Bab Ii.docx

  • Uploaded by: Dwii Rahayu Iskandar
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,169
  • Pages: 31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep HIV(Human Immunodeficiency Virus) 1. Pengertian HIV adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yaitu CD4 (Cluster of Differentiation 4) sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia (Rohan & Sandu, 2012). AIDS yaitu sindrom yang disebabkan oleh menurunnya sistem kekebalan tubuh sehingga penderita sangat peka dan mudah terserang oleh mikroorganisme oportunistik (Radji, 2010). HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik

khas

yang

menginfeksi

sel-sel

dari

sistem

kekebalan

tubuh,

menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus Lentivirus. Selama infeksi berlangsung,s sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome). AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV.19 Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati. AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Sudoyo Aru, dkk, 2009).

4

2. Etiologi Penyebab AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yakni sejenis virus RNA yang tergolong retrovirus. Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih (Limfosit T helper) yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 mempunyai pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi kebanyakan fungsi-fungsi kekebalan, sehingga kelainan-kelainan fungsional pada sel T4 akan menimbulkan tanda-tanda gangguan respon kekebalan tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh seseorang, HIV dapat diperoleh dari limfosit terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag dan cairan otak penderita AIDS. Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu : 1. Periode jendela : Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala 2. Fase infeksi HIV primer akut : Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illness 3. Infeksi asimtomatik : Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada 4. Supresi imun simtomatik : Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, BB menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut 5. AIDS : Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system tubuh, dan manifestasi neurologist. Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV dari kelompok virus yang dikenal retrovirus yang disebut Lympadenophaty Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell Lumphotropic Virus (Retrovirus). Ditularkan melalui : 1. Hubungan seksual (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi (tanpa kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV 2. Jarum suntik/ tindik/ tatto yang tidak steril dipakai bergantian 3. Mendapatkan transfusi darah yang mengandung virus HIV 4. Ibu penderita virus HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan saat melahirkan atau melalui ASI (Air Susu Ibu).

5

Cara penularan HIV AIDS dalam Jurnal Darma Agung (2008), ada beberapa cara antara lain sebagai berikut: 1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa penggunaan alat perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah dapat mengenai selaput lender vagina, penis, dubur atau mulut, sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut dapat masuk ke aliran darah. 2. Ibu pada bayinya Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 2035%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan mencapai 50%. 3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh. 4. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril Alat pemeriksaan kandungan seperti speculum, terakulum, dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV. 5. Alat-alat untuk menoreh kulit Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau silet, menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa. 6. Menggunakan jarum suntik secara bergantian Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting drug user-IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga menggunakan tempat penyampur, pengaduk dan gelas pengoplos obat sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan HIV. 3. Klasifikasi CDC Amerika Serikat mengkategorikan dewasa dan remaja dengan infeksi HIV dedasarkan pada hitung limfosit CD4 dan kondisi klinis. Sistem klasifikasi digunkana untuk member petunjuk pada pemberi pelayanan kesehatan professional dalam menentukan keputusan pengobatan untuk pasien dengan infeksi HIV. Sistem 6

ini didasarkan pada tiga kisaran kategori klinis serta yang ditunjukkan oleh matriks. Mategori limfosi CD4 seperti :  Kategori I

: ≥ 500 sel / µl.

 Kategori II

: 200-499 sel / µl.

 Kategori III

: < 200 sel / µl.

Klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah limfosit CD4 yang terendah dari pasien. Sekali pasien masuk dalam klasifikasi 2 atau 3, pasien tidak akan bisa kembali pada kategori yang lebih rendah jika terdapat peningkatan CD4. 1. Klinik Laten (Kategori Klinik A) Meskipun pasien baru saja dinyatakan terinfeksi HIV, biasanya selama beberapa tahun pasien menunjukkan periode klinik laten antara infeksi HIV, tanda dan gejala klinis AIDS, replikasi HIV dan sistem imun pejamu merusak sejak awal infeksi. Individu yang terinfeksi HIV tidak akan menunjukkan tanda dan gejala infeksi HIV. Pada orang dewasa yang terinfeksiHIV, fase ini berlangsung selama 8-10 tahun. HIV-ELISA dan Western Blot atau Immunifkuoresence Assay (IFA) menunjukkan hasil positif dengan jumlah limfosit CD4 >500 sel / µl. 2. Tanda dan Gejala Awal HIv (Kategori Klinis B) Individu yang terinfeksi HIV dapat Nampak sehat beberapa tahun dan tanda dan gejala minor dari infeksi HIV mulai Nampak. Individu mulai menunjukkan Candidiasis, limfadenophaty, kanker serviks, herpes zooster, dan atau neuropati perifer. Jumlah virus dalam darah akan menunjukkan peningktana sementara pada saar yang sama jumlah limfosit CD4 menurun hingga mencapai 500 sel µl. individu dengan kondisi kategori B, akan tetap dalam kategori B. tapi keadaan ini bersifat tidak tetap karena dapat berkembang menjadi kategori C apabil akondisinya semakin parah, dan juga tidak dapat kembali lagi ke kategori A bila bersifat asimptomatik. 3. Tanda dan Gejala Lnjut HIV (Kategori Klinis C) Individu yang terinfeksi HIV menunjukkan infeksi dan keganasan yang mengancam

kehidupan.

Perkembangan

pneumonia,

toxoplasmosis,

cristosporidiosis, dan infeksi opportunisti lainnya yang bisa terjadi. Individu daoat pula mengalami kehilangan atau penurunan berat badan, jumlah virus terus meningkat, jumlah limfosit CD4 menurun hingga <200 sel / µl. pada keadaan ini individu akan dinyatakan sebagai penderita AIDS.

7

4. Tahap Akhir Penyakit HIV (Kategori Klinis C). Individu yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi oportunistik baru seperti infeksi sitomelovirus, kompleks mycobacterium avium, meningitis cryptococcal, leukoenchephalophaty multifocal, yang progresif dan infeksi lain yang biasanya terjadi sekunder terhadap penurunan sistem imun. Jumlah virus sangat meningkat dan jumlah CD4 <50 sel/ µl. kematian bisa dikatakan sudah dekat. Sekali kondisi kategori C ini terjadi, maka individu akan tetap pada kategori ini walaupun ada kemungkinan kondisi ini akan dapat berubah (Nursalam, 2009). 4. Manifestasi Klinis Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Rasa lelah dan lesu b. Berat badan menurun secara drastis c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam d. Mencret dan kurang nafsu makan e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut f. Pembengkakan leher dan lipatan paha g. Radang paru h. Kanker kulit Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu: a. Manifestasi tumor 1. Sarkoma Kaposi Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat jarang menjadi sebab kematian primer. 2. Limfoma ganas Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta dapat bertahan kurang lebih 1 tahun. b. Manifestasi oportunistik 1. Manifestasi pada Paru a) Pneumoni pneumocystis (PCP) Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan demam. 8

b) Cytomegalovirus (CMV) Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30% penyebab kematian pada AIDS. c) Mycobacterium avilum Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan. d) Mycobacterium tuberculosis Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat menyebar ke organ lain di luar paru. 2. Manifestasi gastrointestinal Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per bulan. c. Manifestasi neurologis Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.

Tabel 1 Gejala mayor dan gejala minor infeksi HIV/AIDS Gejala Mayor Gejala Minor Berat badan menurun >10% dalam 1 bulan Batuk menetap >1 bulan Diare kronik berlangsung >1 bulan Dermatitis generalisata Demam berkepanjangan >1 bulan Herpes Zooster multi-segmental dan Penurunan kesadaran berulang Kandidiasis orofaringeal Demensia/HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif Limfadenopati generalisata Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita Retinitis Cytomegalovirus Tabel 2 Menurut WHO, stadium klinis HIV/AIDS Stadium I

II

Gejala Klinis Tidak ada penurunan berat badan Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten Penurunan berat badan <10% ISPA berulang: sinusitis, otitis media, tonsilitis, dan faringitis Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir 9

III

IV

Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis) Ulkus mulut berulang Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo) Dermatitis Se boroik Infeksi jamur pada kuku Penurunan berat badan >10% Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya >1 bulan Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia TB Paru dalam 1 tahun terakhir Limfadenitis TB Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia, Piomiosis Anemia(<8gr/dl),Trombositopeni Kronik (<50109 per liter) Sindroma Wasting (HIV) Pneumoni Pneumocystis Pneumonia Bakterial yang berat berulang dalam 6 bulan Kandidiasis esofagus Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan Limfoma Sarkoma Kaposi Kanker Serviks yang invasif Retinitis CMV TB Ekstra paru Toksoplasmosis Ensefalopati HIV Meningitis Kriptokokus Infeksi mikobakteria non-TB meluas Lekoensefalopati multifokal progresif Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas Tabel 3

Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV Keadaan Umum Kehilangan berat badan >10% dari berat badan dasar Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5oC) yang lebih dari satu bulan Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan Limfadenopati meluas Kulit PPE* dan kulit kering yang luas* merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV Infeksi Infeksi jamur Kandidiasis oral* Dermatitis seboroik* Kandidiasis vagina berulang Infeksi viral Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu dermatom)* 10

Herpes genital (berulang) Moluskum kontagiosum Kondiloma Gangguan pernafasan Batuk lebih dari satu bulan Sesak nafas Tuberkulosis Pneumonia berulang Sinusitis kronis atau berulang Gejala neurologis Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak jelas penyebabnya) Kejang demam Menurunnya fungsi kognitif Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV Sumber : WHO SEARO 2007 5. Patofisiologi Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak 15 tertular virus HIV yang dikenal dengan masa “window period”. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam,

11

nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor). Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.

Pathway Virus HIV Virus Bergabung dengan DNA sel Pasien Respon Imun

Infeksi Primer

Peningkatan Aktivasi Imun

Masuk kedalam tubuh manusia Gejala Tidak Khas: - Demam - Nyeri Menelan - Pembengkakan Kel. Getah Bening - Ruam ]Diare - Batuk 3-6 Mgg

Menginfeksi Sel CD4 (Limfosit T4, Monosit, Sel dendrite, Langerhans) Mengikat molekul CD4

Memiliki Sel Target & Memproduksi Virus Sel T4 Hancur

Tingkat Seluler & Humoral

Limfosit CD4 menurun Imunitas Tubuh Menurun Infeksi Asimptomatik (8-10 th)

Menghancurkan Sel T Infeksi Opportunistik Penurunan Daya Tahan Tubuh Sel T Tidak Memberi Induksi Kepada Sel Efektor (Sel T8 Sitotoksik, NK, Monosit, Sel B). Penurunan daya Tahan Tubuh

Fase Immunodefisensi

Dalam darah supresi berupa AB terhadap poliferasi Sel T

Virus Dalam jumlah Tinggi

Sel T tidak member respon

Menekan Sintesis & Sekresi limfokin

Disfungsi Imun

Infeksi Oleh Virus Lain (Sekunder)

Reaktivasi Virus di Limfosi T

Replikasi Cepat

12

Progresif

Sist. Pernafasan

Peradangan Pada Jaringan Paru Sesak

Gang. Pola Nafas

Sist. Penceranaan

Infeksi Jamur

Demam

Hipertermi

Sist. Neurologis Infeksi SSP

Infeksi Bakteri

Peradangan Mulut

Sulit Menelan Mual Muntah

Intake Kurang

Sist. Integumen

Diare kronis

Peradangan Kulit

Penurunan Kes, Kejang, Nyeri Kepala

Output Meningkat

Lesi Gatal, Nyeri, Bersisik

Perubahan Proses Pikir

Bibir Kering, Turgor menurun

Nyeri

Gangguan Rasa Nyaman

Psikologis Gang. Pemenuhan Nutrisi

Kekurangan Cairan Denial Gangg. Eliminasi

Takut akan Kematian

Cemas

6. Pemeriksaan Penunjang Menurut Sudoyo (2009), pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS adalah : 1. ELISA Pemeriksaan enzim limked imunosorbent assay bereaksi terhadap adanya anti body dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi jumlah virus yang lebih besar. Biasanya hasil uji elisa mungkin masih akan negatif 6-12 minggu setelah pasien terinfeksi. 13

2. Western blot Wastern blok merupakan elektroporesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan berarti tes negatif. Tes ini harus diulangi lagi setelah 2 minggu dengan sampel yang sama. 3. PCR (polymerase Chain Reaction) Untuk DNA dan RNA virus HIV sangat sensitif untuk infeksi HIV. Tes ini sering digunakan bila tes yang lain tidak jelas. 7. Penatalaksanaan Dalam upaya menurunkan resiko terinfeksi HIV, berbagai organisasi kesehatan dunia termasuk Indonesia menggunakan pencegahan melalui pendekatan ABCD yaitu: 1. A (Abstinence) : menunda kegiatan seksual, tidak melakukan kegiatan seksual sebelum menikah 2. B (Be faithful) : saling setia pada pasangan setelah menikah 3. C (Condom)

: menggunakan kondom bagi orang yang melakukan perilaku

seks beresiko 4. D (Drugs) : tidak menggunakan napza terutama napza suntik agar tidak menggunakan jarum suntik bergantian dan secara bersama-sama Ada 5 tingkat pencegahan (five level preventation) menurut Level & Clark, yaitu: 1. Promosi kesehatan 2. Perlindungan khusus 3. Diagnosis dan pengobatan segera 4. Pembatasan cacat 5. Rehabilitasi Yang jelas adalah cara transmisi virus AIDS ini berlangsung melaui hubungan seksual, menggunakn jarum suntik bersama dan sebagian kecil tranfusi darah meupun kompomen darah. Oleh karena itu ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengurangi penularan penyakit, yaitu: 1. Kontak seksual harus dihindari dengan orang yang diketahui menderita AIDS dan orang yang sering menggunakan obat bius secara bergantian. 2. Mitra seksual multiple atau hubungan seksual dengan orang yang mempunyai banyak pasangan kencan seksual memberikan kemungkinan lebih besar mendapat AIDS. 14

3. Cara hubungan seksual yang dapat merusak selaput lendir rectal, dapat memperbesaar kemungkinan mendapatkan AIDS. Senggama anal pasif yang pernah dilaporkan pada beberapa penelitian menunjukkan korelasi tersebut. Walaupun belum terbukti, kondom dianggap salah satu cara untuk menghindari penyakit kelamin, cara ini masih merupakan anjuran. 4. Kasus AIDS pada orang yang menggunakan obat bius intravena dapat dikurangi dengan cara memberantas kebiasaan buruk tersebut dan melarang oenggunaan jarum suntik bersama. 5. Semua orang tergolong beresiko tinggi AIDS seharusnya tidak menjadi donor. Para dokter harus ketat mengenai indikasi medis tranfusi darah autolog yang dianjurkan untuk diapai (Nasution Zulkarnaen, 2008).

Secara umum menurut Sudoyo et al. (2006) penatalaksanaan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) terdiri atas beberapa jenis, yaitu: 1) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat Antiretroviral (ARV). 2) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai. 3) Penggobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial, dukungan spiritual, menjaga pola tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. 8. Komplikasi Adapun komplikasi yang terjadi pada pasien HIV/AIDS adalah sebagai berikut : 1. Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru-paru 2. Kandidiasis esophagus 3. Kriptokokosis ekstraparu 4. Kriptosporidiosis, intestinal kronis (>1 bulan) 5. Renitis CMV (gangguan penglihatan) 6. Herpes simplek : ulkus kronik (>1 bulan) 7. Mycobacterium tuberculosis di paru atau ekstraparu 8. Ensefalitis toxoplasma

15

B. Konsep Pengobatan ARV pada Pasien HIV/AIDS 1. Pengertian pengobatan ARV Pengobatan ARV merupakan cara untuk menghambat perjalanan replikasi virus HIV dengan obat Antiretroviral sehingga dapat memperpanjang serta memperbaiki kualitas hidup pasien yang terinfeksi HIV (Isselbacher, Braundwald, Wilson, Martin, Fauci & Kesper, 2000). 2. Tujuan pengobatan ARV ARV bertujuan untuk menekan replikasi HIV secara maksimal dalam jangka panjang, memperbaiki imunologi, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV (Holmes, 2008). 3. Jenis obat-obatan ARV 1) Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) Jenis obat ini mengganggu transkip virus ke dalam DNA pejamu dengan menghambat kerja enzim Reverse Transcriptase yang mengganggu ketersediaan nukleosida. Contoh dari obat ARV yang termasuk dalam golongan ini yaitu: Zidovudine (AZT,ZCV), Didanosine (ddl), Zalzitabine, Stavudine(d4T), Lamivudine (3TC), Abacavir(ABC). Obat seperti AZT tidak dapat diberikan pada Odha dengan Hb yang rendah, alergi obat serta disfungsi hati dan ginjal yang berat (Corwin, 2009; Kemenkes, 2014). 2) Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI) Golongan ini bekerja pada HIV Reverse Transcriptase dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Yang termasuk dalam golongan ini adalah Tenofovir (TDF). TDF tidak dapat diberikan pada Odha dengan disfungsi ginjal (Schmitz, Hans dan Michael, 2008; Kemenkes, 2014) 3) Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) NNRTI merupakan kelas obat yang berikatan dengan enzim Reverse Transciptase HIV pada situs aktif sehingga menginduksi perubahan bentuk konformasi yang menyebabkan penghambatan kerja enzim. Yang termasuk dalam golongan ini adalah Nevirapine (NVP), Delavirdine (DLV), dan Efavirenz (EFV). Nevirapine tidak dapat diberikan pada Odha dengan alergi obat serta disfungsi hati (FKUI, 2007; Radji, 2010; Kemenkes, 2014). 4) Protase inhibitor (PI) Protase Inhibitor (PI) merupakan kelompok obat yang dapat berinteraksi dengan banyak obat dan banyak diantaranya yang penting secara klinis. Golongan ini 16

bekerja untuk menghambat kerja enzim protase yang diperlukan untuk pembentukan partikel virus yang matang. Contoh obat pada golongan PI yaitu Indinavir (IDV), Nelvinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV), Amprenavir (APV) dan Lopinavir (LPV/r) (FKUI, 2007; Corwin, 2009). 5) Fusion inhibitor Golongan ini menghambat fusi virus (fusion inhibitor). Agar HIV dapat memasuki sel inang, HIV harus menyatukan membrannya dengan sel inang. Yang termasuk dalam golongan ini adalah Enfuvirtide (T-20) (FKUI, 2007). 4. Efek samping berdasarkan kelas ARV a. NRTI (Nucleoside reverse transcriptase inhibitor) Efek samping yang timbul pada golongan ini dihubungkan dengan degenerasi lemak hepar dan asidosis laktat sehubungan dengan keracunan mitokondrial seluler. Hal ini muncul dengan gejala gastrointestinal yang tidak spesifik seperti mual, muntah, nyeri perut, kelemahan secara menyeluruh, penuruanan berat badan, takipnue dan dispnue (Sigalingging, 2009). b. NNRTI (Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor) Terdapat beberapa efek samping pada jenis NNRTI yaitu menyebabkan adanya ruam dikulit. Ruam eritemot dan maculopapular dapat berkembang menjadi Stevens Jhonson Syndrom atau Toxic Epidermal Nacrolysis (Kurniawati & Nursalam, 2011). Biasanya terjadi dalam empat minggu pertama pengobatan. Menurut Chasela et al (dalam Saputri, Niruri & Kumara, 2010) pemberian NVP dapat memberikan efek samping berupa reaksi hipersensitifitas seperti ruam dan diikuti dengan eosinophilia dengan atau tanpa demam. c. NtRTI (Nucleotide reverse transcriptase inhibitor) Pada jenis golongan NtRTI terdapat beberapa efek samping yaitu mual, muntah, flatulens, dan diare. Selain itu jenis obat ini pernah dilaporkan adanya efek samping pada pertumbuhan dan gangguan densitas tulang janin (Depkes RI, 2007; FKUI, 2007). d. PI (Protase inhibitor) Terdapat beberapa efek samping pada jenis Protase Inhibitor (PI) yaitu mual, muntah, diare, hiperbilirubin, batu ginjal, nyeri abdomen (FKUI, 2007). 5. Penatalaksanaan ibu hamil dengan HIV/AIDS 1) Antepartum a) Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum pemberian ARV: 17

(a) Persiapan klien secara fisik/mental untuk menjalani terapi melalui edukasi pra pemberian ARV (b) Bila terdapat infeksi oportunistik, maka infeksi tersebut perlu diobati terlebih dahulu. Terapi ARV baru dapat diberikan setelah infeksi oportunistik diobati dan stabil. (c) Profilaksis Kotrimoksazol diberikan pada stadium klinis 2, 3, 4 dan atau CD4 <200. (d) Pada ibu hamil dengan tuberkulosis OAT selalu diberikan mendahului ARV hingga kondisi klinis pasien memungkinkan dengan fungsi hati baik untuk memulai terapi ARV (Kemenkes, 2014). b) Syarat pemberian ARV pada ibu hamil Menurut Kemenkes (2014) adapun syarat pemberian ARV pada ibu hamil dikenal dengan singkatan SADAR, yaitu sebagai berikut: 1) “S” adalah Siap menerima ARV, mengetahui dengan benar efek ARV terhadap infeksi HIV 2) “A” adalah Adherence, yaitu kepatuhan dalam minum obat 3) “D” adalah Disiplin untuk minum obat dan kontrol ke dokter 4) “A” adalah Aktif menanyakan dan berdiskusi dengan dokter mengenai terapi. 5) “R” adalah Rajin memeriksakan diri jika timbul keluhan. c) Pemberian obat ARV pada ibu hamil ARV yang direkomendasikan pada masa ibu hamil adalah Lamivudin, Zidovudin, dan Nelfinafir (Klein, Miller & Thomson, 2007). Menurut hasil penelitian Squires (2008 dalam Wahyuni, 2012) pengobatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS dengan menggunakan ARV jenis ZDT/AZT. Terapi Zidofudine untuk perempuan hamil yang terinfeksi HIV pada awal trimester kedua sampai melahirkan. Pada anterpartum ketika usia kehamilan 14 sampai 34 minggu dosis 100 mg diberikan 5x/hari (Gilbert & Harmon, 2003).

18

Adapun pemberian obat ARV pada ibu hamil dengan berbagai kondisi dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4 Pemberian ARV pada ibu hamil Kondisi

Rekomendasi Pengobatan

 ODHA

hamil,

segera  TDF (300mg) + 3TC(300mg) + EFV(600mg)

terapi ARV

Alternatif:

 ODHA datang pada masa AZT (2X300mg) + 3TC (2x150mg) + NVP persalinan

dan

belum (1x200mg, setelah 2 minggu 2x200mg)  TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg)

mendapat terapi ARV,

lakukan tes, bila hasil reaktif + NVP (2x200mg)  AZT (2X300mg) + 3TC (2x150mg) +EVP

berikan ARV

(1x600mg) sedang  Lanjutkan dengan ARV yang sama selama

ODHA menggunakan

ARV

dan sesudah persalinan

kemudian hamil ODHA hepatitis

hamil B

memerlukan terapi

dengan  TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (1x300mg) yang

+ EVP (1x600mg) atau  TDF (1x300mg) + 3TC (atau FTC) (2x150mg) + NVP (2x200mg)

ODHA

hamil

tuberkulosis aktif

dengan  Bila OAT sudah diberikan, maka dilanjutkan. Bila belum diberikan, maka OAT diberikan terlebih dahulu sebelum pemberian ARV.  Rejimen untuk ibu bila OAT sudah diberikan dan tuberkulosis telah stabil : TDF + 3TC +EFV

Keterangan: AZT/ZDF (zidovudin), 3TC (lamivudin), FTC(emtricitabin), NVP (nevirapin), EVP (efavirens), TDF(tenofir). Sumber: Kemenkes, 2014 Pengukuran kadar plasma dan CD4 harus diulang 4-6 kali setiap bulan selama kehamilan. Perempuan yang sedang menjalani pengobatan ARV harus dilakukan monitoring terhadap intoksikasi obat seperti jumlah sel darah, ureum, elektrolit, fungsi hepar dan gula darah serta pemeriksaan Ultrasonografi (USG) agar dapat mengetahui adanya anomali janin (Cunningham et al., 2005). Menurut 19

penelitian Ramadian dan Eky (2010) selain pemeriksaan kondisi fisik, perempuan hamil dengan HIV/AIDS perlu juga mendapatkan pengobatan suportif seperti makanan yang mempunyai nilai gizi tinggi, dukungan psikososial, istrirahat yang cukup serta menjaga kebersihan. 2) Intrapartum Tujuan persalinan yang aman bagi ibu dengan HIV adalah menurunkan resiko penularan HIV dari ibu ke bayi, tim penolong persalinan dan pasien lainnya. Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan 38 minggu untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan seksio sesaria (Valerian, Ketut, & Wayan, 2013; Kemenkes, 2014). Menurut penelitian Dorenbaum, Cunningham, Gelber, et al (dalam Setiawan, 2009) persalinan pervaginam mempunyai resiko penularan vertikal HIV dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan persalinan seksio sesaria. Dengan terapi ARV yang sekurangnya dimulai pada minggu ke 14 kehamilan, persalinan pervaginam merupakan persalinan yang aman. Apabila tersedia fasilitas pemeriksaan viral load, dengan viral load <1.000 kopi/µL, persalianan pervaginam aman dilakukan (Depkes RI, 2013). Menurut penelitian Valerian, Ketut, dan Wayan (2013) persalinan pervaginam yang direncanakan hanya boleh dilakukan oleh perempuan yang mengkonsumsi ARV dengan viral load <50 kopi/mL. a) Persalinan pervaginam Pemilihan persalinan pervaginam harus menghindari pecah ketuban dini serta tidak dianjurkan melakukan pertolongan persalinan yang mengakibatkan trauma seperti menggunakan Forcep atau Vacum (Kaizad & Tank, 2006). Menurut Suhaimi et al. (2009) perempuan hamil yang direncanakan persalinan pervaginam, diusahakan selaput amnionnya utuh serta tali pusat harus diklem secepat mungkin dan bayi harus dimandikan segera. Penatalaksanaan yang diberikan selama periode intranatal adalah ZDV/AZT 2mg/KgBB/Jam secara intravena selama 1 jam kemudian dilanjutkan dosis 1 mg/KgBB/jam dengan pemberian melalui infuse sampai bayi lahir (Gilbert & Harmon, 2003).

20

b) Persalinan seksio sesarea Penatalaksanaan persalinan dengan jenis seksio sesaria harus diberikan antibiotik profilaksis. Infuse ZDV harus dimulai 4 jam sebelum seksio sesaria dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Pada persalinan sectio sesaria sebelum ketuban pecah dapat menekan resiko penularan ibu ke janin (Goering, Dockrell, Zuckerman, Wakelin, & Roitt, 2008). Persalinan pervaginam maupun seksio sesarea mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Adapun keuntungan dan kerugian pada pemilihan jenis persalinan menurut Kemenkes (2014) dapat dilihat tabel dibawah ini. Tabel 5 Kelebihan dan kekurangan jenis persalinan Metode

Kelebihan

Kekurangan

persalinan Per vaginam

1. Mudah dilakukan di Risiko penularan pada sarana

kesehatan bayi relatif tinggi 10-

yang terbatas

20%, kecuali ibu telah

2. Masa

pemulihan minum ARV teratur ≥

pasca

persalinan 6 bulan atau diketahui

singkat

kadar viral load < 1000 kopi/mm3

3. Biaya rendah

pada

minggu ke-36 Seksio Sesarea

1. Risiko

penularan 1. Lama perawatan bagi

yang rendah (2-4%)

ibu lebih panjang

atau

dapat 2. Perlu

mengurangi

risiko

penularan 50-66%. 2. Terencana minggu ke -38

sarana

dan

fasilitas yang lebih memadai

pada 3. Risiko

komplikasi

selama operasi lebih tinggi 4. Ada

resiko

komplikasi anastesi 5. Biaya lebih mahal. Sumber: Kemenkes, 2014

21

Menurut Kemenkes (2014) adapun hal-hal yang perlu di perhatikan dalam memberikan pertolongan persalinan yang optimal pada ibu dengan HIV: (a) Pelaksanaan persalinan baik melalui seksio sesarea maupun pervaginam perlu memperhatikan kondisi fisik ibu dan indikasi obstetrik. (b) Ibu hamil dengan HIV harus mendapatkan informasi sehubungan dengan keputusannya untuk menjalani persalinan pervaginam ataupun melalui seksio sesarea. (c) Tindakan menolong persalinan ibu dengan HIV baik pervaginam maupun seksio sesarea harus memperhatikan kewaspadaan umum yang berlaku untuk semua persalinan. 3) Postpartum Penatalaksanaan ibu postpartum dengan HIV pada dasarnya sama dengan penatalaksanaan pada ibu postpartum normal. Ibu postpartum dengan HIV perlu mendapatkan

perawatan

dan

pelayanan

meliputi

konsultasi,

pelayanan

kontrasepsi pasca persalinan dan pengobatan, perawatan serta dukungan secara berkelanjutan. Pelayanan kontrasepsi pasca persalinan diutamakan agar tidak terjadi kehamilan yang tidak terencana dan membahayakan ibu dan janin (Kemenkes, 2014). a)

Pemberian obat ARV Pengobatan yang diberikan pada ibu postpartum yaitu ZDV/AZT oral 2 mg/KgBB dari 8-12 jam setelah lahir sampai 6 minggu. Sementara pada bayi diberikan Zidofudin sejak hari pertama (umur 12 jam) selama 6 minggu. Penelitian yang dilakukan oleh Lambart et al (dalam Saputri, Niruri dan Kumara, 2011) menyebutkan bahwa penggunaan kombinasi AZT dan 3TC pada bayi baru lahir hingga usia 2 hingga 6 minggu dinilai aman berdasarkan pemeriksaan klinis, hematologi, dan biokimia. Menurut Kemenkes (2014) dosis Zidofudin/AZT yang diberikan pada bayi: (a) Bayi cukup bulan: 4mg/KgBB/12 jam selama enam minggu. (b) Bayi premature < 30 minggu: 2mg/KgBB tiap 12 jam selama empat minggu, kemudian 2 mg/KgBB tiap delapan jam selama dua minggu. (c) Bayi premature 30-35 minggu: 2mg/KgBB tiap 12 jam selama dua minggu pertama, kemudian 2mg/KgBB tiap delapan jam selama dua minggu diikuti 4mg/KgBB/12 jam selama dua minggu.

22

b) Pemberian nutrisi pada bayi dari ibu dengan HIV Menurut Kemenkes (2014) pemberian nutrisi yang dianjurkan bagi bayi yang belum diketahui status HIV-nya adalah sebagai berikut: (a)

Konseling pemilihan makanan bayi yang terkait resiko penularan HIV diberikan sejak sebelum persalinan.

(b)

Pengambilan keputusan dapat dilakukan oleh ibu/keluarga setelah mendapat informasi secara lengkap dan apapun pilihan yang diambil oleh ibu/keluarga harus didukung.

(c)

Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja.

(d)

Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI dengan susu formula, karena resiko tertinggi untuk terjadinya penularan HIV kepada bayi. Hal ini karena susu formula adalah benda asing yang dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus dan mempermudah masuknya virus HIV yang ada dalam ASI ke aliran darah bayi. Menurut penelitian di Afrika selatan menunjukkan bahwa bayi dari ibu dengan HIV yang diberi ASI eksklusif selama 3 bulan memiliki resiko tertular HIV lebih rendah (14,6%) dibandingkan bayi yang mendapatkan makanan campuran, yaitu susu formula dan ASI (24,1%) (Depkes RI, 2006).

(e)

Ibu dengan HIV/AIDS dapat memberikan susu formula pada bayinya jika seluruh syarat-syarat AFASS (Acceptable/dapat diterima, Feasible/mampu terlaksana,

Affordable/terjangkau,

Sustainable/berkesinambungan

dan

Safe/aman) dapat dipenuhi. Pemenuhan syarat AFASS ditandai dengan: (1) Rumah tangga dan masyarakat yang memiliki jaminan atas akses air bersih dan sanitasi yang baik. (2) Ibu atau keluarga sepenuhnya mampu menyediakan susu formula dalam jumlah cukup untuk mendukung tumbuh kembang anak. (3) Ibu atau keluarga mampu menyiapkan susu formula dengan bersih dan dengan frekuensi yang cukup, sehingga bayi aman dan terhindar dari diare dan malnutrisi (4) Ibu atau keluarga dapat memenuhi kebutuhan susu formula secara terus menerus sampai bayi berusia 6 bulan. (5) Keluarga mampu memberikan dukungan dalam proses pemberian susu formula yang baik.

23

(6) Ibu atau keluarga dapat mengakses pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi bayinya. (f)

Bila syarat AFASS terpenuhi maka susu formula dapat diberikan dengan cara penyiapan yang baik. Di negara berkembang, syarat tersebut sulit di penuhi. WHO menganjurkan pemberian ASI, yang cukup aman selama ibu mendapat terapi ARV secara teratur dan benar.

(g)

Untuk melakukan penghentian ASI, bayi dapat secara total diberi susu formula, sehingga produksi ASI akan terhenti secara berangsur.

(h)

Pada bayi yang diberi ASI, bila setelah enam bulan syarat-syarat AFASS belum dapat terpenuhi maka ASI tetap diberikan dengan cara diperah atau dipanaskan. Pada usia 12 bulan ASI harus dihentikan dan makanan keluarga diberikan sebagai sumber nutrisi. Jika bayi telah diketahui HIV positif maka ibu sangat dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif sampai bayi berumur enam bulan. Setelah enam bulan, bayi diberikan makanan pendamping ASI dan ASI tetap dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun (Kemenkes, 2014).

c)

Vaksinasi bayi Vaksinasi yang diberikan pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV positif ialah vaksinasi baku seperti bayi-bayi lain. Vaksinasi ini boleh termasuk BCG, polio oral, campak yang dapat diberikan kepada bayi beberapa hari setelah lahir. Namun sebaiknya vaksinasi tidak diberikan menunjukkan

gejala

klinis

infeksi

HIV/AIDS,

misalnya

gangguan

pertumbuhan dan perkembangan atau sering terkena infeksi (Spiritia, 2011; Kemenkes, 2014).

C. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian. 1.

Riwayat :tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obatobat.

2.

Penampilan umum :pucat, kelaparan.

3.

Gejala subyektif :demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.

4.

Psikososial : kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis. 24

5.

Status mental : marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apatis, with drawl, hilang interest pada lingkungan sekitar, gangguan proses piker, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.

6.

HEENT : nyeri peri orbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.

7.

Neurologis : gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.

8.

Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.

9.

Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi, edemperifer, dizziness.

10. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis,

SOB, menggunakan otot

Bantu

pernapasan, batuk produktif atau non produktif. 11. GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia, perutkram, hepatosplenomegali, kuning. 12. Gu : lesiataueksudatpada genital, 13. Integument :kering, gatal, rash ataulesi, turgor jelek, petekiepositif. b. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko Infeksi 2. Gangguan Pemenuhan Nutrisi 3. Hipertermi 4. Gangguan Pola nafas 5. Cemas / Ansietas 6. Nyeri c. Perencanaan Keperawatan No. 1.

Diagnosa Keperawatan RESIKO INFEKSI Definisi: suatu keadaan diamana seseorang beresiko terhadap invasi organism pathogen. Faktor Resiko:  Pertahanan primer tidak adekuat (mis: trauma jaringan, statis cairan tubuh, perubahan pH sekresi dan

Tujuan / NOC Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama.......x24 jam tidak terdapat tanda-tanda infeksi dengan indikator:  Terbebas dari tanda dan gejala infeksi  Mengindikasikan status gastrointestinal, pernapasan, genitourinaria dan imun dalam batas normal

25

NIC Perlindungan infeksi: Definisi: Mencegah dan mendeteksi dini infeksi pada pasien yang beresiko. Intervensi:  Pantau tanda dan gejala infeksi misalnya suhu tubuh, denyut



 

 

2.

gangguan peristaltis) Hemoglobin turun, leukositopenia, dan supresi respon inflamasi. Prosedur invansif Peningkatan pemajanan lingkungan terhadap patogen Kerusakan jaringan Trauma

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Definisi : asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik Batasan karakteristik :  Pasien melaporkan kurangnya makan  Adanya bukti kekurangan makanan  Bising usus hiperaktif  Kurangnya minat

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...... x24 jam pasien meperlihatkan status gizi yang baik dengan indikator :  Masa tubuh dan berat badan dalam batas normal  Memiliki nilai laboratorium misalnya: transfering, albuin dan elektolit dalam batas normal  Melaporkan tingkat energi yang adekuat

26

jantung, drainase, sekresi, penampila n urin, suhu kulit dan kletihan)  Kaji factor yang dapat meningkat kan kerentana n terhadap infeksi  Pantau hasil laboraturi um  Ikuti protocol untuk melaporka n suspek infeksi atau kultur positif  Berikan terapi antibiotic, bila diperluka. Manajemen Nutrisi Definisi : membantu atau menyediakan asupan makanan dan cairan diit seimbang Intervensi :  Pantau nilai laboratorium khususnya transferring, albumin dan elektrolit  Identifikasi factor yang mempengaruh i kehilangan selera makan

terhadap makan  Membrane mukosa pucat  Menolak untuk makan Faktor yang berhubungan :  Penyakit kronis  Intoleransi makanan  Kebutuhan metabolik tinggi  Kurang pengetahuan dasar tentang nutrisi  Hilang nafsu makan  Mual dan muntah















3.

Hipertermia Defenisi : peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal Batasan karateristik : - Konvulsi - Kulit kemerahan - Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal

NOC Thermoregulation Kriteria hasil : - Suhu tubuh dalam rentang normal - Nadi dan respirasi dalam rentang normal - Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing 27

pasien Ketahui makanan kesukaan pasien Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan Ciptakan lingkungan yang menyenangka n untuk makan Menghindari prosedur infasif sebelum makan Tawarkan kudapan misalnya minumam dan buah-buahan segar atau jus Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein Diskusikan dengan dokter kebutuhan simulasi nafsu makan dan makanan pelengkap

NIC Fever treatment - Monitor suhu tubuh sesering mungkin - Monitir IWL - Monitor warna dan suhu kulit - Monitor tekanan darah, nadi dan

- Kejang - Takikardi - Takipnea - Kulit terasa hangat Faktor-faktor yang berhubungan : - Anastesi - Penurunan respirasi - Dehidrasi - Pemajanan lingkungan yang panas - Penyakit - Pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan - Peningkatan laju metabolisme - Medikasi - Trauma - Aktivitas berlebihan

respirasi - Monitor penurunan tingkat kesadaran - Monitor WBC, HB, dan HCT - Monitor intake dan output - Berikan anti piretik - Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam - Lakukan tapid sponge - Kolaborasi pemberian cairan intravena - Kompres pasien pada lipat paha dan aksila - Tingkatkan sirkulasi udara - Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil Temperature regulation - Monitor suhu minimal tiap 2 jam - Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu - Monitor TD, nadi, dan RR - Monitor warna dan suhu kulit - Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi - Tingkatkan intake cairan dan nutrisi - Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas - Diskusikan tentang pentingnya mengatur suhu tubuh dan kemungkinan efek negatif dari kedinginan - Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergency yang 28

4.

Ketidakefektifan pola nafas Defenisi :Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi Batasan Karakteristik  Perubahan kedalaman pernafasan  Perubahan ekskursi dada  Bradipnea  Penurunan tekanan ekspirasi  Penurunan ventilasi semenit

diperlukan - Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan - Berikan anti piretik jika perlu Vital sign Monitoring - Monitor TD, nadi, suhu, dan RR sebelum, selama, dan sesudah aktivitas - Catat adanya fluktuasi tekanan darah - Monitor vital sign saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri - Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan - Monitor suara paru - Monitor pola pernafasan abnormal - Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit - Monitor sianosis perifer - Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik) - Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign NOC NIC Airway Management  Respiratory status : Ventilation  Buka jalan nafas, gunakan teknik chin  Respiratory status : Airway lift atau jaw thrust patency bila perlu  Vital sign status  Posisikan pasien Kriteria hasil : untuk  Mendemonstrasikan batuk memaksimalkan efektif dan suara nafas yang ventilasi bersih, tidak ada sianosis dan  Identifikasi pasien dipsnea (mampu perlunya pemasangan mengeluarkan sputum, alat jalan nafas buatan mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)  Pasang mayo bila perlu  Menunjukkan jalan nafas 29

 Penurunan kapasitas vital  Dipsnea  Peningkatan diameter anterior-posterior  Pernafasan cuping hidung  Orthopnea  Fase ekspirasi memanjang  Pernafasan bibir  Takipnea  Penggunaan otot aksesorius untuk bernafas Faktor yang berhubungan :  Ansietas  Posisi tubuh  Deformitas tulang  Deformitas dinding dada  Keletihan  Hiperventilasi  Sindrom hipoventilasi  Gangguan musculoskeletal  Kerusakan neurologis  Imaturitas neurologis  Disfungsi neuromuscular  Obesitas  Nyeri  Keletihan otot pernafasan cedera medulla spinalis

yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)  Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafaan)

30

 Lakukan fisioterapi dada bila perlu  Keluarkan secret dengan batuk atau suction  Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan  Lakukan suction pada mayo  Berikan bronkodilator bila perlu  Berikan pelembab udara ; kassa basah, NaCl lembab  Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan  Monitor respirasi dan status O2 Oxygen Therapy  Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea  Pertahankan jalan nafas yang paten  Atur peralatan oksigenasi  Monitor aliran oksigen  Pertahankan posisi pasien  Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi  Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi  Monitoring vital sign  Catat adanya fluktuasi tekanan darah  Monitor vital sign sebelum, dan setelah aktivitas  Monitor pola pernafasan abnormal  Monitor suhu, warna,

5.

Ansietas Definisi : perasaan gelisah yang tak jelas dari ketidaknyamanan atau kekuatan yang disertai respon autonom (sumber tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu), perasaan keprihatinan disebabkan dari antisipasi terhadap bahaya. Batasan karakteristik :  Nyeri dan peningkatan ketidakberdayaan yang persisten  Peningkatan keringat  Peningkatan ketegangan  Nyeri abdomen  Mual Faktor yang berhubungan :  Terpapar racun  Konflik yang tidak disadari tentang nilai-nilai utama tujuan hidup,  berhubungan dengan herediter,  kebutuhan tidak terpenuhi  transmisi interpersonal  krisis situasional  ancaman kematian  ancaman terhadap konsep diri, stres, subtans abuse  perubahan dalam : status peran; kesehatan; pola

dan kelembaban kulit  Monitor sianosis perifer Setelah dilakukan tindakan PENGURANGAN keperawatan selama .......x24 CEMAS jam pasien dapat mengontrol Definisi: rasa takut, cemas dengan indikator: cemas, merasa dalam bahaya atau  menyingkirkan ketidaknyamanan tanda kecemasan terhadap sumber yang  menurunkan tidak diketahui stimulus lingkungan Intervensi : ketika cemas  gunakan  merencanakan pendekatan strategi koping yang untuk situasi penuh menenangkan stres  pahami  menggunakan teknik perspektif relaksasi untuk pasien mengurangi cemas terhadap  tidak ada manifestasi situasi stres perilaku kecemasan.  berikan informasi mengenai diagnosis, tindakan, prognosis  identifikasi tingkat kecemasan  bantu pasien menangani situasi yang menimbulkan kecemasan  dorong pasien untuk mengungkapk an perasaan, ketakutan, persepsi  instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi  berikan obat untuk mengurangi 31

6.

interaksi, fungsi peran, lingkungan, ekonomi. Nyeri akut Defenisi : Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the study of Pain) : awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung <6 bulan Batasan Karakteristik :  Perubahan selera makan  Perubahan tekanan darah  Perubahan frekuensi jantung  Perubahan frekuensi pernafasan  Laporan isyarat  Diaphoresis  Perilaku distraksi (mis; berjalan mondar-mandir mencari orang lain dan atau aktivitas lain, aktivitas yang berulang)  Mengekspresikan prilaku (mis; gelisah, merengek, menangis)  Masker wajah (mis; mata kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu focus meringis)  Sikap melindungi area nyeri  Fokus menyempit (mis; gangguan persepsi nyeri,

kecemasan

NOC  Pain level  Pain control  Comfort level Kriteria hasil :  Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)  Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri  Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri)  Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

32

NIC Pain Management  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi  Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan  Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien  Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri  Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau  Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan  Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan  Kurangi faktor presipitasi nyeri  Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, nonfarmakologi, dan interpersonal)

 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi  Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi  Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri  Evaluasi keefektifan kontrol nyeri  Tingkatkan istirahat  Kolaborasikan dengan dokter jika da keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil  Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri Analgesic Administration  Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat  Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi  Cek riwayat alergi  Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu  Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri  Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal  Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur  Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik

hambatan proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)  Indikasi nyeri yang dapat diamati  Perubahan posisi untuk menghindari nyeri  Sikap tubuh melindungi  Dilatasi pupil  Melaporkan nyeri secara verbal  Gangguan tidur Faktor yang berhubungan :  Agen cedera (mis; biologis, zat kimia, fisik, psikologis)

33

pertama kali  Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat  Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala

34

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"