Bab Ii.docx

  • Uploaded by: fahmi
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,197
  • Pages: 23
BAB II IKTERIK DAN INFEKSI NEONATUS

2.1 Ikterik Neonatus 2.1.1 Definisi Ikterus atau jaundice adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kulit dan sklera berwarna kuning, yang disebabkan oleh akumulasi bilirubin pada kulit dan membrana mukosa, karena kadar bilirubin pada tubuh tinggi atau disebut juga hiperbilirubinemia. Ikterik terlihat secara kasat mata apabila konsentrasi bilirubin dalam darah pada bayi atau anak >5 mg/L. Pada sebagian besar bayi, kondisi ini merupakan suatu hal yang fisiologis.1,2 2.1.2 Klasifikasi 2.1.2.1 Ikterus Fisiologis a. Ikterus yang timbul pada hari kedua atau ketiga lalu menghilang setelah sepuluh hari atau pada akhir minggu kedua. b. Tidak mempunyai dasar patologis c. Kadarnya tidak melampaui kadar yang membahayakan d. Tidak mempunyai potensi menjadi kern-ikterus e. Tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi f. Sering dijumpai pada bayi dengan berat badan lahir rendah.10 Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis apabila sesudah pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya tidah menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai

3

potensi berkembang menjadi kern-icterus. Kern-icterus (ensefalopati biliaris) ialah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak.10 2.1.2.2 Ikterus Patologis Ikterus patologis adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis.2,10-12 a. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama b. Ikterus dengan kadar bilirubin > 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan atau > 10 mg% pada neonatus kurang bulan. c. Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin > 5 mg% per hari. d. Ikterus pada BBLR yang terjadi hari ke 2-7 e. Ikterus menetap hingga melebihi 2 minggu pada bayi cukup bulan dan 3 minggu pada bayi kurang bulan f. Ikterus pada BBLR dengan pewarnaan kuning melebihi/ melewati daerah muka g. Ikterus yang disertai :  Berat lahir kurang dari 2000 gram  Masa gestasi kurang dari 36 minggu  Asfiksia, hipoksia,dan sindroma gawat nafas pada neonatus  Infeksi  Trauma lahir pada kepala  Hipoglikemia 4

 Hiperosmolaritas darah  Proses hemolisis  Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia kurang dari 8 hari atau 14 hari 2.1.3 Etiologi Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:5 a. Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek. b. Produksi bilirubin serum yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. c. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar. d. Gangguan transportasi karena kurangnya albumin yang mengikat bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak 5

terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. e. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan dalam liver (karena infeksi atau kerusakan sel liver). Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar (hepatoseluler) atau diluar hepar (ostruktif). Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. Etiologi jaundice menurut peningkatan kadar bilirubin dapat dibagi menjadi

karena

peningkatan

bilirubin

tidak

terkonjugasi

(unconjugated

hyperbilirubinemia) dan bilirubin terkonjugasi (conjugated hyperbilirubinemia).13 Ditinjau dari letaknya, penyebab utama conjugated hyperbilirubinemia atau kolestasis secara umum dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu kelainan intrahepatik (hepatoseluler) serta kelainan ekstrahepatik (obstruktif).14 Kolestasis adalah terjadinya hambatan aliran empedu, dengan manifestasi conjugated hyperbilirubinemia. Disertai kadar bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total kurang dari 5 mg, sedangkan bila kadar bilirubin total lebih dari 5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% kadar bilirubin total dan biasanya terjadi pada usia 90 hari kehidupan. Akibat penumpukan empedu di sel hati, secara klinis bayi terlihat ikterik, urin berwarna lebih gelap, dan tinja berwarna lebih pucat sampai seperti dempul. Kolestasis harus dipikirkan sebagai salah satu penyebab ikterus pada bayi baru lahir bila ikterus menetap setelah bayi berusia 2 minggu.12,14,15

6

2.1.3.1 Ekstrahepatik  Atresia biliaris  Hipoplasia biliaris  Stenosis duktus biliaris  Anomalies choledochopancreaticoductal junction  Perforasi spontan duktus biliaris  Massa (neoplasma, batu) 2.1.3.2 Intrahepatik 2.1.3.2.1 Idiopatik a. Hepatitis neonatal idiopatik b. Kolestasis intrahepatik persisten  Displasia arteriohepatik (sindrom Allagile)  Byler’s disease  Trihydroxycoprostanic academia  Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal)  Nonsyndromic paucity of intrahepatic ducts  Disfungsi mikrofilamen c. Kolestasis intrahepatik rekurens  Familiar benign recurrent cholestasis  Kolestasis herediter dengan limfedema

7

2.1.3.2.2 Anatomi a. Fibrosis hepatik kongenital/polikistik infantil pada hati dan ginjal b. Caroli’s disease (dilatasi kistik duktus intrahepatik) 2.1.3.2.3 Gangguan Metabolisme a. Gangguan metabolisme asam amino, tirosin dan hipermetionin b. Gangguan metabolisme lemak  Wolman’s disease  Niemann-Pick disease  Gauchers’s disease c. Gangguan metabolisme karbohidrat  Galaktosemia  Fruktosemia  Glikogenosis IV d. Gangguan metabolisme asam empedu  3β-hidroksisteroid dehidrogenase/isomerase  4-3 oksosteroid 5β-reduktase e. Gangguan metabolik yang tidak khas  Defisensi alfa-1 antitripsin  Fibrosis Kistik  Hipopituarisme idiopatik  Hipotiroid  Neonatal iron storage disease

8

 Infantile copper overload  Multiple acyl-coA dehydrogenation deficiency  Familiar erytrophagocytic lymphohistiocytosis 2.1.3.2.4 Hepatitis a. Infeksi (hepatitis pada neonatus)  Cytomegalovirus (CMV)  Virus hepatitis B  Virus Rubela  Reovirus tipe 3  Virus herpes  Virus varisela  Coxsackievirus  Echovirus  Parvovirus B19  Toksoplasmosis  Sifilis  Tuberkulosis  Listeriosis b. Toksik  Kolestasis akibat nutrisi perenteral  Sepsis

9

2.1.3.2.5 Gangguan genetik atau kromosom a. Trisomi E b. Sindrom Down c. Sindrom Donahue 2.1.3.2.6 Lain-lain a. Histiositosis X b. Syok atau hiperperfusi c. Obstruksi intestinal d. Sindrom polisplenia e. Lupus neonatal 2.1.4 Epidemiologi Ikterik terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan pada minggu pertama kehidupan.2,3 Berdasarkan data SDKI tahun 2012 Kejadian ikterus pada bayi baru lahir berkisar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan.4 Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya.16 Dari survey awal penelitian oleh Tazami et al di RSUD Raden Mattaher, kejadian ikterus neonatorum yang tercatat di bagian perinatologi sejak Agustus 2012 sampai Januari 2013 sebanyak 100 kasus.17 Berdasarkan data rekam medik Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung, jumlah neonatal yang mengalami ikterus pada tahun tahun 2012 sebesar 293 kasus (20,8%) dari 1403 bayi yang bermasalah, tahun

10

2013 sebesar 255 kasus (13,4%) dari 1895 bayi yang bermasalah, pada tahun 2014 sebesar 384 kasus (33,5%) dari 1288 bayi yang bermasalah. Pada periode Januari - Desember 2015 sebesar 302 kasus (30,2%) dari 914 bayi yang bermasalah dan bayi yang mengalami ikterus sebanyak 358 kasus (34,3%). Dari data tiap bulan kejadian ikterus di RSUD dr. H.Abdoel Moeloek berjumlah 33 kasus bayi yang mengalami ikterus.18 2.1.5 Patofisiologi Pigmen kuning ditemukan dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan hemoglobin oleh kerja heme oksigenase,biliverdin reduktase,dan agen pereduksi nonenzimatik dalam sistem retikuloendotelial. Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak terkonjugasi diambil oleh protein intraseluler “Y protein” dalam hati. Pengambilan tergantung pada aliran darah hepatik dan adanya ikatan protein.5 Bilirubin yang tak terkonjugasi dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin difosfoglukuronat/ uridin diphosphoglucuronic acid (UPGA) glukuronil transferase menjadi bilirubin mono dan diglucuronida yang polar larut dalam air (bereaksi direk). Bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melalui ginjal dengan konjugasi bilirubin masuk dalam empedu melalui membran kanalikular kemudian ke sistem gastointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urin. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali melalui sirkulasi enterohepatik.5 Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut dalam lemak, tak terkonjugasi, non polar (bereaksi indirek). Pada bayi dengan hiperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi atau 11

tidak aktifnya glukuronil transferase. Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik sejalan dengan penurunan darah hepatik.5 Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan kerja glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak yang terdapat dalam ASI terjadi 4- 7 hari setelah lahir dimana terdapat tkenaikan bilirubin tak terkonjugasi dengan kadar 25 – 30 mg/dl selama minggu ke 2- ke 3. Biasanya bisa mencapai usia 4 minggu dan menurun setelah 10 minggu.jika pemberian ASI dilanjutkan, hiperbilirubinemia akan menurun berangsur angsur dapat menetap selama 3-10 minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun dengan cepat biasanya 1-2 hari dan mengganti ASI dengan susu formula mengakibatkan penurunan bilirubin serum dengn cepat, sesudahnya pemberian ASI dapat dimulai lagi dan hiperbilirubin tidak kembali ke kadar yang tinggi seperti sebelumanya.5

12

Gambar 2.1 Pathway Ikterus5 2.1.6 Manifestasi Klinis Gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :5 a. Gejala akut : Gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni. b. Gejala kronik : Tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala

13

sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis). Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:5 a. Dehidrasi, Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntahmuntah) c. Pucat, Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular. d. Trauma lahir, Bruising, sefalhematom (peradarahan kepala), perdarahan tertutup lainnya. e. Pletorik (penumpukan darah). Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat. f. Letargik dan gejala sepsis lainnya. g. Petekiae (bintik merah di kulit). Sering dikaitkan dengan infeksi kongenital, sepsis atau eritroblastosis. h. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati i. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa) j. Omfalitis (peradangan umbilikus) k. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid) l. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus) m. Feses dempul disertai urin warna coklat. Pikirkan ke arah ikterus obstruktif.

14

2.1.7 Diagnosis Beberapa kondisi jaundice pada neonatus yang harus waspadai sebagai non fisiologis jaundice, yaitu:11 1. Jaundice yang terjadi sebelum usia 24 jam 2. Peningkatan bilirubin serum yang sangat tinggi sehingga memerlukan fototerapi 3. Peningkatan bilirubin serum >0,5 mg/dL/jam 4. Tanda-tanda penyakit dasar yang meyertai (muntah, letargis, malas menetek, apnea, takipnea, kehilangan berat badan yang ekstrem, atau suhu yang tidak stabil) 2.1.7.1 Anamnesis Pada anamnesis harus ditanyakan tentang riwayat prenatal, perinatal dan riwayat mulai timbulnya sindrom kolestasis, ras serta riwayat keluarga yang menyeluruh dan bagaimana perjalanan penyakitnya pada saudara kandung untuk menyingkirkan kolestasis hepatik akibat kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula mengenai riwayat morbitias ibu selama kehamilan, misalnya infeksi Toksoplasma, others, rubela, cytomegalovirus dan Herpes (TORCH), hepatitis B serta infeksi lainnya dan riwayat kelahiran (adanya infeksi intrapartum, berat lahir), riwayat pemberian nutrisi parenteral, transfusi darah serta penggunaan obat hepatotoksik.15

15

2.1.7.2 Pemeriksaan Fisik Metode pemeriksaan fisik visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.5 WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:5 a. Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang. b. Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan. c. Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.

16

Gambar 2.2 Derajat Kremer Ikterus5

Gambar 2.3 Derajat Kremer Ikterus & Perkiraan Kadar Bilirubin5 Selain pengamatan di atas, juga dapat dilakukan pengamatan warna tinja harian dengan mengumpulkan tinja 3 porsi (porsi pertama antara jam 06.00 – 14.00) porsi kedua jam 14.00 – 22.00, dan porsi ketiga antara jam 22.00 – 06.00) dalam wadah yang transparan dan disimpan di dalam kantong plastik yang berwarna gelap. Tindakan ini dapat digunakan sebagai penyaring tahap pertama, karena

kolestasis

ekstrahepatik

terutama

atresia

biliaris

hampir

selalu

menyebabkan tinja yang akolis pada semua porsi tinja. Bila ketiga porsi tinja tetap 17

berwarna dempul selama beberapa hari, maka kemungkinan besar adalah kolestasis ekstra hepatik (atresia biliaris). Pada kolestasis intrahepatik, warna tinja kuning atau dempul berfluktuasi dan pada keadaan lanjut tinja dapat pula seperti dempul terus-menerus.12,19 2.1.7.3 Pemeriksaan Penunjang 2.1.7.3.1 Bilirubin Serum Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil). Beberapa pusat pendidikan menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.5 2.1.7.3.2 Bilirubinometer Transkutan Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa. Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh

18

pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.5 2.1.7.3.3 Pemeriksaan Bilirubin Bebas dan CO Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah. Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah. Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.5 2.1.8 Tatalaksana Metode terapi pada ikterus meliputi: terapi sinar (fototerapi), transfusi pengganti (exchage tranfusion), pemberian ASI. 1) Terapi sinar (fototerapi) Fototerapi terdiri dari radiasi dengan lampu energi foton yang akan merubah struktur molekul bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol yang sulit larut menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air sehingga bilirubin dapat diekskresikan ke dalam empedu atau urin tanpa membutuhkan glukoronidase

19

hepatik. Fototerapi digunakan untuk mencegah kadar bilirubin yang memerlukan transfusi pengganti. Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg% pada bayi dengan usia gestasi > 35 minggu. Tabel Panduan terapi sinar untuk bayi prematur Berat 1. < 1000 g

Indikasi terapi sinar bilirubin serum total Dimulai dalam 24 jam pertama

2. 1000-1500 g

7-9 mg/dl

3. 1500-2000 g

10-12 mg/dl

4. 2000-2500 g

13-15 mg/dl

Gambar Panduan terapi sinar untuk bay dengan usia gestasi > 35 minggu 2) Transfusi pengganti Transfusi pengganti merupakan metode tercepat untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum. Indikasi transfusi pengganti yakni adanya anemia atau peningkatan kadar bilirubin serum. Padapenyakit hemolitik neonatal, indikasi transfusi yakni anemia (nilai hematokrit < 45%), direct Coombs’s (+), dan kadar

20

bilirubin darah umbilikus >4 mg/dl, peningkatan kadar bilirubin seum >1 mg/dl/jam selama lebi dari 6 jam. Tabel Panduan terapi trasfusi tukar Berat

Indikasi trasfusi tukar bilirubin serum total

1. < 1000 g

10-12 mg/dl

2. 1000-1500 g

12-15 mg/dl

3. 1500-2000 g

15-18 mg/dl

4. 2000-2500 g

18-20 mg/dl

3) Pemberian ASI Dianjurkan ibu memberikan ASI dengan interval 2 jam dan tidak memberikan makanan tambahan, atau setidaknya ASI 8-10 kali per 24 jam. Pemberian ASI yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake bayi, tetapi dapat meningkatkan peristaltik dan frekuensi BAB sehingga menigkatkan ekskresi bilirubin. 2.1.9 Komplikasi Setiap pengobatan selalu akan menimbulkan efek samping. Dalam penelitian yang dilakukan selama ini, tidak ditemukan pengaruh negatif terapi sinar terhadap tumbuh kembang bayi. Efek samping hanya bersifat sementara, dan dapat dicegah/ diperbaiki dengan memperhatikan tata cara penggunaan terapi sinar. Kelainan yang mungkin timbul karena terapi sinar antara lain:5 a. Peningkatan kehilangan cairan tubuh bayi. Karena itu pemberian cairan harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Bila bayi bisa minum ASI, sesering mungkin berikan ASI. 21

c. Frekwensi buang air besar meningkat karena hiperperistaltik (gerakan usus yang meningkat). d. Timbul kelainan kulit yang bersifat sementara pada muka, badan, dan alat gerak. e. Kenaikan suhu tubuh. f. Kadang pada beberapa bayi ditemukan gangguan minum, rewel, yang hanya bersifat sementara. Komplikasi biasanya bersifat ringan dan tidak sebanding dengan manfaat penggunaannya. Karena itu terapi sinar masih merupaka pilihan dalam mengatasi hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.5 2.1.10 Pencegahan Ikterus dapat dicegah sejak masa kehamilan, dengan cara pengawasan kehamilan dengan baik dan teratur, untuk mencegah sedini mungkin infeksi pada janin, dan hipoksia (kekurangan oksigen) pada janin di dalam rahim. Pada masa persalinan, jika terjadi hipoksia, misalnya karena kesulitan lahir, lilitan tali pusat, dan lain-lain, segera diatasi dengan cepat dan tepat. Sebaiknya, sejak lahir, biasakan anak dijemur dibawah sinar matahari pagi sekitar jam 7 – jam 8 pagi setiap hari selama 15 menit dengan membuka pakaiannya.5 2.2 Infeksi Neonatus 2.2.1 Definisi Infeksi neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan.7

22

2.2.2 Etiologi Penyebab

paling

umum

pada

sepsis

adalah

mikroorganisme.

Mikroorganisme tersebut antara lain bakteri, virus, jamur dan protozoa. Etiologi pada infeksi neonatorum yaitu Enterobacter sp, Klebsiella sp dan atau Acinetobacter sp.26 2.2.3 Epidemiologi Infeksi neonatorum merupakan masalah kesehatan yang belum dapat ditanggulangi dalam pelayanan dan perawatan bayi baru lahir. Sampai saat ini, infeksi neonatorum merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi baru lahir. Pada bulan pertama kehidupan, infeksi yang terjadi berhubungan dengan angka kematian yang tinggi, yaitu 13%-15%.8 Angka kejadian sepsis neonatal di negara berkembang meningkat yaitu (1,8-18 per 1000 kelahiran hidup), sedangkan pada negara maju sebanyak (4-5 per 1000 kelahiran hidup).27 Berdasarkan perkiraan World Health Organitation (WHO), lebih dari dua per tiga angka kematian neonatus di Asia Tenggara terjadi pada periode neonatal dini dan 42% kematian neonatal disebabkan infeksi seperti: sepsis, tetanus neonatorum, meningitis, pneumonia, dan diare.28 2.2.4 Patofisiologi Infeksi yang terjadi pada neonatorum pada umumnya disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus yang dapat terjadi karena berbagai faktor seperti ketuban pecah dini, demam pada ibu saat persalinan, dan kurang masa kehamilan yang

23

dapat mengakibatkan bayi mengalami asfiksia perinatal, berat bayi lahir rendah, kelainan bawaan, prosedur invasif yang mengarah menjadi sepsis. Bakteri yang menyebabkan infeksi tersebut dapat menyerang hepar yang dapat menyumbat saluran hepar dan menyebabkan kolestasis.29 2.3 Hubungan antara Infeksi Neonatus dan Kejadian Ikterik Neonatus Tazami et al dalam studi di RSUD Raden Mattaher Jambi mendapatkan prevalensi ikterus neonatal diperoleh sebanyak 49 kasus (13,2%). Pada penelitian ini menyebutkan ikterus dengan komplikasi (asfiksia, sepsis, sefal hematom) terdapat sebanyak 16 (37,2%) kasus.17 Terdapat dua proses yang melibatkan antara komplikasi dengan risiko terjadinya ikterus neonatorum, yaitu:30 a. Produksi yang berlebihan, hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada perdarahan tertutup dan sepsis. b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan ini dapat disebabkan oleh hipoksia dan infeksi. Sehingga bisa disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara komplikasi perinatal dengan kejadian ikterus neonatorum, meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan neonatus tanpa komplikasi. Menurut penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya bahwa infeksi pada neonatus

merupakan

faktor

resiko

terjadinya

hiperbilirubinemia

yang

menyebabkan bayi mengalami ikterus.9 Hal ini diperkuat dengan penelitian oleh Halisanti yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara neonatus yang mengalami infeksi dengan terjadinya ikterus nonatorum.30 Selain itu Onyearugha et al juga meneliti prevalensi dan faktor resiko yang berhubungan dengan 24

neonatus yang mengalami ikterus dan didapatkan hasil yang signifikan antara bayi baru lahir yang mengalami infeksi dan ikterus.31

25

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"