BAB II PEMBAHASAN A. Urgensi Etika Profesi Guru Pembahasan mengenai urgensi etika profesi guru ini dirangkum dalam dua sub tema yakni etika guru dan profesi keguruan untuk memudahkan pemahaman penulis mengenai urgensi dari etika profesi guru. 1. Etika Guru Etika secara etimologi berasal dan bahasa Yunani yaitu Ethos, diartikan sebagai susila dan adat-istiadat. Etika juga disebut filsafat moral yang meneliti kaidah-kaidah pembimbingan manusia, mengatur kelakuaannya, sehingga baik dan lurus.1 Dari penjelasan tersebut di atas dapat dipahami bahwa etika berkenaan dengan adat istiadat. Jika dipahami dengan pengertian tersebut, maka etika dalam konteks bangsa Indonesia harus berkesesuaian dengan budaya-budaya yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Salah satu contoh penulis kemukakan adalah di negara-negara Eropa mengkonsumsi minuman berakohol bagi seorang tenaga pendidik di rumah atau di acara-acara mewah bukan merupakan hal yang bertentangan dengan etika, meskipun dilihat oleh para peserta didiknya atau minum bersama dengan mereka pada acara tersebut. Berbeda dengan di Indonesia, hal tersebut dilarang karena bertentangan dengan agama dan budaya yang dianut oleh kebanyakan masyarakat di Indonesia. Maka dianggap melanggar etika bagi
1
Umar, Ragam Istilah dalam Etika Profesi Keguruan, Jurnal Lentera Pendidikan Vol. 17 No. 1 Tahun 2014, H. 112.
seorang guru yang mengkonsumsi minuman beralkohol apa lagi dengan peserta didiknya sekalipun bukan di sekolah. Contoh yang penulis sebutkan di atas berkenaan dengan penegasan dari Dewan Kehormatan Guru Indonesia yang tertuang pada pembukaan kode etik guru Indonesia alenia ketiga yakni: Guru Indonesia adalah insan yang layak ditiru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khususnya oleh para peserta didik yang dalam pelaksanaan tugas berpegang teguh pada prinsip, “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangunkarso, tut wuri handayani.”2 Dengan memaknai pembukaan kode etik guru tersebut, maka sudah semestinya para guru memahami secara mendalam peran penting yang mereka miliki sebagai tokoh panutan bukan hanya di sekolah akan tetapi juga di masyarakat luas dengan berperilaku yang baik menurut bangsa (budaya) dan negara (undang-undang). Lebih lanjut dijelaskan pula dalam jurnal tersebut pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa: Pedoman sikap dan perilaku sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1, pasal ini adalah nilai-nilai moral yang membedakan guru perilaku yang baik dan yang buruk, yang boleh dan tidak boleh dilaksanakan selama menunaikan tugas profesionalnya untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik, serta sikap pergaulan sehari-hari di dalam dan di luar sekolah.3 Isi pasal tersebut sekaligus memberi penegasan bahwa seorang guru mesti mengetahui perilaku yang baik dan buruk dalam proses melaksanakan tugas profesionalnya dan menjaga sikap dalam bergaul dengan masyarakat luar sekolah yang sesuai dengan norma-norma, adat istiadat atau pun budaya masyarakat Indonesia. Hal tersebut juga tertuang dalam undang-undang guru dan dosen no 14 2
Dewan Kehormatan Guru Indonesia, Jurnal Kode Etik Guru Indonesia, h. 1 Ibid, h.2
3
tahun 2005 mengenai prinsip profesionalisme guru pada bab III pasal 7 ayat satu bagian (a), bahwa “profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip: komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan memiliki akhlak yang mulia.”4 Pada prinsip profesionalisme tersebut dijelaskan selain untuk meningkatkan kemampuan intelektualnya, juga salah satunya adalah guru mesti meningkatkan akhlak dalam dirinya. Pertanyaan yang sering muncul pada saat membahas etika profesi guru adalah kenapa harus beretika?, maka untuk menjawabnya penulis mengutip penjelasan oleh seorang educator senior dari Amerika Rita Pierson dalam sebuah talkshow yang diselenggarakan di New York, ia membahas tentang pentingya menjalin interaksi yang baik dan berarti dengan peserta didik, disela-sela pemaparannya ia mengatakan “kids don’t learn from people they don’t like”,5 yang berarti anak-anak tidak belajar dari seseorang yang mereka tidak sukai. Hal ini menurut penulis berkenaan dengan konsep etika dalam berinteraksi dengan peserta didik, karena untuk membangun rasa suka peserta didik kepada gurunya adalah dengan menunjukkan etika yang baik, dan semua orang pasti tidak suka dengan seseorang yang tidak beretika dan orang yang tidak beretika tidak dapat memberi manfaat kepada orang lain. Dalam sebuah jurnal yang berjudul ethics in teaching profession, ditulis oleh seorang dosen di Universitas bangladesh, Mahbuba Sultana, dalam kesimpulannya ia menjelaskan: 4
Undang-undang Guru dan Dosen, h. 5 Www.youtube.com, TED Talk Education, Rita Pierson, Every Kids Needs A Champion, diakses pada tanggal, 15 November 2017. 5
Teacher has a responsibility to the society and in our society teachers are respected all over. Students usually want to be like their favorite teacher in their personal life. So if the teacher can set example by their ethical behavior, than it will be easy to preaching ethical issues among the students. And if the young generation be aware about ethical issues than the total society and country will be benefited. Therefore as an important part of society teacher should be ethical and they should follow the code of ethics of a teacher and should reflect their ethical behavior to their students.6 Guru memiliki tanggung jawab terhadap masyarakatnya dan masyarakat kita semua manghormati para guru. Para peserta didik biasanya ingin menjadi seperti guru favorit mereka dalam kehidupan pribadinya. Jadi , jika seorang guru dapat memberi contoh dengan perilaku etika yang baik, maka akan mudah baginya untuk mengajarkan persoalan etika pada peserta didik. Dan jika generasi muda memperhatikan persoalan etika tersebut, maka seluruh masyarakat dan negara akan diuntungkan. Selain itu, sebagai bagian penting dari masyarakat, guru sudah seharusnya beretika dan mesti menaati kode etik guru dan mesti memcerminkan perilaku etika yang baik dihadapan peserta didiknya. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa peran guru dalam mendidik peserta didiknya kaitannya dengan etika sangatlah memiliki pengaruh bahkan guru yang benar-benar menjadi favorit dapat menjadi panutan dalam kehidupan peserta didiknya. Jika persoalan etika ini benar-benar diperhatikan dan dilaksanakan oleh para guru, maka dapat dijamin outcome pendidikan dalam hal ini peserta didik dapat menjadi generasi yang beretika dan Indonesia tidak butuh lagi dengan revolusi mental karena guru dan peserta didiknya sudah memiliki mental yang baik.
6
Mahbuba Sultana, Ethics In Teaching Profession, ABC Journal Of Advanced Research, 2014, Vol. 7 No. 1, Page, 49.
Penulis berkesimpulan bahwa mengapa etika mesti menjadi yang perlu dibahas? karena yang terlihat dari guru pada saat pertama bertemu dengan peserta didiknya adalah etika yang ia miliki (penampilan, cara berinteraksi dsb), dan etika yang baik akan membawa kesan yang baik pula bagi peserta didik, dalam istilah enterpreneur memberi spirit tersendiri bagi peserta didik dan secara tidak langsung dengan ketertarikan tersebut dapat membuat para peserta didik senang untuk mengikuti pelajaran yang dibawakan dan bukan hanya itu, wibawa sebagai seorang guru dan panutan akan tetap terjaga. Kenapa mesti etika yang pertama harus dimiliki? Karena sebelum memberi sesuatu yang baik, seseorang pasti merasakan bahwa yang diberikan itu adalah sesuatu yang baik pula. A Teacher is said to be a candle that burns itself to light up the life of others; they should develop appropriate ethics among themselves so that the same values can be developed among students. Teachers are not only guides and guardians in schools but also second parents.7 Dikatakan bahwa seorang guru ibarat lilin yang membakar dirinya untuk menerangi kehidupan orang lain; para guru sudah seharusnya mengembangkan etika yang pantas pada diri mereka agar nilai yang sama dapat dikembangakan bagi peserta didik. Guru bukan hanya sekedar penuntun dan pelindung di sekolah melainkan juga orang tua kedua. Penjelasan di
atas sejalan dengan pandangan
Ibn Sina dalam
mengembangkan etika dalam diri seorang guru. Menurut Ibn Sina hal pertama yang mesti disadari oleh seorang pendidik adalah:
7
Mr. Dory Chaudary and Dr. Ali Mohammad, Professional Ethics and The Teacher, The Challenge, Vol. 22, No. 1, 2013, page 6.
From Avicenna’s perspective, anyone who wants to educate others must know what characteristics a trainer should possess , and which capabilities he/she should own and which activities he/she should do in order to be successful in educating the trainees.8 Menurutnya, hal pertama yang mesti dipahami dan diketahui oleh seorang pendidik sebelum mendidik orang lain adalah mengerti karakter seperti apa yang mesti dimiliki seorang pelatih (guru), kemampuan apa yang harus dimiliki dan aktivitas apa yang harus ia lakukan agar berhasil dalam belajar mengajar. Selanjutnya ia menambahkan “In terms of individual ethics, educators should possess good qualities and avoid vices. “They should be modest, patient, generous, have pure soul, and be free from lightheadedness”9 syarat untuk beretika, seorang guru mesti memiliki kualitas yang baik dan menghindari sifat buruk. Guru harus senantiasa rendah hati, sabar, murah hati, memiliki jiwa yang murni dan bebas dari kepusingan. Menurut pemahaman penulis, penjelasan mengenai syarat seseorang guru untuk melatih etika dalam dirinya yang dipaparkan oleh Ibn Sina di atas pertama membahas
mengenai
kompetensi
yang
mesti
dimilki,
hal
ini
berarti
profesionalisme yang dimiliki lebih mendalam adalah juga salah satu bentuk dari etika seorang guru terhadap pekerjaanya dan peserta didiknya. Selanjutnya masalah untuk menghindari perilaku buruk, tentunya hal ini seperti penjelasan penulis di atas beretika sesuai dengan budaya di tempat ia berada.
8 Mohamman Hossein Heidari, Teacher’s Professional Ethics From Avicenna’s Perspective, AcademicJournals, Vol. 10, No. 17, 2015, h. 2463 9 Ibid
2. Profesi Keguruan Pada awal permulaan abad ke-21 di Indonesia pembahasan mengenai guru sebagai profesi masih menjadi pembahasan yang hangat. Orang-orang sering bertanya apakah guru dapat dikatakan sebagai profesi atau masih sebatas pekerjaan biasa. Hal ini juga menjadi pembicaraan di Belgia, Seorang yang bekerja sebagai research assistant di lembaga Education International’s Research Unit, Vasielos Symeonidis menulis sebuah penelitian yang berjudul The Status of Teacher and Teaching Profession, isu yang diangkat salah satunya adalah occupation status: a category which knowledgeable groups allocate an occupation. (in other word, whether knowledgeable groups such as politicians, civil servants and social scientists refer to teaching as a profession or not)10. Mempertanyakan tentang apakah status seorang guru dapat dikatakan sebuah profesi atau hanya sekedar pekerjaan pada umumnya. Di Indonesia sendiri guru sebagai profesi baru ditetapkan pada tahun 2005 dengan adanya undang-undang tentang guru dan dosen.11 Dalam undang-undang tersebut dijelaskan pada bab 1 ketentuan umum, pasal 1 ayat 1 bahwa: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.12 Banyak yang beranggapan bahwa guru bukanlah tenaga profesional, karena setiap orang dapat melakukan hal yang sama asalkan sudah mengikuti 10
Vasileios Symeonidis, The Status of Teachers and Teaching Profession, (Belgium: Education International, 2015). h. 9 11 Asep Mahpudz, Pembahasan Mengenai Konsep Etika Profesi dan Integritas Pendidikan Pada saat membawakan mata Kuliah Etika Profesi, Gedung Perkuliahan Pascasarjana, kelas PAI III, 05 Januari 2018. 12 Undang-undang Tentang Guru dan Dosen, h. 2
jenjang pendidikan tertentu. Ditambah lagi dengan alasan bahwa seorang guru yang profesional pun belum tentu berhasil dalam mendidik anak-anak mereka di rumah apalagi untuk mendidik anak orang lain di sekolah.13 Maka yang mesti dipahami adalah bahwa antara orang tua dan guru mempunyai peran masingmasing. Orang tua tidak dapat memberi pengetahuan seperti yang guru berikan di sekolah. Kelalaian dan kegagalan dalam membina anaknya di rumah dapat menjadi ukuran profesional dan tidaknya seorang guru, hal ini menjadi celah bagi masyarakat untuk tidak percaya kepada profesi seorang guru dan mesti dituangkan dalam kode etik guru yang pada hakikatnya melindungi martabat profesi guru. Hal inilah yang mungkin juga menjadi landasan pemerintah dan ikatan para guru untuk menyusun kode etik guru Indonesia. Untuk menghindari pemahaman-pemahaman seperti di atas, maka para guru atau para calon guru mesti dipersiapkan sebaik mungkin untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik. Pengembangan profesionalisme untuk guru tentunya tidak mudah dan memerlukan biaya yang besar, seperti yang dilakukan oleh Bill Gates di Amerika, untuk mengembangkan profesionalisme guru dalam mengajar, mereka menghabiskan dana USD 5 milyar pada project Measure Of Effective Teaching pada pengembangan guru di beberapa provinsi di Amerika.14 Untuk melaksanakan hal tersebut salah satu cara adalah dengan melaksanakan penyaringan guru atau seleksi bagi guru untuk dapat mengajar.
13
Rita Maryana, Etika Profesi Guru, Materi Pendidikan dan Pelatihan Etika Profesi Guru,
h. 8 14
www.youtube.com. Bill Gates: Teachers Need Real Feedback, diakses pada tanggal 20 November 2017.
Menengok sejenak ke Finlandia, dalam merekrut calon guru mereka hanya mengambil 10% dari lulusan terbaik di seluruh universitas. Profesi guru menjadi profesi idaman bagi masyarakat Finlandia khususnya bagi generasi muda, akan tetapi bukan hal yang mudah untuk memperoleh profesi tersebut, untuk menjadi guru sekolah dasar saja seleksi yang dilakukan sangatlah ketat, hanya orang-orang finlandia terbaik dan generasi cemerlang saja yang dapat mengisi profesi idaman tersebut. Setiap musim semi ribuan lulusan SMA mendaftar masuk ke Universitas Finlandia untuk memiliki jurusan pendidikan keguruan. Setiap musimnya hanya 1 di antara 10 sarjana yang mendaftar diterima menjadi guru sekolah dasar. Untuk semua jenjang pendidikan hanya diterima 5000 dari 20.000 yang melamar menjadi guru. Untuk meningkatkan profesionalisme para gurunya mereka melakukan seleksi yang ketat dan hanya merekrut yang terbaik.15 Indonesia mungkin belum dapat melaksanakan seperti yang dilakukan oleh pemerintah Finlandia, akan tetapi salah satu kesyukuran bahwa terdapat beberapa program pemerintah dalam mengembangkan profesionalisme guru dengan tujuan agar para guru tersebut dapat menjadi pendidik yang bertanggung jawab dan melaksanakan pelayanan pendidikan dengan baik. Mengenai urgensi etika profesi guru penulis berkesimpulan, ada dua dimensi pembahasan yang saling berkaitan berdasarkan undang-undang yakni etika guru dan profesi guru. Pada frame tertentu etika memainkan peran dengan perlaku baik dan santun dalam keseharian di mana pun seseorang berada, 15
Pasi Sahlberg, The Professional Educator (Lessons From Finland), Journal Amerikan Educator, h. 35
sementara pada frame yang lain profesi keguruan memainkan peran dengan sumbangan pelayanan intelaktual yang memadai, memberi segala pengetahuan yang ia miliki dengan totalitas, karena beranjak dari konsep etika yang sudah sejak semula ada dalam benaknya. Profesi guru tanpa dibarengi etika dalam proses belajar mengajar, maka tidak dapat disebut sebagai profesi dan profesional, penulis memahami hal tersebut berdasarkan undang-undang kode etik guru Indonesia pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa adanya kode etik tersebut sebagai norma moral yang menjadi landasan bagi setiap guru yang melaksanakan layanan profesionalnya. Jadi ketika konteks etika dihilangkan dalam proses belajar mengajar, maka konteks profesional yang melekat pada profesi guru juga ikut hilang. Karena jauh lebih dalam seseorang yang beretika dalam menjalankan profesi pasti akan mengutamakan pelayanan yang baik. Seorang guru yang beretika akan tetap terus memberi yang terbaik kepada peserta didiknya. Hal tersebut dapat dilakukan hanya jika seorang guru tersebut profesional dalam melaksanakan tugasnya. Dalam etika profesi terdapat beberapa prinsip di antaranya adalah tanggung jawab; bukan hanya melaksanakan tugas tapi juga memperhatikan terhadap hasil dari tugasnya.16 Maka dalam etika profesi guru ada sebuah totalitas mengajar, mengerahkan segala kemampuan untuk melayani kebutuhan peserta didik dengan melaksanakan tugas sebagaimana yang tercantum dalam undangundang tugas guru mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevalusi peserta didik.
16
Materi Etika Profesi, h. 8.
B. Kode Etik Guru Indonesia Sebuah pekerjaan dikatakan sebuah profesi salah satu syaratnya adalah adanya kode etik.17 Kode etik adalah aturan-aturan yang telah disepakati oleh seluruh guru Indonesia yang mesti ditaati dalam proses melaksanakan tugas profesionalnya sebagai seorang guru. Dalam undang-undang kode etik Indonesia bagian satu pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa kode etik guru Indonesia adalah “norma dan asas yang telah disepakati dan diterima oleh guru-guru di Indonesia. Sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, anggota masyarakat dan warga negara.”18 Undang-undang tersebut dapat dipahami sebagai sebuah aturan yang mengikat para guru untuk berperilaku yang baik dan bertanggung jawab terhadap jabatan profesinya sebagai seorang guru. Adapun yang menjadi tujuan undang-undang kode etik ini menurut penulis selain yang tercantum dalam pasal 2 ayat 1 dan 2, juga sebagai batasan dan peringatan bagi guru agar selalu aware dan memperhatikan serta menghayati posisi jabatan yang diemban. Juga menjadi acuan untuk refleksi dan memperbaiki diri sebagaimana semboyan Ki Hajar Dewantoro “waspodo purbo waseso”, yang artinya selalu waspada dan mengawasi serta sanggup untuk memperbaiki diri.19 Hal ini penting karena para guru cenderung puas dengan apa yang dimilikinya sekarang tanpa ada niatan untuk mengembangkan diri dan belajar membenahi kesalahan.
17 Buhari Luneto, Profesionalisme Guru dalam Perspektif Islam, Tabir Jurnal manajemen Pendidikan Islam, Vol. 3 No. 1, 2015, h. 40 18 Dewan Kehormatan Guru Indonesia, Ibid, h. 3 19 Sejarah Kode Etik Guru Indonesia, h. 18
Kode etik guru juga memiliki manfaat tersendiri jika dimaknai dan dilaksanakan dengan baik. Salah satu contoh adalah penerapan kode etik guru di MA Darul Amin Pamekasan. Penerapan kode etik ini diharapkan dapat meningkatkan profesionalitas guru dan juga meningkatkan dedikasi guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.20 Penulis berkesimpulan bahwa setiap aturan memiliki tujuan dan tentunya manfaat tersendiri bagi objek aturan tersebut. Sama halnya dengan kode etik peserta didik yang memiliki tujuan yang luhur dan manfaat yang baik bagi sekolah, guru dan peserta didik, hanya jika kode etik tersebut mampu dimaknai dan diterapkan dalam proses belajar mengajar. Karena pada saat ini kode etik guru seakan tidak menjadi hal yang penting lagi, orientasi seseorang menjadi guru dan mengajar hanyalah mengharapkan gaji, memang penting, akan tetapi hanya dengan mengharapkan gaji tanpa memberi sesuatu yang berarti bagi peserta didiknya berarti seorang guru telah berbuat zalim terhadap peserta didik dan berkhianat terhadap kode etik guru.
20 Ahmad Zacky AR, Kode Etik Guru dalam Mengembangkan Profesionalisme Pendidik; Reaktualisasi dan Pengembangan Kode Etik Guru di Madrasah Aliyah Darul Amin Pamekasan, h. 21