Bab Iii Sle.docx

  • Uploaded by: annisa chaca
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Iii Sle.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,771
  • Pages: 29
BAB III TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Lupus Eritematosus Sistemik adalah penyakit inflamasi autoimun sistemik yang ditandai dengan temuan autoantibodi

pada jaringan dan

kompleks imun sehingga mengakibatkan manisfestasi klinis berbagai sistem organ yang ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis, nefritis, pleuritis, pericarditis, leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik, lesi organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam dan berbagai gejala konstitusional lainnya. LES adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai dengan periode tenang dan eksaserbasi.4 Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash.5

2.2 Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga kali lipat karena kemajuan ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis LES melalui kriteria ACR.1,7 Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per 100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3 kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai negara dengan prevalensi tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per

18

100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.5 Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 % kasus LES pada tahun 1998-1990.1 Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi.6 Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia 16 tahun dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES adalah perempuan usia muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.1,7 Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes, dilaporkan prevalensi LES pada perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 1.4-5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-laki 0.8-7.0 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap tahunnya.5 Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana angka kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.3 Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3 Sedangkan berdasarkan usia, angka survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 7085%, 64-80%, dan 53-64%.3 Hasil studi yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012 menyatakan survival rate LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun.4 Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis Penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-Pasifik

19

yaitu 30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40% keterlibatan kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.4 Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis LES tampak lebih baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam 5 tahun), Hong Kong (survival rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10 tahun), Korea Selatan (survival rate 94% dalam 5 tahun), akan tetapi di negara Australia survival rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.5

2.3 Etiologi Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai etiologi LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor lingkungan yang dianggap sebagau pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental maupun fisik.7 a) Antibodi Antinuklear (ANA)8 ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori: 1. Antibodi terhadap DNA 2. Antibodi terhadap histon 3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA 4. Antibodi terhadap antigen nucleolus b) Faktor Genetik 8,9 1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan kembar dizigotik (1-3%). 2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita LES dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara kandung memiliki risiko 30 kali lebih besar untuk menderita penyakit LES.

20

3. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat hubungan positif antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-DQ. 4. Beberapa pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi komponen komplemen

yang

diturunkan.

Kekurangan

komplemen

akan

mengganggu 5. pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan c). Faktor Lingkungan 8,9 Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat tertentu, seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu ekspresi dari sel T CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan menstimulus ekspresi antigen LFA-1 sehingga memicu autoreaktivasi pada LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita yang diobati dengan prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA disertai gambaran LES yang muncul 15% - 20% pada pasien tersebut. Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien LES akan mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet dapat meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan meningkatkan jejas jaringan yang akan melepaskan pembentukan kompleks imun DNA / anti-DNA yang dapat menstimulus respon autoimun pada LES. Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat meningkatkan terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan menstimulus interferon α (IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik yang akan memicu respon imun. Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam amino yang menyerupai untaian asam amino manusia yang akan menstimulus respon autoimun pada LES.

21

d) Faktor Imunologis 8 Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B pada pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai penyebab. Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda member petunjuk bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan acak sel B aktif poliklonal, tetapi lebih banyak berasal dari respon sel-B oligoklonal yang lebih selektif terhadap antigennya sendiri. Sebagai contoh, antibodi anti-DNA pathogen pada pasien LES adalah kationik, sedangkan antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal adalah anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas pada LES telah beralih ke sel T helper CD4+. e) Faktor Hormonal 10 Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi. Perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan estrogen atau yang menggunakan hormone replacement therapy memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES. Estradiol akan berikatan pada reseptor sel T dan sel limfosit B, meningkatkan aktivasi sel T dan sel limfosit B tersebut.

Gambar 2.1 Keterkaitan antara factor genetik, epigenetic dan lingkungan pada LES.

22

2.4 Patogenesis Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak spesifik terhadap organ.9 Proses ini diawali dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu:7 1. Sel T dan sel B menjadi autorektif 2. Pembentukan sitokin yang berlebihan 3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin di dalam tubuh b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen kerena adanya mimikri molekuler

23

Gambar 2.2 Model pathogenesis LES

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.7 Karakteristik patogenesis dari LES yaitu sistem imun yang menyerang nuklear

endogen

dikeluarkan

oleh

yang sel

dianggap yang

sebagai

mengalami

autoantigen. apoptosis

Autoantigen

kemudian

akan

dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T. Sel T mensekresikan sitokin yaitu interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Nukleosome endogen dapat berikatan dengan molekular patogen reseptor dan dapat menstimulus pengeluaran interferon α (IFN α) sehingga memicu terjadinya inflamasi. Selain itu juga nucleosome dapat berikatan

24

dengan reseptor permukaan sel seperti BCR (B cell antigen reseptor) dan TLR (Toll like reseptor). Pada pasien dengan SLE yang aktif terdapat peningkatan ekspresi TLR9.9

Gambar 2.3 Tiga tahap patogenesis penyakit kompleks imun sistemik

25

Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung menyerang kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome, nukleolar RNA, spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut bermigrasi ke permukaan sel dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T dan sel limfosit B pada LES ditandai dengan meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan CD40L. Hasil akhir dari ini yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi di jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3) pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi jaringan.10

Gambar 2.4 Patogenesis pada LES

26

2.5 Patofisiologi

Gambar 2.5 Mekanisme sistemik pada LES

Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a) meningkatnya serum antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b) terbentuknya kompleks imun pada organ target yang menyebabkan kerusakan organ. Defek mekanisme regulasi imun seperti klirens apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor pada LES. LES ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan aktivasi komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen dan faktor lingkungan sehingga menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal. 10

27

Gambar 2.6 Patofisiologi LES

Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa gangguan klirens kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguangangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan sebagainya.10

2.6 Manifestasi Klinis Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.11

28

Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. 11 A. Gejala Konstitusional 12 Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terusmenerus. Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan ini sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan seperti pada anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan. Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala gastrointestinal. Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40°C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.

B. Gejala Muskuloskeletal Gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya sepertimialgia, polartritis yang simetris dan non-erosif, defrmitas tangan, miopati/miosits, nekrosis iskemia pada tulang. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal

29

proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi

dan

dapat

timbul

belakangan

setelah

dalam

pengobatan

kortikosteroid. 12

C. Gejala Mukokutan Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES. 1). Lesi Kulit Akut Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.12

Gambar 2.7 Lupus eritematosus kutaneus akut

30

2). Lesi Kulit Sub Akut

Gambar 2.8 Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3). Lesi Diskoid Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari LES daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.12

31

Gambar 2.9 Facial discoid

4). Livido Retikularis Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. 5). Urtikaria Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. 6). Alopesia ditandai dengan rambut rontok 7). Fotosensitivitas 8). Lesi membran mukosa 9). Vaskulitis 10). M. Fenomena Raynaud Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal. 12

D. Kelainan pada Ginjal Pada sekitar 2/3 dari penderita LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% dalam tahun pertama

32

terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah: i. Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis ii. Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis iii. Kelas III: focal lupus nephritis iv. Kelas IV: diffuse lupus nephritis v. Kelas V: membranous lupus nephritis vi. Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis

Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus LES. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.10,12

E. Paru-paru Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonal, atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respon baik terhadap pemberian streroid.

33

F. Kardiologi LES dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina pektoris, valvulitis, vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa manifestasi lainnya. Serositis (pleuritis dan perikarditis), Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.12

G. Gastrointestinal Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare, dispepsia. Nyeri akut abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat pengobatan yang adekuat.12

H. hematologi dan limfatik Limfadenopati

generalisata

atau

terloalisir,

splenomegali,

hepatomegali, anemia aplastik, anemia penyakit kronis, anemia pernisiosa, leukopenia, limfopenia, trombositopenia, anemia hemolitik, trombosis. 12

I. Susunan Saraf Tepi Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.12

J. Susunan Saraf Pusat Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.

34

Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan. Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif LES pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak.10 Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus.13

2.7 Diagnosis Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.6

35

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifiitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.6

36

2.8 Pemeriksaan Penunjang Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan anemia normositer, leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang cepat, hiperglobulinemia dan bila terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah. Biasanya kelainan faal hepar dan penurunan komplemen serum juga ada. Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria, merupakan gejala penting. Faktor rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa untuk mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES. Berikut pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring LES:6 1. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED) 2. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila diperlukan pemeriksaan kreatinin darah 3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid) 4. PT dan aPTT 5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4 6. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)

Rekomendasi 3 - Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE - Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE - Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak menyingkirkan diagnosis SLE

Antibodi antinuclear (ANA) Pada pemeriksaan imunofluoresensi tak langsung dapat ditunjukkan (ANA) pada 90% kasus.12 Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari 37

ANA dan antibody spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di bawah lampu ultraviolet.13 Terdapat 4 pola ANA ialah membranosa (anular, peripheral), homogen, berbintik dan nuclear. Yang dianggap spesifik untuk L.E.S ialah pola membranosa, terutama jika titernya tinggi. Pola berbintik juga umum terdapat pada L.E.S. Pada homogen kurang spesifik.13 Anti-ds-DNA Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan kadar komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau proteinuria.13 Anti-Sm Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm, tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada penyakit lain.13 2.9 Diagnosis Banding6 Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa dengan LES yaitu: a. Sindroma Sjogren b. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS) c. Fibromialgia (ANA positif) d. Purpura trombositopenik idiopatik e. Lupus imbas obat f. Artritis reumatoid dini

2.10 Derajat Berat Ringannya LES A. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah: 1. Secara klinis tenang 2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

38

3. Fungsi organ dalam batas normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.

B. Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan: 1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II) 2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3) 3. Serositis mayor

C. Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan Sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna. 2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung. 3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika. 4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous. 5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister) 6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi. mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi. 7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.

2.11 Pengelolaan Tujuan Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan

39

SLE adalah a)mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai

kualitas

hidup

yang

optimal.

Pilar

Pengobatan

Lupus

Eritematosus Sistemik adalah 1) Edukasi dan konseling, 2)Program rehabilitasi, 3) Pengobatan medikamentosa (OAINS, Anti malaria, steroid, Imunosupresan / Sitotoksik).6 Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya6 a. Pengobatan LES Ringan Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu: Obat-obatan - Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan. - Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi. - Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan) - Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan. - Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara . - Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).6

b. Pengobatan LES Sedang

40

Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum pada bagan .6

Gambar 2.12 Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat beratnya.

41

Tabel 2.1 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE Jenis Obat

Dosis

Jenis

Evaluasi

Toksisitas

Awal

Pemantauan

Klinis OAINS

Laboratorik

Tergantung

Perdarahan saluran Darah

Gejala

Darah

OAINS

cerna,

gastro-

kreatinin,

intestinal

AST/ALT

rutin,

hepatotoksik, sakit kreatinin, kepala, hipertensi, urin

rutin,

rutin,

setiap 6 bulan.

aseptic, meningitis, AST/ALT nefrotoksik. Kortiko-

Tergantung

Cushingoid,

Gula darah, Tekanan

steroid

derajat SLE

hipertensi,

profil lipid, darah

dislipidemi,

DXA,

ostoenekrosis,

tekanan

hiperglisemia,

darah

Glukosa

katarak, osteoporosis. Klorokuin

250 mg/hari Retinopati,

keluhan Evaluasi

(3,5-4

GIT,

rash,

mialgia, G6PD pada pasien lapangan

mg/kgBB/

sakit

kepala,

hari)

hemolitik

anemi berisiko dengan

mata, Funduskopi dan

pandang

mata

setiap 3-6 bulan.

defisiensi G6PD. Hidrosiklor okuin

200-400mg/ hari

Azatioprin

50-150 per

mg Mielosupresi hari, f,

Darah

tepi Gejala mielo- Darah

lengkap,

supresif

tepi

lengkap tiap 1-2

dosis terbagi hepatotoksik,

kreatinin,

minggu

dan

1-3,

gangguan

AST/ALT

selanjutnya 1-3

tergantung

limfoprolifer

bulan

berat badan

atif

AST tiap tahun

interval.

dan pap smear secara teratur.

42

Siklofosfami

Per oral; 50- Mielosupresi

d

150 mg per f, hari.

IV

Darah

tepi Gejala mielo- Darah

gangguan lengkap,

: limfoprolifer

hitung

supresif,

lengkap dan urin

jenis hematuria dan lengkap

500-750

atif,

leukosit, urin infertilitas.

bulan,

mg/m2

keganasan,

lengkap.

urin

dalam

imunosupresi

Dextrose 250 f, ml,

tepi

tiap sitologi

dan

pap

smear tiap tahun

sistitis

seumur hidup.

infuse hemoragik,

selama 1jam.

infertilitas sekunder.

Metotreksat

7,5-20

mg/ Mielosupresi

minggu,

f,

Darah

tepi Gejala mielo- Darah

fibrosis lengkap, foto supresif,

tepi

lengkap,

dosis tunggal hepatic,

toraks,

sesak

nafas, terutama hitung

atau

serologi

mual

dan trombosit tiap 4-

hepatitis

muntah, ulkus 8

terbagi sirosis,

3.

Dapat infiltrate

diberikan

pulmonal dan B&C, AST, mulut.

pula melalui fibrosis.

fungsi

injeksi.

kreatinin.

minggu,

AST/ALT

hati

dan

albumin tiap 4-8 minggu,

urin

lengkap

dan

kreatinin. Siklosporin

2,5-5

Pembengkak

A

mg/kgBB

an,

atau

Darah

nyeri lengkap,

sekitar gusi,

kreatinin,

tepi Gejala

Kreatinin, LFT,

hipersensitifit as

terhadap lengkap.

100-400 mg peningkatan

urin lengkap castor oil (bila

per

LFT.

hari TD,

dalam

2 peningkatan

Darah

obat diberikan injeksi), TD,

dosis

pertumbuhan

fungsi

tergantung

rambut,

dan ginjal.

berat badan.

gangguan

hati

fungsi ginjal, nafsu makan menurun, tremor.

43

tepi

Mikofenolat

1000-2000

Mual, diare, Darah

tepi Gejala

Darah

mofetil

mg dalam 2 leukopenia.

lengkap,

gastrointestin

dosis.

feses

al;

lengkap.

muntah.

tepi

lengkap

mual, terutama leukosit

dan

hitung jenisnya.

Kortikortikosteroid 6 Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Indikasi Pemberian Kortikortikosteroid ; Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.Efek samping kortikortikosteroid

tergantung

kepada

dosis

dan

waktu,

dengan

meminimalkan jumlah kortikortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko efek samping. Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiin•lamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka

dilakukanlah

standarisasi

berdasarkan

patofisiologi

dan

farmakokinetiknya.

44

Tabel 2. Pembagian Kortikosteroid Dosis rendah

< 7.5 mg prednison atau setara perhari

Dosis sedang

>7.5 mg, tetapi < 30 mg prednison atau setara perhari

Dosis tinggi

>30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari

Dosis sangat tinggi

>100 mg prednison atau setara perhari

Terapi pulse

>250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa hari

Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral. Pulse terapi kortikosteroid digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon diberikan selama 3 hari berturutturut. Obat Imunosupresan atau Sitotoksik 6 Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikortikosteroid dan imunosupresan /sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. 2.12. Prognosis Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup penderita mencapai 5 tahun pada LES kurang

45

dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita. pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan medis umum.

46

Related Documents

Bab Iii
October 2019 77
Bab Iii
November 2019 69
Bab-iii
June 2020 63
Bab Iii
May 2020 50
Bab Iii
June 2020 55
Bab Iii]
June 2020 45

More Documents from ""

Bab Iv Sle.docx
April 2020 7
Sle 2.docx
April 2020 6
Bab Iii Sle.docx
April 2020 6
Bab Ii Sle.docx
April 2020 3