BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Polineuropati adalah sindroma yang terjadi akibat adanya lesi saraf perifer secara bersamaan yang dapat mempengaruhi semua jenis akson dimana dimanifestasikan sebagai kelemahan, kelainan sensorik, dan disfungsi autonom, biasanya bersifat bilateral. (Laaksonen S. 2016, Frida M. 2012 ) Prevalensi neuropati perifer di kedokteran keluarga yaitu 8 persen pada orang 55 tahun, prevalensi di populasi umum dapat setinggi 2,4 persen (Azhary H, 2010). Dalam suatu penlitian di Isfahan, Iran didapatkan pravelensi polineuropati berjumlah 75,1% dari 810 penderita diabetes mellitus (Janghorbani M. 2006). Setidaknya 26 persen dari warga usia 40 tahun ke atas menderita neuropati atau satu dari empat orang Indonesia yang berusia 40 tahun keatas menderita neuropati. (Perdossi, 2012) Sedangkan di RSUD Undata Palu sendiri kejadian polineuropati di tahun 2012 yaitu 82 kasus, di tahun 2016 mencapai 90 kasus, di tahun 2014 terdapat 93 kasus dan juga meningkat di tahun 2015 menjadi 98 kasus. (RSUD Undata, 2015) Faktor resiko polineuropati antara lain trauma, infeksi, alkoholisme, gangguan nutrisi, imunitas, defisiensi vit B dan akibat gangguan metabolik lainnya Selain itu, infeksi HIV dapat meningkatkan insiden polineuropati. (Laaksonen S. 2016, Frida M. 2012). Akibat polineuropati yaitu menyebabkan gangguan sensorik, motorik maupun otonom yang tentunya akan mempengaruhi kualitas hidup pasien sehingga terjadi penurunan produktivitas kerja atau penurunan kualitas sumber daya manusia. Pada akhirnya akan menjadi suatu beban sosial bagi keluarga, masyarakat dan negara (Lor TL. 2016, Frida M. 2012)
2
Umumnya polineuropati sembuh dengan gejala sisa, walaupun pada beberapa kasus gejala-gejala polineuropati tetap menetap, Apabila terjadi paralisis otot-otot pernapasan maka prognosis akan lebih buruk. Polineuropati dapat diderita siapapun, Risiko ini semakin besar pada mereka yang berusia diatas 40 tahun, menderita diabetes melitus, gaya hidup yang beresiko seperti merokok, meminum alkohol dan pola makan yang kurang vitamin B
serta mengkonsumsi obat-obatan yang dapat
menginduksi terjadinya polineuropati.(Laaksonen S. 2016, Purnamasari D. 2016)
B. Rumusan Masalah Polineuropati merupakan penyakit pada sistem saraf perifer dimana akibat dari polineuropati penderita bisa mengalami gangguan sensorik, motorik maupun otonom yang tentunya mempengaruhi kualitas hidup pasien sehingga terjadi penurunan produktivitas kerja atau penurunan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi Polineuropati mengalami peningkatan khususnya
di kota palu dan bila penduduk di kota Palu
banyak yang menderita polineuropati, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi
perekonomian
Kota
Palu.
Bila
karakteristik
dapat
diketahui, maka polineuropati dapat dihindari dan angka kejadiannya dapat diturunkan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka rumusan masalah penelitian ini, adalah :
Hal-hal apakah yang menjadi karakteristik penderita
polineuropati yang dirawat dibagian saraf RSUD Undata Palu tahun 2018?
C. Pertanyaan Penelitian 1. Berapa angka kejadian polineuropati di RSUD Undata Palu tahun 2018?
3
2. Apakah usia merupakan karakteristik penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018? 3. Apakah jenis kelamin merupakan karakteristik penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018? 4. Apakah pola makan merupakan karakteristik penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018? 5. Apakah merokok merupakan karakteristik penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018? 6. Apakah kebiasaan makan obat merupakan karakteristik penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018? 7. Apakah kadar gula darah puasa merupakan karakteristik penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018 ?
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum Untuk mengetahui karakteristik penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018.
2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui angka kejadian penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018. b. Untuk mengetahui karakteristik usia penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018. c. Untuk mengetahui karakteristik jenis kelamin penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018.
4
d. Untuk mengetahui karakteristik pola makan penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018. e. Untuk mengetahui karakteristik merokok penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018. f. Untuk mengetahui karakteristik kebiasaan makan obat penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018. g. Untuk mengetahui karakteristik kadar gula darah puasa penderita polineuropati yang dirawat di Bagian saraf RSUD Undata Palu Tahun 2018.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat pengembangan ilmu a. Untuk Peneliti Manfaat untuk saya sebagai peneliti adalah menambah pengetahuan saya terutama mengenai polineuropati dan menambah pengalaman meneliti. Untuk peneliti lain Hasil data penelitian ini berguna bagi peneliti lain yang ingin lebih dalam melanjutkan penelitian tentang polineuropati c. Untuk institusi pendidikan kesehatan Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan informasi tambahan untuk mahasiswa di institusi kesehatan dan kedokteran.
2. Manfaat Aplikasi a. Dapat digunakan oleh petugas kesehatan utamanya, dokter keluarga dan petugas puskesmas sebagai bahan promosi kesehatan dalam hal pencegahan
terjadinya
polineuropati
dengan
cara
penyuluhan
5
mengenai
karakteristik
polineuropati
agar
dapat
mengurangi atau menghilangkan faktor risiko tersebut.
menghindari,
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori
1. Polineuropati
a. Definisi Polineuropati adalah sindroma yang terjadi akibat adanya lesi saraf perifer secara bersamaan yang dapat mempengaruhi semua jenis akson dimana dimanifestasikan sebagai kelemahan, kelainan sensorik, dan disfungsi autonom, biasanya bersifat bilateral. (Laaksonen S. 2016, Frida M. 2012 )
b. Epidemiologi Table 1. Angka Kejadian neuropati dengan diabetes mellitus di Dunia
NO 1
PENULIS Janghorbani M.
TAHUN 2006
LOKASI Iran
KEJADIAN 75,1%
2
Thrainsdottir S.
2016
Italia
32,3 %
3
Thrainsdottir S.
2016
Italia
83,5%
Angka kejadian polineuropati pada penderita diabetes mellitus di isfahan, iran 75, 1% dari 810 penderita (Janghorbani M. 2006) dan di italian 32,3 % diantara 8757 penderita penderita diabetes mellitus
7
meningkat secara dramatis menjadi 83,5% saat pemeriksaan neurologis kuantitatif dan saraf Studi konduksi dilakukan.(Thrainsdottir S. 2016).
Table 2. Angka Kejadian neuropati di Dunia
NO 1
PENULIS Azhary H.
TAHUN 2010
LOKASI India
KEJADIAN 8%
2
Azhary H.
2010
Bombay, India
2,4 %
Satu studi lain mendapatkan bahwa prevalensi neuropati perifer di kedokteran keluarga di india yaitu 8 persen pada orang berusia lebih dari 55 tahun, prevalensi di populasi umum dapat setinggi 2,4 persen di Bombay India.(Azhary H. 2010).
Table 3. Angka Kejadian neuropati di Indonesia
NO
PENULIS
TAHUN
LOKASI
KEJADIAN
1.
Darsaman I.
2008
20,3 %
2.
Perdossi
2012
Jakarta, Indonesia Indonesia
3.
Darsaman I.
2014
Indonesia
28 %
26 %
Di Indonesia sendiri Setidaknya 26 persen dari warga usia 40 tahun ke atas menderita neuropati Atau satu dari empat orang Indonesia yang berusia 40 tahun keatas menderita neuropati. (Perdossi, 2012), Prevalensi neuropati pada penderita DM selama 25 tahun lebih dari 40%, Secara keseluruhan prevalensi neuropati diperkirakan sebesar 28% (Darsaman I.
8
2014). Dalam suatu studi lain didapatkan bahwa jumlah tenaga kerja dengan neuropati tipe Carpal tunel syndrom di beberapa perusahaan garmen di Jakarta sebanyak 20,3%.(Kurniawan B. 2008)
RSUD Undata Palu 100 80 60 40
20 0
2014
2015
2016
2017
Gambar.1 Angka kejadian polineuropati Sumber : RSUD Undata Palu, 2017
Prevalensi Polineuropati mengalami peningkatan tiap tahunnya di kota Palu, data dari RSUD Undata Palu. (RSUD Undata, 2017)
c. Penyebab polineuropati Penyebab dari polineuropati yaitu adanya lesi saraf tepi dengan Berbagai macam pencetus dan kondisi, di Amerika Serikat penyebab tersering gangguan saraf-saraf tersebut adalah penyakit diabetes melitus. Kerusakan
pada
neuronal
nuclei
seperti
pada
diabetes
melitus,
mengakibatkan ke degenerasi tipe axonal retrogade sekunder distal. Di lain pihak kerusakan langsung pada segmen axon mengakibatkan degenerasi tipe Wallerian pada segmen axon bagian distal. Berbeda pula
9
pada polineuropati karena zat toksik, sel schwann menjadi target serangan, sehingga menyebabkan demyelinisasi. (Frida M. 2012, Purnamasari D. 2016)
d. Patomekanisme Mekanisme yang mendasari polineuropati tergantung dari kelainan yang mendasarinya. Diabetes sebagai penyebab tersering, dapat mengakibatkan polineuropati melalui peningkatan stress oksidatif yang meningkatkan produk Advance Glycosylated End (AGEs), akumulasi polyol,
menurunkan
nitric
oxide,
mengganggu
fungsi
endotel,
mengganggu aktivitas Na/K ATP ase, dan homosisteinemia. Pada hiperglikemia, glukosa berkombinasi dengan protein, menghasilkan protein glikosilasi, yang dapat dirusak oleh radikal bebas dan lemak, menghasilkan AGEs yang kemudian merusak jaringan saraf yang sensitif. Selain itu, glikosilasi enzim antioksidan dapat mempengaruhi sistem pertahanan menjadi kurang efisien. (Frida M. 2012) Glukosa di dalam sel saraf diubah menjadi sorbitol dan polyol lain oleh enzim aldose reductase. Polyol tidak dapat berdifusi secara pasif ke luar sel, sehingga akan terakumulasi di dalam sel neuron, yang menganggu keseimbangan gradien osmotik sehingga memungkinkan natrium dan air masuk ke dalam sel dalam jumlah banyak. Selain itu, sorbitol juga dikonversi
menjadi
fruktosa,
dimana
kadar
fruktosa
yang
tinggi
meningkatkan prekursor AGE. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf menurunkan aktivitas Na/K ATP ase. Nitric oxide memainkan peranan penting dalam mengontrol aktivitas Na/K ATP ase. Radikal superoksida yang dihasilkan oleh kondisi hiperglikemia mengurangi stimulasi NO pada aktivitas Na/K ATP ase. Selain itu penurunan kerja NO juga mengakibatkan penurunan aliran darah ke saraf perifer. (Laaksonen S. 2016, Frida M. 2012)
10
Dilain pihak, mekanisme yang mendasari polineuropati karena kebiasaan merokok dapat dihubungkan dengan nikotin yang membuat konstriksi
pembuluh
darah
melalui
gangguan
fungsi
endoterl,
meningkatkan karbonmonoksida dan oxygen free radicals, disamping itu dapat menyebabkan spasme arteri dan penurunan kapasitas oksigen di arteri sehingga nantinya saraf akan menjadi hipoksia lalu dikemudian hari berubah menjadi neuropati. Selain itu ada juga yang mendasari polineuropati karena zat toksik seperti obat-obatan yang dapat membuat lesi pada saraf dikarenakan zat toksiknya yang terakumulasi pada saraf. Selain itu, pola makan yang kurang baik dapat menjadi memicu polineuropati
dikarenakan
Kekurangan
asupan
gizi
tertentu
yang
dibutuhkan oleh saraf misalnya vitamin B, khususnya vitamin B12 membuat saraf tepi kekurangan njutrisi yang tentunya akan membuat lesi pada saraf tepi dikemudian hari. Sedangkan Mekanisme yang mendasari polineuropati karena proses penuaan yaitu adanya degenarasi pada saraf tepi yang dikemudian hari akan terjadi lesi pada saraf tepi itu sendiri. (Laaksonen S. 2016, Frida M. 2012, Priyantono T. 2010)
e. Faktor-faktor resiko Faktor resiko polineuropati antara lain gangguan metabolik trauma, infeksi, alkoholisme, imunitas,. selain itu, faktor usia juga sangat berpengaruh pada kejadian polineuropati karena penyakit ini juga termaksud penyakit degenerasi. Faktor nutrisi juga berpengaruh karena banyak kejadian polineuropati dapat diakbiatkan karena defisiensi vitamin B. Selain itu, Gaya hidup yang beresiko seperti merokok, meminum alkohol, menkonsumsi obat juga merupakan faktor resiko yang tinggi pada polineuropati. keracunan thallium, prophyria, atau sindrom guillain-bare juga merupakan faktor resiko polineuropati. (Laaksonen S. 2016, Frida M. 2012)
11
f. Gambaran klinik Tanda dan gejala klinis dari polineuropati merupakan refleksi dari saraf apa yang terkena. Gejala dari polineuropati meliputi nyeri didaerah distal, parastesi, kelemahan, dan gangguan fungsi sensoris. Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau mungkin dicetus oleh stimulasi pada daerah kulit dan nyerinya tajam atau terbakar. Parastesi biasanya digambarkan dengan rasa tebal, terbakar, atau kesemutan. Hilangnya persepsi rasa nyeri mengakibatkan trauma berulang dengan degenerasi dari sendi-sendi (Purnamasari D. 2016, Laaksonen S. 2016). Kelemahan
dirasakan
paling
hebat
pada
otot-otot
kaki
pada
kebanyakan polineuropati, memungkinkan juga paralisa dari otot-otot intrinsik pada kaki dan tangan. Refleks tendon biasanya hilang, terutama pada neuropati demyelinisasi. Pada kasus polineuropati yang berat, pasien bisa mengalami kelumpuhan pada ke semua alat gerak dan mengalami respirator-dependent. Saraf-saraf kranialis juga bisa terkena, biasanya pada sindrom guillain-bare dan difteri. Kemampuan sensor kutan hilang pada distribusi kasus stocking-and-glove. Segala macam mode sensor perasa tersebut akan bermasalah (Purnamasari D. 2016, Laaksonen S. 2016). Kerusakan pada sistem saraf-saraf autonom dapat menyebabkan miosis (mengecilnya pupil), anhidrosis (tidak bisa berkeringat), hipotensi ortostatik, impotensi, dan keabnormalan vasomotor. Gejala-gejala tersebut dapat muncul tanpa gejala lain yang sering menyertai polineuropati, tapi gangguan pada sistem autonom tersebut sering menyertai polineuropati distal yang simetris.. Takikardi, perubahan tekanan darah yang cepat, kulit kemerah-merahan
dan
berkeringat,
dan
gangguan
pada
sistem
gastrointestinal biasanya ada hubungan dengan keracunan thallium,
12
prophyria, atau sindrom guillain-bare (Purnamasari D. 2016, Laaksonen S. 2016). Saraf-saraf kutan superfisial bisa menjadi tebal dan terlihat karena kolagen
berproliferasi
dan
dideposisi
pada
sel
schwann
karena
pengulangan episode demyelinisasi dan remyelinisasi pada saraf-saraf tersebut. kontraksi spontan dapat terlihat berkejut-kejut dibawah kulit dan bisa juga terlihat di lidah pasien. Gejala tersebut merupakan karakteristik dari penyakit yang menyerang cornu anterior tapi juga bisa terlihat pada neuropati motorik dengan multifokal blok pada konduksi motoriknya dan juga pada neuropati kronis yang menyertai kerusakan dari axon. (Purnamasari D. 2016, Laaksonen S. 2016)
g. Difrensial Diagnosis Difrensial diagnosis dari polineuropati yaitu mononeuropati dimana mononeuropati memiliki gejala yang mirip dengan polineuropati, yang membedakan dari polineuropati yaitu mononeuropati hanya terjadi pada satu saraf saja sedangkan polineuropati terjadi lesi atau gangguang saraf yang banyak dan biasanya bersifat simetris. Selain itu difrential diagnosis yang
lain
yaitu
mononeuropati
multipleks
dimana
mononeuropati
multipleks dapat menyerang lebih dari satu saraf tepi namun gejala yang biasa timbul tidak simetris seperti gejala yang ada pada polineruopati. ( Laksonen S. 2016, Burns T. 2011, Wallace M. 2010).
h. Diagnosis
1). Anamnesis Pada anamnesis sangat penting untuk menanyakan usia, riwayat dari penyakit yang pernah diderita sebelumnya, riwayat pengobatan, riwayat
13
sosial seperti konsumsi alkohol. Beberapa pasien biasa mengalami gejala dari polineuropati seperti nyeri didaerah distal, parastesi, kelemahan, dan gangguan fungsi sensoris. Nyeri mungkin bisa tiba-tiba saja timbul atau mungkin dicetus oleh stimulasi pada daerah kulit dan nyerinya tajam atau terbakar. Parastesi biasanya digambarkan dengan rasa tebal, terbakar, atau kesemutan. Kelemahan dirasakan paling hebat pada otot-otot kaki. Biasa
juga
dirasakan
gejala
otonom
seperti
anhidrosis
ataupun
hiperhidrosis. (Purnamasari D. 2016, Laaksonen S. 2016, Alport. 2012)
2). Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan neurologis sangat penting untuk dilakukan, memeriksa saraf cranialis, kemampuan motorik dan sensorik, tonus otot apakah normal atau menurun. Pola dari kelemahan membantu dalam diagnosis: apakah simetris atau asimetris, distal atau proksimal. Pasien dengan neuropati
sensorimotor
simetris
distal,
pemeriksaan
sensoriknya
menunjukkan penurunan sensitifitas terhadap sentuhan ringan, tusukan jarum, dan suhu pada kasus stocking-and-glove. Kemampuan mengenali fibrasi dan posisi juga terganggu, pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi dapat menunjukkan tanda positif dari pseudoathetosis atau tes Romberg. Refleks tendon juga menurun ataupun hilang. Tes Romberg sangat bermanfaat menilai fungsi serabut besar,. Pemeriksaan ini terbagi tipe serabut saraf ukuran besar atau kecil. Penilaian serabut saraf besar mencakup posisi sendi, rasa raba ringan, sensasi getar. Sedangkan penilaian serabut kecil mencakup uji pin-prick dan sensasi suhu. Banyak studi elektrodiagnostik mononeuropati dan mononeuropati multiplex namun sering gagal untuk mengungkapkan serabut kecil polineuropati. (Frida M. 2012, Purnamasari D. 2016)
3). Pemeriksaan penunjang
14
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis cukup banyak, dan tergantung dari klinis pada pasien. American Academy of Neurology
(AAN)
mengajukan
parameter
praktis
pemeriksaan
laboratorium dan genetik pada polineuropati distal simetrik. Panduan tersebut merekomendasikan pemeriksaan gula darah puasa, elektrolit untuk menilai fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan darah tepi lengkap, kadar vitamin B12 serum, laju endap darah, uji fungsi tiroid, dan Immunofixation Electrophoresis Serum (IFE). Sedangkan pemeriksaan lainnya mencakup Myelin Associated Glycoprotein (MAG), sulfatide, dan antibodi GD1B. Pada neuropati demielinisasi dengan pemanjangan latensi distal, diperlukan pemeriksaan anti MAG. Sedangkan pada mononeuropati multifokal, perlu dilakukan pemeriksaan anti GM1. Selanjutnya, pada pasien sindrom Guillain Barre, uji anti GQ1b, anti GM1, dan anti GD1a dapat menunjang diagnosis.(Frida M, 2012). Pemeriksaan biopsi saraf dilakukan untuk menilai etiologi, lokalisasi patologik, dan beratnya kerusakan saraf. Namun pemeriksaan ini menjadi kurang penting dalam dua dekade terakhir seiring berkembangnya teknologi di bidang elektrodiagnostik, laboratorium dan uji genetik. Biopsi saraf hanya berguna pada neuropati progresif akut/ sub akut, asimetrik dan multifokal. AAN menganjurkan pemeriksaan ini pada diagnosis penyakit inflamasi seperti vaskulitis, sarkoidosis, dan CIDP. Selain itu uji ini bisa dilakukan pada penyakit infeksi seperti lepra.(Englan JD. 2004. Frida M 2012)
i. Managemen Dua tujuan utama dalam penatalaksanaan polineuropati mengobati
penyakit
yang
mendasari
terjadinya
polineuropati
yaitu dan
menringankan gejala yang diderita pasien. Dengan mengobati penyakit yang mendasarinya maka dapat menurunkan resiko terjadinya kerusakan
15
saraf yang bersifat permanen. Contohnya, mengontrol kadar gula darah pada penderita diabetes akan menurunkan resiko terjadinya neuropati diabetik dan hemodialisa dapat memperbaiki neuropati pada penderita gagal ginjal. Penatalaksanaan yang juga digunakan antara lain untuk mengurangi rasa nyeri, terapi injeksi, dan fisioterapi.(Mardjono, 2010 Azhary H, 2010)
1). Medikasi Obat-obatan analgetik seperti aspirin, ibuprofen sering digunakan, tetapi tidak efektif untuk mengatasi nyeri yang diakibatkan oleh neuropati. Duloxetine Hydrokhloride (cymbalta) telah mendapat persetujuan dari FDA (food and Drug Administration) untuk mengatasi diabetik neuropati. Efek samping yang sering terjadi adalah konstipasi, diare, mulut kering, dan mual. Hydrokhloride dapat juga menyebabkan pusing dan rasa panas. Walaupun antikonvulsi seperti Gabapentin (Neurontin) dan antidepresan seperti amitiptylin (Elavil) tidak mendapat persetujuan dari FDA untuk mengatasi neuropati, tetapi obat-obatan tersebut sering digunakan untuk mengatasi kondisi ini. Efek samping yang sering terjadiantara lain perasaan mengantuk, pusing, tekanan darah menurun, dan keletihan. Obat-obat antikonvulsi lain yang digunakan seperti Carbamazepin (Tegretol), Lamotrigin (Lamictal), anastesi lokal (Lidokain), dan antiaritmia seperti Mexiletine (Mexitil). Penggunaan antikonvulsi dapat menyebabkan penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia), mual, muntah, dan pusing. Efek samping penggunaan lidokain dan mexiletine antara lain gugup, mengantuk, tidak tahan terhadap cahaya terang, dan penglihatan ganda. Pengobatan topikal dengan menggunakan krem Capsaicin (Zostrix) dapat dilakukan pada pasien dengan neuropati fokal. Capsaicin dapat menyebabkan rasa pedih saat dioleskan dan sering dikombinasi dengan anestesi lokal untuk menggurangi pedih akibat penggunaan obat.
16
Kombinasi Capsaicin dan lidokain (Axsain) dapat mengurangi pedih dan rasa terbakar.(Mardjono, 2010, Azhary H, 2010)
2). Terapi injeksi Terapi injeksi digunakan untuk memblok saraf seperti lidocine pada daerah sekitar saraf yang terkena, yang berguna untuk meghambat pembawaan impuls saraf dari otak dan bermanfaat untuk mengurangi gejala yang bersifat sementara. Terapi dengan injeksi (penyuntikan) ini umumnya bermanfaat bila disertai dengan pengobatan lain seperti medikasi dan fisioterapi. Pengobatan lain yang sering digunakan antara lain menghentikan penggunaan obat yang menyebabkan neuropati dan menghindari paparan zat atau racun yang dapat mengakibatkan terjadinya neuropati. Pemberian suplemen vitamin bermanfaat pada neuropati yang diakibatkan oleh defesiensi vitamin seperti injeksi vitamin B12. (Mardjono, 2010, Azhary H. 2010)
j. Komplikasi & Akibat Polineuropati
bisa
terjadi
komplikasi
tergantung
dari
variasi
komordibitas neuropsikiatri kondisinya, seperti gangguan tidur, kurangnya konsentrasi karena terganggu dari nyeri, depresi berat dan gangguan psikiologi lain seperti cemas. Selain itu, komplikasi dari polineuropati juga dapat berupa gangguan seperti atropi pada otot, Kelumpuhan, kemudian dapat Menyebabkan ketidaksetabilan dalam berjalan (Frida M. 2012 Purnamasari D. 2016).
k. Prognosis
17
Prognosis dari penyakit polineuropati bergantung kepada jenis dan penyebabnya, tingkat keparahan dari saraf yang terkena, dan komplikasikomplikasi yang ditimbulkan. Tanpa pengobatan, sebagian besar orang membaik dengan waktu yang lebih lama. Pada diabetik polineuropati, komplikasi biasanya baik apabila kontrol diabetesnya baik, tetapi akan memburuk apabila terjadi komplikasi neuropati autonom. Pada umumnya polineuropati sembuh dengan gejala sisa, walaupun pada beberapa kasus memperlihatkan gejala-gejala yang menetap terjadi paralisis otot-otot pernapasan maka prognosis akan lebih buruk. Hal demikian ini akan lebih diperburuk lagi apabila rumah sakit tidak mempunyai fasilitas perawatan yang memadai. Perjalanan penyakit polineuropati sangat bervariasi. Polineuropati akut mencapai puncak gejala dalam waktu 3 minggu, setelah itu gejala menetap atau berkurang dan berakhir dengan kesembuhan sempurna atau kecacatan menetap. Bila gejala berkembang dan mencapai puncaknya dalam waktu 3 minggu sampai 3 bulan dikatakan sebagai polineuropati sub akut. Sedangkan bila setelah 3 bulan gejala
masih
berlanjut
dikatakan
sebagai
polineuropati
kronik.
(Purnamasari D. 2016, Laaksonen S. 2016).
l. Pengendalian Pengendalian penyakit kronis yang menyertai penyakit polineuropati merupakan hal yang penting seperti pada polineuropati diabetika, pasien harus dikontrol kadar gulanya agar tidak memperparah polineuropati yang diderita. Asupan gizi harus diperhatikan untuk mengendalikan penyakit ini dengan cara banyak mengkomsumsi makanan yang tinggi vitamin B, dan tentu saja gaya hidup seperti merokok ataupun meminum alkohol harus dihentikan agar tidak memperparah perjalanan penyakit polineuropati ( Laaksonen S. 2016, Frida M. 2012).
2. Karateristik Penderita Polineuropati
18
a. Karakteristik Demografi (1) Usia Karateristik polineuropati menurut usia kecenderungannya meningkat sesuai usia. berdasarkan dari data penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa akademisi, didapatkan Penderita neuropati yang mengalami gangguan neuropatik terbanyak berumur ≥ 30 tahun (81,8%). Karakteristik subyek pada penelitian yang dilakukan Evans dkk. terhadap 116 penderita HIV berusia 18-60 tahun didapatkan bahwa gangguan neuropatik terbanyak pada umur lebih dari 30 tahun yaitu sebesar 86%. Hasil yang sama didapatkan pada penelitian Giubellan dkk yaitu kejadian neuropatik mempunyai rata-rata umur adalah 31,54 tahun dengan simpang baku 14,64, sedangkan Konchalard dkk mendapatkan rerata 38,7 tahun dengan simpangan baku 8,8 (Astika M, 2014). Selain itu, Odenheim dan kawankawan mendapatkan prevalensi neuropati perifer sensorik meningkat seiring pertambahan usia, dimana ia menemukan prevalensi gangguan posisi sebanyak 6% populasi usia 65-74 tahun, 9% pada populasi usia 7584 tahun, dan 13% pada populasi usia lebih dari 85 tahun (Van Schaik, 2011). Sedangkan Lor dan kawan-kawan yang melakukan penelitian pada komunitas urban di Petaling Jaya Malaysia menemukan prevalensi neuropati sensorik sebesar 20%, dimana kecenderungannya juga meningkat sesuai usia. (Lor TL, 2016) (2) Jenis kelamin Karateristik neuropati menurut jenis kelamin lebih banyak terjadi pada perempuan
yaitu
57,6%
dengan
perbandingan
1,4:1.
Sedangkan
Penelitian yang dilakukan Konchalard pada tahun 2007 juga menemukan nyeri neuropatik lebih banyak pada perempuan dengan perbandingan 10:7 hal ini mungkin disebakan karena pengaruh adanya riwayat kehamilan dan presentase timbunan lemak badan pada wanita lebih besar
19
dibandingkan dengan pria dan tentu saja hal ini mempengaruhi status gizi pada perempuan. Selain itu, perempuan juga dipengaruhi oleh hormon dimana ketika terjadi menopause maka proses penuaan lebih cepat dibanding dengan pria.(Astika M, 2014)
b. Gaya Hidup Gaya hidup pada pasien polineuropati belum diteliti secara mendalam namun Penyalahgunaan alkohol atau zat pelarut misalnya menghirup lem aibon adalah penyebab yang sangat dikenal dan perilaku itu sering ditemukan,Justru orang yang mencari pereda gejala neuropati perifer mungkin berperilaku demikian, yang justru memburuknya neuropati perifer yang dialaminya. Riwayat penggunaan alkohol secara berlebihan dikaitkan dengan neuropati sensori gerak yang berkembang secara bertahap, kemungkinan karena dampak toksik etanol dan metabolitnya, serta karena kekurangan gizi yang sering dikaitkan dengan kecanduan alcohol. Selain itu penggunaan obat yang berlebihan seperti obat pada pasien HIV yaitu obat d4T didapatkan memilki toksitas untuk saraf. Walaupun data saat ini terbatas, keadaan itu terbukti memburuk di banyak rangkaian kasus neuropati Banyak zat racun, zat pelarut, pembasmi serangga, dan obat-obatan juga dapat menyebabkan neuropati perifer. Penggunaan obat yang berlebihan seperti isoniazid, vinkristin, sisplatin, metronidazol, nitrofurantoin, fenitoin, amiodaron merupakan obat yang paling sering menyebabkan polineuropati dikemudian hari.(Smart T. 2016, Louis H. 2016). Selain itu, pola makan yang kurang baik dapat menjadi karakteristik polineuropati dikarenakan Kekurangan asupan gizi tertentu yang dibutuhkan oleh saraf misalnya vitamin B, khususnya vitamin B12 dapat meningkatkan kejadian polineuropati, makanan kaya akan vitamin B yaitu (tempe, hati, ayam, ikan, kepiting, ketam, dan susu). Selain itu, gaya hidup merokok dapat dihubungkan dengan konstriksi pembuluh darah
20
melalui gangguan fungsi endoterl, meningkatkan karbonmonoksida dan oxygen free radicals, disamping itu dapat menyebabkan spasme arteri dan penurunan kapasitas oksigen di arteri sehingga nantinya saraf akan menjadi hipoksia lalu dikemudian hari berubah menjadi neuropati. (Smart T, 2016, Priyantono T. 2010)
c. Karakteristik Penyakit Penyerta Penyakit penyerta yang biasa ada pada pasien polineuropati yaitu diabetes mellitus, infeksi (HIV dan leprae) dan tumor. Sebagian besar pasien HIV yang mengalami gangguan neuropatik ditemukan pada stadium HIV tinggi (stadium III dan IV) yaitu 90,9%. Nyeri neuropatik lebih sering terjadi pada HIV stadium lanjut. Pada stadium lanjut sering terjadi infeksi oportunistik dan daya tahan tubuh yang rendah akibat tingginya viral load dan rendahnya sel CD4 sedangkan diabetes mellitus merupakan penyebab terbanyak polineuropati kejadian neuropati akibat DM berkisar antara 8-54% pada DM tipe I dan 13-46% pada DM tipe II. kejadian neuropati diabetika (ND) pada pasien diabetes sekitar 30% dari pasien DM yang dirawat di rumah sakit dan 20% pada pasien komunitas umum. Insidensi neuropati diabetika mencapai 50% pada pasien yang mengalami diabetes selama lebih dari 25 tahun. Sedangkan tumor sebagai penyakit penyerta belum ada yang lebih dalam namun secara teori karsinoma dapat membuat terjadinya polineuropati karena sifat inflamasinya. (Laaksonen S. 2016, Jonas L. 2011)
d. Kararakteristik Gambaran Klinik Karakteristik menurut gambaran klinik banyak memunculkan berbagai gejala seperti mulai dari ketidaknyamanan yang menusuk-nusuk atau kesemutan, hingga keram dan nyeri, rasa terbakar, nyeri yang menusuk
21
atau bahkan serangan kesetrum, belum ada data yang spesifik gejala apa yang paling sering muncul pada pasien polineuropati tapi biasanya dimulai dengan sedikit kesemutan atau mati rasa di ibu jari kaki atau pergelangan kaki pada masing-masing kaki, Orang yang berbeda mungkin mengalami gejala yang berbeda, beragam mulai kehilangan kepekaan, hingga paraestesias (rasa kesemutan atau terbakar) dan kepekaan saat menyentuh yang meningkat secara luar biasa. Namun sebagaimana itu kian memburuk dan menjalar dari telapak kaki ke pergelangan kaki dan kaki, perubahan sensori menjadi kian bertahan. Namun demikian, reaksi yang paling umum terhadap gejala awal yang begitu ringan adalah mengabaikannya atau barangkali mengobatinya sendiri, memakai obat penghilang nyeri (parasetamol), jamu atau minuman beralkohol. (Smart T, 2016, Schaik V. 2011)
22
B. Kerangka Teori
Pada kerangka teori dibawah ini, dapat dijelaskan bahwa awal mula dari terjadinya polineuropati yaitu karena adanya lesi saraf tepi. kebiasaan merokok dapat dihubungkan dengan nikotin yang membuat konstriksi pembuluh
darah
melalui
gangguan
fungsi
endotel,
meningkatkan
karbonmonoksida dan oxygen free radicals, disamping itu dapat menyebabkan spasme arteri dan penurunan kapasitas oksigen di arteri sehingga nantinya saraf akan menjadi hipoksia lalu dikemudian hari berubah menjadi neuropati, kebiasaan merokok ini juga berhubungan dengan jenis kelamin dimana pria lebih cenderung merokok dibandingkan dengan perempuan. Selain itu ada juga yang mendasari polineuropati karena zat toksik seperti obat-obatan yang dapat membuat lesi pada saraf dikarenakan zat toksiknya yang terakumulasi pada saraf. Selain itu, pola makan yang kurang baik dapat menjadi memicu polineuropati dikarenakan Kekurangan asupan gizi tertentu yang dibutuhkan oleh saraf misalnya vitamin B, khususnya vitamin B12 membuat saraf tepi kekurangan nutrisi yang tentunya akan membuat lesi pada saraf tepi dikemudian hari. Sedangkan Mekanisme yang mendasari polineuropati karena proses penuaan yaitu adanya degenarasi pada saraf tepi yang dikemudian hari akan terjadi lesi pada saraf tepi itu sendiri. Diabetes melitus dalam kerangka teori ini dapat berhubungan dengan polineuropati karena kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan akumulasi sorbitol dan polyol pada saraf yang kemudian akan bersifat toksik pada saraf. Pada penelitian ini, peneliti merasa perlu untuk meneliti beberapa karakteristik yang dapat mempengaruhi terjadinya polineuropati, yaitu usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kebiasaan makan obat, pola makan dan kadar gula darah.
23
Polineuropati Jenis kelamin Kebiasaan merokok
Gaya hidup
Nikotin
Kebiasaan makan obat
Vasokontri ksi arteri & kapasitas oksigen darah menurun
Hipoksia pada saraf
Lesi saraf tepi Toksisitas pada saraf Proses degenarisi pada saraf
Pola makan
Kurang vitamin B
Nutrisi saraf kurang
Umur Suku Diabetes melitus
Kadar gula darah meningkat ( hiperglikemik)
Gambar.2 Kerangka Teori
Akumulasi sorbitol dan polyol di saraf
24
C. Kerangka Konsep
Umur
Jenis kelamin
POLINEUROPATI
Derajat Nyeri
Kadar gula darah
Kebiasaan Merokok
Kebiasaan makan obat
Gambar.3 Kerangka konsep
25
D. Definisi Operasional a. Yang dimaksud dengan derajat nyeri neuropati diabetik pada penelitian ini adalah pasien yang telah di diagnosis nyeri neuropati diabetik oleh dokter spesialis saraf di Bagian Poliklinik Saraf RSUD Undata Palu kemudian dilakukan pengukuran menggunakan penilaian Numerical Rating Scale (NRS) dengan wawancara dan diisi dalam kuesioner, yang memenuhi kriteria penelitian dengan kriteria objektif : 1. Ringan 2. Sedang 3. Berat b. Usia adalah masa hidup seseorang yang terdapat pada Kartu tanda penduduk
yang
disesuaikan
dengan
kelompok
usia
menurut
Departemen Kesehatan, kemudian di catat pada digit 2 di case report dan kuisuiner dengan Kriteria objektif : 1. Masa remaja akhir : berusia 17 – 25 tahun 2. Masa dewasa awal : berusia 26 – 35 tahun 3. Masa dewasa akhir : berusia 36 – 45 tahun 4. Masa lansia awal : berusia 46 – 55 tahun 5. Masa Lansia akhir : berusia 56 – 65 tahun 6. Masa Manula : berusia > 65 tahun c. Jenis kelamin pada penelitian ini adalah berdasarkan hasil observasi ada tidaknya jakun dan di catat pada digit 1 dari no kode subjek pada case report dan kuisuiner dengan kriteria objektif : 1. Laki-laki memiliki jakun 2. Perempuan tidak memilki Jakun
d. Kebiasaan makan obat dalam penelitian ini adalah perilaku atau gaya hidup pasien polineuropati yang biasa mengkonsumsi obat yang
26
didapatkan dari wawancara dan disimpan dikuesioner dengan kriteria objektif yaitu : a. Tidak beresiko : Tidak mengkonsumsi salah satu obat seperti isoniazid, vinkristin, sisplatin, metronidazol, nitrofurantoin, fenitoin, amiodaron b. Beresiko : Kebiasaan mengkonsumsi salah satu obat seperti isoniazid, vinkristin, sisplatin, metronidazol, nitrofurantoin, fenitoin, amiodaron
e. Yang dimaksud dengan kebiasaan merokok dalam penelitian ini adalah perilaku atau gaya pasien yang merokok pada penderita polineuropati yang didapatkan dari wawancara dan dicatat dikuesioner yaitu : a. Beresiko : Merokok yaitu perilaku atau gaya hidup pasien yang biasa merokok b. Tidak Beresiko : Tidak Merokok yaitu gaya hidup pasien yang tidak pernah merokok
f. Kadar gula darah adalah tingkat glukosa dalam darah, pada penelitian ini menggunakan kadar gula darah puasa yang diperoleh dari hasil laboratorium di catatan dokter di poliklinik mengenai riwayat penyakit, kemudian diisi ke dalam case report. Dengan kriteria objektif : 1. Beresiko : > 126 mg/dl 2. Tidak Beresiko : < 126 mg/dl
27