Bab Ii.docx

  • Uploaded by: Ulfi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,609
  • Pages: 20
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Teori Tentang Lupus 2.1.1 Definisi Lupus Erythematosus atau Lupus adalah penyakit inflamasi kronis yang juga disebut autoimun (Lourenco, Carvalho, Boggio, Sotto, Vilela, Rivitti & Nico, 2006). Inflamasi adalah mekanisme tubuh untuk melindungi diri dari rangsangan yang berbahaya. Inflamasi kronis berarti inflamasi jangka panjang yang terjadi dalam waktu berbulan-bulan dan bahkan bisa bertahun-tahun (Medical News Today, 2015). Autoimun adalah kegagalan antibodi untuk mengenali antigen diri (self-antigen) (Campbell, Reece & Mitchell, 2004). Autoimun terjadi karena diproduksinya autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) secara berlebihan sehingga membentuk kompleks imun (penyebab terjadinya inflamasi) (British Society for Immunology, 2016). Pada individu yang sehat, sistem imun akan melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme asing seperti virus, bakteri dan parasit. Normalnya, tubuh manusia akan mengatur sistem imun agar tidak menyerang jaringan inang. Namun pada pasien Lupus, terjadi kegagalan

regulasi imun sehingga terbentuk autoantibodi yang menyerang seluruh jaringan atau organ tubuh (British Society for Immunology, 2016).

2.1.2 Klasifikasi Dalam membahas Lupus, orang-orang sering mengaitkan hal tersebut dengan Systemic Lupus Erythematosus. Namun, menurut U.S. Department of Health and Human Service (2017), klasifikasi Lupus ada beberapa jenis, yaitu: 1.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun dan

tipe Lupus yang paling umum dijumpai. Gejala yang umum muncul adalah artritis, ruam malar, nefropati, photosensitivity (sensitif terhadap sinar matahari), demam, bengkak dan nyeri sendi, kerontokan rambut, dan masalah ginjal (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011; U.S. Department of Health and Human Services, 2017).

2.

Cutaneous Lupus Erythematosus (CLE) Cutaneous Lupus Erythematosus merupakan penyakit kulit dengan

atau tanpa disertai SLE. CLE memiliki berbagai manifestasi seperti ruam, sensitivitas sinar matahari, rambut rontok, pembengkakan pembuluh darah, bisul. CLE dibagi menjadi dua tipe, yaitu:

a. Discoid Lupus Erythematosus Discoid Lupus Erythematosus merupakan penyaki ruam kulit yang muncul akibat terpapar oleh sinar matahari (British Association of Dermatologists, 2017). Ruam discoid awalnya muncul ruam kemerahan kemudian berubah menjadi coklat gelap. Ruam tersebut muncul pada wajah dan kulit kepala, bisa juga pada bagian tubuh yang lainnya. DLE meninggalkan bekas luka pada kulit (U.S. Department of Health ang Human Service, 2017). b. Subacute Cutaneous Lupus Subacute Cutaneous Lupus adalah penyakit autoimun dimana pasien mengalami fotosensitifitas. Muncul lesi pada kulit tapi tidak meninggalkan bekas luka (U.S. Department of Health ang Human Service, 2017; Breithaupt & Jacob, 2012).

3.

Drug-Induced Lupus Drug Induced Lupus adalah penyakit yang menyerupai Lupus dimana

agen pencetusnya seperti radiasi sinar ultra-violet, bahan kimia, dan produk makanan. Manifestasi umum pada DIL secara umum adalah demam, arthralgia (90%) atau arthritis, myalgia (50%) dan serositis (Vasoo, 2006).

4.

Neonatal Lupus Neonatal Lupus adalah penyakit autoimun yang jarang ditemui.

Neonatal Lupus mempunyai ciri yaitu lesi pada kulit yang menyerupai lupus erythematosus subakut atau discoid dan/atau komplikasi jantung. Neonatal Lupus disebabkan karena transplasental autoantibodi ibu terhadap Ro (95%), La dan yang jarang U1-ribonucleoprotein (U1-RNP) (Perez, Bujan, Cervini, Torres, Lanoel & Pierini, 2011).

2.1.3 Etiologi Penyebab Lupus masih belum diketahui dan Lupus bukan merupakan penyakit yang menular (U.S. Department of Health and Service, 2017).

2.1.4 Epidemiologi Menurut WHO, jumlah penderita penyakit Lupus di seluruh dunia mencapai lima juta orang dengan jumlah terbanyak pada perempuan usia produktif dan terdapat lebih dari 100 ribu penderita baru setiap tahun. Di Asia pasifik, prevalensi Lupus ditemukan kira-kira 0,9-0,31 per 100.000 orang (Rupert, Bae, Louthrenoo, Mok, Navarra & Kwon, 2012). Sedangkan di Indonesia sendiri, jumlah penderita Lupus belum diketahui secara pasti, diperkirakan mencapai 1,5 juta orang (KEMENKES RI, 2011).

Tipe Lupus yang paling banyak terjadi adalah Systemic Lupus Erythematosus, sehingga banyak orang yang menganggap bahwa Lupus adalah SLE itu sendiri. Insiden tahunan SLE di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk dengan rsio gender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Di Indonesia belum ada data pasti mengenai epidemiologi SLE. Tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, terdapat 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi selama tahun 2010 (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

2.1.5 Faktor Risiko Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit Lupus, yaitu (Medical News Today, 2016; U.S. Department of Health and Human Service, 2017): 1. Gender Sebanyak 90% wanita lebih beresiko terkena penyakit Lupus

2. Usia Gejala dan diagnosis Lupus muncul pada saat usia 15-45. Kurang lebih 15% orang-orang terdiagnosa dengan Lupus, gejalanya muncul sebelum umur 18. 3. Ras Di Amerika serikat, jumlah odapus lebih berkembang pada AfricaAmericans, Hispanics/Latinos, Asian-Americans, Native Americans, Native Hawaiians dan Pasific Islanders dibandingkan pada populasi orang-orang berkulit putih. 5. Lingkungan Sinar matahari, stress, merokok, obat-obatan tertentu, dan virus bisa menjadi penyebab seseorang terdiagnosa Lupus. 6. Hormon Lupus umumnya terjadi pada wanita selama masa-masa subur saat kadar esterogen sangat tinggi. 7. Riwayat keluarga Seseorang yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit Lupus, memiliki risiko 4-8% terkena Lupus.

2.1.6 Manifestasi Klinis Gejala dari Lupus berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya meskipun Lupus dapat mempengaruhi berbagai organ dalam tubuh. Contohnya, Odapus A mengalami pembengkakan dan nyeri sendi, pada Odapus B mungkin bisa mengalami kelelahan sepanjang hari dan mengalami permasalahan pada ginjal. Gejala pada Lupus juga akan semakin berkembang (U.S. Departmen of Health and Human Service, 2017). Dikarenakan gejala Lupus yang sangat beragam, penyakit tersebut sulit untuk diketahui. Gejala awal yang timbul biasanya lemah badan, demam dan nyeri pada sendi dan otot (Syamsi Dhuha Foundation, 2011). Beberapa manifestasi pada Lupus bisa muncul dan menyerupai penyakit lain sehingga Lupus disebut sebagai “The Great Imitator” atau penyakit seribu wajah. Namun gejala umum yang paling banyak dialami pada Lupus yaitu (Lupus Foundation of America, 2013): 1. Kelelahan yang ekstrim 2. Nyeri kepala 3. Pembengkakan dan nyeri sendi 4. Demam 5. Anemia (menurunnya jumlah sel darah merah atau hemoglobin, atau menurunnya total volume darah)

6. Adanya pembengkakan pada kaki, lengan, tangan, dan/atau di sekitar mata 7. Nyeri pada dada pada saat bernafas dalam (pleurisy) 8. Ruam berbentuk kupu-kupu di area sekitar pipi dan hidung 9. Sensitive terhadap sinar matahari (fotosensitifitas) 10. Kerontokan rambut 11. Pembekuan darah abnormal 12. Jari-jari berubah menjadi pucat dan/atau kebiruan saat suhu dingin (Fenomena Raynaud) 13. Ulcer pada mulut atau hidung

2.1.7 Penegakan Diagnosa Untuk mendiagnosa penyakit Lupus diperlukan pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan

laboratorium

juga

digunakan

untuk

memastikan organ-organ tubuh mana saja yang terkena (Syamsi Dhuha Foundation, 2011). Terdapat kriteria klinis dan kriteria imunologi untuk menegakkan diagnosa

Lupus

berdasarkan

The

Systemic

Lupus

International

Collaborating Clinics (SLICC) Classification Criteria Tahun 2012 (Kuhn, Bonsmann, Anders, Herzer, Tenbrock, Schneider, 2015): 1. Kriteria Klinis

-

Acute cutaneous lupus erythematosus (termasuk ruam kupukupu)

-

Chronic cutaneous lupus erythematosus (misalnya discoid lupus erythematosus local atau general)

-

Oral ulcers (pada palatum dan/atau hidung)

-

Non-scarring alopecia

-

Synovitis (≥ 2 sendi) atau tenderness pada saat palpasi (≥ 2 sendi) dan morning stiffness (≥ 30 menit)

-

Serositis (pleurisy atau pericardial pain lebih dari 1 hari)

-

Keterlibatan ginjal (single urine: rasio protein/kreatinin atau protein urin 24 jam, > 0.5 g)

-

Keterlibatan neurologi (misalnya kejang, psikosis, myelitis)

-

Anemia hemolitik

-

Leukopenia (<4000/µL) atau lymphopenia (<1000/µL)

-

Thrombocytopenia (<100000/µL)

2. Kriteria Imunologi - Level ANA diatas kisaran referensi laboratorium - Antibodi Anti-dsDNA - Antibodi Anti-Sm

- Antibodi Antiphospholipid (Anticardiolipin dan antibodi anti-β2glikoprotein I [IgA-, IgG- atau IgM-]; Uji VDRL positif palsu (Laboratorium Penelitian Penyakit Keluhan) - Komplemen rendah (C3, C4, ATAU CH50) - Uji Coombs secara langsung (dengan tidak adanya hemolitik anemia) 2.1.8 Penatalaksanaan Pengobatan Lupus dilihat dari berat-ringannya dan bagian organ mana yang terkena. Untuk gejala ringan dapat diberikan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) dan anti malaria (seperti Chloroquine). Jika gejala berat dan beresiko mengancam jiwa, maka diberikan Steroid (misalnya Prednison,

Metilprednisolon)

dan

Imunosupresif

(Azathioprine,

Cyclophosphamide, Mycophenolate mofetil dan Cyclosporine) (Syamsi Dhuha Foundation, 2011).

2.2 Tinjauan Teori Stres 2.2.1 Definisi Stres Stres adalah peristiwa fisik atau psikologis yang dianggap berpotensi mengancam kesehatan fisik maupun emosional (Boran dan Byrne, 2005). Seseorang yang mengalami stres akan dihadapkan dengan keadaan atau situasi dan stressor yang mengakibatkan munculnya

perasaan emosi dan terbebani secara fisik (Klinic Community Health Centre, 2010). 2.2.2 Stressor Stressor adalah suatu keadaan yang menantang secara fisik atau psikologis (Sarafino, 2008). Terdapat dua stressor yaitu stressor internal dan stressor eksternal. Stressor internal berasal dari dalam diri seseorang misalnya: penyakit tertentu, kecemasan, rasa bersalah, marah, sedih, perasaan rendah diri. Stressor eksternal berasal dari luar diri seseorang seperti perubahan suhu, perubahan peran dan sosial, pekerjaan serta hubungan interpersonal (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005).

2.2.3 Tingkatan Stres 1. Stres normal Stres normal yang merupakan bagian alamiah dari kehidupan. Misalnya merasakan detak jantung yang lebih keras setelah beraktivitas, kelelahan setelah mengerjakan tugas, takut tidak lulus ujian (Crowford & Henry, 2003). 2. Stres ringan Pada stres ringan, stressor yang dihadapi bisa berlangsung beberapa menit atau jam. Contohnya dimarahi dosen, kemacetan.

Stressor ini dapat menimbulkan gejala, antara lain kesulitan bernafas, bibir kering, lemas, keringat berlebihan ketika temperature tidak panas, takut tanpa ada alasan yang jelas, merasa leg ajika situasi berakhir (Psychology Foundation of Australia, 2010). 3. Stres sedang Stres yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Misalnya perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan seseorang. Stressor ini dapat menimbulkan gejala yaitu, mudah merasa letih, mudah marah, sulit untuk beristirahat, mudah tersinggung, gelisah (Psychology Foundation of Australia, 2010). 4. Stres berat Situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa minggu, seperti perselisihan dengan dosen atau teman secara terus-menerus, penyakit fisik jangka panjang dan kesulitan finansial. Stressor ini dapat menimbulkan gejala yaitu, merasa tidak kuat lagi untuk melakukan kegiatan, mudah putus asa, kehilangan minat akan segala hal, merasa tidak dihargai, merasa tidak ada hal yang bisa diharapkan di masa depan (Psychology Foundation of Australia, 2010). 5. Stres sangat berat

Situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa bulan dan dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan. Biasanya seseorang untuk hidup cenderung pasrah dan tidak memiliki motivasi untuk hidup. Seseorang dalam tingkatan stress ini biasanya teridentifikasi mengalami depresi berat kedepannya (Psychology Foundation of Australia, 2010).

2.2.4 Respon Stres 1. Konsep Psychoneuroimmunology Istilah stress banyak digunakan untuk menunjukkan reaksi emosional yang tidak menyenangkan yang dialami oleh seseorang (misalnya suatu peristiwa yang dinilan mengancam). Reaksi emosional meliputi meningkatnya rangsangan fisiologis yang terjadi karena meningkatnya reaksi sistem saraf simpatetik. Stress bisa menimbulkan

abnormalitas

fisiologis.

Untuk

memahami

permasalahan tersebut digunakan bidang Psychoneuroimmunology, yaitu bidang yang mempelajari hubungan antara stress (Psycho), sistem saraf (neuro), dan sistem imun (immuno). Pada tingkat yang lebih tinggi, peneliti dibidang medis dan psikologi mulai memahami gangguan

seperti

pernapasan,

gangguan

beberapa

jenis

jantung

dan

diabetes,

gangguan dan

pada

gangguan

gastrointestinal dipengaruhi oleh respons terhadap stres yang dikendalikan sistem saraf pusat. Semakin jelas jika pengalaman terhadap stres, afeksi negatif, depresi, kurangnya dukungan sosial, represi, dan penghindaran dapat memengaruhi sistem dan fungsi imun (Schneiderman, Ironson, & Siegel, 2005). Peristiwa

yang

menimbulkan

stres

dapat

menimbulkan

serangkaian reaksi dalam tubuh yang dapat menurunkan daya tahan terhadap penyakit, reaksi ini juga dapat memperburuk simtom gangguan fisik yang kronis yang terjadi karena dipengaruhi oleh stres. Salah satu penjelasan mengenai hubungan ini adalah bahwa stres menstimulasi hormon yang diatur oleh hipotalamus dan hormon ini menurunkan aktivitas sistem imun. Dengan perlindungan yang sedikit, daya tahan tubuh berkurang terhadap infeksi, alergi dan kuman-kuman penyakit lainnya yang lebih serius seperti karsinogen. Reaksi sistem imun juga mengubah fungsi sistem imun melalui ujung saraf pada bagian tubuh yang melibatkan sistem imun, seperti getah bening, timus, dan limpa. Stres juga mengaktifkan kortisol, hormon yang bertugas mengarahkan respon tubuh terhadap ancaman atau bahaya. Proses ini tampaknya berpengaruh terhadap jangkauan luas dari gangguan fisik, termasuk kanker, hipertensi, dan arthritis reumatroid. Peristiwa stres yang buruk dan

depresi dapat meningkatkan simtom pada orang yang mengidap penyakit HIV (Crepaz dkk, 2008).

2. Respon Fisiologis a. Local Adaptation Stress (LAS) LAS adalah respon dari jaringan, organ atau bagian tubuh terhadap stres karena trauma, penyakit atau perubahan fisiologi lainnya. Tubuh menghasilkan banyak respon setempat tehadap stres. Respon setempat ini termasuk pembekuan darah, penyembuhan luka, akomodasi mata tehadap cahaya, dan respon terhadap tekanan. Semua bentuk LAS mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1. Respon yang terjadi adalah setempat. Respon ini tidak melibatkan seluruh sistem tubuh 2. Respon adalah adaptif, berarti bahwa stressor diperlukan untuk menstimulasinya 3. Respon adalah berjangka pendek. Respon tidak terdapat terus menerus. Respon adalah restoratif, berarti bahwa LAS membantu dalam memulihkan homeostasis region atau bagian tubuh (Perry & Potter, 2005).

b. General Adaptation Stress (GAS) GAS adalah respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres. Respon ini melibatkan beberapa sistem, terutama sistem saraf otonom dan sistem endokrin. Beberapa buku ajar menyebutkan GAS sebagai respon neuroendokrin. GAS terdiri atas reaksi peringatan, tahap resistens, dan tahap kehabisan tenaga. 1. Reaksi alarm Reaksi

alarm

melibatkan

pengerahan

mekanisme

pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stressor. Kadar hormon meningkat untuk meningkatkan volume darah dan dengan demkian menyiapkan individu untuk bereaksi. Hormon lainnya dilepaskan untuk meningkatkan kadar glukosa darah untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi. Meningkatkan kadar hormon lain seperti epinefrin dan norepinefrin mengakibatkan peningkatan frekuensi jantung, peningkatan aliran darah ke otot, meningkatkan ambilan oksigen dan memperbesar kewaspadaan mental. Aktivitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan respon melawan atau menghindar. Curah jantung, ambilan oksigen, dan frekuensi pernafasan meningkat, pupil mata berdilatasi untuk menghasilkan bidang visual yang lebih

besar, dan frekuensi jantung meningkat untuk menghasilkan energi

lebih

banyak.

Perubahan

lainnya

yang

terjadi

menyiapkan individu untuk bertindak. Dengan meningkatkan kewaspadaan dan energi mental ini, seseorang disiapkan untuk melawan atau menghindari stressor. Selama reaksi alarm individu dihadapkan pada stressor spesifik.

Respon

fisiologi

individu

adalah

mendalam,

melibatkan sistem tubuh utama, dan dapat berlangsung dari hitungan waktu dari menit sampai jam, kemugkinan juga merupakan ancaman terhadap individu. Jika stressor terus menetap

setelah

setelah

reaksi

peringatan,

individu

berkembang ke fase kedua dari GAS, yaitu resisten. 2. Tahap resisten. Dalam tahap resisten, tubuh kembali menjadi stabil, kadar hormon, frekuensi jantung, tekanan darah, dan curah jntung kembali ke tingkat normal. Individu berupaya untuk beradaptasi terhadap stressor. Jika stres dapat diatasi, tubuh akan memperbaiki kerusakan yang tlah terjadi. Namun demikian, jika stressor tetap terus menetap, seperti pada kehilangan darah terus menerus, penyakit yang melumpuhkan, penyakit mental parah jangka panjang, dan ketidakberhasilan mengatasi, maka

individu memasuki tahap ketiga dari GAS, yaitu tahap kehabisan tenaga.

3. Tahap kehabisan tenaga. Tahap kehabisan tenaga terjadi ketika tubuh tidak dapat lagi melawan

stress

ketika

energi

yang

diperlukan

untuk

mempertahankan adaptasi sudah sudah menipis. Respon fisiologi menghebat, tetapi tingkat energi individu terganggu dan adaptasi terhadap stressor hilang. Tubuh tidak mampu untuk mempertahankan dirinya terhadap dampak stressor, regulasi fisiologis menghilang, dan jika stres berlanjut, dapat terjadi kematian (Potter & Perry, 2005).

2.2.5 Gejala Stres Menurut Klinic Community Health Centre (2010), gejala stres dibagi menjadi 4, yaitu: 1. Gejala Kognitif Gangguan ingatan, ketidakmampuan atau kesulitan untuk berkonsentrasi, penilaian yang buruk, melihat suatu hal hanya dari sisi negatif, cemas, pemikiran yang merenung, khawatir terusmenerus.

2. Gejala Emosional Pemurung,

sifat

mudah

tersinggung

dan

lekas

marah,

ketidakmampuan untuk rileks, merasa terbebani, merasa kesepian atau terisolasi, depresi atau tidak bahagia. 3. Gejala Fisik Adanya nyeri dan ketegangan otot, diare atau konstipasi, nausea, nyeri dada atau detak jantung yang menjadi cepat, sering kedinginan, berkeringat. 4. Gejala Perilaku Nafsu makan bertambah atau berkurang, tidur berlebihan atau kurang, mengisolasi diri dari orang lain, penggunaan alcohol, rokok atau obat-obatan, kebiasaan gugup (menggigit kuku)

2.2.6 Pengukuran Tingkat Stres Cara mengukur Tingkat stress pada penelitian ini menggunakan Kuesioner PSS-10 (Perceived Stress Scale). Perceived Stress Scale adalah instrument psikologi yang digunakan untuk mengukur persepsi stres. Kuesioner tersebut mengukur sejauh mana situasi dalam kehidupan

seseorang dinilai sebagai stres. Skala PSS mencakup beberapa pertanyaan langsung tentang tingkat stres yang dialami. Pertanyaan yang tercantum bersifat umum dan relatif bebas dari konten yang spesifik (Cohen, 1994).

2.3 Hormon Kortisol dan Hubungannya dengan Stres Hormon kortisol adalah hormon steroid yang diproduksi dari kolestrol di kelenjar adrenal. Hormon kortisol dilepaskan sebagai respon terhadap keadaan misalnya saat terbangun di pagi hari, berolahraga dan stres akut. Saat seseorang mengalami peningkatan kortisol secara kronis, dapat menimbulkan dampak negatif pada berat badan, fungsi kekebalan tubuh, dan risiko penyakit kronis (Aronson, 2009).

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

2454-5774-1-sm.pdf
December 2019 21
Bab I.docx
June 2020 16
Bab Ii.docx
December 2019 16
Risoles.docx
June 2020 13
Tahapan Phantom.xlsx
April 2020 15