Bab Ii.docx

  • Uploaded by: Chachaa
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,116
  • Pages: 44
BAB II

TINJAUAN PUSTKA

A. Uraian Kopi (Coffea sp.)

1. Klasifikasi

Tanaman kopi merupakan tanaman perkebunan yang berasal dari Benua Afrika, tepatnya dari negara Ethiopia pada abad ke-9. Suku Ethiopia

memasukan

biji

kopi

sebagai

makanan

mereka

yang

dikombinasikan dengan makanan-makanan pokok lainnya, seperti daging dan ikan. Tanaman ini mulai diperkenalkan di dunia pada abad ke-17 di India. Selanjutnya, tanaman kopi menyebar ke Benua Eropa oleh seorang yang berkebangsaan Belanda dan terus dilanjutkan ke negara lain termasuk ke wilayah jajahannya yaitu Indonesia (Panggabean 2011).

Klasifikasi Tanaman Kopi Kigdom

: Plantae

Subkigdom

: Tracheophyta

Super Divisi

: Spermatophyta

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Sub Kelas

: Asteridae

Ordo

: Rubiales

Famili

: Rubiaceae

Genus

: Coffea

Spesies

: Coffea sp. (Cofffea arabica L. / Coffea robusta L.)

2. Morfologi Tanaman Kopi Kopi merupakan

tanaman

yang memiliki sistem

perakaran

tunggang sehingga tidak mudah rebah dengan akar lateral tumbuh dan berkembang di permukaan tanah (Panggabean, 2011). Tanaman kopi adalah salah satu golongan tanaman perdu dengan batang yang kokoh dengan tinggi yang dapat mencapai 2-4 meter (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1968). Batang tanaman kopi mempunyai dua tipe percabangan (dimorfisme), yaitu cabang orthotrop dan plagiotrop (Panggabean, 2011). Cabang orthotrop merupakan cabang batang yang tumbuh tegak lurus, sedangkan cabang plagiotrop merupakan cabang batang yang tumbuh ke samping atau horizontal dan berfungsi sebagai tempat tumbuh bunga atau buah (Panggabean, 2011). Tanaman kopi mempunyai daun berwarna hijau, licin, bagian permukaan mengkilap. Daun kopi memiliki panjang antara 15-40 cm dan lebarnya antara 7-30 cm serta memiliki tangkai daun dengan panjang antar 1-1,5 cm. Daun kopi memiliki 10-12 pasang urat daun dengan pangkal daun tumpul dan ujung meruncing (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1968). Tepi daunnya berombak dengan urat daun yang tenggelam. Akibatnya, permukaan daun kopi nampak berlekuk-lekuk. Daun tanaman

kopi tumbuh berhadapan pada batang, cabang, dan ranting-ranting (van Steenis et al., 2008). Tanaman kopi pada umumnya mulai berbunga setelah berumur kurang lebih dua tahun. Bunga tumbuh dari ketiak daun pada cabang plagiotrop, memiliki tangkai bunga dengan panjang 1 mm. Bunga kopi tersusun dalam kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 3-5 kuntum bunga (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1968). Bunga kopi memiliki kelopak sedikit berbentuk lengkung dan berwarna hijau, memiliki mahkota yang berwarna putih serta berbau harum, jumlah mahkota 5-7 buah, panjang tabung mahkota antara 15-18 mm dan lebar 2-3,5 mm. Tangkai putik berukuran kecil panjang, posisi tangkai putik menjulang jauh di luar tabung dengan dua cabang yang panjangnya 5 mm (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1968). Benang sari terdiri dari 5-7 helai, berukuran kecil. Panjang kepala sari kurang lebih 5 mm dan memiliki tangkai sari dengan panjang 3-4 mm, (Backer &Bakhuizen van den Brink, 1968). Apabila bunga sudah dewasa akan terjadi penyerbukan dengan membukanya kelopak dan mahkota yang akan berkembang menjadi buah. Penyerbukan yang terjadi pada tanaman kopi robusta merupakan jenis penyerbukan silang (Sudarka et al., 2009), yaitu proses jatuhnya serbuk sari yang berasal dari bunga pada tumbuhan lain yang sejenis (Tjitrosoepomo, 2005) pada kepala putik. Hal tersebut terjadi karena kedudukan tangkai putik pada kopi robusta menjulang tinggi dari posisi

benang sari, sehingga kemungkinan benang sari dapat jatuh di tangkai putik sendiri sangat kecil (Sudarka et al., 2009). Disamping itu, kopi robusta memiliki sifat inkompatibilitas yaitu apabila terjadi penyerbukan sendiri maka buluh serbuk sari tidak terbentuk, sehingga pembuahan tidak terjadi. Oleh karena itu, tanaman kopi robusta harus ditanam bersamaan dengan kopi jenis lainnya sehingga proses penyerbukannya dapat berlangsung (Sudarka et al., 2009). Waktu yang dibutuhkan dari bunga menjadi buah masak adalah sekitar 7-9 bulan. Buah kopi merupakan buah bertipe batu dan berbentuk bulat telur, berukuran kecil dengan diameter 15-18 mm. Buah kopi muda berwarna hijau dan berwarna merah jika telah masak serta berubah menjadi hitam ketika kering (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1968). Pada umumnya buah kopi muncul pada cabang plagiothrop. Buah kopi terdiri dari kulit buah dan biji. Kulit buah kopi terdiri dari tiga bagian yaitu lapisan kulit luar (eksokarp), lapisan daging buah (mesokarp), dan lapisan kulit tanduk (endokarp) (AAK, 1988), sedangkan biji kopi terdiri dari dua bagian, yaitu kulit biji (kulit ari) dan endosperma (putih lembaga) (AAK, 1988). Buah kopi juga memiliki karakteristik yang membedakan dengan biji kopi lainnya. Secara umum, karakteristik yang menonjol yaitu bijinya yang agak bulat, lengkungan bijinya yang lebih tebal dibandingan kopi arabika dan garis tengah dari atas ke bawah hampir rata (Panggabean 2011)

Kopi merupakan salah satu komoditi yang sangat penting di dunia dan menempati urutan kedua setelah crude oil. Tanaman ini biasanya dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Ada sekitar 60 negara sebagai penghasil kopi dan Indonesia menempati urutan keempat sebagai penghasil kopi terbanyak dengan produksinya mencapai 686.763 ton (tahun 2007). Indonesia memiliki dua jenis kopi yang terkenal yaitu arabika (Coffee arabica) dan robusta (Coffee canephora). Perbedaan antara kedua jenis kopi ini terletak pada rasa, daerah tumbuh dan kandungan kafeinnya. Kopi arabika biasanya ditanam pada daerah dataran tinggi sedangkan kopi robusta biasanya ditanam pada daerah dataran rendah. Kopi robusta dikatakan kopi kelas dua karena memiliki rasa yang lebih pahit, kandungan kafein yang tinggi dan rasanya sedikit asam tetapi kopi ini lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Sedangkan, kopi arabika adalah jenis kopi nomor satu dimana kandungan kafeinnya lebih rendah dan tidak ada rasa asam. Pertumbuhan tanaman kopi dipengaruhi oleh keadaan iklim daerah tersebut dimana antara kopi arabika dan robusta memiliki tipe iklim yang berbeda untuk pertumbuhannya. Persyaratan iklim untuk kopi arabika adalah memiliki garis lintang 6-90 LU sampai 240 LS, tinggi tempat penanaman adalah 1250 sampai 1850 m dpl, curah hujan 1500 sampai 2500 mm/tahun dan suhu udara rata-rata 17 – 210C. Sedangkan persyaratan iklim untuk kopi robusta adalah memiliki garis lintang 20 oLS

sampai 200 LU, tinggi tempat penanaman 300 sampai 1500 m dpl, curah hujan 1500 sampai 2500 mm/tahun dan suhu rata-rata adalah 21 – 240C Kopi merupakan tanaman tahunan dengan pohon berbentuk semak tegak dengan tinggi antara 2 sampai 5 m. Pada pohon tersebut terdapat batang-batang yang agak tipis, tegak dan berjumbai. Daunnya berbentuk oval dengan panjang 10 sampai 15 cm dan lebarnya 4 sampai 6 cm. Warna daunnya adalah hijau tua dengan sedikit berkerut dipermukaannya. Pohon kopi mulai berbuah 5 sampai 7 tahun setelah ditanam. Buah kopi memiliki permukaan yang licin dan kulit buah yang keras. Biasanya buah muda berwarna hijau tetapi berubah menjadi merah saat masak. Bentuk tanaman kopi dapat dilihat pada Gambar 2.1 (a) berikut

(a)

(b)

Gambar 1. Tanaman kopi : (a) bentuk tanaman kopi secara keseluruhan dan (b) bentuk buah dan daun kopi. (Sumber:

3. Kandungan kimia Kopi mengandung ribuan senyawa kimia dan beberapa senyawa kimia tersebut terbentuk ketika biji kopi mengalami proses pembakaran atau pengsangraian. Dari ribuan kandungan tersebut, ada beberapa senyawa yang berpotensi memiliki bioktivitas yaitu seperti kafein dan polifenol (Bornita, JS. 2007). Sebagaimana diketahui bahwa dengan meminum kopi dapat membuat kita tidak mengantuk atau dapat menunda waktu tidur kita dan yang bertindak pada proses tersebut adalah senyawa kafeinnya. Secara in vitro, senyawa ini mampu berperan sebagai antioksidan karena pada konsentrasi milimolar dapat bertindak sebagai scavenger radikal hidroksil dengan melakukan resonansi elektron. Walaupun kafein mampu berperan sebagai antioksidan, tetapi tubuh manusia memiliki batas maksimum kandungan kafein yaitu 46 µM pada darah atau setara dengan empat cangkir kopi perharinya. Tingginya kandungan kafein di dalam tubuh dapat menyebabkan peningkatan rasa cemas, kegelisahan, keteganggan dan dalam waktu yang lama dapat menyebabkan timbulnya penyakit jantung koroner. Sebaliknya dengan meminum secangkir kopi perhari juga mampu berperan dalam mengurangi resiko atau mencegah penyakit kanker seperti kanker payudara, usus, prostat, ovarium, ginjal, pankreas, hati (Nkondjock, Andre. 2009) dan dapat menurunkan resiko kerusakan hati oleh agen etiologi (Muriel, P& Arauz J. 2010).

Ada beberapa perbedaan kandungan kimia ketika biji kopi belum diolah (biji kopi segar), biji kopi dibakar (disangrai) dan biji kopi yang telah menjadi

minuman

kopi.

Kopi

yang

telah

disangrai

mengandung

karbohidrat (38 – 42 %), melanoidin (23%), lipid (11 -17 %), protein (10%), mineral (4,5 – 4,7 %), asam klorogenik atau CGA (2,7-3,1 %), asam alifatik (2,5 – 2,5 %) dan kafein (1,3 – 2,4 %). Ketika biji kopi telah diolah menjadi bentuk minuman terdapat senyawa kimia dari golongan flavonoid (seperti katekin dan antosianin), asam ferulat, asam kafeat, asam nikotinat, trigonelin, asam taneat dan lainnya (Esquivel, P & Jimenez V.M. 2011) . Senyawa yang membentuk aroma di dalam kopi menurut Mabrouk dan Deatherage dalam Ciptadi dan Nasution (1985) adalah: 1. Golongan fenol dan asam tidak mudah menguap yaitu asam kofeat, asam chlorogenat, asam ginat dan riboflavin. 2. Golongan senyawa karbonil yaitu asetaldehid, propanon, alkohol, vanilin aldehid. 3. Golongan senyawa karbonil asam yaitu oksasuksinat, aseto asetat, hidroksi

pirufat,

keton

kaproat,

oksalasetat,

mekoksalat,

merkaptopiruvat. 4. Golongan asam amino yaitu leusin, iso leusin, variline, hidroksiproline, alanine, threonine, glysine dan asam aspartat. 5. Golongan asam mudah menguap yaitu asam asetat, propionat, butirat dan volerat.

Gambar 2. Bagian-bagian dari buah kopi (Sumber : Esquivel, P & Victor M. Jimenez. . 2011)

Komposisi penyusun dari skin, pulp, parchment adalah karbohidrat (35%), protein (5,2%), fiber (30,8%) dan mineral (10,7%) sedangkan bagian mucilage mengandung air (84,2%), protein (8,9%), gula (4,1 %) dan abu (0,7%). B. Kulit

Kulit adalah organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh tubuh. Luas kulit pada manusa rata-rata sekitar 2 m2 dengan berat 10 kg jika ditimbang dengan lemaknya atau 4 kg jika tanpa lemak, atau beratnya sekitar 16% dari berat badan seseorang (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008). Kulit merupakan organ yang pertama kali terkena

polusi oleh zat-zat yang terdapat di lingkungan hidup kita, termasuk jasad renik (mikroba) yang tumbuh dan hidup di lingkungan kita. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, serta bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan lokasi tubuh. 1. Anatomi Kulit Secara histologis kulit tersusun atas 3 lapisan utama yaitu lapis epidermis atau kutikel lapis dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapis subkutis (hypodermis). Tidak ada garis tegas yang memisahkan antara demis dan subkutis. Subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan sel-sel yang membentuk jaringan lemak. Lapis epidermis dan dermis dibatasi oleh taut dermoepidermal (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008). a. Epidermis Epidermis merupakan jaringan epitel berlapis pipih, dengan sel epitel yang mempunyai lapisan tertentu. Lapisan ini terdiri dari 5 lapisan yaitu stratum germinativum, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum korneum. b. Dermis Dermis merupakan jaringan ikat fibroelastis, dimana di dalamnya didapatkan banyak pembuluh-pembuluh darah, pembuluh-pembuluh limfa, serat-serat saraf, kelenjar keringat dan kelenjar minyak, yang masingmasing mempunyai arti fungsional untuk kulit itu sendiri. Lapisan ini jauh

lebih tebal daripada epidermis, terbentuk oleh jaringan elastis dan fibrosa padat dengan elemen seluler, kelenjar, dan rambut sebagai adneksa kulit. c. Subkutis Lapisan ini merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh trabekulua dan fibrosa. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening. Tebal jaringan lemak tidak sama, bergantung pada lokasi, di abdomen 3 cm, sedangkan di daerah kelopak mata dan penis sangat tipis. Lapis lemak ini juga berfungsi sebagai bantalan.

Gambar 3. Struktur Penampang Kulit (Sumber: Syarif, 2011)

2. Fisiologi Kulit Kulit memiliki berbagai fungsi yaitu sebagai berikut: a. Fungsi Proteksi Epidermis berguna untuk menutupi jaringan-jaringan tubuh dari pengaruh luar. Lapisan paling luar dari kulit diselubungi dengan lapisan tipis lemak yang menjadikan kulit dapat menahan suhu tubuh, menahan luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk serta menghalau rangsang fisik seperti sinar ultraviolet dari matahari (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008).

b. Fungsi absorbsi Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan maupun benda padat. Tetapi cairan yang mudah menguap lebih mungkin mudah diserap kulit, begitu pula zat yang larut dalam minyak. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban udara, metabolisme dan jenis pembawa zat yang menempel di kulit. Penyerapan dapat melalui celah antarsel, saluran kelenjar atau saluran keluar rambut (Langley dan Lenny, 1958). c. Fungsi ekskresi Kelenjar-kelenjar pada kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna atau sisa metabolisme dalam tubuh misalnya NaCl, urea, asam urat, ammonia, dan sedikit lemak. Sebum yang diproduksi kelenjar palit kulit melindungi kulit dan menahan penguapan yang berlebihan sehingga kulit tidak menjadi kering (Langley dan Lenny, 1958). d. Fungsi pengindera (sensori) Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Badan Ruffini yang terletak di dermis, menerima rangsangan dingin dan rangsangan panas diperankan oleh badan Krause. Badan taktil Meissner yang terletak di papil dermis menerima rangsang rabaan, demikian pula badan Merkel-Renvier yang terletak di epidermis (Langley dan Lenny, 1958).

e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh darah serta melalui respirasi yang dipengaruhi oleh saraf otonom (Kusantati, Prihatin, dan Wiana, 2008). Kulit melakukan peran ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan otot dinding pembuluh darah kulit ketika terjadi peningkatan suhu. Dengan dikeluarkannya keringat, maka terbuang pula panas tubuh. Mekanisme termoregulasi ini diatur oleh sistem saraf simpatis yang mengeluarkan zat perantara asetilkolin (Langley dan Lenny, 1958). f. Fungsi pembentukan pigmen (melanogenesis) Sel pembentuk pigmen kulit (melanosit) terletak di lapisan basal epidermis. Sel ini berasal dari rigi saraf, jumlahnya 1:10 dari sel basal. Jumlah melanosit serta jumlah dan besarnya melanin yang terbentuk menentukan warna kulit. Pajanan sinar matahari mempengaruhi produksi melanin. Bila pajanan bertambah produksi melanin akan meningkat (Langley dan Lenny, 1958). g. Fungsi keratinisasi Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah bentuk lebih poligonal yaitu sel spinonum, terangkat ke atas menjadi lebih gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai

di permukaan kulit

menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering menjadi keras, gepeng,

tanpa inti yang disebut sel tanduk. Proses ini berlangsung terus-menerus dan berguna untuk fungsi rehabilitasi kulit agar dapat melaksanakan fungsinya secara baik (Langley dan Lenny, 1958). h. Fungsi produksi vitamin D Kulit juga dapat membuat vitamin D dari bahan baku 7dihidroksikolesterol dengan bantuan sinar matahari. Namun produksi ini masih lebih rendah dari kebutuhan tubuh akan viamin D dari luar makanan (Langley dan Lenny, 1958). 3. Penetrasi Obat Melalui Kulit Penetrasi melintasi stratum korneum dapat terjadi karena adanya proses difusi melalui dua mekanisme, yaitu (Lund, 1994; Walters, 1993; Mahanani, 2009) :

a. Absorbsi transepidermal Jalur absorpsi transepidermal merupakan jalur difusi melalui stratum korneum yang terjadi melalui dua jalur, yaitu jalur transelular yang berarti jalur melalui protein di dalam sel dan melewati daerah yang kaya akan lipid, dan jalur paraselular yang berarti jalur melalui ruang antar sel. Penetrasi transepidermal berlangsung melalui dua tahap. Pertama, pelepasan obat dari pembawa ke stratum korneum, tergantung koefisien partisi obat dalam pembawa dan stratum korneum. Kedua, difusi melalui

epidermis dan dermis dibantu oleh aliran pembuluh darah dalam lapisan dermis. b. Absorbsi transappendageal Jalur absorpsi tranappendageal merupakan jalur masuknya obat melalui folikel rambut dan kelenjar keringat disebabkan karena adanya pori-pori di antaranya, sehingga memungkinkan obat berpenetrasi. Penetrasi obat melalui jalur transepidermal lebih baik daripada jalur transappendageal, karena luas permukaan pada jalur transappendageal lebih kecil.

4. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi absorpsi perkutan antara lain (Ansel, 1989; Walters dan Jonathan, 1993) : a. Harga koefisien partisi obat yang tergantung dari kelarutannya dalam minyak dan air. b. Kondisi pH akan mempengaruhi tingkat disosiasi serta kelarutan obat yang lipofil. c. Konsentrasi obat. d. Profil pelepasan obat dari pembawanya, bergantung pada afinitas zat aktif terhadap pembawa, kelarutan zat aktif dalam pembawa, dan pH pembawa. e. Komposisi sistem tempat pemberian obat, yang ditentukan dari permeabilitas stratum korneum yang disebabkan hidrasi dan perubahan

struktur lipid. f. Peningkatan suhu kulit dapat menyebabkan perubahan difusi yang disebabkan oleh peningkatan kelarutan obat. g. Pembawa yang dapat meningkatkan kelembaban kulit akan mendorong terjadi absorpsi obat melalui kulit. h. Waktu kontak obat dengan kulit. i. Ketebalan kulit. Absorpsi perkutan lebih besar jika obat digunakan pada kulit dengan lapisan tanduk yang tipis daripada yang tebal. j. Bahan-bahan peningkat penetrasi (enhancer) dapat meningkatkan permeabilitas kulit dengan cara mengubah sifat fisikokimia stratum korneum sehingga mengurangi daya tahan difusi. Contohnya: DMSO, DMF, DMA, urea, dan lain-lain. k. Adanya sirkulasi darah in situ pada kulit akan meningkatkan absorpsi obat.

C. Sediaan Gel

1. Definisi Gel

Gel merupakan sistem yang terdiri dari suspensi yang terbuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul anorganik yang besar, terpenetrasi dalam cairan (Depkes RI, 1995). Gel mengandung larutan bahan aktif tunggal atau campuran dengan pembawa yang bersifat hidrofilik maupun hidrofobik. Basis dari gel merupakan senyawa hidrofilik

sehingga memiliki konsistensi lembut. Efek penguapan kandungan air yang terdapat pada basis gel memberikan sensasi dingin saat diaplikasikan pada kulit. Sediaan gel hidrofilik memiliki sifat daya sebar yang baik pada permukaan kulit. Keuntungan dari gel adalah pelepasan obat dari sediaan dinilai baik, zat aktif dilepaskan dalam waktu yang singkat dan nyaris semua zat aktif dilepaskan dari pembawanya (Voight, 1994). Gel yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : (Lieberman dkk, 1996; Martin, Swabrick, dan Cammarata, 2012). a. Homogen Bahan obat dan dasar gel harus mudah larut atau terdispersi dalam air atau pelarut yang cocok atau menjamin homogenitas sehingga pembagian dosis sesuai dengan tujuan terapi yang diharapkan. b. Bahan dasar yang cocok dengan zat aktif Bila ditinjau dari sifat fisika dan kimia bahan dasar yang digunakan harus cocok dengan bahan obat sehingga dapat memberikan efek terapi yang diinginkan. c. Konsistensi gel menghasilkan aliran pseudoplastis tiksotropik Karena sifat aliran ini sangat penting pada penyebaran sediaan. Sediaan akan mudah dioleskan pada kulit tanpa penekanan yang berarti dan mudah dikeluarkan dari wadah misalnya tube. d. Stabil

Gel harus stabil dari pengaruh lembab dan suhu selama penggunaan dan penyimpanan. Secara umum gel diklasifikasikan menjadi 4 yaitu, gel organik, gel anorganik, hidrogel, dan organogel (Allen, 2002). Hidrogel merupakan polimer hidrofilik yang mengandung 85–95% air atau campuran air dengan alkohol. Setelah pemakaian, hidrogel memberikan sensasi dingin pada kulit karena adanya pelarut yang menguap. Selain itu, hidrogel akan meninggalkan lapisan film tipis transparan elastis dengan daya lekat yang tinggi, tidak menyumbat pori kulit, tidak menghambat fungsi fisiologi kulit serta mudah dicuci air (Voight, 1994). Komposisi utama dalam sediaan gel adalah air (85-95%) dan gelling agent. Konsistensi gel berasal dari gelling agent yang biasanya berbentuk polimer dan membentuk struktur tiga dimensi. Gel biasanya berwarna transparan, warna transparan tersebut didapat apabila semua bahan terlarut atau terdispersi secara koloidal, misalnya sampai dalam ukuran submikron. 2. Mekanisme Pembentukan Gel Senyawa polimer yang bersifat hidrofil/hidrokoloid didispersikan ke dalam air maka akan mengembang, kemudian terjadi proses hidrasi molekul air melalui pembentukan ikatan hidrogen dengan molekul-molekul air akan terjebak dalam struktur molekul kompleks tersebut dan akan membentuk massa gel yang kenyal (Lieberman, Rieger, dan Banker, 1996).

Parameter kritis dalam proses pembentukan gel adalah 1. Temperatur akan

berpengaruh

pada

kemampuan

mengembang

senyawa polimer saat didispersikan ke dalam air. 2. Pelarut yang digunakan tidak bersifat melarutkan gel karena apabila daya adhesi antar pelarut dan gel lebih besar dari daya kohesi antar gel maka dapat merusak sistem gel. 3. Kecepatan dan lama pengadukan, pengadukan yang terlalu kuat dan cepat dapat mengakibatkan banyaknya gelembung udara yang terjebak dalam sistem polimer. 3. Bahan-Bahan dalam Gel a. Gelling agent Faktor penting yang ada dalam sistem gel adalah gelling agent. Fungsi utama dari gelling agent untuk menjaga konsistensi cairan dan padatan dalam suatu bentuk gel. Gelling agent membentuk jaringan struktur gel. Peningkatan jumlah gelling agent dalam suatu formula gel akan meningkatan kekuatan dari jaringan struktur gel sehingga terjadi kenaikan viskositas. Gelling agent yang sering digunakan sebagai basis dalam formula adalah gum alami, gum sintesis, resin, selulosa, dan hidrokoloidal lain seperti karbopol. Setiap jenis gelling agent memiliki efek yang berbeda dalam memberikan pengaruh terhadap formula gel. Besar konsentrasi gelling agent yang digunakan dalam formula menentukan pula karakteristik sediaan gel seperti kekuatan dan elastisitas (Zats dan Kushla, 1996). Penggunaan gelling agent dengan konsentrasi yang terlalu tinggi

atau penggunaan gelling agent dengan bobot molekul yang terlalu besar akan menghasilkan sediaan gel yang sulit diaplikasikan pada kulit karena viskositas gel yang dihasilkan akan terlalu tinggi sehingga akan sulit menyebar secara merata pada saat diaplikasikan (Zats dan Kushla, 1996). Gelling agent akan bergabung, saling menjerat, dan membentuk struktur jaringan koloidal tiga dimensi sesaat saat didispersikan dengan pelarut yang sesuai. Jaringan koloid ini akan menjebak zat aktif dan membatasi aliran cair dengan mengurangi pergerakan molekul pelarut. Struktur jaringan ini menahan deformasi sediaan dan sangat berpengaruh terhadap viskositas gel (Pena, 1990). Gelling agent harus inert, aman dan tidak reaktif terhadap komponen yang lainnya. Gel dari polisakarida alam akan mudah mengalami degradasi mikrobia sehingga diformulasikan dengan pengawet untuk mencegah hilangnya karakteristik gel akibat mikrobia (Zats dan Kushla, 1996). b. Humektan Humektan dapat meningkatkan kelembaban kulit dan menjaga agar kulit tidak mengalami hidrasi. Sediaan dengan kandungan air yang tinggi berpotensi mengikat dan menyerap air dari permukaan kulit untuk menggantikan air dari sediaan yang telah menguap, menyebabkan kulit menjadi kering. Penggunaan gel dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan

permukaan

kulit

menjadi

kering,

untuk

menjaga

kelembaban kulit pada formula gel sering ditambahkan humektan. Humektan ditambahkan untuk mencegah sediaan menjadi kering dan kehilangan kandungan air dalam jumlah besar. Lapisan humektan yang tipis akan terbentuk untuk mempertahankan kelembaban dan mencegah kulit kering (Mukul, Surabhi, dan Atul, 2011). Cara kerja humektan dalam menjaga kestabilan sediaan gel adalah dengan

mengabsorbsi

lembab

dari

lingkungan,

selain

itu

dapat

mempertahankan kadar air pada permukaan kulit. Humektan yang sering digunakan pada sediaan gel adalah gliserin dan propilen glikol (Mukul dkk, 2011). c. Pengawet Penambahan bahan pengawet harus dilakukan untuk mencegah pertumbuhan mikroba pada sediaan karena kandungan air yang sangat banyak merupakan media pertumbuhan mikroba yang baik. (Barel dkk, 2009). Formulasi dengan hidrogel harus menggunakan pengawet untuk mencegah pertumbuhan mikroba. d. Fragrance Tujuan ditambahkan fragrance adalah untuk menutupi bau yang tidak enak yang ditimbulkan oleh zat aktif atau obat (Ansel, 2002). Fragrance dapat disesuaikan dengan rasa dan warna sediaan dapat berupa bau essence dari buah-buahan atau bunga.

e. Antioksidan Antioksidan ditambahkan pada sediaan semipadat untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat oksidasi. Antioksidan biasa digunakan pada konsentrasi 0,001% - 0,1% (Lachman dkk, 1994). Antioksidan yang banyak digunakan pada preparat air diantaranya natrium sulfit, asam hipofostorus, dan asam askorbat. Minyak yang dapat digunakan dalam preparat diantaranya alfatokoferol (vitamin E), BHA (Butil hidroksitoluen) dan askorbil palmitat (Ansel, 2002 ).

B. Monografi Bahan

1. Etanol

Gambar 4. Struktur kimia etanol Nama kimia Etil alcohol; rumus kimia: C2H6O; berat molekul : 46,07; kemurnian etanol mengandung tidak kurang dari 92,3 % b/b dan tidak lebih dari 93,8 % b/b, setara dengan tidak kurang dari 94,9 % v/v dan tidak lebih dari 96,0 % v/v C2H5OH, pada suhu 15,56°; Cairan mudah menguap, jernih, tidak berwarna. Bau khas dan menyebabkan rasa terbakar pada lidah.Mudah menguap walaupun pada suhu rendah dan

mendidih pada suhu 78°.Mudah terbakar; kelarutan bercampur dengan air dan praktis bercampur dengan semua pelarut organic. 2. Karbopol

Gambar 5. Struktur kimia karbopol (Rowe, Shasker dan Quinn; 2009)

Gelling agent yang digunakan dalam penelitian ini adalah karbopol. Karbopol merupakan polimer asam akrilat dengan berat molekul tinggi yang membentuk rantai cross-link dengan polialkenil eter, alil sukrosa, atau divinil alkohol. Karbopol dalam penggunaannya sebagai gelling agent dalam rentang konsentrasi 0,5% - 2% (Rowe dkk, 2009). Karbopol memiliki viskositas 40.000–60.000 cP pada 0,5% larutan dengan pH 7,5. Karbopol memiliki kemampuan thickening paling baik pada viskositas yang tinggi, dan pada formulasi gel topikal hidroalkoholik karpobol menghasilkan warna yang jernih (Rowe dkk, 2009). Polimer karbopol mempunyai kemampuan untuk menyerap air dalam jumlah banyak. Pada pH asam karbopol akan membentuk polimer fleksibel dan struktur random coil. Polimer ini akan mengembang sampai 1000 kali dari volume asal dan diameternya ikut mengembang sampai 10

kali dalam bentuk gel ketika dilarutkan dalam air dengan pH di atas pKa 6 (Rowe dkk, 2009). Ketika karbopol didispersikan ke dalam air, karbopol terhidrasi dan sebagian gelungannya terbuka (uncoiled). Karbopol akan berfungsi dengan baik apabila dalam bentuk uncoiled (Noveon, 2002). Mekanisme karbopol 940 untuk uncoiled adalah penetralan gugus asam karboksilat pada rantai polimer dengan basa yang sesuai. Penetralan tersebut akan mengakibatkan terbentuknya muatan negatif di sepanjang rantai polimer. Gaya tolak-menolak antar muatan negatif menyebabkan karbopol menjadi uncoiled ke dalam struktur yang lebih bebas. Namun, rantai karbopol akan tetap terikat satu sama lain menghasilkan matriks tiga dimensi membentuk sistem gel yang sangat kental dalam waktu seketika (Namita, Sheetal, dan Ravindra, 2013) Karbopol merupakan bahan yang stabil dan higroskopis yang dapat dipanaskan hingga temperatur dibawah 1040C selama 2 jam tanpa mempengaruhi

viskositas.

Pemanasan

yang

berlebihan

akan

menyebabkan perubahan warna dan penurunan stabilitas. Karbopol dapat mengalami dekomposisi pada suhu 2600C selama 30 menit. Karbopol yang berbentuk serbuk tidak mendukung tumbuhnya jamur dan kapang. Karbopol yang telah didispersikan dengan air maka ada kemungkinan tumbuhnya jamur dan kapang karena terdapat media air sebagai media tumbuh. Pengawet ditambahkan untuk mencegah pertumbuhan jamur dan kapang pada sediaan gel.

Viskositas dispersi karbopol dapat terjaga selama penyimpanan pada suhu kamar dan tingkat kelembaban ruangan yang normal. Penyimpanan

dihindarkan

dari

sinar

matahari

atau

penambahan

antioksidan dapat menjaga viskositas dispersi. Paparan sinar matahari menyebabkan oksidasi terhadap dispersi karbomer ditunjukan dengan penurunan viskositas dispersi. Sediaan topikal dengan gelling agent karbopol tidak menunjukan reaksi hipersensitif pada manusia (Rowe dkk., 2009). 3. Propolen Glikol

Gambar 6. Struktur kimia propilen glikol (Rowe dkk, 2009)

Propilen glikol berbentuk cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau. Propilen glikol dapat berfungsi sebagai pengawet, disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, stabilizing agent, dan kosolven watermiscible. Pada formulasi sediaan topikal propilen glikol digunakan sebagai humektan dengan konsentrasi ≈ 15 %. Pada suhu ruangan dan suhu dingin propilen glikol akan stabil, namun jika dipanaskan pada suhu yang tinggi akan teroksidasi menjadi propionaldehid, asam laktat, asam piruvat,

dan asam asetat. Propilen glikol dapat larut dan stabil pada etanol 95%, gliserin, atau air (Rowe dkk, 2009). 4. Trietanolamin

Gambar 7. Struktur kimia trietanolamin (Rowe dkk, 2009)

Triethanolamin

atau

TEA

merupakan

amin

tersier

yang

mengandung gugus hidroksi. TEA berbentuk cairan jernih, sedikit kental, dan sedikit berbau amoniak dengan pH sebesar 10,5. TEA yang bersifat basa digunakan untuk netralisasi karbopol. Penambahan TEA pada karbopol akan membentuk garam yang larut. Sebelum netralisasi, karbopol di dalam air akan ada dalam bentuk tak terion pada pH sekitar 3. Pada pH ini, polimer akan sangat fleksibel dan strukturnya random coil. Penambahan TEA akan menggeser kesetimbangan ionik membentuk garam yang larut. Hasilnya adalah ion yang tolak menolak dari gugus karboksilat dan polimer menjadi kaku dan rigid, sehingga meningkatkan viskositas (Osborne, 1990). TEA biasanya digunakan untuk formulasi sediaan secara topikal. TEA memiliki titik leleh 20-210C (Rowe dkk, 2009).

C. Uji Fisik Sediaan Gel

1. pH Menurut Walters dan Roberts (2008) pH kulit manusia ialah sekitar 4,5-6,5. pH yang terlalu asam dapat mengiritasi kulit, sedangkan apabila terlalu basa dapat menyebabkan kulit kering. Berdasarkan hal tersebut maka sediaan yang berkaitan dengan kulit manusia perlu disesuaikan dengan pH kulit tersebut. 2. Homogenitas Uji homogenitas dilakukan untuk melihat sediaan gel homogen atau tidak. Homogenitas sediaan ditunjukan dengan ada tidaknya butiran kasar.

Homogenitas

penting

dalam

sediaan

berkaitan

dengan

keseragaman kandungan jumlah zat aktif dalam setiap penggunaan (Dirjen POM, 1995). 3. Viskositas Viskositas merupakan pernyataan tahanan untuk mengalir dari suatu sistem dibawah stress yang digunakan (Martin dkk, 2012). Peningkatan

gaya

geser

akan

berbanding

lurus

dengan

peningkatan viskositas. Hal ini berlaku untuk senyawa yang termasuk tipe Newtonian (Martin dkk, 2012). Pada tipe non-Newtonian viskositas tidak berbanding lurus dengan kecepatan gaya geser. Tipe non-Newtonian antara lain plastis, pseudoplastis, dan dilatan (Lieberman dkk, 1996).

Tipe pseudoplastis menunjukan penurunan viskositas seiring meningkatnya kecepatan gaya geser. Pada suatu larutan, molekul dengan berat molekul besar serta struktur panjang akan saling terpilin dan terperangkap bersama-sama dengan solvent yang tidak bergerak. Gaya geser menyebabkan molekul terbebas dan menyusun diri secara terarah kemudian mengalir. Dengan demikian molekul akan memiliki sedikit tahanan untuk mengalir dan viskositas akan menurun (Aulton, 2001). Semakin kental suatu cairan maka semakin besar kekuatan yang diperlukan untuk cairan tersebut dapat mengalir dengan laju tertentu (Martin dkk, 2012). Peningkatan viskositas akan meningkatkan waktu retensi pada tempat aplikasi, tetapi menurunkan daya sebar (Garg, Aggarwal, Singla, 2002). Penggunaan karbopol sebagai basis gel pada konsentrasi 0,2% pH 7,5 viskositas karbopol dapat mencapai 200–300 mPas. Viskositas gel karbopol stabil dalam perubahan suhu karena adanya struktur cross-linked dari mikrogel. Penambahan bahan humektan seperti propilen glikol dapat memodifikasi ikatan hidrogen antara air, pelarut, dan polimer sehingga dapat mempengaruhi sifat viskoelastis dari karbopol (Islam, 2004). 4. Daya sebar Daya sebar adalah kemampuan dari suatu sediaan untuk menyebar di tempat aplikasi. Hal ini berhubungan dengan sudut kontak dari sediaan dengan

tempat

aplikasinya.

Daya

sebar

merupakan

salah

satu

karakteristik yang bertanggung jawab dalam keefektifan dalam pelepasan

zat aktif dan penerimaan konsumen dalam penggunaan sediaan semisolid. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya sebar yaitu viskositas sediaan, lama tekanan, temperatur tempat aksi (Garg dkk, 2002). 5. Daya Lekat Kemampuan sediaan untuk melekat di tempat aplikasi sangat penting. Daya lekat merupakan salah satu karakteristik yang bertanggung jawab terhadap keefektifan sediaan dalam memberikan efek farmakologis. Semakin lama daya lekat suatu sediaan pada tempat aplikasi maka efek farmakologis yang dihasilkan semakin besar. 6. Konsistensi Uji konsistensi dilakukan untuk mengetahui stabilitas sediaan gel yang dibuat dengan cara mengamati perubahan konsistensi sediaan setelah disentrifugasi. Uji konsistensi biasanya dilakukan dengan cara mekanik menggunakan sentrifugator dengan cara disentrifugasi pada kecepatan 3800 rpm selama 5 jam. Perubahan fisik yang diamati adalah terjadinya pemisahan antara bahan pembentuk gel dan pembawanya yaitu air dan pengujian dilakukan pada awal evaluasi (Djajadisastra, 2009).

D. Ekstraksi

Ekstrak merupakan sediaan sari pekat tumbuh-tumbuhan atau hewan yang diperoleh dengan cara melepaskan zat aktif dari masingmasing bahan obat, menggunakan menstrum yang cocok, uapkan semua atau hampir semua dari pelarutnya dan sisa endapan atau serbuk diatur untuk ditetapkan standarnya (Ansel, 1989). Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Ekstrak awal sulit dipisahkan melalui teknik pemisahan tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal. Oleh karena itu, ekstrak awal perlu dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas dan ukuran molekul yang sama. Jenis atau macam – macam ekstraksi ( sesuai E-Book Natural Products Isolation ) ada beberapa, yaitu sebagai berikut : diatur untuk ditetapkan standarnya (Ansel, 1989). .1. Maserasi Maserasi berasal dari bahasa latin Macerace berarti mengairi dan melunakkan.

Keunggulan

metode

maserasi

ini

adalah

maserasi

merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana dan paling banyak digunakan,

peralatannya

mudah

ditemukan

dan

pengerjaannya

sederhana. Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industry (Agoes,2007). Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai waktu maserasi artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan masuk ke dalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir. Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat di dalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya

ekstraksi absolut. Semakin besar

perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voight, 1994). Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang dilakukan melalui perendaman serbuk bahan dalam larutan pengekstrak. Metode ini digunakan untuk mengekstrak zat aktif yang mudah larut dalam cairan pengekstrak,

tidak

mengembang

dalam

pengekstrak,

serta

tidak

mengandung benzoin (Hargono dkk., 1986). Menurut Hargono dkk. (1986), ada beberapa variasi metode maserasi, antara lain digesti, maserasi melalui pengadukan kontinyu, remaserasi, maserasi melingkar, dan maserasi melingkar bertingkat. Digesti merupakan maserasi menggunakan pemanasan lemah (40-50°C).

Maserasi pengadukan kontinyu merupakan maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus, misalnya menggunakan shaker, sehingga dapat mengurangi waktu hingga menjadi 6-24 jam. Remaserasi merupakan maserasi yang dilakukan beberapa kali. Maserasi melingkar merupakan maserasi yang cairan pengekstrak selalu bergerak dan menyebar. Maserasi melingkar bertingkat merupakan maserasi yang bertujuan untuk mendapatkan pengekstrakan yang sempurna. Lama maserasi memengaruhi kualitas ekstrak yang akan diteliti. Lama maserasi pada umumnya adalah 4-10 hari (Setyaningsih, 2006). Menurut Voight (1995), maserasi akan lebih efektif jika dilakukan proses pengadukan secara berkala karena keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Melalui usaha ini diperoleh suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat masuk ke dalam cairan pengekstrak. Kelemahan metode maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyarian kurang sempurna. Secara tekhnologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarigan maserat pertama dan seterusnya (Depkes RI, 2000; Depkes RI, 1995). 2. Perkolasi Istilah perkolasi berasal dari bahasa latin per yang artinya melalui dan colare yang artinya merembes. Jadi, perkolasi adalah penyarian

dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Alat yang digunakan untuk mengekstraksi disebut perkolator, dengan ekstrak yang telah dikumpulkan disebut perkolat (Ansel, 1989). Metode perkolasi memberikan beberapa keunggulan dibandingkan metode maserasi, antara lain adanya aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan dan ruang di antara butir-butir serbuk simplisia membentuk saluran kapiler tempat mengalir cairan penyari. Kedua hal ini meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi yang memungkinkan proses penyarian lebih sempurna (Anonim, 1986). Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan ke dalam bejana perkolator, tetapi dibasahi dan dimaserasi terlebih dahulu dengan

cairan

penyari.

Hal

ini

dimaksudkan

untuk

memberikan

kesempatan sebesar-besarnya kepada cairan penyari memasuki seluruh pori-pori dalam simplisia sehingga mempermudah penyarian selanjutnya. Untuk menentukan akhir perkolasi, dapat dilakukan pemeriksaan zat aktif secara kualitatif pada perkolat terakhir. Untuk obat yang belum diketahui zat aktifnya, dapat dilakukan penentuan dengan cara organoleptis seperti rasa, bau, warna dan bentuknya (Anonim, 1986). Secara umum proses perkolasi ini dilakukan pada temperatur ruang. Sedangkan parameter berhentinya penambahan pelarut adalah perkolat sudah tidak mengandung senyawa aktif lagi. Pengamatan secara fisik pada ekstraksi bahan alam terlihat pada tetesan perkolat yang sudah

tidak berwarna. Cara perkolasi lebih baik dibandingkan dengan cara maserasi karena: a. Aliran cairan penyari menyebabkan adanya pergantian larutan yang terjadi dengan larutan yang konsentrasinya lebih rendah, sehingga meningkatkan derajat perbedaan konsentrasi. b. Ruangan diantara serbuk-serbuk simplisia membentuk saluran tempat mengalir cairan penyari.karena kecilnya saluran kapiler tersebut,maka kecepatan pelarut cukup untuk mengurangi lapisan batas, sehingga dapat meningkatkan perbedaan konsentrasi. Dalam proses perkolasi biasa, perkolat yang dihasilkan tidak dalam kadar yang maksimal. Selama cairan penyari melakukan penyarian serbuk simplisia , maka terjadi aliran melalui lapisan serbuk dari atas sampai ke bawah disertai pelarutan zat aktifnya. Proses penyaringan tersebut aakan menghasilkan perkolat yang pekat pada tetesan pertama dan terakhir akan diperoleh perkolat yang encer. Untuk memperbaiki cara perkolasi tersebut dialkukan cara perkolasi bertingkat. Serbuk simplisia yang hampir tersari sempurna sebelum dibuang, disari dengan cairan penyari yang baru. Hal ini diharapkan agar serbuk simplisia tersebut dapat tersari sempurna. Sebaliknya serbuk simplisia yang baru disari dengan perkolat yang hampir jenuh, dengan demikian akan diperoleh perkolat akhir yang jernih. Perkolat dipisahkan dan dipekatkan. Cara ini cocok bila digunakan untuk

perusahaan

obat

tradisional,

termasuk

perusahaan

yang

memproduksi sediaan galenik. Agar dioperoleh cara yang tepat, perlu

dilakukan percobaan pendahuluan. Dengan percobaan tersebut dapat ditetapkan: 1. Jumlah percolator yang diperlukan 2. Bobot serbuk simplisia untuk tiap kali perkolasi 3. Jenis cairan penyari 4. Jumlah cairan penyari untuk tiap kali perkolasi 5. Besarnya tetesan dan lain-lain. Kelemahan dari metode perkolasi ini adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien. 3. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilarutkan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Biomasa ditempatkan dalam wadah soklet yang dibuat dengan kertas saring, melalui alat ini pelarut akan terus direfluks. Alat soklet akan mengosongkan isinya ke dalam labu dasar bulat setelah pelarut mencapai kadar tertentu. Setelah pelarut segar melewati alat ini melalui pendingin refluks, ekstraksi berlangsung sangat efisien dan senyawa dari bioasa secara efektif ditarik ke dalam pelarut karena konsentrasi awalnya rendah dalam pelarut (Depkes RI, 2000).

Prinsipnya adalah penyarian yang dilakukan berulang - ulang sehingga penyarian lebih sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit. Bila penyarian telah selesai maka pelarutnya dapat diuapkan kembali dan sisanya berupa ekstrak yang mengandung komponen kimia tertentu. Penyarian dihentikan bila pelarut yang turun melewati pipa kapiler tidak berwarna dan dapat diperiksa dengan pereaksi yang cocok. Ekstraksi yang dilakukan menggunakan metoda sokletasi, yakni sejenis ekstraksi dengan pelarut organik yang dilakukan secara berulangulang dan menjaga jumlah pelarut relatif konstan, dengan menggunakan alat soklet. Minyak nabati merupakan suatu senyawa trigliserida dengan rantai karbon jenuh maupun tidak jenuh. Minyak nabati umumnya larut baik dalam pelarut organik, seperti benzen

dan heksan. Untuk

mendapatkan minyak nabati dari bagian tumbuhan dapat dilakukan metode sokletasi dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Hamdani, 2011). Proses sokletasi digunakan untuk ekstraksi lanjutan dari suatu senyawa dari material atau bahan padat dengan pelarut panas. Alat yang digunakan adalah labu didih, ekstraktor dan kondensor. Sampel dalam sokletasi perlu dikeringkan sebelum disokletasi. Tujuan dilakukannya pengeringan adalah untuk mengilangkan kandungan air yang terdapat dalam sample sedangkan dihaluskan adalah untuk mempermudah senyawa terlarut dalam pelarut. Didalam sokletasi digunakan pelarut yang

mudah menguap. Pelarut itu bergantung pada tingkatannya, polar atau non polar. Keunggulan metode ini antara lain: a. Dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung. b. Digunakan pelarut yang lebih sedikit c. Pemanasannya dapat diatur Kelemahan metode ini antara lain: a. Tidak cocok untuk senyawa- senyawa yang tidak stabil terhadap panas (senyawa termobil), contoh : Beta karoten. b. Cara mengetahui ekstrak telah sempurna atau saat sokletasi harus dihentikan adalah :  Pelarutnya sudah bening atau tidak berwarna lagi  Jika pelarut bening, maka diuji dengan meneteskan setetes pelarut pada kaca arloji dan biarkan menguap. Bila tidak ada lagi bercak noda, berarti sokletasi telah selesai.  Untuk mengetahui senyawa hasil penyarian (kandungannya) ,dapat dilakukan dengan tes identifikasi dengan menggunakan beberapa pereaksi. 4. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan

adanya

pendingin

balik.

Umumnya

dilakukan

pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000). Dilakukan dengan menggunakan alat destilasi, dengan merendam simplisia dengan pelarut / solven dan memanaskannya hingga suhu tertentu. Pelarut yang menguap sebagian akan mengembung kembali kemudian masuk ke dalam campuran simplisia kembali, dan sebagian ada yang menguap. Keunggulan dari metode ini antara lain: a. Digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar. b. Digunakan

untuk

mengekstraksi

sampel-sampel

yang

tahan

pemanasan langsung. Kelemahan dari metode ini antara lain: a. Membutuhkan volume total pelarut yang besar b. Sejumlah manipulasi dari operator.

E. Etosom Touitou (1996) adalah peneliti yang pertama kali menemukan dan menyeiidiki sistem gelembung lipid (vesikel) yang ditambahkan alkohol konsentrast tinggi. Vesikel tersebut diberi nama ethosome (etosom) karena adanya etanol atau alkohol yang digunakan. Keberadaan alkohol dalam komposisi etosom merupakan pembeda spesifik antara etosom dengan liposom.

Etosom merupakan sistem penghantar berbentuk veeikel yang terdiri atas fosfolipid dan alkohol konsentrasi tinggi di dalam media berair. Beberapa formula juga menambahkan glikol untuk memperbaiki struktur etosom yang terbentuk. Fosfolipid adalah suatu senyawa ampifilik dan memiliki struktur dasar giiserol. Terdiri atas gugus fosfat yang hidrofilik dan atau dua molekul asam temak yang hidrofobik. Fosfolipid yang biasa digunakan adalah fosfatidilkolin, fosfatidilserin, fosfatidimonosito, fosfatidiietanoiamin, fosfatidilgliserol, dan asam fosfatidat (Touitou, 1996). Adapun alkohol yang biasa digunakan adalah etanol atau rsopropil alkohol. Alkohol memiliki kemampuan meningkatkan permease senyawa kimia ke dalam lapisan kulit. Konsentrasi alkohol yang tinggi akan menyebabkan gangguan pada lapisan lemak di kulit yang menjadi sawar terhadap masuknya senyawa asing ke dalam kulit terutama senyawa yang bersifat hidrofilik. Ketika terjadi integrasi antara lipid di kulid dengan lipid dan membran vesikel, maka vesikel dapat dengan mudah menembus stratum komeum. Selain rtu, konsentrasi alkohol yang tinggi akan mempengaruhi struktur vesikel. Semakin tinggi konsentrasi alkohol maka struktur lipid lapis ganda vesikel akan lebih renggang sehingga memudahkan masuknya obat ke dalam lipid bilayer. (Anitha, etal, 2011). Formulasi etanol juga biasa ditambahkan kolesterol dengan konsentrasi 0,1-1% dan polietilen glikol juga dapat ditambahkan saat penyiapan etosom. Konsentrasi alkohol dalam produk akhir adalah 20-

50%, sedangkan fase non-air (alkohol dan kombinasi glikol) adalah 2270%. (Toitou, 1996) Etosom mampu menembus lapisan lipid di permukaan kulit dan memungkinkan penghantaran senyawa obat ke berbagai Iapisan (stratum) kulit dan sirkulasi sistemik. Konsentrasi etanol yang tinggi akan menyebabkan gangguan pada Iapisan temak di kulit Ketika terjadi integrasi dengan membran vesikel maka vesikel dapat dengan mudah menembus stratum komeum. (Tourtou dan Godin, 2000) Selain itu akibat konsentrasi etanolnya yang tinggi, membran lipid menjadi lebih renggang dibandingkan vesikel konvensional namun stabilitasnya setara. Struktur etosom lebih lunak sehingga lebih mudah masuk ke daiam celah-celah stratum komeum yang dibentuk oleh gangguan etanol. Etanol berinteraksi dengan molekul lipid di daerah gugus polar menghasilkan reduksi rigiditas lipid stratum komeum dan meningkatkan

fluiditasnya.

Lipid

yang

menyusun

etosom juga

berinteraksi dengan sawar stratum komeum. (Tourtou dan Dayan, 2000). Lalu diikuti oleh efek etosom berupa penetrasi antar lipid dan permeasi dengan cara membuka jalur baru akibat ketenturan dan fusi etosom dengan lipid di kulit akan mengakibatkan petepasan obat ke daiam Iapisan kulit. (Patel, 2007). Penyiapan etosom relatif mudah dan tidak memerlukan peralatan yang mahal. Terdiri dart dua matode yaitu sebagai berikut :

a. Metode Dingin Metode ini paling banyak digunakan untuk penyiapan ethosom. Fosfolipid, obat, dan bahan lipid lainnya dilarutkan dalam etanoi di wadah tertutup pada suhu kamar menggunakan mixer. Propilen glikol atau poliol lainnya ditambahkan selama pengadukan lalu dipanaskan hingga 30°C dalam bak air. Air hangat 30°C ditambahkan ke dalam campuran dan diaduk 5 menit dalam wadah tertutup. Ukuran vesikel etosom diperkecil dengan sonikasi. (Touitou, 1996) Metode dingin akan membentuk lapisan lipid unilamellar. Metode dingin sering digunakan untuk menjerap obat yang bersifat hidrofilik karena mampu menjerap lebih banyak obat ke dalam komparteman hidrofilik vesikel, yaitu fase air yang terdapat pada bagian inti dari vesikel. (Ashis, 2010)

b. Metode Panas Fosfolipid didispersikan dalam air suhu 40°C hingga diperoleh larutan koloidal. Etanoi dan propilen glikol dicampurkan dan dipanaskan hingga

40°C

dalam

wadah

terpisah.

Selanjutnya

fase

organik

ditambahkan fase air. Obat dilarutkan dalam air atau etanoi tergantung pada sifat hidrofilik atau hidrofobiknya. Ukuran vesikel etosom diperkecil dengan sonikasi. (Touitou, 1996). Pemasangan dapat mempengaruhi pambentukan lapisan lipid bilayer menjadi multilamellar. Metode panas sering digunakan untuk

menjerap obat yang bersifat lipofilik atau amplflllk karana mampu menjerap lebih banyak obat ke dalam kompartaman lipofillk vaslkel. Obat akan ber-interchelation ke dalam bagian hldrofoblk darl struktur lipid belayer. Asinis 2010). Metode sonikasi sering diterapkan untuk maradukal ukuran partikel Sonikasi adaiah penerapan energi ultrasuara untuk memperkecil ukuran partikel dan memisahkan partikel-partikel yang saling menempel. Sonikasi bekerja dengan mekanisme pangubahan sinyal listrik menjadi getaran mekanis yang diarahkan manuju suatu zat untuk memecahkan ikatan antar molekul. (Lacoma, 2009) Komponen utama sonikator adalah generator listrik ultrasonik yang menghasilkan

sinyal

20.000

Hz.

Sinyal

tersebut

menghidupkan

transduktor yang kemudian mengkonversi sinyal elektrik menggunakan kristal piezoelectric, yartu kristal yang dapat merespon listrik dengan menghasilkan getaran mekanis. Getaran tersebut dijaga oleh sonikator hingga melewati probe. Probe sonikator berperan dalam menyampaikan getaran pada cairan yang disonikasi. Pergerakan probe yang terjadi dengan cepat menghasilkan efek kavitasi yang terjadi ketika terbentuk gelembung-gelembung mikroskopis dalam larutan akibat adanya getaran. Pembentukan dan penghancuran gelembung tersebut menghasilkan gelombang getaran berenergi tinggi yang dapat memperkecil ukuran partikel. (Lacoma, 2009).

Etosom memiliki beberapa kelebihan seperti kemampuannya dalam meningkatkan permeasi molekul obat ke dalam dan melintasi kulit menuju sirkulasi ststematik. Kelarutan dan kestabilan bahan aktif terjaga labih baik di dalam vesikeil etosom. serta ukurannya relatif lebih kecil dibandingkan dengan vesikel konvensional. Etosom juga meningkatkan kemapuan obat melintasi kulit baik dalam kondisi teroklusi maupun tidak teroklusi. Semua bahan penyusunnya tergolong aman serta dapat digunakan dalam berbagai sediaan obat sediaan veteriner, dan kosmetika. (Wahid, A.A.. et al, 2011)

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Dosis Ekstrak Biji Kopi.docx
November 2019 18
Daftar Pustaka.docx
November 2019 10
Bab Ii.docx
December 2019 9
Bab I.docx
December 2019 7