4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Susunan Saraf Otonom Pada perangsangan adrenergik dilepaskan NE dari ujung saraf adrenergik dan epi dari medula adrenal. Epi bekerja pada semua reseptor adrenergik: α1,α2,β1,β2,dan β3 ( aktivitas β3 agak lemah) , sedangkan NE bekerja pada reseptor α1,α2,β1 dan β3 ( aktivitas β2- nya sangat lemah ). Respon suatu organ otonom terhadap perangsangan saraf adrenergik bergantung pada jenis reseptor adrenergik yang dimiliki organ tersebut serta jenis organ itu sendiri. Misalnya, otot polos pembuluh darah kulit hanya mempunyai reseptor α dan tidak mempunyai reseptor β, mak perangsangan saraf adrenergik akan menyebabkan vasokontriksi dan tidak vasodilatasi. reseptor α1 pada otot polos pembuluh darah akan memberikan respon kontraksi, tetapi reseptor yang sama pada otot polos khusus akan memberikan respon relaksasi pada perangsangan saraf adrenergik. Suatu organ efektor dapat saja mempunyai lebih dari suatu jenis reseptor adrenergik. Misalnya, otot polos pembuluh darah otot rangka mempunyai reseptor β2 dan α. Epi bekerja pada kedua reseptor tersebut, dengan apinitas yang lebih tinggi pada reseptor β2. Karena itu, epi kadar rendah, yaitu yang bisa terdapat dalam sirkulasi, akan meningkat hanya reseptor β2 sehingga meningkatkan vasodilatasi. Dalam kadar yang tinggi, epi akan meningkat kedua reseptor β2 dan α. Karena reseptor α terdapat dalam jumlah yang lebih banyak dari pada reseptor β2, maka efek vasokontriksi akibat aktivasi reseptor α dominan terhadap efek vasodilatasi akibat aktivasi reseptor β2. Respon masing- masing organ serta jenis reseptor adrenergik yang dimilikinya. Pada arteriol koroner, paru dan otot rangka vasodilastasi dominan akibat autoregulasi metabolik. Efineprin dalam kadr fidiologis menyebabkan vasodilatadi( dominasi respon reseptor β) pada otot rangka dan hati tetapi
5
vasokontriksi (respon resepto α) pada visera abdominal lainnya pembuluh darah ginjal dan mesenterik juga mempunyai reseptordopaminergik( DA) yang menyebabkan vasodilatasi.
2.2 Transmisi Neurohomoral Impuls saraf dari SSP hanya dapat diteruskan ke ganglion dan sel efektor melalui penglepasan suatu zat kimia yang khas yang disebut transmitor. Tidak banyak obat yang pada dosis terapi dapat mempengaruhi kondisi akson,
tetapi
banyak
sekali
zat
yang
dapa
mengubah
transmisi
neurohumornal. Konduksi saraf hanya dapat dipengaruhi oleh anestetik lokal dosis terapi yang diinfiltrasikan dalam kadar yang relatif tinggi di sekitar batang saraf, dan oleh beberapa zat lain seperti tetrodotoksin.pada -70MV. Potensial negatif ini disebabkan oleh kadar ion K di dalam sel saraf 40 kali lebih besar daripada kadarnya diluar sel, sedangkan ion Na dan Cl jauh lebih banyak diluar sel. Dalam keadaan potensial istirahat ini, ion Na tidak dapat memasuki sel. Bila ada depolarisasi yang mencapai ambang rangsang maka permeabilitas terhadap ion Na sangat meningkatkan sehingga ion Na masuk
6
kedalam aksoplasma dan menyebabkan potensial istirahat yang negatif tadi menuju netral dan bahkan menjadi positif (disebut polarisasi terbalik). Ini diikuti dengan respolarisasi, yaitu kembalinya potensial istirahat dengan terhentinya pemasukan ion Na dan keluarnya ion K. Perubahan potensial tersebut di atas disebut potensial aksi (impuls) saraf (nerve action potential, NAP) NAP akan berjalan sepanjang akson sampai si ujung saraf, di sini NAP menyebabkan penglepasan transmitor. Transmitor akan melintasi celah sinaps selebar 100-500 angstrom ke membran pascasinaps. Transmitor ini disintesis dan disimpan di ujung akson dalam organel yang disebut gelembung (vesikel) sinaps. Transmitor yang dilepaskan dari ujung saraf praganglion ialah asetikolin (ACh) berdifusi sepanjang celah sinaps dan mencapai membaran saraf pasca ganglion yang disebut potensial perangsangan pasca sinaps (excitatory postsynaptic potential, EPSP). Depolarisasi terjadi akibat peningkatan permeabilitas ion Na dan K sekaligus. EPSP akan merangsang terjadinya NAP di saraf pasca ganglion yang sesampainya di sinaps saraf /efektor akan menyebabkan penglepasan transmitor lagi untuk meneruskan sinyal ke sel efektor. Pada sinaps saraf/ efektor ini dilepaskan transmitor Ach pada saraf pasca ganglion parasimpatis dan nerefinefrin(NE) pada saraf pascagangllion simpatis. Reaksi sel efektor dapat berupa perangsangan atau penghambatan tergantung jenis transmitor dan jenis reseptornya. Sesuatu transmisi neurohumoral tidak selalu menyebabkan depolarisasi tetapi juga dapat menyebabkan hiperpolarisasi. Hiperpolarisasi pada membran saraf pascaganglion disebut potensial inhibisi pasca sinaps (Inhibitory postsynaptic , IPSP) dan menyebabkan hambatan organ pasca sinaps. Hiperpolarisasi terjadi akibat peningkatan permeabilitas ion K+ Bila transmitor tidak diinaktifkan mka transmisi sinaptik akan berlangsung pada membran pascasinaps dengan akibat terjadinya perangsangan yang berlebihan atau bahkan disusul dengan blokade. Karena itu harus ada mekanisme untuk menghentikannya. Pada sinaps koinergik terdapat
7
asetilkolinesterase, suatu enzim penghidrolisis Ach yang kerjanya cepat sekali. Pada sinaps adrenergik, NE terutama diambil kembali oleh ujung saraf adrenergik. Ambilan kembali NE ini selain untuk menghentikan transmisi sinaps juga berfungsi untuk menghemat NE. Saraf yang mensitetis dan melepaskan Ach disebut saraf kolinergik, yakni saraf
praganglion
simpatis
dan
parasimpatis,
saraf
pascaganglion
parasimpatis, dan saraf somatik yang mempersarafi otot rangka. Saraf yang mensintesis dan melepaskan NE disebut saraf adrenergik, yakni hampir semua saraf pascaganglion simpatis. Ada transmisi elektris melalui sinbaps tanpa perantaraan transmitor , misalnya tang ditemukan pada ikan belut listrik (electric-eel-electrohorus electricus). Transmisisemacam ini pada mamalia hanya ditemukan pada susunan saraf pusat pada sinaps yang secara anatomi berbeda dengan sinap neurohumoral. Keempat tahap transmisi neurohumoral yaitu sintesis, penyimpanan , penglepasan, ikatan dengan reseptor dan eleminasi transmitor merupakan dasar untuk pengertian kerja obat otonom. Obat yang bekerja pada saraf otonom mempengaruhi salah satu tahap transmisi neurohumoral tersebut, yaitu pada transmisi adrenergik atau transmisi kolinergik tanpa membedakan apakah saraf tersebut termasuk sistem sinaps, parasimpatis atau somatik. Hal tersebut menjelaskan mengapa pembicaraan obat yang bekerja pada saraf otonom bertolak dari transmisi kolinergik dan transmisi adrenergik dan bukan dari sistem simpatik/parasimpatik. Demikian juga dari segi farmakologi tidak perlu ada pembicaraan mengenal obat yang bekerja pada saraf somatik secara terpisah karena saraf somatik ialah suatu saraf kolinergik.
2.3 Obat Gagal Jantung 2.3.1 Farmakokinetik Farmakokinetik adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Empat proses yang termasuk didalamnya adalah absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan ekskresi (eliminasi).
8
Pembahasan mengenai farmakokinetik digitalis akan dibatasi pada digoksin dan digitoksin, karena kedua sediaan ini paling banyak digunakan
dan
paling
banyak
diteliti
efek
klinisnya.
Data
farmakokinetik yang penting untuk digoksin dan digitoksin diringkas dalam tabel 20-1.
a)
Absorpsi Penyerapan digoksin pada pemberian per oral agak bervariasi dan sangat ditentukan oleh jenis sediaan yang digunakan, adanya makanan, serta waktu pengosongan lambung. Absorpsi paling baik pada sediaan dalam vehikulum zat hidroalko-holik. Terdapat perbedaan bioavailabilitas antar obat dari pabrik yang berbeda, bahkan antar tablet dengan nomor adon (batch number) berbeda dari suatu pabrik, dan ini menimbulkan masalah klinis yang bermakna. Absorpsi dari sediaan tertentu dapat rendah sekali, yaitu 40%, sementara yang lain mencapai 75%. Perbedaan bioavailabilitas terjadi karena perbedaan kecepatan dan derajat disolusi. Oleh karena itu dianjurkan agar setiap dokter menggunakan satu macam sediaan yang sudah dikenalnya secara tetap, atau menuliskan nama pabrik pembuatnya bila obat diresepkan berdasarkan nama generik.
9
Penyerapan digoksin dihambat oleh adanya makanan dalam saluran cerna, melambatnya pengosongan lambung, dan sindrom malabsorpsi. Pemberian bersama obat-obat seperti kolestiramin, kolestipol, kaolin, pektin karbon aktif juga mengurangi absorpsi. Demikian pula pemberian neomisin, siklofosfamid, vinkristin, dan laksans. Pada 10% penderita, digoksin diubah dalam jumlah yang cukup banyak menjadi dihidrodigoksin oleh mikroorganisme usus dan resin pengikat steroid. Kadar puncak digoksin dalam plasma dicapai dalam waktu 2-3 jam setelah pemberian per oral dengan efek maksimal selama 4-6 jam. Bila digoksin tidak diberikan dalam dosis beban (loading dose), diperlukan waktu sampai 1 minggu untuk mencapai kadar mantap (steady state) dalam plasma, karena waktu paruh obat dalam tubuh adalah antara 1 sampai 2 hari. Penyerapan digitoksin lebih sempurna (mendekati 100%) daripada digoksin karena digitoksin lebih larut dalam lemak. Maka dosis IV diasumsikan sama dengan dosis oral. Tidak ada masalah bioavailabilitas penting dengan digitoksin, tetapi kecepatan penyerapannya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama dengan digoksin. Karena waktu paruhnya yang panjang, kadar mantap dalam plasma lambat tercapai dan pemulihan dari keracunan juga lebih lambat. b)
Distribusi Distribusi glikosida dalam tubuh berlangsung lambat, sebagian karena volume distribusinya yang besar (kira-kira 6L/kg). Seperti halnya dengan obat lain, gagal jantung memperlambat tercapainya kadar mantap. Kira-kira 25% digoksin terikat pada protein plasma, sedangkan digitoksin lebih dari 95%. Perbedaan dalam ikatan protein ini sebagian akan menimbulkan perbedaan dalam volume distribusi dan kadar terapi. Digitalis disebar ke hampir semua jaringan, termasuk ke eritrosit, otot skelet, dan jantung. Pada keadaan seimbang, kadar dalam jaringan jantung 15-
10
30 kali lebih tinggi daripada kadar dalam plasma, sementara kadar dalam otot skelet setengah kadar dalam jantung. Ikatan glikosida jantung dengan jaringan menurun apabila kadar K+ ekstrasel meningkat. Efek maksimal baru timbul 1 jam atau lebih setelah kadar maksimal di jantung tercapai. c) Metabolisme Digitoksin
dimetabolisme
secara
aktif
oleh
enzim
mikrosom hati, dan salah satu metabolitnya adalah digoksin. Metabolisme digitoksin dapat di percepat oleh obat yang merangsang enzim mikrosom yaitu fenilbutazon, fenobarbital, fenitoin, dan rifampisin. d) Eliminasi Digoksin dieliminasi terutama melalui ginjal. Obat ini mengalami filtrasi di glomerulus dan diseksresi melalui tubulus. Ada sedikit reabsorpsi di lumen tubulus, dan ini menjadi nyata bila kecepatan aliran cairan tubulus sangat berkurang. Beberapa penderita lainnya membentuk antibodi terhadap glikosida sehingga efek terapi tidak terjadi. Digitoksin
dimetabolisme
secara
aktif
oleh
enzim
mikrosom hati, dan salah satu metabolitnya adalah digoksin. Metabolisme digitoksin dapat di percepat oleh obat yang merangsang enzim mikrosom yaitu fenilbutazon, fenobarbital, fenitoin, dan rifampisin. Waktu paruh eliminasi digoksin rata-rata adalah 1,6 hari dan sangat ditentukan oleh fungsi ginjal. Tindakan-tindakan yang dapat memengaruhi fungsi ginjal, seperti pemberian vasodilator dapat menimbulkan perubahan yang nyata dalam eliminasi digoksin. Waktu paruh eliminasi digitoksin hampir 7 hari dan tidak banyak berubah pada gangguan faal hati. Hal ini mencerminkan cadangan hati yang besar dalam metabolisme obat ini. Digitoksin
11
mengalami siklus enterohepatik, tetapi hanya sedikit obat utuh yang dieliminasi melalui usus. Pada usia lanjut, digoksin perlu dikurangi karena bersihan kreatinin dan volume distribusi berkurang. Pada pasien obese, perhitungan dosis sebaiknya berdasarkan berat badan ideal; pemberian digoksin atas berat badan aktual dapat melebihi dosis yang diperlukan sebab kadar digoksin dalam jaringan lemak sangat sedikit. Dosis digoksin perlu dikurangi pada penderita gangguan fungsi ginjal. Sebaliknya gangguan absorpsi usus halus dapat mengganggu absorpsi obat, tetapi penyakit hati kronis agaknya tidak memengaruhi farmakokinetik digoksin secara berarti. 2.3.2 Farmakodinamik Sifat farmakodinamik utama digitalis adalah inotropik positif, yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium. Pada penderita yang mengalami gangguan fungsi sistolik, efek inotropik positif ini akan menyebabkan peningkatan curah jantung sehingga tekanan vena berkurang, ukuran jantung mengecil dan refleks takikardia yang merupakan kompensasi jantung, diperlambat. Tekanan vena yang berkurang akan mengurangi gejala bendungan, sedangkan sirkulasi yang membaik, termasuk ke ginjal, akan meningkatkan diuresis dan hilangnya udem. Digitalis juga menyebabkan perlambatan denyut yentrikel pada fibrilasi dan flutter atrium, dan pada kadar toksik menimbulkan disrritmia. Jadi, efektivitas digitalis pada gagal jantung kongestif timbul karena kerja langsungnya dalam meningkatkan kontraksi miokardium. Digitalis juga bekerja langsung pada otot polos pembuluh darah, selain itu efeknya pada jaringan saraf mempengaruhi secara tidak langsung aktivitas mekanik dan listrik jantung serta resistensi dan daya tampung pembuluh darah. Akhirnya, perubahan dalam sirkulasi akibat digitalis sering diikuti oleh perubahan refleks pada
12
aktivitas autonom dan keseimbangan hormonal yang secara tidak langsung berpengaruh baik terhadap fungsi kardiovaskuler. 2.3.3 Obat Gagal Jantung 1. Digitalis untuk penggunaan klinis Digitalis bukan satu-satunya obat pada gagal jantung. Pada gagal jantung ringan, pemberian digitalis baru dipertimbangkan bila pembatasan aktivitas fisik, pengurangan garam, penggunaan diuretik, dan vasodilator belum menolong. Penurunan kerja jantung karena berkurangnya beban hilir dan menurunnya tekanan pengisian ventrikel (yang disebabkan oleh diuretik dan venodilator) seringkali cukup untuk mengatasi gejala gagal jantung. Digitalis tidak mutlak digunakan untuk setiap kasus. Pemberian digitalis jangka lama disertai dengan toksitas yang nyata, sebaiknya obat ini tidak diberikan kecuali bila ada indikasi yang jelas. Peran digitalis dalam pengobatan gagal jantung pada beberapa penelitian, penghentian digitalis pada penderita yang juga mendapat diuretik atau vasidilator atau keduanya tidak nyata memperburuk fungsi jantung. Pada penelitian lain ditemukan bahwa digitalis bermanfaat dalam pengobatan gagal jantung pada penderita yang irama jantungnya normal tetapi keluhannya tidak dapat disembuhkan dengan diuretik. Pada penderita dengan irama sinus ini digoksin memang bermanfaat tetapi manfaatnya tidak besar. Dibandingkan dengan vasodilator penghambat ACE, digitalis sama efektif tetapi membawa resiko lebih besar. Digitalis baru digunakan bila pembatasan aktivitas fisik, pengurangan asupan garam, serta pemberian diuretik dan vasodilator belum memberi efek terapi yang memadai. Tetapi bila gagal jantung disertai dengan fibrilasi atrium, digitalis masih merupakan obat pilihan, walaupun tersedia cara-cara lain pengendalian irama ventrikel.
13
2. Diuretik Pada gagal jantung, berkurangnya volume darah arterial menyebabkan ginjal menahan air dan garam. Sitem renninangiotesin-aldosteron pun dipacu sehingga terbentuk anglotesin II yang merangsang sekresal aldosteron. Aldosteron menambah retensi natrium di sertai pembuangan kalium. Semua ini yang menyebabkan retensi cairan penderita gagal jantung. Diuretik memacu ekskresi NaCL dan air sehingga beban hulu berkurang dan gejala bendungan paru dan bendungan sistemik berkurang. Diuretik juga mengurangi volume ventrikel kiri dan teganggan dindingnya sehingga resistensi perifer menurun. Kini, diuretic merupakan pilihan pertama pada gagal jantung kronik yang ringan dengan irama sinus. Pada gagal jantung yang lebih berat, penggunaan diuretic harus lebih hati-hati dan pengaruhnya pada elektrolit yang telah ada sebelumnya harus dipertimbangkan. Pada fungsi ginjal yang normal, tiazid adalah obat terpilih untuk gagagl jantung, golongan obat ini meningkatkan ekskresi Na+ dan CI melalui urin. Secara sekunder terjadi pengeluran K+ yang akan membahayakan penderita yang juga mendapat digitalis, karena itu pada penderita demikian perlu dilakukan pengukuran kadar elektrolit secara berkala. Hipokalemia yang ditimbulkan oleh tiazid dapat di atasasi dengan tambhan k+ atau dengan pemberian diuretic hemat kalium. Diuretik kuat, misalnya furosemid bernanfaat pada penderita dengan gangguan pada fungsi ginjal (lalau filtrasi pada glomerulus <30 ml/menit), atau penderita yang udemnya menetap. Furosemid biasanya digunakan untuk menangani bendungan paru pada infrak miokard akuat. Penggunaan diuretic yang berlebihan dihindari sebab hipovelemia yang diakibatkannya akan mengurangi curah jantung, mengganggu fungsi ginjal, dan menyebabkan kelemahan umun. Selain itu, diuretik yang berlebihan dapat menyebabkan pula udema
14
yang refrakter. Pada keadaan demikian, diuretic sebaiknya diberikan secara berselang untuk mempertahankan kedaan bebas udem. 3. Vasodilator Seperti telah dijelaskan, gagalnya fungsi pompa jantung menyebabkan
dipacunya
berpagai
mekanisme
kopensasi
di
antaranya meningkatnya ronus simpatisdan aktivasi sistem RAA untuk mempertahankan pengisian jantung. Mekanisme ini pada mulanyadiimbangi dengan dilepasnya zat-zat pengatur endogen untuk memacu natriuresis dan vasodilatasi sehinggga tercapai kembali keseimbangan homeostatis. Namun, pada gagal jantung yang
berlanjut,
keseimbangan
ini
akan
bergeser
sehingga
vasokontriksi dan retensi cairan lebih menonjol. Lama kelamaan bebeban jantung semakin berat karena resistensi perifer yang meningkat. Vasodilator mengurangi vasokonstriksi yang berlebihan ini. Vasodilator kini berperan penting dalam mengatasi gagal jantung, lebih-lebih yang berhubungan dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik, insufisiensi mitral atau aorta dan kardiomiopati yang menyebabkan bendungan. Efeknya relative berbeda tergantung dari pembuluh mana yang dipengaruhinya arteriol (pembuluh resisten) atau venula (pembuluh penampung). Arteriodilator terutama mengurangi beban tahananpada aorta sehingga isi sekuncup lebih banyak, sedangkan venodilator menyebabkan berkurangnya tekanan pengisian ventrikel kiri sehingga daya tampungnya saat diastole membaik. Ini menyebabkan hilangnya bendungan paru. Pemilihan vasodilator untuk penderita gagal jantung dilakukan bedasarkan gejala gagal jantung dan parameter hemodinamik yang ada. Pada penderita yang tekanan pengisisannya (filling pressure) tinggi sehingga sesak nafas merupakan gejala yang menonjol, venodiator akan membantu mengurangi gejala. Sebaliknya, penderita dengan curah jantung yang rendah yang ditandai dengan kelelahan
15
umum (fatigue) akan tertolong arteriolodiiator. Tetatapi pada penderita gagal jantung kronis yang kurang responsive terhadap pengobatan, biasanya kedua faktor diatas
berperan sehingga
diperlukan vasodilator yang sekaligus berkerja pada arteriol dan vena. Contoh obat yang berfungsi arteriodilator adalah, hidralazin, fentolamin; sebagi venodilator : nitrat organic; dan yang bekerja seimbang sebagai dilator arteri dan vena adalah penghambat ACE αbloker serta Na-nitroprusid. Secara praktis, vasodilator dibedakan menurut janggka waktu penggunaanya. Vasodilator parenteral, misalnya Na-nitroprusid atau nitrogliselin IV digunaakan dalam jangka pendek untuk gagal jantuk kronik yang mengala,I eksaserbasi akut yang berat yang tidak teratasi oleh digitalis dan diuretik, juga untuk gagal jantung kiri akut yang disertai udem paru. Pemberian vasodilator oral jangka panjang ditunjukan untuk gagal jantung kronik. Dalam kelompok iini teramsuk penghambat ACE dan vasodilator lain. Pemberian ACE. Dalam kelompok ini dikenal kaptoril, enalapril, dan lisinopril. Enarapril mempunyai masa kerja yang lebih panjang. Pada kebanyakan penderita gagal jantung refrakter, kaptopril memperbaiki
hemodinamik
maupun
kemampuan
kerja,
dan
mengurangi gejala gagal jantung. Manfaatnya ternyata dampak juga pada penderita yang aktivitas rennin plasmanya rendah. Kaptropil sering menyebabkan hilangnya hipokalemia dan hiponatremia, serta memperbaiki ketahanan hidup. Penghambat ACE yang semula diindikasikan untuk pendrita yang kurang responsive terhadap digitalis dan diuretik, kini juga digunakan untuk awal pengobatan gagal jantung. Penghambat ACE dapat menggantikan digitalis untuk gagal jantung ringan sampai sedang yang telah mendapat diuretik. Walaupun demikian digitalis lebih baik untuk fungsi sistol ventrikel kiri sangat berkurang, pada penderita takiaritmia supraventrikel yang
16
ventrikelnya
sangat
peka,
atau
pada
mereka
yang
cenderungmengalami hipotensi mungkin timbul pada awal terapi dengan penghambat ACE, maka obat ini harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan secara hatihati, terutama pada penderita usia lanjut, dan pada keadaan hiponatremia atau dehidrasi. Pada kelompok ini diuretic mungkin perlu dikurangi dahulu dosisnya. Penghambat ACE mengurangi volume dan tekanan pengisian ventrikel kiri, tetapi juga meningkatkan curah jantung. Denyut jantung dan tekanan darah akan menurun pada awalnya, sedangkan pada pengguna jangga panjang alir darah ginjal meningkat. Dosis kaptropil yang dianjurkan adalah 2-3 kali 6,25 mg-12,5mg sehari dan perlahan-lahan dinaikan bila perlu. Efek samping dengan dosis inisangat jarang terjadi, kaptropil tersedia sebagi tablet 12,5: 25:dan 50 mg. dosis enalaprill mulai dengan 2 kali 1,25 mg sehari untuk kemudian dinaikkan bertahap. Sediaan tersedia sebagi tablet5 dan 10, mg. lisinopril yang tersedia sebagai tablet 5,10, dan 20 mg. dimulai dengan dosis 2,5 mg sekali sehari. Na-NITROPRUSID. venodilator,
obat
ini
Karena
berefek
mengurangi
arteriodilator
tekanan
pengisian
dan dan
meningkatnya curah jantung dengan gangguan fungsi pompa yang berat. Obat ini lebih efektif dan lebih cepat mula kerjanya dibandingkan
furosemid.
Meningkatnya
isi
sekuncup
yang
ditimbulkannya dapat mengimbangi turunnya resistensi perifer sehingga tekanan darah biasanya tidak banyak berubah. Kombinasi dengan zat inotropik misalnya dobutamin akan meningkatkan efektivitasnya,
lebih-lebih
pada
paderita
dengan
komplikasi
hipotensi. Dosis yang bisa diberikan adalah 15-20 ug/menit pada orang dewasa dan 0, 1-8 ug/kgBB/menit pada anak-anak. NITROGLISERIN. Indikasi utama obat ini ialah pada angina pektoris maka obat ini merupakan pilihan pertama untuk eksasebasi
17
akut gagal jantung pada penderita penyakit jantung koroner berat, dan pada mereka yang tekanan pengisiannya sangat tinggi sementara tekanan anteriolnya agak rendah. Nitrogliserin mengurangi beban hulu sama baiknya dengan nitroprusid, tetapi efeknya pada arteriol kecil. Manfaatnya terutama jelas dalam menurunkan bendungan paru. HIDRALAZI N. obat ini tergolong arteriodilator, sehingga penggunaan jangka panjang pada gagal jantungkongesif akan memperbaiki hemodinamik dan meningkatkan aliran darah ke ginjal dan tungkai, tetapi tidak memperbaiki kemampuan kerja. Reflex takikardi yang sering timbul dalam pengobatan gagal jantung. Toleransi terhadap hidralazin dapat terjadi pada sebagai kasus sehingga pengobatan jangka panjang dengan hidralazin sering tidak efektif. Dosis yang diperlukan bervariasi, tetapi biasanya lebih besar daripada dosis sebagai antihipertensi. PRAZOSIN. α-bloker ini bekerja terhadap arteriol maupun venula dan efeknya lebih jelas pada kerja fisik ketimbang pada istirahat. Hipotensi ortostatik yang sering muncul dalam pengobatan hipertensi jarang tampak pada pengobatan gagal jantung. Toleransi secara hemodinamik dan klinik dapat terjadi pada prazosin. Kemungkinan ini dapat dikurangi dengan; (a) menambahkan diuretic, (b) meningkatkan dosis prazosin, atau (c) menggantinya dengan vasodilator lain. 4. Inotropik Lain Agonis adrenergik dan penghambat fosfodiesterase adalah obat yang juga digunakan untuk terapi gagal jantung karena efek meningkatkan kontraktilitas miokard. Obat-obat ini biasanya digunakan untuk gagal jantungyang tidak dapat diatas dengan digitalis, diuretic dan vasodilaior. Aginis adrenergik. dopamine, selain merangsang reseptor β1 di miokard, juga merangsang reseptor dopamin di ginjal dan pembuluh
18
mesenterium, serta reseptor α. obat ini terutama digunakan untuk mengatasi syok kardiogenik yang disertai hipotensi, tetapi juga bermamfaat untuk terapi janggka pendek gagal jantung kronik refrakter yang berat. Dobutamin dan ibopamin, suatu katekolamin sintetik, terutama bekerja
pada
adrenoseptor
β1
d
miokard,
hanya
sedikit
mempengaruhi reseptor β2 dan α, tidak mempengaruhi reseptor dopamine. Dosis sedang meningkatkan kontaktilitas miokard tanpa meningkatkan frekuensi denyut jantung, sedangkan dosis lebih besar meningkatkan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Hal ini agaknya menunjukan kerjanya yang relatife selektif pada otot ventrikel. Pada gagal jantung kronis dobutamin digunakan dalam jangka pendek untuk meningkatkan curah jantung. Dibandingkan pada dopamin, obat ini lebih efektif dalam menurunkan tekanan pengisian ventrikel karena tidak meningkatkan tahanan perifer. Penggunaan bersama nitriprusid akan meningkatkan curah jantung lebih besar dan menurunkan resistensi perifer lebih banyak daripada penggunaan masing-masing obat. Kombinasi dengan nitrogliserin IV pun lebih memperbaiki fungsi jantung. Dobutamin juga digunakan sebagi zat inotropik pada oprasi jantung. Efektivitasnya samadengan isoproterenol, bahkan beberpa peneliti memperlihatkan bahwa obat inilebih sedikit menyebabkan takikardia
dan
aritmia.
Golongan
obat-obat
ini
agaknya
kurangbermamfaat untuk penggunaan jangka lama, sebab terdapat petunjuk terjadinnya desensitisasi adrennoseptor. Takikardia dan hipertensi yang sering terjadi paada penggunaan dobutamin dapat diatsai dengan mengurangi dosis. Mual, sakit kepala, palpitasi, nyeri angina, sesak nafas, dan arimia ventrtikel kadang-kadang terjadi ;dobutamin juga dapat meningkatkan respons ventrikel terhadap fibrilasi atrium. Pada penderita penyakit jantung
19
koroner tanpa gagal jantung, dobutamin dapat menyebabkan iskemia miokard. Dobutamin HCL tersedia dalam bentuk serbuk 250mg untuk pengguanaan IV dengan dosis 2,5- 10ug/kgBB/menit; kadangkadang dosis perlu dinaikan sampai 40 ug/kgBB/menit .obat ini dilarutkan dengan H2O steril atau dekstrosa 5%, tidak boleh dengan Na-bikarbonat karena tak tercampurkan dengan larutan basa. Amrinondan milrion. Kedua derivate bipiridin ini tampak nya bermamfaat untuk terapi akut gagal jantung. Kerjanya menghambat enzim fosfodiesterase cAMP. Intrasel meningkat sehingga ambilan Ca++ oleh sel miokard akan ber miokard akan bertambah banyak. Maka efek inotropiknya bergantung pada cadanggan cAMP intrasel. Obat ini juga berkerja langsung menguranggi resistensi perifer. Amrinon
digunakan untuk pengobatan gagal jantung kongesif
jangka pendek yang refrakter terhadap digitalis, diuretic atau vasodilator. Efek
samping
obat
termasuk
gangguan
saluran
cerna,
hepatotoksisltas, demam, trombositopenia revesibel, dan lain-lain.
2.4 Obat Antiaritmia
20
2.4.1 Obat Antiaritmia Aritmia disebabkan karena aktivitas pacu jantung yang abnormal atau penyebaran impuls abnormal. Jadi, pengobatan aritmia bertujuan mengurangi aktivitas pacu jantung ektopik dan memperbaiki hantaran atau pada sirkuit reentry yang membandel ke pergerakan melingkar yang melumpuhkan. Mekanisme utama untuk mencapai tujuan adalah: 1. Hambatan saluran natrium 2. Hambatan efek otonom simpatis pada jantung 3. Perpanjangan periode refrakter yang efektif 4. Hambatan pada saluran kalsium
Obat-Obat Antiaritmia Spesifik Obat antiaritmia telah lama dibagi atas empat golongan yang berbeda atas dasar mekanisme kerjanya. Golongan I terdiri atas penghambat saluran natrium, semuanya memiliki sifat seperti anestesi lokal. Golongan I sering dibagi menjadi sub bagian tergantung pada kelangsungan kerja potensial; Golongan IA memperpanjang, IB memperpendek, dan IC tidak mempunyai efek atau dapat meningkatkan sedikit berlangsungnya kerja potensial. Obat yang mengurangi aktivitas adrenalin merupakan Golongan II. Golongan III terdiri atas obat yang memperpanjang periode refrakter efektif oleh suatu mekanisme berbeda daripada hambatan saluran natrium.
21
Obat Penghambat Saluran Natrium (GOLONGAN I) 1. Kuinidin (GOLONGAN IA) Kuinidin merupakan obat paling umum yang digunakan secara oral sebagai antiaritmia di Amerika Serikat. Kuinidin menekan kecepatan pacu jantung serta menekan konduksi dan ekstabilitas terutama pada jaringan yang mengalami depolarisasi. Kuinidin bersifat penghambat adrenoseptor alfa yang dapat menyebabkan atau meningkatkan refleks nodus sinoatrial. Efek ini lebih menonjol setelah pemberian intravena. Biasanya diberikan peroral dan segera diserap oleh saluran cerna. Digunakan pada hamper segala bentuk aritmia. 2. Prokainamid (GOLONGAN IA) Efek elektrofisiologik prokainamid sama seperti kuinidin. Obat ini mungkin kurang efektif pada penekanan aktivitas pacu ektopik yang abnormal tetapi lebih efektif pada penghambatan saluran natrium pada sel yang mengalami depolarisasi. Prokainamid mempunyai sifat penghambat ganglion. Dengan konsetrasi teraupeutik, efek pembuluh darah perifernya kurang menonjol daripada dengan kuinidin. Prokainamid aman diberiakan intravena dan intamuskular serta diabsorbsi baik melalui oral dengan 75% keberadaan bilogik sistemik. 3. Disopiramid (GOLONGAN IA) Disopiramid fosfat erat hubungannya dengan isopropamid, obat yang telah lama digunakan dengan sifat antimuskariniknya. Efek antimuskarinik terhadap jantung bahkan lebih jelas daripada kuinidin.
Karenannya,
obat
yang
memperlambat
hantaran
atrioventrikular harus diberikan bersama-sama dengan disopiramid pada pengobatan kepak serambi atau fibrilasi atrium. 4. Imipramin (GOLONGAN IA)
22
Imipramin
adalah
antidepresan
trisiklik
yang
juga
mempunyai aktivitas antiaritmia. Kerja elektrofisiologik dan aktivitas dalam klinik adalah sama dengan kuinidin. Dosis permulaan sebaiknya lebih kecil, sebab efek samping obat ini sangat menonjol dan dikurangi sambil meningkatkan dosis perlahan-lahan. 5. Amiodaron (GOLONGAN I, II, III, & IV) Sangat efektif terhadap bermacam-macam aritmia, tetapi efek samping yang menonjol dan sifat farmakokinetik yang tidak biasa menyebabkan penggunaannya dibatasi di Amerika Serikat. 6. Lidokain (GOLONGAN IB) Lidokain adalah obat antiaritmia yang paling lazim dipakai dengan pemberian secara intravena. Insidens toksisitasnya rendah dan mempunyai efektivitas tinggi pada aritmia dengan infark otot jantung akut. Lidokain merupakan penghambat kuat terhadap aktivitas jantung yang tidak normal, dan tampaknya selalu bekerja pada saluran natrium. Karena obat ini merupakan metabolisme hati pada lintas pertama, hanya 3% lidokain yang diberikan per oral terdapat dalam plasma. Lidokain adalah obat pilihan untuk menekan takikardia ventrikel dan fibrilasi setelah kardioversi. 7. Tokainid & Meksiletin (GOLONGAN IB) Tokainid & Meksiletin adalah turunan lidokain yang tahan terhadap metabolisme hati pada lintasan pertama. Karena itu dapat digunakan melalui oral. Kedua obat menyebabkan efek samping neurologik, termasuk tremor, penglihatan kabur, dan letargik. 8. Fenitoin (GOLONGAN IB) Karena
efektivitasnya
terbatas,
maka
hanya
dipertimbangkan sebagai obat barisan kedua pada pengobatan aritmia.
23
9. Flekainid (GOLONGAN IC) Flekainid adalah penghambat saluran natrium yang kuat terutama
digunakan
untuk
pengobatan
aritmia
ventricular.
Flekainid dipakai sebagai cadangan mutakhir untuk pasien takiaritmia ventricular yang berat dengan resiko rasio manfaat lebih menguntungkan. 10. Propafenon (GOLONGAN IC) Mempunyai
struktur mirip dengan propranolol dan
mempunyai aktivitas penghambat beta yang lemah. Spectrum kerjanya mirip dengan kuinidi. Potensi penghambat saluran natrium mirip dengan flekainid. 11. Morisizin (GOLONGAN IC) Menghasilkan berbagai metabolit pada manusia, beberapa diantaranya mungkin aktif dan mempunyai waktu paruh yang panjang. Efek samping yang lazim terjadi adalah kepala pusing dan mual.
Obat-obat Penghambat Adrenoreseptor Beta (GOLONGAN II)
Propanolol dan obat sejenisnya mempunyai sifat antiaritmia karena kemampuannya sebagai penghambat reseptor beta dan efek terhadap membrane secara langsung. Obat-Obat Yang Memperpanjang Periode Refrakter Efektif Dengan Memperpanjang Aksi Potensial (GOLONGAN III) 1. Bretilium Obat ini mempengaruhi pelepasan ketekolamin saraf tetapi juga mempunyai sifat sebagai antiaritmia secara langsung. Bretilium memperpanjang masa kerja potensial ventrikel (bukan atrium) dan efektif terhadap periode refrakter. Jadi, bretilium dapat mengubah pemendekan masa kerja potensial yang disebabkan oleh iskemik.
24
Efek samping utama adalah hipotensi ortostatik. Mual dan muntah dapat terjadi setelah pemberian intravena bolus bretilium. Bretilium hanya digunakan untuk keadaan gawat darurat. 2. Sotalol Adalah penghambat kerja beta nonselektif yang juga memperpanjang masa kerja potensial dan merupakan obat antiaritmia yang efektif. 3. Verapamil Mengahmbat saluran kalsium baik yang aktif maupun yang tidak aktif. Jadi, efeknya lebih jelas pada jaringan yang sering terangsang, yang berpolarisasi kurang lengkap pada keadaan istirahat, dan aktivitasnya hanya tergantung pada aliran kalsium, seperti nodus sinoatrial dan atrioventrikular. 4. Diltiazem dan Berpidril Obat ini tampak sama manfaatnya dengan verapamil pada penanggulangan
aritmia
supraventrikular,
termasuk
control
kecepatan pada fibrilasi atrium. 2.4.2 Efek Samping KUNIDIN. Kira-kira sepertiga penderita yang menerima kunidin akan mengalami efek samping yang segera terlihat dan memerlukan penghentian pengobatan. Karena kunidin memiliki rasio terapi yang rendah, maka setiap penderita memerlukan pengawasan yang baik. Efek toksik kardiovaskular. Bila kadar kunidin naik melebihi 2µg/ml, kompeks QRS dan interval Q-Tc akan melebar dengan cepat. Perubahan ini berguna dalam pemantauan terapi kunidin. Bila kompleks QRS memanjang lebih dari 50%, dosis harus diturunkan. Pada kadar obat yang tinggi, efek toksik terhadap jantung menjadi berat, sehingga dapat timbul blokade atau henti SA, blokade AV derajat tinggi, aritmia ventrikel atau asistol. Konduksi implus menjadi sangat diperlambat di semua bagian jantung. Di samping itu, serabut purkinje dapat terdepolarisasi dan memperlihatkan automatisitas abnormal. Perubahan
25
ini berlanjut menjadi aritmia dengan bentuk aneh (bizarre arrhythmias) pada keracunan kuinidin yang berat. Takikardia ventrikel plomorfik (torsades de pointes) yang disebabkan oleh kunidin merupakan kejadian yang mengancam jiwa dan harus diobati dengan segala usaha. Penderita di rawat di ruang intensif dengan pemantauan ECG terus menerus dan diberiakn natrium laktat atau bikarbonat, katekolamin, glukagon, dan magnesium
sulfat.
Kuinidin
dan
metabolit
hidroksinya
dapat
dieliminasi dengan cara dialisis. Kadang-kadang
kuinidin
menyebabkan
sinkop
atau
mati
mendadak. Pada beberapa keadaan, hal ini merupakan akibat dari kadar kuinidin yang tinggi dalam plasma atau merupakan toksisitas pada pemberian bersama digitalis. Akan tetapi,torsades de pointes dapat terjadi pada indipidu yang sensitif dengan kadar kuinidin plasma yang rendah atau dalam rentang kadar terapi. Individu yang memperlihatkan gejala Q-T panjang (long Q – T syndrome) atau interval Q-T memanjang pada pemberian kuinidin dosis rendah merupakan individu dengan kemungkinan besar mengalami aritmia torsades de pointes dan seyogyanya tidak diberikan kuinidin. Faktor resiko lain untuk torsades de pointes adalah bradikardia dan hipokalemia. Komplikasi lain yang sering terjadi bila kuinidin digunakan untuk pengobatan fibrilasi atrium adalah peningkatan frekwensi ventrikel (takikardia paradoksal). Kuinidin dan obat lain kelas lA dapat menyebabkan
penurunan
nyata
frekuensi
denyut
atrium
pada
pengobatan fibrilasi atrium. Bila frekuensi denyut atrium menurun, denyut ventrikel dapat menaik secara mendadak, karena penurunan jumlah konduksi yang terperangkap (concealed) di nodus AV. Pada beberapa penderita, kuinidin (atau disopiramid) dapat menunjukan efek antikolinergik yang jelas. Dalah hal ini walaupun takikardia paradoksal jarang terjadi, tetapi adanya efek anti kolinergik yang demikian kuat yang menyebabkan penderita fibrilasi atau flutter atrium perlu diberi
26
digitalis sebelumnya bila hendak diobati dengan obat antiaritmia kelas lA. Kuinidin dapat menimbulkan hipotensi, terutama bila diberi secara intravena. Respon ini mungkin ditimbulkan oleh efek penyekatan adrenergik-α. Kajian hemodinamik menandakan bahwa hipotensi karena kuinidin disebabkan oleh vasodilatasi, tanpa disertai oleh perubahan curah jantung yang berarti. Kemungkinan terjadinya emboli setelah perubahan dari fibrilasi atrium ke irama sinus merupakan masalah. Atrium yang fibrilasi tidak menghasilakn kontraksi, sehingga trombi dapat terbentuk pada atrium kiri. Setelah kembali ke irama sinus, kontraksi atrium dapat melepaskan trombus dan menyebabkan stroke. Akan tetapi, risiko jangka panjang embolisasi sistemik lebih besar pada fibrilasi atrium yang menetap daripada bila berubah ke irama sinus. Untuk mencegah timbulnya emboli ini, pada penderita yang hendak menjalani kardioversi terencana (elective),
biasanya
diberi
anti-koagulan
selama
1-2
minggu
sebelumnya. Efek samping lain. Kuinidin dapat menimbulakn cinchonism ringan yang gejalanya meliputi tinitus, tuli, penglihatan kabur, dan keluhan saluran cerna. Pada keracunan berat timbul sakit kepala, diplopia, fotofobia, perubahan persepsi warna, bersamaan dengan gejala bingung, delirium dan psikoskis. Kulit terasa panas dan merah, mual, mintah, diare dan nyeri abdominal dapat pula terjadi. Hipersensitivitas demam.reaksi
terhadap
anafilaksis
dapat
kuinidin terjadi,
dapat tetapi
menyebabkan sangat
jarang.
Trombositopenia atas dasar reaksi antigen-antibodi jarang terjadi, tetapi bila terjadi dapat fatal. Penderita trombositopenia perlu dirawat di rumah sakit sampai waktu perdarah kembali normal, dan perlu diobati dengan kortikosteroid. Brokokontriksi dapat terjadi sebagai akibat reaksi hipersensitivitas. PROKAINAMID
27
Efek samping kardiovaskular. Kadar prokainamid dalam Plasma yang berlebihan menimbulkan perubahan ECG yang mirip seperti pada kuinidin. Untungnya, gejala perpanjangan Q-T yang nyata dan torsades de pointes lebih jarang terlihat dan bisanya terjadi pada gagal ginjal, ketika kadar NAPA dalam plasma meningkat tajam. Sama seperti kuinidin, prokainamid memperlambat frekuensi denyut atrium pada fibrilasi atrium, sebab itu dapat menimbulkan takikardia paradoksal di ventrikel. Bila prokainamid diberikan interval dapat terjadi hipotensi. Infus intermetin atau kontinyu dengan dosis tidak melebihi 600 mg yang diberikan dalam 25-30 menit umumnya tidak menimbulkan hipotensi. Kadar tosik prokainamid dapat menurunkan kerja jantung dan mempermudah timbulnya hipertensi. Efek samping lain.selama pemberian prokainamids per oral, gejala saluran cerna (anoreksia, mual, muntah, dan diare) dapat terjadi, tetapi gejala ini lebih jarang terjadi dibanding pada penggunaan kuinidin. Prokainamid dapat menimbulkan efek samping SSP berupa pusing, psikosis, halusinasi dan depresi. Kadang-kadang demam muncul selang beberapa hari pengobatan dimulai, sehingga penberian prokainamid tak dapat dilanjutkan. Dalam beberapa minggu pertama dapat terjadi agranulositosis diikut infeksi fital. Hitung leukosit dan diferensial harus dilakukan secara teratur selam pengobatan, dan keluar nyeri tenggorokan harus diketahui dengan segera. Mialgia, angioedema, rash, vaskulitis jari, dan fenomena Reynaud dapat ditimbulkan oleh prokainamid. Prokainamid dapat menyebabkan gejala yang menyerupai lupus eritematosus sistemik (SLE). Artralgia merupakan gejala yang paling umum; prikarditis, gangguan pleura, demamdan hepatomegali adalah gejala-gejala yang sering dijumpai. Komplikasi yang paling berat ialah terjadiny perdarahan prikardial yang disertai tamponade. Gejala SLE yang timbul karena obat berbeda dari yang alamiah. Pada SLE karena
28
obat tidak ada prediksi pada wanita, otak dan ginjal jarang terkena , jarang terjadi leukopena, anemia, trobositopenia dan hiperglobulinemia, dan tidak terjadi reaksi positif (palsu) bila diuji dengan test serologik untuk sifilis. Gejala SLE hilang bila prokainamid dihentikan. Paling sedikit 60-70% penderita yangmenerima prokainamid mempunyai antibodi anti nukleus setelah 1-12 bulan pengobatan. Tetapi hanya 2030% dari penderita dengan antibodi positip akan berkembang menjadi sindrom SLE bila pengobatan dilanjutkan. Timbulnya antibodi antinukleus saja tidak cukup dijadikan alasan untuk menghentikan pengobatan dengan prokainamid. Pengobatan baru dihentikan bila gejala klinis muncul. Antibodi antinukleus lebih cepat muncul pada penderita asetilator lambat, dan jarang ditemukan pada penggunaan NAPA.
2.5 Antihipertensi
2.5.1 Farmakokinetik KAPTOPRIL. Bioavailabilitas oral 60-65%, dan berkurang bila diberikan bersama makanan, maka obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan, ikatan dengan protein plasma sekitar 30%. Waktu paruh eliminasinya sekitar 2,2 jam. Eksresi utuh dalam urin terjadi pada
29
40% dari dosis yang bioavailabiel, maka pada gangguan ginjal dosis obat harus dikurangi. ENALAPRIL.enalapril adalah prodrug yang dipecah dalam hati menjadi bentuk aktifnya, enalaprilat. Bioavailabilitas oral 40% dan tidak dipengaruhi oleh makanan. Waktu paruh enalaprilat setelah dosis berulang 11 jam dan meningkat bila terdapat gangguan ginjal sehingga pada keadaaan ini dosis obat harus dikurangi. LISINOPRIL. Bioavailabilitas oral antara 30-50%, dan tidak dipengaruhi makanan. Waktu paruhnya sekitar 12 jam, dan sama sekali tidak terikat pada protein plasma. Hampir 100% dari dosis yang bioavailabel dieksresi utuh dalam urin. 2.5.2 Obat Antihipertensi Golongan AH
yakni
penghambat enzim konversi angiotensin
(pengahambat ACE) dan vasolidator langsung. 1. Diuretik Mekanisme antihipertensi. Khasiat antihipertensi diuretik berawal dari efeknya meningkatkan eksresi natrium, klorida, dan air, sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. TD turun akibat berkurangnya curah jantung, sedangkan resistensi perifer tidak berubah pada awal terapi. Pada pemberian kronik, volume plasma kembali tetapi kira-kira 5% dibawah nilai sebelum pengobatan. Curah jantung kembali mendekati normal. TD tetap turun karena sekarang resistensi perifer menurun. Vasodilatasi perifer yang terjadi kemudia ini tampaknya bukan efek langsung tiazid tetapi karena adanya penyesuaian pembuluh darah perifer terhadap
peneysuaian
pembuluh
darah
perifer
terhadap
pengurangan volume plasma yang terus meneurs. Kemungkinan lain adalah berkurangnya kekakuan dinding pembuluh darah dan bertambahnya daya lentur ( compliance) vaskular. Diuretik Tiazid dan Sejenisnya
30
Berbagai tiazid (misalnya hidroklorotiazid, bendroflumetiazid) dan diuretik yang sejenis ( misalnya klortalidon, indapamid) mempunyai mekanisme kerja yang sama. Dalam dosis yang akuipoten, berbagai obat ini menimbulkan efek antihipertensi dan toksisitas yang tidak berbeda satu sama lain, kecual indapamid mungkin lebaih efektif daripada tiazid lainnya pada pederita dengan gangguan fungsi ginjal. Perbedaan utama abtra berbagai obat ini terletak dalam masa kerjanya Efek antihipertensi tiazid berlangsung lebih lama dan terjadi pada dosis yang jauh lebih rendah dripadaefek diuretiknya. Efek hipotensifnya baru terlihat setelah 2-3 hari dan mencapai maksimum setelah 2-4 minggu. Karena itu, peningkatan dosis tiazid harus dilakukan dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Penggunaan sebagai antihipertensi. Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam terapi antihipertensi pafa penderita dengan fungsi ginjal yang normal. Obat ini terutama efektif u tuk penderita hipertensi dengan kadar renin yang rendah, misalnya ( kebanyakan) penderita yang lebih tua. Tiazid digunakan b=sabgai obat tunggal pada penderita hiopertensiu ringan sampai sedang, atau dalan kombinasi dengan AH lain pada penderita yang TD-nya tidak dapat dikendalikan dengan diuretik saja. Tiazid menurunkan TDS
berdiri maupun berbaring, jarang menimbulkan hopotensi
postural, ditoleransi penderita dengan baik, harga relatif murah, dapat diberikan sekali sehari, dan efek hipotensfnya bertahan pada penggubaab jangka [panjang. Tiazid seringkali dikombinasikan dengan AH lain karena: 1) Tuzaid meningkatkan efek hipotensif obat lain yanfg mekanisme kerjanya berbeda sehingga dosis obat tersebut dapat dikurangi, dan dengan demikian mengurangi jumlah dan beratnya efek samping.
31
2) Tiazid mencegah terjadinya retensi cairan oleh AH lainnya sehingga efek hipotensif obat-obat tersebut dapat bertahan. Efek samping dan Perhatian. Tiazid dapat menimbulkan berbagai
efek
samping
metabolik,
yakni
hipokalemia,
hipomagnesemia, hiponatremia, hiperurisemia, hiperlaksemia, hiperglikemia, hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia. Tiazid dapat mencetuskan gout akut. Intuk menghindari efek metablok ini, tiazid harus digunakan dengan dosis rendah dan dilakukan pengaturan diet. Kecuali indapamid, tiazid kehilangan efektivitasnya sebagai diuretik maupun antihipertensi pada gagal ginjal ( kretini serum ≥ 2,5 mg/dl). untyk kasus demikian digunakan diuretik kuat. Hipokalemia meningkatkan efek toksik digitalis, yang diberikan bersama untuk gagal jantung. Tiazid juga menimbulkan gangguan fungsia seksual dan rasa lemah. Efek hipotensif diuretik diantagonisasi poleh obat-obat antiinflamasi nonsteroid (AINS), teriutama indometasin, melalui hambatan sintesus perostaglandin yang bersifat vasodilator dan berperan penting dalam penagturan aloran darah ginjal serta metabolisme air dan garam. Pada akhirnya AINS mebyebabkan retensi natrium dan air, yang mengurangi efek hampur emua AH. AINS juga menyebakan hiperkalemia. Diuretik Kuat dan Diuretik Hemat Kalium Diuretik Kuat. Misalnya forosemid, merupakan AH yang lebih efektif dibandingkan tiazid untuk hiperfytensi dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung. Mula kerjanyanlebih cepat dan efek diuretuknya lebih kuat daripada tiazid. Tetapi tiazid lebih efektif untuk bentuk-bentuk hopertensi lainnya. Karena itu, penggunaan diuretik kuat sebagai AH oral biasanya dicadangkan ntuk pebderita dengan kreatinin serum ≥ 2,5 mg/dl
32
atau gagal jantung. Masa kerjanya pendej sehingga untuk mengedalikan TD diperlukan pemberiab minimal 2 kali sehari. Seperti halnya tiazid, pribahan kadar kalium plasma oleh diuretik kuat berhubungan denhgan efek diuretiknya, dan tidak dengan efek hipotensifnya. Efek samping diuretik kuat sama dengan tiazid kecuali tidak menyebakan hiperkalsemia. Untuk digunakan dengan dosis rendah disertai pengaturan diet. Diuretik
Hemat
Kalium
merupakan
diuretik
lemah,
panggunanya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah atau mengurangi hipokalemua dari diuretik lain. Diuretik hemat kalium dapat meneybakan hhiperkalemia, terutama pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal atau bila dikombinasikan dengan penghambat ACE, suplemen kalium, atau AINS. Pada penderita dengan kreatinin serum ≥ 2,5 mg/dl, penggunaaannya harus di hindarkan. Spironolakton dalam dosis sampai dengan 100 mg sahari mempunyai
efek
hipotensif
yang
sebanding
dengan
hidroklorotiazid. Spironolakton adalah antagonis spesisfik dari aldosteron,
maka
merupakan
obat
pilihan
utama
untuk
hiperaldosteron primer. Efek sampingnya adalah ginekomastia, mastodinia, mentruasi tidak teratur, dan berkurangnya libido pada pria. 2. Penghambat Adregenik Penghambat adrenoseptor β (β-Bloker) Mekanisme Antihipertensi. Mekanisme kerja β-Bloker sebagai AH masih belum jelas. Diperkirakan ada beberapa cara: 1) Pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas miokard menyebabkan curah jantung berkurang. Refleks baroreseptor serta tambhan reseptor β2 menyebabkan resistensi perifer pada awalnya meningkat. Pada pemberian kronik resistensi perifer
33
menurun,
mungkin
sebagai
penyesuanian
terhadap
pengurangan curah jantung yang kronik 2) Hambatan penglepasan NE melalui hambatan reseptor β2 prasinaps 3) Hambatan sekresi renin melalui hambatan reseptor β1 di ginjal 4) Efek sentral Berbagai mekanisme ini memberikan kontribusi yang berbada-beda dalam menimbulkan efek AH dari setiap βBloker. Penurunan TD oleh β-Bloker yang berikan per oral berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperolej penurunan TD lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Pada orang normal, pemberian kronik obat ini tidak menimbulkan hipotensi. Penggunaan
β-Bloker
sebagai
AH.
Beta-Bloker
diberikan sebagai obat pertama pada penderita ringan sampai sedang dengan PKK (terutama setelah infrak miokard akut) atau dengan aritmia supraventrikuler mArdinamik, dan pada penderita
yang
memerkukan
antidepresi
trisilik
atau
antipsikotik ( karena efe AH β-Bloker tidak dihambat oleh obat-obatr tersebut). β-Bloker lebih efektif pada penderita yang lebih muda dan kurang efektif pada penderita yang lebih tua. Penggunaan β-Bloker dalam kombinasi, dapat dilihat pada Tabel 22-7.
34
Efek AH β-Bloker berlangsung lebih lama daripada bertahanya kadar plasma. Hal ini mungkin disebabkan oleh ikatan β-Bloker pada jaringan. Karen aitu, kadar plasma βBloker tidak berhubungan dengan efek AH, dan tidak dapat di gunakan sebagai pedoman terapi. Efektivitas berbagai β-Bloker sebagai AH tidak berbeda satu sama lain bila dberikan dalam dosis yang ekuipoten. Ada atau
tidaknya
kardioselektivitas,
ISA,
MSA,
maupun
kemapuan obatbmasuk otak tidak memberikan perbedaan dalam efektivitas sebagai AH tetapi memberikan perbedaan dalam menentukan plihan β-Bloker mana yang paling tepat bagi masing-masing penderita, karena adanya perbedaan efek pada penyakit penyerta dan profil efek samping yang ditimbulkan. Beta-Bloker dengan ISA kurang efektif untuk PJK dan belum terbukti efektif untuk pascainfrak miokad, meskipun kurang menimbulkan efek samping metablok.
35
Efek Samping dan Perhatian Secara umum, efek samping β-Bloker (termasuk labetalol) berupa brokospasme, memperburuk gangguan pembuluh darah perifer, rasa lelah, insomia, eksaserbasi gagal jantung, dan menutupi gejala-gejala hipoglikemia juga, hipertrigliseridemia dan menurunkan kadar kolesterol HBL ( Kecuali β-Bloker dengan ISA dan Labelatol) serta mengurangi kemampuan berolahraga. Karena itu β-Bloker ( termasuk labeltalol) tidak boleh dibarikan pada penderita dengan asma, PPOM, gagal jantung dengan disfungsi sistolik, blok jantung derajat 2 dan 3, sick sinus syndrome, dan penyakit vaskular periofer, serta harus ginakan denga hati-hati pada penderita diabetes. Beta-Bloker tidak boleh dihentikan menbdadak pada penderita dengan PJK. Efek samping metabolik dari β-Bloker dapat dikurangi dengan pengaturan diet. Terapi hipertensi dengan β-Bloker pada penderita dengan gagal ginjal kronik telah dilaporkan menyebakan fungsi ginjal memburuk. Efek ini mungkin disebabkan oleh pengurangan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus akibat pengurang curah jantung dan penurunan TD oleh obat. Berbeda dengan penderita angina, pada penderita hipertensi jarang sekali terjasi hipertensi rebound pada penghentian βBloker secara mendadak. Penghambat Adrenoseptor α (α-Bloker) Hanya α-bloker yang seletif memblok adrenoseptor α1, yang berguna untuk pengobatan hipertensi, Alfa-bloker yang nonseletif juga menghambat adrenoseptor α2 di ujung saraf adregenik sehingga meningkatkan penglepasan NE. Efek NE dijantung tidak dihambat, sehingga terjadi perangsangan jantung yang berlebihan (efek langsung maupun tidak langsung melalui refleks simpatis akibat vasodilatasi perifer). hal ini meneybabakan α-bloker yang
36
nonselejtif kirang efektif sebagai AH. Αlfa1-bloker yang tersedia sebagai AH saat ini adalah prazosin, terazosin, doksazosin, dan bunazosin. Mekanisme AH. Alfa1-bloker menghambat reseptor α1 dipembuluh darah terhadap efek vasokonstriksi NE dan E sehingga terjadi dilatasi arteriol dan vena. Dilatasi arteriol menurunkan resistensi perifer, dan dengan demikian menurunkan TD. Akibtanya terjadi refleks takikardia tetapi hanya sedkit dan denyut jantung menurun kembali setelah pemberian kronik. Venodilatasi mengurangi alir balik vena. Hambatan venokonstriksi dapat meneyabakan hipotensi ortostatik yang dapat menjadi simtomatik, terutama pada pemberian dosis awl ( Fenomen dosis pertama) Penggunaan sebagai AH. JNc-V (1992) dan WHO/ISH (1993) memasukkan α-bloker dan α, β-bloker sebagai AH tahap pertama. Obat-obat ini tridak menimbulkan toleransi pada penggunaan jangka panjang sebagai AH, berbeda dengan efek αbloker pada gagal jantung. Alfa-bloke merupakan satu-satunya golongan AH yang memberikan efek posotof rwehadap lipid darah ( Menurunkan kolesterol LDL dan trigliserida, dan meninngkatkan kolesterol HDL). Alfa-bloker juga dapat menurunkan resistensi insulin ( disamping pebghambat ACE), mengurangi gangguan vaskular perifer, memberikan sedkit efek brokodilatasi dan mengurangi serangan asma akibat latihan fisik, merelaksasi oto polos prostat dan leher kandung kemih sehingga mengurangi gejala hipertrofi prostat, tidak menganggu aktivitas fisik, dan tidak berinteraksi dengan AINS, karena itu, α-bloker dianjurkan penggunaanya pada oenderita hipertensi yang disertai diabetes, dislipidemia, obesitas gangguan resistensi perifer, asma, hipertrofi prostat, dan perkok, merokok meningkatkan trigliserida dan menurunkan kolesterol HDL dalam darah. Alfa-bloker juga dapat dianjurkan untuk
37
penderita muda yang aktif secara fisik, dan mereka yang menggunakan AINS. Efek Samping dan Perhatian. Efek samping utama adalah hipotensi ortostatik. Fenomen dosis pertama adalah hipotensi ortostatik yang simtomatik dan terjadi pada bebrapa dosis pertama, tetapi dapat juga terjadi swaktu peningfkatan dosis yang berat berupa kehilangan kesadarn selintas, dan yang ringan berupda pusingnkepala atau kepala terasa ringan. Feomen ini terutama terjadi bila dosis awal terlalu besar, pada penderita dengan dplesi cairan ( termasuk orang puasa atau mebatasi garam), penderita usia lanjut, atau yang sedang majkan AH lain. Toleransi terhadap fenomen ini terjadi degan cepat, mekanismenya tidak diketahui. Untuk mencegah/mengurangi efek samping ini, dosis awal harus keci; dan diberikan sebelum ridur selama beberapa hari, demikian juga peningkatan dosisi harus dilakukan perlahan-lahan. Pemberian pada penderita usia lanjut, penderita dengan deplesu cairan, dan penambhan pada AH k=lain, harus dilakukan dengan hati-hati. Ini juga berlaku untuk labetalol. Dalam hal ini, doxazosin mempunyai keuntungan, fenomen dosis pertama jarang sekali terjadi karena obat ini mempunyai mula kerja yang lambat ( Efek maksimal dicapai 6-8 jam setelah dosis) sehingga penurunan TD terjadi secara perlahan. Efek samping lain yang jarang adalah sakit kepala, palpitasi, rasa lelah, udem perifer, hidung tersumbat, nausea, dan lain-lain.
Adrenolitik Sentral Klonidin. Efek hipotensifnya disertai dengan penurunan resistensi peifer. Curah jantung mula-mula menurun tetapi kembali ke nilai awal pada pemberian jangka panjang. Klonidin juga sedikit mengurangi denyut jantung, antara lain akibat peningkatam tonus vagal.
38
Klomnidin oral biasanya digunakan sebagai obat ke-2 atau ke-3 bila TD sasaranbelum dapat dicapai dengan diuretik sebagai obat pertama atau obat ke-2. obat ini juga digunakan untuk menggantikan penghambat adrenergik lain dalam kombinasi 3 dengan diuretik dan vasodilator pada hipertensi yang resisten. Klonidin juga berguna untuk beberapa hipertensi mendesak. Efek Samping yang paling sering adalah mulut kering dan sedasi, yangterjadi pada 50% penderita, tetapi efek ini hilang dalam 2-4 minggu meskipun obat diteruskan. Sampai 10% penderita harus menghentikan klonidin karena menetapnya sedasi, pusing, mulut kering, mual, konstipasi, atau impotensi. Gejala ortostatik kadangkadang terjadi. Efek samping sentral termasuk mimpi buruk, insomia, cemas, dan depresi. Bila digunakan tunggal, klonidin dapat menyebabkan retensi cairan sehingga mengurangi efek hipotensinya. Karena itu, obat ini paling baik digunakan bersama diuretik Penghentian mendadak dapat menimbulkan reaksi putus obat dengan gejala-gejala akibat aktivitas impatis yang berlebihan ( rasa gugup, sakit kepla, nyeri abdomen, takikardia, dan berkeringat. Gejala-gejala ini dapat disertai dengan krisis hipertensi ( peningkatan TD dengan cepat ke nilai yang sangat tinggi) dan kadang-kadang aritmia ventrikel. Sindrom putus obat ini terutama terjadi pada penderita yang mendapat dosis besar ( lebih dari 1,2, mg sehari, tetapi juga dilaporkan terjadi pada penderita yang mendapat 0,6 mg klonidin sehari) atau yang menghentikan β-bloker yang diberikan bersama. Sindrom ini biasanya mulai 12-48 jam setelah dosis terakhir. Hipertensi di atas nilai awal dapat bertahan sampai 7-10 hari. Karena itu, klonidin tidak boleh diberikan pada penderita yangn tidak patuh makan obat. Penghentian klonidin harus dilakukan bertahap dalam waktu 1 minggu atau lebih. Meskipun demikian, sindrom putus obat masih dapat terjadi. Dalam
39
hal ini klonidin harus diberikan kembali atau diberikan obat lain. Reaksi putus obat juga dapat terjadi pada adrenolitik sentral lainnya, terutama bila dikombinasi denganβ-bloker dan ke-2 obat dihentikan sekaligus. Guanabenz
dan
Guanfasin.
Sifat-sifat
farmakologik
termasuk efek sampingnya mirip klonidin. Efek AH guanabenz mencapai maksimal 2-4 jam setelah pemberian
oral
dan
menghilang
10
jam
kemudia.
Bioavailabilitasnya baik, waktu paruhnya sekitar 6 jam, dan sebagian besar obat dimetabolisme. Guanfasin mempunyai waktu paruh yang relatif panjang ( 1418 jam). obat ini dieliminasi terutama melalui ginjal dalam bentuk utuh dan metabolit. Metildopa. Metildopa mengurangi resistensi perifer tanpa banyak mengubah denyut jantung dan curah jantung. Tetapi, pada penderita usia lanjut, curah jantung dapat menurun akibat berkurangnya denyut jantung dan isi sekuncup yang terjadi sekunder terhadap turunnya beban hulu. Penurunan TD mencapai maksimal 6-8 jam setelah dosis oral. TD turun lebih banyak sewaktu penderita berdiri daripada sewaktu berbaring. Hipotensi ortostatik dapat terjadi tetapi tidak seberat yang ditimbulkan oleh penghambat saraf adregenik. Bila digunakan sendiri, obat ini dapat menimbulkan
retensi
cairan
sehingga
kehilangan
efek
hipotensifnya. Keadaan ini disebuat toleransi semu. Metildope biasanya ditambahkan sebagai obat ke-2 bila TD sasaran belum tercapai dengan diuretik saja. Obat ini efektif dalam kombinasi dengan tiazid tetapi penggunaannya dibatasi oleh seringnya timbul efek samping. Metildope merupakan pilihan utama untuk pengobatan hipertensi pada kehamila. Preparat IV digunakan terutama untuhipertensi pascabedah.
40
Absorpsi metildope dari saluran cerna bervariasi dan tidak lengkap. Bioavailabilitas oral rata-rata 25-50%. sekitar 63% dieksresi utuh dalam urin. Pada insufisiensi ginjal terjadi akumulasi obat dan metabolitnya. Waktu paruh obat sekita 2 jam dan meningkat pada penderita dengan uremia. Dosis harus dikurangi pada penderita dengan gangguan fungsi hati atau ginjal, sesuai dengan respons hipotensif penderita. Efek Samping yang paling sering adalah sedasi, hipotensi postural, pusing, mulut kering dan sakit kepala. Sedasi seringkali hilang setelah minggu pertama terapi, tetapi dapat terjadi lagi sewaktu dosisi ditingkatkan. Ketajaman mental berkurang pada beberapa penderita, tetapi reversiobel. Efek samping lainnya adalah gangguan tidur, depresi mental, impotensi, kecemasan, pengihatan kabur, dan hidung tersumbat. Efek samping yang lebih serius tetapi lebih jarang adalah anemia hemolitik, trombositopenia, leukopenia, hepatitis, dan sindrom seperti lupius. Lupus terapi yang lama, uji Coombs posistif ditemukan pada 10-20% penderita, sedangkan anemia hemolitik terjadi pada kurang dari 5% diantaranya. Uji Coombs positif tidak memerlukan penghentian obat, tetapi bila hemolisis terjadi, metildope
harus
segera
dihentikan.
Konrtikostreroid
dapat
mengurangi hemolisis yang berat. Metildope dapat menimbulkan hepatitis selintas pada 3% penderita. Kelainan ini biasanya muncul dalam 2-3 bulan pertama pengobatan dan biasanya reversibel. Tetapi , pada beberapa kasus, hepatitis ini dapat berlanjut menjadi nekrosis hati
yang fatal. Metildope dapat menurunkan kadar
kolesterol HDL. Efek hipotensif metildope ditingkatkan oleh diuretik dan dikurangi oleh antidepresi trisiklik dan amin simpatomimetik. Penghentian metildope secvara mendadak dapat menimbulkan fenomen rebound berupda peningkatan TD yang mendadak. Bila
41
ini terjadi, merildope harus diberikan kembali, atau diberikan obat lain. Seperti halnya dengan klonidin dan adrenolitik sentral lainnya, metildope juga jangan diberikan pada penderita yang tidak patuh makan obat. Penghambat Saraf Adrenergik Reserpin dan Alkaloid Rauwolfia. Reserpin mengurangi resistensi perifer, denyut jantung dan curah jantung. Hipotensi ortostatik jarang terjadi pada dosis rendah yang sekarang dianjurkan. Retensi cairan dengan akibat hilangnya efek AH dapat terjadi bila tidak diberikan bersama diuretik. Reserpin biasanya diberikan sebagai obat ke-2. obat ini merupakan AH yang efektif, terutama dalam kombinasi dengan tiazid, untuk pengobatan hipertensi ringan samapi sedang. Reserpin murah, diberikan sekali sehari. Setelah efek AH tercapai, efektivitas kombinasi ini bertahan dan hanya sedikit berubah walaupun penderita makan obatnya secara ridak teratur. Reserpin mempunyai mula kerja yang lambat dan masa kerja yang panjang. Oleh karena itu peningkatan dosis ridak boleh dilakukan lebih cepat dari setiap 5-7 hari. Sedangkan penambahan obat lain bila diperlukan hanya boleh dilakukan setelah 3-4 minggu.
2.6 Obat Antiangina
42
1. Nitrat Organik a) Farmakodinamik Nitrat organic melalui pembentukan radikal bebas nitrogen oksida (NO) menstimulasi guanilat siklase sehingga kadar siklik-GMP dalam sel otot polos meningkat. Selanjutnya sikt organic lik GMP menyebabkan defosforilasi myosin sehingga terjadi reaksi otot polos. Efek Kardiovaskular Nitrat organic menimbulkan relaksasi otot polos, termasuk arteri dan vena. Pada dosis rendah nitrogliserin terutama menimbulkan dilatasi vena sedangkan arteriol hanya sedikit dipengaruhi. Vasodilatasi ini menyebabkan penurunan tekanan distolik akhir ventrikel kiri dan kanan.resistensi vascular sistemik biasanya tidak berubah, frekuensi denyut jantung tidak berubah atau meningkat sedikit karena reflex. Pada dosis tinggi dan pemberian cepat, nitrat organik menimbulkan venodilatasi dan dilatasi arteriol perifer sehingga tekanan sistolik maupun diastolic menurun, curah jantung meningkat(reflex takikardia). Penderita akan tampak pucat, lemah, dan mengeluh pusing. Aliran darah koroner meningkat sementara, tetapi kemudian menurun karena tekanan darah arteri dan curah jantung menurun. Hipopotensi juga terjadi bila obat di berikan berulang dengan interval pendek. Menghilangnya gejala angina pektoris pada pemberian nitrat organik di duga karena menurunnya kerja jantung dan perbaikan sirkulasi koroner. Nitrat organik memperbaiki sirkulasi koroner. Daerah subandokard yang sangat rentan terhadap iskemia karena pembuluh darahnya mengalami kompresi tiap systole akan mendapatkan perfusi lebih baik pada pemberian nitrat organik. Hal ini diduga karena nitrat organik menyebabkan dilatasi pembuluh darah koroner yang besar di daerah epikardial dan bukan pembuluh darah yang kecil (arteriol), sehingga tidak terjadi steal phenomenon. Steal phenomenon adalah suatu keadaan berkurangnya aliran darah iskemik karena terjadinya vasodilatasi pada daerah normal akibat pemberian
vasodilatator
43
(arteriol), sehingga perfusi di jaringan sehat lebih baik. Sebaliknya, karena nitrat organik menimbulkan dilatasi pembuluh koroner yang besar (epikardial) maka destribusi aliran darah ke daerah iskemik(yang berdilatasi akibat otoregulasi) menjadi lebih baik (dibandingkan dengan jaringan normal). Nitrat organik menurunkan kerja jantung melalui efek dilatasi pembuluh darah sistemik. Venodilatasi menyebabkan penurunan aliran darah balik ke jantung, sehingga tekanan terakhir diastolic ventrikel (beban hulu) dan volume ventrikel menurun. Nitrat organik tidak mempengaruhi inotropi dan kronotropi jantug secara langsung, tetapi pada dosis tinggi aliran koroner dapat berkurang karena terjadinya reflex takikardia dan peningkatan kontraktilitas miokard. Hal ini dapat menimbulkan serangan angina paradoksal. Efek Lain Nitrovasodilatator menimbulkan relaksasi pada hampir semua otot polos, misalnya bronchus, saluran empedu, dan saluran cerna. Tetapi karena efeknya hanya selintas, maka tidak digunakan dalam klinik. b) Farmakokinetik Nitrat organik mengalami denitrasi oleh enzim glutation-nitrat organik reduktase dalam hati. Metabolit yang terjadi bersifat lebih larut dalam air dan efek vasodilatasinya lebih lemah atau hilang. Karena kelarutan dalam lemak yang baik dan metabolism yang cepat, maka biovailabilitas dan lama kerja nitrat organik terutama ditentukan oleh biotransformasinya. Pada pemberian isosobird dinitrat sublingual, kadar maksimal dalam plasma tercapai dalam 6 menit, dan waktu paruhnya 45 menit. Metabolitnya, isosorbid 2 mononitrat dan isosobid-5 mononitrat mempunyai waktu paruh yang lebih panjang (2-5) jam dan di duga ikut menentukan efek terapi isosobard dinitrat. Pada pemberian oral, sebagian besar hampir seluruh dosis dimetabolisme di hati pada lintasan
44
pertama sehingga biovailabilitas oral obat – obat ini rendah, misalnya biovalaibilitas oral isosobard dinitrat 22% dan nitrogliserin 1%. Ekskresi terutama dalam bentuk glukunorid dari metabolit denitrat, sebagian besar melalui ginjal. c) Efek Samping Hampir semua efek samping nitrat organik merupakan akibat dari kerjanya pada sistem kardiovaskular. Sakit kepala umum ditemukan dan biasanya berkurang bila obat dilanjutkan atau dosis dikurangi. Efek samping lain berupa pusing, rasa lemah dan sinkop yang berhubungan dengan hipotensi postural; takikardia dan palpitasi. Efek ini diperkuat oleh alkohol. Sesekali dapat timbul rash. Bila terjadi takikardia berat, maka perfusi jantung menurun di samping meningkatkan kerja jantung sehingga dapat memperburuk iskemia jantung (angina). Penggunaan yang continue menimbulkan toleransi, bukan hanya pada efek samping, tapi juga pada efek antiangina dari nitrat kerja lama. Hal ini terlihat dari memendeknya masa kerja pada penggunaan kronik, padahal kadarnya dalam plasma lebih tinggi daripada penggunaan akut. Toleransi lebih mudah terjadi pada pemberian sediaan lepas lambat karena kadar nitrat dalam plasma dipertihankan untuk waktu lama. Nitrogliserin trans-dermal menimbulkan toleransi dengan cepat karena menghasilkan kadar plasma nitrat yang bertahan selama 24 jam. Pada penderita angina, nitrogliserin transdermal dosis tinggi menunjukkan efektivitas yang jelas sampai 8 jam, tetapi jarang mencapai lama kerja 24 jam, sekalipun pada pemberian peratama dan kadar nitrat dalam plasma tetap tinggi. Ketergantungan pada nitrat terjadi setelah penggunaan kronik. Oleh karena itu penghentian terapi kronik ini harus dilakukan secara bertahap untuk menghindari timbulnya fenomen rebound berupa vasospasme yang brlebihan dengan akibat memburuknya angina sampai terjadi infark miokard dan kematian mendadak.
45
Udem perifer lkadang – kadang terjadi padapemberian nitrat kerja lama, oral maupun topical. Semua nitrat organik pada pemberian nitrat kerja lama, oral maupun topical. Semua nitrat organik dapat menimbulkan rash, tetapi tampaknya paling sering pada pemberian pada pemberian pentaerititol tetanitrat. Sediaan nitrat tropical dapat menimbulkan dermatitis kontak. Perhatian Nitrat organik harus digunakan secara hati – hati pada penderita dengan (1) peningkatan tekanan intracranial (trauma kapitis, perdarahan serebral);(2) hipotensi berat (tekanan sistolik kurang dari 90mmHg (3) hipovolemia yang belum diatasi;(4) kardiomiopati hipertrofik;(5) stenosis aorta;(6) takiaritma. Kombinasi nitrat organik dengan vasodilatator lain seperti hidralazin, prazosin, nifedipin dan lain – lain dapat menimbulkan hipotensi berat. 2. β-bloker β-bloker digunakan untuk profilaksis angina. Pemilihan obat bisa menjadi hal penting. Aktivitas intrinsik mungkin merupakan kelemahan pada angina, dan β-bloker kardioselektif seperti atenolol dan metaprolol kemungkinan merupakan obat pilihan. Semua β-bloker harus dihindari pada pasien asma karena dapat menyebabkan bronkospasme. β-bloker bervariasi dalam hal kelarutan dalam lemak dan kardioselektivitasnya. Akan tetapi, kesemuanya memblok reseptor β-bloker 1 dan sama efektifnya dalam menurunkan tekanan darah dan mencegah angina. Obat yang lebih larut lemak akan lebih cepat diabsorpsi dalam usus, lebih banyak mengalami metabolisme lintas pertama dalam hati, dan lebih cepat dieliminasi. Obat tersebut juga lebih mungkin menembus otak dan menyebabkan
efek
sentral
(misalnya
mimpi-mimpi
buruk).
Kardioselektivitasnya relatif dan berkurang dengan peningkatan dosis. Akan tetapi, blokade β-bloker1 selektif cenderung menyebabkan
46
vasokontriksi perifer yang lebih ringan (tangan dan kaki dingin) dan tidak mengurangi respons hipoglikemia yang diinduksi oleh olahraga . obat kardioselektif bisa mempunyai aktivitas β-bloker2 yang cukup untuk mempresipitasi bronkospasme berat pada pasien asma dan mereka harus menghindari penggunaan β-bloker. 3. Antagonis Kalsium Obat ini sering digunakan pada terapi angina dan mempunyai lebih sedikit efek samping serius pada β-bloker. Antagonis kalsium menghambat arus masuk ion kalsium melalui saluran lambat membran sel yang aktif. Golongan ini mempengaruhi sel miokard jantung, dan sel otot polos pembuluh darah, sehingga mengurangi kemampuan kontraksi miokard, pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung, dan tonus vaskuler sistemik atau koroner. Pemilihan obat-obat golongan antagonis kalsium berbeda-beda berdasarkan perbedaan lokasi kerja, sehingga efek terapetiknya tidak sama, dengan variasi yang lebih luas daripada golongan beta bloker. Terdapat beberapa perbedaan penting di antara obat-obat golongan antagonis kalsium verapamil, diltiazem, dan dihidropiridin (amlodipin, felodipin, isradipin, lasidipin, lerkanidipin, nikardipin, nifedipin, nimodipin, dan nisoldipin). Verapamil dan diltiazem biasanya harus dihindari pada gagal jantung karena dapat menekan fungsi jantung sehingga mengakibatkan perburukan klinis. Verapamil digunakan untuk pengobatan angina, hipertensi, dan aritmia. Obat ini merupakan antagonis kalsium dengan kerja inotropik negatif yang poten, mengurangi curah jantung, memperlambat denyut jantung, dan mengganggu konduksi AV. Dengan demikian verapamil dapat mencetuskan gagal jantung, memperburuk gangguan konduksi, dan menyebabkan hipotensi pada dosis tinggi. Karena itu obat ini tidak boleh digunakan bersama dengan beta bloker. Efek samping utamanya berupa konstipasi. Nifedipin merelaksasi otot polos vaskular sehingga mendilatasi arteri koroner dan perifer. Obat ini lebih berpengaruh pada pembuluh
47
darah dan kurang berpengaruh pada miokardium dari pada verapamil. Tidak seperti verapamil, nifedipin tidak mempunyai aktivitas antiaritmia. Nifedipin jarang menimbulkan gagal jantung, karena efek inotropik negatifnya diimbangi oleh pengurangan kerja ventrikel kiri. Sediaan nifedipin kerja pendek tidak dianjurkan untuk pengobatan jangka panjang hipertensi, karena menimbulkan variasi tekanan darah yang besar dan refleks takikardia. Nikardipin memiliki efek serupa dengan nifedipin, dengan menghasilkan sedikit pengurangan kontraktilitas miokard. Amlodipin dan felodipin menunjukkan efek yang serupa dengan nifedipin dan nikardipin, tidak mengurangi kontraktilitas miokard dan tidak menyebabkan perburukan pada gagal jantung. Obat ini mempunyai masa kerja yang lebih panjang, dan dapat diberikan sekali sehari. Nifedipin, nikardipin, amlodipin, dan felodipin digunakan untuk pengobatan angina atau hipertensi. Semuanya bermanfaat pada angina yang disertai dengan vasospasme koroner. Efek samping akibat efek vasodilatasinya adalah muka merah dan sakit kepala, dan edema pergelangan kaki (yang hanya memberikan respons parsial terhadap diuretika). Diltiazem efektif untuk sebagian besar angina. Selain itu, sediaan kerja panjangnya juga digunakan untuk terapi hipertensi. Senyawa ini dapat digunakan untuk pasien yang karena sesuatu sebab tidak dapat diberikan beta bloker. Efek inotropik negatifnya lebih ringan dibanding verapamil dan jarang terjadi depresi miokardium yang bermakna.
2.7 Skema Mekanisme Obat terhadap Target Organ Proses Perjalanan Obat melalui 3 fase: 1. Fase Farmasetik, yaitu fase dimana zat aktif dilepaskan dari sediaan 2. Fase Farmakokinetik. Fase ini menggambarkan nasib obat dalam tubuh, yaitu apa yang dilakukan tubuh terhadap obat. 3. Fase Farmakodinamik : menggambarkan kerja obat terhadap tubuh / reseptor , yaitu apa efek obat terhadap tubuh.
48
Obat ↓ Pelepasan ↓ Absorpsi ↓ deposit ← Distribusi → metabolisme, eliminasi ↓ Tempat kerja (organ/reseptor) ↓ Efek farmakologi (efek klinis/efek toksik)
Bagan di atas menggambarkan keadaan farmasetik pada saat zat aktif lepas dari sediaan obat, farmakokinetik pada saat terjadi absorpsi, distribusi, metabolisme, eliminasi, atau deposit setelah zat aktif dilepaskan, dan farmakodinamik, yaitu setelah obat mengalami berbagai proses, maka obat akan menghasilkan efek pada tempat kerja/reseptor. Mekanisme kerja obat (nasib obat didalam tubuh) adalah : A. Farmasetis Untuk mendapatkan respon, obat harus dipecah terlebih dahulu menjadi molekul kecil. Misalnya dengan disolusi dan disintegrasi. Dalam fase ini, yang penting adalah ketersediaan farmasi dari zat aktifnya, yaitu obat siap untuk diabsorbsi. 1. Farmakokinetik 2. Absorbsi Obat, untuk dapat menimbulkan aksi dan menghasilkan efek, terlebih dahulu harus diabsorbsi. Proses absorbsi meliputi masuknya obat hingga sampai ke aliran darah.
Absorbsi pada injeksi intravena Injeksi larutan obat secara langsung ke aliran darah memberikan prediksi respon farmakologik yang lebih baik.
49
Absorbsi pada injeksi intramuscular dan subkutan Absorbsi pada kedua injeksi ini akan lebih cepat jika diberikan dalam bentuk cairan. Kecepatan absorbsinya tergantung pada vaskularisasi di wilayah tubuh yang diinjeksi. Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah konsentrasi obat, derajat ionisasi dan bentuk lipid nonion, serta wilayah injeksi.
Absorbsi topikal Pertama, obat dilepaskan lalu akan melakukan penetrasi ke lapisan keratin atau stratum korneum dan akhirnya ditangkap oleh kapiler darah.
Absorbsi pulmonari Gas dan cairan volatil untuk anestesi diberikan yang diberikan melalui inhalasi akan cepat diserap oleh sistem sirkulasi dengan cara difusi melalui epitelium alveoli.
Absorbsi peroral Pertama, obat mengalami disolusi atau pemecahan obat dari bentuk solid. Caranya bermacam-macam, diantaranya mengubah obat menjadi bentuk garam, memperkecil bentuk partikel atau terkadang menggunakan teknik micronization. Setelah tahap ini, obat harus stabil di lingkungan lambung dan intestinum. Selanjutnya akan mengalami proses difusi di membran mukosa gastrointestinal menuju vena porta hepatika. Dalam proses-proses tersebut ada kemungkinan terjadi penurunan jumlah obat yang dpat mencapai sistem sirkulasi. (Adams, 2001)
3. Distribusi Obat disampaikan ke reseptor melalui sistem sirkulasi dan mencapai target reseptor yang dipengaruhi oleh aliran darah dan konsentrasi jumlah darah di reseptor tersebut. Konsentrasi obat di suatu sel dipengaruhi oleh kemampuan obat berpenetrasi ke dalam kapiler endotelium (tergantung ikatan obat dengan protein plasma) dan difusi melalui membran sel. Distribusi obat di darah, organ dan sel tergantung
50
dosis dan rute pemberian, lipid solubility obat, kemampuan berikatan dari protein plasma dan jumlah aliran darah ke organ dan sel. (Adams, 2001) 4. Biotransformasi (metabolisme) Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi dan dulu agar dapat dikeluarkan dari tubuh. Pada azasnya, tiap obat adalah zat asing yang tidak diinginkan tubuh, sehingga tubuh berusaha merombak zat tersebut menjadi metabolit yang bersifat hidrofil agar lebih lancer diekskresikan melalui ginjal, jadi reaksi biotransformasi merupakan peristiwa detoksikasi. Biotransformasi berlangsung terutama di hati, saluran pencernaan, plasma dan mukosa intestinal. Perubahan yang terjadi disebabkan oleh reaksi enzim dan digolongkan menjadi 2 fase, yatiu fase pertama merupakan reaksi perubahan yang asintetik (reasksi oksidasi, reduksi dan hidroksi) dan fase kedua merupakan reaksi konjugasi. Metabolisme dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologi dari obat dengan bermacam-macam cara. Kebanyakan aktivitas farmakologi dapat menurun atau hilang setelah mengalami metabolisme. Hal tersebut dapat digunakan untuk menentukan lama maupun intensitas aksi obat. (Arief, 2007) 5. Ekskresi Organ yang paling penting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresikan dalam struktur tidak berubah atau sebagai metabolit. Jalan lain yang utama adalah elimiasi obat melalui sistem empedu masuk ke dalam usus kecil, obat atau metabolitnya dapat mengalami reabsorbsi (siklus enterohepatik) dan eliminasi dalam feses. Jalur ekresi dalam jumlah sedikit adalah melalui air ludah dan air susu. Zat yang menguap seperti gas anestesi berjalan melalui epitel paru-paru.
51
2.8 Nama Contoh Obat yang Dipakai Rumah Sakit dan Masyarakat 2.8.1 Obat Gagal Jantung Glikosida jantung yang tersedia dipasaran adalah tablet lanatosid C 0,25 mg, digoksin 0,25 mg dan beta-metildigoksin 0,1 mg. Zat aktif pada bubuk daun digitalis terutama adalah digitoksin; sediaan harus sesuai bahan standar. Serbuk ini tersedia dalam bentuk tablet atau kapsul yang berisi 100mg. Digoksin juga tersedia dalam bentuk sediaan injeksi. Semua glikosida digitalis mempunyai kerja farmakologi yang sama tetapi bervariasi dalam hal potensi, mula kerja, kecepatan absorpsi, serta laju dan jalan eksresi. Pemilihan sediaan, dosis, dan cara pemberian dilakukan berdasarkan keadaan klinik penderita. Digitalis yang mula kerjanya cepat, misalnya digoksin, dapat diberikan IV bila diperlukan efek yang segera misalnya pada gagal jantung kongestif yang akut, sedangkan pada kasus yang tidak terlalu berat dan untuk terapi pemeliharaan digunakan digoksin atau digitoksin oral. Digitoksin dapat diberikan secara IV atau oral tidak boleh secara IM karena menimbulkan nyeri hebat dan nekrosis otot. Setelah pemberian per oral, efek baru terlihat dalam waktu 1,5- 2 jam tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi dan bioavailabilitas tabletnya. Waktu paruh eliminasinya relatif pendek, sehingga kadar mantap digoksin dapat diubah dalam waktu yang cukup pendek. Karena waktu paruh yang pendek itu pula, efek terapi akan segera hilang bila penderita tidak minum obat beberapa kali saja, tetapi keuntungannya efek toksik juga hilang lebih cepat setelah obat dihentikan. Tidak ada masalah bioavailabilitas dengan digitoksin. Obat ini hampir seluruhnya diserap pada pemberian per oral. Kelebihannya dibandingkan dengan digoksin ialah bahwa kadar digitoksin dalam plasma lebih lama bertahan, sehingga bermanfaat pada penderita yang kurang patuh. Kerugiannya adalah efek toksik digitoksin juga bertahan
52
lebih lama sampai beberapa hari, setelah terapi dihentikan karena waktu paruh yang panjang. 2.8.2 Obat Antiaritmia 1) Kunidin Kuinidin hanya tersedia dalam sediaan peroral, walaupun pada keadaan tertentu obat ini dapat diberikan secara intramuskular atau intravena. Dosis oral yang biasa adalah 200-300 mg yang diberikan 3 atau 4 kali sehari untuk penderita dengan kontraksi atrium dan ventrikel prematur atau untuk terapi pemeliharaan. Dosis yang lebih tinggi atau pemberian yang lebih sering dapat digunakan secara terbatas untuk pengobatan takikardia ventrikel paroksismal. Selama terapi pemeliharaan, kuinidin biasanya mencapai kadar mantap dalam waktu 24 jam, dan kadarnya dalam plasma akan berfluktuasi kurang dari 50% di antara dua dosis. 2) Prokainamid Prokainamid hidroklorida (Ptonestyl) tersedia dalam bentuk tablet dan kapsul (250-500 mg) dan sebagai tablet lepas lambat (250-1000 mg). Suntikan prokainamid hidroklorida berisi 100 atau 500 mg/ml dan digunakan untuk suntikan intramuskular dan intravena. Pada aritmis akut atau tak stabil diperlukan prokainamid IV untuk kecepatan, ketepatan dan efek yang jelas. Dosis muat total tidak pernah diberikan secara IV tunggal karena dapat menyebabkan hipotensi.
53
3) Disopiramid Tersedia dalam bentuk tablet 100 atau 150 mg basa. Dosis total harian adalah 400-800 mg yang pemberiannya terbagi atas 4 dosis. 2.8.3 Obat Antihipertensi 1) Diuretik Diuretik merupakan ‘initial drug choices’, obat ini biasanya menjadi pilihan untuk terapi awal hipertensi yang tidak disertai dengan komplikasi / kondisi khusus. Diuretik menurunkan tekanan darah dengan cara mengeluarkan cairan dan garam. Minum diuretik menyebabkan frekuensi miksi (kencing) jadi meningkat. Contoh diuretik adalah HCT ('Hydro Chloro Tiazid'). Diuretik sering dikombinasikan dengan obat antihipertensi dari golongan lain. Saat ini sudah tersedia HCT dengan obat antihipertensi golongan lain dalam satu sediaan tablet.
2) Golongan ‘ACE-Inhibitor’ Yaitu 'Angiotensin-Converting Enzyme' (ACE) Inhibitor. Obat ini mencegah 'konstriksi' (pengkerutan) pembuluh darah akibat formasi hormon 'angiotensin II' dengan cara memblokade enzim ACE, mencegah pembentukan angiotensin I menjadi angiotensin II. Contoh obat golongan ini : Kaptopril.
54
3) Golongan ‘Angiotensin-II Receptor Blockers’ Obat ini akan secara langsung memblokade aksi hormon angiotensin II. Obat ini dapat digunakan bila penggunaan ACE inhibitor menimbulkan keluhan / efek samping. Contoh obat golongan ini : Valsartan, Telmisartan, Olmesartan.
4) Golongan ‘Beta Blocker’ (Penyekat Beta) Obat golongan ini memblokade aksi 'adrenalin' pada sistem saraf otonom, sehingga menurunkan frekuensi jantung (heart's rate) dan curah jantung (heart's output). Golongan 'beta blocker' juga akan mengurangi beban jantung. Contoh obat golongan ini : Propanolol, Atenolol.
55
5) Golongan ‘Calcium Channel Blocker’ Obat ini melebarkan pembuluh darah sehingga tekanan kapiler menurun. Obat ini mencegah masuknya 'Calsium' ke jaringan melalui
'Calcium
Channel'
sehingga
akan
me'relaksasi'
(mengendurkan) dinding pembuluh darah arteri dan menurunkan kontraksi jantung. Contoh obat golongan ini : Verapamil, Diltiazem, Nifedipine.
6) Golongan ‘Direct Renin Inhibitor’ (DRI) Obat golongan ini merupakan obat anti hipertensi terbaru, memiliki efek menghambat hormon renin dari ginjal. Contoh obat golongan ini: Aliskiren. 2.8.4 Obat Antiangina 1) Nitrat Organik Dapat diberikan per oral untuk tujuan pencegahan timbulnya serangan angina. Dosis obat yang diberikan cukup besar agar kemampuan metabolisme hati untuk obat ini menjadi jenuh. Nitrat
56
organik dapat juga diberikan intravena agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik yang tinggi cepat tercapai. 2) Nitrogliserin Pemberian nitrogliserin dalam bentuk salep atau disk dimaksudkan untuk tujuan profilaksis karena obat diabsorpsi secara perlahan lewat kulit.
2.9 Implikasi Keperawatan Implikasi keperawatan dalam farmakologi mencakup hal-hal yang berkaitan dengan proses keperawatan antara lain pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Beberapa hal yang perlu dikaji dalam pengelolaan farmakologi : a. Keadaan pasien/identifikasi pasien 1) Usia : Bayi, Anak-anak , Dewasa Dan Lansia 2) Reaksi : Bagaimana Reaksi pasein setelah minum obat. 3) Pola kebiasaan : Kebiasaan pasien pada waktu minum obat, misalnya dengan memakai air minum, pisang dan lain-lain. 4) Persepsi pasien tentang obat : khasiat obat, sugesti terhadap obat b. Keadaan obat / identifikasi obat 1) Dosis obat sesuai umur pasien : bentuk obat apakah padat , cair suspensi 2) Pengunaan obat : oral, sub-lingual, ditelan atau dikunyah. c.Efek samping obat (side effect)
57
d.Etiket 1) Obat luar atau obat dalam (obat dalam diberi etiket putih, obat luar diberi ektiket biru). 2) Tanggal/bulan/tahun
kadaluarsa
obat.
Jenis
obat
(sedative,
antihistamine, antibiotic, deuresis dll) e. Keadaan pasien Hal yang perlu dikaji adalah apakah pasien sedang menjalani terapi khusus : Penderita TBC Aktif, Penderita Kusta Aktif, Penderita Epilepsi, Penderita Malnutrisi. f. Ada tidaknya riwayat alergi obat Bila mana ada pasien yang tidak tahan akan jenis obat tertentu maka harus ditulis dengan jelas pada status pasien dengan tinta merah, agar dokter dapat memilih obat lain yang lebih aman.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kolaborasi pemberian obat : 1) Perawat yang membagi obat harus bekerja dengan penuh konsentrasi dan tenang. 2) Setelah mengecek perintah pengobatan, bacalah tabel tiga kali ketika mempersiapkan obat : Saat mengambil obat, Saat membuka/menuang atau mencampur dan Saat mengembalikan. 3) Obat yang sudah lama, lebih-lebih yang sudah hilang etiketnya atau tidak jelas jangan dipakai. 4) Cara pemberian obat harus memperhatikan prinsip 12 benar 5) Perhatikan pasien waktu minum obat, jangan meninggalkan obat diatas meja. 6) Jangan sekali-kali memberikan obat-obatan yang telah disiapkan orang lain, kecuali jelas ditugaskan kepada kita. 7) Perhatikan reaksi pasien setelah minum obat. 8) Mencatat atau membubuhkan paraf pada waktu atau pada status pasien setelah memberikan obat.
58
9) Obat-obatan harus disimpan sesuai dengan syarat-syarat penyimpanan masing-masing obat, misalnya : Lemari es, tempat yang sejuk, gelap dan lain-lain. 10) Obat-obat yang dibeli sendiri oleh pasien harus disimpan dalam lemari obat pada tempat khusus, dengan etiket nama yang jelas. 11) Menuangkan obat-obatan cair, jangan pada sisi yang ada etiketnya dan sejajar dengan mata. 12) Setiap kali selesai mengambil obat, tempat obat ditutup kembali. 13) Bila terjadi kesalahan dalam memberikan obat harus segera dilaporkan kepada yang bertanggung jawab. 14) Usahakan agar tangan selalu bersih, ketika akan memberikan obatobatan.
Peran dan Tanggung jawab perawat sehubungan dengan pemberian obat: 1) Perawat harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang memadai mengenai obat. 2) Mendukung keefektivitasan obat. 3) Mengobservasi efek samping dan alergi obat 4) Menyimpan, menyiapkan dan administrasi obat 5) Melakukan pendidikan kesehatan tentang obat 6) Perawatan, pemeliharaan dan pemberian banyak obat-obatan merupakan tanggung jawab besar bagi perawat. 7) Dokumentasi yang benar membutuhkan tindakan segera dari seorang perawat untuk mencatat informasi yang sesuai mengenai obat yang telah diberikan . Ini meliputi nama obat , dosis , rute , waktu dan tanggal , inisial dan tanda tangan perawat . Respon klien terhadap pengobatan perlu
di catat untuk beberapa macam obat seperti (1) narkotik –
bagaimana efektifitasnya dalam menghilangkan rasa nyeri – atau (2) analgesik non-narkotik, (3) sedativa, (4) antiemetik (5) reaksi yang tidak diharapkan terhadap pengobatan, seperti irigasi gastrointestinal atau
59
tanda – tanda kepekaan kulit. Penundaan dalam mencatat dapat mengakibatkan lupa untuk mencatat pengobatan
atau perawat lain
memberikan obat itu kembali karena ia berpikir obat itu belum diberikan (Taylor, Lillis and LeMone, 1993 ; Kee and Hayes, 1996 ). Hak – Hak Klien dalam Pemberian Obat : 1) Hak Klien Mengetahui Alasan Pemberian Obat Hak ini adalah prinsip dari memberikan persetujuan setelah mendapatkan informasi ( Informed concent ) , yang berdasarkan pengetahuan individu yang diperlukan untuk membuat suatu keputusan . 2) Hak Klien untuk Menolak Pengobatan Klien dapat menolak untuk pemberian suatu pengobatan . Adalah tanggung jawab perawat untuk menentukan , jika memungkinkan , alasan penolakan dan mengambil langkah – langkah yang perlu untuk mengusahakan agar klien mau menerima pengobatan . Jika suatu pengobatan dtolak , penolakan ini harus segera didokumentasikan. Perawat yang bertanggung jawab, perawat primer, atau dokter harus diberitahu jika pembatalan pemberian obat ini dapat membahayakan klien, seperti dalam pemberian insulin. Tindak lanjut juga diperlukan jika terjadi perubahan pada hasil pemeriksaan laboratorium , misalnya pada pemberian insulin atau warfarin ( Taylor, Lillis and LeMone, 1993 ; Kee and Hayes, 1996 ).