BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pasca runtuhnya sistem pemerintahan Islam (kekhalifahan) Turki Utsmani pada 1924 dan masuknya dominasi negara-negara Barat sejak abad XVIII, muncul berbagai gerakan Islam modern seperti al Jama’ah al Islamiyah dan Jamaah Tabligh di anak benua India ; al Ikhwan al Muslimun, Hizb at Tahrir dan Salafiyah di negara-negara Arab ; partai Nizham, partai Refah, partai Keselamatan, gerakan an Nur dan gerakan tasawuf di Turki, serta gerakan-gerakan Islam lainnya di Afrika dan Asia. Gerakan-gerakan Islam tersebut merupakan jawaban alami terhadap kondisi umat Islam di berbagai belahan bumi pasca runtuhnya kekhalifahan dan digantikan dengan berdirinya negara sekuler Turki sebagai bagian intervensi barat terhadap dunia Islam setelah jatuhnya negara-negara muslim ke tangan imperalis barat (Thahhan, 2000:33). Gibb
dan
Cantwell
dalam
Mitchell
(2005)
mengatakan
dalam
perkembangan dunia Arab yang begitu cepat, dimulai dari gerakan Wahhabiyah pada akhir abad XVIII, al Ikhwan al Muslimun menampilkan diri sebagai gerakan massa dan terorganisasi yang pertama sepanjang sejarah kebangkitan Islam dan mewakili upaya masyarakat yang berorientasi kota untuk mengatasi kemunduran Islam di dunia modern. Menurut pandangan ini, al Ikhwan al Muslimun (al Ikhwan) merupakan perluasan sisi praktis dari gerakan-gerakan terdahulu seperti gerakan Wahhabi dan Pan Islamisme. Pendirian organisasi al Ikhwan oleh Hasan al Banna pada Dzu al Qo’dah 1347 tahun Hijriah atau bertepatan dengan bulan Maret 1928 di Ismailiyah, Mesir, dilatarbelakangi oleh kegelisahan beberapa warga yang bekerja di kamp Inggris atas kondisi keterpurukan masyarakat Mesir di bidang politik, sosial dan ekonomi. Hasan al Banna mengakomodasi berbagai gagasan dari mereka dan mencetuskan pendirian al Ikhwan (Mitchell, 2005:12). Sejak Inggris menduduki Mesir pada 14 September 1882 telah melakukan dominasi terhadap segala sistem masyarakat dan mengokohkan dengan
1
menghadirkan kekuatan militer dan pendudukan ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Kondisi tersebut memicu Revolusi 1919 yang bertujuan untuk menuntut kemerdekaan politik seutuhnya. Hasil dari revolusi tersebut yaitu berakhirnya proteksi Inggris terhadap Mesir dan menandai kemerdekaan Mesir berdasarkan Proklamasi 28 Februari 1922, meskipun Inggris menuntut syarat untuk menguasai empat bidang (ekonomi, politik, budaya dan pendidikan) secara mutlak. Keempat bidang itu merupakan jaminan yang melegitimasi Inggris untuk melakukan intervensi dalam segala persoalan internal Mesir; jaminan keberadaan tentara Inggris di Mesir; penguasaan atas tentara dan polisi Mesir; dan penguasaan ekonomi atas Terusan Suez dan Bank Negara. Inggris juga terus menerus melakukan intervensi dalam segala persoalan internal Mesir, seperti yang dilakukan oleh E. Lloyd, Komisaris Tinggi Inggris. terhadap Kabinet Nuhas pada tahun 1928, untuk memaksanya agar menerima kesepakatan dengan Inggris. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan deposisi kabinetnya. Selain itu, intervensi Inggris yang sangat mencolok pada masa pemerintahan Husain Siri tahun 1933 dengan dikeluarkannya Deklarasi Hour dimana pemerintah menentang dikembalikannya konstitusi 1923 dengan alasan bahwa konstitusi tersebut tidak dapat diterapkan. Inggris juga menguatkan legalitas kependudukannya atas Mesir dengan melakukan perjanjian 1936 dengan Nuhas. Hasil dari perjanjian itu mengakibatkan seluruh pelabuhan Mesir dalam Perang Dunia II di bawah kekuasaan Inggris. Intervensi ini mencapai puncaknya pada Februari 1942, ketika Inggris mengepung istana Faruq dengan panser-panser untuk memaksanya membentuk kabinet di bawah pimpinan Nuhas (Ruslan, 2000:144). Meskipun
Mesir
telah
memasuki
masa
diberlakukannya
sistem
parlememen berdasarkan Konstitusi 1923, akan tetapi masih menerapkan diktatorialisme di Mesir sebelum tahun 1952. keadaan ini berdasarkan dua faktor, yaitu : (1) konstitusi 1923 yang memberikan hak kepada raja untuk membubarkan majelis perwakilan secara mutlak, menagguhkan pengangkatannya, menentukan perdana menteri, juga melarang pengangkatan menteri yang tidak disetujuinya. Di
2
samping itu ia juga berhak melarang terbitnya undang-undang yang tidak disetujuinya, menentukan seperlima anggota senat, dsb, (2) partai-partai minoritas yang bertumpu sepenuhnya kepada raja untuk mendapatkan kekuasaan, sehingga raja memanfaatkannya untuk menekan perwakilan dan memandulkan kinerja konstitusi.(Ruslan, 2000:146) Pada masa awal pertumbuhan al Ikhwan, di Mesir telah terdapat berbagai gerakan sosial, diantaranya gerakan Wahabi, gerakan reformasi, gerakan liberalisme dan gerakan nasionalisme. Gerakan Wahhabi yang menekankan pengokohan aqidah dan akhlak sebagaimana digariskan oleh Islam namun kurang memperhatikan
masalah-masalah
peradaban
kontemporer
dan
tuntutan-
tuntutannya, serta kurang berusaha meningkatkan kehidupan intelektual, kecuali pada lingkup “ilmu-ilmu agama saja”. Gerakan reformasi / Pan Islamisme yang bertujuan merobohkan pilar-pilar sistem pemerintahan yang ada pada itu, agar bisa mengembalikan sistem politik di dunia Islam yang telah dirusak Barat terutama Inggris, memerangi paham materialism dan membangkitkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat luas. Gerakan yang dipelopori oleh al Afghani, dikembangkan lebih lanjut oleh Muhammad Abduh melalui pendekatan pendidikan melalui organisasi al Urwah al Wutsqo. Gerakan liberalisme yang muncul bersamaan dengan masuknya pengaruh pemikiran barat melalui pendudukan Inggris di Mesir. Inggris memiliki kepentingan untuk mempertahankan dominasi atas Mesir. Sebelum dan sesudah kelahiran al Ikhwan, jaringan pemikiran liberalisme di Mesir terwakili dalam wadah 1. Konfederasi Mesir. Hasan Al-Banna memberikan gambaran bahwa setelah 1925, konfederasi tersebut tidak akan menjadi sekuler, kecuali jika ia memberontak
terhadap
agama,
memerangi
tradisi-tradisi
yang
bernafaskan agama, dan didorong oleh pemikiran materialisme yang diambil dari Barat seutuhnya. 2.
sekolah-sekolah misi asing yang dijalankan sesuai dengan sistem pengajaran Barat berusaha
menyebarkan kebudayaan Barat dan
membangun generasi yang memiliki loyalitas dan tunduk kepadanya
3
3. kebebasan berpikir seperti yang dilakukan : (a) Salamah Musa, dalam bukunya Al-Yaum wa Al-Ghadd (terbit tahun 1927). Ia menekankan pentingnya akulturasi budaya Arab dengan barat dan mendukung westernisasi sebagai kemajuan budaya; (b) Ali Abdur-Raziq, dalam bukunya Al-Islam wa Ushul Al Hukm (terbit tahun 1925), menolak bila kekhalifahan, peradilan, atau jabatan-jabatan pemerintahan dan negara menjadi urusan agama, sekalipun hanya sebagian saja. Buku ini berhasil mempropagandakan dan memuluskan jalan bagi pemikiran sekuler; (c) Thaha Husain dalam bukunya Mustaqbal Ats-Tsaqafah fi Misri (terbit tahun 1938) mempropagandakan beberapa prinsip diantaranya membawa Mesir kepada peradaban barat dan menegakkan nasionalisme dan masalahmasalah pemerintahan berdasar atas budaya, bukan nilai-nilai agama Gerakan nasionalisme dipelopori oleh para propagandis arus liberalisme itu sendiri, diantaranya Luthfi As-Sayid, Thaha Husain, dan Salamah Musa. Arah pemikirannya sama seperti arah pemikiran liberalisme, ditambah propaganda kepada tradisionalisme Mesir dan ambisi menjadikan Mesir sebagai penyatu di antara mereka. gerakan ini membatasi kultur Mesir dalam batas-batas regional yang sempit. Jamaah al Ikhwan menantang
gerakan ini dengan menegaskan
afiliasi Arab dan Islam bagi Mesir, dan menjadikan konsepsi nasionalisme Mesir sebagai prinsip yang khas (Ruslan, 2000:151). Dalam ranah kepartaian, pada masa pertumbuhan al Ikhwan telah terdapat beberapa partai politik diantaranya partai al Ummah, partai al Wafd, partai al Ahrar ad Dusturiyun, partai al Ittihad dan partai Sya’ab. Partai al Ummah didirikan pada 1907 atas gagasan Ahmad Luthfi as Sayid mengenai pentingnya pengadaan media massa untuk komunikasi politk. Gagasan ini mendapat dukungan dari Inggris dengan memfasilitasi pembetukan partai al Ummah. Unsur penggerak partai ini terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok intelektual yang berorientasi Barat seperti ahmad Luthfi as Sayyid, Husein Haikal, dan Thaha Husein; dan kelompok bangsawan seperti Abdul Khaliq Tsarwat, Mahmud Sulaiman Pasya dan Hasan Pasya. Dalam perjalanan politiknya partai al Ummah beroposisi dengan partai al Wathoni. Partai al Wafd lahir dari Delegasi Mesir yang
4
dibentuk untuk menuntut hak-hak rakyat Mesir melalui perundingan dengan Komisi Tinggi Inggris untuk Mesir. Delegasi ini diketuai Saad Zaghloul sebagai ketua Dewan Legislatif. Namun dalam pelaksaannya, perundingan
tersebut
digunakan Inggris untuk menjebak para politisi Mesir dengan penangkapan dan pengasingan ke pulau Malta. Sejak peristiwa penangkapan tersebut, sebagian anggota delegasi mesir mendirikan partai al Wafd dan menggerakan aksi protes pada 1919. Pada masa selanjutnya partai menjadi oposisi bagi pemerintah. Partai al Ahrar Ad Dusturiyun lahir akibat keretakan dalam tubuh Delegasi Mesir mengenai sikap terhadap perundingan dengan Inggris, antara kubu Saad Zaghloul yang menolak perundingan dengan kubu Abdul Aziz Fahmi yang mendukung perundingan . Para pendukung perundingan mendirikan Partai al Ahrar ad Dusturiyun. Pembentukan partai ini juga mendapat dukungan Perdana Menteri Abdul Khalid Tsarwat. Partai ini cenderung kooperatif terhadap Inggris dengan alasan politik balas budi. Partai al Ittihad didirikan sebagai representasi kekuatan kaum bangsawan dalam politik untuk menjaga legitimasi raja dan kaum bangsawan. Partai ini didirikan oleh Hasan Nasy’at. Platform partai ini yaitu kesetiaan pada raja untuk stabilitas politik. Partai Sya’ab didirikan oleh Ismail Shidqi setelah ia memegang kendali pemerintahan pada 1930. Sama seperti partai al Ittihad, partai Sya’ab mendukung kaum bangsawan dan kooperif terhadap Inggris. Menurut pandangan Hasan al Banna, partai-partai tersebut ditumbuhkan oleh liberalisme barat yang masih mendominasi politik Mesir pada masa sebelum dan sesudah berdirinya al Ikhwan. Kelahiran al Ikwan sebagai jawaban atas kondisi politik tersebut. Selain itu, al Banna menyebutkan berbagai kondisi politik dan pemerintahan banyak masih berbenturan dengan program untuk mereformasi pemerintahan. Untuk menghindari konflik dengan pemerintah dn menjaga eksisteni organisasi, pada masa 1928-1948 al Ikhwan dapat menerima berbagai kebijakan yang mendukung nilai-nilai Islami yang universal dan tidak masuk dalam politik praktis yang penuh kepentingan Inggris didalamnya. Sehingga belum tampak ketegangan al Ikhwan dengan pemerintah (Abdul Aziz, 2007:23).
5
Kekuatan massa al Ikhwan umumnya berasal dari kalangan intelektual yang kritis terhadap iklim politik Mesir dan kalangan pekerja yang tidak puas terhadap sistem sosial yang diciptakan oleh imperalisme Inggris melalui tangan pemerintah. Selain itu, kekuatan massa al Ikwan juga berasal dari massa pendukung partai politik yang kecewa dengan partainya. Kekuatan ini tampak jelas saat aksi pada 1919 yang mengecam tindakan penangkapan Inggris terhadap delegasi Mesir (Ruslan, 2000:150). Ketegangan antara al Ikhwan dengan pemerintah mulai tampak sejak masa pemerintahan Perdana Menteri Husein Siri pada 1941, dimana Inggris memiliki kepentingan untuk pembubaran al Ikhwan. Namun upaya-upaya pembubaran tersebut tidak berjalan karena adanya perbedaan kepentingan di dalam pemerintahan. Pada tahun 1948, upaya pembubaran dapat terwujud dengan penyitaan kekayaan al Ikhwan, penangkapan anggotanya dan penutupan lembagalembaga publik dan unit usaha yang berafiliasi kepada al Ikhwan. Puncak dari ketegangan tersebut dengan terbunuhnya al Banna secara misterius pada 12 Februari 1949 oleh kaki tangan raja Faruq (Nu’man, 2004:23). Pada masa menjelang revolusi Mesir, 13 Januari 1954, al Ikhwan mendapat dukungan dari Gamal abdul an Nasser berupa kebebasan beraktivitas. Revolusi Mesir pun berhasil dengan memproklamirkan republik Mesir. Namun pasca revolusi, Nasser berubah haluan dengan menekan al Ikhwan melalui upaya pembubaran dan penangkapan anggota al Ikhwan. Sementara itu, lawan politik Nasser Muhammad Naguib berusaha meggalang kekuatan militer untuk melawan Nasser. Untuk menghadapi Naguib, Nasser melakukan rekonsiliasi dengan al Ikhwan. Rekonsiliasi hanya berjalan beberapa bulan. Setelah kekuatan politik Naguib berhasil dipatahkan, Nasser kembali melakukan penindasan terhadap al Ikhwan. Namun upaya tersebut tidak mudah karena kekuatan politik al Ikhwan sudah mengakar dalam masyarakat Mesir. Puncak dari penindasan terhadap al Ikhwan terjadi pada 1965 hingga 1966 dengan penangkapan massal dan brutal puluhan ribu anggota al Ikhwan. Puncak dari penindasan tersebut yaitu keputusan hukuman mati terhadap para petinggi al Ikhwan. Salah satunya Sayyid Quthub. (Nu’man, 2004:28)
6
Penindasan terhadap al Ikhwan mulai mereda saat lengsernya Nasser dengan penggantinya Anwar el Sadat pada 1970. Di bidang politik, Anwar mulai melakukan pendekatan kepada beberapa kelompok oposisi, terutama al Ikhwan. Yaitu dengan pembebasan tawanan politik al Ikhwan pada 1971 dan pemberian amnesti umum pada 1975. Ketegangan hubungan politik al Ikhwan dengan pmerintah kembali mencuat dengan tuntutan penerapan syariat ke dalam konstitusi Mesir dan sikap kritis terhadap sikap kooperatif Sadat terhadap Israel dalam konflik IsraelPalestina. Sikap kooperatif tersebut ditunjukkan dengan keterlibatan Sadat dalam perundingan Camp David pada september 1978. Hubungan politik tersebut berdampak besar bagi situasi politik khususnya Mesir dan Timur Tengah pada umumnya. Terutama dengan munculnya organisasi militan al Jihad dan terbunuhnya
Sadat
pada
1981
(en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_Muslim_Brotherhood_in_Egypt_(1954present). Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan diatas kedalam skripsi yang berjudul “Hubungan Politik al Ikhwan al Muslimun Dengan Pemerintahan Anwar el Sadat (1970-1981) ”. B. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini mempunyai rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana situasi politik Mesir pada masa pemerintahan Anwar el Sadat ? 2. Bagaimana sikap Anwar el Sadat terhadap berbagai organisasi Islam ? 3. Bagaimana dampak hubungan politik al Ikhwan al Muslimun dengan pemerintahan Anwar el Sadat ?
7
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui situasi politik Mesir pada masa pemerintahan Anwar el Sadat. 2. Untuk mengetahui sikap Anwar el Sadat terhadap berbagai organisasi Islam. 3. Untuk mengetahui dampak hubungan al Ikhwan al Muslimun dengan pemerintahan Anwar el Sadat. 2. Manfaat Penelitian Dalam penelitian harus dapat diketahui kegunaan dari setiap kegiatan ilmiah. Adapun kegunaaan penelitian ini adalah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat seperti menambah pengetahuan dan wawasan, khususnya tentang hubungan politik al Ikhwan al Muslmun dengan pemerintahan Anwar el sadat dan menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya tentang hubungan politik al Ikhwan al Muslmun dengan pemerintahan Anwar el sadat.. 2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat diantaranya (a) bagi peneliti sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana kependidikan program pendidikan sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, (b) sebagai bahan referensi bagi pemecahan masalah yang relevan dengan masalah ini, (c) sebagai salah satu karya ilmiah yang diharapkan dapat melengkapi koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8