BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori 1. Tinjauan Diabetes Melitus a. Definisi Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price & Wilson, 2012). Menurut Persatuan Endokrin Indonesia (Perkeni) pada tahun 2015, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karna kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. DM adalah gangguan metabolik dari berbagai penyebab yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yang dihasilkan dari defek sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya (Wickenberg, 2015). Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa DM merupakan suatu penyakit gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein dari berbagai penyebab termasuk genetis dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karna kelainan sekresi maupun kerja insulin. b. Klasifikasi Menurut Kumar (2013), DM diklasifikasikan sebagai penyakit primer jika tidak ditemukan kelainan yang berkaitan dengan hormon-hormon hiperglikemik. DM disebut sebagai penyakit sekunder apabila berkaitan dengan kelainan seperti pankreatitis kronis, feokromositoma, sindroma cushing, stres hiperglikemia (pada luka bakar berat, infark miokard akut, dan lain-lain) dan diabetes
gestasional. Lebih lanjut, penyakit DM dapat pula diklasifikasikan sebagai DM tergantung insulin (DMTI atau IDDM) dan DM yang tidak tergantung insulin (DMTII atau NIDDM). Menurut Price dan Wilson (2012), Klasifikasi yang diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA) berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa yang telah disahkan
oleh World Health Organization (WHO) dan telah dipakai
diseluruh dunia ada empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa, yaitu: 1) Diabetes melitus tipe 1 Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependen insulin, kedua tipe ini dapat muncul disegala usia, tetapi biasanya usia muda (< 30 tahun). Dibagi dalam dua subtipe: (a). Autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta dan (b). Idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya. 2) Diabetes melitus tipe 2 Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe non-dependen insulin, obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini. 3) Diabetes gestasional (GDM) Dikenali pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga dan riwayat GDM terdahulu. 4) Tipe khusus lainnya
a) Kelainan genetik dalam sel beta, memiliki prevalensi familial yang tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun, pasien seringkali obesitas dan resisten terhadap insulin. b) Kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi insulin berat. c) Penyakit pada eksokrin pankreas menyebabkan pankreatitis kronis. d) Penyakit endokrin seperti sindrom cushing dan akromegali. e) Obat-obat bersifat toksik tehadap sel beta. f) Infeksi. c. Etiologi Menurut Smeltzer dan Bare (2014), penyebab penyakit DM berdasarkan klasifikasinya adalah: 1) Diabetes Tipe I Diabetes tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas, penyebabnya adalah: a) Faktor genetik Penderita diabetes mewarisi suatu predisposisi atau kecendrungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe I. b) Faktor imunologi Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. c) Faktor lingkungan
Penelitian
sedang
dilakukan
terhadap
kemungkinan
faktor-faktor
eksternal yang dapat memicu kerusakan sel-sel beta, sebagai contoh virus atau toksin tertent yang dapat memicu proses autoimun yang mernimbulkan destruksi sel beta. 2) Diabetes Tipe II Mekanisme yang tepat yang dapat menyebabkan resistensi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu tedapat pula faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe II. Faktor-faktor ini adalah: a) Usia (resistensi insulin cendrung meningkat pada usia diatas 65 tahun) b) Obesitas c) Riwayat keluarga d) Etnik. d. Diagnosis dan Gejala Perkeni membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagain besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara:
1) Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir. 2) Atau, gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L). Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. 3) Glukosa plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L). TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban Glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air. (Sudoyo, 2010). e. Patofisiologi dan Komplikasi Skema 1 Patofisiologi Diabetes Melitus dan komplikasinya Defisiensi insulin
↓ penggunaan glukosa ↑ Glukoneogenesis
↑ katabolisme protein
↑ lipolisis
Aminoasidemia Hiperglikemia
↑ FFA Plasma
Pelisutan otot
↑ kolesterol Plasma
infeksi keseimbangan nitrogen yang negatif Glikosuria
Koma hiperosmolar
Penurunan berat badan
Infark miokard ↑ kehilangan elektrolit
poliuria polidipsi
↑ kehilangan elektrolit
Deplesi elektrolit +
Pernafasan Kusmaul
Deplesi elektrolit +
Retinopati Katarak
Dehidrasi
Dehidrasi Koma Ketosis
Hipotensi
Stroke serebral Gangren
asidosis
Neuropati Nefropati
Ateroskeloris
ketonuria
Polifagi komplikasi lanjut
↑ ketonemia
Hipotensi
Sumber: Kumar (2013). f. Penatalaksanaan Menurut Perkeni (2015), tujuan penatalalsanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi: 1) Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi resiko komplikasi akut. 2) Tujuan ajangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyakit mikroangiopati dan makroangiopati. 3) Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Menurut Smeltzer dan Bare (2014), tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktifitas pasien. Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes yaitu: 1) Diet Diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini: a) Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin, mineral) b) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai c) Memenuhi kebutuhan energi d) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis e) Menurunkan kadar lemak darah jika meningkat.
2) Latihan Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karna efeknya dapat menurunkan
kadar
glukosa
darah
dan
mengurangi
faktor
resiko
kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa darah oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan berolahraga. Latihan juga dapat menambah laju metabolisme istirahat (resting metabolic rate). Semua efek ini sangat bermanfaat pada pendereita diabetes karna dapat menurunkan berat badan, mengurangi rasa stres dan mempertahankan kesegaran tubuh. Latihan juga akan mengubah kadar lemak darah, yaitu meningkatkan kadar HDL-kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta triglesrida. Semua manfaat ini sangat penting bagi penyandang diabetes mengingat adanya peningkatan resiko untuk terkena penyakit kardiovaskuler. 3) Pemantauan Dengan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (SMBG: self monitoring of blood glucose), penderita diabetes kini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang kemungkinan akan mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang. Berbagai metode kini tersedia untuk melakukan pemantauan mandiri kadar glukosa darah. Kebanyakan metode tersebut mencakup pengambilan setetes darah dari ujung jari tangan, aplikasi darah tersebut pada strip pereaksi khusus, dan kemudian
darah tersebut dibiarkan pada strip selama periode waktu tertentu (biasanya antara 40-60 detik sesuai ketentuan pabrik). 4) Terapi Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat antidiabetik oral mungkin berkhasiat pada pasien diabetes tipe II yang tidak dapat diatasi hanya dengan diet dan latihan. Pada diabetes tipe I tubuh kehilangan kemampuan memproduksi insulin, dengan demikian insulin eksogenus harus diberikan dalam jumlah tak terbatas. Pada diabetes tipe II, insulin
mungkin
diperlukan
sebagai
terapi
jangka
panjang
untuk
mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat oral tidak berhasil mengontrolnya. Disamping itu, sebagian pasien diabetes tipe II yang biasanya mengendalikan kadar glukosa darah dengan diet atau dengan diet dan obat oral kadang membutuhkan insulin secara temporer selama mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian stres lainnya. 5) Pendidikan DM merupakan sakit kronis yang memerlukan perilaku penanganan mandiri yang khusus sumur hidup. Karna diet, aktifitas fisik dan stres fisik serta emosional dapat mempengaruhi pengendalian diabetes, maka pasien harus belajar untuk mengatur keseimbangan berbagai faktor. Pasien bukan hanya belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri setiap hari guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang mendadak, tetapi juga harus memeiliki prilaku preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka panjang. Menurut Perkeni (2015) edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya
pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.
2. Tinjauan Glukosa Darah a) Definisi Kadar gula adalah jumlah kandungan glukosa dalam plasma darah (Dorland, 2010). Glukosa darah puasa merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi diabetes melitus pada seseorang. Pada penyakit ini gula tidak siap untuk ditransfer kedalam sel, sehingga terjadi hiperglikemia sebagai hasil bahwa glukosa tetap berada didalam pembuluh darah (Sherwood, 2011). b) Mekanisme pengaturan glukosa darah Karbohidrat terdapat dalam berbagai bentuk, termasuk gula sederhana tau monosakarida, dan unit-unit kimia yang kompleks, seperti disakarida dan polisakarida. Karbohidrat yang sudah ditelan akan dicerna menjadi monosakarida dan diabsorpsi, terutama dalam duodenum dan jejenum proksimal. Sesudah diabsorpsi, kadar glukosa darah akan meningkat untuk smentara waktu dan akhirnya akan kembali lagi ke kadar semula. Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian besar bergantung pada hati yang mengekstraksi glukosa, menyintesis glikogen, dan melakukan glikogenolisis. Dalam jumlah yang lebih sedikit, jaringan perifer otot dan adiposa juga mempergunakan ekstrak glukosa sebagai sumber energi sehingga jaringan-jaringan ini ikur berperan dalam mempertahankan glukosa darah (Price & Wilson, 2012). Pemeliharaan kadar glukosa darah dalam kisaran normal sangat penting bagi kelangsungan hidup mengingat glukosa plasma merupakan bahan bakar
dominan untuk sistem saraf pusat. Keadaan hipoglikemia dalam periode singkat pun sudah dapat menimbulkan disfungsi otak serius dan jika berlangsung lama, keadaan ini dapat menyebabkan kematian. Kenyataan ini menjadi alasan mengapa tubuh hanya memperoleh satu hormon hipoglikemik (insulin) saja jika dibandingkan dengan hormon hiperglikemik (yang dinamakan hormon kontra regulator) yang berjumlah besar yaitu glukagon, efinefrin, growth hormon dan kortikosteroid. Dengan demikian hipoglikemia secara fisiologik jarang terjadi tetapi hiperglikemia rungan akan terjadi pada setiap kali makan (Kumar, 2013). c) Pemeriksaan Kadar Gula Darah Mengidentifikasi DM pada seseorang adaah dengan pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Pemeriksaan glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan plasma vena, seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah uruh, vena, ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (Soegondo, 2011). Menurut Perkeni (2015), pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Berikut pada tabel 1 kriteria patokan penyaring dan diagnosis DM: Tabel 1 Konsentrasi Glukosa Darah sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)
Konsentrasi glukosa darah sewaktu (mg/dl)
Plasma vena
Bukan DM < 100
Belum pasti DM 100-199
DM ≥ 200
Darah kapiler
< 90
90-199
≥ 200
Konsentrasi glukosa darah puasa (mg/dl)
Plasma vena
< 100
100-125
≥ 126
Darah kapiler
< 90
90-99
≥ 100
Sumber: Perkeni (2015) 3. Tinjauan Kayu Manis (Cinnamomum Burmanii) Cinnamomum burmanii (cassia, cassia indonesia, cassia padang) adalah salah satu jenis kayu manis. Spesies ini berasal dari Indonesia dan Asia Tenggara. Umumnya, tumbuhan ini digunakan sebagai rempah-rempah, tanaman hias, maupun tanaman hutan. Kulit kayu C. Burmanii yang memiliki bau aromatik ini sehingga digunakan sebagai bumbu (kayu manis), parfum, maupun obat (Wikipedia, 2016). Berikut adalah gambar kulit batang kayu manis:
Gambar 1 Gambar Kulit Batang Kayu manis
Sumber: www.kebunpedia,com Tanaman kayu manis secara umum dapat tumbuh dengan tinggi mencapa 827 meter, panjang daun antara 5-17 cm dan lebar daun 3-10 cm. Warna daun hijau muda dengan pucuk merah muda. Yang diharapkan dari tanaman kayu manis adalah hasil kulit yang memiliki aroma yang kuat dengan kandungan utamanya sinamaldehid (Daswir, 2011).
Hasil analisa fitokimia dari beberapa studi menunjukkan adanya beberapa senyawa penting dalam ekstrak kayu manis diantaranya alkaloid, protein, tannin, glikosida, flavanoid, saponin, asam cinnamat, polifenol dan cinnamaldehid. Dari sekian senyawa tersebut, bahan aktif yang paling berperan adalah asam canamat, cinnamaldehid, polifenol dan flavanoid. Berbagai penelitian melaporkan bahwa cinnamaldehid mampu meningkatkan tranport glukosa darah pada sel adipose dan otot skelet sehingga mampu menurunkan glukosa darah secara signifikan. Asam cinamat dilaporkan mampu berperan sebagai insulin. Polifenol dan flavanoid memiliki aktifitas antioksidan tinggi yang didasrkan pada kemampuan menangkap radikal bebas terutama pada sel ꞵ Pankreas( Firdaus, 2014). Kayu manis dapat dijadikan obat secara tradisional yang berfungsi sebagai suplemen untuk berbagai penyakit. Rempah dengan cita rasa eksotis ini juga bisa mengurangi kadar kolesterol jahat dalam darah. Kayu manis juga bisa membantu mengatur kadar gula darah sehingga baik di konsumsi penderita diabetes. Kayu manis mengandung serat, mangan, zat besi, dan kalsium. Walaupun jumlahnya sedikit, akan tetapi manfaatnya isa membantu melengkapi kebutuhan serat dan kebutuhan mineral sehari-hari (Faiha’ & Saraswati, 2015). Cara membuat ekstrak rebusan kayu manis dengan bahan kayu manis 10 gr dan air 200cc, kemudian rebus kayu manis dengan air 200 cc hingga tersisa 100cc, dinginkan, lalu saring selagi hangat, minum ramuan ini dalam keadaan hangat untuk sekali konsumsi dan minum ramuan ini secra rutin dua kali sehari pagi dan malam (Faiha’ & Saraswati, 2015). B. Kerangka Konsep Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang kainnya dari masalah yang ingin diteliti (Setiadi, 2013). Kerangka konsep
diharapkan akan memberikan gambaran dan mengarahkan asumsi mengenai variabelvariabel yang akan diteliti serta hubungan variabel satu dengan yang lainnya. Variabel yang ingin diamati terdiri dari variabel independent atau variabel bebas dan variabel dependent
atau variabel terikat. Variabel bebas pada penelitian ini adalah ekstrak
rebusan kayu manis, sedangkan variabel terikat adalah kadar glukosa darah penderita DM tipe II. Skema 2 Kerangka konsep “Pengaruh Ekstrak Rebusan Kayu Manis Terhadap Kadar Glukosa Darah Penderita Diabetes Melitus Tipe II” Kelompok Eksperimen Input Kadar glukosa darah penderita DM sebelum diberikan ekstrak rebusan kayu manis
Proses Diberikan ekstrak rebusan kayu manis 100 cc sebanyak 2 kali sehari pukul 08.00 dan pukul 20.00 selama 7 hari berturut
Output Kadar glukosa darah penderita DM setelah mengkonsumsi ekstrak rebusan kayu manis
Kelompok Kontrol Input Kadar glukosa darah penderita DM
Output Kadar glukosa darah penderita DM
C. Hipotesis Hipotesis adalah suatu kesimpulan sementara atau jawaban sementara dari suatu penelitian (Setiadi, 2013). Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Hipotesis Nol (Ho)
Ekstrak rebusan kayu manis tidak berpengaruh dalam menurunkan kadar glukosa darah penderita DM tipe II 2. Hipotesis Alternatif (Ha) Ekstrak rebusan kayu manis berpengaruh dalam menurunkan kadar glukosa darah penderita DM tipe II.