Bab Ii.docx

  • Uploaded by: Hengky Prima Duanda Putra
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,956
  • Pages: 25
1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru 1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberkulosis). Kuman masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara yang dihirup kedalam paru, kemudian menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, saluran pernafasan atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Notoatmodjo 2010, p.323). Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycrobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Suradi, dkk 2011, p.8). Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda sugestif TB. Gejala umum TB adalah batuk produktif lebih dari dua minggu yang disertai gejala pernapasan seperti sesak napas, nyeri dada, batuk darah dan / atau gejala tambahan seperti menurunnya nafsu makan, menurun berat badan, keringat malam dan mudah lelah (Kemenkes RI 2013, p.22). 2. Etiologi Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium Tuberkulosis, kuman ini berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan dan disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam

2

ditempat yang gelap dan lembab. Kuman ini dapat dormant dalam jaringan tubuh yaitu tertidur lama selama beberapa tahun (Depkes RI 2001, p.1).

3. Klasifikasi Penyakit a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi: 1) TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial.

Pasien

yang mengalami

TB

paru

dan

ekstraparu harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru. 2) TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. b. Klasifikasi pengobatan:

berdasarkan

riwayat

1) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan. 2) Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih. Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut: a) Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan b) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan. c) Kasus setelah putus obat adalah pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya

3

selama lebih dari 2 bulan berturut-turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan. c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis dan uji resistensi obat Semua pasien suspek / presumtif TB harus dilakukan pemeriksaan bakteriologis untuk mengkonfirmasi penyakit

TB. Pemeriksaan

bakteriologis merujuk pada pemeriksaan apusan dahak atau spesimen lain atau identifikasi M. tuberculosis berdasarkan biakan atau metode diagnostik cepat yang telah mendapat rekomendasi WHO (Xpert MTB/RIF) d. Klasifikasi berdasarkan status HIV1 1) Kasus TB dengan HIV positif 2) Kasus TB dengan HIV negative 3) Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui (Kemenkes RI 2013,p.23). 4. Faktor Risiko TB Paru Menurut Achmadi (2005) faktor risiko TB Paru ini meliputi: a. Kependudukan Kejadian penyakit TBC merupakan hasil interaksi antara komponen lingkungan yaitu udara yang mengandung basil TBC, dengan masyarakat serta dipengaruhi berbagai variabel yang mempengaruhinya. Variabel kependudukan yang memiliki peran dalam timbulnya penyakit TBC adalah: 1) Jenis Kelamin Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada lakilaki hamper 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada

4

wanita. Sebesar 59,4% kasus BTA+ yang ditemukan berjenis kelamin laki-laki dan 40,6% kasus berjenis kelamin perempuan (Kemenkes RI 2013, p.65).

2) Umur Insiden mengenai

tertinggi usia

Tuberkulosis

dewasa

muda.

paru biasanya Di

Indonesia

diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun.

kasus baru yang

ditemukan paling banyak pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 21,72% diikuti kelompok umur 35-44 tahun sebesar 19,38% dan pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar 19,26% (Kemenkes RI 2013, p.65). 3) Status Gizi Status gizi merupakan variabel yang sagnat berperan dalam timbulnya kejadian TBC. Oleh sebab itu, salah satu kekuatan daya tanggal adalah status gizi yang baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun dewasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup Kekurangan

gizi

pada

atau

lebih.

seseorang

akan

berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan

5

respon immunologik terhadap penyakit. Status gizi, ini merupakan faktor yang penting dalam timbulnya penyakit tuberculosis. 4) Keadaan Sosial Ekonomi WHO (2003) menyebutkan 90 % penderita TBC di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TBC bersifat timbal balik, TBC merupakan penyebab kemiskinan dan

karena miskin maka

manusia menderita TBC. Kondisi ekonomi tersebut tidak hanya berhubungan secara langsung, tetapi dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perubaham yang tidak sehat, juga

dan

akses

menurun

terhadap

elayanan kesehatan

kemampuannya.

Menurut

perhitungan, rata-rata penderita TBC kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilagna penghasilan setahun secara total mencapai 30 % dari pendapatan rumah tangga (Achmadi 2005,p.284). b. Faktor risiko lingkungan 1) Kepadatan Kepadatan merupakan pre-ruquisite, untuk proses penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit khusus penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu, kepadatan dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian

6

TBC. Sebuah penelitian di Ciampea, Jawa Barat menunjukkan bahwa risiko untuk mendapatkan TBC 1,3 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang meminuhi persyaratan kesehatan. 2) Lantai rumah Secara hipotetis, jenis lantai tanah memiliki peran terhadpa proses kejadian TBC, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantau tanah, cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian viabilitas kuman TBC di lingkungan juga sangat dipengaruhi. 3) Ventilasi Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Keringan manusia juga dikenal mempengaurhi kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan, kelembaban semakin tinggi. Ventilasi mempenaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman TBC dan kuman lain, terbawa keluar dan mati terkena sinar ultra violet. Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk masuknya cahaya ultra violet. Menurut persyaratan ventilasi yang baik adalah 10 % dari luas lantai. 4) Pencahayaan Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup, khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultraviolet, pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat beresiko 2,5 kali terkena TBC dibanding penghuni yang memenuhi persyaratan di Jakarta Timur. Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan, namun tentu tergantung jenis dan lama cahaya tersebut. 5) Kelembaban Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk TBC sehingga viabilitas lebih lama. Kelembaban berhubungan dengan kepadatan dan ventilasi.

7

6) Ketinggian Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lungkungan (Achmadi 2005, p.285). 5. Gejala-Gejala Tuberkulosis a. Gejala utama Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih. b. Gejala tambahan, yang sering dijumpai : 1) Dahak bercampur darah 2) Batuk darah 3) Sesak nafas dan rasa nyeri dada 4) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Depkes RI 2007, p.13). Batuk berdahak merupakan gejala utama dari seorang suspek TB Paru dan dapat dijumpai pada 95% dari semua pasien TB Paru BTA positif. Namun demikian, sebagian besar orang dengan batuk tidak selalu menderita TB. Banyak penyakit saluran nafas bagian bawah mempunyai gejala batuk yang lama. Sebab itu, pemeriksaan dahak pada semua orang dengan batuk tidaklah dianjurkan, karena hal ini dapat menyebabkan biaya yang sangat mahal dan membuang waktu. Hasil BTA positif sangatlah jarang pada anak dan orang dewasa dengan batuk kurang dari 2 minggu (PPTI 2011, p.1). 6. Cara Penularan 1) Sumber penularan adalah pasien TB BTA Positif 2) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan darah (Droplet nuclei) 3) Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan darah berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab

8

4) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut 5) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. 7. Risiko Menjadi Sakit TB a. Hanya sekitar 10 % yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB’ b. Dengan arti 1 %, diperkirakan antara 100.000 penduduk ratarata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10 % diantaranya akan menjadi sakit TB setiap tahun, sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif c. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (Depkes RI 2007, p.4). 8. Pengendalian TB Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri atas 7 strategi: a. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu. b. Menghadapi tantangan TB/HIV, TB resisten obat ganda, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya. c. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan dan swasta melalui pendekatan PublicPrivate Mix (PPM) dan menjamin kepatuhan terhadap International Standards for TB Care d. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB. e. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program pengendalian TB. f. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB. g. Mendorong

penelitian,

pengembangan

dan

informasi strategis (Kemenkes RI 2013, p.18). 9. Upaya Penanggulangan TB

pemanfaatan

9

Pada

awal

tahun

1990-an

WHO

dan

IUATLD

telah

mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara tepat menekan penularan, juga mencegah berkembanganya MDR-TB. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu : a. Komitmen politis b. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya c. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutue. e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan Target program penanggulangan TB adalah tercapainya penemuan pasien baru TB BTA Positif paling sedikit 70 % dari perkiraan dan menyembuhkan

85%

dari

semua

pasien

tersebut

serta

mempertahankannya (Depkes RI 2007, p.6).

B. Deteksi Dini TB Paru Penemuan kasus bertujuan untuk mendapakan kasus TB melalui serangkaian

kegiatan

mulai

dari

penjaringan

terhadap

suspek

TB,

pemeriksaan fisik dan laboratories, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Kegiatan penemuan pasien TB menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah : 1. Strategi penemuan

10

a. Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, Penemuan secara aktif pada masyarakat umum, dinilai tidak cost efektif. b. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap : a) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS) b) Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA positif. c) Pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB d) Kontak dengan pasien TB resistan obat

c. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. 2. Pemeriksaan dahak a. Pemeriksaan dahak mikroskopis Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

11

P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasilitas pelayanan kesehatan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium. b. Pemeriksaan Biakan Peran

biakan

dan

identifikasi

M.

Tuberkulosis

pada

pengendalian TB adalah untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu Pasien TB Ekstra Paru, Pasien TB Anak, Pasien TB BTA Negatif c. Uji Kepekaan Obat TB Bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan lulus pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk diagnosis pasien TB yang

memenuhi

kriteria

suspek

TB-MDR

(Kemenkes

RI

2011,p.11). Standar untuk diagnosis TB paru terdiri dari : Standar 1 : Penemuan gejala batuk produktif selama 2 – 3 minggu atau lebih, yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk Tuberkulosis Standar 2 : semua pasien diduga menderita TB paru dan mengeluarkan dahak harus dilakukan pemeriksaan mikroskopik dahak minimal 2 kdan sebaiknya 3 kali Standar 3 : Semua pasien diduga menderita TB ekstraparu, spesimen dari bagian tubuh

yang sakit diambil untuk pemeriksana

mikroskopik dan jika tersedia fasilitasi dan sumberdaya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi

12

Standar 4 : Semua orang dengan foto toraks diduga TB harus dilakukan pemeriksaan dahak secara mikrobiologi (Sudari, dkk 2011, p.14).

13

Sumber : Suradi dkk 2011, p.14 Skema 2.1 Alur Diagnosis TB Paru

C. Pengobatan TB Paru 1. Tujuan Pengobatan TB bertujuan untuk : a. Menyembuhkan,

mempertahankan

kualitas

hidup

produktivitas pasien b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan c. Mencegah kekambuhan TB

13

dan

14

d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain e. Mencegah

perkembangan

dan

penularan

resisten

obat

(Kemenkes RI 2013, p.28). 2. Tahap Pengobatan Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh. Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly observed Treatment Short Course) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu : a. Tahap intensif, penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT (Obat Anti Tuberkulosis), terutama rifampisin. b. Tahap lanjutan, penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama (Depkes RI 2007, p.21). Di Indonesia panduan yang di sediakan oleh program ada 3 macam yaitu : a. Kategori 1 (2HRZE / 4H3R3) Obat ini diberikan untuk penderita baru TBC paru BTA positif, penderita TBC paru BTA negatif rongent positif yang sakit berat dan penderita TBC ekstra paru berat. Panduan ini terdiri atas 2 fase, fase intensif dengan isoniazid (H), rifampicin (R), dan ethambutol (E) yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE) dan diteruskan dengan fase lanjutan yang terdiri dari isoniazid (H), rifampicin (R), dan diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3).

15

b. Kategori 2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3) Diberikan untuk penderita kambuh, penderita gagal, dan penderita dengan pengobatan setelah lalai. Panduan ini terdiri atas 2 fase yaitu 2 bulan fase awal intensif dengan isoniazid, rifampicin dan ethambutol, diminum setiap hari dan setelah selesai minum obat langsung diberi suntikan streptomycin disarana pelayanan kesehatan terdekat. Kemudian satu bulan lagi dengan HRZE diminum setiap hari tanpa suntikan setelah itu diteruskan dengan fase lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diminum 3 kali dalam seminggu. c. Kategori 3 (2HRZ / 4H3R3) Diberikan untuk penderita paru BTA negatif dan rongent positif sakit ringan, penderita ekstra paru ringan. Terdiri dari 2 fase yaitu 2 bulan fase intensif dengan HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ) dan diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4 H3R3) (Depkes RI, 2007, p.22) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan Kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan

16

dengan Kategori 2, hasil pemeriksaan dahak hasil BTA positif maka diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

3. Hasil Pengobatan a. Sembuh Bila penderita sudah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) paling sedikit 2 kali berturut- turut hasilnya negatif (pada AP dan atau sebulan setelah AP, dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya). b. Pengobatan lengkap Adalah penderita yang sudah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut – turut negatif. Seharusnya terhadap semua penderita BTA positif harus dilakukan pemeriksaan ulang dahak. c. Meninggal Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun. d. Pindah Adalah penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten / kota lain. e. Defaulted atau drop out

17

Adalah penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut – turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

f. Gagal 1) Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali positif sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan. 2) Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan kedua menjadi positif (Depkes RI 2007, p.30). 4. Dampak Putus Obat Pengobatan TB harus lengkap dan teratur sesuai dengan petunjuk sampai dinyatakan sembuh. Bila pasien berhenti menelan obat sebelum selesai pengobatan, akan beresiko : a. Penyakit tidak sembuh dan tetap menularkan ke orang lain b. Penyakit bertambah parah dan bisa berakibat kematian c. Kuman menjadi kebal/tidak mempan terhadap OAT lini pertama, sehingga pasien membutuhkan penanganan yang lebih mahal dan waktu lebih lama (Depkes RI 2009, p.29). D. Pendidikan Kesehatan tentang TB Paru 1. Pengertian Pendidikan kesehatan yaitu upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, himbauan,

18

ajakan, memberikan informasi, memberikan kesadaran dan sebagainya. Pendidikan kesehatan mengupayakan agar perilaku individu, kelompok atau masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharan dan peningkatan kesehatan. Dalam hal ini pendidikan kesehatan yang dimaksud adalah pemberian pendidikan kesehatan tentang penyakit TB paru dan deteksi dini TB paru (Notoatmodjo 2003, p.12). 2. Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan a. Ruang lingkup berdasarkan aspek kesehatan Ruang lingkup pendidikan kesehatan terdiri dari : 1. Pendidikan kesehatan pada aspek promotif, sasarannya adalah kelompok orang sehat yang kurang memperoleh perhatian dalam upaya kesehatan. 2. Pendidikan

kesehatan

penyembuhan, dilakukan yang

berisiko

pada

aspek

terhadap

pencegahan kelompok

dan

sasaran

tinggi, penderita penyakit kronis ataupun

kelompok pasien yang baru sembuh dari suatu penyakit b. Ruang lingkup pendidikan kesehatan berdasarkan tatanan pelaksanaan 1. Pendidikan kesehatan pada tatanan keluarga (rumah tangga) 2. Pendidikan kesehatan pada tatanan sekolah 3. Pendidikan kesehatan di tempat kerja 4. Pendidikan kesehatan di tempat-tempat umum

19

5. Fasilitas pelayanan kesehatan (Notoatmodjo 2010, p.38). 3. Batasan Pendidikan Kesehatan Hasil yang diharapkan dari suatu pendidikan kesehatan adalah perilaku untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang kondusif, yang mengandung dimensi berikut : a. Perubahan

perilaku,

yaitu

perubahan

perilaku

yang

tidak

sesuai dengan nilai-nilai kesehatan menjadi perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. b. Pembinaan perilaku, agar masyarakat yang sudah mempunyai perilaku

hidup

sehat

dipertahankan.Pengembangan untuk

tetap

dilanjutkan

perilaku,

terutama

atau ditujukan

membiasakan hidup sehat bagi anak-anak (Notoatmodjo

2003, p.16) 4. Sasaran Pendidikan Kesehatan Sasaran pendidikan kesehatan dapat dibedakan menjadi : a. Sasaran primer (primary target),

yaitu masyarakat pada

umumnya sesuai dengan permasalahan kesehatan, seperti masyarakat yang beresiko terhadap penyakit TB paru. b. Sasaran sekunder (secondary target), yaitu para tokoh masyarakat, tokoh agama,tokoh adat dan sebagainya yang diharapkan

untuk

selanjutnya

memberikan

kesehatan pada masyarakat disekitarnya.

pendidikan

20

c. Sasaran tersier (tertiary target), yaitu pembuat keputusan atay penentu kebijakan baik ditingkat pusat, maupun daerah, yang akan mempunyai dampak terhadap perilaku masyarakat (Notoatmodjo 2003, p.26). 5. Metode Pendidikan Kesehatan Menurut

Notoatmodjo

(2010)

metode

yang

dapat

dipergunakan dalam memberikan pendidikan kesehatan antara lain: a. Metode pendidikan individual (perorangan), antara lain bimbingan dan pendidikan, wawancara b. Metode pendidikan kelompok 1) Kelompok besar, metode yang digunakan adalah ceramah dan seminar 2) Kelompok kecil, metode yang digunakan berupa diskusi kelompok, curah pendapat, bola salju, kelompokkelompok kecil, memainkan peranan dan permainan simulasi c. Metode pendidikan massa, antara lain ceramah umum, pidato/diskusi kesehatan melalui media, simulasi, sinetron, tulisan-tulisan di majalah/koran, dan billboard (Notoatmodjo 2010, p.40) 6. Media Pendidikan Kesehatan

21

Yaitu

alat

yang

digunakan

oleh

pendidik

dalam

menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran. Elgar Dale membagi media pendidikan kesehatan menjadi 11 macam, dan sekaligus menggambarkan tingkat intensitas

tiap-tiap

alat

tersebut,

sebagaimana terlihat pada gambar berikut:

Gambar 2.1 Tingkat Intensitas Media Pendidikan Kesehatan

Keterangan : 1) Kata-kata; 2) Tulisan; 3) Rekaman, radio; 4) Film; 5) Televisi; 6) Pameran; 7) Field trip; 8) Demonstrasi; 9) Sandiwara; 10) Benda tiruan dam11) Benda asli (Notoatmodjo 2003, p.63). Manfaat dari alat peraga antara lain : a. Menimbulkan minat sasaran pendidikan b. Mencapai sasaran yang lebih banyak c. Membantu pemahaman

dalam

mengatasi

banyak

hambatan

dalam

22

d. Merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesanpesan yang diterima kepada orang lain e. Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan f. Mendorong keinginan untuk mengetahui, kemudian lebih mendalami dan akhirnya mendapatkan pengertian yang lebih baik g. Membantu

menegakkan

pengertian

yang

diperoleh

(Notoatmodjo 2003, p.64). Berdasarkan fungsinya sebagai penyalur pesan-pesan kesehatan, media pendidikan kesehatan terbagi 3, yaitu : 1) Media cetak, terdiri dari booklet (buku), leaflet (lembaran yang dilipat), flyer (selebaran), flipchart (lembar balik), rubrik atau tulisan-tulisan pada surat kabar, poster, dan foto. 2) Media elektronik, terdiri dari televisi, radio, video, slide, dan film strip 3) Media

papan

(billboard),

berupa

papan

berisi

pesan/informasi kesehatan yang dipasang di tempat umum (Notoatmodjo 2003, p.71). E. Perubahan Perilaku melalui Proses Belajar dalam Pendidikan Kesehatan 1. Pengertian

23

Belajar pada hakikatnya adalah penyempurnaan potensi atau kemampuan pada organisme biologis dan psikis yang diperlukan dalam hubungan manusia dengan dunia luar dan hidup bermasyarakat. Pendidikan kesehatan juga merupakan proses pendidikan yang tidak lepas dari proses belajar karena didalamnya terdapat ciri-ciri dari kegiatan belajar itu sendiri, yaitu : a. Terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dapat mengerjakan sesuatu menjadi dapat mengerjakan sesuatu b. Perubahan tersebut pada pokoknya didapatkan karena kemampuan baru yang berlaku untuk waktu yang relatif lama c. Perubahan-perubahan itu terjadi karena usaha, bukan karena proses kematangan (Notoatmodjo 2003, p.39). 2. Beberapa Teori Proses Belajar a. Teori stimulus-respons Belajar adalah mengambil tanggapan-tanggapan dan menggabungkan tanggapan dengan jalan mengulang-ulang. Tanggapan tersebut diperoleh melalui pemberian stimulus atau rangsangan. Makin banyak dan sering diberikan stimulus, maka makin memperkaya tanggapan pada subjek belajar. Teori ini tidak memperhitungkan faktor internal yang terjadi pada diri subjek belajar. b. Teori transformasi

24

Metode pengajaran dalam teori ini terdiri dari : 1) Teori gestalt, dalam peristiwa belajar keseluruhan nsituasi belajar amat pentign karena belajar merupakan interaksi antara subjek belajar dengan lingkungannya. Dalam teori ini, seseorang dikatakan belajar apabila ia memperoleh pemahaman (insight) dalam situasi yang problematis. Pemahaman tersebut ditandai dengan adanya : a) Suatu perubahan yang tiba-tiba dari keadaan yang tak berdaya menjadi keadaan yang mampu menguasai atau memecahkan masalah atau problem b) Adanya retensi yang baik c) Adanya peristiwa transfer, dimana pemahaman ditransfer kedalam situasi lain yang mempunyai pola atau struktur yang sama atau hampir sama secara keseluruhan (bukan detailnya). 2) Teori belajar menghafal dan mental disiplin. Menghafal adalah usaha mengumpulkan pengetahuan melalui pembeoan untuk kemudian digunakan bilamana perlu. 3) Teori asosiasi. Menurut teori ini belajar adalah mengambil tanggapan-tanggapan dan menggabungkan tanggapan dengan jalan mengulang-ulangnya (Notoatmodjo 2003, p.41).

25

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar a. Materi, yaitu materi atau hal yang dipelajari b. Lingkungan, yaitu lingkungan fisik (suhu, kelembaban udara dan kondisi tempat belajar), dan lingkungan sosial (keramaian atau kegaduhan, lalu lintas, pasar dan sebagainya. c. Instrumental, terdiri dari perangkat keras (alat-alat peraga) dan perangkat lunak (fasilitator dan metode belajar). Untuk belajar pengetahuan lebih baik digunakan metode ceramah, sedangkan untuk belajar sikap, tindakan, keterampilan atau demonstrasi, bermain peran atau metode permainan. d. Individual subjek belajar, terdiri dari kondisi fisiologis seperti kekurangan gizi dan kondisi panca indra terutama pendengaran dan penglihatan. Sedangkan kondisi psikologis misalnya integensi, pengamatan, daya tangkap, ingatan, motivasi dan lain sebagainya (Notoatmodjo 2007, p.50). F. Kerangka Teori Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disusun kerangka teori penelitian sebagai berikut :

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Skripsi Hengky2.docx
November 2019 11
Ppt Ina.pptx
May 2020 10
Bab Ii.docx
May 2020 11
Ppt Ina.pptx
May 2020 3