6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
KONSEP MEDIS DIABETES MELITUS
1. Pengertian Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Yuliana Elin, 2009). Diabetes Melitus merupakan kondisi kronis yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa darah disertai munculnya gejala utama yang khas, urine yang berasa manis dalam jumlah yang besar (Bilous dan Donelly, 2014). Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah (M. Clevo Rendi & Margareth, 2012). 2. Klasifikasi Diabetes Melitus Menurut Bilous dan Donelly (2014), klasifikasi Diabetes Melitus dibagi tiga kategori, yaitu : a. Diabetes Melitus Tipe I, IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus). Diabetes Melitus Tipe I disebabkan oleh penghancuran sel pulau pankreas.
7
b. Diabetes Melitus Tipe II, NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus). Diabetes Melitus Tipe II, disebabkan oleh kombinasi resistansi insulin dan disfungsi sekresi insulin sel ß. c. Diabetes gestasional Diabetes yang terjadi pertama kali saat kehamilan. 3. Etiologi Diabetes Melitus Menurut M. Clevo Rendi & Margareth (2012), etiologi diabetes melitus digolongkan menjadi : a. Diabetes Melitus TIPE I (IDDM/ Insulin Dependent Diabetes Melitus) 1) Faktor genetik Penderita Diabetes Melitus tidak mewarisi Diabetes Tipe I itu sendiri namun mewarisi suatu predeposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya Diabetes Tipe I. Kecenderungan genetika ditentukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu. 2) Faktor imun Pada Diabetes Melitus Tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun, ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing. 3) Faktor lingkungan Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pankreas, sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin
8
tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel β pankreas. b. Diabetes Melitus TIPE II (NDDM) Penyebab dari Diabetes Melitus Tipe II belum diketahui secara pasti, faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Diabetes Melitus tak tergantung insulin (DMTII)
penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. Faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya Diabetes Melitus Tipe II, diantaranya adalah : 1) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun) 2) Obesitas 3) Riwayat keluarga 4) Kelompok etnik 5) Diabetes Gestasional 4. Manifestasi klinis Diabetes Melitus Menurut NANDA (2015), yang disarikan dari pendapat Price and Wilson, manifestasi klinis pada pasien Diabetes Melitus adalah: a. Kadar gula darah puasa tidak normal. b. Hiperglikemi berat akibat glukosaria yang akan menjadi dieresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). c. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia), berat badan berkurang pada Diabetes Melitus Tipe I, sedangkan pada Diabetes Melitus Tipe II berat badan bertambah cenderung obesitas.
9
d. Lelah dan mengantuk. e. Gejala lain yang dikeluhkan adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi dan peruritas vulva. 5. Patofisiologi Diabetes Melitus Menurut M. Clevo Rendi & Margaret (2012) Ibarat suatu mesin, tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat berfungsi dengan baik. Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari bahan makanan yang kita makan setiap hari. Bahan makanan tersebut terdiri dari unsur karbonhidrat, lemak, dan protein. Keadaan normal kurang lebih 50% glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 10% menjadi glikogen dan 20% sampai 40% diubah menjadi lemak. Pada Diabetes Melitus semua proses tersebut terganggu karena terdapat defisiensi insulin.
Penyerapan glukosa
kedalam sel macet dan metabolismenya terganggu. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa tetap berada dalam sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia. Akibat hiperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan jaringan. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangrene (M. Clevo Rendi & Margareth, 2012). Penyakit Diabetes Melitus disebabkan oleh gagalnya hormon insulin. Akibatnya kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan menjadi hiperglikemi.
10
Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak dapat menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam
darah.
Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra sellurel, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehinga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbonhidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Terlalu banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi penumpukan asetat dalam darah yang menyebabkan keasaman darah meningkat atau asidosis. Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga tubuh berusaha mengeluarkan dari urine dan pernapasan, akibatnya bau urine dan napas penderita berbau aseton atau bau buah-buahan. Keadaan asidosis ini apabila tidak segera diobati akan terjadi koma yang di sebut koma diabetik.
11
6. Pathway Diabetes Melitus Genetik, Usia, Pola hidup DM Tipe I
DM Tipe II
Reaksi Autoimun
Idiopatik, Usia, Genetik, dll
Sel β Pancreas Hancur
Jumlah Sel β Pancreas Menurun Defisiensi Insulin
Katabolisme Protein Lipolisis Meningkat Meningkat Kerusakan pada antibodi Penurunan BB Polipagi Kekebalan tubuh menurun Gliserol Asam Lemak bebas Neuropati sensori perifer meningkat
Hiperglikemia
Klien tidak merasa sakit Nekrosis luka Glukosuria
Ganggrene
Kerusakan Integritas Kulit
Ketogenesis
Glukoneogenesis meningkat
Diuresis Osmotik
Kehilangan Elektrolit Urine
Kehilangan Cairan Hipotonik Polidipsi
Hiperosmolaritas
Ketoasidosis
Gambar 2.1 Pathway Diabetes Melitus (Sumber 1 : M. Clevo Rendi & Margareth, 2012 ) (Sumber 2 : NANDA & NIC-NOC, 2015)
Ketonuria
12
7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Menurut Bilous dan Donelly (2014), penatalaksanaan pada penderita Diabetes Melitus dibagi menjadi dua yaitu : penatalaksanaan medis/farmakologi dan penatalaksanaan non farmakologi. a.
Penatalaksanaan medis terdiri dari : 1) Terapi oral Terapi penurunan glukosa dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu : a) Untuk meningkatkan sekresi insulin 1) Sulfonilurea
(Glikazida,
Glimmeperida,
Glipizida,
dan
Glibenklamida) 2) Miglitinida ( Repaglinida dan Nateglinida) 3) Inhibitor DPP-4 (Sitagliptin, Vidagliptin, Saksagliptin, dan Alogliptin) b) Untuk meningkatkan sensitivitas insulin perifer dan hepatik 1)
Biguanida (Metformin)
2) Glitazon (Pioglitazon dan Rosiglitazon) 2) Terapi suntikan insulin Insulin
dapat
diberikan
sebagai
terapi
tunggal
atau
dikombinasikan dengan agens oral, seperti metformin dan pioglitazon (atau keduanya). Adapun cara pemberian suntikan insulin melalui subkutan. Tempat suntikan yang sering dipakai ada 3 yaitu ; dinding perut (Abdomen), lengan, dan paha.
13
b.
Penatalaksanaan nonfarmakologi 1) Penyesuaian diet dan gaya hidup Terapi ini terdiri dari membatasi asupan karbohidrat dan lemak, sering berolahraga, dan menghentikan kebiasaan merokok. Tujuan utama terapi ini adalah untuk menurunkan berat badan pasien obesitas dan meningkatkan kontrol glikemik. Selain itu, terapi dilakukan untuk mengurangi
faktor
resiko
penyakit
kardiovaskular
terutama
menurunkan tekanan darah dan kolesterol. 2) Program pendidikan kesehatan terstruktur Studi klinis menunjukkan bahwa program pendidikan terstruktur dan berfokus pada perubahan perilaku mampu mendukung pasien yang baru didiagnosis Diabetes Melitus untuk memulai perubahan gaya hidup yang efektif dan bertahan lama. 8. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang pada klien dengan diabetes mellitus Tipe II menurut Wijaya dan Putri (2013) meliputi : a. Kadar Glukosa darah 1) Glukosa darah sewaktu/random > 200 mg/dl. 2) Glukosa darah puasa/nuchter > 140 mg/dl. 3) Gula darah 2 jam PP (post prandial) > 200 mg/dl. b. Aseton plasma Hasil positif (+) mencolok. c. Asam lemak bebas peningkatan lipid dan kolesterol. d. Osmolaritas serum (> 330 osm/I). e. Urinalisis menunjukkan proteinuria, ketonuria, glukosuria.
14
9. Komplikasi Beberapa komplikasi yang dapat muncul pada Diabetes Melitus menurut M. Clevo Rendi & Margaret (2012) antara lain : a.
Akut 1) Hipoglikemiea atau hiperglikemia. 2) Penyakit makrovaskular : mengenai pembuluh darah besar, penyakit jantung koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler). 3) Penyakit mikrovaskuler : mengenai pembuluh darah kecil (retinopati dan nefropati). 4) Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstremitas), saraf otonom berpengaruh pada gastrointestinal, kardiovaskuler.
b.
Komplikasi menahun Diabetes Melitus 1) Neuropati diabetik Kerusakan saraf sebagai komplikasi serius akibat Diabetes Melitus, yang pada umumnya terjadi pada kaki. 2) Retinopati diabetik Kerusakan pada pembuluk darah retina akibat komplikasi dari Diabetes Melitus yang dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan. 3) Nefropati diabetik Komplikasi Diabetes Melitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal kronik.
15
4) Proteinuria Suatu kondisi dimana terlalu banyak protein dalam urine yang dihasilkan dari adanya kerusakan ginjal. 5) Kelainan koroner Suatu kondisi yang terjadi ketika pembulah darah utama yang menyuplai darah kejantung mengalami penyumbatan. 6) Ulkus Luka terbuka pada permukaan kulit (hilangnya lapisan epidermis dan dermis) atau selaput lendir. Ulkus biasanya mempunyai ukuran yang bervariasi, cekung, dan disertai kematian jaringan.
B.
KONSEP KERUSAKAN INTEGRITAS KULIT
1. Pengertian Kulit adalah organ terbesar tubuh, membentuk 15% dari seluruh berat badan (Wysocky, 2007). Kulit terdiri dari dua lapisan utama, yaitu epidermis dan dermis (Potter and Perry,2013). Kulit memiliki fungsi proteksi, sebagai pusat sebagai tempat sintetis vitamin D, sebagai sistem termoregulasi tubuh, dan sebagai ekresi tubuh (Arisanty, 2013). Setiap kulit memiliki resiko kerusakan yang disebabkan faktor mekanis, bahan kimia, vaskular, alergi, inflamasi, penyakit sistemik, dan luka bakar (Arisanty, 2013). Luka adalah gangguan integritas dan fungsi jaringan pada tubuh (Baharetani, 2004) Kerusakan integritas kulit adalah kerusakan pada epidermis dan/atau dermis (NANDA, 2015)
16
2. Anatomi fisiologi kulit Menurut Arisanty (2013), kulit terbagi menjadi dua lapisan utama yaitu lapisan epidermis dan lapisan dermis. Beberapa referensi lainnya menyebutkan bahwa hipodermis menjadi bagian dari kulit sehingga kulit terdiri atas tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan hypodermis (subkutis).
Gambar 2.2 Anatomi Kulit (Sumber : Arisanty, 2013)
3. Fungsi Kulit Secara fisiologis, menurut Arisanty (2013) kulit memiliki fungsi utam antara lain : a. Fungsi proteksi Kulit memiliki fungsi proteksi terhadap bahan kimia, bakteri, dan virus patogen. b. Sebagai pusat sensasi Sensasi terhadap rasa sakit, sentuhan, tekanan, dan suhu. c. Sebagai tempat sintetis vitamin D Terjadi di kulit dengan bantuan sinar matahari, yaitu merubah sterol menjadi kolekalsiferol (vitamin D).
17
d. Sebagai sistem termogulasi tubuh Termogulasi pada kulit memiliki mekanisme primer, yaitu melalui sirkulasi dan keringat. Sirkulasi pada kulit merupakan kegiatan reaksi vasodilatasi dan vasokontriksi pada pembuluh darah dermis dan hypodermis. Pada saat vasodilatasi, terjadi reaksi pelepasan panas melalui konduksi, konversi, radiasi, dan evaporasi. Pada saat vasokontriksi, terjadi reaksi fisik seperti rambut, perifer menjadi dingin dan pucat. Kelenjar keringat yang sangat berperan pada fungsi termogulasi adalah kelenjar keringat apokrin yang mengeluarkan cairan insensible dan sensible dari tubuh. Kegiatan ini dapat mempertahankan suhu dalam tubuh. e. Sebagai ekresi tubuh Ekresi tubuh terjadi hasil keluaran keringat. Keringat ini menghasilkan 99% air, natrium, klorida, urea, sulfat, dan fosfat. 4. Etiologi Menurut NANDA (2015) penyebab kerusakan integritas kulit adalah: a. Eksternal 1) Agen farmaseutikal. 2) Cedera kimiawi kulit (misal; luka bakar, kapsaisin, metilen klorida, dan agen mustard). 3) Faktor mekanik (misal; daya gesek, tekanan, imobilitas fisik). 4) Hipertemia. 5) Hipotermia. 6) Kelembapan. 7) Lembab.
18
8) Terapi radiasi 9) Usia ekstrem. b. Internal 1) Gangguan metabolisme. 2) Gangguan pigmentasi. 3) Gangguan sensasi
(akibat
cedera medulla spinalis,
diabetes
melitus,dan lain lain). 4) Gangguan sirkulasi. 5) Gangguan turgor kulit. 6) Gangguan volume cairan. 7) Imunodefisiensi. 8) Nutrisi tidak adekuat. 9) Perubahan hormonal. 10) Tekanan pada tonjolan tulang 5. Penatalaksanaan kerusakan integritas kulit a.
Penatalaksanaan medis Menurut Potter and Perry (2010) penatalaksanaan medis pada kerusakan
integritas
yaitu
dengan
tindakan
insisi
pembedahan
(debridement). Menurut Arisanty (2013) penatalaksanaan medis pada kerusakan integritas kulit yang mengalami infeksi yaitu dengan pemberian antimikroba/antiseptik dan antibiotik.
19
b.
Penatalaksanaan keperawatan Menurut NANDA (2012) penatalaksanaan keperawatan pada kerusakan integritas kulit meliputi : 1) Pengkajian : a) Kaji fungsi alat – alat. b) Perawatan area insisi. c) Inspeksi luka setiap mengganti balutan. d) Kaji luka terhadap karakteristik berikut:. 1) Lokasi, luas dan kedalaman luka. 2) Adanya dan karakter eksudat, termasuk kekentalan, warna dan bau. 3) Ada atau tidaknya granulasi atau epitelialisa. 4) Ada atau tidaknya jaringan nekrotik. 5) Ada atau tidaknya tanda infeksi luka setempat. 6) Ada atau tidaknya perluasan luka ke jaringan dibawah kulit.
2) Aktivitas Lain : a) Evaluasi tindakan pengobatan atau pembalutan topikal. b) Lakukan perawatan luka dan perawatan kulit secara rutin. c) Bersihkan dan balut luka area insisi pembedahan menggunakan prinsip steril atau tindakan asepsis medis. d) Perawatan Luka. e) Lakukan perawatan pada area infusi IV, jalur Hickman, atau jalur vena sentral jika diperlukan. f) Lakukan masase di area sekitar luka untuk merangsang sirkulasi.
20
C. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES MELITUS TIPE II Asuhan keperawatan pasien pada Diabetes Militus Tipe II terdiri dari : 1. Pengkajian Menurut NANDA (2015), pengkajian adalah langkah pertama yang paling penting dalam proses keperawatan. Jika langkah ini tidak ditangani dengan baik, perawat akan kehilangan kontrol atas langkah-langkah selanjutnya dari proses keperawatan. Tanpa pengkajian keperawatan yang tepat, tidak ada diagnosis keperawatan, tidak ada tindakan keperawatan mandiri. Adapun data yang diperoleh pada pengkajian meliputi : a. Data biografi 1) Identitas pasien. Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, suku bangsa, tanggal pengkajian, tanggal masuk, diagnosa medis, dan nomor medical record (M. Clevo Rendi & Margareth, 2012). 2) Identitas penanggung jawab Meliputi tentang data penanggung jawab yaitu : nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, pendidikan, pekerjaan, dan hubungan dengan pasien (M. Clevo Rendi & Margareth, 2012). 3) Keluhan Utama Yang sering menjadi keluhan utama pada pasien Diabetes Melitus biasanya adalah poliuria, polidipsia, poliphagia, lemah, kesemutan, visus menurun, bisul/luka (M. Clevo Rendi & Margareth, 2012). b. Riwayat Keperawatan
21
1) Riwayat penyakit sekarang Pada pasien diabetes Melitus biasanya mengeluhkan lemas, menurunnya berat badan, meningkatnya nafsu makan, sering haus, banyak kencing, serta menurunnya ketajaman penglihatan (Wijaya, 2013). 2) Riwayat kesehatan dahulu Pada pasien Diabetes Melitus biasanya memiliki riwayat penyakit penyakit Diabetes Melitus (Wijaya, 2013). 3) Riwayat kesehatan keluarga Pada pasien Diabetes Melitus biasanya ada anggota keluarga yang menderita penyakit Diabetes Melitus karena penyakit Diabetes Melitus ini termasuk penyakit yang menurun (Wijaya, 2013). 4) Riwayat psikososial Pada pasien Diabetes Melitus sering kali cemas karena trauma yang dialaminya serta karena penyakit Diabetes Melitus membutuhkan perawatan yang lama sehingga klien pasrah dengan penyakitnya (Wendy, 2016). 5) Riwayat spiritual Pada klien dengan Diabetes Melitus biasanya meyakini dan percaya pada Tuhan dan tetap berdoa untuk bisa sembuh (M. Clevo Rendi & Margareth, 2012) 6) Pola aktivitas sehari hari a) Pola aktivitas dan latihan Pada klien dengan Diabetes Melitus biasanya aktivitas seharihari banyak dibantu orang lain (M. Clevo Rendi & Margareth, 2012).
22
b) Pola Nutrisi Pada klien dengan Diabetes Melitus biasanya klien selalu merasa lapar (M. Clevo Rendi & Margareth, 2012). c) Pola eliminasi Pada klien dengan Diabetes Melitus biasanya sering kencing (Wendy, 2016). d) Pola Tidur Pada klien dengan Diabetes Melitus biasanya tidak ada gangguan tidur (M. Clevo Rendi & Margareth, 2012). c. Data dasar keperawatan 1) Pengkajian fisik pasien a) Keadaan umum Pasien dengan Diabetes Melitus biasanya composmentis (M. Clevo Rendi & Margareth, 2012). b) Tanda-tanda vital Pada klien Diabetes Melitus biasanya tekanan darah meningkat, nadi normal, respirasi normal, suhu normal (Wendy, 2016). c) Kepala Pada klien Diabetes Melitus biasanya tidak ditemukan kelainan (Wendy, 2016) d) Mata Pada klien Diabetes Melitus biasanya mengalami penurunan penglihatan (Wendy, 2016). e) Hidung
23
Pada klien Diabetes Melitus biasanya bentuk hidung simetris, penciuman baik dan tidak terdapat cuping hidung (Wendy, 2016) f) Telinga Pada klien Diabetes Melitus biasanya bentuk telinga simetris dan fungsi pendengaran baik (Dewi, 2016). g) Mulut Pada klien Diabetes Melitus biasanya bentuk bibir simetris dan membran mukosa lembab (Dewi, 2016) . h) Leher Pada klien Diabetes Melitus biasanya tidak ditemukannya pembesaran tiroid, pembesaran kelenjar getah bening, dan peninggian vena jugularis (Dewi, 2016). i) Dada Pemeriksaan fisik ditemukan bunyi nafas vesikuler dan bunyi jantung reguler dengan bentuk dada simetris dan tidak terdapat benjolan maupun lesi (Dewi, 2016). j) Abdomen Pemeriksaan fisik ditemukan turgor kulit abdomen elastis, bising usus normal, dan tidak ada nyeri tekan (Dewi, 2016). k) Ektremitas Pada pasien Diabetes Melitus biasanya ada penurunan kekuatan otot atau kelemahan dan kram otot (Wendy,2016)
24
l) Genetalia Pada genetalia dan anus tidak terdapat lesi, masa maupun pembengkakan (Wendy, 2016). m) Kulit Pada pasien Diabetes Melitus bila mengalami luka sulit sembuh, sehingga menimbulkan ganggren (Wendy, 2016). 2. Diagnosa Keperawatan Menurut NANDA (2015), diagnosa keperawatan merupakan sebuah label singkat yang menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-masalah aktual atau potensial atau diagnosis sejahtera. Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan Diabetes Melitus menurut NANDA (2015), adalah kerusakan integritas kulit. 3. Perencanaan / Intervensi Keperawatan Menurut NIC (2015), intervensi keperawatan merupakan tindakan yang berdasarkan kondisi klinik dan pengetahuan yang dilakukan perawat untuk membantu pasien mencapai hasil yang diharapkan. Rencana keperawatan yang muncul menurut NIC NOC (2015), berdasarkan diagnosa keperawatan kerusakan integrasi kulit adalah sebagai berikut : a. Nursing outcome classification (NOC) 1) Tissue Integrity : skin and mocous membranes 2) Hemodyalis akses
25
Kriteria hasil: 1) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi). 2) Tidak ada luka/lesi pada kulit. 3) Perfusi jaringan baik. 4) Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang. 5) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit dan perawatan alami. b. Nursing invertention classification (NIC) Pengecekan kulit 1) Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan adanya kemerahan, kehangatan ekstrim, edema, atau drainase. 2) Amati warna, kehangatan, bengkak, pulsasi, tekstur, edema, dan ulserasi ektremitas. 3) Periksa kondisi luka operasi dengan tepat. 4) Gunakan alat pengkajian untuk identifikasi pasien yang beresiko mengalami kerusakan kulit (misal, Skala Braden). 5) Monitor warna dan suhu kulit. 6) Monitor kulit untuk adanya ruam dan lecet. 7) Monitor kulit unyuk adanya kekeringan yang berlebihan dan kelembapan. 8) Monitor sumber tekanan dan gesekan. 9) Monitor infeksi terutama dari daerah edema. 10) Periksa pakaian yang terlalu ketat.
26
11) Dokumentasikan perubahan membran mukosa. 12) Lakukan langkah-langkah untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (misalnya; melapisi kasur, menjadwalkan reposisi). Perawatan Luka 1) Angkat balutan dan plester perekat. 2) Cukur rambut di sekitar daerah yang terkena sesuai kebutuhan. 3) Monitor karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran, dan bau. 4) Ukur luas luka yang sesuai. 5) Singkirkan benda-benda yang tertanam pada luka (misalnya; serpihan, kuku, kaca, kerikil, logam). 6) Tempatkan area yang terkena pada air yang mengalir dengan tepat. 7) Berikan rawatan insisi pada luka yang diperlukan. 8) Berikan perawatan ulkus pada kulit yang diperlukan. 9) Oleskan salep yang sesuai dengan jenis luka. 10) Berikan balutan luka sesuai kebutuhan. 11) Perkuat balutan luka sesuai kebutuhan. 12) Pertahankan tehnik balutan steril ketika melakukan perawatan luka dengan tepat. 13) Ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan drainase. 14) Monitor tanda dan gejala infeksi di area luka. 15) Periksa luka setiap kali perubahan balutan. 16) Bandingkan dan catat setiap perubahan luka. 17) Posisikan untuk menghindari menempatkan ketegangan pada luka dengan tepat.
27
18) Reposisi pasien setidaknya setiap 2 jam dengan tepat. 19) Dorong cairan yang sesuai. 20) Rujuk pada praktisi ostomy dengan tepat. 21) Rujuk pada ahli diet dengan tepat. 22) Beri Unit TENS (stimulasi saraf transkutan listrik) untuk meningkatkan penyembuhan luka. 23) Tempatkan alat-alat untuk mengurangi tekanan (yaitu; tempat tidur isi udara, busa, atau kasur gel; bantalan tumit dan siku, bantal kursi) dengan tepat. 24) Bantu pasien dan keluarga untuk mendapatkan pasokan. 25) Anjurkan pasien dan keluarga mengenai cara penyimpanan dan pembuangan balutan pasokan/suplai. 26) Anjurkan pasien dan anggota keluarga pada prosedur perawatan luka. 27) Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengenal tanda dan gejala infeksi. 28) Dokumentasikan lokasi luka, ukuran, dan tampilan. Perawatan luka tekan 1) Catat karakteristik luka tekan setiap hari, meliputi ukuran (panjang x lebar x dalam), tingkatan luka (I-IV), lokasi, eksudat, granulasi atau jaringan nekrotik, dan epitelasi. 2) Monitor warna, suhu, udem, kelembapan, dan kondisi area sekitar luka. 3) Jaga agar luka tetap lembab untuk memantau proses penyembuhan. 4) Berikan pelembab yang hangat di sekitar area luka untuk meningkatkan perfusi darah dan suplai oksigen. 5) Bersihkan kulit sekitar luka dengan sabun yang lembut dan air.
28
6) Lakukan debridement jika diperlukan. 7) Bersihkan luka dengan cairan yang tidak berbahaya, lakukan pembersihan dengan gerakan sirkuler dari dalam keluar. 8) Gunakan jarum suntik ukuran 19 an suntika 35 untuk membersihka luka dalam. 9) Cata karakteristik cairan luka. 10) Pasang balutan adesif yang elastik pada luka, jika memungkinkan. 11) Berikan saline untuk menggosok jika diperlukan. 12) Berikan salep jika dibutuhkan. 13) Lakukan pembalutan dengan tepat. 14) Berikan obat-obat oral. 15) Monitor tanda dan gejala infeksi di area luka. 16) Ubah posisi setiap 1 sampai 2 jam sekali, untuk mencegah penekanan. 17) Gunakan tempat tidur khusus anti dekubitus. 18) Gunakan alat-alat pada tempat tidur untuk melindungi pasien. 19) Yakinkan asupan nutrisi yang adekuat. 20) Monitor status nutrisi. 21) Pastikan bahwa pasien mendapat diit tinggi kalori tinggi protein. 22) Ajarkan pasien dan keluarga akan adanya kulit pecah-pecah. 23) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai perawatan luka. 24) Fasilitasi pasien agar dapat berkonsultasi dengan perawat ahli luka jika dibutuhkan.