteri Primer

Kolektor primer Kolektor primer

Arteri Primer

Kolektor Primer Lokal primer

GAMBAR 8 - 4 Ilustrasi Sistem Jaringan Jalan Kawasan Metropolitan

Arteri Primer Arteri Sekunder Kolektor Primer

GAMBAR 8 - 5 Ilustrasi Sistem Jaringan Jalan di Sub Kawasan Metropolitan (Kota Satelit)

316

Metropolitan di Indonesia

Penyediaan Fasilitas Perkotaan yang Memadai Sesuai Hirarkinya Fasilitas perkotaan, baik berupa fasilitas pendidikan, maupun antara lain fasilitas kesehatan, fasilitas RTH, dan fasilitas perdagangan, perlu disediakan secara cukup di semua kota sesuai dengan hierarkinya. Secara diagramatis, struktur penyediaan fasilitas perkotaan tersebut dapat digambarkan seperti pada Error! Reference source not found. (hal. xii). Dukungan fasilitas yang memadai tersebut akan dapat menunjang setiap kotakota tersebut agar dapat berkembang sesuai dengan fungsinya masing-masing, dan dengan demikian diharapkan akan mendorong berkembangnya saling sinergi antar kotakota tersebut. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam pengendalian pembangunan, pendekatan negatif dan pendekatan positif. Pendekatan negatif dilakukan dengan cara membatasi pembangunan dengan arahan, baik yang bersifat ”discretionary” ataupun yang bersifat ”regulatory”. Sementara pendekatan positif dilakukan dengan cara pemerintah memulai pembangunan di kawasan yang sudah direncanakan kemudian baru diteruskan oleh swasta atau masyarakat. (Leung 1989; Pickvance dalam Paris 1982). Bentuk pendekatan negatif antara lain adalah dengan ”development control” seperti yang dilakukan di Inggris, atau dengan ”zoning regulation” seperti dilakukan di Amerika dan Kanada. Pendekatan development control di Inggris memberikan banyak keleluasaan (discretionary) pada pemerintah lokal untuk menentukan apakah suatu usulan pembangunan boleh dilaksanakan atau tidak. Sementara untuk zoning regulation di Amerika dan Kanada, pemerintah lokal harus mengacu pada aturan yang sudah dibuat sebelumnya. Bentuk pendekatan positif lebih disukai pada kawasan atau kota-kota yang mengalami perkembangan sangat pesat. Pendekatan positif misalnya dilakukan dengan melakukan investasi pada infrastruktur utama seperti jalan raya, infrastruktur dasar, dan sebagainya yang diharapkan akan mengarahkan pengembangan. Pendekatan ini biasa disebut sebagai priming decision (Chapin dan Kaiser 1979). Sementara secondary decision dibuat untuk pembangunan skala kecil di antara infrastruktur utama yang sudah dibuat tersebut, misalnya pembanguan perumahan, perkantoran, dan pertokoan. Banyak cara dilakukan untuk mengarahkan pembangunan ini misalnya dengan land assembly, capital work programming, development corporation, atau community improvement. Kedua konsep tersebut mempunyai keuntungan dan kelemahan. Konsep pengendalian positif dapat dilakukan jika pemerintah mempunyai dana yang cukup untuk memulai pembangunan apalagi kalau akan masuk pada “secondary decision”; pendekatan ini lebih bisa mengadopsi dan mengarahkan keinginan pasar (Pickvane di Paris 1982). Sementara itu, pendekatan negatif, baik dengan discretionary maupun dengan regulatory, sering kali dinilai kalah cepat oleh keinginan pasar dan mengakibatkan seringnya terjadi perubahan peraturan karena desakan pasar. Pengendalian seperti apa yang sebaiknya dilakukan untuk kawasan metropolitan? Secara konsepsual, pengendalian yang dilakukan harus dapat menjaga perencanaan dan pemanfaatan ruang yang telah dibuat terutama untuk menjaga kejelasan struktur ruang, kejelasan fungsi ruang, keadilan penggunaan ruang, dan kemudahan tranportasi. Dengan memperhatikan keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia, pendekatan pengendalian

Arahan Kebijakan Penataan Ruang

317

yang utama haruslah pendekatan negatif, walaupun di beberapa kasus dapat juga dilakukan dengan pendekatan positif. Pengendalian yang dilakukan juga harus dapat menjangkau persoalan lintas daerah administratif. STRATEGI Kawasan metropolitan selalu akan terdiri dari beberapa daerah administratif dan biasanya, satu daerah administratif yang secara luasan barangkali tidak terbesar, tetapi menjadi pusat orientasi aktivitas sosial dan ekonomi kawasan. Bersatunya beberapa daerah administratif ini seringkali menjadi masalah dalam pengelolaan, bukan saja karena ada perbedaan peraturan, tetapi sering kali karena kemampuan pendanaan dan kapasitas pemerintahannya berbeda. Jabodetabek misalnya, menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam kapasitas pendanaan. Pada anggaran daerah tahun 2006, misalnya, DKI Jakarta mempunyai APBD sekitar 17,9 triliun rupiah (Bappeda DKI 2006) untuk memberikan pelayanan pada 8,5 juta jiwa penduduknya (BPS DKI 2006); sementara Jawa Barat yang langsung bersebelahan dengan DKI Jakarta mempunyai APBD sebesar 4,1 triliun rupiah (Bappeda Jabar 2006) untuk penduduk sebanyak 35 juta jiwa (BPS Jabar 2006). Keadaan tersebut menggambarkan ketidakseimbangan anggaran pembangunan antar daerah administratif dalam suatu kawasan metropolitan, yang pada akhirnya menunjukkan ketidakseimbangan dalam kemampuan untuk menyediakan fasilitas pelayan publik, seperti air bersih, jalan, transportasi, dan fasiltas pelayanan lain. Sementara itu, keadaan lingkungan alam sebagian Propinsi Jawa Barat akan mempunyai pengaruh besar terhadap keadaan lingkungan alam DKI. Kerusakan lingkungan di Kabupaten Cianjur dan Bogor misalnya akan dapat menyebabkan banjir besar di DKI Jakarta. Keadaan yang sama juga terjadi di kawasan metropolitan lain. Tabanan di kawasan metropolitan Sarbagita di Bali misalnya harus tetap dijaga kelestarian lingkungannya karena daerah ini menyediakan air dan beras untuk Denpasar yang menjadi kota induk. Ketidakseimbangan kapasitas, termasuk didalamnya kapasitas manusia dan kapasitas keuangan antar daerah dalam kawasan metropolitan, adalah karakter yang terlihat pada metropolitan di Indonesia sampai saat ini. Karakter lain yang juga penting adalah keberagaman antar daerah, terutama dalam tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dengan melihat keadaan seperti di atas maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa potensi dan persoalan di kawasan metropolitan dapat dilihat sebagai cerminan dari potensi dan persoalan negara. Jika dianalogkan dengan ungkapan Jane Jacobs (Jacobs 1965) “. If city’s streets look interseting, the city looks intersting”. Jika ingin melihat pengelolaan kota yang baik maka lihatlah jalan-jalan di kota tersebut; jika jalan tertata rapi dan orang dapat berjalan dengan aman, berarti kota dikelola dengan baik. Untuk kawasan metropolitan dapat diungkapkan sebagai berikut: “Jika ingin melihat keberhasilan pengelolaan suatu negara, lihatlah keadaan kawasan metropolitannya; jika kawasan metropolitan tertata dengan baik, berarti negaranya pun dikelola dengan baik”. Keberhasilan dalam mengelola kawasan metropolitan dengan baik akan menunjukkan keberhasilan dalam mengelola negara. Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan di bagian satu dan bagian dua, kawasan metropolitan akan terus berkembang. Tanpa pengelolaan yang baik maka

318

Metropolitan di Indonesia

perkembangan kawasan akan menjadi tidak terarah dan akan berakibat pada menurunnya kualitas hidup di perkotaan; kota tidak lagi menjadi liveable, tidak lagi competitive. Ada dua strategi yang dapat dilakukan dalam jangka menengah yang bertujuan untuk mengarahkan perkembangan kawasan metropolitan ke arah pengembangan yang berkelanjutan dan dapat memberikan nilai positif yang lebih besar, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Kedua strategi tersebut adalah: • Mengarahkan perkembangan dengan penataan ruang terpadu • Mengelola pertumbuhan dengan kelembagaan dan peraturan yang efektif Mengarahkan Perkembangan dengan Penataan Ruang yang Terpadu Penataan ruang mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti penataan fisik saja. Akan tetapi, juga berarti integrasi kebijakan, pemanfaatan lahan, dan program pembangunannya. Dengan kata lain, Jones (di Albrecht dkk. 2001) misalnya mengatakan: Spatial planning aims to provide coherence and coordination of policy making for the variety of authorities and agencies that may need to take spatial decisions and provide guidance and greater certainty for private sector development.

Penataan ruang kawasan metropolitan akan dapat mengarahkan perkembangan dalam bentuk banyak pusat dan memastikan bahwa di tiap pusat ataupun subpusat mempunyai fasilitas pelayanan yang mencukupi sesuai dengan skala layanannya. Penataan ruang juga bertujuan mengintegrasikan perencanaan pembangunan antar daerah dalam kawasan metropolitan sehingga terjadi kesinambungan didalam penyediaan infrastruktur dasar. Penyediaan sarana dan prasarana transportasi dapat menerus dan terintegrasi di antara beberapa daerah dalam kawasan metropolitan. Dengan demikian, penataan ruang ini akan mencakup aktivitas-aktivitas: •

Mengelompokan atau memisahkan aktivitas dalam kawasan metropolitan



Mengatur dan menetapkan kepentingan suatu pusat atau sub-pusat



Mengembangkan visi pengembangan banyak pusat di kawasan metropolitan

Mengelola Pertumbuhan dengan Kelembagaan dan Peraturan yang Efektif Ada dua hal yang penting dalam pengelolaan kawasan metropolitan untuk dapat meyakinkan bahwa penataan ruangnya dapat berjalan dengan baik. Kedua hal tersebut adalah kelembagaan dan peraturan. Kelembagaan terutama bertujuan mendapatkan kesepakatan secara terorganisasi untuk mencapai tujuan pembangunan yang mengakomodasikan kepentingan bersama. Pembahasan di Bab 6 dan Bab 7 buku ini mengindikasikan perlunya kelembagaan yang memungkinkan pengelolaan kawasan metropolitan dapat berjalan baik, terutama dalam pelaksanaan penataan tata ruangnya. Kelembagaan yang disiapkan sebaiknya adalah lembaga yang berbentuk badan yang otonom dan dalam bentuk suprakomunalitas. Lembaga tersebut sebaiknya tidak hanya berbentuk badan koordinatif, tetapi bisa mempunyai kewenangan mengambil keputusan perencanaan tata ruang kawasan metropolitan yang akan menjadi payung bagi perencanaan tata ruang di daerah yang berada dalam kawasan metropolitan.

Arahan Kebijakan Penataan Ruang

319

Lembaga tersebut harus pula didukung dengan peraturan-peraturan pembangunan dan pengendalian pemanfaatan tata ruang dengan pendekatan yang bersifat negatif dalam bentuk peraturan perizinan. Zoning regulation merupakan pilihan yang baik untuk pembangunan pada skala-skala yang lebih kecil sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan. Pada skala kawasan metropolitan, rencana tata ruang yang dibuat harus dapat mengikat, baik bagi aparat pemerintah maupun masyarakat. Dengan demikian, rencana tata ruang kawasan metropolitan yang meliputi beberapa daerah administratif dapat disahkan menjadi rencana yang berkekuatan hukum yang mengikat (statutory plan).

320

Metropolitan di Indonesia

Related Documents

Kaw Thar
April 2020 10
Kaw E Forum.docx
December 2019 10
Kaw Thar Story
June 2020 5
Kaw Thar Story
April 2020 5
Min Lu - Kant Kaw Ni
June 2020 10

More Documents from "weenyin"