BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gagal Ginjal Kronik 1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik Gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukkan sisa metabolik (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin Arif, 2011). Sedangkan menurut Black (2014), GGK adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme, gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis, hipertensi yang tidak terkontrol, lesi dan gangguan pada vaskuler, infeksi, medikasi atau agen toksik (Smeltzer & Bare, 2013). Menurut data dari Indonesia Renal Registry (IRR), penyebab pasien GGK yang menjalani hemodialisis baru dari data tahun 2015 didapatkan sebagai berikut, (Glumerulopati Primer/GNC) 8%, (Nefropati Diabetika) 22%, (Nefropati Lupus/SLE) 1%, (Penyakit Ginjal Hipertensi) 44%, (Ginjal Polikistik) 1%, (Nefropati Asam urat) 1%, (Nefropati obstruksi) 5%, (Pielonefritis kronik/PNC) 7%, dan (Lain-lain) 8%, (Tidak Diketahui) 3%. Faktor resiko terjadinya gagal ginjal adalah diabetes
10
11
mellitus, infeksi, adanya riwayat penyakit ginjal pada keluarga dan usia lanjut serta gaya hidup. Penyakit GGK didalam perkembangannya biasanya tidak menimbulkan gejala, sehingga membuat pengidap penyakit ini tidak menyadari gejalanya hingga stadium lanjut (Sudoyo, 2007). Stadium awal penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya cadangan ginjal (renal reverse) dimana basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal atau malah meningkat dan dengan perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif ditandai adanya peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, masih belum ada keluhan atau asimptomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pasien yang LFG nya sebesar 30% mulai timbul keluhan seperti nokturia, lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan dan setelah terjadi penurunan LFG dibawah 30% terjadi gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan juga mudah terjadi infeksi pada saluran perkemihan, pencernaan dan pernafasan, terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu hipovolemia, hipervolemia, natrium dan kalium. LFG kurang dari 15% bisa dikatakan sebagai stadium gagal ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang lebih berat atau gagal ginjal terminal dan memerlukan terapi penggantian ginjal (renal replacement therapy) antara lain hemodialisa atau transplantasi ginjal (PERNEFRI, 2014). Menurut Smeltzer & Bare (2013), penatalaksanaan pasien gagal ginjal kronik antara lain: penatalaksanaan konservatif (meliputi pengaturan diet
12
cairan dan garam, memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, mengendalikan hipertensi, penanggulangan asidosis, pengobatan neuropati, deteksi, dan mengatasi komplikasi). Penatalaksanaan pengganti diantaranya dialisa (hemodialisa, peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal, tetapi yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah hemodialisa dengan persentase 82 % (PERNEFRI, 2012). B. Hemodialisa 1. Definisi Hemodialisa Penatalaksanaa gagal ginjal kronik dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya diet, pembatasan cairan, obat-obatan, terapi pengganti ginjal seperti transplantasi ginjal dan hemodialis. Hemodialisa merupakan suatu proses yang dilakukan pada pasien gagal ginjal stadium akhir yang membutuhkan terapi jangka panjang atau permanen dengan suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari darah seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat dan zat-zat lain melalui membran semipermeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi (Haryono, 2013). Difusi merupakan pergerakan dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi menuju ke konsentrasi rendah. Osmosis merupakan pengeluaran cairan yang berlebihan dari dalam tubuh dengan cara menciptakan gradient tekanan, dimana cairan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Ultrafiltrasi merupakan penambahan tekanan negatif pada mesin dialisis,
13
tekanan negatif dapat diterapkan pada alat sebagai kekuatan penghisap pada membrane dan memfasilitasi pengeluaran air (Smltzer & Bare, 2013). Pasien GGK yang menjalani tindakan hemodialisa akan menurunkan resiko kerusakan organ-organ vital lainnya akibat akumulasi zat toksik dalam sirkulasi, tetapi tindakan hemodialisa tidak menyembuhkan atau mengembalikan fungsi ginjal secara permanen. Biasanya terapi dialisis dilakukan sepanjang hidup, 2 -3 kali seminggu selama paling sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi (Muttaqin, 2011). Pasien yang akan memulai HD otomatis akan mengalami perubahan dalam aspek kehidupannya diantaranya, pasien harus mendatangi unit hemodialisa secara rutin 2-3 kali seminggu, konsisten terhadap obat-obatan yang harus dikonsumsinya, memodifikasi dietnya secara besar-besaran, mengatur asupan cairan hariannya serta mengukur balance cairan setiap harinya (Mahmoed, S & Abdelaziz, N. A., 2015). Masalah lainnya berupa pengaturan-pengaturan sebagai dampak penyakit ginjalnya seperti dampak penurunan hemoglobin, pengaturan kalium, kalsium, serta masalah psikososial dan ekonomi yang tentunya akan berdampak besar menyebabkan pasien menderita kelelahan yang luar biasa. Jika klien tidak secara rutin melaksanakan regimen atau treatment pengobatan maka akan menyebabkan kegagalan terapi dan memperburuk prognosis penyakit GGK yang diderita bahkan dapat meningkatkan angka mortalitas (kematian) (Kim, 2010). C. Kepatuhan 1. Pengertian Kepatuhan Kesuksesan hemodialisis tergantung pada kepatuhan pasien. Kepatuhan itu sendiri berarti pasien harus meluangkan waktu dalam menjalani
14
pengobatan yang dibutuhkan seperti dalam pengaturan diet maupun cairan (Potter & Perry, 2006). Park dan Meade (2007) menyebutkan, kepatuhan terapi adalah perilaku pasien mengkonsumsi obat yang telah diresepkan oleh tenaga kesehatan dengan jumlah, waktu, dan frekuensi yang tepat. 2. Kepatuhan penngobatan pada Pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) Kepatuhan merupakan hal penting dalam kelangsungan hidup pasien karena jika pasien tidak patuh dapat memberikan kegagalan pengobatan dan bahkan berakibat meningkatkan risiko kematian, meningkatkan kompilkasi kardiovaskuler, timbul edema, aritmia, dan berdampak kerugian pula pada kondisi sosial ekonomi pasien (Spiritia, 2014). Dalam menjalani terapi, pasien harus mengikuti instruksi medis dengan baik dan tepat, memahami instruksi dengan baik, lalu mengingat instruksi tersebut. Selanjutnya pasien harus mampu melaksanakan instruksi secara prospektif. Menurut Park dan Meade (2007), untuk mencapai kepatuhan terapi pemahaman pasien sebaiknya tidak terbatas pada regimen terapi saja, tetapi juga mengenai informasi lain terkait pengobatan, seperti tujuan dari pengobatannya. Secara umum kepatuhan treatment yang harus dijalankan pada pasien GGK yang menjalani HD menurut Kim (2010) meliputi 4 (empat) aspek yaitu: a. Kepatuhan menjalani hemodialisis Kepatuhan dalam menjalani sesi hemodialisa adalah menjalani hemodialisa sesuai waktu yang ditentukan biasanya 2-3 kali dalam seminggu dengan waktu 2- 5 jam tergantung kepada jadwal masing masing pasien dan besarnya kerusakan fungsional ginjalnya (Corrigan, 2011).
15
Selain itu, kepatuhan dalam menjalani sesi hemodialisa juga meliputi keteapatan waktu HD sendiri, pasien seharusnya tidak boleh datang lebih cepat atau lambat dari sesi yang ditentukan, dan juga tidak boleh melewatkan 1 sesi HD sekalipun. Melewatkan atau mempersingkat sesi dialisis menurunkan dialisis yang dialirkan dosis dan dengan demikian kecukupan dialisis. Dosis dinilai dengan menggunakan indikator berikut: (1) Kt / V (K = pembersihan dialyzer dari urea, t = waktu dialisis, dan V = total air tubuh pasien), indeks tanpa dimensi berdasarkan tingkat pembersihan urea, dan ( 2) rasio pengurangan urea, penurunan konsentrasi nitrogen urea serum selama sesi dialisis. Dosis yang lebih rendah, sebagaimana dinilai dengan menghitung Kt/V atau rasio pengurangan urea, telah dilaporkan meningkatkan mortalitas (Denhaerynck. K et al, 2007). b. Kepatuhan dalam program pengobatan Kepatuhan dalam program pengobatan adalah mengkonsumsi obat obatan yang diresepkan pada waktu dan dosis yang tepat. Kepatuhan dapat didefenisikan sebagai tingkat ketepatan perilaku seorang individu dengan nasihat media atau kesehatan, pasien yang berpengetahuan tentang obatnya menunjukkan ketaatan yang meningkat terhadap regimen pengobatan yang ditulis, sehingga menghasilkan hasil terapi yang meningkat. Ketidakpatuhan dengan regimen obat biasanya dinilai dengan menggunakan laporan diri dari pasien atau pemeriksaan kadar serum fosfat predialisis, meskipun sejauh mana hasil penilaian obat pengikat fosfat dapat diekstrapolasikan ke bagian lain dari rejimen obat (suplemen
16
kalsium, vitamin B dan C, asam folat, obat kardiovaskular) tidak diketahui (Denhaerynck. K., 2007). Kegagalan dalam mengikuti program pengobatan jangka panjang rata-rata 50% dan derajat tersebut bertambah buruk sesuai waktu karena berdampak kepada bertambah parahnya penurunan fungsi ginjal, penumpukan cairan tubuh dan memperparah komplikasi kardiovaskuler. Beberapa studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan diatas 50% bahkan dalam situasi yang mengancam kehidupan (Marizki, R, dkk, 2015). c. Kepatuhan dalam pembatasan (restriksi) cairan Menurut Mayer, 2011 pasien hemodialisis diharuskan melaksanakan pengaturan cairan. Cairan sangat dibatasi untuk penyandang hemodialisis karena dapat mengakibatkan bengkak, meningkatkan tekanan darah dan sesak nafas akibat sembab paru. Bagi penyandang hemodialisis yang masih keluar kencing, boleh minum lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak keluar kencing sama sekali. Dasarnya adalah, membuat keseimbangan antara air yang asupan cairan yang dibutuhkan= jumlah urin 24 jam+(500 sampai 750)ml/hari. Pembatasan asupan cairan akan mengubah gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai gangguan, serta diet yang dianjurkan tersebut tidak disukai oleh kebanyakan penderita sehingga sering mengabaikan dietnya (Riyanto, 2011). d. Kepatuhan mengikuti program diet 1). Nasi Walaupun secara teori ada jumlah kalori tertentu yang harus dimakan oleh para penyandang hemodialisis, tetapi dalam kehidupan sehari-
17
hari penyandang diperbolehkan makan nasi secara bebas, kecuali yang menderita diabetes (kencing manis). Hal ini dikarenakan, penyandang hemodialisis
memerlukan
kalori
yang
cukup
tinggi
untuk
mengimbangi penyakit ginjalnya. Bagi yang sering mengalami gangguan pada pencernaan disarankan untuk makan dalam porsi kecil beberapa kali (4-5 kali) dalam sehari. Tidak dianjurkan makan terlalu kenyang atau menunda sampai terlalu lapar (Riyanto, 2011). 2). Protein Berguna untuk penyandang hemodialisis diperbolehkan 1,2 gr/kg berat badan /hari. Jumlah ini tidak terlalu jauh beda dengan konsumsi protein untuk penduduk Indonesia pada umumnya, yaitu: 1,2-1,5 gr/kg berat badan/hari. Di samping daging, sumber protein lain yang boleh dikonsumsi adalah ikan, telur, dan susu. Jenis daging yang tidak dianjurkan adalah jeroan (hati, usus, otak. dan lainnya). Hal tersebut dapat meningkatkan asam urat dimana sebagian besar penyandang hemodialisis mengalami kenaikan kadar asam urat dalam darahnya (Riyanto, 2011). 3). Garam Garam dapat meningkatkan tekanan darah dan mengakibatkan sembab/bengkak. Sehingga pada penyandang hemodialisis garam hanya diperbolehkan paling banyak setengah sendok teh dalam sehari. Demikian pula makanan asin lainnya seperti kecap asin, bumbu penyedap dan lain sebagainya (Riyanto, 2011).
18
4). Buah Buah-buahan dibatasi untuk penyandang hemodialisis karena banyak mengandung kalium. Kalium ini banyak terdapat dalam buah sehingga dapat mengakibatkan kelainan jantung. Artinya, penyandang hemodialisis boleh makan buah dalam jumlah yang terbatas. Buah yang tidak boleh dimakan adalah Durian, Belimbing, Air Kelapa, Pisang, Pepaya, Apel, Melon. Untuk mengurangi kadar kalium dalam buah, dapat diupayakan dengan merebus buah tersebut atau dipotongpotong kemudian dicuci dan direndam dengan air hangat sehingga kalium yang terkandung didalamnya terlarut dalam air (Riyanto, 2011). 5). Sayur Sayur juga mengandung banyak kalium, oleh karenanya harus dibatasi untuk penyandang hemodialisis. Beberapa jenis sayur yang dibatasi adalah bayam, buncis, kembangkol. Hal tersebut dikarenakan dapat meningkatkan asam urat. Kalium dalam sayur dapat dikurangi dengan cara memotong-motong terlebih dahulu kemudian dicuci dan dimasak (Riyanto, 2011). 3. Cara untuk Mengetahui dan Mengukur Tingkat Kepatuhan Terapi Metode Kuesioner terstruktur Kuesioner terstruktur untuk mengkaji tingkat kepatuhan pasien dalam kepatuhan treatment. Kuesioner tersebut adalah kuesioner kepatuhan pada pasien gagal ginjal Kuesioner tersebut memuat pertanyaan tentang kepatuhan pasien dalam pelaksanaan treatment nya yaitu mengenai
19
kepatuhan dalam menjalani sesi hemodialisis, kepatuhan program pengobatan, kepatuhan dalam pembatasan cairan, dan kepatuhan dalam program diet (Kim, 2010). 4. Faktor- faktor yang mempengaruhi kepatuhan hemodialisis Smeltzer & Bare (2002) mengatakan bahwa kepatuhan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. a. Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan Faktor internal merupakan karakteristik pasien itu sendiri. Karakteristik
pasien merupakan ciri-ciri pribadi yang dimiliki
seseorang yang yang mengalami kondisi penyakit tertentu dalam melakukan perawatan terhadap penyakitnya (Widayatun, 2005). Karakteristik pasien meliputi variabel demografi (umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa dan tingkat pendidikan), kemampuan, persepri dan motivasi. 1). Variabel-variabel demografi Menurut Smet (2004), variabel demografi berpengaruh terhadap kepatuhan. Sebagai contoh secara geografi penduduk Amerika lebih cenderung taat mengikuti anjuran dan peraturan dibidang kesehatan. Data demogtafi mempengaruhi ketaatan misalnya: jenis kelamin wanita, ras kulit putih dan orang tua terbukti memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. 2). Kemampuan Kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk menjalani berbagai prosedur dalam upaya meningkatkan status kesehatannya.
20
Dimensi kecerdasan telah dijumpai sebagai peramal yang kuat dari kinerja, kemampuan intelektual mempunyai peran yang besar dalam menjalani pengobatan, kemampuan fisik memiliki makna yang penting untuk menerima program yang telah diputuskan bersama dengan tenaga kesehatan (Muchlas, 2005).Setiap orang memiliki kelebihan dan keterbatasan masing-masing dalam menjalankan program pengobatan, maka wajar saja kalau ada pasien yang mampu secara rutin menjalani program, dan ada juga yang tidak dapat secara rutin melaksanakannya. Demikian juga halnya dalam pelaksanaan protap terapi hemodialisa, pasien yang
memiliki kemampuan
melaksanakan, akan cenderung patuh untuk melaksanakan sesuai dengan yang telah digariskan dalam protap tersebut (Arumi, 2002). 3). Persepsi Persepsi tentang protap akan diterima oleh penginderaan secara selektif, kemudian diberi makna secara secara selektif oleh masingmasing pasien. Dengan demikian muncul persepsi yang berbeda terhadap protap yang telah dirancang, sehingga kepatuhan pasien dalam pelaksanaan protap tersebut juga akan akan berbeda (Arumi, 2002). 4). Motivasi Motivasi berasal dari kata “motive” yang berarti rangsangan, dorongan dan ataupun pembangkit tenaga, yang dimiliki seseorang sehingga orang tersebut memperlihatkan perilaku tertentu. Motif merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua penggerak
21
alasan-alasan aatau dorongan-dorongan daalam diri manusia yang menyebabkan manuasia berbuat sesuatu. Semua tingkah laku manusia pada dasarnya mempunyai motif termasuk tingkah laku secara reflek dan yang berlangsung secara otomatis mempunyai mempunyai maksud tertentu, walaupun maksud itu tidak senantiasa disadari manusia (Russel, 2010). b. Fakor eksternal yang mempengaruhi kepatuhan 1). Pola komunikasi Pola komunikasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan akan mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien dalam melaksanakan program pengobatan. Beberapa aspek dalam komunikasi ini yang berpengaruh pada kepatuhan pasien adalah kepuasan terhadap hubungan emosional antara pasien dengan tenaga kesehatan (Arumi, 2002). 2). Keyakinan/nilai-nilai yang diterima Smet (2004) mengatakan bahwa keyakinan-keyakinan tentang kesehatan atau perawatan, ancaman yng dirasakan, pertimbangan mengenai hambatan atau kerugian dan keuntungan dalam sistem pelayanan kesehatan mempengaruhi kepatuhhan pasien dalam melaksanakan program yang telah ditetapkan. 3). Dukungan Keluarga Menurut Smet (2004) bahwa dukungan sosial berpengaruh terhadap
kepatuhan
seseorang.
Variabel-variabel
sosial
mempengaruhi kepatuhan. Dukungan sosial memainkan peran
22
terutama yang berasal dari komunitas, petugas kesehatan maupun dukungan dari berbagai sumber daaya yang ada di sekelilingnya c. Klasifikasi kepatuhan Menurut Cramer (2012), kepatuhan dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: 1). Kepatuhan penuh (Total Compalience) yaitu kepatuhan dalam semua aspek.
Misalnya dalam
terapi
hemodialisa,
pasien
mematuhi semua yang berkaitan dengan petunjuk terapi hemodialisa. Seperti Perilaku kehadiran HD, Frekuensi restriksi cairan (self monitoring), Frekuensi restriksi diet (self monitoring) dan frekuensi tidak minum obat. 2). Kepatuhan tidak
penuh ( Non Compelience) yaitu kepatuhan,
sebagian dari aspek yang diharapkan. Misalnya dalam terapi hemodialisa, pasien mematuhi untuk melaksanakan terapi hemodialisa namun tidak mematuhi untuk melaksanakan terapi hemodialisa secara rutin. Contoh lainnya Kebiasaan mempercepat waktu HD, Durasi waktu HD yang dipercepat dan Frekuensi tidak minum obat. D. Dukungan Keluarga 1. Pengertian Pasien yang menjalani dialysis menghadapi berbagai masalah yang berasal dari penyakit itu sendiri maupun treatment yang harus mereka jalani (Leung, 2003). Pada saat inilah dibutuhkan dukungan dari keluarga. Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap
23
keluarga yang sakit. Keluarga juga bersifat mendukung, selalu siap memberi pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman, 2010). 2. Jenis dukungan keluarga Menurut Safarino, (2006), menjelaskan bahwa dukungan keluarga memiliki 4 jenis antara lain: a). Dukungan Informasional Keluarga berfungsi sebagai kolektor informasi tentang dunia yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. b). Dukungan penilaian Keluarga berindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi masalah serta sebagai sumber validator identitas anggota keluarga, diantaranya : memberikan support pengakuan, penghargaan dan perhatian. c). Dukungan instrumental Keluarga
merupakan
sebuah
pertolongan
praktis
konkrit,
diantaranya : bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi, tenaga dan sarana. d). Dukungan emosional Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.
24
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga terhadap kepatuhan pasien hemodialisa a. Faktor internal Faktor internal yang mempengaruhi kepatuhan yaitu tahap perkembangan. Dukungan dapat ditentukan dengan pertumbuhan dan perkembangan faktor usia, dengan dmikian setiap rentang usia memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan. Pendidikan atau tingkat pengetahuan. Latar belakanaga pendidikan, pengetahuan dan pengalaman masa lalu akan membentuk cara berfikir seseorang termasuk keyakinan pentingnya dukungan keluarga. Faktor emosi, mempengaruhi setiap individu dalam memberikan respon dukungan. Respon saat stress cenderung melakukan hal yang mengkhawatirkan dan merugikan, tetapi saat
respon
emosionalnya
kecil
akan
lebih
tentang
dalam
menanggapinya. Selain itu aspek spirital juga mempengaruhi dukungan keluarga. Aspek ini mencakup bilai dan keyakinan seseorang dalam menjalani hubungann dengan keluarga, teman kemampuan mencari arti hidup. b. Faktor eksternal Faktor ekternal yang mempengaruhi dukungan keluarga yang pertama
menerapkan fungsi keluarga. Sejauh mana keluarga
mempengaruhi pada anggota keluarga lain saat mengalami masalah kesehatan serta membantu dalam memenuhi kebutuhan. Yang kedua faktor sosial ekonomi, setiap individu membutuhkan dukungan terhadap kelompok sosial untuk mempengaruhi keyakinan akan kesehatannya dan
25
cara pelaksanaannya. Biasanya individu dengan ekonomi diatas rata-rata akan lebih cepat tanggap terhadap masalah kesehatan yang sedang dihadapi. Dan yang ketiga, latar belakang budaya mempengaruhi nilai, keyakinan dan kebiasaan individu dalam memberikan dukungan dan cara mengatasi masalah kesehatan. 4. Dampak Dari Penyakit Pada Peran Keluarga Ada beberapa jenis peran dalam keluarga sebagai pencari nafkah, pembuat keputusan, anak, saudara kandung dan orang tua. Saat terjadi sakit, orang tua dan anak beradaptasi terhadap perubahan akibat seseorang anggota keluarga sedang sakit. Pembalikan peran sering ditemui, jika orang tua jatuh sakit dan tidak dapat menjalankan aktivitas hariannya, anak akan mengambilalih tanggung jawab orang tuanya. Pembalikkan peran ini dapat menimbulkan stress, tanggung jawab yang berat dan mengambil keputusan sering menimbulkan konflik. Individu dan keluarga sering membutuhkan konseling dan bimbingan untuk membantu menghadapi perubahan peran (Potter, 2009). 5. Cara untuk Mengetahui dan Mengukur Tingkat Dukungan Keluarga a. Metode Kuesioner terstruktur Kuesioner dukungan keluarga terstruktur dari Friedman 2010 yang terdiri dari dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan instrumental dan dukungan penilaian. Kuesioner ini berisikan pertanyaan-pertanyaan tentang dukungan keluarga pasien dalam pemberian dukungan terhadap pasien GGK yang menjalani hemodialisa.