BAB II PRINSIP BISNIS MENURUT PANDANGAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
A.
Tinjuan Binsis Dalam Hukum Ekonomi Syariah
1. Pengertian Bisnis Menurut Islam Secara bahasa kata bisnis berasal dari bahasa Inggris, yaitu: business dan businesess (pluralnya) artinya: untuk urusan dagang, usaha, perniagaan, ketataniagaan.1 Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan di bidang usaha. 2 Secara istilah kata bisnis didefinisikan oleh para tokoh berikut, yaitu : menurut Suhendi dan Indra Sasangka, bisnis adalah suatu usaha individu atau kelompok yang mengembangkan dan mentransformasikan sumber daya yang dimiliki untuk menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh konsumen sehingga mendapatkan keuntungan atau laba dengan kegiatan itu.3 Sedangkan menurut Skinner, bisnis adalah pertukaran barang, jasa atau uang saling menguntungkan atau memberikan manfaat.4 Pada dasarnya, bisnis memiliki makna sebagai “the buying and selling of good and service”. Sedangkan perusahaan bisnis adalah suatu organisasi yang terlibat dalam pertukaran barang, jasa atau uang untuk menghasilkan keuntungan. Secara sederhana, bisnis adalah
1
John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996), Cet. Ke-XXII, hlm. 90. 2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. Ke-2, hlm. 38. 3 Suhendi dan Indra Sasangka, Pengantar Bisnis (Bandung: CV. ALFABETA, 2014), hlm. 2. 4 Francis Tantri, Pengantar Bisnis (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 4.
18
19
semua kegiatan yang dilakukan seseorang atau lebih yang terorganisasi dalam mencari laba melalui penyediaan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat.5 Seorang manusia memiliki kebutuhan yang banyak dalam memenuhi aktivitas-aktivitasnya. Kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan yang mendesak (primer), kebutuhan tidak mendesak (sekunder), dan kebutuhan pelengkap (tersier). Kebutuhan manusia tidak hanya kebutuhan berupa barang saja melainkan kebutuhan akan jasa. Kebutuhan akan barang dan jasa akan terpenuhi saat mereka memiliki kemampuan untuk mencari lalu mengolahnya menjadi yang mereka butuhkan. Namun ada sebagian orang yang tidak dapat membuat dan mengolahnya sendiri, maka peran manusia lain (penjual atau penyedia) dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Kegiatan pemenuhan barang dan jasa ini selain dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan manusia juga dijadikan cara mendapatkan profit atau laba. Laba yang diperoleh akan digunakan kembali untuk memenuhi kebutuhannya (penjual atau penyedia). Kegiatan dengan keinginan mencari laba inilah disebut dengan bisnis.6 Dari beberapa definisi bisnis yang telah dikemukan oleh para ahli, penulis berkesimpulan bahwa bisnis adalah segala bentuk usaha yang menghasilkan barang atau jasa yang dijual kepada para konsumen dengan tujuan memperoleh keuntungan. Kata bisnis sudah sangat populer sekarang ini, banyak sekali yang mulai mempelajari dan menggeluti bisnis untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Bisnis tidak hanya dilakukan oleh orang yang memiliki banyak modal dengan membuka sebuah perusahaan, tetapi dilakukan pula oleh orang yang memiliki modal kecil dengan bisnis bertaraf kecil. Semua pelaku bisnis yang 5 6
Ibid, hlm. 4. Sentot Imam Wahjono, Bisnis Modern, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hlm. 4.
20
melakukan bisnis dalam taraf besar maupun kecil mengharapkan keuntungan yang terus menigkat setiap tahun. Sehingga bisnis mereka semakin berkembang dan dikenal oleh masyarakat luas. Untuk menjaga agar bisnis tetap ada, seorang wirausaha atau pelaku bisnis harus memiliki inovasi yang kreatif. Inovasi sangat dibutuhkan untuk mengatasi kejenuhan yang dirasakan oleh wirausaha dan konsumen yang merasakan. Definisi dari bisnis sendiri dalam persepktif ajaran Islam atau istilah syariah dapat diartikan sebagai kegiatan yang terorganisir dimulai dengan input berupa mengelola barang lalu diproses setelah itu menghasilkan output berupa barang setengah jadi atau barang jadi, distribusikan kepada masyarakat dan dari distritribusi ini akan diperoleh profit atau keuntungan. Al-Qur’an menjelaskan tentang konsep bisnis dengan beberapa kata yang diantaranya adalah kata : al Tijarah (berdagang, berniaga), al-bai’u (menjual), dan tadayantum (muamalah).7 Al-Tijarah dari kata dasar tajara ( ) تجر, tajara, tajaratan wal tajiratan yang memiliki makna dagang, berniaga.8 Kata tijarah dalam Al-Qur’an dapat ditemui di surat al-Baqarah ayat 282, an-Nisa ayat 29, at-Taubah ayat 24, an-Nur ayat 37, Fatir ayat 29, as-Shaff ayat 10, dan al-Jumu’ah ayat 11. Beberapa ayat tersebut menjelaskan tentang perniagaan dalam konteks material dan non material. Surat at-Taubah ayat 24, an-Nur ayat 37, dan al-Jumu’ah ayat 11 menjelaskan tentang jual-beli dalam konteks material. Sedangkan ayat yang menjelaskan tentang konteks material dan nonmaterial ada di al-Baqarah ayat 282, an-Nisa ayat 29, Fatir ayat 29, dan as-Shaff ayat 10. Perdagangan yang
7 Akhmad Nur Zaroni, Bisnis Dalam Perspektif Islam (Telaah Aspek Keagamaan dalam Kehidupan Ekonomi), Mazahib Vol. IV, No. 2, Desember 2007, hlm. 177. 8 Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 29.
21
dimaksud adalah perdagangan yang baik sesuai yang diatur dalam Al-Qur’an dan hadist. Sedangkan Jual-beli yang dilakukan harus menguntungkan dan bermanfaat bagi banyak orang sekitar.9 Sedangkan Al Bay’u ( ) البيعyang diartikan jual beli berasal dari kata baa’a ) (باعyang artinya menjual, dan al buyuu’ yang artinya menukar sesuatu dengan sesuatu.10 Pengertian jual beli secara bahasa dalam lingkup bahasa Indonesia adalah sebagai beikut:”Jual beli adalah suatu kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan tata cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang”.11 Hermawan Kartajaya dan Syakir Sula memberi pengertian bahwa bisnis syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan penghormatan atas hak masing-masing baik penjual maupun pembeli.12 Syariah mempunyai keunikan tersendiri, Syariah tidak saja komprehensif, tetapi juga universal. Universal bermakna bahwa syariah dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat oleh setiap manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang sosial (ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim dan nonMuslim 2. Landasan Hukum Bisnis Dalam Islam Hukum bisnis dalam lingkup ajaran Islam meiliki landasan hukum yang diosandarkan pada ketentuan Al Quran, Al hadits, Ijma Ulama dan beberapa produk Ijtihad lainnya yang dapat diuraikan sebagai berikut :
9
Ibid, hlm. 32. A.W Munawir, Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997, Hlm. 124. 11 Depdibud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Dept. Pendidikan dan Budaya, Jakarta, 2001, Hlm. 108. 12 Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing, Bandung:Mizan, 2006, Hlm. 45. 10
22
a.
Al Qur’an
1) Surat Al-Baqarah [2] ayat 275 :
َّ َوأ َ َح َّل... ... الربَا ِّ َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ”...Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. ..”.13 2) Surat An-Nisa [4] ayat 29 :
ارة ً َعن َ َيا أَيُّ َها الَّذينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُكم َب ْينَ ُكم ب ْالبَاطل إ ََّل أَن ت َ ُكونَ ت َج َّ س ُك ْمۚ إ َّن َّللاَ َكانَ ب ُك ْم َرحي ًما ٍ ت َ َر َ ُاض ِّمن ُك ْم ۚ َو ََل ت َ ْقتُلُوا أَنف Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.14 Menurut Imam Ibnu Katsir dalam kitab Al Jam’u fi Tafsirul Qur’anil Karim, dikatakan bahwa Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Ayat-ayat sebelumnya menerangkan transaksi muamalah yang berhubungan dengan harta, seperti harta anak yatim, mahar, dan sebagainya. Dalam ayat ini Allah mengharamkan
orang
beriman
untuk
memakan,
memanfaatkan,
menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Orang beriman boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas, dan berprinsip keadilan.15
13
Depag RI, Al Quran dan Terjemahan, CV Diponegoro, Bandung, 1989, Hlm.69. Ibid, Hlm.122. 15 Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan Dari Allah – Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Gema Insani, Jakarta, 1999, Hlm.113. 14
23
b.
Al Hadits
1) Dalam kitab Shahih Bukhari hadits No.1937 ketentuan mengenai jual beli atau kegiatan bisnis yang dilakukan dua orang harus saling menerangkan dan tidak menutupi terhadap objek jual belinya, hal dapat dilihat dari hadits berikut :
ُ ب َحدَّثَنَا ُ سلَ ْي َم ع ْن ُ َحدَّثَنَا ٍ ان ْب ُن َح ْر َ صالحٍ أَبي ْالخَليل َ ش ْع َبةُ َع ْن قَت َادَة َ َع ْن َّ ي َّ َعبْد َّللاُ َع ْنهُ قَا َل قَا َل َ َّللا بْن ْال َحارث َرفَعَهُ إلَى َحكيم بْن حزَ ٍام َرض َّ صلَّى َّ سو ُل سلَّ َم ْالبَيِّ َعان ب ْالخيَار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا أ َ ْو قَا َل َحتَّى ُ َر َ َّللاُ َعلَيْه َو َ َّللا ْ َصدَقَا َوبَيَّنَا بُور َك لَ ُه َما في بَ ْيعه َما َوإ ْن َكت َ َما َو َكذَبَا ُمحق ت َ يَتَفَ َّرقَا فَإ ْن َب َر َكةُ َبيْعه َما Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qatadah dari Shalih Abu AL Khalil dari 'Abdullah bin Al Harits yang dinisbatkannya kepada Hakim bin Hizam radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah", Atau sabda Beliau: "hingga keduanya berpisah. Jika keduanya jujur dan menampakkan dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan dan berdusta maka akan dimusnahkan keberkahan jual belinya".16 Hadis di atas mengandung pengertian bahwa dalam Islam, perdagangan dan perniagaan selalu dihubungkan dengan nilai-nilai keterbukaan, tidak ada unsur tipu menipu.Transaksi bisnis dalam Islam harus terhindar dari nilai-nilai yang bertentangan dengan kebajikan dan bersifat Islami sehingga transaksi tersebut menjadi berkah bagi para pelakunya. 2) Kemudian dalil mengenai jual beli yang harus ditimbang/ditakar dengan jelas sebagaimana keterangan dari hadits berikut :
سو ُل ُ َّاس َع ْن بَيْع النَّ ْخل فَقَا َل نَ َهى َر ٍ سأ َ ْلتُ ابْنَ َعب َ ي قَا َل ِّ َع ْن أَبي ْال َب ْختَر َّ صلَّى َّ سلَّ َم َع ْن بَيْع النَّ ْخل َحت َّى َيأ ْ ُك َل م ْنهُ أ َ ْو يُؤْ َك َل َو َحتَّى َ َّللاُ َعلَيْه َو َ َّللا يُوزَ نَ قَا َل فَقُ ْلتُ َما يُوزَ ُن فَقَا َل َر ُج ٌل ع ْندَهُ َحت َّى يُ ْحزَ َر 16
Al-Bukhari,Shahih Bukhari Kitab Buyu Hadits No.1937, Darul Fiqri, Beirut, t.th, Hlm
135.
24
Dari Abu Al Bakhtari, dia berkata, "Pada suatu ketika saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang (hukum) jual beli pohon kurma." Kemudian Ibnu Abbas pun menjawab, "Rasulullah SAW melarang jual beli pohon kurma hingga seseorang dapat memakan buahnya, yaitu dapat dimakan atau dapat ditimbang." Dia berkata, "Lalu saya pun bertanya kepadanya, 'Apa yang ditimbang?'Seseorang yang ada di sampingnya menjawab, '(Yaitu) hingga dapat dikira-kira”17. Hadits di atas menisyaratkan kepada para pelaku bisnis khususnya untuk berlaku jujur dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan
yang lehih besar lagi seperti; perampokan, perampasan, pencu rian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. c.
Ijma Ulama’ muslim sepakat (ijma’) atas kebolehan akad jual beli. Ijma’ ini memberikan hikmah bahwa, kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan diberikan dengan begitu saja, namun terdapat kompensasi yang harus diberikan. Dengan disyari’atkannya jual beli merupakan salah satu cara untuk merealisasikan keinginan dan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya, manusia tidak bias hidup tanpa hubungan dan bantuan orang lain.18
3. Prinsip Prinsip dalam Berbisnis Menurut Islam Ajaran Islam memiliki dasar atau ketentuan asas terkait kegiatan muamalah termasuk di dalamnya aktivitas transaksi jual beli. Salah satu asasnya Muslim Al Hujjaj Al Quraisy, Shahih Muslim Kitab Buyu’ Hadits No.920, Darul Fiqri, Damaskus, t.th, Hlm. 12. 18 Dimyauddin Djuwaini, Fiqih Muamalah, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hlm.73. 17
25
adalah
saling
ridha
(taradli).
Penerapan
asas
Tardli
atau
keridhaan
(kerelaan) dalam praktek transaksi jual beli maksudnya setiap kontrak dalam ekonomi syariah harus dilakukan atas dasar ridha dan sukarela (taradhi) para pihak.19 Apabila suatu akad tidak boleh mengandung unsur paksaan (ikrah). Asas saling sukarela antara pihak yang melakukan transaksi adalah asas fundamental dalam
bisnis
syariah.
Namun
demikian,
tidak
semua
bisnis
yang taradhin dianggap sah secara syar’i, karena pada dasarnya saling rela merupakan prinsip dalam aktifitas perekonomian, bukan menjadi penyebab dibolehkannya sesuatu yang dilarang (ar-ridha ruknun li al-‘aqdi wa laisa sababan li al-hilli).20 Maka keridhaan nasabah konvensional atas bunga, tidak menyebabkan bunga itu dibolehkan, demikian pula saling ridha dalam hubungan seksual, tidak menyebabkan zina itu menjadi halal. Sebagaimana dengan keterangan di atas, asas dalam jual beli merupakan prinsip yang harus diterapka pada setiap proses transaksi.Dalam istilah fiqh mu’amalat prinsip-prinsip dalam transaksi tersebut terkait hukum disebut dengan ‘aqd kata jamaknya al-‘uqud. Ada beberapa asas al-‘uqud yang harus diterapkan ketika para pihak melakukan transaksi jual beli. Asas tersebut adalah sebagai berikut: a.
Asas ridha’iyyah (rela sama rela). Yaitu bahwa transaksi ekonomi dalam bentuk apapun yang dilakukan perbankan dengan pihak lain terutama nasabah harus didasarkan atas prinsip rela sama rela –bukan suka sama suka- yang bersifat hakiki. Asas ini didasarkan kepada sejumlah ayat al-Qur’an dan alHadits, terutama surat an-Nisa (4): 92). Atas dasar asas ‘an taradhin, maka 19
http://blog.mysharing.co/asas-pengembangan-akad-dalam-ekonomi-syariah/ pada tanggal 8 Oktober 2014. 20 Dimyauddin Djuwaini, op-cit : Hal. 88.
diakses
26
semua bentuk transaksi yang mengandung unsur paksaan (ikrah) harus ditolak dan dinyatakan batal demi hukum. Itulah sebabnya mengapa Islam mengharamkan bentuk transaksi ekonomi apapun yang mengandung unsur kebatilan (al-bathil) semisal jual beli yang mengandung unsur pemaksaan (bay’ul mukrah). b.
Asas Manfaat, maksudnya ialah bahwa akad yang dilakukan oleh bank dengan nasabah berkenaan dengan hal-hal (obyek) yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Itulah sebabnya mengapa Islam mengharamkan akad berkenaan dengan hal-hal yang bersifat mudharat/mafsadat seperti jual beli benda-benda yang diharamkan dan/atau benda-benda yang tidak bermanfaat apalagi yang membahayakan.
c.
Asas keadilan, dalam arti kedua pihak yang melakukan transaksi ekonomi (bank dan nasabah) harus berlaku dan diperlakukan secara adil dalam konteks pengertian yang luas dan konkrit. Hal ini didasarkan pada sejumlah ayat alQur’an yang sangat menjunjung tinggi keadilan dan anti kezhaliman.
d.
Asas saling menguntungkan. Setiap akad yang dilakukan oleh pihak bank syariah dan nasabah harus bersifat menguntungkan semua pihak yang berakad. Tidak boleh menguntungkan satu pihak dengan merugikan pihak lain. Itulah sebabnya mengapa Islam mengharamkan jual beli (perdagangan) yang mengandung unsur gharar (penipuan), karena hanya menguntungkan satu pihak dengan merugikan pihak lain. Demikian pula dengan praktik perjudian yang hanya menguntungkan segelintir orang dengan merugikan banyak pihak bahkan masyarakat luas.
4. Akad-akad Dalam Kegiatan Bisnis Islam
27
Akad dalam kegiatan Bisnis atau compensational contract merupakan akad yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan. Dari sisi kepastian hasil yang diperoleh, akad dalam kegiatan bisnis dapat dibagi menjadi dua, yaitu natural uncertainty contract dan natural certainty contract. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing hal tersebut dan jenis-jenisnya.21 a. Natural Uncertainty Contract Merupakan kontrak yang diturunkan dari teori pencampuran dimana pihak yang bertransaksi saling mencampurkan asset yang mereka miliki menjadi satu, kemudian menanggung risiko bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan. Oleh sebab itu, kontrak jenis ini tidak memberikan imbal hasil yang pasti, baik nilai imbal hasil maupun waktu. Jenis-jenis natural uncertainty contract antara lain22 : 1) Mudharabah: yaitu bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih, dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh menurut kesepakatan dimuka, sedangkan apabila terjadi kerugian hanya ditanggung pemilik dana sepanjang tidak ada unsure kesengajaan atau kelalaian oleh mudharib. 2) Musyarakah: akad kerjasama yang terjadi antara pemilik modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal. 21
AdimarwanA. Karim, Bank Islam: analisis fiqih dan keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 65. 22 Ibid, hlm. 65.
28
3) Sukuk (obligasi syariah): merupakan surat utang yang sesuai dengan prinsip syariah. 4) Saham syariah yang produknya harus sesuai syariah. Syarat lainnya : a) Perusahaan tersebut memiliki piutang dagang yang relative lebih kecil dibandingkan total asetnya, b) Perusahaan tersebut memiliki utang yang kecil dibandingkan nilai kapitalisasi pasar, c) Perusahaan memiliki pendapatan bunga kecil.
b. Natural Certainty Contract Merupakan kontrak yang diturunkan dari teori pertukaran, dimana kedua belah pihak saling mempertukarkan asset yang dimilikinya, sehingga objek pertukarannya pun harus ditetapkan di awal akad dengan pasti tentang jumlah, mutu, harga, dan waktu penyerahan. Dalam kondisi ini secara tidak langsung kontrak jenis ini akan memberikan imbal hasil yang tetap dan pasti karena sudah diketahui ketika akad. Jenis dari kontrak ini ada beberapa, antara lain23 : a. Murabahah: transaksi penjualan barang dengan menyatakan biaya perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati antara penjual dan pembeli. b. Salam: transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Barang diserahkan secara tangguh, sedangkan pembayarannya dilakukan secara tunai. c. Istishna’: memiliki system yang mirip dengan salam, namun dalam istishna’ pembayaran dapat dilakukan di muka, cicilan dalam beberapa kali (termin) atau ditangguhkan selama jangka waktu tertentu.
23
Ibid, hlm. 64 – 66.
29
d. Ijarah: akad sewa-menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan manfaat atas objek sewa yang disewakan.
B.
Jual Beli Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Jual Beli Jual Beli dari kata baa’a ) (باعyang artinya menjual, dan al buyuu’ ) (البيعyang artinya menukar sesuatu dengan sesuatu.24 Pengertian jual beli secara bahasa dalam lingkup bahasa Indonesia adalah sebagai beikut:”Jual beli adalah suatu kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan tata cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang”.25 Pengertian jual beli dari sisi istilah atau terminologi hukum Islam, berikut ini terdapat beberapa definisi yang dikeluarkan oleh para ulama dan ahli ekonomi Islam antara lain adalah sebagai berikut : a. Dalam Kitab Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq mendifinisikan jual beli menurut pengertian lughawiyah adalah saling menukar (pertukaran). Menurut pengertian syariat, jual beli adalah pertukaran harta (semua yang memiliki dan dapat dimanfaatkan) atas dasar saling rela. Atau memindahkan hak milik (milik disebut di sini agar terbedakan dengan yang tidak dimiliki) dengan diganti (agar terbedakan dengan hibah dan yang tidak dibenarkan).26 b. Menurut Prof. DR. Wahbah Al Zuhaili, secara etimologi jual beli adalah proses tukar menukar barang. Kata bay’ ( ) َب ْي ُعyang artinya jual beli bermakna ganda
24
A.W Munawir, Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997, Hlm. 124. Depdibud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Dept. Pendidikan dan Budaya, Jakarta, 2001, Hlm. 108. 26 Sayyid Sabiq, Figih Sunnah Jilid 12, PT Al Maárif, Bandung, 1987, Hlm 44 – 45. 25
30
yang berseberangan, seperti syiraa( ) ش َراء. Baik penjual maupun pembeli 27 dinamakan baayi’un ( ) َبا ْي ٌعatau musytarii (ي ْ ) ُم ْشت َر.
c. Menurut Moch. Rifaí dalam buku Fiqih Islam Lengkap, jual beli didefinisikan menukar sesuatu dengan sesuatu, dan menurut syara’jual beli artinya menukar harta dengan harta menurut cara-cara tertentu (akad) sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Q.S Al Baqarah ayat 278 : “ ... Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkanriba...“ .28 d. Sedangkan menurut Sulaiman Rasyid dalam buku Fiqih Islam, beliau mendefinisikan jual beli yaitu tukar menukar barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad) sebagaimana firman Allah dalam Q.S Annisa ayat 29 : “Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dan suka sama suka diantara kamu.29 e. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1457 bahwa jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.30 Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya jual beli adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dengan cara suka rela sehingga keduanya dapat saling menguntungkan, maka akan terjadilah penukaran hak milik secara tetap dengan jalan yang dibenarkan oleh syara’.Yang 27
Wahbah AL Zuhaily, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid V, Gema Insani Darul Fikir, Jakarta, 2011, Hlm. 25. 28 Mich. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap, PT Karya Toha Putra, Semarang, 2014, Hlm. 366. 29 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam (Cetakan ke 31), CV Sinar Baru, Bandung,1997, Hlm. 278. 30 R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, Hlm. 366.
31
dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum adalah memenuhi persyaratanpersyaratan, rukun-rukun dalam jual beli, maka jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan ketentun syara’. 2. Dasar Hukum Jual Beli Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni : a. Al Qur’an Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nisa ayat 29 sebagai berikut :
ارة ً َعن َ يَا أَيُّ َها الَّذينَ آ َمنُوا ََل تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُكم بَ ْينَ ُكم ب ْالبَاطل إ ََّل أَن ت َ ُكونَ ت َج َّ س ُك ْمۚ إ َّن َّللاَ َكانَ ب ُك ْم َرحي ًما ٍ ت َ َر َ ُاض ِّمن ُك ْم ۚ َو ََل ت َ ْقتُلُوا أَنف “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisa : 29).
b. Sunnah Dalil sunnah mengenai kegiatan jual beli dapat dilihat pada keterangan hadits sebagai berikut :
َّ صلَّى َّ ي سلَّ َم َ َُّللا َ َّللاُ َعلَيْه َو َ ي َّ ع ْنهُ أ َ َّن النَّب َ َع ْن رفَا َعةَ بْن َرافعٍ َرض ْ َ ي ْال َك ْسب أ رواه.ٍ َو ُك ُّل بَيْع، الر ُجل بيَده ُ َطي ُ َّ َع َم ُل: ب ؟ قَا َل ُّ َ أ: سئ َل ِّ .البزار Dari Rifa’ah bin Rafi’, Nabi pernah ditanya mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Jawaban Nabi, “Kerja dengan tangan dan semua jual beli yang
32
mabrur”. (HR Bazzar).31 Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain. c. Ijma’ Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh. 32 3. Rukun dan Syarat Jual Beli a.
Rukun Jual Beli Secara bahasa rukun adalah hal yang menjadi patokan sahnya sesuatu dan
merupakan bagian dari sesuatu tersebut”.33 Dalam menentukan rukun jual beli, terdapat perbedaan ulama Hanafiah dengan jumhur fuqoha. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qobul (ungkapan menjual dari penjual). Jual beli dinyatakan sah apabila disertai dengan ijab dan qabul. Akan tetapi jumhur fuqoha menyatakan bahwa rukun jual beli ada empat34, yaitu: 1) Penjual dan Pembeli atau al muta’aqidani ( عاقدَان َ َ ) ْال ُمت
31
A. Hassan, Terjemahan Bulughul Maram Hadits Nomor 784, CV Diponegoro, bandung, 1992, Hlm. 418. 32 Dimyauddin Djuwaini, Op-Cit, Hlm.72. 33 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, Hlm. 966. 34 Ghufron A. Mas’adi, Pengantar Fiqih Muamalah, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2000, Hlm. 120-121.
33
Penjual dan pembeli merupakan pihak yang terlibat dalam transaksi jual beli (al muta’aaqidani). Penjual adalah orang atau badan yang menerima atau menyimpan barang penting dengan maksud untuk dijual, diserahkan atau dikirim kepada orang lain atau badan lain baik yang masih berwujud barang penting asli, maupun yang sudah dijadikan barang lain.35 Sedangkan pembeli adalah pihak atauseseorang atau suatu perusahaanyang membeli barang tertentu atau menggunakanjasatertentu.36Dengan kata lain, pembeli merupakan sesuatu atau seseorang yang mengunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. 2) Sighat (akad jual beli) Akad dari istilah fiqh ialah ikatan di antara ijab dan qabul yang dibuat mengikuti cara yang disyariatkan yang sabit kesannya pada barang berkenaan. Dengan perkataan lain akad melibatkan pergantungan cakapan salah satu pihak yang berakad dengan cakapan pihak yang satu lagi, mengikut ketentuan syarat yang akan melahirkan kesan pada barang yang diakadkan.37Mengenai akad dalam jual beli, menurut Imam Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan bahwa suatu akad tidak sah kecuali dengan lafdz-lafadz jual beli yang bentuknya fi’il madhi (telah berlalu) seperti si penjual mengatakan :”telah kujual kepadamu”, dan pembeli mengatakan :”telah kubeli darimu”.38 Kemudian mengenai objek jual beli, hal ini adalah barang yang harus terbebas dari unsur riba.39 Dan mengenai penjual dan pembeli, mereka
35
J.S Badudu, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, Hlm. 651. Ibid, Hlm. 255 37 Wahbah al Zuhaily, Fiqh & perundangan Islam, pent. Md. Akhir Haji Yaacob, Dewan Bahasa dan Pustaka, Jakarta, 2002,Hlm.83 38 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Vol.II, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007,Hlm. 338. 39 Ibid, Hlm.342. 36
34
disyaratkan keduanya telah dewasa (baligh). Di samping itu juga, kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli tidak dalam pengawasan pihak-pihak tertentu. Adapun sighat yaitu ijab dan kabul seperti perkataan penjual, “saya jual kepadamu atau saya serahkan kepadamu.” Dan perkataan pembeli, “saya terima atau saya beli.” Tidak sah serah terima sebagaimana yang bisa berlangsung dikalangan masyarakat, karena tidak ada sighat (ijab kabul).40 Ibnu Syurairah berkata, “serah terima adalah sah mengenai barang-barang dagangan yang remeh (tak berharga) dan biasa dilakukan orang-orang. Ini adalah pendapat Ar-Ruyani dan lainnya. Malik menyatakan, “sah jual beli pada setiap barang yang dianggap orang banyak sebagai jual beli. Ibnu AshShabbaugh
menyetujui pendapat
ini.41An-Nawawi
menegaskan,
“yang
disetujui oleh ibnu Ash-Shabbagh itulah yang kuat dan terpilih sebagai dalil, karena syara’ tidak mensyaratkan lafal. Maka kita wajib kembali kepada kebiasaan. Termasuk kebiasaan yang umum terjadi ialah mengirim anak-anak kecil untuk membeli kebutuhan-kebutuhan. Kebiasaan ini berlangsung dinegri-negri lain. Kebutuhan mendesak menyebabkan terjadinya hal itu. Maka hal itu patut digolongkan dalam jenis serah terima. Apabila terdapat syarat sighat untuk itu, maka jual belinya sah dengan syarat barang itu dibeli dengan harga yang pantas. Mereka berdalil bahwa wanita-wanita yang mengenakan hijab menyuruh anak-anak kecil di zamanUmar ra. Untuk membeli kebutuhan-kebutuhannya dan Umar tidak menyalahkan.42 3) Objek jual beli
40 Ibn ‘AbdurrazaqAd-Duwaisy, “Fatwa-Fatwa Jual Beli/Edisi Indonesia, Pustaka Imam asy-Syafi’i. Bogor, 2004, Hlm. 76. 41 Ibid, Hlm.77. 42 Ahmad Idris, Fiqih al-Syafi’iyah. Karya Indah, Jakarta, 1986, Hlm.122.
35
Objek jual beli merupakan barang atau benda yang dijual oleh pihak penjual dan dibeli oleh pihak pembeli. Dalam hal ini, objek jual beli atau barang yang diperjual-belikan harus barang-barang yang dibolehkan atau disyaratkan menurut ketentuan syariah. 4) Harga Dalam fiqih Islam dikenal dua istilah berbeda mengenai harga suatu barang pada transaksi jual beli, yaitu Ats Tsaman (
الثمان
) dan As-Si’r atau
Ta’sír()تسعير. Ats-tṣaman adalah patokan harga suatu barang, sedangkan assi’r atau tasír adalah harga yang berlaku secara aktual di dalam pasar. Ulama fiqih membagi as-si’r menjadi dua macam. Pertama, harga yang berlaku secara alami, tanpa campur tangan pemerintah. Dalam hal ini, pedagang bebas menjual barang dengan harga yang wajar, dengan mempertimbangkan keuntungannya. Pemerintah tidak boleh campur tangan dalam harga dan harga harus tetap berlaku secara alami (menurut pada mekanisme pasar), karena campur tangan pemerintah dalam kasus ini dapat membatasi kebebasan dan merugikan hak para pedagang ataupun produsen. Kedua, harga
suatu
komoditas
yang
ditetapkan
pemerintah
setelah
mempertimbangkan modal dan keuntungan wajar bagi pedagang maupun produsen serta melihat keadaan ekonomi yang riil dan daya beli masyarakat. Hal inilah yang disebut dengan at-tas’īr al-jabbari.43 b. Syarat Jual Beli
43
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual (Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer), Gema Insani, Jakarta, 2001, Hlm. 90.
36
Secara bahasa syarat didefinisikan sebagai perkara yang menjadi patokan sahnya sesuatu tetapi bukan bagian dari sesuatu tersebut.44 Syarat adalah “ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan. 45Syaratsyarat dalam jual beli meliputi hal-hal sebagai berikut : 1) Syarat Penjual dan pembeli Pihak penjual harus dilakukan oleh orang yang berakal agar tidak tertipu dalam jual beli. Allah swt.berfirman dalam Q.SAn-Nisaa’ ayat 5 :
سفَ َها َء ا َ ْم َوالَ ُك ُم الَّتى َج َع َل للاُ لَ ُك ْم ق َي ًما ُّ َوَلَ تُؤْ ت ُ ْواال
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupanmu.46 Dari keterangan ayat di atas, maka syarat bagi pihak penjual harus orang yang sudah baligh (dewasa) dan orang yang berhak menggunakan harta. Anak-anak yang belum baligh dibolehkan melakukan jual beli untuk barang-barang yang bernilai kecil, misalnya jual beli buku dan koran. Syarat bagi pihak pembeli harus orang yang yang berakal agar tidak tertipu dalam jual beli, melakukan transaksi dalam keadaan sadar (tidak gila atau tidak mabuk), tidak dalam keadaan terpaksa. 2) Syarat Akad/Shigat Jual beli Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya
44
Muh. Abu Zahrah, Kitab Ushul Fiqih, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 2001, Hlm. 56. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta : 2002, Hlm. 1114. 46 Depag RI, Al Quran dan Terjemah, CV Diponegoro, Bandung, 2000, Hlm. 62. 45
37
suatu akad.47 Hal itu dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat, dan tulisan. Fiqh Muamalah menetapkan sejumlah persyaratan umum yang harus terpenuhi dalam setiap shighat akad, yaitu sebagai berikut48 : a) Jala’ul ma’na / ع ْال َم ْعنَى ُ ( َج ََلdinyatakan dengan ungkapan yang jelas dan pasti maknanya), sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki (melalui ungkapan lisan); َ َ ت ََوافُ ْق | ت b) Tawafuq / tathabuq bainal ijab wal-qabul / طابُقَ بَيْنَ ْاْل ْي َجاب َو ْالقَب ُْول yaitu persesuaian antara ijab dan qabul; c) Jazmul iradataini/ ( َج ْز ُم ْاْل َرادَتَيْنijab dan qabul mencerminkan kehendak masing-masing pihak secara pasti) tidak menunjukkan adanya unsur keraguan dan keterpaksaan; d) Ittishal al-Qabul bil Ijab / صا ُل ْالقَب ُْول باْل ْي َجاب َ ِّ إتyaitu kedua pihak dapat hadir dalam satu majlis. Syarat-syarat sighat di atas khususnya yang pertama adalah akad harus jelas hal ini ditekankan pada ucapan lisan. Namun akad juga bias dilakukan dengan tulisan, artinya kehendak yang dinyatakan melalui tulisan yang jelas itu sudah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan diucapkan secara lisan. Bagi orang yang tidak dapat mengungkapkan kehendaknya secara lisan, karena cacat wicara, maka tulisan adalah solusi terbaik selama dapat dibuktikan keaslian tulisan tersebut. Tulisan juga merupakan solusi bagi pihak-pihak yang berhalangan bertemu secara langsung. Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, sah melakukan akad melalui tulisan ini bagi yang cacat wicara maupun tidak, bagi orang yang berhalangan hadir maupun bagi orang yang Muhlish, Usman, “Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997 : Hal. 102. 48 Ibid, Hlm.103-104. 47
38
hadir. Tetapi akad seperti ini tidak berlaku bagi akad zawaj (perkawinan). Dan jika dikaitkan dengan rukun akad (ijab dan qabul), maka akibat hukum dari ijab yang dinyatakan melalui tulisan berlaku terhitung sejak diterima akad dan disetujui oleh pihak lainnya, tidak terhitung sejak ditulis.49 Sighat akad juga dapat dilakukan melalui isyarat yang menunjukkan secara jelas kehendak pihak-pihak yang melakukan akad. Akad dengan isyarat ini berlaku khusus bagi orang yang tidak dapat bicara (bisu) dan tidak dapat pula menulis. Adapun sighat berikutnya juga dapat berupa dalalah (petunjuk), yakni keberlangsungan akad dikaitkan dengan suatu perbuatan tertentu yang menunjukkan persetujuan kedua pihak. Akad melalui dalalah ini berlangsung dalam dua bentuk yaitu50 : َ ( ُم َعاsaling memberi dan a) Pertama, Ta’athi/ ت َ َعاطيatau mu’athah / ٌطة menerima), maksudnya ketika masing-masing pihak melakukan suatu perbuatan dalam batas situasi dan kondisi yang menunjukkan kehendak melakukan suatu transaksi (akad). Seperti akad jual-beli yang terjadi di swalayan, supermarket dan lain-lain. b) Kedua, lisanul hal / سانُ ْال َحال َ لyaitu kondisi tertentu yang menunjukkan kepada suatu ungkapan. Misalnya ketika seseorang menaruh suatu barang dihadapan kita, kita diam saja. Maka perbuatan tersebut mengidentifikasikan ungkapan penitipan barang (wadi’ah) dan jika kita diam, artinya kita berkenan dititipi barang tersebut. 3) Syarat Objek Jual Beli
49
A.Karim, Adiwarman.Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, Hlm. 145. 50 Ibid, Hlm. 146-147.
39
a) Barang yang diperjual-belikan memiliki manfaat yang dibenarkan syariat, bukan najis dan bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
َّ إ َّن َُىءٍ َح َّر َم َعلَ ْيه ْم ث َ َمنَه ْ َّللاَ إذَا َح َّر َم َعلَى قَ ْو ٍم أ َ ْك َل ش “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. 51 Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang haram sebagai berikut: Minuman keras dengan berbagai macam jenisnya, bangkai, babi, anjing dan patung. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
َّ إ َّن صنَام ْ َ سولَهُ َح َّر َم بَ ْي َع ْال َخ ْمر َو ْال َم ْيت َة َوا ْلخ ْنزير َواأل ُ َّللاَ َو َر “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan patung”.52 b) Barang yang dijual harus barang yang telah dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima. Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil uang orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab:
ْس ع ْندَ َك َ َلَ تَب ْع َما لَي “jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!”.53
51 Abu Dawud, Sunan Abu Daud Kitab Buyu’ Hadits No.566, (Alih Bahasa, Muhammad Ridwan Al Albani)Pustaka Al Kautsar, 2009, Hlm. 294. 52 Muslim Al Hajjaj, Shahih Muslim Kitab Buyu’ Hadits No.935, (Alih Bahasa, Muhammad Ridwan Al Albani)Pustaka Al Kautsar, 2009, Hlm. 51.
40
c) Barang yang dijual bisa diserahkan kepada si pembeli, maka tidak sah menjual mobil, motor atau handphone miliknya yang dicuri oleh orang lain dan belum kembali. Demikian tidak sah menjual burung di udara atau ikan di kolam yang belum di tangkap54 d) Barang yang diperjual-belikan dan harganya harus diketahui oleh pembeli dan penjual. Barang bisa diketahui dengan cara melihat fisiknya, atau mendengar penjelasan dari si penjual, kecuali untuk barang yang bila dibuka bungkusnya akan menjadi rusak seperti; telur, kelapa, durian, semangka dan selainnya. Maka sah jual beli tanpa melihat isinya dan si pembeli tidak berhak mengembalikan barang yang dibelinya seandainya didapati isi rusak kecuali dia mensyaratkan di saat akad jual-beli akan mengembalikan barang tersebut bilamana isinya rusak atau si penjual bermaksud menipu si pembeli dengan cara membuka sebuah semangka yang bagus, atau jeruk yang manis rasanya dan memajangnya sebagai contoh padahal dia tahu bahwa sebagian besar semangka dan jeruk yang dimilikinya bukan dari jenis contoh yang dipajang. Maka ini termasuk jual-beli gharar (penipuan) yang diharamkan syariat. 55 Adapun harga barang bisa diketahui dengan cara menanyakan langsung kepada si penjual atau dengan melihat harga yang tertera pada barang, kecuali bila harga yang ditulis pada barang tersebut direkayasa dan bukan harga sesungguhnya, ini juga termasuk jual-beli gharar (penipuan). 4) Syarat Harga
53
Abu Daud, Op-Cit, Hlm. 305. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, PT. Raya Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hlm. 92. 55 Ibid, Hal 95. 54
41
Syarat harga dalam jual beli adalah dikethuinya harga jual barang atau objek jual beli. Pembeli hendaknya mengetahui harga pembelian karena hal itu adalah syarat sahnya transaksi jual beli. Syarat ini meliputi semua transaksi yang terkait dengan jual beli, seperti pelimpahan wewenang (tauliyah), kerja sama (isyrak) dan kerugian (wadi’ah), karena semua transaksi ini berdasar pada harga pertama yang merupakan modal. Jika tidak mengetahuinya, maka jual beli tersebut tidak sah hingga di tempat transaksi. Jika tidak diketahui hingga keduanya mininggalkan tempat tersebut, maka gugurlah transaksi itu. Keterbukaan harga barang dalam syarat jual beli, hal ini dimaksudkan untuk menghindari gharar atau penipuan pada transaksi jual beli. Menurut bahasa Arab,makna al-gharar adalah, al-khathr
(pertaruhan). 56
Dalam
Kitab
Majmul Fatwa Jilid II Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan,algharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-’aqibah).57Kemudian menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. 58
C.
Macam-macam Jual Beli Ada beberapa macam atau jenis jual beli jika ditinjau dari bentuk
pelaksanaan pertukarannya yang terbagi menjadi59:
56
A.Karim, Adiwarman. Op-Cit. Hlm. 284. Ibnu Taimiyah, Majmul Fatwa II, (Alih bahasa oleh Muhammad Idrus), Pustaka Azzam, Jakarta, 2007, Hlm. 422. 58 Ibid, Hlm. 423. 59 Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu Jilid IV, Darul Fiqr, Beirut, t.th, Hlm. 595. 57
42
1. Jual Beli Salam (pesanan), yaitu jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan uang muka terlebih dahulu kemudian barang diantar belakangan. 2. Jual Beli Muqayyadah (barter), yaitu jual beli dengan cara menukar barang dengan barang seperti menukar baju dengan sepatu. 3. Jual Beli Muthlaq, yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat tukar. 4. Jual Beli Alat Tukar dengan Alat Tukar, yaitu adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat tukar dengan alat tukar lainnya seperti dinar dengan dirham. Kemudian apabila ditinjau dari segi hukum, maka jual beli terdiri dari macam-macam sebagai berikut60 : 1.
Jual Beli yang Dilarang Tidak semua jual-beli diperbolehkan, artinya adapula jual beli yang dilarang seperti hal-hal sebagai berikut : a.
Jual beli sesuatu yang tidak ada barangnya (bai al-ma’dhum) Yang termasuk kategori ini ialah seperti menjual buahbuahan yang baru berkembang menjual barang yang tidak dapat diserahkan seperti menjual barang yang hilang atau burung yang lepas.
b.
Jual beli gharar (jual beli yang mengandung unsur penipuan) Yang termasuk kategori ini seperti ada cacat disembunyikan pada barang yang dijualbelikan; jual beli benda najis seperti menjual babi, bangkai, darah dan khamr; menjualbelikan air sungai yang masih mengalir, air danau
Ibid, Hlm. 596 – 597.
60
43
ataupun air laut dan benda-benda lain yang tidak dapat dimiliki seseorang. c.
Jual beli najsy atau tanajusy, Yaitu seseorang menambah atau melebihi harga dengan maksud memancing-mancing orang agar mau membeli barang kawannya padahal ia sendiri tidak membelinya. Hal ini dimaksudkan untuk menaikkan harga barang padahal ia hanya pura-pura mau membeli barang tersebut. Tanajusy juga termasuk dalam kategori ghubun, yaitu menambah harga.
d.
Menjadi tengkulak (tallaqi arrukban
/
الر ْكبَان ُّ التَّلَقِّي
),
yaitu
menghambat orang-orang desa keluar kota dan membeli barangnya sebelum mereka sampai di pasar. Jual beli yang dilarang lainnya ialah membeli barang yang telah dibeli orang lain dalam masa khiyar. 2.
Jual Beli yang Diperbolehkan Jual beli yang tidak dilarang oleh agama Islam adalah jual beli yang dilakukan dengan kejujuran, tidak ada kesamaran ataupun unsur penipuan. Kemudian rukun dan syaratnya terpenuhi, barangnya bukan milik orang lain, dan tidak terikat dengan khiyar lagi. Yang termasuk kategori ini adalah jual beli barang yang tidak ada larangan nash, baik al- Qur’an maupun hadits.