BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Keberadaan
budaya
yang
sangat
multikultural
sehingga
mewajibkan kepada setiap manusia untuk dapat menyesuaikan diri terhadap semua macam budaya yang ada. Tetapi setiap manusia mempunyai hak untuk memandang atau berpendapat tentang suatu budaya tertentu menurut pandangan masing-masing. Memandang bahwa budaya adalah sesuatu yang penting maka pandangan terhadap budaya juga harus diperhatikan. Seseorang memandang bahwa budaya yang dimiliki lebih unggul dibanding dengan budaya yang lain, hal ini dapat menimbulkan sesuatu yang positif dan negatif. Istilah untuk pandangan tersubut adalah Etnosentrisme. Menurut Nanda dan Warms (dalam Larry, 2010) mengatakan bahwa “Etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan budaya lain. Pandangan bahwa budaya lain dinilai berdasarkan standart budaya kita. Kita menjadi etnosentris ketika kita melihat budaya lain kacamata budaya kita atau posisi sosial kita”. Dalam kehidupan masyarakat komunikasi sangatlah menentukan baik tidaknya kita berhubungan dengan orang lain. Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi1. Demikian pula dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antar budaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi lintas budaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antar komunikator degan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif. Lahirnya semangat kesekawanan, persahabatan dari satu budaya ke budaya yang lain. Hingga pada hasilnya mengurangi konflik yang akan dibahas pada makalah ini yaitu komunikasi lintas budaya dan
1
etnosentrisme. Sikap etnisentrisme sebaiknya tidak di nomor satukan ketika menyampaikan pesan-pesan komunikasi. Akhirnya kelompok yang memiliki budaya itu kemudian saling berhubungan satu sama lain. Komunikasi yang terjadi antara orang. Orang yang berbeda bangsa, suku, ras, agama, tingkat pendidikan, status sosial atau bahkan jenis kelamin disebut komunikasi antar budaya, tidak lagi memandang kelompoknya yang lebih baik atau atau budayanya lebih memberikan cipta karya yang paling berperan. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa antara etnosentris dapat memberikan identitas dan perasaan memiliki kepada anggotanya. Dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap budaya yang dimiliki, sehingga etnosentrisme dianggap penting dalam memandang sebuah budaya. Tetapi etnosentrisme memiliki sisi negatif dimana ketika pandangan terhadap budaya yang dimiliki tersebut memaksakan budaya lain untuk mengikutinya. Melihat sisi positif dan negatif tersebut makadari itu diperlukan pemahaman yang cukup untuk dapat menerapkan etnosentrisme pada masing-masing individu dengan benar. 1.2
Rumusan Masalah 1. Apa definisi kebudayaan ? 2. Apa yang di maksud dengan etnosentrisme ? 3. Bagaimana karakteristik etnosentrisme? 4. Bagaimana terjadinya etnosentrisme? 5. Bagaimana keterkaitan etnosentrisme mempengaruhi identitas budaya ? 6. Bagaimana pengaruh etnosentrisme ? 7. Bagaimana cara menghindari etnosentrisme ? 8. Bagaimana contoh pengaplikasian etnosentrisme ?
2
1.3
Tujuan 1. Untuk mengetahui definisi dari kebudayaan. 2. Untuk mengetahui definisi etnosentrisme. 3. Untuk mengetahui karakteristik etnosentrisme. 4. Untuk mengetahui terjadinya etnosentrisme. 5. Untuk mengetahui keterkaitan etnosentrisme mempengaruhi identitas budaya. 6. Untuk mengetahui pengaruh etnosentrisme. 7. Untuk mengetahui cara menghindari etnosentrisme. 8. Untuk mengetahui contoh pengaplikasian etnosentrisme.
3
BAB II PEMBAHASAN 2.1
Definisi Kebudayaan Definisi mengenai kebudayaan juga dikemukakan oleh para ahli. Mungkin bahasan dari pakar ini akan mampu membuat Anda lebih memahami arti dari kebudayaan dengan lebih mudah. a. Koentjaraningrat Menurut beliau, kebudayaan merupakan keseluruhan perilaku dari manuasia dan hasil yang diperoleh melalui proses belajar dan segalanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. b. Ki Hajar Dewantara Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara didefinisikan sebagai buah budi manusia, yang merupakan hasil dari dua pengaruh besar yaitu alam dan kodrat masyarakat. Ini juga merupakan sebuah bukti kejayaan kehidupan manusia untuk dapat mengatasi kesulitan di dalam hidupnya agar keselamatan dan kebahagyaan bisa tercapai. Nantinya, sifat tertib dan damai juga akan terlahir dari sini. c. Soelaeman Soenardi dan Selo Soemardjan Menurut dua pakar tersebut kebudayaan merupakan semua hasil karya, cipta, dan rasa dari masyarakat. Karya – karya tersebut menghasilakn teknologi serta kebudayaan berwujud benda dan jasmaniah yang diperlukan oleh umat manusia untuk dapat menguasai alam supaya hasilnya bisa digunakan untuk diabdikan bagi keperluan masyarakat. d. Dr. Mohammad Hatta Menurut beliau, pengertian kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Dalam memahami kebudayaan kita harus mengacu pada sejumlah karakteristik yang dimiliki oleh kebudayaan, antara lain adalah bahwa 4
kebudayaan itu dimiliki bersama, diperoleh melalui belajar, bersifat simbolis, bersifat adaptif dan maladapti, bersifat relatif dan universal. Dan dibawah ini merupakan penjelasan dari beberapa karakteristik kebudayaan: 1. Culture is an adaptive mechanism (Adaptif) Artinya,
suatu
kebudayaan
adalah
mekanisme
dalam
mempertahankan pola kehidupan manusia. Kebudayaan adalah suatu mekansime yang dapat menyesuaikan diri. kebudayaan adalah sebuah keberhasilan mekanisme bagi spesis manusia. Kebudayaan memberikan kita sebuah keuntungan selektif yang besar dalam kompetisi bertahan hidup terhadap bentuk kehidupan yang lain. 2. Culture is learned (Dipelajari) Artinya, bahwa kebudayaan didapat dari proses pembelajaran untuk berbudaya, karena secara naluriah saja manusia akan hidup tanpa sebuah kebudayaan. Budaya bukanlah suatu hal yang naluriah, dimana kita telah terprogram untuk mengetahui fakta-fakta dari budaya tersebut. Oleh karena itu salah satu dari karakteristik budaya adalah diperoleh dari hasil pembelajaran. Manusia lahir ke dunia dengan sifat dasar, yaitu ‘lapar’ dan ‘haus’. Akan tetapi manusia belum memiliki suatu bentuk pola naluriah untuk dapat memuaskan sifat dasar itu. Selain itu manusia saat lahir juga tidak dibekali pengetahuan tentang budaya atau cultural knowledge. Tetapi manusia secara genetis terpengaruh
untuk
belajar/mempelajari
bahasa
dan
tanda-tanda
kebudayaan lainnya (cultural traits). Seorang bayi akan berada di suatu tempat (disini bisa diakatakan sebuah keluarga), dan mereka tumbuh dan belajar tentang kebudayaan sebagai sesuatu yang mereka miliki. 3. Cultures change (Berubah) Artinya, bahwa kebudayaan berkembang sesuai dengan berjalanya waktu dan dinamis setiap saat, tergantung waktu dan tempat berlangsungnya kebudayaan. Kebudayaan bukan sesuatu yang terusmenerus tetap dan bertumpuk. Pada waktu yang sama dimana suatu kebudayaan ada, terdapat tanda-tanda kebudayaan baru. Tanda-tanda dari kebudayaan itu bisa sebagai tambahan (addition) atau pengurangan
5
(subtraction). Tanda-tanda ini menyebabkan perubahan kebudayaan. Hal ini disebabkan kebudayaan berubah dan berkembang secara dinamis setiap saat: kebudayaan tidak statis. Berbagai aspek kebudayaan beserta tanda-tandanya akan terjalin rapat menjadi suatu pola yang sangat kompleks. 4. People usually are not aware of their culture (Tidak disadari oleh masyarakatnya). Artinya, bahwa kebudayaan berkembang dan dinamis setiap saat, tergantung waktu dan tempat berlangsungnya kebudayaan. Cara kita bergaul dan melakukan segala sesuatu dalam keseharian kita terkesan berjalan dengan alami atau natural. Kebanyakan dari kita sebagai manusia tidak sadar akan budaya. Hal itu disebabkan oleh manusia yang pada dasarnya sangat dekat dengan kebudayaan itu dan mengetahuinya dengan sangat baik. Manusia merasakan bahwa semuanya seolah-olah terjadi begitu saja (mewarisi secara biologis). Dan biasanya manusia hanya akan sadar bahwa pola kelakuan mereka bukanlah sesuatu yang individual ketika mereka mulai berinteraksi dengan manusia dari kebudayaan lain. 5. We do not know all of our own country (Tidak diketahui secara keseluruhan) Artinya, bahwa semua masyarakat tidak ada yang mengetahui secara keseluruhan suatu kebudayaan yang ada dalam lingkup daerahnya, hanya saja yang diketahui berupa fakta-fakta sosial.Tidak ada satupun orang yang bisa mengetahui budaya mereka secara keseluruhan. Dalam masyarakat, terdapat pengetahuan tentang budaya yang terbatas terhadap fakta-fakta kelas sosial, pekerjaan, agama, dan perkumpulan-perkumpulan lain. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa sejatinya kebudayaan tidak dapat diketahui secara keseluruhan. 6. Culture gives us a range of permissible behavior patterns (memberikan dan membatasi pola tingkah laku) Artinya, bahwa kebudayaan memberikan jarak dalam interaksi dan membatasi pola tingkah laku masyarakatnya.Kebudayaan umumnya
6
memberikan jarak dalam cara bagaimana laki-laki sebagai laki-laki, wanita sebagai wanita. Kebudayaan juga memberikan gambaran bagaimana perbedaan aktivitas yang seharusnya ada dan tidak ada, seperti bagaimana seorang suami bertindak sebagai suami, bagaimana seorang istri bertindak sebagai seorang sebagai istri, dan sebagainya. Aturan ini biasanya bersifat fleksibel atau tergantung dari masyarakat daerahnya, serta kadar dan tingkatnya. Di negara Amerika Utara contohnya, kebudayaan mereka mengajarkan bahwa seorang harus berpakaian sesuai dengan jenis kelamin mereka (gender). Akan tetapi mereka boleh memakai pakaian dengan cara yang berbeda pada saat siutasi yang berbeda. 7. Cultures no longer exist in isolation (Tidak bertahan lama disuatu daerah terpencil) Artinya kebudayaan tidak akan bertahan lama dalam suatu wilayah atau daerah terpencil. Apabila suatu kebudayaan baru memasuki wilayah tersebut, maka secara alamiah masyarakat disana akan berkembang dan mulai beradaotasi dengan kebudayaan-kebudayaan baru. Hal ini akan menyebabkan suatu budaya sulit bertahan (asli) di suatu tempat karena akan dipengaruhi oleh budaya-buadaya dari daerah lain disekitarnya. 8. Culture is shared (Dibagikan) Artinya, bahwa suatu kebudayaan merupakan kumpulan prinsip dan keyakinan baik, sehingga manusia tersebut akan berusaha melestarikan dengan cara menyebarkan ke manusia lain. Suatu kebudayaan dimiliki secara bersama-sama oleh sekelompok orang. Berdasarkan wilayah, kondisi iklim, dan warisan sejarah, mereka tumbuh dan berkembang di dalamnya. Setiap masyarakat memiliki suatu
nilai
dan
keyakinan,
dimana
kumpulan-kumpulan
prinsip/asas/dasar nilai dan keyakinan ini akan membentuk kebudayaan mereka. Kebudayaan bisa saja menjadi kepunyaan dari komunitas tunggal, tapi tidak akan pernah menjadi kepunyaan dari seseorang yang tunggal (individu).
7
8
2.2
Definisi Etnosentrisme Ethnosentris
adalah
suatu
anggapan
yang
mengunggulkan
kelompoknya sendiri daripada kelompok lain. Adanya perbedaan budaya dari masing-masing daerah bahkan negara. Perbedaan cara pandang dan pendapat terhadap budaya yang dimiliki atau diakui dapat menunjukan perilaku etnosentrisme. Etnosentrisme terdapat dalam beberapa bahasa yaitu arti kata “Cina” dalam bahsa Cina sebetulnya bermakna “pusat dunia” dan suku Navajo, Kiowa dan Inuit menyebut diri mereka sendiri sebagai “The people”. Contoh adanya perilaku etnosentrisme, misalnya saja suatu daerah mempunyai budaya untuk memakan daging kuda mentah. Hal ini mendapat cara pandang yang berbeda dari berbagai kalangan. Ada yang berpendapat bahwa memakan daging kuda mentah adalah hal yang biadab dan tidak normal. Tetapi mungkin saja ada yang memiliki pandangan bahwa memakan daging kuda mentah adalah biasa dan tidak sebanding dengan meletakkan orang tua di panti jompo. Dari contoh diatas maka Nanda dan Warms (dalam Larry, 2010) menjelaskan bahwa etnosentrisme merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan budaya yang lain. Pandangan bahwa budaya lain dinilai berdasarkan standart budaya kita. Kita menjadi etnosentris ketika kita melihat budaya lain melalui kacamata budaya kita atau posisi sosial kita. Secara menyeluruh perilaku etnosentrisme merupakan sikap/ perilaku yang menggunakan pandangan dan cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolak ukur untuk menilai budaya lain atau kelompok lain. Selain itu etnosentrisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan yang sangat tinggi terhadap budayanya sendiri dan menganggap tidak nyaman dengan budaya lain sehingga lebih memandang rendah terhadap budaya lain. 2.3
Karakteristik Etnosentrisme Karakteristik dalam etnosentrisme dikemukakan oleh beberapa tokoh, antara lain sebagai berikut:
9
Menurut Larry, dkk (2010) terdapat tiga tingkatan dalam etnosentrisme, yaitu: 1. Positif, merupakan kepercayaan bahwa paling tidak bagi Anda, budaya Anda lebih baik dari yang lain. Hal ini alami dan kepercayaan Anda berasal dari budaya asli Anda. 2. Negatif, Anda mengevaluasi secara sebagian. Anda percaya bahwa budaya Anda merupakan pusat dari segalanya dan budaya lain harus dinilai dan diukur berdasarkan standar budaya Anda. Menurut Triandis, “kita melihat kebiasaan kelompok sebagai hal yang benar. Kita langsung berpikir bahwa peranan dan nilai-nilai dalam kelompok benar”. 3. Sangat Negatif, bagi Anda tidak cukup hanya menganggap budaya Anda sebagai yang paling benar dan bermanfaat, Anda juga menganggap budaya Anda sebagai yang paling berkuasa dan Anda percaya bahwa nilai dan kepercayaan Anda harus diadopsi oleh orang lain. Etnosentrisme semuanya terletak pada identitas sosial yang mendasar: kami. Sesaat sesudah orang-orang menciptakan kategori yang disebut “kami”, mereka mempersepsikan semua orang lain sebagai “bukan kami”. Solidaritas dalam kelompok ini dapat tercipta dalam waktu satu menit dalam laboratorium, sebagaimana ditunjukkan oleh Henri Tajfel dan rekan-rekannya (1971) dalam sebuah eksperimen di sekolah khusus lelaki di Inggris. Tajfel menunjukkan kepada anak-anak lelaki ini berbagai potongan gambar, masing-masing memiliki sejumlah titik yang beraneka ragam dan meminta anak-anak ini untuk menebak beberapa jumlah semua titik dalam potongan gambar tersebut. Anak-anak ini dengan acak dikelompokkan sebagai “overestimators” ataupun “underestimators” dan mereka kemudian diminta untuk mengerjakan tugas lainnya. Dalam tahap ini, mereka diberikan kesempatan menilai anak-anak lain yang diidentifikasikan sebagai “overestimators” ataupun “underestimators”. Walaupun setiap anak bekerja sendiri dalam ruangnya masing-masing, setiap anak memberikan nilai yang lebih tinggi pada anak-anak yang
10
dianggap mirip dengannya, entah itu seorang yang “overestimators” ataupun “underestimators”. Ketika anak-anak ini keluar dari ruangannya masing-masing dan ditanyai, “Termasuk yang manakah dirimu?” dan jawaban yang diberikan disebut dengan sorak gembira atau cemooh dari anak-anak lainnya. Identitas sosial kita-mereka diperkuat ketika kedua kelompok berkompetisi satu dengan yang lainnya. Bertahun-tahun yang lalu. Muzafer Sherif dan rekan-rekannya menggunakan sebuah situasi alamiah, yaitu lokasi perkemahan pramuka yang dikenal sebagai Robbers Cave, untuk menunjukkan pengaruh kompetisi pada perilaku kasar dan konflik antar kelompok (Sherif, 1958, Sherif dkk 1961). Sherif menempatkan secara acak anak-anak usia 11 dan 12 tahun ke dalam dua kelompok, kelompok Elang dan kelompok Ular. Untuk membangun perasaan sebagai sebuah kelompok, serta membentuk identitas dalam kelompok dan semangat tim, setiap kelompok di minta bekerja sama dalam kegiatan seperti membuat jembatan dari tali-temali dan membangun sebuah papan untuk menyelam. Sherif kemudian menempatkan kelompok Elang dan Ular dalam sebuah kompetisi untuk mendapatkan hadiah. Selama permainan bola, baseball, dan tug-of-war yang sengit, anak-anak ini kemudian menciptakan atmosfer kompetisi yang segera menyelimuti lapangan permainan. Mereka mulai masuk ke daerah lawan dan mengacakacak tempat penympanan mereka. Tidak butuh waktu yang lama untuk membuat kelompok ular dan kelompok Elang menjadi orang-orang yang agresif terhadap kelompok lawan, seperti halnya dua geng yang berkelahi untuk mendapatkan suatu wilayah, atau dua bangsa yang bertarung untuk memperoleh dominasi. Agresivitas dan perilaku kasar ini berlanjut ketika mereka hanya duduk dan menonton film bersama. Kemudian Sherif memutuskan untuk menghilangkan pertikaian yang dia ciptakan dan membuat perdamaian antara kedua kelompok. Dia dan para rekannya membuat sejumlah rangkaian situasi di mana kedua kelompok
perlu
bekerja
sama
untuk
mencapai
sebuah
tujuan-
menggabungkan seluruh sumber daya untuk dapat menonton film yang
11
ingin mereka lihat, sebagai contohnya, atau dengan menarik sebuah truk milik staf hingga ke bukit tempat perkemahan. Kebijakan untuk saling bergantung dalam mencapai tujuan bersama sangat sukses dalam mengurangi “etnosentrisme”, tingkat kompetisi, dan perilaku kasar mereka; masing-masing anak kemudian menjadi teman dengan anak-anak yang semula adalah “musuh mereka”. Saling tergantungan memiliki dampak seruupa pada orang dewasa dan kelompoknya. Alasannya tampaknya karena kerja sama menyebabkan seseorang berpikir bahwa mereka sendiri merupakan anggota dari suatu kelompok besar dan bukan lagi dua kelompok yang saling bertentangan, “kami” dan “mereka”. Dari bacaan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik lain yang terdapat pada etnosentrisme (dalam wede carole, dkk. 2008) antara lain sebagai berikut: 1. Etnosentris terletak pada identitas sosial yang mendasar. Hal ini mengarah pada kata “kami”, setelah mengenal kata tersebut, para etnosentris mempresepsikan semua orang lain “bukan kami”. 2. Solidaritas dalam kelompok dapat tercipta lebih cepat, etnosentris menyukai orang lain yang hampir sama dengan dirinya dan budayanya. 3. Menciptakan “kerja sama” bagi orang yang berpandangan etnosentris dapat merubah makna kata “kami” dan “mereka”. 4. Budaya yang mengadopsi perilaku/ sikap etnosentrisme dapat menciptakan permusuhan dengan cepat antara dua kelompok yang berbeda yaitu melalui adanya perebutan dalam hal tertentu (identitas sosial menjadi lebbih kuat). 2.4
Terjadinya Etnosentrisme Etnosentrisme terjadi jika masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan kebudayaan lain. Porter dan Samovar mendefinisikan etnosentrisme seraya menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin
12
dekat mereka dengan kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling baik, sebagai yang paling bermoral.” Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri. Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme. Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar. Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah. Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil memberikan penjelasan
13
sederhana yang cukup menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik. Kalangan
kolot,
yang
terasing
dari
masyarakat,
yang
kurang
berpendidikan, dan yang secara politis konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya [Ray, 1971; Wilson et al, 1976]. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang. Ada tiga faktor yang mempengaruhi etnosentris, yaitu: prasangka sosial, streoritip, jarak sosial. 1. Prasangka Sosial Perasangka merupakan sikap yang negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompok sendiri. Sikap demikian bisa dikatakan sebagai sikap yang menghambat efektivitas komunikasi diantara komunikator dengan komunikan yang berbeda etniknya. 2. Stereotip Stereotip adalah suatu keyakinan seseorang terhadap orang lain (karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman). Keyakinan itu membuat kita memperkirakan perbedaan antarkelompok yang mungkin kelewat tinggi ataupun terlalu rendah sebagai ciri khas seseorang maupun kelompoknya. 3. Jarak Sosial Jarak sosial merupakan aspek lain dari prasangka sosial yang menunjukkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain dalam hubungan yang terjadi diantara mereka. Jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan tertentu.
14
Aspek budaya yang mempengaruhi perilaku kesehatan : 1.
Persepsi masyarakat terhadap sehat dan sakit Masyarakat mempunyai batasan sehat atau sakit yang berbeda dengan konsep sehat dan sakit versi sistem medis modern (penyakit disebabkan oleh makhluk halus, guna-guna, dan dosa)
2.
Kepercayaan Kepercayaan dalam masyarakat sangat dipengaruhi tingkah laku kesehatan, beberapa pandangan yang berasal dari agama tertentu kada ng-kadang memberi pengaruhnegatif terhadap program kesehatan. Sifat
fatalistik
atau
fatalism
adalah
ajaran
atau
paham bahwa manusia dikuasai oleh nasib. Seperti contoh, orang orang Islam di pedesaan menganggap bahwa penyakit adalah cobaan dari Tuhan, dan kematian adalah kehendak Allah. Jadi, sulit menyadarkan masyarakat untuk melakukan pengobatan saat sakit. 3.
Pendidikan Masih banyaknya penduduk yang berpendidikan rendah, petunjukpetunjuk
kesehatan
sering
sulit
ditangkap
apabila
cara
menyampaikannya tidak disesuaikan dengan tingkat pendidikan khayalaknya. 4.
Nilai Kebudayaan Masyarakat Indonesia terdiri dari macam-macam suku bangsa yangmempunyai perbedaan dalam memberikan nilai pada satu obyek tertentu. Nilai kebudayaan ini memberikan arti dan arah pada cara hidup, persepsi masyarakat terhadap kebutuhan dan pilihan mereka untuk bertindak.
2.5
Keterkaitan Etnosentrisme Mempengaruhi Identitas Budaya Larry (dalam Diana, 2015: 36-37) mengatakan bahwa alasan lain mengapa etnosentris begitu mendarah daging adalah bahwa etnosentris memberikan identitas dan perasaan memiliki kepada anggotanya. Rusen menjelaskan, “keanggotaan dalam suatu kelompok, suatu penghargaan diri, membuat masyarakat bangga akan prestasi bangsanya”. Perilaku yang diartikan pendapat ini dalam etnosentrisme dituliskan oleh Scarborough:
15
“orang-orang bangga akan budaya mereka merupakan sumber identitas; mereka memiliki kesulitan memahami mengapa orang lain tidak berperilaku seperti mereka, dan menganggap bahwa orang lain harus menjadi bagian dari mereka jika mereka dapat”. Haviland dan rekan menegahkan, “untuk berfungsi secara efektif, kita mungkin mengharapkan masyarakat untuk memiliki rasa bangga terhadap etnisnya dan kesetiaan terhadap tradisi budaya yang unik, dari mana masyarakat mendapatkan dukungan secara psikologis dan ikatan sosial yang kuat dengan kelompoknya. Dalam masyarakat dimana identifikasi diri seseorang berasal dari kelompoknya, etnosentrisme penting dalam membangun rasa penghargaan terhadap diri sendiri”. Larry (2010) mengatakan bahwa rasa etnosentris lebih kuat dalam konteks moral dan agama, dimana emosionalisme mungkin membayangi alasan dan penyebab permusuhan dunia pada tanggal 11 September 2001. Untuk menjelaskan hubungan etnosentrisme terhadap kesetiaan budaya maka Brislin mengamati, jika orang memandang kelompok mereka sebagai hal yang penting dalam kehidupan mereka dan memiliki perilaku yang pantas, mereka mungkin membantu kelompok mereka ketika masalah timbul. Ketika masa perang, mereka menggunakan rasa etnosentrisme untuk menyemangati tentara mereka dalam mengalahkan musuh. Ada akibat serius jika Anda terlibat dalam etnosentrisme negatif ketika Anda berhasil dalam komunikasi antarbudaya. Salah satu akibat etnosentrisme adalah rasa gelisah. Alasannya sederhana dan dinyatakan dengan jelas oleh Gamble dan Gamble: “semakin etnosentris Anda, semakin gelisah Anda dalam berhubungan dengan budaya lain; ketika kita takut, kita jadi memiliki sedikit harapan positif dari suatu hubungan dan kurang mempercayai orang dari budaya lain”.
16
2.6
Pengaruh Etnosentrisme 1. Meningkatkan kesatuan, kesetiaan dan moral kelompok Kelompok-kelompok etnosentris tampak lebih bertahan daripada kelompok yang bersikap toleran. Etnosentrisme mengukuhkan nasionalisme dan patriotisme. 2. Perlindungan terhadap perubahan Setiap
kebudayaan
harus
berubah
untuk
mempertahankan
kelangsungannya. Etnosentrisme meningkatkan kestabilan kebudayaan dan kelangsungan hidup kelompok; dalam situasi lain etnosentrisme meruntuhkan kebudayaan dan memusnahkan kelompok. 3. Konflik dan kepentingan social Keaneragaaman dalam suatu negara merupakan suatu kekayaan budaya. kekayaan itu akan menjadi lumpuh dan menjadi konflik ketika perbedaan di antaranya tidak diperkuat oleh sikap nasionalisme. Hal bisa dilhat dari banyaknya konflik antar etnis di tahun 1990-an. Seperti tragedi Sampit, antar suku Madura dan Dayak. Dimana terdapat kecemburuan ekonomi antara Madura sebagai pendatang dan Dayak sebagai penduduk asli. 2.7
Menghindari Etnosentrisme Untuk menghindari persepsi dan perilaku etnosentris bukanlah hal yang mudah, berikut beberapa saran untuk mengurangi akibat negatif dari sifat etnosentris: 1. Cobalah menghindari dogmatisme. Anda dapat memulainya dengan memikirkan pertanyaan berikut ini: a. Orang Yahudi menutup kepala mereka ketika berdoa, namun tidak demikian dengan orang Protestan. Apakah seseorang melakukan yang lebih benar dari yang lainnya? b. Umat katolik memiliki satu Tuhan, umat Budha tidak memiliki Tuhan, dan umat Hindu memiliki banyak Tuhan. Apakah kepercayaan yang satu lebih benar dari kepercayaan yang lainnya?
17
c. Di beberapa bagian Iran dan Arab Saudi, perempuan menutup muka mereka dengan cadar, sedangkan perempuan di Amerika Serikat tidak. Apakah satu perilaku lebih benar dari yang lainnya? d. Di Cina, orang makan dengan sumpit, sedangkan di Amerika Serikat orang makan dengan peralatan makan dari metal atau plastik. Apakah suatu metode lebih benar dari yang lainnya? Pertanyaan seperti di atas tidak terhingga. Menurut Larry, dkk (2010) bahwa bukan pertanyaan-pertanyaan ini yang penting, namun sikap dogmatis orang dalam menjawabnya. Bahaya etnosentrisme lebih besar dalam bidang politik, moral, dan agama. Dalam konteks tersebut, mudah untuk membiarkan pandangan yang terbatas mengalahkan rasional. Waspada terhadap segala bentuk ketidaktoleransian. St. Thomas Aquinas mengatakan hal yang sama ratusan tahun yang lalu, “berhati-hatilah terhadap seseorang dengan satu buku”. 2. Belajar untuk memiliki pandangan yang terbuka. Triandis menjelaskan, “ketika kita membuat penilaian komparatif bahwa budaya kita lebih unggul dibandingkan yang lainnya, kita belajar untuk mengikuti penilaian ini dengan dua pertanyaan: “apakah hal ini benar? Apakah bukti objektifnya?”. Menurut Triandis, mengenal keberagaman budaya dengan mengetahui “kebenaran” budaya yang lain. Kurang pengetahuan merupakan penyebab utama etnosentrisme. 2.8
Hubungan Etnosentrisme Dalam Pelayananan Kesehatan a. Angka kejadian gizi kurang dan buruk di Indonesia berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2010 dengan indikator berat badan per umur (BB/U), adalah sebesar 18,4%, merupakan katagori tinggi jika dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya. Di Jawa Timur kejadian gizi buruk sebesar 4,8%, gizi kurang sebesar 12,3 % hal tersebut menunjukkan pelayanan kesehatan pada bayi dan anak balita khususnya masalah gizi adalah sangat kurang, hal tersebut terjadi pula pada kabupaten Sumenep yang diatas angka nasional maupun Jawa Timur, yaknii 8,6% kejadian gizi buruk dan 20,9 % gizi kurang.
18
Wanita Madura pedesaan menikah usia muda, kebiasaan ini didasarkan adanya ikatan pertunangan bagi anak perempuan yang sudah memasuki usia menstruasi. Hal ini akan berpengaruh pada pengetahuan dan kesiapan untuk merawat anak dan juga mereka memiliki kesempatan untuk memiliki anak dalam jumlah lebih besar apalagi tidak mengikuti KB, demikian juga status gizi ibu selama hamil sering menimpa pada ibu hamil di Madura karena tidak seimbangnya asupan gizi karena budaya di Madura lebih banyak mengkonsumsi nasi dan sedikit jenis sayuran dan sangat jarang mengkonsumsi telur dan susu, daging. Sehingga berdampak pula pada gizi pada janin dan bayi saat lahir. Tradisi ibu-ibu di Madura yang menganggap anak yang sehat adalah anak yang gemuk, sudah melekat pada keyakinan, sehingga budaya memberi makan yang belum waktunya sudah menjadi hal yang biasa, seperti diberi nasi pisang saat masih usia bayi, atau juga budaya ter ater saat bayi lahir. Tingginya
angka
kejadian
gizi
buruk
tersebut
dapat
diidentifikasikan banyak kemungkinan penyebab salah satunya belum diterapkan model perawatan berbasis budaya dalam pelayanan kesehatan keluarga khususnya pada keluarga etnis Madura karena budaya pola pengasuhan dan makan yang salah belum menjadi solusi pemecahan, padahal potensi untuk berubah sangat mudah, demikian bentuk pelayanan berbasis budaya yang komprehensif untuk menyelesaikan masalah yang ada. Angka gizi buruk tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat Madura yang telah membudaya yang kurang percaya secara penuh untuk menggunakan jasa kesehatan (Aziz dkk:2013). b. Diketahui bahwa program Save Motherhood memiliki 3 pesan kunci dan 4 pilar strategi utama dalam Making Pregnancy Saver. 3 pesan kunci ini yang dimaksud adalah : - Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih - Setiap komplikasi obstetrik dan neonatal mendapat penanganan yang tepat-akurat.
19
-
Setiap
perempuan
usia subur mempunyai akses
terhadap
pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Pilar strategi utama yaitu adalah : -
Meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi harus lahir berkualitas.
-
Membangun kemitraan yang efektif melalui kerjasama lintas program.
-
Mendorong pemberdayaan perempuan dan juga keluarga melalui peningkatan pengetahuan.
-
Mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Pada
tahun
2008,
Dinkes
kabupaten
maluku
tengah
melaporkan bahwa AKI dan AKB di maluku tengah masih tinggi. Karena dipengaruhi oleh rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Di Dusun Rohua suku Nuaulu kecamatan amahai, mempunyai kebiasaan yang unik dalam persalinan. Setiap perempuan Suku ini yang hamil pada usia sembilan bulan, harus dipisahkan dari suami, maupun laki laki lainnya, dan ditempatkan dirumah khusus yang disebut Posuno. Pemisahan ini disebabkan karena Suku Nuaulu memandang bahwa proses kehamilan pada usia 1-8 bulan merupakan peristiwa biasa saja. Akan tetapi pada usia kehamilan 9 bulan ada pandangan bahwa wanita hamil tersebut akan diliputi oleh pengaruh roh roh jahat yang dapat menimbulkan berbagai budaya gaib bagi dirinya maupun pada bayi yang dikandungnya, bahkan juga kepada orang lain yang ada di sekitarnya, khususnya kaum laki laki. Untuk menghindari pengaruh roh roh jahat itu maka wanita hamil tersebut perlu diasingkan atau dipisahkan dari rumah induk, dan tinggal di Posuno atau tikosune hingga tiba saat melahirkan.
20
Posuno berukuran luas 2 x 2,5 meter yang awalnya terletak sangat jauh dari rumah yakni di dalam hutan. Akan tetapi sekarang posune tidak lagi dibuat di dalam hutan melainkan didekat atau disamping rumah saja sehingga jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumah. Hal ini berkatan dengan pemahaman bahwa pengaruh roh roh jahat hanya berada di sekitar diri perempuan itu dan tempat tinggalnya saja. Tradisi mengasingkan wanita hamil ini biasanya dilakukan dalam bentuk upacara yang dinamakan upacara masa kehamilan atau Tinantawa. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya berbagai jenis bahaya gaib yang dapat menghambat atau menghalangi berlangsungnya kehidupan seseorang individu yang menurut suku Nuaulu proses tersebut dimulai dari kelahiran hngga kematian maka dilakukanlah upacara ini. (Uneputty) Perempuan Suku Nuaulu yang hamil, pada umumnya menjalani proses kehamilan hingga melahikan di bawah kontrol dukun bayi (Mama Biang). Ini disebabkan adanya keyakinan bahwa Mama Biang memiliki berbagai ilmu yang mampu mengusir roh jahat sehingga ibu dan bayi akan selamat, dengan melakukan upacara upacara tertentu untuk menghadapi kekuatan gaib tersebut. Salah satunya adalah upacara masa kehamilan, yang dilakukan pada bulan kesembilan. Saat melahirkan perempuan Suku Nuaulu ditolong oleh seorang dukun beranak atau Mama Biang yang disebut Irihitipue. Irihitipue merupakan gelar yang khusus diberikan kepada seorang wanita yang bertugas membantu wanita melahirkan. Pada saat melahirkan biasanya Irihitupue melaksanakan tugasnya dengan terlebih dahulu mempersiapkan alat yang diperlukan memotong tali pusar dengan terbuat dari bambu. Alat ini dinamakan kaitimana atau wane. Disamping itu juga disediakan air untuk dipakai memandikan bayi yang diambil dari sungai yang dianggap keramat oleh masyakat.
21
c. Persepsi tentang kehamilan dimiliki oleh masyarakat terhadap kehamilan. Persepsi tentang kehamilan ini terbentuk berdasarkan kepercayaan dan simbol yang dimiliki oleh masyarakat. Pada masyarakat Tanjung Limau jenis makanan yang dipantang selama masa hamil dan setelah melahirkan cukup banyak, walaupun tidak dipatuhi oleh semua ibu hamil. Bagi mereka yang masih memegang kepercayaan terhadap tradisi leluhur mengakui adanya praktek melakukan pantangan makan. Mereka mengungkapkan sejumlah bahan makanan yang termasuk dalam pantangan seperti ikan asin yang menurut mereka juga dapat meningkatkan tekanan darah, juga pantangan makanan cumi cumi yang ditakutkan dapat menyebabkan plasenta atau tembuni lengket. Selain itu, selama kehamilan bukan hanya bidan yang berhubungan dengan ibu hamil tetapi juga peran dukun masih besar dan diinginkan oleh masyarakat. Dukun beranak disini adalah orang orang yang mempunyai keterampilan pengobatan secara turun temurun dan sebagian besar berjenis kelamin perempuan, dan biasa dipanggil “SANRO” sesuai bahasa bugis masyarakat desa Tanjung Limau. Di desa Tanjung Limau terdapat dua dukun beranak yang biasa dipanggil Wa’Bedah dan Wa’Nonong. d. Suku Kreung adalah salah satu etnis minoritas yang tersebar di bagian timur Kamboja. Etnis ini mendiami 27 desa di distrik Ratanakiri. Tak seperti etnis-etnis lainnya di Kamboja, orang-orang Kreung memiliki tradisi yang unik terutama dalam persoalan jodoh. Penduduk etnis ini memiliki pemikiran yang sangat terbuka dalam urusan seks. Para pemuda Kreung menjalani seks bebas, sebuah praktik yang pasti sulit diterima oleh budaya yang mengagungkan keperawanan perempuan Para orangtua di desa-desa suku Kreung punya tradisi membangun pondok-pondok kecil dari anyaman bambu untuk anak-anak gadis mereka yang sudah beranjak remaja. Gadis-gadis Kreung biasanya dibuatkan pondok cinta ini ketika mereka memasuki usia 13 sampai 15 tahun. Penduduk etnis Kreung sendiri lebih suka menyebutnya 'rumah
22
perawan'. Pondok ini dimaksudkan sebagai sarana bagi para gadis Kreung untuk menemukan cinta sejati. Dengan begitu gadis-gadis muda tersebut leluasa untuk mengundang para pria, mengenal mereka, dan berhubungan seksual jika mereka menginginkannya. Tetapi interaksi antara sepasang pemuda di gubuk cinta tidak selalu diwarnai hubungan seksual. Kadang yang terjadi hanya hubungan persahabatan belaka, dan jika si pria berkunjung yang mereka lakukan mungkin hanya mengobrol hingga larut malam lalu tidur. Penduduk etnis Kreung memang menghargai seks pra nikah. Jika melakukan hubungan seksual di luar nikah pada budaya-budaya lain dianggap kehilangan kesucian dan kehormatan, dalam budaya Kreung lepasnya keperawanan seorang gadis justru dianggap sebagai simbol dari kedewasaan dan kemandirian. Seperti dikutip Phnom Penh Post, menurut mereka seks adalah cara bagi pasangan muda-mudi untuk menunjukkan kepada para orang tua bahwa mereka saling mencintai dan berniat serius menjalani komitmen. Tradisi
ini
bertujuan
untuk
menciptakan
kondisi
yang
memungkinkan bagi remaja puteri untuk belajar tanggung jawab dan kehati-hatian dalam urusan seks. Para orang tua pun tak keberatan anak mereka 'berhubungan' dengan beberapa pemuda sebelum menemukan pasangan sejatinya asalkan si gadis aman dan diperlakukan dengan baik oleh pemuda yang mereka cintai. Walaupun mungkin banyak orang yang berpendapat bahaya bagi seorang wanita muda untuk tinggal sendirian di sebuah gubuk yang terpisah, menurut Ravee pemerkosaan bukan masalah dalam komunitas etnis Kreung. Meskipun ia tidak bisa menunjukkan bukti statistiknya, menurutnya hukuman adat di suku Kreung cukup efektif dalam mencegah tindak pemerkosaan dalam proses pencarian jodoh ini. Jika seorang gadis menjalani hubungan seksual atas paksaan, maka si pria akan dikenakan denda oleh para tetua kampung. Seluruh hasil panen keluarganya akan diambil. Tentu saja hukuman seperti ini juga akan mendatangkan malu bagi si pemuda beserta keluarganya. Warga
23
Kreung memasuki pernikahan dalam usia yang relatif muda dan dengan cara yang unik pula. Tetapi menurut mereka kekerasan seksual dan perceraian merupakan kasus yang jarang terjadi. Menurut Louis Quail dari Excalibur, tradisi unik ini sudah mulai tergerus arus globalisasi dan budaya barat. Nilai-nilai budaya Kreung sudah mulai terpengaruh budaya Khmer, yang umumnya menganggap seks pra nikah sebagai hal negatif. Sekarang ini hanya di desa Tang Kamal yang masih memelihara tradisi pondok cinta.
24
BAB III PENUTUP 3.1
Kesimpulan Ethnosentris
adalah
suatu
anggapan
yang
mengunggulkan
kelompoknya sendiri daripada kelompok lain. Adanya perbedaan budaya dari masing-masing daerah bahkan negara. Perbedaan cara pandang dan pendapat terhadap budaya yang dimiliki atau diakui dapat menunjukan perilaku etnosentrisme. Etnosentrisme terjadi jika masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan kebudayaan lain. Porter dan Samovar mendefinisikan etnosentrisme seraya menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka dengan kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling baik, sebagai yang paling bermoral 3.2
Saran Dengan adanya makalah ini, diharapkan seluruh mahasiswa khususnya mahasiswa keperawatan PRODI DIII Keperawatan Universitas Bondowoso dapat memahami makalah ini. Dan kami mengharapkan kritik dan saran dalam perbaikan makalah.
25
DAFTAR PUSTAKA http://laras.web.unej.ac.id/2015/05/04/etnosentrisme/ (Diakses pada tanggal 11 Januari 2019, jam 14.00 WIB) https://ilmuseni.com/seni-budaya/karakteristik-kebudayaan (Diakses pada tanggal 11 Januari 2019, jam 14.30 WIB) http://iisindpiration.blogspot.com/2015/12/makalah-etnosentris.html
(Diakses
pada tanggal 11 Januari 2019, jam 15.00 WIB) https://id.pdfcoke.com/doc/243163274/Etnosentrisme
(Diakses pada tanggal 11
Januari 2019, jam 15.15 WIB) https://id.pdfcoke.com/doc/248396421/LANGKAH-MENGATASIETNOSENTRISME (Diakses pada tanggal 12 Januari 2019, jam 14.00 WIB) https://thegorbalsla.com/pengertian-kebudayaan/ (Diakses pada tanggal 12 Januari 2019, jam 14.30 WIB) http://www.academia.edu/3753180/unsur_wujud_dinamika_kebudayaan_dalam_ masyarakat (Diakses pada tanggal 12 Januari 2019, jam 16.00 WIB) https://www.academia.edu/9725129/Aspek_Sosial_Budaya_dalam_Kesehatan (Diakses pada tanggal 15 Januari 2019, jam 12.00 WIB) https://www.perpusku.com/2017/02/pengertian-etnosentris-dampak-dan-faktorfaktor-yang-mempengaruhi.html (Diakses pada tanggal 14 Januari 2019, jam 15.15 WIB) Sri Eny Setyowati. Jurnal Riset Kesehatan Pengasingan Wanita Melahirkan Suku Nuaulu Di Dusun Rohua Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah (http://ejournal.poltekkes-smg.ac.id/ojs/index.php/jrk Diakses pada tanggal 15 Januari 2019, jam 14.35 WIB) Annisa Nurrachmawati, dkk. Tradisi Kepercayaan Masyarakat Pesisir Mengenai Kesehatan Ibu di Desa Tanjung Limau Muara Badak Kalimantan Timur Tahun 2008 ( https://rofiqotinazizah.wordpress.com/2013/10/06/kebudayaan-kesehatan-di madura-khususnya-daerah-kabupaten-sumenep/ (Diakses pada tanggal 14 Januari 2019, jam 15.20 WIB) 26
https://www.merdeka.com/gaya/gubuk-cinta-tradisi-unik-etnis-kreung-untukmencari-jodoh.html (Diakses pada tanggal 14 Januari 2019, jam 15.30 WIB) https://www.boombastis.com/ritual-suku-kreung/80167 (Diakses pada tanggal 14 Januari 2019, jam 15.40 WIB)
27