Bab Ii.docx

  • Uploaded by: Oming
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,692
  • Pages: 28
BAB II

A. KONSEP DASAR 1. Pengertian Demam tifiod adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluaran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran. (Nursalam, 2013). Demam tifiod merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang disebabkan oleh salmonella typhi penyakit ini dapat ditularkan melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman salmonella typhi (Aziz Alimul, 2012). Demam tifiod adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh salmonella enterica, khususnya turunan dari salmonella typhi, paratyphi A, paratyphi B, paratyphi C pada saluran pencernaan terutama menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifiod merupakan penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia mulai dari usia balita, ana-anak dan dewasa (Suratun, dkk, 2014). 2. Klasifikasi Menurut WHO (2013), ada 3 macam klasifikasi demam tifoid dengan perbedaan gejala klinis: a. Demam tifoid akut non komplikasi Demam tifoid akut dikarakteristikan dengan adanya demam berkepanjangan abnormalis, fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak- anak), sakit kepala, malaise, dan anoksia. Bentuk bronchitis biasa

terjadi pada fase awal penyakit selama demam, sampai 25% penyakit menunjukan adanya rose sport pada dada, abdomen dan punggung. b. Demam tifoid dengan komplikasi Pada demam tifoid akut, keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi parah. Bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi, usus dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen. c. Keadaan karier Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmonella typhi difeses. (Fitrianggraini, A., 2012). 3. Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60˚C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu: 1. Antigen O (Antigen Somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen Flagella) yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas alkohol. 3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Selain itu, Salmonella typhi juga dapat menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin. Ketiga macam antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. 4. Outer Membrane Protein (OMP) merupakan bagian dari dinding sel terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya cairan ke dalam membran sitoplasma, selain itu juga berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin yang sebagian besar terdiri dari protein urin, berperan pada patogenesis demam tifoid dan merupakan antigen yang penting dalam mekanisme responimun penjamu. Sedangkan protein non purin hingga kini fungsinya belum diketahui pasti (Rahayu E, 2013). 4. Patofisiologi Penularan penyakit demam tifoid adalah secara “faeco-oral”. Dan banyak terdapat dimasyarakat dengan hygine dan sanitasi yang kurang baik. Kuman Salmonella Typhi masuk tubuh melalui mulut bersama dengan makanan atau minuman yang tercerna, dan dapat pula dengan kontak langsung jari penderita yang terkontaminasi tinja, urin, sekret saluran nafas atau dengan pus penderita yang terinfeksi kemudian masuk kedalam lambung, selanjutnya lolos dari sistem

pertahanan lambung, kemudian masuk ke usus halus dan masuk peredaran darah melalui

pembuluh

limfe

(mengakibatkan

bakteremia

pertama

yang

asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo A.W., 2014). 5. Manifestasi Klinis Menurut Ngastiyah, (2014). Demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan dari pada orang dewasa. Masa tunas 10 – 20 hari yang tersingkat 4 hari, jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minum yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala, prodormal, yaitu perasaan tidak enak, badan lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat dan nasfsu makan kurang. Manifestasi klinis yang sering muncul adalah: a. Demam, pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

b. Gangguan pada saluran pencernaan, pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden), lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. c. Gangguan kesadaran, umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah (kecuali penyakitnya dan terlambat mendapatkan pengobatan). Disamping gejala tersebut mungkin terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan reseola, yaitu bintik – bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan minggu pertama demam, kadang – kadang ditemukan pula bradi kardi dan epitaksia pada anak. 6. Komplikasi Menurut Sudoyo A.W. (2014), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: a. Komplikasi Intestinal 1) Perdarahan usus. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.

2) Perforasi usus. terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok. b. Komplikasi Ekstraintestinal 1) Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis. 2) Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik. 3) Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis. 4) Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis. 5) Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis. 6) Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis. 7) Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia. 7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan diagnostik demam tifoid menurut Nanda NIC-NOC (2015) yaitu: a. Pemeriksaan darah perifer lengkap. Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukositosit dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT. Sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus.

c. Pemeriksaan Uji widal. Dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita demam tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin). d. Kultur darah, bisa positif pada minggu pertama, kultur rutin: bisa positif pada akhir minggu kedua, kultur feses: bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga. e. Anti Salmonella typhi IgM. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini infeksi akut salmonella typhi, karena antibodi IgM muncul pada hari ke-3 dan 4 terjadinya demam. 8. Penatalaksanaan a. Non Farmakologi 1) Istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempecepat penyembuhan. Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya ditempat seperti makanan, minuman, mandi, buang air kecil, buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneuminia ortostatik serta hiegine perorangan tetap perlu dijaga dan diperhatikan. 2) Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan

penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurukan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Diet untuk penderita demam tifoid adalah bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. b. Farmakologi 1) Kloramfenikol, dosis 50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3-4 kali pemberian, oral atau IV selama 14 hari. 2) Bila ada kontraindikasi kloramfenikol diberikan ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat sebelum dapat diminum obat, selama 21 hari, atau amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi 3-4 kali. Pemberian oral/intravena selama 21 hari kontrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral, selama 14 hari. 3) Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari sekali, intravena, selama 5-7 hari. 4) Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem, azithromisin dan fluoroquinolon (Nanda Nic-Noc, 2015)

9. Pathway

Kuman Salmonella Typhi Masuk tubuh melalui mulut Bersama makanan dan minuman

Saluran pencernaan

Lambung

Usus halus

Dimusnahkan oleh Asam lambung

Jaringan limfoid Plaque penyeri

Komplikasi -Perdarahan -Perforasi

Lamina profia Kelenjar limfe masentria

Hipertropi ductus torocicus

Aliran darah Organ RES (hati dan limfe)

Kuman difagosit Mati

Tidak difagosit Hati

Limfa

Inflamasi

Kelenjar limfoid Intestinal

Hepatomegali Splenomegali Tukak

Endoksin

-Lemah -Lesu

-Penurunan -Demam nafsu makan -Mual Hipertermi

Merangsang ujung saraf Perdarahan Ulkus Nyeri perabaan Nyeri akut

Intoleransi aktivitas

Menembus Kekurangan Volume cairan

Perforasi

Ketidakseimbangan nutrisi Kurang dari kebutuhan tubuh

-Penumpukan tinja -Berkurangnya tonus pada lapisan Otot intestinal lambung -Distensi abdomen

Konstipasi

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Pengkajian adalah pemikiran dasar yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah- masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Pengkajian menurut Nursalam (2005) antara lain: a. Identitas pasien. Sering ditemukan pada anak berumur diatas satu tahun maupun dewasa b. Keluhan utama. Berupa perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan kurang bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama selama masa inkubasi). c. Suhu tubuh pada kasus yang khas, demam berlangsung selama 3 minggu, bersifat febris remiten, dan suhunya tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur- angsur naik setiap harinya, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga suhu berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. d. Kesadaran, umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak beberapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. e. Pemeriksaan fisik 1) Mulut terdapat nafas yang berbau tidak sedap serta bibir kering dan pecah- pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput kotor, sementra ujung dan tepinya berwarna kemerahan dan jarang disertai tremor.

2) Abdomen,

dapat

ditemukan

keadaan

perut

kembung

(meteorismus). Bisa terjadi konstipasi, atau mungkin diare atau normal. 3) Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan f. Pemeriksaan laboratorium menurut Nursalam(2005): 1) Pada pemerikaan darah tepi terdapat gambaran leukopeni, limfositosis relative, dan aneosinofilia pada permukaan sakit 2) Darah untuk kultur (biakan, empedu) dan widal 3) Biakan empedu basil Salmonella Typhosa dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya, lebih sering ditemukan dalam urine dan feses. 4) Pemeriksaan widal Untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan adalah titer zat antigen O. Titer yang benilai 1/200 atau lebih menunjukkan kenaikan yang progresif. 2. Dianosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai respon individu, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan yang aktual/potensial yang merupakan dasar untuk memilih intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang merupakan tanggung jawab perawat (Dermawan, 2012). Menurut Nanda Nic-Noc (2015) diagnosa keperawatan yang mungkin muncul diantaranya : a. Hipertermi (00007) b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) c. Intoleransi aktivitas (00092)

d. Kekurangan volume cairan (00027) e. Nyeri akut (00132) f. Konstipasi (00011) 3. Fokus Intervensi a. Hipertermi (00007) 1) Definisi Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal 2) Batasan Karakteristik a) Konvulsi b) Kulit kemerahan c) Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal d) Kejang e) Takikardi f) Takipnea g) Kulit terasa hangat 3) Faktor yang berhubungan a) Anestensia b) Penurunan perpirasi c) Dehidrasi d) Pamajanan lingkungan yang panas e) Penyakit f) Pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan g) Peningkatan laju metabolisme h) Medikasi i) Trauma

j) Aktivitas berlebihan 4) NOC a) Thermoregulation 5) Kriteria hasil a) Suhu tubuh dalam rentang normal b) Nadi dan RR dalam rentang normal c) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing 6) NIC Intervensi a) Ukur dan catat suhu klien demam menggunakan termometer lisan atau dubur setiap 1- 4 jam tergantung pada tingkat keparahan demam atau setiap kali perubahan kondisi terjadi (misalnya, menggigil, perubahan status mental). Pada saat klien sakit kritis, menggunakan metode inwelling pengukuran temperatur. EBN dan EB: pengukuran suhu oral memberikan suhu lebih akurat daripada pengukuran timpani, pengukuran aksila, atau penggunaan bahan kimia dot termometer (Hill, 2004; Fallis, Hamelin, & Wong, 2006; Devrim et al, 2007; Fommelt, Ott & Hays 2008). Penelitian telah menunjukkan keakuratan pengukuran suhu dari yang paling akurat untuk paling tidak akurat: intravaskular, esofagus, kandung kemih termistor, dubur, mulut, membran timpani. Aksila, arteri temporal, dan kimia dot termometer kurang akurat dan harus dihindari dalam merawat klien dewasa yang sakit kritis (O'Grady et al, 2008) b) Gunakan situs yang sama dan metode (perangkat) untuk pengukuran suhu untuk klien tertentu sehingga tren suhu dinilai akurat; catatan situs pengukuran suhu. EBN dan EB: ada perbedaan yang signifikan

dalam suhu tergantung pada situs (oral, rektal, aksila, atau arteri temporal (Devrim et al, 2007; Fommelt, Ott, & Hays, 2008; O'Grady et al, 2008) c) Beritahu dokter suhu sesuai dengan standar kelembagaan atau perintah tertulis, atau saat suhu mencapai 100.5oF (38.3oC) dan di atas (O'Grady et al, 2008). Juga memberitahu dokter kehadiran perubahan

status

mental.

Perubahan

status

mental

dapat

menunjukkan terjadinya syok septik (Kleinpell & Ahrens, 2008). d) Bekerja sama dengan dokter untuk membantu menentukan penyebab kenaikan suhu, yang sering akan membantu pengobatan oppropriate langsung. Kumpulkan budaya Stat sebelum memulai terapi antibiotik (O'Grady et al, 2008), dan memastikan bahwa diperlukan pencitraan studi yang dilakukan dengan cepat. Hal ini umumnya lebih penting untuk mengobati penyebab yang mendasari kenaikan suhu dari mengobati gejala demam (Henker & Carlson, 2007; Dellinger et al, 2008) e) Berikan obat antipiretik sesuai dengan anjuran dokter, ketika penyebab suhu tidak adaptif (neurologis, stroke panas, klien sakit kritis), bila infeksi - demam yang disebabkan lebih besar dari 38.3oC, dan ketika klien tidak bisa mentolerir peningkatan metabolisme permintaan, seperti klien yang sakit akut. Penghapusan demam akan mengganggu peningkatan dari respon kekebalan tubuh, tetapi elevasi suhu disertai dengan peningkatan konsumsi oksigen dan tingkat metabolisme daripada tidak dapat ditoleransi oleh klien akut (Henker & Carlson, 2007). EB: review sistematis tiga studi

menemukan sedikit avidence untuk mendukung administrasi antipiretik untuk demam (Hudgings et al, 2004)

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) 1) Definisi Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik. 2) Batasan Karakteristik a) Kram abdomen b) Nyeri abdomen c) Menghindari makanan d) Berat badan kurang dari 20% atau lebih dibawah berat badan ideal e) Kerapuhan kapiler f) Diare g) Bising usus hiperaktif h) Asupan makanan kurang dari kebuthan metabolik, baik kalori total maupun zat gizi tertentu i) Kehilangan berat badan dengan asupan makanan yang adekuat j) Melaporkan asupan makanan yang tidak adekuat kurang dari recommended daily allowance (RDA) 3) Faktor yang berhubungan a) Faktor biologis b) Faktor ekonomi c) Ketidak mampuan untuk mengabsorbsi nutrien d) Ketidak mampuan untuk mencerna makanan e) Faktor psikologis

4) NOC a) Nitritional status b) Nutrional status: food and fruid intake c) Nutrient intake d) Weight control 5) Kriteria hasil a) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan b) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan c) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi d) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi e) Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan f) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti 6) NIC Intervensi a) Observasi dan catat asupan klien. EBN: untuk mengkaji zat gizi yang dikonsumsi dan suplemen yang diperlukan b) Sajikan makanan yang membutuhkan sedikit dikerat atau dikunyah. EBN: untuk membantu mencegah malingering pada saat makan (Fauci et al, 2008). c) Tentukan makanan kesukaan pasien dan usahakan untuk mendapatkan makanan tersebut. EBN: untuk meningkatkan nafsu makan pasien. d) Bila memungkinkan, duduk dengan pasien selama makan. EBN: tindakan ini mencegah pasien untuk membuang-buang waktu

selama makan atau menyembunyikan makanan atau membawa makanan dari luar (Milne et al, 2009). e) Timbang berat badan pasien pada jam yang sama setiap hari. EBN : tindakan ini memberikan data akurat dan memberikan pengendalian pada pasien tentang makanan apa yang dimakan (Shay, Shobert, & Seibert, 2009).

c. Itoleransi aktifitas (00050) 1) Definisi Ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktifitas kehidupan sehari – hari yang harus atau yang ingin dilakukan. 2) Batasan Karakteristik a) Respon tekanan darah yang abnormal terhadap aktivitas b) Respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas c) Perubahan EKG yang mencerminkan aritmia d) Perubahan EKG yang mencerminkan iskemia e) Ketidaknyamanan setelah beraktivitas f) Menyatakan merasa letih dan lemas 3) Faktor yang berhubungan a) Tirah baring atau imobiliasi b) Kelemahan Umum c) Ketidakseimbangan antara suplei dan kebutuhan oksigen d) Imobilitas e) Gaya hidup menonton

4) NOC a) Energy conservation b) Activity tolerance c) Self care: ADLs 5) Kriteria hasil a) Berpatisipasi dalam aktifitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan RR. b) Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandir. c) Tanda –tanda vital normal (sistol 90- 140 mmHg, distole 60 -90 mmHg, N: 60-100 x/menit, RR: 12-20 x/menit, S : 36,5- 37,5 ºC). d) Mampu berpindah: dengan atau tanpa bantuan alat. e) Setatus sirkulasi dan respirasi baik (>95). 6) NIC Intervensi a) Tentukan penyebab intoleransi aktivitas (lihat faktor -faktor terkait) dan menentukan apakah penyebabnya adalah fisik, psikologis, atau motivasi.

Menentukan

penyebab

masalah

dapat

membantu

mengarahkan intervensi yang sesuai. b) Bantu untuk memilih aktivitas konsisten sesuai kemampuan fisik, EB: jika ada tanda- tanda dan gejala dekompensasi jantung berkembang, kegiatan harus dihentikan segera diantaranya: ketidak nyamanan dada, dispnea, palpitasi, kelelahan berlebihan, pucat, sianosis, disritmia, kenaikan tekanan darah berlebihan, bradikardia (Ackley danLadwig, 2010). c) Anjurkan pasien untuk

beristirahat

dan beraktifitas

secara

bergantian. EB : suatu pemanfaatan studi tomografi menerangkan

bahwa pengurangan kekuatan secara penting pada panggul, paha, otot betis memaksa tentang yang lebih tua yang bedah tulang, seperti halnya tentang yang kehilangan mineral dengan immobilisasi (Berg et al, 2007). d) Jika klien sering berpindah, sarankan untuk menggunakan kursi roda. Menggunakan kursi roda dimana ketika klien diangkat nai diatas kursi roda yang di dudukan tegak lurus dikursi dapat membantu klien bangkit yang sebelumnya hanya ditempat tidur (Nelson et al, 2003 ; Perme & Chandrasherkar, 2009). e) Jika dimungkinkan tingkatkan aktivitas yang berangsur – angsur ijinkan klien untuk membantu ambulasi. Selalu menganjurkan klien untuk menggantungkan sisi di tempat tidur, ketika berusaha berdiri dan mengevaluasi hipotensi postural (Krecinic et al, 2009). f) Kecuali dikontraindikasi, lakukan latihan ROM setiap 2 jam atau 4 jam. EBN: latihan ROM dapat mencegah kontraktur sendi dan atrofi otot. g) Amati dan kaji integritas kulit sehari. Intoleransi aktivitas, jika mengakibatkan imobilitas, dapat menyebabkan borok tekanan. tekanan mekanik, kelembaban, gesekan, dan geser pasukan semua predisposisi perkembangan mereka (Fauci et al, 2008). Mengacu pada risiko rencana perawatan untuk integritas kulit terganggu. h) Memberikan dukungan emosional dan dorongan kepada klien untuk secara bertahap meningkatkan aktivitas. Bekerja dengan klien untuk menetapkan tujuan bersama yang meningkatkan tingkat aktivitas.

Takut sesak napas, nyeri, atau bertengkar dapat menurunkan keinginan untuk meningkatkan aktivitas.

d. Kekurangan volume cairan (00027) 1) Definisi Penurunan cairan intravaskular, interstisial, dan/ atau intraseluler. Ini mengacu pada dehidrasi, kehilangan cairan tanpa perubahan pada natrium. 2) Batasan karakteristik a) Perubahan status mental b) Penurunan tekanan darah c) Penurunan tekanan nadi d) Penurunan volume nadi e) Penurunan turgor kulit f) Penurunan turgor lidah g) Penurunan aliran urin h) Penurunan pengisian vena i) Membran mukosa kering j) Peningkatan hematokrit k) Peningkatan suhu tubuh 3) Faktor yang berhubungan a) Kehilangan cairan aktif b) Kegagalan mekanisme regulasi 4) NOC a) Fluid balance

b) Hydration c) Nutritional Status: Food and Fluid Intake 5) Kreteria Hasil a) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dab BB, BJ urine normal, HT normal b) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal c) Tidak ada tanda – tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan 6) NIC Intervensi a) Perhatikan tanda-tanda awal dari hipovolemia, termasuk haus, gelisah, sakit kepala, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi. Haus sering menjadi tanda dehidrasi (Scales & Pilsworth, 2008). EB: Sebuah studi relawan sehat yang mengalami pembatasan cairan hingga 37 jam melaporkan gejala sakit kepala, penurunan kewaspadaan,

dan

ketidakmampuan

untuk

berkonsentrasi

(Shirreffs et al, 2004). b) Kenali gejala sianosis, kulit lembab dan dingin, denyut nadi lemah, kebingungan, dan oliguria sebagai tanda-tanda akhir hipovolemia. Gejala ini terjadi setelah tubuh dikompensasikan kehilangan cairan dengan memindahkan cairan dari ruang interstisial ke dalam kompartemen vaskuler, beberapa liter cairan bisa hilang dari tubuh (Skala & Pilsworth, 2008). c) Monitor nadi, respirasi, dan tekanan darah klien dengan defisit volume cairan setiap 15 menit sampai 1 jam untuk klien yang tidak stabil, setiap 4 jam untuk klien stabil. Perubahan tanda vital dilihat

dengan defisit volume cairan termasuk takikardia, takipnea, penurunan tekanan nadi pertama, kemudian hipotensi, penurunan volume cairan, dan peningkatan atau penurunan suhu tubuh (Skala & Pilsworth, 2008). EB: Sebuah tinjauan sistematis menunjukkan bahwa hipotensi dan takikardia, dan kadang-kadang demam sebagai tanda-tanda klinis dehidrasi (Ferry, 2005). d) Pantau keberadaan faktor penyebab kekurangan volume cairan (misalnya, muntah, diare, kesulitan mempertahankan asupan oral, demam, diabetes tipe 2 yang tidak terkontrol, terapi diuretik). Identifikasi awal faktor risiko dan intervensi dini dapat mengurangi terjadinya dan tingkat keparahan komplikasi dari kekurangan volume cairan. e) Observasi lidah kering, selaput lendir, dan mukosa bibir. Ini adalah gejala dari cairan tubuh menurun. f) Timbang klien setiap hari dan perhatikan penurunan berat badan yang tiba - tiba, terutama pada penurunan pengeluaran urin atau kehilangan cairan aktif. Perubahan berat badan mencerminkan perubahan dalam volume cairan tubuh (Kasper et al, 2005). EB: Tinjauan sistematis menunjukkan bahwa pengukuran perubahan massa tubuh adalah teknik yang aman untuk menilai status hidrasi (Armstrong, 2005; Wakefield, 2008). g) Pantau total asupan cairan dan output setiap 8 jam (atau setiap jam untuk klien yang tidak stabil). Mengakui bahwa urin tidak selalu merupakan indikator akurat keseimbangan cairan. Output urine kurang dari 30 ml / jam tidak cukup untuk fungsi ginjal normal dan

menunjukkan hipovolemia atau timbulnya kerusakan ginjal (Skala & Pilsworth, 2008). h) Perhatikan warna urine dan berat jenis. Urin normal adalah jerami - berwarna atau kuning. Gelap - berwarna urine dengan meningkatnya berat jenis mencerminkan peningkatan konsentrasi urine, dan defisit cairan. Peningkatan berat jenis urine juga mencerminkan defisit cairan (Skala & Pilsworth, 2008). i) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian intravena isotonik (IV) jika diresepkan. EB : Cairan infus isotonik seperti 0,9% normal saline atau Ringer laktat, memungkinkan penggantian di volume travascular(Fauci et al, 2008).

e. Nyeri Akut (00132) 1) Definisi Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. 2) Batasan karakteristik a) Perubahan selera makan b) Perubahan tekanan darah c) Perubahan Frekwensi jantung d) Perubahan frekwensi pernafasan e) Sikap melindungi nyeri f) Perubahan posisi untuk menhindari nyeri g) Gangguan tidur 3) Faktor yang berhubungan

a) Agen cedera (misal, biologis, zat kimia, fisik, psikologis) 4) NOC a) Pain level b) Pain control c) Comfort level 5) Kreteria hasil a) Mampu

mengontrol nyeri

(tahu penyebab

nyeri, mampu

menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 6) NIC Intervensi a) Menilai tingkat nyeri pada klien menggunakan self laporan valid dan reliabel tol nyeri, seperti skala nyeri 0-10 peringkat numerik. EB: Dimensi peringkat nyeri tungkal adalah valid dan reliabel sebagai ukuran tingkat intensitas nyeri (Breivic et al, 2008) EBN: penyelidikan sikap keperawatan dan keyakinan tentang penilaian nyeri (Layman-young, horton & davidhizar,2006) b) Menilai klien untuk kehadiran nyeri secara rutin pada interval yang sering, dari maka pada saat yang sama dengan tanda-tanda vital yang diambil, dan selamaaktivitas dan istirahat (APS, 2008)

c) Menggambarkan efek samping nyeri tak henti-hentinya EBN: nyeri akut tak henti-hentinya dapat memiliki konsekuensi fisiologis dan fisiologis yang memfasilitasi klien nyeri akut mengelola outcomes ineffective negatif memiliki potensial untuk perubahan neurohumoral (Brennen cars & cousins 2007). d) Berasumsi bahwa nyeri hadir jika klien tidak dapat memberikan laporan diri dan memiliki cedera jaringan, kondisi patologis, atau memiliki tanah prosedur yang biasanya mengakibatkan nyeri. Rasa sakit adalah associatade dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial seperti kondisi patologis (misalnya kanker) dan prosedur (misalnya surgeri atau trauma, fraktur) dengan tidak adanya laporan diri (misalnya dibius, sakit kritis, atau klien gangguan kognitif), dokter harus berasumsi nyeri hadir dan menerapkan intervensi manajemen nyeri sesuai (pasero & McCaffery, 2005; herr et al, 2006;pasero, 2009) e) Menghindari memberikan obat nyeri intramuskular (IM). Injeksi IM yang menyakitkan, hasil dalam penyerapan diandalkan, dan menyebabkan tingkat darah variabel obat diberikan (pasero, 2003 a; APS 2008) berulang injeksi IM dapat menyebabkan abses steril dan fibrosis otot dan jaringan lunak. Injeksi IM juga dapat menyebabkan cedera saraf dengan nyeri neuropatik kronis berikutnya (APS, 2008) EBN: pasien juga dapat dikontrol analgesia lebih efektif dalam mengendalikan rasa sakit daripada injeksi IM (Chang, ip & Cheung, 2004)

f) Mendapatkan resep untuk mengelola analgesik opioid jika diindikasikan, terutama untuk nyeri sedang sampai berat (Pasero, 2003 a; goodman et a, 2006; APS, 2008; Krenzischek et al, 2008; Ming wah, 2008; Desandre & quest, 2009) g) EB : Penilaian nyeri adalah sama pentingnya dengan tanda-tanda dan nyeri dianggap sebagai “tanda vital kelima” (APS, 2008). Nyeri akut harus dinilai baik pada saat istirahat (penting untuk kenyamanan) dan selama gerakan (penting untuk fungsi dan penurunan

risiko

klien

cardiopulmonary

dan

kejadian

tromboemboli (Ackley dan Ladwig, 2010). h) EB : Salah satu langkah yang paling penting menuju menigkatkan kontrol nyeri adalah pemahaman klien lebih baik tentang sifat nyeri, pengobatan, dan peran klien perlu bermain di kontrol nyeri. Intervensi nonfarmakologi harus digunakan untuk melengkapi, bukan menggantikan intervensi farmakologis (APS 2009 dalam Ackley dan Ladwig, 2010).

f. Konstipasi (00011) 1) Definisi Penurunan pada frekwensi normal pada defekasi yang disertai oleh kesulitan atau pengeluaran tidak lengkap feses/atau pengeluaran feses yang kering, keras, dan banyak 2) Batasan karakteristik a) Nyeri abdomen b) Nyeri tekan abdomen dengan teraba resistensi otot

c) Nyeri tekan abdomen tanpa teraba resistensi otot d) Anoraksia e) Darah merah pada feses f) Distensi abdomen g) Massa abdomen yang dapat diraba h) Adanya feses lunak, seperti pasta didalam rektum i) Tidak dapat mengeluarkan feses 3) Faktor yang berhubungan a) Fungsional b) Psikologis c) Farmakologi d) Mekanis e) Fisiologis 4) NOC a) Bowel elimination b) Hydration 5) Kreteria hasil a) Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari b) Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi c) Feses lunak dan berbentuk 6) NIC Intevensi a) Monitor fese ; frekuensi, konsistensi dan volume. b) Memantau gerakan usus, termasuk konsistensi frekuensi, bentuk, volume dan warna.

c) Tinjau obat klien saat ini.EB: banyak obat yang terkait dengan sembelit kronis termasuk opioid, antikolinergik, antidepresan, antihipertensi (e, g, clonidine, calcium channel blockers), antispasmodik, diuretik, antikonvulsan, dan psikotropika (Eoff & Lembo, 2008) d) Palpasi untuk distensi abdomen, perkusi untuk dulness, dan auskultasi suara usus. Pada klien dengan sembelit perut buncit dan sering tinja di usus besar menghasilkan suara perkusi kusam. Terdapat bising usus. e) Berikan prune atau jus prune setiap hari. Setiap 100 g buah prune mengandung sekitar 6 gram serat dan 15 g sorbitol, dan keduanya pencahar alami (Muller-Lissner et al, 2005). EB: Dalam sebuah studi tentang efek yang dirasakan dari berbagai makanan dan minuman pada konsistensi tinja, lebih dari setengah subyek yang disurvei melaporkan bahwa plum memiliki efek melembutkan di feses mereka (Muller-Lissner et al 2005b). f) Berikan asupan cairan 1,5-2 l / hari (6-8 gelas cairan per hari), kecuali kontraindikasi karena insuffciency ginjal. EB: Bila dehidrasi, tubuh menyerap air penunjang dari tinja menghasilkan tinja kering, tinja yang keras yang sulit dikeluarkan (Sykes, 2006). g) Ajarkan klien untuk menanggapi segera dorongan untuk buang air besar. EB: studi relawan pada laki-laki ditemukan bahwa dorongan buang air besar dapat ditunda dan yang menunda buang air besar frekuensi gerakan ususnya menurun, berat tinja dan waktu untuk pengeluaran tinja (Klauser et al, 1990).

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Ayu 2007.doc
December 2019 23
Bab Ii.docx
December 2019 22
Bab I_2.pdf
December 2019 18