BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian kuantitatif deskriptif untuk menjelaskan kontribusi kegiatan pertambangan batubara di dalam kawasan hutan terhadap peningkatan deforestasi dan emisi karbon serta mengemukakan sejumlah fakta tentang upaya rehabilitasi pasca tambang, apakah sudah sesuai target atau belum. Dalam proses analisis data, dilakukan identifikasi terhadap data-data sekunder yang terkumpul sehingga metode yang sesuai untuk penelitian adalah metode deskriptif. Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif yaitu untuk menguji masalah yang sudah umum terjadi, yaitu alih fungsi hutan akan menyebabkan meningkatnya deforestasi dan emisi karbon, dalam hal ini adalah izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan batubara.
3.2 Konsep dan Variabel Penelitian Dalam penelitian ini, fokus utamanya adalah mengidentifikasi dan mendeskripsikan seberapa besar kegiatan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan batubara memberi dampak pada deforestasi dan emisi karbon. Untuk itu, penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Leedy and Ormrod (2013) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif kuantitatif
merupakan
jenis
penelitian
yang
dalam
proses
analisisnya
mengidentifikasi suatu obyek atau fenomena tertentu dan/atau menyelidiki kemungkinan hubungan atau pengaruh antara 2 atau lebih obyek atau fenomena. Lebih lanjut, Sugiyono (2016) menyatakan bahwa variabel dalam penelitian 36
37
deskriptif kuantitatif merupakan variabel mandiri, baik satu atau lebih, sehingga peneliti tidak dapat membandingkan dan menghubungkan variabel-variabel tersebut. Variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah penutupan lahan pada areal izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan batubara, deforestasi, dan emisi karbon. Variabel-variabel tersebut saling berkaitan namun tidak dapat dibandingkan satu sama lain. Proses analisis variabel tersebut menggunakan statistik deskriptif untuk mencari besaran penutupan lahan, deforestasi, dan emisi karbon dalam skala satuan luas dan berat.
3.3 Sumber Data Kebutuhan data yang diperlukan terdiri dari citra satelit dan peta sebaran izin pinjam pakai kawasan hutan yang ditunjang oleh peta rupa bumi Indonesia, peta penutupan lahan, dan peta wilayah pertambangan serta citra dari Google Earth. Oleh karena itu, data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder berupa Citra Landsat 5 TM tahun 2010, Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2010 dan Citra Landsat 8 OLI/TIRS diunduh dari situs resmi United State Geological Survey (USGS) serta titik-titik referensi dari citra pada Google Earth. Sedangkan data lain yang diperlukan sesuai kebutuhan penelitian ini (data spasial dan tabular) diperoleh dari lembaga terkait, yaitu: 1) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan dan Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung); dan 2) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara).
38
Selain itu, sumber data lainnya adalah peraturan perundang-undangan, data statistik, laporan tahunan, dan berita-berita terkait penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan batubara dan upaya rehabilitasinya.
3.4 Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber yang berwenang meliputi: 1) Citra Landsat 5 TM tahun 2010, Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2010 dan Citra Landsat 8 OLI/TIRS tahun 2016 (Path/Row: 116/061, 116/060, dan 117/060) yang diunduh dari https://earthexplorer.usgs.gov; 2) Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:50.000 dan peta penutupan lahan Kabupaten Kutai Kartanegara dalam format dijital yang didapat dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan; 3) Peta penunjukkan kawasan hutan wilayah Provinsi Kalimantan Timur dalam format dijital yang didapat dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan; 4) Peta sebaran izin pinjam pakai kawasan hutan Kabupaten Kutai Kartanegara dalam format dijital yang didapat dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan; 5) Peta sebaran wilayah pertambangan batubara yang sudah mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan dalam format dijital yang didapat dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara; dan 6) Data pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan batubara yang sudah melakukan reklamasi dan revegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara dalam format tabular yang didapat dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung.
39
3.5. Validitas dan Reliabilitas Data Pada analisis spasial, dari hasil intepretasi citra yang sudah diklasifikasikan kelasnya akan dilakukan uji akurasi untuk penghitungan validitas dan reliabilitas data. Uji akurasi merupakan langkah standar yang harus dilakukan setelah mendapatkan hasil klasifikasi citra (Campbell dan Wynne, 2011). Pengujian tersebut menggunakan matrik kesalahan (error matrix) yang disusun dalam suatu matriks konfusi (confusion matrix).
Tabel 3.1. Form Matriks Konfusi
Kelas Referensi
Diklasifikasikan sebagai kelas A
A
B
…..
J
Total baris XK+
Xii
B …..
…..
J Total Kolom
Xkk X+K
Sumber : Campbell dan Wynne (2011)
Pengujian akurasi dilakukan dengan membandingkan antara hasil klasifikasi dan data referensi seperti peta penutupan lahan dan titik kontrol dari Google Earth. Dalam Lillesand et al. (2000), nilai akurasi yang memenuhi syarat dalam interpretasi penggunaan lahan adalah ≥ 85 %. Dari matriks konfusi sebagaimana tersebut di atas, nilai akurasi yang diuji adalah akurasi keseluruhan (overall accuracy) & nilai kappa (kappa accuracy).
40
Akurasi keseluruhan adalah jumlah piksel yang sesuai pada baris diagonal dibagi jumlah keseluruhan titik uji. Persamaan nilai akurasi keseluruhan adalah sebagai berikut :
Nilai Akurasi Keseluruhan
=
Dimana, Xii : Jumlah jenis penutupan lahan ke-i hasil interpretasi (baris diagonal) i
: Baris atau kolom
r
: Jumlah tipe penutupan lahan
N
: Jumlah titik penutupan lahan yang divalidasi
Sedangkan akurasi kappa merupakan nilai persetujuan antara hasil klasifikasi dengan kondisi aktual di lapangan. Nilai akurasi kappa sama dengan 1 menunjukkan hasil klasifikasi mendapatkan persetujuan sempurna (perfect agreement) sedangkan nilai akurasi kappa sama dengan 0 menunjukkan hasil klasifikasi tidak dapat disetujui (no agreement). Persamaan matematis nilai akurasi kappa adalah sebagai berikut :
41
Keterangan : k
: Nilai kappa
X+i
: Jumlah titik hasil interpretasi pada jenis penutupan lahan ke-i
Xi+
: Jumlah titik hasil validasi pada jenis penutupan lahan ke-i
Xii
: Jumlah jenis penutupan lahan ke-i hasil interpretasi (baris diagonal)
i
: Baris atau kolom
r
: Jumlah tipe penutupan lahan
N
: Jumlah titik penutupan lahan yang divalidasi Wang et al. (2012) mengelompokkan nilai kappa sebagai berikut:
Poor agreement
= kurang dari 0.20
Fair agreement
= 0.20 sampai dengan 0.40
Moderate agreement = 0.40 sampai dengan 0.60 Good agreement
= 0.60 sampai dengan 0.80
Very good agreement = 0.80 sampai dengan 1.00 3.5 Lokasi Penelitian Studi dilakukan di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Pemilihan lokasi penelitian/studi ini didasarkan atas banyaknya izin usaha pertambangan yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara dibandingkan izin serupa di kabupaten lainnya pada Provinsi Kalimantan Timur. Menurut data release Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur (2014), daerah yang paling banyak mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah Kabupaten Kutai Kartanegara. Tercatat sebanyak 407 perusahaan dimana 218 perusahaan telah melakukan kegiatan produksi sedangkan sisanya 189 masih pada tahap eksplorasi.
42
Berdasarkan data dan informasi penggunaan kawasan hutan (Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, 2015), sebanyak 66 unit izin dikeluarkan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Izin tersebut terdiri atas 34 unit untuk tahap eksplorasi dan 32 unit untuk tahap operasi produksi. Sementara itu, dari data reklamasi tambang izin pinjam pakai kawasan hutan terdapat 12 pemegang izin yang sudah melakukan reklamasi pada sebagian areal yang dibuka untuk kegiatan pertambangannya (Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, 2016).
3.6 Analisis Data Analisis
data
dilakukan
melalui
beberapa
tahapan
kegiatan
sebagaimana gambar dibawah ini.
4. Menghitung Deforestasi
Gambar 3.1 Tahapan Analisis Data 3.6.1 Pra-pengolahan Citra Pra-pengolahan citra merupakan proses memperbaiki kualitas citra agar penampakan obyek pada citra sesuai dengan obyek/fenomena sebenarnya di bumi. Menurut Campbell dan Wynne (2011), pra-pengolahan citra adalah tahap persiapan yang prinsipnya meningkatkan kualitas citra sebagai dasar analisis untuk memperoleh informasi dari citra tersebut. Pada tahap ini, citra satelit yang masih mentah diperbaiki melalui koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Pada penelitian ini, tidak dilakukan koreksi radiometrik dan geometrik pada 11 scene citra (3 scene Landsat 5 TM tahun 2010, 2 scene Landsat 7 ETM+ tahun
43
2010, dan 6 scene Landsat 8 OLI/TIRS tahun 2016) yang diunduh karena citra tersebut termasuk data L1T. Landsat L1T merupakan data citra satelit Landsat yang sudah dikalibrasi secara radiometrik dan diortorektifikasi menggunakan data DEM dan GCP (USGS, 2015). Sementara 1 scene citra Landsat 5 TM tahun 2010 (path 116/061) termasuk data L1G sehingga masih diperlukan ortorektifikasi. Pada proses ini, dilakukan pengambilan titik referensi dari citra Landsat 8 OLI/TIRS tahun 2016. Pra-pengolahan citra pada citra Landsat 7 ETM+, ditambahkan proses gapfill karena untuk liputan tahun 2010 terjadi stripping yang menyebabkan beberapa kolom dan baris mengalami kekosongan data.
3.6.1.1 Gapfill Gapfill atau pengisian celah merupakan suatu proses mengisi baris dan kolom yang hilang pada Landsat 7 ETM+ karena malfungsi Scan Line Corrector pada satelit sehingga terdapat data yang hilang. Pada proses Gapfill, dua atau lebih scene pada path/row yang sama dilakukan dengan waktu perekamannya berbeda digabungkan menjadi satu. Gapfill dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Frame and Fill Win 32.
3.6.1.2 Pemotongan citra sesuai lokus yang diteliti (Cropping) Tahapan ini dilakukan dengan memotong citra satelit sesuai lokus yang diteliti untuk membatasi lingkup studi hanya pada lokasi yang telah ditentukan, yaitu izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan batubara yang tersebar di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Pada tahapan ini, data spasial yang diacu adalah peta sebaran izin pinjam pakai kawasan hutan untuk operasi produksi pertambangan batubara dalam format dijital (*.shp/shapefile). Citra satelit
44
dipotong menjadi beberapa scene sesuai liputan sebaran izin pinjam pakai kawasan hutan untuk operasi pertambangan batubara dengan skala yang berbeda sampai batas view yang dapat dilihat dengan jelas pada layar komputer.
3.6.2 Interpretasi Visual dan Klasifikasi Setelah didapatkan lokus yang akan diteliti melalui pemotongan citra, langkah selanjutnya adalah menginterpretasikan citra dan mengklasifikasikannya ke dalam kelas penutupan lahan. Interpretasi visual merupakan proses pengolahan data citra satelit guna mengetahui kelas penutupan lahan. Interpretasi visual dilakukan dengan membuat citra komposit RGB pada kombinasi false natural color. Untuk Citra Landsat 7 ETM+, citra komposit yang digunakan adalah kombinasi band 543. Sedangkan pada Citra Landsat 8 OLI/TIRS, menggunakan citra komposit dengan kombinasi band 654. Penggunaan komposit RGB pada kombinasi false natural color dilakukan untuk mempermudah mengidentifikasi obyek bervegetasi dan non vegetasi yang secara umum sering digunakan pada bidang kehutanan. Obyek yang teridentifikasi diklasifikasikan kedalam kelas penutupan lahan yang sudah distandarisasi oleh Badan Standarisasi Nasional yaitu SNI 7645:2010 tentang Klasifikasi Penutup lahan dan Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.1/VII-IPSDH/2015 tentang Pedoman Pemantauan Sumber Daya Hutan. Kelas penutupan lahan dibagi menjadi 2 kelas penutupan tingkat I, yaitu areal berhutan dan areal tidak berhutan. Kemudian dikelompokkan kedalam kelas penutupan tingkat II menjadi 23 kelas penutupan lahan yang secara lebih rinci disajikan kedalam tabel sebagai berikut.
45
Tabel 3.2 Pembagian Kelas Penutupan Lahan Kelas Penutupan Lahan No Tingkat I Tingkat II A. 1
Areal Berhutan
Keterangan
Hutan lahan kering primer
Hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering yang dapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan, pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi, yang masih kompak dan belum mengalami intervensi manusia atau belum menampakkan bekas penebangan.
2
Hutan lahan kering sekunder
Hutan yang tumbuh dan berkembang di habitat lahan kering yang dapat berupa hutan dataran rendah, perbukitan, pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi, yang telah mengalami intervensi manusia atau telah menampakkan bekas penebangan (kenampakan alur dan bercak bekas tebang)
3
Hutan rawa primer
Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut yang belum menampakkan bekas penebangan, termasuk hutan sagu
4
Hutan rawa sekunder
Seluruh kenampakan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa gambut yang telah menampakkan bekas penebangan, termasuk hutan sagu dan hutan rawa bekas terbakar. Bekas tebangan parah jika tidak memperlihatkan tanda genangan (liputan air) digolongkan tanah terbuka, sedangkan jika memperlihatkan bekas genangan atau tergenang digolongkan tubuh air (rawa)
5
Hutan mangrove primer
Hutan bakau, nipah, dan nibung yang berada di sekitar pantai yang belum menampakkan bekas penebangan. Pada beberapa lokasi, hutan mangrove berada lebih ke pedalaman.
6
Hutan mangrove sekunder
Hutan bakau, nipah, dan nibung yang berada di sekitar pantai yang btelah
46
No
Kelas Penutupan Lahan Tingkat I Tingkat II
Keterangan memperlihatkan bekas penebangan dengan pola alur, bercak, dan genangan atau bekas terbakar. Khusus untuk bekas tebangan yang telah berubah fungsi menjadi tabak/swah digolongkan menjadi tambak/sawah, sedangkan yang tidak memperlihatkan pola dan masih tergenang digolongkan tubuh air (rawa).
7
Hutan tanaman
Seluruh kawasan hutan tanaman yang sudah ditanami, termasuk hutan tanaman untuk reboisasi. Identifikasi lokasi dapat diperoleh dengan Peta Persebaran Hutan Tanaman
Semak belukar
Kawasan lahan kering yang telah ditumbuhi berbagai vetegasi alami heterogen dan homogeny yang tingkat kerapatannya jarang hingga rapat. Kawasan tersebut didominasi vegetasi rendah (alami). Semak belukar di Indonesia biasanya kawasan bekas hutan dan bisanya tidak menampakkan lagi bekas atau bercak tebangan.
2
Semak belukar rawa
Kawasan bekas hutan rawa/mangrove yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi rendah (alami). Kawasan ini biasanya tidak menampakkan lagi bekas/bercak tebangan.
3
Rumput/savana
Areal terbuka yang didominasi oleh jenis rumput tidak seragam.
4
Pertanian lahan kering
Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran dan ladang
5
Pertanian lahan kering campur semak
Semua jenis pertanian lahan kering yang berselang-seling dengan semak, belukar dan hutan bekas
B. 1
Area tidak berhutan
47
No
Kelas Penutupan Lahan Tingkat I Tingkat II
Keterangan tebangan. Sering muncul pada areal perladangan berpindah dan rotasi tanam lahan karst. Kelas ini juga memasukkan kelas kebun campuran
6
Sawah
Areal pertanian yang digenangi air atau diberi air, baik dengan teknologi pengairan, tadah hujan, lebak atau pasang surut yang dicirikan oleh pola pematang, dan ditanami jenis tanaman pangan berumur pendek (padi).
7
Tambak
Aktivitas untuk perikanan atau penggraman yang tampak dengan pola pematang di sekitar pantai.
8
Perkebunan
Lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa pergantian tanaman selama 2 tahun.
9
Permukiman
Lahan yang digunakan untuk lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan.
10
Bandara/pelabuhan - Bandar udara yang mempunyai fasilitas lengkap untuk penerbangan dalam dan luar negeri - Tempat yang digunakan sebagai tempat sandar dan berlabuhnya kapal laut beserta aktivitas penumpangnya dan bongkar muat kargo.
11
Transmigrasi
Kawasan permukiman transmigrasi beserta pekarangan di sekitarnya. Kawasan pertanian atau perkebunan disekitarnya yang teridentifikasi jelas sebaiknya dikelaskan menurut pertanian atau perkebunan. Kawasan transmigrasi yang telah berkembang sehingga polanya menjadi kurang teratur dikelaskan menjadi permukiman perdesaan
12
Lahan terbuka
Lahan tanpa tutupan baik yang bersifat alami, semi alami maupun buatan. Menurut karakteristik
48
No
Kelas Penutupan Lahan Tingkat I Tingkat II
Keterangan permukaannya, lahan terbuka dapat dibedakan menjadi consolidated dan unconsolidated surface.
13
Pertambangan
Lahan terbuka sebagai akibat aktivitas pertambangan, dimana penutup lahan, batu ataupun material bumi lainnya dipindahkan oleh manusia.
14
Rawa
Genangan air tawar atau air payau yang luas dan permanen di daratan
15
Tubuh air
Semua kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang, padang lamun, dan lain-lain. Kenampakan tambak, sawah dan rawa-rawa telah digolongkan tersendiri.
16
Awan
Kenampakan awan yang menutupi lahan suatu kawasan dengan ukuran lebih dari 4 cm2 pada skala penyajian. Jika liputan awan tipis masih memperlihatkan kenampakan di bawahnya dan memungkinkan ditafsir tetap terdeliniasi. Sumber: SNI 7645:2010, Badan Standarisasi Nasional dan Pedoman Pemantauan Sumberdaya Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan
Keseluruhan proses pengolahan citra satelit menggunakan software ERDAS Imagine 2014, QGIS 2.18.12 dan ArcGIS 10. Tahap pengklasifikasian pada interpretasi visual citra, dilakukan dengan klasifikasi terbimbing (supervised classification) menggunakan pendekatan maximum likelihood. Area contoh (training area) dibuat berdasarkan acuan peta penutupan lahan dan titik kontrol yang didapatkan dari citra Google Earth. Penggunaan citra pada Google Earth didasarkan pada durasi waktu penelitian yaitu tahun 2010 dan tahun 2016 serta cakupan areal yang sangat luas dan akses yang tidak mudah. Perbedaan waktu tersebut akan berpengaruh pada
49
tutupan lahan real time di lapangan, dengan menggunakan menu historical imagery maka dapat menampilkan pola tutupan lahan pada tahun-tahun sesuai waktu yang diteliti. Sedangkan dengan cakupan areal yang luas (satu wilayah kabupaten) dan akses yang tidak mudah maka penggunaan image dari Google Earth sebagai referensi dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya. 3.6.3 Penggabungan Scene Citra (Mosaik) Wilayah yang diteliti merupakan areal yang cukup luas, terdiri dari 3 scene citra, yaitu pada Path/Row 116/060, 116/061, dan 117/060 dengan penutupan awan yang berbeda-beda. Selain itu, beberapa areal izin pinjam pakai kawasan hutan tersebut, terliput pada 2 sampai 3 scene citra satelit dengan path/row yang berbeda. Oleh karena itu diperlukan pembuatan citra mosaik untuk mendapatkan scene dengan tingkat penutupan awan minimal dan juga meliputi keseluruhan batas areal izin pinjam pakai kawasan hutan.
3.6.4 Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan Berdasarkan
hasil
klasifikasi
tersebut,
maka
selanjutnya
adalah
menentukan perubahan penutupan lahan pada areal izin untuk kegiatan pertambangan batubara, misalnya di tahun ke-n pada piksel x diidentifikasi sebagai tutupan bervegetasi, kemudian di tahun ke-n+1, piksel tersebut menunjukkan adanya kegiatan pembukaan lahan, dan seterusnya. Metode yang digunakan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan sesuai dengan SNI 8033:2014 tentang Metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual. Dari hasil identifikasi penutupan lahan pada citra satelit yang diambil secara time series, dilakukan pengelompokan tutupan lahan kedalam 2 kategori,
50
yaitu kelas berhutan dan kelas tidak berhutan. Pengelompokan tersebut disajikan dalam bentuk tabel sebagaimana tercantum di bawah ini.
Gambar 3.2 Contoh penyajian data perubahan penutupan lahan Sumber: SNI 8033 :2014, Badan Standarisasi Nasional 3.6.5 Menghitung Deforestasi Penghitungan besarnya deforestasi diperoleh dari hasil pengolahan data perubahan penutupan lahan. Deforestasi yang dihitung hanya pada areal berhutan atau penutupan lahan berupa hutan. Metode dalam menghitung perubahan penutupan lahan menggunakan post-classification comparison change detection berdasarkan hasil klasifikasi data raster. Menurut Jensen (2005), perubahan fenomena di permukaan bumi dapat dideteksi dengan teknik penginderaan jauh. Dalam proses deteksi tersebut, diperlukan pengaplikasian data multitemporal untuk analisis kuantitatif guna menganalisis perubahan suatu fenomena yang sejalan dengan fungsi waktu. Dalam SNI 8033:2014, teori tersebut dimodifikasi menjadi persamaan sebagai berikut:
51
PTH
=
A1 – A0
Keterangan : PTH : perubahan tutupan hutan pertahun pada periode tertentu (Hektar/Ha). A0
: luas hutan pada waktu pengamatan awal (Ha)
A1
: luas hutan pada waktu pengamatan akhir (Ha)
Apabila PTH bernilai positif, maka terjadi penambahan tutupan hutan (reforestasi). Sedangkan PTH yang bernilai negatif, berarti terjadi pengurangan tutupan hutan (deforestasi). 3.6.6
Menghitung Estimasi Potensi Emisi Karbon Estimasi potensi emisi karbon dihitung berdasarkan perubahan cadangan
karbon (IPCC, 2006) dari suatu kelas penutupan lahan ke kelas penutupan lahan lainnya. Emisi karbon yang diperhitungkan dalam peneitian ini adalah emisi karbon ekuivalen (CO2-eq), dengan faktor konversi sebesar 44/12 atau 3,67 dikalikan cadangan karbon (C ton/ha) menjadi (MtCO2-eq). Luas perubahan penutupan lahan (deforetasi/reforestasi) merupakan data aktivitas dalam penghitungan emisi karbon. Dalam Roswiniarti et al (2008), perhitungan emisi karbon yang disebabkan oleh perubahan tutupan lahan memerlukan data luas perubahan tutupan lahan dan besarnya cadangan karbon sebelum dan sesudah terjadi perubahan tutupan lahan. Rochmayanto el al. (2014) melakukan literatur review pada berbagai penelitian empiris sehingga didapatkan sintesa mengenai besaran cadangan karbon di Indonesia dan dapat dilakukan perhitungan pada tingkat sub nasional atau bioregion.
52
Tabel 3.3. Cadangan Karbon pada berbagai tipe hutan untuk Bioregion Kalimantan No.
Tipe Hutan
Cadangan karbon (C ton/ha)
1
Hutan lahan kering primer
222
2
Hutan lahan kering sekunder
178
3
Hutan rawa primer
157
4
Hutan rawa sekunder
140
5
Hutan mangrove primer
162
6
Hutan mangrove sekunder
116
7 Hutan tanaman Sumber : Rochmayanto et al., 2014
54,7
Oleh karena kelas penutupan lahan yang diidentifikasi pada penelitian ini termasuk kelas non hutan atau areal tidak berhutan, maka cadangan karbon pada kelas non hutan memakai cadangan karbon nasional sesuai RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca). Tabel 3.4. Cadangan Karbon pada berbagai kelas penutupan lahan non hutan untuk skala nasional No.
Kelas penutupan lahan
Cadangan karbon (C ton/ha)
1
Belukar
30
2
Belukar rawa
30
3
Savana
4
4
Perkebunan
63
5
Pertanian lahan kering
10
6
Pertanian lahan kering campur semak
30
7
Sawah
2
8
Tambak
0
9
Tanah terbuka
2,5
10
Pertambangan
0
11
Transmigrasi
10
53
Kelas penutupan lahan
No.
Cadangan karbon (C ton/ha)
12
Permukiman
4
13
Bandara/Pelabuhan
0
14
Tubuh air
0
15
Rawa
0
16 Awan 0 Sumber: Pedoman Teknis Perhitungan Baseline Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca Berbasis Lahan, 2014 Persamaan 3.1. Rumus perubahan cadangan karbon ∆C
=
C1 – C0
Keterangan : ∆C
: perubahan cadangan karbon (C Ton/Ha/tahun).
C0
: cadangan karbon pada waktu pengamatan awal (C Ton)
C1
: cadangan karbon pada waktu pengamatan akhir (C Ton)
Persamaan 3.2. Rumus emisi/serapan karbon E/S = Cjh x L PTH x 3,67 Keterangan : E/S
: emisi/serapan karbon (C-eq Ton)
Cjh
: cadangan karbon pada berbagai kelas penutupan lahan (C Ton/Ha)
L PTH
: luas perubahan penutupan lahan (deforestasi/reforestasi) (Ha)
3,67 adalah faktor konversi dari emisi/serapan karbon ke emisi karbon ekuivalen (IPCC,2006) Persamaan 3.3. Rumus emisi karbon bersih Emisi bersih = Emisi – Serapan Emisi bersih merupakan selisih antara emisi dengan serapannya pada keseluruhan kelas penutupan lahan. Emisi terjadi apabila terjadi perubahan lahan yang mempunyai cadangan karbon tinggi ke cadangan karbon rendah (+).
54
Sedangkan serapan akan terjadi jika terdapat perubahan penutupan lahan dari cadangan karbon rendah ke cadangan karbon tinggi (-). DIAGRAM ALIR PENGOLAHAN DATA CITRA SATELIT
Citra Landsat 5 TM+ Tahun 2010
Citra Landsat 8 OLI/TIRS Tahun 2016
Citra Landsat 7 ETM+ Tahun 2010
Gap Fill Pemotongan scene citra satelit (cropping)
Pembuatan komposit citra (False Natiral Color)
Peta Sebaran Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Operasi Produksi Batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur
Interpretasi Visual
Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification)
Peta Penutupan Lahan Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara
Penggabungan potongan scene citra satelit
Pembuatan titik kontrol pada Image Google Earth
(mozaicing)
Tidak
Uji Akurasi
Peta Penutupan Lahan pada Areal Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Operasi Produksi Batubara di Kutai Kartanegara
Gambar 3.3 Diagram Alir Pengolahan Citra Satelit
Iya
55
3.7 Jadwal Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 13 bulan, mulai bulan Januari 2017 sampai Januari 2018, yang dimulai dari pengambilan data sekunder, pengolahan citra satelit hingga analisis data. Secara rinci, alokasi waktu untuk penelitian disajikan dalam tabel berikut. Tabel 3.5 Jadwal Penelitian No
Uraian Kegiatan
1
Unduh data Citra Landsat liputan Kabupaten Kutai Kartanegara
2
Pengambilan data sekunder ke instansi terkait:
3
Pelaksanaan
Keterangan
Januari 2017
a. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Februari 2017
b. Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Maret 2017
c. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Maret 2017
Pengolahan Citra a. Gapfilling citra
Maret 2017
Diperlukan pada Citra Landsat 7 ETM+
b. Interpretasi dan Klasifikasi Citra
April – Juli 2017
Metode: klasifikasi tidak terbimbing
4
Perubahan metode penelitian
Agustus 2017
5
Pengunduhan ulang citra
September 2017
Citra dengan tutupan awan
56
No
6
7
Uraian Kegiatan
Pelaksanaan
Keterangan minimal pada areal IPPKH
Pengolahan ulang data citra
a. Pemotongan citra sesuai sebaran izin untuk pertambangan batubara di Kutai Kartanegara
September 2017
Sesuai sebaran izin, didapatkan 16 scene hasil pemotongan untuk tahun 2010 dan 2016
b. Interpretasi dan Klasifikasi
Oktober – Desember 2017
Metode: klasifikasi terbimbing pada 16 scene citra
c. Rektifikasi pada citra Landsat 5 TM (L1G)
Januari 2018
1 scene citra
d. Klasifikasi ulang pada sebagian potongan scene citra Landsat 5 TM (L1G)
Januari 2018
1 scene citra
Analisis data
Februari 2018
a. Perhitungan deforestasi b. Perhitungan emisi karbon