Bab Ii.docx

  • Uploaded by: Ayu Antari
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,717
  • Pages: 16
BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Meningitis merupakan peradangan pada araknoid, piamater dan ruangan subaraknoid (Bonthius & Karacay, 2002). Proses peradangan tersebut juga dapat meluas ke jaringan otak dan medula spinalis (Gilroy, 2000; Victor & Ropper,2001). Pada umumnya meningitis disebabkan oleh infeksi kuman patogen yang menginvasi meninges melalui pembuluh darah dibagian lain dari tubuh, seperti virus, bakteri, spiroketa, fungus, protozoa dan metazoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri (Swierzewski, 2002). Meningitis menyebabkan berbagai macam gejala klinis dari ringan sampai berat seperti demam, mual-muntah, nafsu makan menurun, sakit kepala, kejang, penurunan kesadaran, dan defisit neurologis lain yang dapat berlangsung lama atau menetap dan bahkan dapat menyebabkan kematian (Mahar M, 2008). Pada sebagian besar kasus, sekitar 70% kasus meningitis terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun dan orang tua diatas usia 60 tahun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, angka kematian akibat meningitis dan ensefalitis mencapai 0,8% dari seluruh kematian yang terjadi pada semua golongan umur. Pada penelitian tersebut didapatkan meningitis dan ensefalitis menempati peringkat ke-7 atau 3,2% dari seluruh kematian akibat penyakit menular (Laporan nasional, 2007). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, angka kematian akibat meningitis dan ensefalitis mencapai 0,8% dari seluruh kematian yang terjadi pada semua golongan umur. Pada penelitian tersebut didapatkan meningitis dan ensefalitis menempati peringkat ke-7 atau 3,2% dari seluruh kematian akibat penyakit menular (Laporan nasional, 2007). Masih banyaknya kematian yang disebabkan oleh meningitis harus menjadi perhatian bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh karena itu untuk menurunkan 3

morbiditas dan mortalitas meningitis dilakukan perhatian dan waspada terhadap meningitis, pengetahuan tentang patofisiologi dari meningitis, cepat mengetahui kemungkinan penyebabnya, terapi cepat dan adekuat, melakukan kegiatan preventif.

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Meningitis adalah radang yang mengenai salah satu atau semua selaput meningens disekeliling otak dan medulla spinalis. Membran yang melapisi otak dan sumsum belakang ini terdiri dari tiga lapisan yaitu (Mahar M, 2008) : 1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras. 2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang mirip sarang labalaba. 3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak yang mengikuti alur otak membentuk gyrus & sulcus. Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut leptomeninges. Ruang-ruang potensial pada meninges dilewati oleh banyak pembuluh darah yang berperan penting dalam penyebaran infeksi pada meninges.

2.2 Faktor Resiko Faktor resiko terjadinya meningitis (Mahar M, 2008) : 1. Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun 2. Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh 3. Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal 4. Infeksi HIV 5. Anemia sel sabit dan splenektomi 6. Alkoholisme, sirosis hepatis 7. Talasemia mayor 8. Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis 9. Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi 5

10. Ventriculoperitoneal shunt 2.3 Etiologi dan Klasifikasi Meningitis Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi (Markam S, 1992). Klasifikasi meningitis berdasarkan etiologi menurut jenis kuman mencakup sekaligus kausa meningitis, yaitu (Swierzewzki, 2002) : 1. Meningtis virus 2. Meningitis bakteri 3. Meningitis spiroketa 4. Meningitis fungus 5. Meningitis protozoa dan 6. Meningitis metazoan

Penyebab

meningitis serosa

yang

paling

banyak

ditemukan

adalah

kuman

Tuberculosis dan virus (Jellife D, 1994). Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus, sedangkan Herpes simplex, Herpes zoster, dan enterovirus jarang menjadi penyebab meningitis aseptik (viral) (Nelson, 2012).

2.4 Anatomi dan Fisiologi 1. Meningens Meninges merupakan selaput atau membran yang terdiri dari jaringan ikat yang membungkus susunan syaraf pusat, dan tersusun atas 3 lapis yaitu : 6

Gambar 1. Struktur meningens a. Dura Mater Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang membungkus medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim (Junqueira dkk, 1998). b. Arachnoid Arachnoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak dengan dura mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater. Rongga diantara trabekel membentuk ruang subarachnoid, yang berisi cairan

7

serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang subarachnoid berhubungan dengan ventrikel otak. Arachnoid terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti dura mater. Karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menerobos dura mater membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus (Junqueira dkk, 1998). c. Pia Mater Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang memisahkan SSP dari cairan serebrospinal. Piamater menyusuri seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan syaraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia (Junqueira dkk, 1998).

8

Gambar 2. Hubungan Meninges dan Jaringan Sekitarnya

2. Sawar Darah Otak Sawar darah otak merupakan barier fungsional yang mencegah masuknya beberapa substansi, seperti antibiotik dan bahan kimia dan toksin bakteri dari darah ke jaringan syaraf. Sawar darah otak ini terjadi akibat kurangnya permeabilitas yang menjadi ciri kapiler darah jaringan saraf. Taut kedap, yang menyatukan sel-sel endotel kapiler ini secara sempurna merupakan unsur utama dari sawar ini. Sitoplasma sel-sel andotel ini tidak bertingkap, dan terlihat sangat sedikit vesikel pinositotik di sini. Perluasan cabang sel neuroglia yang melingkari kapiler ikut mengurangi permeabilitasnya (Junqueira dkk, 1998). Sawar ini terletak antara darah dan cairan serebrospinal serta cairan otak. Sawar juga terdapat pada plexus koroideus dan membran kapiler jaringan, pada dasarnya di seluruh parenkim otak kecuali di beberapa daerah di hipotalamus, kelenjar pineal dan area postrema, tempat zat berdifusi dengan lebih mudah ke dalam ruang jaringan. Sawar darah otak pada umumnya sangat permeabel terhadap air, karbondioksida, oksigen, dan sebagian besar zat larut lipid, seperti alkohol dan zat anestesi; sedikit permeabel terhadap elektrolit, seperti natrium, klorida, dan kalium; dan hampir tidak permeabel terhadap

9

protein plasma dan banyak molekul organik berukuran besar yang tidak larut lipid (Guyton and Hall, 2008).

Gambar 3. Potongan Melintang Susunan Sawar Darah Otak

Dengan menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa lumen kapiler darah dipisahkan dari ruang ekstraseluler oleh (Yuliana, 2013) : a. Sel endotelial di dinding kapiler (cerebral endothelial cell), disatukan oleh tight juction. b. Membran basalis di luar sel endotel berisi sel perisit c. Kaki-kaki astrosit yang menempel pada lapisan luar dinding kapiler.

10

Gambar 4. Struktur Penyusun Sawar Darah Otak

3. Plexus Koroid dan Cairan Cerebrospinal Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid merupakan struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi. Pleksus koroid terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh epitel selapis kuboid atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel pengangkut ion. Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan serebrospinal, yang hanya mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh ventrikel, kanal sentral dari medula spinalis, ruang subarachnoid, dan ruang perivasikular. Ia penting untuk metabolisme susunan saraf pusat dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan dalam ruang subarachnoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008 gr/ml), dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa sel deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per milliliter. Cairan serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari sana ia memasuki ruang subarachnoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama untuk absorbsi CSS ke dalam sirkulasi vena. Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan aliran keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut hidrosefalus, yang mengakibatkan

11

pembesaran progresif dari kepala dan disertai dengan gangguan mental dan kelemahan otot (Junqueira dkk, 1998).

Gambar 5. Fisiologi Cairan Serebrospinal

12

2.5 Patofisiologi Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak dan penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan system ventrikulus. Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua selsel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag. Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuronneuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales.

2.6 Manifestasi Klinis Gejala klasik berupa trias meningitis mengenai kurang lebih 44% penderita meningitis bakteri dewasa. Trias meningitis tersebut sebagai berikut (Mahar M, 2008) : 1. Demam 2. Nyeri kepala 3. Kaku kuduk Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumps virus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjar parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul 13

keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku kuduk, dan nyeri punggung (Soedarto, 2004).

2.7 Penegakan Diagnosis Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1. Anamnesa Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti demam sampai menggigil, sakit kepala, fotofobia, mual muntah, kejang, penurunan kesadaran, gejala neuroligis fokal, riwayat infeksi gigi, telinga hidung tenggorokan, kontak dengan HIV (Mahar M, 2008). Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk autoanamnesa (Juwono T, 1993). 2. Pemeriksaan Fisik a. Vital sign Periksa kesadaran, jalan napas, pernapasan serta sirkulasi. Waspadai adanya tandatanda peningkatan tekanan intrakranial : nyeri kepala, muntah proyektil, penurunan kesadaran, diplopia, papil edema, trias cushing (hipertensi, bradikardi, pernapasan irregular, atau peningkatan suhu secara drastic (pada tahap lanjut). b. Pemeriksaan Umum - Infeksi ektrakranial sebagai sumber , misalnya otitis media c. Pemeriksaan Neurologis - Kaku kuduk / iritasi meningens - Kernig - brudzinski 1-4 - Papil edema - Gejala neurologis fokal terutama gangguan pada saraf kranialis III, IV, VI, VII. - Penurunan kesadaran : koma (Mahar M, 2008). 3. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium Darah rutin, kimia darah (gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati), elektrolit 14

- Pemeriksaan LED - Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi. - Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada cairan serebrospinal. - Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ dan penyesuaian dosis terapi. b. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala, CT-Scan dan MRI. Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti meningitis dapat disingkirkan. Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of America (IDSA), berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum dilakukan lumbal pungsi yaitu : 1) Dalam keadaan Immunocompromised 2) Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke, infeksi fokal) 3) Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya 4) Papiledema 5) Gangguan kesadaran 6) Defisit neurologis fokal Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus, enhancement kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans (Mahar M, 2008). c. EEG d. Lumbal pungsi (jika tidak ada kontra indikasi) Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial. - Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur negatif. 15

Agent

Opening

WBC count Glucose

Pressure (cells/µL)

Protein

(mg/dL)

(mg/dL)

< 40

>100

Microbiology

(mm H2 O) Bacterial

200-300

meningitis

100-5000; >80% PMNs

Specific pathogen demonstrated in 60% of Gram stains and 80% of cultures

Viral

90-200

meningitis

10-300;

Normal,

Normal but Viral isolation,

lymphocytes reduced in may be LCM and

slightly

mumps

elevated

Reduced, < Elevated,

PCR assays

Tuberculous 180-300

100-500;

meningitis

lymphocytes 40

>100

stain, culture, PCR

Cryptococcal 180-300

10-200;

50-200

India ink,

meningitis

lymphocytes

Reduced

Acid-fast bacillus

cryptococcal antigen, culture

Aseptic

90-200

meningitis

10-300;

Normal

lymphocytes

Normal but Negative findings may be

on workup

slightly elevated Normal values

80-200

0-5;

50-75

15-40

lymphocytes

Negative findings on workup

LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction; PMN = polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.

Tabel 1. Penilaian Cairan Serebrospinal Berdasarkan Agen Infeksi

16

2.8. Terapi Penatalaksanaan meningitis mencakup penatalaksanaan kausatif, komplikatif dan suportif: -

Perawatan umum 5B

-

Antipiretik atau analgesik (misal paracetamol oral atau infus)

-

Untuk edem otak bisa diberikan kortikosteroid seperti dexametason atau metil prednisolone

-

Bila kejang bisa diberikan obat anti kejang seperti diazepam atau fenitoin sesuai dengan protap

-

Bila ada tanda peningkatan tekanan intracranial : posisi head up 30 derajat dan bisa diberikan manitol bila tidak ada kontraindikasi

-

Fisioterapi bila diperlukan Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri. Penatalaksanaan umum meningitis virus adalah terapi suportif seperti pemberian analgesik, antpiretik, nutrisi yang adekuat dan hidrasi. Meningitis enteroviral dapat sembuh sendiri dan tidak ada obat yang

spesifik,

kecuali

jika

terdapat

hipogamaglobulinemia

dapat

diberikan

imunoglonbulin. Pemberian asiklovir masih kontroversial, namun dapat diberikan sesegera mungkin jika kemungkinan besar meningitis disebabkan oleh virus herpes. Beberapa ahli tidak menganjurkan pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika terdapat ensefalitis. Dosis asiklovir intravena adalah (10mg/kgBB/8jam) (Mahar M, 2008). Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun karena toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat dengan kultur CMV positif atau pada pasien dengan imunokompromise. Dosis induksi selama 3 minggu 5 mg/kgBB IV/ 12 jam, dilanjutkan dosis maintenans 5 mg/kgBB IV/24 jam (Mahar M, 2008) 2.9 Diagnosis Banding -

Tumor otak

-

Febris dengan kaku kuduk

-

Perdarahan sub araknoid

17

2.10 Komplikasi Komplikasi meningitis pada onset akut dapat berupa perubahan status mental, edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, empiema atau efusi subdural, parese nervus kranialis, hidrosefalus, defisit sensorineural, hemiparesis atau quadriparesis, kebutaan. Pada onset lanjut dapat terjadi epilepsi, ataxia, abnormalitas serebrovaskular, intelektual yang menurun dan lain sebagainya. Komplikasi sistemik dari meningitis adalah syok septik, disseminated intravascular coagulaton (DIC), gangguan fungsi hipotalamus atau disfungsi endokrin, kolaps vasomotor dan bahkan dapat menyebabkan kematian (Harsono, 2003). 2.11

Edukasi a. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya, tindakan dan pengobatan yang diperlukan, pemeriksaan penunjang, lama perawatan, komplikasi, prognosis. b. Bila diperlukan bisa konsultasi ke spesialis lain c. Bila tidak ada spesialis saraf dapat dirawat sementara oleh dokter umum yang bertugas jaga

2.12

Prognosis Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian (Nelson, 2012). Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih ringan, penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi (Hasan R, 2002).

18

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"