Bab Ii_pembahasan.docx

  • Uploaded by: siti
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii_pembahasan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,794
  • Pages: 13
BAB II PEMBAHASAN

A. Makna Agama Bagi Anak Anak bukan orang dewasa kecil, akan tetapi merupakan individu unik dan orisinil yang baru saja lahir ke dunia ini. Dalam konteks keagamaan, tentu makna agama yang dipahami anak – anak tidak sama dengan orang dewasa, terlebih lagi perbedaan rasa beragama diantara keduanya. Perlu ditekankan bahawa rasa beragama berbeda dengan pengetahuan tentang agama, baik orang dewasa maupun anak – anak. Apa perbedaannya? Pengetahuan agama adalah informasi tentang agama yang bersumber dari kitab suci, sedangkan rasa beragama adalah buah dari pengetahuan terhadap agama tersebut.1 Jika demikian, apakah anak – anak tidak memiliki rasa beragama karena belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang agama, sehingga tidak membuahkan apa – apa? Ternyata tidak. Karena menurut Zakiah Daradjat, anak – anak sudah mempunyai rasa beragama melalui perkembangan bahasa yang diucapkan orang tua atau orang dewasa disekelilingnya.2 Anak – anak lebih tertarik pada kosa kata bahasa dari pada pertanyaan – pertanyaan mengenai apa itu agama? Siapa tuhan? Apa itu surga dan neraka? Dll. Hal ini disebabkan oleh kemampuan berpikir (perkembangan kognitif) anak belum mampu menjangkau permikiran yang bersifat abstrak. Oleh karena itu, dalam perasaan anak, agama, tuhan, surga, neraka, dan lain sebagainya selalu dipersepsikan sebagai hal yang konkrit sejauh pikiran anak mampu menjangkaunya.

1

Suyadi, Psikologi Belajar PAUD, (Yogyakarta : Pedagogia, 2010), Cet I, Hal 125. Windisyah Putra, Menghadirkan Lembaga PAUD Ideal Di Indonesia, (Takengon : CV. Media Utama, 2014), Cet II, Hal 9 2

4

B. Asal Muasal Munculnya Rasa Beragama pada Anak Usia Dini Sebagaimana disebutkan diatas, munculnya agama dalam diri anak berawal dari mengenal tuhan melalui kata – kata.3 Memang, pada awalnya anak bersikap acuh tak acuh terhadap kata – kata tuhan tersebut. Namun, seiring dengan perkembangan otaknya, kemudian didukung oleh fungsi mata yang mulai mampu menatap ekspresi kepatuhan orang dewasa kepada tuhan, anak mulai gelisah dan ragu – ragu. Kegelisahan tersebut disebabkan anak – anak belum mempunyai pengalaman empiris mengenai tuhan sama sekali, sedangkan ia sendiri sering menyaksikan ekspresi kepatuhan orang – orang dewasa kepada tuhan. Terlebih lagi ketika anak – anak menyaksikan letupan emosi orang dewasa, maka anak mulai menaruh perhatian terhadap tuhan tersebut. Setelah anak mulai menaruh perhatian pada kata tuhan, sejak itulah ia sedikit demi sedikit mempunyai pengalaman empiris mengenai agama. Biasanya, pada awal – awal perhatiannya pada kata tuhan, pengalaman tersebut bersifat tidak menyenangkan. Contohnya, ketika anak melihat orang dewasa beribadah dengan penuh ketaatan, anak mempersepsikan bahawa tuhan adalah menakutkan dan harus ditaati, ketika anak mendengar bahwa orang yang bersalah atau berdosa akan dihukum di neraka, anak mempersepsikan tuhan sebagai hakim yang kejam. Begitu seterusnya, sehingga anak merasa gelisah didalam hatinya. Karena cukup menggelisahkan, maka anak – anak berusaha untuk menolak kehadiran tuhan dalam dirinya. Anehnya, perasaan tersebut semakin ditolak justru semakin kuat mempengaruhi dirinya. Mengomentari hal tersebut, Freud mengatakan, “mengingkari kenyataan yang menyakitkan hati adalah satu fase pertengahan antara menekan dan menerima.” Freud memberi argumen bahwa mengingkari pengalaman pahit membuahkan ketenangan dalam hati. Artinya, semakin kuat seseorang menolak sesuatu, semakin kuat

3

Suyadi, Psikologi Belajar PAUD, (Yogyakarta : Pedagogia, 2010), Cet I, Hal 128.

5

ia memikirkannya walaupun hanya untuk ditolak. Sebaliknya, orang yang acuh tak acuh terhadap sesuatu justru besar kemungkinan untuk dapat diingkari. Sebab, dalam sikap acuh tak acuh tersebut tidak ada sebersit pun pikiran yang melintas tentang apa yang diacuhkannya tersebut. Oleh karena itu, semakin kuat anak – anak menolak kata tuhan, justru semakin kuat mereka untuk menerima. Ketika persepsi anak sampai pada sifat – sifat positif tuhan (Maha Pengampun, Maha Pemurah, Maha Penyayang, dll), maka hatinya menjadi tenang karenanya. Selanjutnya ia akan menerima kehadiran tuhan dalam dirinya. Sejak itulah tuhan muncul didalam diri anak. Dengan demikian, munculnya tuhan dalam diri anak bermula dari faktor luar (bahasa)

yang

mempengaruhinya

dan

kemudian

diterima

setelah

diingkarinya. Menurut Zakiyah Daradjat, ketika anak berusia kurang lebih 5 tahun, tuhan dalam konsepsi anak tidak sekadar definisi secara harfiah atau terjemahan secara eksplisit, melainkan telah melalui perkembangan kognitif yang sangat dalam.4 Contohnya, anak telah bertanya beberapa kali “siapa tuhan ? dimana tuhan? Dimana neraka ? mana jalan ke surga? Dll.” disamping itu, cara anak memandang alam selama itu mempertanyakan kapan dunia mulai ada sebagaimana dia dilahirkan, dan kapan dunia akan tiada sebagaimana dia akan mati. Pada masa ini, semua jawaban akan diterima apa adanya. Tentu saja jawaban tersebut harus sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Jika ia tidak memahami jawaban tersebut, secara otomatis anak akan menolak. Inilah yang dimaksud Montessori dengan sifat “aktif” dalam belajar anak. Nah, sikap menerima dan tidaknya berbagai jawaban atas pertanyaan di atas sangat ditentukan oleh pola pendidikan, terutama pengembangan bahasa dan pola pikir di lingkungan keluarga serta sekolah atau TK. Jika pola pendidikan di rumah dan di sekolah tidak mempertimbangkan faktor perkembangan ini, 4

Mulyasa, Manajemen PAUD, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2014), Cet III, Hal

66.

6

maka yang akan terjadi adalah dualisme dalam beragama anak. Sebaliknya, jika pola pendidikan menyesuaikan faktor perkembangan secara runtut dan sistematis, maka anak akan menjadi individu dengan pemahaman agama yang konsisten dan menerima berbagai jawaban atas pertanyaannya secara meyakinkan.5 Dari sinilah munculnya rasa beragama secara holistik pada anak usia dini.

C. Tahap – Tahap Perkembangan Moral-Keagamaan Pada Anak Usia Dini Telah banyak psikolog yang mencoba melakukan penelitian untuk mengkaji perkembangan keagamaan (religiusitas) pada anak. Akan tetapi, semuanya kandas ditengah jalan dan terhenti pada perkembangan fisikmotorik, kognitif, bahasa dan sosio-emosional. Dan, sebatas yang mereka mampu, mereka menggunakan pendekatannya masing – masing dalam meneliti perkembangan keagamaan pada anak. Salah satunya yaitu : 1. Perkembangan agama dengan pendekatan moral-kognitif Piaget Dengan membandingkan perbedaan antara kognitif anak – anak dengan orang dewasa, ditemukan bahwa terdapat proses hukum moral yang terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kognitif merupakan dasar bagi perkembangan moral. Akan tetapi, Piaget masih ragu apakah perkembangan moral bisa menjadi dasar atau pijakan perkembangan agama pada anak atau tidak. Oleh karena itu, Piaget hanya berharap agar pendekatan moral-kognitifnya mempunyai korelasi paralel dengan perkembangan agama.6 Piaget memperkenalkan dua tahap moral, yaitu tahap moral realisme

dan

tahap

moral

kemerdekaan.

Piaget

5 Hasnida, Panduan Pendidik dalam Mengimplementasikan Kurikulum PAUD 2013, (Jakarta : PT. Luxima Metro Media, 2016), Cet I, Hal 21. 6 Addhari Hafidz Awlawi, Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini, (Takengon : Shakura, 2017), Hal 100.

7

mempertanggungjawabkan kedua tahapan moral tersebut melalui cerita atau kisah baik dan buruk. Kemudian, anak diminta untuk mengatakan benar atau salah atas cerita yang diberikannya tersebut. Kedua tahap moral itulah yang menjadi dasar tahap kognitifnya. Hal ini dimaksudkan agar anak – anak dapat memahami atau menafsirkan agama secara konkrit (benar-salah). Hanya dengan pemahaman yang konkrit seperti itulah anak – anak dapat menilai moralitas dalam agama secara lebih konseptua dan abstrak. Piaget juga mengusulkan sebuah teori perkembangan kognitif secara general melalui tiga tahap. Ketiga tahap perkembangan kognitif tersebut adalah : pertama, tahap pra-operasional (2-7 tahun). Pada tahap ini, anak belum mampu berpikir secara logis dan abstrak. Kedua, tahap operasional (7-11 tahun). Pada tahap ini, anak mulai menggunakan klasifikasi dan logika yang operasional. Ketiga, tahap operasi formal ( setelah usia 11 tahun). Pada tahap ini, anak mulai mengembangkan mental dan berpikir secara abstrak dan konseptual. 2. Perkembangan Moral Kohlerberg Ia mengeksplorasi secara langsung teori Piaget menjadi tiga tahap perkembangan moral, yang masing – masing tahap mempunyai dua subtahapan. Yang terdiri dari : a. Pre-konvensional : penekanan pada kontrol eksternal. 1) Orientasi pada hukum dan kepatuhan. Salah dan benar ditentukan oleh apakah ia mendapat hukuman atau memahami aturan. 2) Orientasi instrumental relatif. Benar atau salah ditentukan oleh ganjaran b. Konvensional : menekankan pada kesenangan orang lain. 1) Orientasi hubungan manusia. Benar atau salah ditentukan oleh perbuatan seseorang dilingkungan sekitar.

8

2) Orientasi pada pemeliharaan sistem sosial. Benar atau salah ditentukan oleh pemeliharaan tatanan sosial. c. Akhir konvensional. : penekanannya pada pengakuan terhadap konflik dan alternatif pilihan sosial. 1) Orientasi kontrak sosial. Benar atau salah ditentukan oleh kesepakatan sosial. 2) Orientasi prinsip etis. Benar atau salah ditentukan oleh adat istiadat internal. Sampai disini, perkembangan moral Piaget dan Kohlerberg baru menyentuh dimensi moral secara khusus, terlebih lagi perkembangan keagamaan

pada

anak.

Akan

tetapi,

teori

Piaget

disamping

dikembangkan oleh Kohlerberg, juga diikuti oleh David Elkind. Elkind inilah yang mengembangkan teori Piaget ke dalam pola perkembangan keagamaan pada anak.7 Elkind menyatakan bahwa terdapat 4 tipe kebutuhan mental yang muncul ketika anak tumbuh dewasa. Pertama, pencarian untuk konservasi. Penyebutan ini berdasarkan ide bahwa anak – anak memiliki ketetapan sebagai objek yang mempunyai kekurangan. Pada tahap ini, anak menganggap hidup adalah abadi. kedua, tahap pencarian representasi. Tahap ini dimulai sejak masa praseklah. Dua hal yang terpenting pada masa ini adalah gambaran mental dan perkembangan bahasa. Ketiga, pencarian relasi. Tahap ini dimlai pada masa pertengahan kanak – kanak. Pada tahap ini, anak sudah mulai mengalami kematangan mental, sehingga mereka dapat merasakan hubungan dengan tuhan. Keempat, pencarian tentang pemahaman. Selama anak tumbuh dewasa, mereka membuat jalinan persahabtan dan perkembangan kemampuan untuk berteori.

7

Suyadi, Teori Pembelajaran Anak Usia Dini, (Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya, 2014), Cet II, Hal 125.

9

Sedikit berbeda dengan Elkind, Harms justru menyimpulkan bahwa hanya ada tiga tahapan tentang pemikiran atau perkembangan beragama pada anak. Yang terdiri dari : a. Tahap firetale ( usia 3 – 6 tahun). Pada tahap ini anak merepresentasikan keadaan tuhan yang menyerupai raksasa, hantu, malaikat, dll. b. Tahap realistis ( usia 7 – 12 tahun ). Pada tahap ini, anak cenderung mengonkritkan agama.tuhan dan malaikat dipersepsikan sebagai penampakan yang nyata. Mereka bagaikan “manusia” yang luar biasa dan berpengaruh bagi kehidupan di bumi. c. Tahapan individualistik ( usia 13 – 18 tahun ). Tahap ini ditandai dengan adanya tiga kategori, yaitu ide beragama kolot, mistis, dan simbol. Pada tahap ini, anak sudah mulai menentukan pilihan terhadap model agama tertentu. Dalam realitasnya, ada beberapa anak yang lebih cepat dalam memahami arti agama, tetapi ada pula yang terlalu lambat menangkap pesan agama. Anak yang cepat dalam memahami makna agama akan semakin menambah kegeniusannya. Sebaliknya, anak yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan agamanya kurang sempurnalah kegeniusannya. Berikut

ini

terdapat

beberapa

stimulan

untuk

meningkatkan

perkembangan agama pada anak : 1. Mengikutsertakan anak dalam kegiatan – kegiatan beragama Melibatkan anak dalam kegiatan keagamaan secara langsung dapat memberikan kesan khusus dalam diri anak tanpa melalui nasihat – nasihat islami, yang seringkali justru yang tidak dipahami anak. Kegiatannya diantaranya yaitu bermain di lingkungan masjid, mengikuti pendidikan ekstra kurikuler di masjid atau Taman Pendidikan Al-Qu’ran, mengajak anak shalat di masjid, dll. jika memungkinkan, ikutkan anak

10

dalam berbagai lomba keagamaan, seperti lomba adzan, lomba hafalan surah pendek, lomba busana islami, dll. Pengalaman anak dalam mengikuti dan menghayati kegiatan keagamaan tersebut akan menghujam ke dalam relung hati yang paling dalam, sehingga anak bisa merasakan berbagai pengalaman keagamaan tersebut. Yang pada akhirnya akan menjadi dasar dalam keberagamaan selanjutnya. 2. Membiasakan ketaatan beribadah Pembinaan ketaatan beribadah ini jauh lebih efektif melalui pembiasaan dan keteladanan dari kedua orang tua. Sebab, anak belum mampu menangkap penjelasan logis – transendental secara optimal. Dengan demikian, yang diajarkan kepada anak adalah praktik langsung sedikit demi sedikit. Kemudian, biasakan untuk beribadah tepat waktu. Agar anak mengerti waktu – waktu beribadah. Dengan membiasakan ibadah tepat waktu serta meminta anak untuk meniru gerakan ibadah , semakin sering akan semakin terbiasa, dan dalam jangka waktu tertentu, anak akan menghafal gerakan ibadah anda. Setelah anak mampu menghafal gerakan ibadah, maka ajarkan bacaan – bacaan ibadah dalam setiap rukunnya. Setelah itu, maka dalam jangka waktu tertentu, anak akan melakukan ibadah tepat waktu tanpa harus disuruh. Meskipun begitu, anda harus senantiasa mendampingi atau menjadi imam mereka. Jika tidak, maka kebiasaan baik ini akan luntur kemudian hilang. 3. Pembacaan kisah Qur’ani dan Nabawi Pembacaan dongeng dan cerita dapat mengasah imajinasi dan sosial-emosional anak. Jika dalam dongeng dan kisah tersebut bertemakan topik keagamaan, maka imajinasi anak akan cepat

11

menangkap pesan agama, sehingga rasa agamanya cepat tumbuh dan berkembang dengan baik. Oleh karena itu, usahakan sesering mungkin untuk membacakan kisah yang termaktub di dalam Al-Qu’ran, yang menyajikan banyak cerita atau kisah yang menakjubkan. Contohnya kisah 25 nabi, Ashabul Kahfi, burung ababil, dll. Disamping itu juga perlu dibacakan kepada anak kisah perjalanan Nabi dan Rasul Allah. Contohnya kisah perjalanan Nabi Muhammad saw. Kisah – kisah tersebut dapat menumbuhkan perasaan beragama pada anak, juga mampu menstimulasi berpikir abstrak pada anak, sehingga ketika dibacakan kisah – kisah Qur’ani tersebut seolah – olah anak berada dalam situasi dalam kisah tersebut. Tentu ini merupakan kemajuan daya pikir konseptual yang abstrak dan trasendental. Kemampuan berpikir secara asbtrak-transendental inilah yang akan mengukuhkan rasa beragama pada anak, sehingga pengalaman tersebut akan dibawanya hingga dewasa. 4. Mendidik keshalehan sosial Perkembangan keagamaan yang baik akan berpengaruh pada perilaku sosial yang baik pula. Oleh karena itu, pola pendidikan agama pada anak tidak bisa dilepaskan dari nilai – nilai moral yang berlaku di masyarakat. Atas dasar ini, pendidikan agama pada anak perlu diaktualisasikan dalam kehidupan sehari – hari, suka menolong berbakti kepada orang tua, suka menolong, rela berbagi, menghormati yang lebih tua, dll.

12

D. Metode Pengembangan Agama Anak Usia dini adalah saat yang paling baik bagi guru untuk meletakkan dasar – dasar pendidikan nilai, moral dan agama kepada anak. Walaupun peran orang tua sangatlah besar dalam membangun dasar moral dan agama bagi anak, peran guru juga tidaklah kecil dalam meletakkan dasar moral dan agama bagi anak. Oleh karena itu, guru harus berupaya agar dapat membimbing anak agar mempunyai kepribadian yang baik, yang dilandasi dengan nilai moral dan agama. 1. Esensi Pembinaan Perilaku di Taman Kanak – Kanak Tujuan yang hendak dicapai dengan penanaman nilai – nilai perilaku tersebut dilakukan melalui pembiasaan dalam mempersiapkan anak sedini mungkin mengembangkan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai agama dan moral sehingga dapat hidup sesuai dengan norma – norma masyarakat.8 Pembentukan perilaku ini berfungsi untuk mencapai beberapa hal yaitu : a. menanamkan pembiasaan sikap dan perilaku yang didasari oleh nilai agama b. menanamkan budi pekerti yang baik c. membantu anak agar dapat emmbedakanhal yang baik dan yang buruk d. menumbuhkan kepribadian yang mandiri pada anak e. menanamkan kebiasaan disiplin pada anak

8

Mursid, Belajar Dan Pembelajaran PAUD, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2015), Cet II, Hal 82.

13

2. Pembinaan Perilaku (Penanaman Nilai – Nilai Agama, Moral, Disiplin, Dan Afektif) a. Prinsip – prinsip pembinaan perilaku anak Dalam melaksanakan program pembentukan perilaku melalui pembiasaan, hendaknya memperhatikan prinsip – prinsip sebagai berikut : 1) Guru senantiasa bersikap dan bertingkah laku

yang dapat

dijadikan contoh bagi anak 2) Memberikan kesempatan kepada anak untuk membedakan dan memilih antara perilaku yang baik dan yang buruk 3) Guru sebagai pembimbing hanya mengarahkan dan menjelaskan akibat – akibatnya 4) Dalam memberikan tugas kepada anak, usahakan berupa ajakan dan perintah dengan bahasa yang baik 5) Guru hendaknya memberikan rangsangan (motivasi) bukan paksaan b. Bentuk pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan program pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : kegiatan rutin yaitu kegiatan yang dilakukan setiap hari, seperti berbaris mengikuti barisan ketika memasuki ruang kelas akan ditanamkan beberapa perilaku anak, antara lain mengajarkan anak bersikap disiplin dan patuh pada peraturan. Selain itu juga bisa dilakukan pembiasaan perilaku tentang hal – hal seperti berpakaian yang bersih dan rapi, mau mengikuti peraturan dan tata tertib di TK, kebersihan badan, berbaris dengan rapi, berdiri tegap saat berbaris dan tolong menolong sesama teman.

14

E. Cara Penanaman Nilai – Nilai Agama Pada Anak Usia Dini 1. Mengenalkan Tuhan Tuhan bagi anak adalah sesuatu yang asing dan abstrak, sementara anak pun menggambarkan Tuhan dalam wujud konkret. Guru tidak bisa memaksa anak untuk mengenalnya secara abstrak. Oleh karena itu, ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengenalkan tuhan kepada anak, di antaranya :9 a. Bermain dan bernyanyi yang terdapat pesan adanya tuhan sebagai pencipta dengan sifat – sifatnya yang terpuji b. Karyawisata atau tadabur alam untuk mengenalkan keindahan alam ciptaan tuhan c. Bercerita tentang sifat – sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang d. Teladan. Guru berdzikir dengan menyebut nama Tuhan dalam setiap kesempatan seperti membaca bismillah pada saat akan memulai

kegiatan, membaca hamdalah pada saat mengakhiri

kegiatan e. Pembiasaan yang diterapkan pada anak pada

setiap kegiatan

berdoa atau berdzikir sebelum dan sesudah kegiatan f.

Memberi anjuran pada anak agar selalu bersyukur dan bersabar

2. Mengenalkan Ibadah Kepada Allah SWT Mengenalkan ibadah kepada Allah SWT dimulai dengan mengenalkan kebersihan, baik dari kotoran maupun jenis – jenis najis serta cara membersihkannya. Selain itu perlu latihan atau pembiasaan agar anak selalu menjaga dan memelihara kebersihan.

9

Dadan Suryana, Stimulasi & Aspek Perkembangan Anak, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2018), Cet I, Hal 60.

15

3. Menanamkan Akhlak Yang Baik Program pengembangan nilai keagamaan yang berhubungan dengan penanaman nilai akhlak akan berhasil baik jika guru memiliki kepribadian atau akhlak yang baik, menguasai ilmu mendidik, menguasai materi, mencintai anak, dll. Adapun cara penanaman nilai akhlak pada anak yaitu: a. Membiasakan anak agar berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan b. Membiasakan anak agar mengucapkan salam ketika berjumpa dengan guru, teman – teman, orangtua, dll c. Membiasakan anak agar suka menolong sesamanya d. Membiasakan anak agar selalu bersikap sopan, santun, jujur, pada guru, teman dan orangtuanya e. Membiasakan anak menggunakan tangan kanan ketika memberi atau menerima, makan dan minum

16

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Kumpulan Jurnal.pdf
June 2020 44
4. Tri Naimah.pdf
April 2020 58
Bab Ii_pembahasan.docx
October 2019 28
12. Rpp 1.docx
November 2019 29
20190406.pdf
October 2019 27