Bab Iv.docx

  • Uploaded by: imnala
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Iv.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,193
  • Pages: 23
BAB IV Teori-Teori Interpretasi Konstitusi Hakikat dari pengujian yudisial kuonstitusionalitas undang-undang , seperti proses ajudikasi yudisial pada umunya, adalah tentang interpretasi yang di terapkan oleh badan yudisial ketika memberikan judisial reasoning terhadap putusannya. Dengan makna ketentuan-ketentuan konstitusi sebagai pivot dalam pengujian yudisial konstitusionalitas undang-undang maka interpretasi kontistusional adalah aktivitas intelektual maka selanjutnya hal ini berimplikasi pada kebutuhan adanya teori interpretasi konstitusi untuk menjustifikasi objektivitas pilihan atas metode interpretasi konstitusi tertentu.

1.Matateori Interpretasi Di pengaruhi oleh aliran oleh aliran atau tradisi filsafat hukum tertentu, matateori interpretasi yang ada telah lazim dikategorikan menjadi teori formalisme, teori realisme dan teori normativisme. Teori-teori tersebut pada hakikatnya merupakan bentuk penerapan aliran filsafat hukum tertentu kedalam ajudikasi sehingga konsekuensinya lebih di

kenal dengan predikat teori ajudikasi, yaitu: “theories of how judge do or should decide cases”. Atau lebih tepatnya tentang. “how should a judge decide what law governs the case before her?”.Dalam arti demikian maka yang menjadi fokus teori-teori tersebut adalah judisial reasoning sebagai spesies dari legal reasoning. Teori-Teori tersebut sangat penting dalam rangka fungsionalitas badan yudisial dan hakim, terutama hakikat fungsi hakim dan makna atau hakikat hukum di dalamnya. Thomas menyatakan: “a basic understanding of lehal theory is essential for the complete performance of the judicial function....To fulfil their judicial function, and to be able to assesss whether they are fulfilling that function, judge must explore, examine and know the theoritical framework for their judicial thinking.”Pernyataan ini sangat tepat sasaran manakala diyakini bahwa ajudikasi dan_______ Brianleiter, “legal formalism and legal realisme: What is the Issue?,”16 Legal Theory 2010, h.111. Robert Justin Lipkin, “Conventionalism, Pragmatism and Constitutional Revolution ,” 21 UC Davis Law Review 1988,h.651. E.W.Thomas, The Judisial Process: Realism , Pragmatism, Practical Reasoning and Principles,

Cambrige University Press, Cambrige, 2005,h.1.bdgk. dengan Aharon Barak, The judge in a Democracy, Princeton University Press, New Jersey, 2006,h.115117. Barak mengklaim aspek aksiologis teori adalah “to understand the law and the role of the judge.” Oleh karena itu, Barak menyimpulkan: “Judge need theories of law , and theories of law need judges.” Pendapat Barak menunjukan bahwa filsafat hukum dan teori hukum adalah praktikal (untuk menunjang kepentingan praktik hukum).

Formalisme Formalisme adalah teori ajudikas paling dominan dalam paksis ajudikasi. Tidak berarti karena dominan maka lantas teori_____ Bidang Penerapan praktikal lainnya adalah legislasi dalam arti luas. Anthony D’Amato, Analytic Jurisprudence Anthology, Anderson Publishing Co.,Cincinnati-Ohio, 1995,g.1. pendapat senada di kemukakan oleh MacCromick: “theories about the nature of law can be tested out in terms of their implication in relation to legal reasoning.” Neil MacCormick, Legal Reasoning adn Legal Theory, Clarendon Press, Oxford, 1978,h.229.

Dengan Pengertian lain, Berdasarkan penjelasan Bodenheirmer, semua putusan yudisial (dalam hal ini judicial reasoning-nya) harus di susun dan di tulis dengan berdasarkan pada logika supaya persuasif dan meyakinkan (Holmes sendiri tidak menyangkal hal itu sebagaimana tampak dari kutipan atas pendapatnya yang lain). Bahasa putusan yudisial harus logis meskipun berangkat dari posisi atau pendirian yang berbeda-beda dalam argumennya(judicial reasoning): formalis e ,realisme ataukah normativisme. Dalam putusan yudisial, teori realisme menolak premis mayor dari judisial reasoning yang rule-bassed manakala legal rule-nya indeterminate. A fortiori, hal ini berimplikasi pada penerapan pertimbangan berdasarkan rule. Dengan sendirinya konsep judicial legislation adalah hal yang normal atau lazim dalam judicial reasoning menurut teori realisme.Dikaitkan dengan konsep experience yang di kemukakan oleh Holmes,_____ Andrew Halpin , Reasoning with law , Hart Publishing , Oxford-Portland,2001,h.143 Hilaire McCoubrey & Nigel D.white , Op.cit., h . 202.

Normativisme Sub-Judul ini berargumen bahwa memutus menurut “lex” (yaitu peraturan perundang-undangan dalam artis luas termasuk undang-undang dasar) dengan memutus menurut “ius” (hukum) tidak selalu identik maknanya. Sehingga, legal reasoning serta judicial reasoning yang lebih dari sekedar merujuk kepada peraturan perundang-undagan (formalisme) adalah esensi yang menjadikan teori normativisme khas , termasuk dengan realisme (memutus dengan mempertimbangkan social demands). Normativisme berbeda dengan formalisme menyangkut isu hubungan antara hukum dengan moral: “although we do separate law and morals, we do not separate them entirely”. Normativisme juga berbeda dengan realisme, walau sama-sama bertolak dari tesis Indeterminate legal rules. Normativisme lebih berorientasi pada penilaian (morality, justice,fairness) namun realisme kebalikannya, lebih berorientasi pada fakta (wealth maximization, efficiency, costbenefit). Normativisme lahir sebagai kritik terhadap formalisme maupun realisme. Formalisme dikritik karena pendirian bebas nilanya. Sementara realisme dikritik karena kecenderungan matematis dan pragmatismenya.

Anotasi Pada sub-judul ini penulis akan menguji apakah pendekatan normativisme sebagai teori ajudikasi dapat dijadikan acuan bertindak yang seyogyanya bagi MKRI dalam menjalankan fungsi dan kewenangan pengujian yudisial konstitusionalitas undang-undang pada kasuskasus HAM (yaitu pengujian yudisial konstitusional undang-undang berdasarkan bab XA UUD NKRI 1945). Berdasarkan pembahasan sebelumnya penulis akan secara spesifik mengevaluasi kemungkinan keberlakuan pendekatan normativisme Dworkin (dengan latar belakang pemikiran Amerika Serikat serta pandangan berpikir yang liberal) sebagai teori ajudikasi bagi NKRI. Argumen penulis adalah afirmatif untuk pendekatan normativisme (khususnya Dworkin). Ada 2 argumen penulis untuk menjustifikasi pilihan pendekatan normativisme supaya menjadi teori ajudikasi bagi NKRI. Pertama, hakikat dari pembelaan terhadap institusi pengujian yudisial konstitusionalitas undang-undang berdasarkan pendekatan hak. Komitmen pada pendekatan hak ini seyogyanya lebih diperkuat oleh badan yudisial dalam ajudikasi (dengan judicial activism dan interpretasilebih bebas yang berorientasi pada kepentingan HAM. Kompatibilitas

pilihan pendekatan normativis dengan ajudikasi terhadap HAM adalah karena keduanya sama-sma merefleksi komitmen keadilan berporos pada kepentingan manusia per se yang seyogiyanya dilindungi karena pertimbangan haknya. Secara singkat, padat dan jelas. Bagaimana mengontrol objektivitas pendekatan normativisme dalam ajudikasi? Ideal atau nilai-nilai tersebut harus objektif dan dapat digeneralisasi. Bukan ideal atau nilai-nilai subjektif(individual). Kembali pada pemikiran Dworkin, isu ini telah diantisipasi dengan menekan pentingnya akar sejarah dari nilai/idealyang diyakini, objektivitas dengan dengan generalisasi dan dengan konsep integrity.

2. Teori-teori Interpretasi Konstitusi yang saling Bersaing Ducat menjelaskan hubungan antara penguji yudisial konstitusionalitas undang-undang dengan interpretasi konstitusi sebagai berikut: “Judicial review is the power of courts to pass upon the constitutionality of action taken by any of the coordinate branches of goverment. Constitutional Interpretation is concerned with the justification, standards, and methods by which courts exercise the power of judicial

review.” Dalam konteks ini, Ducat melanjutkan, interpretasi konstitusi seyogianya mempertimbangkan:” The logical interconnection among three element: the justification for the review power, the standard of constitusional to be applied by the courts, and the method by which judge support the conclusion that a given goverment action does or does not violate the constitutional.” 2.1 Originalism Originalism adalah teori interpretasi historis. Originalism menurut Mamor adalah sebuah genus: “Is not the tittle of one particular theory of constitutionalis interpretation but rather the name of a family of diverse.” Pengertian dasarnya adalah: “the interpretation of the constitution should seek to effectuate, or a least be faithful to, the understanding of the constituional provisions which can be historically attributed to its framers.” Secara umum, preferensi terhadap originalism didukung oleh satu argumen kuat dalam rangka memajukan constitutional fidelity.Dengan kesetiaan pada konstitusi maka pengadilan dapat bersikap netral ketika menghadapi sengketa konstitusional, tidak masuk ke ranah argumen politik sehingga menjaga konstitusi tetap dalam domain hukum, yang berbeda dengan politik. Posisi ini juga lebih bersesuaian dengan

demokrasi: “Judicial reciew, if’ guide by text and original meaning, ... validates the consent of the governed,’thereby expressing’a deeply rooted commitment to the idea of democrazy’.” Terakhir adalah alasan untuk menjaga otentisitas konstitusi, yaitu mempertahankan konstitusi sebagai “a document of fixed and legally bindding meaning.” Dalam diskusi selanjutnya dibawah penulis akan membahas mengenai dua spesies dari teori originalism yaitu original meaning dan original intent

2.1.1

Original Intent

Secara historis, teori original intent eksis lebih dahulu dari teori original meaning: “the history reveals that contemporary originalist theory has evolved- the mainstream of original theory began with an emphasis on the original intentions of the framers but has gradually moved to the view that the”original meaning” of the constitution is the original public meaning of the text.” Di Amerika Serikat, teori original intent melambangkan politik reaksioner kelompok konservatif terhadap the warren’s court yang aktivis-liberal. Di bawah kepresidenan Ronald Reagan yang Republikan, terjadi proses pengantian sejumlah hakim the supreme court of the United State. Dalam konteks itu, visi politik konservatif yang di cerminkan oleh teori original intent dimasukan

kedalam proses nominasi hakim the Supreme Court of the United State.

2.1.2 Original Meaning Praktisi utama teori original meaning adalah justice Antonin Scalia, yang sekaligus dalam posisi sebagai penentang teori original Intent. Dalam posisi demikian, sebagaimana telah dijelaskan sebelumya pada supra sub-judul 2.1.1, teori original meaning kemudian di pandang sebagai new originalis. Hal pertama yang akan penulis lakukan disini adalah memperoleh pengertian teori original meaning dari praktisinya langsung. Secara pengertian maupun metodologis yang historis, teori ini berbeda dengan teori original intent yang menekankan pada intent dari penyusun konstitusi atau perubahannya. Pada original meaning makna yang berusaha diperoleh secara historis dari Undang-undang dasar adalah Original public meaning ketika undang-undang dasar disahkan . Dalam original meaning, pendapat penyusun konstitusu atau penyusun perubahan konstitusi tidak primer, tetapi dapat diperlakukan sebagai petunjuk mengenai bagaimana mulanya undang-undang dasar di pahami(sebagaimana tersirat dari pendapat Scalia). Pada tataran ini, teori original meaning, tetap dalam

frame konservatif, bermakna lebih positif ketimbang teori original Intent. Secara tersirat scholten menyadari bahwa interpretasi menurut sejarah undang-undang tidak mudah karena proses menentukan maksud atau kehendak pembentuk undang-undang tersebut sangat bergantung pada aspek institusional dari pembentuk undang-undang itu sendiri: “maksud yang barang kali dapat ditetapkan andaikata kita hanya berurusan dengan perundang-undangan satu orang, tidak dapat dikenal pada pembentuk undang-undang yang terdiri atas banyak orang. Pendiri Scholten tentang kekuatan mengikat dari kehendak pembentuk undang-undang adalah negatif seperti dinyatakan berikut ini: “Bukanya pembentuk undang-undang yang mengikat kita, melainkan undang-undang.” Pada bagian lain Scholten mengakui peranan penting dari interpretasi menurut sejarah undang-udang dengan menyatakan” Pertama, untuk menetapkan bagaimana keadaan hukumnya menurut gambaran dari pembentuk undang-undang pada saat pembentukan undangundang, perubahan apa yang dikehendaki orang dam mengapa orang menghendakinya, dan kemudian untuk menyelidiki ruang lingkup bagaimanakah yang di

berikan oleh para pembentuk undang-undang itu kepada istilah-istilah yang mereka pergunakan.

2.2 Textualism Titik otak dari teori interpretasi textualism adalah teks, focusing intently in the words of a given constitutional provision in splendid isolation. Satu contoh teori textualism sering dipertautkan dengan teori original meaning. Sehingga menurut teori ini semua originalis adalah textualis. Pengertian ini melahirkan tuntutan kepada pembentuk undang-undang maupun penyusun konstitusi untuk menggunakan bahasa yang jelas karena secara prospektif hal ini akan berkorelasi dengan daya kerja dari undang-undang dasar. Karena semakin tinggi tingkat kekaburan atau abstraksi dari kata2 yang digunakan maka hal itu akan mempersulit keberlakuan teori interprestasi ini . Satu contoh kasus menarik adalah olmstead v.United states 1928 tentang perolehan barang bukti untuk proses hukum melalui penyadapan telepon tanpa satu surat perintah pengadilan (warrant). Kasus ini diuji kedepan the supreme court of the United States dengan dasar pelanggaran terhadap the amandement

IV of the constitution of the United State yang menjamin constitusional setiap orang. Tetapi bagaimana dengan constitusi ( undang-undang dasar) yang merupakan the supreme law of the land ? Pada konstitusi , makna sistem adalah internal , bahwa ketentuan –ketentuan konstitusional didalamnya adalah satu kesatuan pengaturan. Teknik ini digunakan amar ketika menjustifikasi argumentnya tentang eksistensi asas separation of powers dan checks and balance didalam the constitution of the united state. Sistem pada konstitusi sesungguhnya juga dapat bermakna eksternal , manakala diakui eksistensi dari pengaturan supranational , dalam hal ini hukum internasional. Terhadap yang terakhir ini penulis berargumen afirmatif dengan implikasi interpretasi UUD 1945 harus konsisten atau kohern dengan hukum internasional.

2.4 Puprosive Interpretation Praktisi hukum yang mengkaji secara spesifik dan komprehensif isu puprosive interpretation adalah Aharon Barak, President of the Israeli Supreme Court. Menurut Barak esensi dari teori intrepretasinya adalah

Purposive interpretation begins with the idea that interpretation is about pointing the legal meaning of the teks along the spektrum of its semantic meanings. Semantic meaning sets the limits of interpetation . The interpreter may not give the teks a meaning that its language can not bear .A system of interpretation estabilishes criteria for determining the legal meaning of the teks , within its semantic boundaris . in purposiv interpretation , that criterion is the purpose of the teks. Its the contexs according to which the teks interpreted purpose is the goals, interest, and values that the text seeks to actualize. It is a legal concept . The interpreter determines purpose according to the criteria that purposive interpretation is estabilishes. That purpose has to compenents : Subjective and objective.

2.5 Contextual interpretation Pendekatan kontekstual sebagai teori interpretasi dibangu dengan tesis : “the content of the legal rules must be considered not as being objectively fixed, but as being estabilished by consensus within the relevan comunity. Interpretasi kontektual dengan demikian menuntut atau menghendaki sensitivitas interpreter terhadap latar belakang faktual dari isu hukum yang

sesungguhnya untuk mmenghindari ketidakadilan . Allan menyatakan “the right aplication of rules to cases where the contecs makes it inapropiate treatens the esential conection betwen law and justice . Dalam pengertian demikian teori ini dapat dimaknai sebagai bentuk penghalusan atas teori interpretasi tekstual. Namun penulis berpendapat lebih jauh bahwa konteks menurut teori teks and structure adalah berbeda dengan konteks yang dimaksudkan disini . Pada teori teks and structure, konteks masih dalam batasan linguistik atau gramatical dari teks . Konsep konteks yang dikehendaki dari teori ini adalah segi kemasyarakatan ( yang tentunya berbeda pula dengan original intent pada supra sub-judul 2.1.1 ) Camock membangun argumen justifikasi untuk teori interpretasi contextual sebagai berikut/ “ the fact that the evoleves over time, to take acount of emerging social needs values shows that it is not fixed independently of the participan, but is indeed responsif to the changing consensus. Pemahaman seperti ini sangat dekat dengan sosiological jurisprudence c.q. realism sebagai landasan teoritisnya . Tuntutan yang timbul dari dasar teoritis ini adalah interpretasi seyogyanya dilakukan konsisten dengan tuntutan

masyarakat yag terus menerus berubah sebagai konteks .

2.6 Anotasi Berdasarkan pembahasan di atas tampak bahwa batas-batas masing-masing teori interpretasi konstitusi secara tradisonal semakin menyempit dan kabur (khususnya ketika pembahasan dilakukan semakin detail menyangkut kelemahan dan kekuatan) Langkah-langkah evolusioner untuk memperbaiki kelemahan dalam masing-masing teori pada gilirannya melahirkan teori interpretasi yang karakternya hybrid, kehilangan otensitas tradisional. Hal ini berimplikasi pada keprcayaan terhadap satu teori interpretasi adalah tidak niscaya lagi, terutama ketika berangkat dari satu pra pemahaman spesifik bahwa hasil interpretasi seyogyanya sebaik dan setepat mungkin sebagai judicial reasoning yang menjustifikasi putusan seperti menjadi aspirasi dari teori ajudikasi normativisme. Sebagai catatan penutup, praksis Interpretasi konstitusi dengan interpretasi peraturan perundang-undangan biasa seyogyanya dibedakan karena karakter masingmasing produk hukum yang berbeda. Dalam

interpretasi peraturan perundang-undagan biasa, interpretasi yudisial sangat dibatasi oleh isu separation of powers, sehingga sangat dimaklumi jika orientasi interpretasinya bersifat jangka pendek mengingat peraturan perundang-undangan biasa lebih mudah diubah ketimbang undang-undang dasar. Kutipan atas judicial opinion Chief Justice Dickson, the supreme Court of Canada dalam kasus Hunter v. Southam, inc 1984 untuk kesekian kalinya dirasa sebagai doktrin paling memuaskan

3. Interpretasi Konstitusi Menurut UUD NRI 1945 Sub-judul ini berargumen bahwa tidak ada ketentuan yang mengatur tentang teori interpretasi konstitusi yang seyogyanya digunakan dalam menginterpretasikan UUD NRI 1945, khususnya dalam pengujian yudisial konstitusionalitas undang-undang oleh NKRI. Pilihan atas teori interpretasi konstitusi diserahkan pada interpreternya-nya yang paling otoritatif, yaitu hakim sesuia asas independensi yudisial. Namun , UUD NKRI 1945 sebagai hukum materil dalam rangka pengujian yudisial konstitusionalitas undang-undang tetep memiliki

tuntutan supaya diinterpretasikan dengan tepat. Argumentasi justifikasinya adalah, meskipun UUD NKRI 1945 adalah supreme law of the land, namun penerapannya tidak boleh sewenang-wenang. Sehingga adalah aspirasi yang wajar jika interpretasinya konstitusi, seperti halnya interpretasi yuridis pada umunya, harus tetap dilakukan secara cepat. Ada enam the modalities of constitutional interpretation yang “generally accepted as composing the standrad model of constitutional interpretation”, yaitu: 1.history, which looks to the original intentions of the words of the constitution as constitution. 2.text, which look to the meaning of the words of the constitution as they would be interpreted by an average contrmporary american today 3.sturcture , which infers rule from the relationships that the constitution mandates betwwen the structure it creates 4.doctorine, which generates and applies rules from it creates

5.ethos, which derives rules from those traditions that are reflected in the US constitutional practice 6.prudence, which balance the costs and benefit of a proposed rule. Dalam fungsi yang diinginkannya , pendapat di ats tidak secara fisik menentukan kriteria aspirasional tentang interpretasi konstitusi yang tepat atau sebaliknya. Bobbit hanya memberi pedoman umum bahwa modalitas nomor 1-3 adalah diperuntukan bagi yuris yang menganut pendirian strict construction. Pendirian strict construction di sini padanannya adalah teori ajudikasi formalisme. A contrario, selebihnya adalah bagi yuris yang tidak menganut pendirian strict construction. Teori interpretasi konstitusi yang menurut penulis paling koheren dengan tuntutan konstitusi normatif adalah teori interpretasi purposive karena lebih dapat mengungkap secara mendalam sifat aspirasional konstitusi. Khususnya dalam hal ini adalah HAM. Penulis sependapat dengan argumen justifikasi Barak atas teori interpretasi purposive sebagai teori interpretasi konstitusi berikut ini : “As is the case for other legal texts , the purposive interpreter learns

these purposees from language of the text and from external sources. Without negating the applicability of subjektive purpose, purposive interpretation favor objective purpose subjective purpose, purposive interpretation favors objective purpose in constitutional interpretation.” Kedalam makna konstitusi dengan teori interpretasi purposive tidak hanya di tentukan oleh sumber internal. Tetap juga sumber eksternal yang luas sehingga interpretasinya yang demikian lebih luwes dan secara presumtif lebih mampu menjawab isu-isu hukum yang problematika termasuk pengayaan melalui praktik pendekatan perbandingan. Berdasarkan praktik hukum yang di pandang representatif dalam isu interpretasi konstitusi dan perlindungan HAM, Jayawickrama merumuskan sejumlah prinsip Interpretasi sebagai Berikut: 1. The rules of statutory interpretation ought not to be applied 2. The draftman’s intention is irrelevant 3. A broad , liberal, generous, and benevolent construction should be given, not a narrow, pedantic, literal or technical interpretation. A bill

of Right must be broadly construed in favour of the individual rather than in favour of the state 4. A hierarchical approach to right must be avoided when interpreting a human right instrument

BAB V PENUTUP Secara keseluruhan buku ini berargumen bahwa konstitusi, termasuk UUD 1945 sebagai konstitusi indonesia , sangat penting fungsinya dalam rangka perlindungan HAM. Undang- undang NKRI 1945 adalah konstitusi HAM. Secara formal klaim ini dijustifikasikan oleh keberadaan bab XA UUD NKRI 1945 . Secara substansi semua konstitusi termasuk UUD NKRI 1945, dipresumsikan sebagai bentuk penjaminan terhadap ham dalam konteks fungsi kodratinya to contitute a goverment. Penegakan konstitusi secara yudisal oleh NKRI melalui pengujian konstitusionalitas UUD sejalan dengan hakikat UUD NKRI 1945 sebagai konstitusi HAM yaitu melindungi HAM dari interfensi pembentuk UUD . Premis mayor buku ini konsepsikan dengan istilah pendekatan normatifisme konstitusional yang melahirkan tuntutan konstitusi normatif

Penulis juga meyakini bahwa dalam kasus HAM perangan pendekatan natural law dan natural right sangat penting untuk memperkuat jaminan konstitusional atas perlindungan HAM. Sehingga kekurangan yang ada dalam proses konstitusionalisasi HAM tersebut dapat dikembalikan kepada hukum kondrat. Pada isu yang lebih spesifik yaitu status UUD NKRI 1945 penulis berargument bahwa pendekatan normatifisme konstitusional dan tuntutan konstitusi normatif juga aplikabel. UUD NKRI 1945 seperti konstitusi pada umumnya, juga erat atau bahkan harus syarat dengan nilai-nilai atau ideal yang universal sifat jangkauanya sebagai konstitusi HAM, penulis meyakini UUD NKRI berada di kontrol hukum kodrat dan hukum kodrati. Terakhir tentang isu bagaimana seharusnya interpretasi konstitusi dilakukan sebagai premis mayor penulis mendalilkan bahwa hakikat konstitusi menentukan bagaimana seharusnya interprestasi tersebut dilakukan . Jika pendekatan normatif konstitusional diikuti secara konsiten makan pendekatan dalam interpretasi konstitusi

yang berbanding lurus dengan itu adalah pendekatan normatifisme. Sebagai catatan penutup penulis bahwa dalam menjalankan fungsi dan kewenanganya untuk melakukan pengujian konstitusionalitas Undangundang maka NKRI seyogyanya dalam posisi lebih memajukan atau meperkuat HAM supa konsisten dengan visi UUD NKRI 1945 sebagai konstitusi HAM.

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Cube Of Fate.docx
June 2020 3
Vio.docx
June 2020 5
Bab Iv.docx
June 2020 5
Lp Morbili.docx
June 2020 4
Cth Surat Lamaran.docx
June 2020 15