BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. SURVEILANS 1. Pengertian Surveilans
Surveilans Epidemiologi adalah kegiatan pengamatan secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan serta kondisi yang mempengaruhi resiko terjadinya penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan, pengolahan data dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Pada awalnya surveilans epidemiologi banyak dimanfaatkan pada upaya pemberantasan penyakit menular, tetapi pada saat ini surveilans
mutlak
diperlukan
pada
setiap
upaya
kesehatan
masyarakat, baik upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, maupun terhadap upaya kesehatan lainnya. Pelaporan Penyakit Menular hanya salah satu bagian saja namun yang paling penting dari suatu system surveilans kesehatan masyarakat. Bertambahnya jumlah penduduk dan “overcrowding” mempercepat terjadinya penularan penyakit dari orang ke orang. Faktor pertumbuhan dan mobilitas penduduk ini juga memperngaruhi perubahan gambaran Epidemiologis serta virulensi dari penyakit menular tertentu. Perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah baru yang mempunyai ekologi lain membawa konsekuensi orang-orang yang pindah tersebut mengalami kontak dengan agen penyakit tertentu
yang dapat menimbulkan masalah penyakit baru. Apapun jenis penyakitnya, apakah dia penyakit yang sangat prevalens di suatu wilayah ataukah penyakit yang baru muncul ataupun penyakit yang digunakan dalam bioteririsme, yang paliang penting dalam upaya pencegahan
dan
pemberantasan
adalah
mengenal
dan
mengidentifikasinnya sedini mungkin. Untuk mencapai tujuan tersebut maka system surveilans yang tertata rapi sangat diperlukan. CDC Atlanta telah mengembangkan rencana strategis untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul termasuk mengembangkan jaringan susrveilans sentinel, pengembangan pusat-pusat surveilans berbasis masyarakat dan berbagai proyek yang melengkapi kegiatan surveilans. Sebagai tambahan, Journal baru yang berjudul Emerging Infectious Diseases telah diterbitkan. CDC dengan WHO telah pula melakukan kerjasama tukar menukar informasi melalui media elektronika sejak tahun 1990 an. Bagaimanapun juga deteksi dini terhadap suatu kejadian penyakit menular sangat tergantung kepada kejelian para petugas kesehatan yang berada di ujung tombak untuk mengenali kejadian kesehatan yang tidak biasa secara dini. Dokter atau tenaga kesehatan yang menemukan yang aneh di lapangan punya kewajiban untuk melaporkan kepada otoritas kesehatan yang lebih tinggi agar dapat dilakukan tindakan yang semestinya.
2. Tujuan Surveilans Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans: 1. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit; 2. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak;
3. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi; 4. Menentukan
kebutuhan
kesehatan
prioritas,
membantu
perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan; 5. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan 6. Mengidentifikasi kebutuhan riset (Last, 2001; Giesecke, 2002; JHU, 2002).
3. JENIS SURVEILANS Dikenal beberapa jenis surveilans: 1. Surveilans Individu Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS. Dikenal dua jenis karantina, yaitu: a. Karantina total; Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar. b. Karantina parsial. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja.
2. Surveilans Penyakit Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang masingmasing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masingmasing, dan memberikan
informasi
duplikatif,
sehingga
mengakibatkan
inefisiensi.
3. Surveilans Sindromik Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit. Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. Sebagai contoh, Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006). Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. 4. Surveilans Berbasis Laboratorium Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium
sentral
untuk
mendeteksi
strain
bakteri
tertentu
memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik 5. Surveilans terpadu Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans
terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006). Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: a. Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services); b. Menggunakan pendekatan solusi majemuk; c. Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; d. Melakukan
sinergi
antara
fungsi
inti
surveilans
(yakni,
pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); e. Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda. 6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging
diseases),
maupun
penyakit-penyakit
yang
baru
muncul
(newemergingdiseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi .
4. Syarat-syarat sistem surveilans yang baik Syarat-syarat sistem surveilans yang baik hendaknya memenuhi karakteristik sebagai berikut (Romaguera, 2000) : a.
Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan sistem surveilans menyangkut struktur dan pengorganisasian sistem. Besar dan jenis informasi yang diperlukan untuk menunjang diagnosis, sumber pelapor, cara pengiriman data, organisasi yang menerima laporan, kebutuhan pelatihan staf, pengolahan dan analisa data perlu dirancang agar tidak membutuhkan sumber daya yang terlalu besar dan prosedur yang terlalu rumit. b.
Fleksibilitas (Flexibility)
Sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dalam mengatasi perubahan-perubahan informasi yang dibutuhkan atau kondisi operasional tanpa memerlukan peningkatan yang berarti akan kebutuhan biaya, waktu dan tenaga. c.
Dapat diterima (Acceptability)
Penerimaan terhadap sistem surveilans tercermin dari tingkat partisipasi individu, organisasi dan lembaga kesehatan. lnteraksi sistem dengan mereka yang terlibat, temasuk pasien atau kasus yang terdeteksi dan petugas yang melakukan diagnosis dan pelaporan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tesebut. Beberapa indikator penerimaan terhadap sistem surveilans adalah jumlah proporsi para
pelapor, kelengkapan pengisian formulir pelaporan dan ketepatan waktu pelaporan. Tingkat partisipasi dalam sistem surveilans dipengaruhi oleh pentingnya kejadian kesehatan yang dipantau, pengakuan atas kontribusi mereka yang terlibat dalam sistem, tanggapan sistem terhadap saran atau komentar, beban sumber daya yang tersedia, adanya peraturan dan perundangan yang dijalankan dengan tepat. d.
Sensitivitas (Sensitivity)
Sensitivitas suatu surveilans dapat dinilai dari kemampuan mendeteksi kejadian kasus-kasus penyakit atau kondisi kesehatan yang dipantau dan kemampuan mengidentifikasi adanya KLB. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah : 1). Proporsi penderita yang berobat ke pelayanan kesehatan 2).
Kemampuan mendiagmosa secara benar dan kemungkinan kasus yang terdiagnosa akan dilaporkan
3). Keakuratan data yang dilaporkan e.
Nilai Prediktif Positif (Positive predictive value)
Nilai Prediktif Positif adalah proporsi dari yang diidentifikasi sebagai kasus, yang kenyataannya memang menderita penyakit atau kondisi sasaran surveilans. Nilai Prediktif Positif menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas serta prevalensi/ insidensi penyakit atau masalah kesehatan di masyarakat. f.
Representatif (Representative)
Sistem surveilans yang representatif mampu mendeskripsikan secara akurat distribusi kejadian penyakit menurut karakteristik orang, waktu dan tempat. Kualitas data merupakan karakteristik sistem surveilans yang representatif. Data surveilans tidak sekedar pemecahan kasus-
kasus tetapi juga diskripsi atau ciri-ciri demografik dan infomasi mengenai faktor resiko yang penting. g.
Tepat Waktu
Ketepatan waktu suatu sistem surveilans dipengaruhi oleh ketepatan dan kecepatan mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pelaporan penyakit-penyakit tertentu perlu dilakukan dengan tepat dan cepat agar dapat dikendalikan secara efektif atau tidak meluas sehingga membahayakan masyarakat. Ketepatan waktu dalam sistem surveilans dapat dinilai berdasarakan ketersediaan infomasi untuk pengendalian penyakit baik yang sifatnya segera maupun untuk perencanaan program dalam jangka panjang. Tekhnologi komputer dapat sebagai faktor pendukung sistem surveilans dalam ketepatan waktu penyediaan informasi.
5. Pendekatan Atau Sumber Data Surveilans Kesehatan Masyarakat Berdasarkan pendekatan sumber data surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: 1. Surveilans pasif Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negaranegara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans
pasif
adalah
kurang
sensitif
dalam
mendeteksi
kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-
reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktupetugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas.
2. Surveilans aktif Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulituntuk dilakukan daripada surveilans pasif Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance. Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi
laboratorium.
kemungkinan negatif palsu.
Community
surveilans
mengurangi
Sumber data dalam survelans epidemiologi menurut kemenkes RI no. 1116/menkes/sk/VIII/2003: a. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat b. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan kantor pemerintah dan masyarakat c. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit ststistik kependudukan dan masyarakat d. Data geografi yang dapat di peroleh dari unit unit meteorologi dan geofisika e. Data laboratorium yang dapat di peroleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat f. Data kondisi lingkungan g. Laporan wabah h. Laporan penyelidikan wabah/KLB i. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan j. Studi epidemiologi dan hasil penelitian lainnya k. Data hewan dan vektor sumber penularan penyakit yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat l. Laporan kondisi pangan.
6. Kegunaan Surveilans Adapun kegunaan surveilans
dalam
pelayanan
kesehatan
Masyarakat adalah sebagai berikut: 1. Mempelajari pola kejadian penyakit dan penyakit potensial pada populasi sehingga dapat efektif dalam investigasi, controling dan pencegahan penyakit di populasi. 2.
Mempelajari riwayat alamiah penyakit, spektrum klinik dan
epidemiologi penyakit (siapa, kapan dan dimana terjadinya, serta keterpaparan faktor resiko). 3.
Menyediakan basis data yang dapat digunakan untuk
memperkirakan
tindakan
pencegahan
dan
kontrol
dalam
pengembangan dan pelaksanaan.
B. HIPERTENSI 1. Definisi Hipertensi (tekanan darah tinggi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya disebut sebagai hipertensi esensial. Menurut The Seventh of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7 Klasifikasi Tekanan
TDS (mmHg)
TDD (mmHg)
Darah Normal
< 120
dan
< 80
Prehipertensi
120-139
atau
80-90
Hipertensi derajat 1
140-159
atau
90-99
Hipertensi derajat 2
≥ 160
atau
≥ 100
Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi, yang tekanan darahnya 130-139/80-89 mmHg sepanjang hidupnya memiliki 2 kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskuler daripada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik > 140 mmHg merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler daripada tekanan darah diastolik.
Risiko penyakit kardiovaskuler dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg, meningkat 2 kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg.
Risiko penyakit kardiovaskuler bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor risiko lainnya.
2. Epidemiologi Data epidemiologi menunjukkan bahwa dengan meningkatnya populasi usia lanjut maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga bertambah, di mana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia > 65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat dalam dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi (pola kurva mendatar) dan pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi. Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun ke 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang berarti terdapat 5865 juta orang hipertensi di Amerika dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.
3. Patofisiologi Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis:
Hipertensi primer atau esensial adalah hipertensi yang tidak atau belum diketahui penyebabnya (terdapat ± 90 % dari seluruh hipertensi).
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan atau sebagai akibat dari adanya penyakit lain.
Adapun patofisiologi hipertensi berdasarkan etiologinya yaitu: 1. Hipertensi primer atau esensial Peningkatan curah jantung (volume sekuncup x frekuensi denyut jantung) dan peningkatan resistensi perifer total (TPR). Dibagi menjadi 2 yaitu: a. Hipertensi hiperdinamik Penyebab 1: ↑ frekuensi denyut jantung atau volume ekstrasel ↓ ↑ aliran balik vena ↓ ↑ volume sekuncup (mekanisme Frank-Starling) ↓ HIPERTENSI
Penyebab 2: ↑ aktivitas simpatis (dari SSP) atau ↑ respon terhadap katekolamin ↓ ↑ curah jantung ↓ HIPERTENSI
b. Hipertensi resistensi Penyebab: - ↑ aktivitas simpatis - ↑ respon terhadap katekolamin - ↑ konsentrasi angiotensin II
vasokonstriksi perifer
- mekanisme autoregulasi
(arteriol) ↓
- hipertrofi otot vasokonstriktor - ↑ viskositas darah (↑ hematokrit)
→
HIPERTENSI
HIPERTENSI → kerusakan vaskuler → ↑ TPR → HIPERTENSI MENETAP
2. Hipertensi sekunder Dibagi menjadi 3 yaitu: a. Hipertensi renal stenosis arteri renalis atau penyempitan arteriol dan kapiler ginjal ↓ iskemik ginjal ↓ pelepasan renin dari ginjal ↓ renin
tumor
angiotensinogen → angiotensin I ↓ ACE angiotensin II (oktapeptida)
lepaskan aldosteron
vasokontriktor berat
dari korteks adrenal ↓
↓
retensi Na dan ↑ curah jantung
↑ TPR
↑ tekanan darah massa ginjal fungsional
↓ hipertensi ↓ hipertensi kronik ↓
perubahan sekunder (hipertrofi dinding vaskuler, aterosklerosis)
b. Hipertensi hormonal 1) Sindrom adrenogenital pembentukan kortisol di korteks adrenal dihambat ↓ pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH) tidak dihambat ↓ prekursor mineralokortikoid aktif kotisol dan aldosteron ↓ retensi Na ↓ ↑ hormon ekstrasel ↓ ↑ curah jantung ↓ HIPERTENSI
2) Hiperaldosteronisme (sindrom Conn) tumor korteks adrenal ↓ lepaskan aldosteron (jumlah besar) tanpa mekanisme pengaturan ↓ retensi Na di ginjal ↓ ↑ curah jantung ↓ HIPERTENSI
3) Sindrom Cushing pelepasan ACTH tidak adekuat ↓ ↑ konsentrasi glukokortikoid plasma ↑ efek katekolamin
↑ kerja mineralokortikoid dari kortisol
↓
↓
↑ curah jantung
retensi Na
HIPERTENSI
4) Feokromasitoma tumor adrenomedula ↓ katekolamin ↓ ↑ kadar epinefrin tidak terkendali ↓ ↑ curah jantung ↓ HIPERTENSI
5) Pil kontrasepsi retensi Na ↓ ↑ curah jantung ↓ HIPERTENSI
c. Hipertensi neurogenik ensefalitis, edema serebri, perdarahan, tumor otak ↓ perangsangan sentral kerja jantung berlebih ↓ ↑ tekanan darah ↓ HIPERTENSI
Sedangkan patofisiologi hipertensi berdasarkan faktor risikonya yaitu: 1. Genetik (♀ > ♂) 2. Penduduk kota > desa (hipertensi primer) 3. Stres psikologis kronis (berubungan dengan pekerjaan atau kepribadian) stres psikologis ↑ perangsangan jantung
↑ absorpsi ginjal dan retensi Na ↑ volume ekstrasel
↑ tekanan darah (HIPERTENSI) stres atau ketegangan fisik (olahraga) pelepasan adrenalin dan noradrenalin vasokontriktif ↑ tekanan darah sementara
4. Sensitif terhadap garam (insiden ↑ jika ada riwayat keluarga) sensitif garam ↓ respon terhadap katekolamin ↑ ↓ ↑ curah jantung ↓ HIPERTENSI
5.
Asupan garam tinggi ion natrium retensi air
perkuat efek nor-adrenalin
↓
↓
volume darah bertambah (hiperviskositas)
vasokonstriksi
↓ daya tahan pembuluh darah ↑ HIPERTENSI
6. Konsumsi liquorice Sejenis gula-gula dibuat dari Succus liquiritiae yang mengandung asam glizirinat dengan khasiat retensi air ↑ tekanan darah jika dimakan dalam jumlah besar. 7. Merokok Nikotin vasokonstriksi ↑ tekanan darah. 8. Pil KB Mengandung hormon estrogen retensi garam dan air ↑ tekanan darah. 9. Hormon pria dan kortikosteroid Menyebabkan retensi air ↑ tekanan darah. 10. Kehamilan
Uterus direnggangkan telalu banyak oleh janin menerima kurang darah dilepaskan zat yang ↑ tekanan darah.
4. Manifestasi Klinis Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala walaupun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan, dan kelelahan yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal. Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:
Sakit kepala
Kelelahan
Mual-muntah
Sesak napas
Gelisah
Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung, dan ginjal
Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak disebut ensefalopati hipertensif yang memerlukan penanganan segera
5. Diagnosis 1. Pemeriksaan dasar Pengukuran tekanan darah yang sesuai standar dilakukan tidak hanya sekali jika perlu dapat pada lebih dari sekali kunjungan. 2. Pemeriksaan mencari faktor risiko Faktor risiko penting untuk menentukan risiko hipertensi dan stratifikasi terhadap kejadian komplikasi kardiovaskuler yaitu: a. Risiko untuk stratifikasi
Derajat hipertensi
Wanita > 65 tahun
Laki-laki > 55 tahun
Perokok
Kolesterol total > 250 mg% (6,5 mmol/L)
Diabetes melitus
Riwayat keluarga penyakit kardiovaskuler lain
b. Risiko lain yang mempengaruhi prognosis
Kolesterol HDL rendah
Kolesterol LDL meningkat
Mikroalbuminaria pada diabetes melitus
Toleransi glukosa terganggu
Obesitas
Tidak berolahraga (secondary lifestyle)
Fibrinogen meningkat
Kelompok risiko tinggi tertentu (sosio-ekonomi, ras, geografik)
c. Kerusakan organ sasaran
Hipertrofi ventrikel kiri
Proteinuria atau kreatinin 1,2-2,0 mg%
Penyempitan a. retina lokal atau umum
Tanda aterosklerosis pada a. karotis, a. iliaka, maupun aorta
d. Tanda klinis kelainan dengan penyakit
Penyakit serebrovaskuler: stroke iskemik, perdarahan serebral, TIA
Penyakit jantung: infark miokard, angina pektoris, revaskularisasi koroner, gagal jantung kongestif
Retinopati hipertensi lanjut: perdarahan atau eksudat, edema papil
Penyakit ginjal: nefropati diabetik, GGK (kreatinin > 2 mg %)
Penyakit lain: diseksi aneurisma, penyakit arteri (simtomatik)
3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan rutin harus dilakukan seperti:
Tes darah rutin
Hemoglobin dan hematokrit
Urinalisis terutama untuk deteksi adanya darah, protein, gula
Kimia darah untuk kalium (serum), kreatinin (serum), asam urat (serum), gula darah, total kolesterol (kolesterol total serum, HDL serum, LDL serum, trigliserida serum)
Plasma rennin activity (PRA), aldosteron, katekolamin urin
Elektrokardiografi (EKG)
Ekokardiografi jika diduga adanya kerusakan organ sasaran seperti adanya LVH
Ultrasonografi pembuluh darah besar (karotis dan femoral)
Ultrasonografi ginjal jika diduga adanya kelainan ginjal
Pemeriksaaan neurologis untuk mengetahui kerusakan pada otak
Funduskopi untuk mengetahui kerusakan pada mata Adapun pemeriksaan radiologi pada penderita hipertensi untuk melihat adanya komplikasi meliputi:
a. Foto thorak Pada gambar foto thorak posisi postero-anterior (PA) terlihat pembesaran jantung ke kiri, elongasi aorta pada hipertensi yang kronis, dan tanda-tanda bendungan pembuluh paru pada stadium gagal jantung hipertensi. Pada hipertensi heart disease, keadaan awal batas kiri bawah jantung menjadi bulat karena hipertrofi konsentrik ventrikel kiri. Pada keadaan lanjut, apeks jantung membesar ke kiri dan bawah. Aortik knob membesar dan menonjol disertai klasifikasi. Aorta asenden-desenden melebar dan berkelok (elongasi aorta).
Gambaran kardiomegali dengan hipertensi pulmonal b. Angiografi Pada angiografi ginjal memungkinkan penglihatan terhadap pembuluh dan parenkim ginjal, aorta, dan hubungan ginjal ke aorta. Angiografi ginjal dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi stenosis arteri ginjal atau trombus ginjal dan menentukan faktor penyebab hipertensi atau gagal ginjal serta mengevaluasi sirkulasi ginjal. c. Magnetic resonance angiography d. Computed tomography angiography e. Duplex doppler ultrasonography
d
e
Gambaran stenosis a. renalis (a) MR angiografi dengan kontras (b) angiografi ginjal konvensional (c) normal (d) CT angiografi (e) USG duplex doppler renal
6. Tatalaksana Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah: 1. Target tekanan darah < 140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes, gagal ginjal proteinuria) < 130/80 mmHg 2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler 3. Menghambat laju penyakit ginjal proteinuria Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor risiko atau kondisi penyerta lainnya seperti diabetes melitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hingga mencapai target terapi masing-masing kondisi. Pengobatan
hipertensi
terdiri
dari
non-farmakologis
dan
farmakologis. Terapi non-farmakologis dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor risiko serta penyakit penyerta lainnya. Terapi non-farmakologis terdiri dari:
Menghentikan merokok
Menurunkan berat badan berlebih
Menurunkan konsumsi alkohol berlebih
Latihan fisik
Menurunkan asupan garam
Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan JNC 7 yaitu:
Diuretika terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone Antagonist (Aldo Ant)
Beta Blocker (BB)
Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist (CCB)
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)
Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor Antagonist atau Blocker (ARB)
Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam pengobatan hipertensi tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa faktor yaitu:
Faktor sosio-ekonomi
Profil faktor risiko kardiovaskuler
Ada tidaknya kerusakan organ target
Ada tidaknya penyakit penyerta
Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi
Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk penyakit lain
Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam menurunkan risiko kardiovaskuler
Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan darah itu sendiri, terlepas dari jenis obat antihipertensi yang digunakan. Namun, terdapat pula bukti yang menyatakan bahwa jenis obat antihipertensi tertentu memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu. Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokkan pasien berdasarkan pertimbangan khusus (special consederations) yaitu kelompok indikasi yang memaksa (compelling indications) dan keadaan khusus lainnya (special situations). Indikasi yang memaksa meliputi:
Gagal jantung
Pasca infark miokardium
Risiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
Diabetes melitus
Penyakit ginjal kronis
Pencegahan stroke berulang Keadaan khusus lainnya meliputi:
Populasi minoritas
Obesitas dan sindrom metabolik
Hipertrofi ventrikel kanan
Penyakit arteri perifer
Hipertensi pada usia lanjut
Hipotensi postural
Demensia
Hipertensi pada perempuan
Hipertensi pada anak dan dewasa muda
Hipertensi urgensi dan emergensi Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap dan target tekanan darah tinggi dicapai secara progresif dalam
beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan memulai terapi dengan 1 jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan 1 jenis obat dalam dosis rendah dan kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindarkan dengan dosis rendah baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah tetapi terapi kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang semakin bertambah. Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien hipertensi adalah:
CCB dan BB
CCB dan ACEI atau ARB
CCB dan diuretika
AB dan BB
Kadang diperlukan 3 atau 4 kombinasi obat Indikasi dan kontraindikasi jenis utama obat antihipertensi menurut
ESH meliputi: Kelas Obat Diuretika (thiazide)
Indikasi Gagal jantung kongestif,
KI Mutlak Gout
KI Tidak Mutlak Kehamilan
usia lanjut, isolated systolic hypertension, ras Afrika Diuretika (loop)
Insufisiensi ginjal, gagal jantung kongestif
Diuretika (anti-
Gagal jantung kongestif,
Gagal ginjal,
aldosteron)
pasca infark miokardium
hiperkalemia
Penyekat β
Angina pektoris, pasca
Asma, penyakit paru
Penyakit pembuluh
infark miokardium, gagal
obstruktif menahun,
darah perifer,
jantung kongestif,
AV block (derajat 2
intoleransi glukosa,
kehamilan, takiaritmia
atau 3)
atlet atau pasien yang aktif secara fisik
Calcium antagonist
Usia lanjut, isolated
Takiaritmia, gagal
(dihydropiridine)
systolic hypertension,
jantung kongestif
angina pektoris, penyakit pembuluh darah perifer, aterosklerosis karotis, kehamilan Calcium antagonist
Angina pektoris,
AV block (derajat 2
(verapamil, diltiazem)
aterosklerosis karotis,
atau 3), gagal jantung
takikardia
kongestif
supraventrikuler ACE-inhibitor
Gagal jantung kongestif,
Kehamilan,
disfungsi ventrikel kiri,
hiperkalemia, stenosis
pasca infark
arteri renalis bilateral
miokardium, nondiabetik nefropati, nefropati DM tipe 1, proteinuria Angiotensin II receptor
Nefropati DM tipe 2,
Kehamilan,
antagonist (ATI-
mikroalbuminaria
hiperkalemia, stenosis
blocker)
diabetik, proteinuria,
arteri renalis bilateral
hipertrofi ventrikel kiri, batuk karena ACE-I
α-blocker
Hiperplasia prostat (BPH), hiperlipidemia
Hipotensi ortostatik
Gagal jantung kongestif
Tatalaksana hipertensi menurut JNC 7 meliputi: Klasifikasi
TDS
TDD
Perbaikan
Terapi Obat
Terapi Obat
Tekanan
(mmHg)
(mmHg)
Pola Hidup
Awal tanpa
Awal dengan
Indikasi
Indikasi
Memaksa
Memaksa
Darah
Normal
< 120
dan < 80
Dianjurkan
Prehipertensi
120-139
atau 80-89
Ya
Tidak indikasi
Obat-obatan
obat
untuk indikasi yang memaksa
Hipertensi
140-159
atau 9- 99
Ya
derajat 1
Diuretika jenis
Obat-obatan
Thiazide untuk
untuk indikasi
sebagian besar
yang memaksa
kasus, dapat
Obat
dipertimbangkan
antihipertensi
ACE-I, ARB,
lain (diuretika,
BB, CCB, atau
ACE-I, ARB,
kombinasi
BB, CCB) sesuai kebutuhan
≥ 160
Hipertensi
atau ≥ 100
derajat 2
Ya
Kombinasi 2 obat untuk sebagian besar kasus umumnya diuretika jenis Thiazide dan ACE-I atau ARB atau BB atau CCB
7. Komplikasi Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi antara lain:
Aterosklerosis
Penyakit jantung koroner
Penyakit arteri perifer atau penyakit oklusi arteri perifer
Aneurisma
Gagal jantung
Stroke
Edema paru
Gagal ginjal
Kebutaan (pecahnya pembuluh darah pada mata)
Sindrom metabolik
8. Prognosis Hipertensi dapat dikendalikan dengan baik dengan pengobatan yang tepat. Terapi dengan kombinasi perubahan gaya hidup dan obat-obatan antihipertensi biasanya dapat menjaga tekanan darah pada tingkat yang tidak akan menyebabkan kerusakan pada jantung atau organ lain. Kunci untuk menghindari komplikasi serius dari hipertensi adalah mendeteksi dan mengobati sebelum kerusakan terjadi.
DAFTAR PUSTAKA Bustan, M.N. 2006. Pengantar Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta.
Ganiswarna, S. G. (2003). Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-UI. Gareth, B. Patofisiologi Hipertensi. British Medical Journal. Hughes, A.D. & Schachter. 1994. Hypertension and Blood Vessels. Br Med Bull. 50 : 356-70. Nur Nasry Noor, Bahan kuliah Epidemiologi Dasar. FKM. Unhas. Ridwan, 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat Surveilans Epidermiologi Sebuah Pengantar. FKM-UNHAS. Romaguera, A. Raul., German, R.Robert & Klaucke N. Douglas, 2000 Evaluating Public Health Surveillance in : Teutsch, M. Steven and Churchill, E. R. ed. Principles and Practice of Public Health Surveillance:New york : Oxford university press pp. 176 – 193. Silvia, A. & Lorraince. 2003. Patofisiologi. Jakarta: EGC. Sudoyo, A. W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV. Jakarta: FK-UI.
Sugiyono, Prof. Dr. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Atfabeta. Bandung. Hal. Sutrisna, Bambang. 1986. Pengantar Metoda Epidemiologi. PT. Dian Rakyat. Jakarta. Wahyudin Rajab, M.Epid. Buku Ajar Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan, sEGC. Jakarta