Bab Ii Pembahasan Anfis Pencernaan.docx

  • Uploaded by: tyara chan
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii Pembahasan Anfis Pencernaan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 25,188
  • Pages: 134
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sistem

pencernaan

makanan

berhubungan

dengan

penerimaan

makanan

dan

mempersiapkannya untuk di proses oleh tubuh. Makanan adalah tiap zat atau bahan yang dapat digunakan dalam metabolisme guna memperoleh bahan-bahan untuk memperoleh tenaga atau energi. Selama dalam proses pencernaan makanan dihancurkan menjadi zat-zat sederhana dan dapat diserap oleh usus, kemudian digunakan oleh jaringan tubuh. Berbagai perubahan sifat makanan terjadi karena sintesis berbagai enzim yang terkandung dalam berbagai cairan pencernaan. Setiap enzim mempunyai tugas khusus dan bekerja atas satu jenis makanan dan tidak mempunyai pengaruh terhadap jenis makanan lainnya. Agar makan itu berguna bagi tubuh, maka makanan itu harus di distribusi oleh darah sampai pada sel-sel di seluruh tubuh Sistem pencernaan terdiri atas suatu saluran panjang yaitu saluran cerna yang dimulai dari mulut sampai anus, dan kelenjar-kelenjar yang berhubungan yang letaknya di luar saluran. Gangguan pada sistem pencernaan dapat disebabkan oleh pola makan yang salah, infeksi bakteri, dan kelainan alat pencernaan yang memberikan gejala seperti gastroenteritis, konstipasi, obstipasi maupun ulkus. Gangguan pencernaan ini banyak disebabkan oleh sebagian besar Enterobacteriaceae, namun tidak semua Enterobacteriaceae dapat menyebabkan gangguan pencernaan, seperti Proteus mirabilis yang merupakan flora normal usus manusia dapat menjadi patogen bila berada di luar usus manusia dan mengenai saluran kemih (Jawetz, Melnick, Adelberg, 2010). Pada tahun 1995-2002, Enterobacteriaceae menginfeksi 24.179 saluran cerna pasien di Amerika. Enterobacateriaceae adalah bakteri gram negatif kedua dalam menginfeksi saluran cerna manusia di rumah sakit setelah Pseudomonadaceae khususnya spesies Pseudomonas aeruginosa yang paling banyak ditemukan, kedua bakteri ini ditemukan dalam 4,7 % dalam darah pasien yang berada di ICU, dan 3,1 % dalam darah pasien yang dirawat di luar ICU. Pada tahun 1993-2004, dilakukan penelitian di Amerika pada kurang lebih 75.000 orang, 1

ditemukan 13,5% Enterobacateriaceae dari seluruh subyek penelitian (Fraser, 2012). Indonesia mempunyai angka kejadian yang tinggi untuk infeksi saluran pencernaan, contoh diare

yang

disebabkan

oleh

infeksi

Escherichia

coli

yang

termasuk

keluarga

Enterobacteriaceae, merupakan penyakit yang morbiditasnya cukup tinggi di Indonesia, walaupun pada tahun 2010 sudah mengalami sedikit penurunan yaitu dari 423 per 1000 penduduk pada tahun 2006 menurun menjadi 411 per 1000 penduduk pada tahun 2010 (Dinkes, 2010). Manusia terinfeksi Enterobacteriaceae secara fecal-oral, biasanya melalui makanan dan minuman yang kurang terjaga kebersihannya, kurang masak, dan atau individu lainnya (Todar, 2012). Selain itu bakteri Pseudomonas aeruginosa yang merupakan flora normal saluran intestinal dapat menginfeksi manusia apabila terjadi ketidakseimbangan bakteri di saluran intestinal manusia, berupa enteritis yang akan memberikan gejala seperti demam, sakit kepala, diare (Lessnau, 2012). Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Pseudomonas aeruginosa ditemukan pada sistem pencernaan pasien dan meningkat sebanyak 20% dalam waktu 72 jam (Lessnau, 2012). Untuk mencegah terjadinya infeksi saluran cerna ini, para peneliti banyak meyakini bahwa penggunaan larutan probiotik dapat mencegah infeksi saluran cerna (WHO, 2001). Lactobacillus adalah salah satu bakteri yang di golongkan sebagai bakteri probiotik. Lactobacillus merupakan flora usus normal sehingga aman untuk digunakan sebagai probiotik dan Lactobacillus dapat melewati asam lambung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh minuman probiotik dalam menghambat pertumbuhan berbagai bakteri intestinal in vitro. 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas di dapatkan Rumusan Masalah : 1 Bagaimana Anatomi Fisiologi System Pencernaan ? 2 Bagaimana Asuhan Keperawatan Kritis pada gangguan System Pencernaan ? a.

Bagaimana konsep dasar dan Asuhan

Keperawatan

Kritis

Perdarahan

Gastrointestinal ? b.

Bagaimana konsep dasar dan Asuhan Keperawatan Kitis Obstruksi Usus dan Ileus?

c.

Bagaimana konsep dasar dan Asuhan Keperawatan Kritis Pankreatitis akut ? 2

d.

Bagaimana konsep dasar dan Asuhan Keperawatan Kritis Hepatitis?

e.

Bagaimana konsep dasar dan Asuhan Keperawatan Kritis Komplikasi Penyakit Hati ?

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Agar

mahasiswa

mampu

mengetahui

dan

memahami

tentang

Asuhan

Keperawatan kritis pada gangguan system pencernaan. 1.3.2 Tujuan Khusus 1

Untuk mengetahui Anatomi Fisiologi System Pencernaan

2

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Kritis gangguan System Pencernaan a.

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Kritis Perdarahan Gastrointestinal

b.

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Kitis Obstruksi Usus dan Ileus

c.

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Kritis Pankreatitis akut

d.

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Kritis Hepatitis

e.

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Kritis Komplikasi Penyakit Hati

3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan Sistem pencernaan terdiri atas saluran pencernaan dan organ glandular aksesorius yang menghasilkan sekresi. Struktur utama saluran pencernaan adalah mulut, faring, esophagus, lambung, usus halus (duodenum, yeyunum, ileum) dan usus besar (kolon, rectum, anus). Organ glandular tambahan meliputi kelenjar saliva, hati, kandung empedu, dan pancreas. Fungsi fisiologis primer sistem pencernaan adalah menyalurkan nutrient untuk pemeliharaan sel dan pertumbuhan serta untuk mengeliminasi sisa metabolism. Fungsi ini di capai melalui proses ingesti (makan), motilitas (membaur dan menggerakan makanan melalui saluran pencernaan), digesti (memecahkan makanan), dan absorpsi (menggerakan partikel makanan kedalam aliran darah). Fungsi pencernaan di atur dan di koordinasikan oleh sistem saraf otonom dan bermacam – macam peptida, yang lebih lanjut di golongkan menjadi endokrin (hormone), parakin, dan neurokin. 2.1.1 Saluran pencernaan Sistem pencernaan terdiri atas saluran pencernaan, suatu saluran berlubang yang panjangnya 8 meter, mulai dari mulut dan berakhir di anus. A. Mulut Proses pencernaan dimulai sejak makanan masuk kedalam mulut. Di dalam mulut terdapat alat – alat yang membantu dalam proses pencernaan. Di dalam rongga mulut, makanan di cerna, baik secara mekanik maupun kimiawi. Rongga mulut merupakan bagian pertama dari tabung pencernaan. Fungsi utamanya sebagai pintu masuk dari saluran pencernaan dan untuk memulai proses pencernaan dengan air liur dan pergerakan dari pencernaan bolus ke faring. Bagian lain dari mulut berkontribusi untuk mengunyah, memegang dan menelan makanan. 4

B. Faring Faring atau tekak lidah adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui isthmus faucium, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus pharygeus, dan kebawah berhubungan dengan esophagus. C. Esofagus Kerongkongan (esofagus) merupakan saluran penghubung antara rongga mulut dengan lambung. Kerongkongan sebagai jalan bagi makanan yang telah di kunyah dari mulut menuju lambung. D. Lambung Lambung (ventrikulus) merupakan kantung besar yang terletak di sebelah kiri rongga perut. Ini adalah tempat sejumlah proses pencernaan yang berlangsung. Lambung terdiri dari tiga bagian

:

1. Kardiak (bagian atas) letaknya berdekatan dengan hati dan berhubungan dengan kerongkongan. 2. Fundus (bagian tengah) yang membulat. 3. Pylorus (bagian bawah) berhubungan dengan usus dua belas jari. E. Usus halus Intestinum (usus halus) merupakan tempat penyerapan sari makanan dan tempat terjadinya proses pencernaan yang paling panjang. Usus halus terdiri dari : 1. Usus dua belas jari (duodenum). 2. Usus kosong (jejenum). 3. Usus penyerap (ileum). F. Usus besar Makanan yang tidak di cerna bersama usus halus, misalnya seulosa, bersama dengan lendir akan menuju ke usus besar menjadi fases. Di dalam usus besar terdapat bakteri Escherichia Coli. Bakteri ini membantu proses pembusukan sisa makanan menjadi fases.

5

2.1.2 Saluran pengeluaran A. Hati Hati adalah organ serta kelenjar terbesar dari tubuh manusia. Beratnya sekitar 1,6 kg pada orang dewasa. Hati terdiri dari empat lobus : 1. Lobus kanan (berukuran paling besar) 2. Lobus kiri 3. Lobus kuadrat 4. Lobus berekor Fungsi hati adalah membantu dalam sintesis berbagai zat penting seperti sintesis glukosa dan gliserol. Organ ini juga membantu metabolisme lemak dan protein tertentu. Sintesis protein, terutama yang berkaitan dengan pembekuan darah merupakan salah satu fungsi penting organ ini. B. Ginjal Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh yang berfungsi menyaring racun dan menjaga keseimbangan cairan tubuh. Selain fungsi tersebut, ginjal juga bekerja menghilangkan limbah yang di hasilkan melalui proses metabolisme. C. Pankreas Pankreas terletak di belakang lambung dan di bagian belakang perut. Panjang organ ini sekitar 15 cm dan berbentuk seperti ikan atau tabung. Ada kelompok sel yang menyusun pankreas, kelompk sel tersebut termasuk sel beta, sel gama, sel alfa, dan sel delta. Sel alfa bertanggung jawab memproduksi glukagon, sedangkan sel beta paling penting dalam produksi insulin. Pankreas juga menghasilkan enzim yang ketika di butuhkan akan mengalir ke saluran pankreas menuju duodenum. D. Kandung empedu Kantung empedu adalah tempat cairan empedu di kumpulkan sebelum di sekresikan kedalam usus halus. Cairan empedu adalah cairan pencernaan yang di hasilkan oleh hati. Bagian – bagian dari kandung empedu : 1. Fundus vesikavelea 2. Korpus vesikavelea 3. Leher kandung empedu 6

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Konsep Perdarahan Saluran Pencernaan Bagian Atas 3.1.1 Definisi Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan oleh H. Pylori, penggunaan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS), alkohol. Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang (Dubey, 2008). Perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan perdarahan yang bersumber dari proksimal sampai ligamentum Treitz. Pada kasus, perdarahan biasanya bersumber dari esophagus, gaster, dan duodenum (SIGN, 2008).

3.1.2 Etiologi Secara umum penyebab perdarahan saluran cerna dibagi menjadi dua, yaitu penyebab mayor dan minor. Penyebab mayor perdarahan saluran pencernaan bagian atas adalah (Cappell, 2008) : a. Peptic ulcer Tukak ini berkaitan dengan infeksi H. Pylori (80%) dan bisa juga dengan aspirin/OAINS. Tukak peptik dapat di lambung, duodenum, esofagus, dan diverticulum Meckel, dan hebat tidaknya perdarahan tergantung dari kaliber pembuluh darah yang terluka. Forrest membagi aktivitas perdarahan ulkus peptikum sebagai berikut : Tipe

Tipe perdarahan

Gambaran pada endoskopi

Forrest 1a

Aktif

Perdarahan memancar

Forrest 1b

Aktif

Perdarahan merembes

Forrest 2a

Tidak aktif

Pembuluh darah terlihat pada dasar ulkus

Forrest 2b

Tidak aktif

Tukak ditutupi bekuan darah

Forrest 2c

Tidak aktif

Tukak tertutup bekuan merah/biru tua 7

Forrest 3

Tidak aktif

Tukak dengan dasar yang bersih

Tabel tersebut, merupakan Klasifikasi Forrest perdarahan ulkus peptikum (Hadzibulic, 2007). Keterangan : Tipe 1a, 1b, 2a, 2b, pada terapi dengan endoskopi, risiko perdarahan ulang 43-55%. Tipe 2c, 3 tidak perlu terapi endoskopi, risiko perdarahan ulang 5-10%. b. Varises esophagus dan gaster Perdarahan saluran cerna bagian atas karena varises terjadi pada 25-30 % pasien sirosis hati, dengan angka kematian dari tahun 1971 sampai 1981 diberbagai penelitian di Indonesia 30-60 %. Harapan hidup selama 1 tahun sesudah perdarahan pertama sekitar 32-80%. Varices esofagus dan gaster disebabkan karena peningkatan aliran darah dalam vena-vena kolateral dari aliran darah porta melalui vena gastrica coronaria akibat hipertensi portal. Perdarahan varices ini terjadi bila hepatic venous gradient melebihi 12 mmHg. Pasien dengan gastropati hipertensi portal tidak selalu disertai dengan varices gastroesofageal yang nyata. Bila terjadi perdarahan pada pasien kelompok gastropati ini, biasanya lebih banyak kronik dan tersamar (Utama, 2012). c. Perdarahan pada gastritis Gastritis merupakan inflamasi atau iritasi pada lapisan gaster/lambung. Gastritis merupakan penyakit dengan banyak penyebab. Sebagian besar penderita gastritis akan merasakan nyeri atau ketidaknyamanan pada perut bagian atas. Helicobacter pylori merupakan bakteri yang sering menginfeksi lambung. Infeksi akibat bakteri ini bisa menyebabkan gastritis kronik. Gastritis merupakan masalah medis yang sering terjadi. Sepuluh persen dari pasien yang datang ke unit emergensi mengeluh nyeri pada perut sebelum akhirnya didiagnosa gastritis (Balentine, 2012). d. Esophagitis dan gastropati Esophagitis dan gastropati adalah suatu peradangan esofagus dan lambung disebabkan biasanya oleh asam lambung/refluxate lain misalnya pada GERD atau obat-obat tertentu seperti OAIN/NSAIDs. Gastropati bisa juga terjadi pada pasien dengan sakit berat misalnya pasien dengan ventilator, sepsis/multi organs failure (MOF). e. Duodenitis 8

Duodenitis

merupakan

inflamasi

pada

duodenum.

Penyebabnya

adalah

Helicobacter pylori. Duodenitis dapat menyebabkan nyeri pada perut, perdarahan, serta gejala gastrointestinal lain. Banyak orang terinfeksi Helicobacter pylori sejak usia mudah, tetapi tanda dan gejala akan muncul saat usia dewasa. f. Mallory-Weiss tear Sindroma Mallory-Weiss merupakan bentuk perdarahan dari lapisan lendir diantara lambung dan esophagus. Adapun gejala utama yang sering ditimbulkan akibat sindroma ini adalah suatu sensasi mual muntah yang hebat. Robekan ini bisa disebabkan akibat batuk-batuk yang hebat, kejang hebat pada epilepsi, gangguan pola makan, hernia hiatal, dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak atau alkoholisme, atau pada beberapa kasus sindroma morning sickness akibat frekuensi mual muntah yang terlalu tinggi juga berpotensi menyebabkan robekan Mallory-Weiss. Tidak selamanya muntah-muntah adalah suatu bentuk gejala dari Mallory-Weiss itu sendiri, melainkan gejala yang nyata bisa disertai dengan muntah yang disertai dengan darah, atau warna feses yang kehitaman atau melena sebagai akibat penguraian darah oleh asam lambung yang membentuk hematin. Pengobatan utama biasanya dengan obat-obatan dan operasi penghentian perdarahan, dan adalah suatu kejadian yang sangat langka sindroma ini berkelanjutan pada tingkat kematian. Diagnosis pasti untuk menegakkan sindroma ini adalah hanya dengan melalui pemeriksaan endoskopi. Berikut ini adalah gambar Mallory-Weiss tear :

9

Gambaran endoscopy Mallory-Weiss syndrome (Sumber : Caesar, 2010)

g. Angiodisplasia Angiodisplasia merupakan lesi vascular pada saluran pencernaan, dan biasanya bersifat asymptomatik sehingga bisa menyebabkan perdarahan saluran pencernaan. Dinding pembuluh darah tipis dengan otot polos atau tidak dengan pembuluh darah yang tipis. Angiodisplasia paling sering terjadi pada caecum dan juga kolon ascenden proksimal. 77% kejadian angiodisplasia terjadi di kolon ascenden dan caecum, 15% terjadi di jejunum dan ileum, sisanya terjadi di sepanjang saluran pencernaan. Typical lesi pada angiodisplasia adalah kecil (<5 mm). Angiodisplasia merupakan kelainan pembuluh darah yang sering dijumpai pada saluran cerna. Angiodisplasia merupakan penyebab kedua terjadinya perdarahan saluran pencernaan setelah divertikulosis selama kurun waktu 60 tahun ini. Prevalensi angiodisplasia pada saluran cerna bagian atas sekitar satu sampai dua persen, sedangkan pada saluran cerna bagian bawah dan bisa berdampak pada perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah enam persen. Angiodisplasia pada usus kecil, 30-40% merupakan penyebab kasus perdarahan pada saluran pencernaan. Hasil analisis kolonoscopy retrospectif menunjukkan bahwa 12,1% dari 642 orang tanpa gejala Irritable Bowel Syndrome (IBS) dan 11,9% dari orang dengan gejala Irritable Bowel Syndrome (IBS) memiliki angiodisplasia kolon (Thomson, 2011).

Gambaran endoscopy angiodisplasia (Sumber : Thomson, 2011)

h. Tumor saluran cerna bagian atas 10

i. Anastomotic ulcers (setelah pembedahan pada penyakit peptic ulcer) j. Dieulafoy lesion Dieulafoy lesion adalah suatu keadaan arteri submukosa yang dilatasi dan ruptur sehingga timbul perdarahan saluran cerna. Biasanya terdapat pada cardiak lambung namun bisa juga terjadi sepanjang saluran cerna. Sumber perdarahan sukar terlihat dengan endoskopi bila tidak sedang berdarah karena lesi ini dikelelingi mukosa yang normal. Pengobatan dengan endoskopi atau angiografi. Sedangkan penyebab minor perdarahan saluran pencernaan bagian atas adalah (Cappell, 2008) : a.

Cameron lesion Cameron lesion merupakan erosi pada lipatan mukosa pada kesan diafragma pada pasien dengan hernia hiatus yang besar. Relevansi klinis dari Cameron lesion adalah komplikasi potensial yang bisa berdampak pada perdarahan saluran pencernaan, dan anemia. Diagnosis Cameron lesion biasanya ditegakkan dengan melakukan endoscopy (Maganty, 2008).

b.

Gastric antral vascular ectasia (watermelon stomach) Gastric antral vascular ectasia (GAVE) atau watermelon stomach merupakan penyebab signifikan kehilangan darah akut pada lansia. GAVE ditandai dengan adanya gambaran corak semangka pada pemeriksaan endoscopy. Walaupun hal ini terkait dengan kondisi medis yang heterogen, termasuk hepar, ginjal, dan penyakit jantung, namun patofisiologinya belum diketahui. Berikut ini contoh gambaran GAVE dari hasil pemeriksaan endoscopy :

11

Gambaran endoscopy GAVE (Sumber : Thomson, 2011)

Gambaran endoscopy GAVE (Sumber : Thomson, 2011)

c.

Portal hypertensive gastropathy Portal hypertensive gastropathy memiliki karakteristik adanya penampilan mosaic seperti pola dengan atau tanpa bintik-bintik merah dari mukosa lambung pada gambaran endoscopy pasien dengan sirosis atau tanpa sirosis portal hypertension. Portal hypertensive gastropathy biasanya terjadi pada fundus lambung. Temuan histologis pada portal hypertensive gastropathy adalah adanya dilatasi pada kapiler serta vena di mukosa dan submukosa tanpa erosi, inflamasi dan thrombus fibrinous. Berikut ini adalah gambaran endoskopi portal hypertensive gastropathy:

12

Gambaran endoscopy portal hypertensive gastropathy (Sumber : Hritz, 2012)

d.

Post kemoterapi atau radiasi Terapi radiasi dapat menyebabkan perubahan lapisan mukosa pada usus. Ketika terapi radiasi dilakukan pada pasien dengan kanker abdomen dan pelvis, perdarahan karena kerusakan mukosa dinding kolon dapat terjadi. Komplikasi dapat terjadi secara cepat maupun lambat. Dengan rentang waktu rata-rata 9-15 bulan.

e.

Polip gastric Polip gastric merupakan pertumbuhan jinak yang berbentuk bulat yang tumbuh ke dalam rongga lambung. Polip gastric berasal dari epitel lambung atau submukosa dan menonjol ke dalam lumen lambung. Polip gastric berpotensi menimbulkan malignansi. Jika polip gastric tidak segera dilakukan intervensi, maka kanker lambung mungkin dapat terjadi (Goddard, 2010).

13

Gambaran endoscopy polip gastric (Sumber : Goddard, 2010) f.

Aortoenteric fistula Aortoenteric fistula merupakan penyebab jarang pada perdarahan saluran cerna. Angka kematian yang relative tinggi, dengan angka kejadian yang rendah membuat tantangan diagnostic dan manajemen. Aortoenteric fistula merupakan komunikasi antara aorta dan saluran pencernaan. Diagnosis aortoenteric fistula harus dipertimbangkan dalam setiap pasien dengan perdarahan saluran pencernaan dan sejarah masa lalu dari operasi aorta (MacDougall, 2010). Berikut ini adalah gambaran CT Scan aortoenteric fistula :

Gambaran CT Scan portal aortoenteric fistula (Sumber : MacDougall, 2010) 14

g.

Connective tissue disease Connective tissue disease merupakan penyakit yang memiliki jaringan ikat di tubuh sebagai target utama patologi. Jaringan ikat merupakan bagian structural tubuh yang pada dasarnya memegang sel-sel tubuh secara bersama-sama. Bentuk jaringan ikat seperti kerangka, atau matrik pada tubuh. Jaringan ikat terdiri dari dua molekul utama protein yaitu kolagen dan elastin.

Kebanyakan connective tissue disease

diakibatkan aktivitas system imun tubuh yang abnormal dengan inflamasi di jaringan sebagai akibat dari system imun yang menyerang jaringan tubuh itu sendiri (autoimun) (Shiel, 2012). h.

Hemosuccus pancreaticus Hemosuccus pancreaticus merupakan perdarahan dari papilla Vater melalui kelenjar pancreas. Hemosuccus pancreaticus jarang menyebabkan perdarahan pada saluran cerna bagian atas. Kesulitan dalam menentukan lokasi perdarahan kadangkadang menyebabkan keterlambatan pengobatan dan kondisi kritis (Toyoki, 2008).

i.

Sarkoma Kaposi Sarkoma Kaposi adalah tumor yang disebabkan oleh virus human herpes virus 8 (HHV8). Sarkoma kaposi pertama kali dideskripsikan oleh Moritz Kaposi, seorang ahli ilmu penyakit kulit Hongaria di Universitas Wina tahun 1872. Sarkoma kaposi secara luas diketahui sebagai salah satu penyakit yang muncul akibat dari AIDS pada tahun 1980-an. Sarkoma kaposi dapat ditemui pada kulit, tetapi biasanya dapat menyebar kemanapun, terutama pada mulut, saluran pencernaan dan saluran pernapasan. Perkembangan sarkoma dapat terjadi lambat sampai sangat cepat, dan berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang penting. Sarkoma karposi pada saluran pencernaan biasanya terjadi pada sarkoma kaposi dengan yang berhubungan dengan transplantasi atau yang berhubungan dengan AIDS, dan dapat muncul dengan tidak adanya gangguan sarkoma kaposi pada kulit. Lesi saluran pencernaan menyebabkan turunnya berat badan, tekanan, muntah, diare, berdarah, malabsorpsi, atau gangguan perut.

15

j.

Foreign bodies post prosedural : nasogastric tube erosions, biopsi endoscopy, endoscopic polypectomy, EMR, endoscopic sphincterotomy

3.1.3 Patofisiologi Penyakit ulkus peptikum adalah penyebab yang paling utama dari perdarahan gastrointestinal bagian atas. Ulkus ini ditandai oleh rusaknya mukosa sampai mencapai mukosa muskularis. Ulkus ini biasanya dikelilingi oleh sel-sel yang meradang yang akan menjadi granulasi dan akhirnya jaringan parut. Sekresi asam yang berlebihan adalah penting untuk pathogenesis penyakit ulkus. Kerusakan kemampuan mukosa untuk mensekresi mucus sebagai pelindung juga telah diduga sebagai penyebab terjadinya ulkus. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya penyakit ulkus peptikum yang telah dikenal, termasuk aspirin dan obat anti-inflamasi nonsteroid, keduanya dapat mengakibatkan kerusakan mukosa. Merokok kretek juga berkaitan dengan penyakit ini dan selain itu, sangat merusak penyembuhan luka. Riwayat keluarga yang berhubungan dengan ulkus juga diketahui sebagai salah satu faktor risiko. Ulkus akibat stress ditemukan pada pasien yang mengalami sakit kritis dan ditandai dengan erosi mukosa. Lesi yang berkaitan dengan pasien yang mengalami trauma hebat secara terus-menerus, pasien yang mengalami sepsis, luka bakar yang parah, penyakit pada system saraf pusat dan kranial, dan pasien yang menggunakan dukungan ventilator untuk jangka lama. Rentang abnormalitas adalah hemoragi pada permukaan yang kecil sampai ulserasi dalam dengan hemoragi massif. Hipoperfusi mukosa lambung diduga sebagai mekanisme utama. Penurunan perfusi diperkirakan memiliki andil dalam merusak sekresi mucus, penurunan pH mukosa dan penurunan tingkat regenerasi sel mukosa. Semua faktor ini turut andil dalam terjadinya ulkus. Dalam gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam submukosa esophagus dan rectum serta pada dinding abdominal anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splanknik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi mengembang oleh darah dan membesar. Pembuluh yang berdilatasi ini disebut varises dan dapat dipecah, mengakibatkan hemoragi gastrointestinal massif.

16

Hemoragi gastrointestinal bagian atas mengakibatkan kehilangan volume darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung, dan penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespons terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini menerangkan tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada pasien saat pengkajian awal. Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfusi jaringan mengakibatkan disfungsi selular. Sel-sel akan berubah menjadi metabolisme anaerobik, dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan memberikan efek pada seluruh system tubuh, dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi system tersebut akan mengalami kegagalan (Hudak, 2010).

3.1.4 Manifestasi Klinis Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami perdarahan. Secara umum perdarahan saluran cerna diklasifikasikan sebagai perdarahan akut (dapat berupa hematemesis, melena, atau hematoschizia), atau kronik dengan manifestasi adanya darah samar di feses atau anemia. Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat bermanifestasi klinis mulai dari yang seolah ringan, misalnya perdarahan tersamar sampai pada keadaan yang mengancam hidup. Hematemesis adalah muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi adanya perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimal ligamentum Treitz. Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk melena (Djojoningrat, 2006). Upper gastrointestinal tract bleeding (UGI bleeding) atau lebih dikenal sebagai perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar 75% hingga 80% dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna. Insidensinya telah menurun, tetapi angka kematian dari perdarahan akut saluran cerna masih berkisar 3% hingga 10%, dan belum ada perubahan selam 50 tahun terakhir. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber perdarahannya berasal dari esofagus, gaster, dan duodenum. Gejala klinis pasien dapat berupa : 1. Hematemesis : Muntah darah berwarna hitam seperti bubuk kopi. 2. Melena : Buang air besar berwarna hitam seperti teh atau aspal. 17

3. Hematoschizia : Buang air besar berwarna merah marun, biasanya dijumpai pada pasien dengan perdarahan masive dimana transit time dalam usus yang pendek. Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah sinkope, instabilitas hemodinamik karena hipovolemik, dan gambaran klinis dari komorbid seperti penyakit hati kronis, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal dsb. 1. Hematemesis termasuk ‘coffee ground emesis’ 40-50%. 2. Melena 70-80%. 3. Hematoschizia (feses warna merah atau marun) 15-20%. 4. Syncope 14% 5. Presyncope 43% 6. Dispepsia 18% 7. Nyeri epigastr 41% 8. Nyeri abdomen difus 10% 9. Berat badan menurun 12% 10. Ikterus 5%

3.2 Konsep Perdarahan Saluran Pencernaan Bagian Bawah 3.2.1 Definisi Perdarahan saluran cerna bagian bawah didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari organ traktus gastrointestinal yang terletak di bagian distal dari ligamentum Treitz yang menyebabkan ketidakseimbangan hemodinamik dan anemia simptomatis. Pada umumnya perdarahan ini (sekitar 85%) ditandai dengan keluarnya darah segar per anal/per rektal yang bersifat akut, transient, berhenti sendiri (Edelman, 2007).

3.2.2 Etiologi Berdasarkan penelitian dari 695 pasien yang masuk di ruang emergency, penyebab dari perdarahan saluran cerna bagian bawah adalah (Edelman, 2007) : a. Diverticulosis Perdarahan dari divertikulum biasanya tidak nyeri dan terjadi pada 3% pasien divertikulosis. Feces biasanya berwarna merah marun, kadang-kadang bisa juga menjadi merah. Meskipun divertikel kebanyakan ditemukan di kolon sigmoid, namun 18

perdarahan divertikel biasanya terletak di sebelah kanan. Umumnya terhenti secara spontan dan tidak berulang. Oleh karena itu tidak ada pengobatan khusus yang dibutuhkan oleh para pasien. b. Hemorrhoids Penyakit perianal contohnya: hemorrhoid dan fisura ani biasanya menimbulkan perdarahan dengan warna merah segar tetapi tidak bercampur dengan feces. Berbeda dengan perdarahan dari varises rectum pada pasien dengan hipertensi portal kadangkadang bisa mengancam nyawa. Polip dan karsinoma kadang-kadang menimbulkan perdarahan yang mirip dengan yang disebabkan oleh hemorrhoid, oleh karena itu pada perdarahan yang diduga dari hemorrhoid perlu dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan polip dan karsinoma kolon. c. Kanker Tumor kolon yang jinak maupun ganas yang biasanya terdapat pada pasien usia lanjut dan biasanya berhubungan dengan ditemukannya perdarahan berulang atau darah samar. Kelainan neoplasma di usus halus relatif jarang namun meningkat pada pasien inflammatory bowel disease seperti Crohn’s disease atau celiac sprue. d. Inflammatory bowel disease Macam-macam kondisi peradangan dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna bagian bawah yang akut. Perdarahan jarang muncul menjadi tanda, melainkan berkembang dalam perjalanan penyakitnya, dan penyebabnya diduga berdasarkan riwayat pasien. Kebanyakan pendarahan berhenti secara spontan atau dengan terapi spesifik pada penyebabnya. Penyebab infeksi meliputi Escherichia coli, tifus, sitomegalovirus, dan Clostridium difficile. Cedera radiasi paling umum terjadi pada rectum setelah radioterapi panggul untuk prostat atau keganasan ginekologi. Perdarahan biasanya terjadi 1 tahun setelah pengobatan radiasi, tetapi dapat juga terjadi hingga 4 tahun kemudian. e. Kolitis iskemia Kebanyakan kasus kolitis iskemia ditandai dengan penurunan aliran darah viseral dan tidak ada kaitannya dengan penyempitan pembuluh darah mesenteik. Kolitis iskemik, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera iskemik pada sistem pencernaan, sering melibatkan daerah batas air (watershed ), termasuk fleksura lienalis dan 19

rectosigmoid junction. Umunya pasien kolitis iskemia berusia tua. Dan kadang-kadang dipengaruhi juga oleh sepsis, perdarahan akibat lain, dan dehidrasi. Iskemia menyebabkan peluruhan mukosa dan peluruhan ketebalan parsial dinding kolon, edema, dan pendarahan. Kolitis iskemik tidak berhubungan dengan kehilangan darah yang signifikan atau hematochezia, walaupun sakit perut dan diare berdarah adalah manifestasi klinis yang utama. f. Angiodisplasia Angiodisplasia merupakan penyebab 10-40% perdarahan saluran cerna bagian bawah. Angiodisplasia merupakan salah satu penyebab kehilangan darah yang kronik. Angiodisplasia kolon biasanya multipel, ukuran kecil dengan diameter < 5 mm dan biasa terlokalisir di daerah caecum dan kolon sebelah kanan. Sebagaimana halnya dengan vaskular ektasia di saluran cerna, jejas di kolon umumnya berhubungan dengan usia lanjut, insufisiensi ginjal, dan riwayat radiasi. g. Solitary rectal ulcer syndrome Solitary rectal ulcer syndrome merupakan suatu kondisi yang terjadi ketika terdapat ulcer yang berkembang pada rectum. Rectum merupakan sebuah saluran yang dihubungkan sampai pada akhir kolon. Solitary rectal ulcer syndrome jarang terjadi dan juga jarang terdeteksi pada penderita dengan konstipasi kronik. Solitary rectal ulcer syndrome dapat menyebabkan perdarahan pada rectal saat aktivitas mengejan pada waktu BAB.

3.2.3 Manifestasi klinis Secara umum, manifestasi klinik perdarahan saluran cerna bagian bawah sama dengan manifestasi klinis perdarahan saluran cerna bagian atas. Tetapi, ada beberapa perbedaan, diantaranya hematoschizia (darah segar keluar per anus) biasanya berasal dari perdarahan saluran cerna bagian bawah (kolon). Maroon stools (feses berwarna merah hati) dapat berasal dari perdarahan kolon bagian proksimal (ileo-caecal).

3.2.4 Penatalaksanaan pada Perdarahan Saluran Pencernaan Penatalaksanaan pasien dengan perdarahan gastrointestinal akut adalah usaha kolaboratif. Intervensi awal mencakup empat langkah : 20

a. Kaji keparahan perdarahan. b. Gantikan cairan dan produk darah dalam jumlah yang mencukupi untuk mengatasi syok. Pasien dengan perdarahan gastrointestinal akut membutuhkan akses intravena segera dengan intra kateter atau kanula berdiameter besar. Untuk mencegah perkembangan syok hipovolemik, mulai lakukan penggantian cairan dengan larutan intravena seperti ringer laktat dan normal saline. Tanda-tanda vital dikaji secara terus-menerus pada saat cairan diganti. Kehilangan lebih dari 1.500 ml membutuhkan penggantian darah selain cairan. Golongan darah pasien diperiksa dicocoksilangkan, dan sel darah merah diinfusikan untuk membangkitkan kembali kapasitas angkut oksigen darah. Produk darah lainnya seperti trombosit, faktor-faktor pembekuan dan kalsium mungkin juga diperintahkan sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium dan kondisi yang mendasari pasien. Kadang-kadang, obat-obat vasoaktif digunakan sampai tercapai keseimbangan cairan untuk mempertahankan keseimbangan cairan untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi pada organ-organ tubuh yang vital. Dopamine, epinefrin, dan norepinefrin adalah obat-obat yang dapat digunakan untuk menstabilkan pasien sampai dilakukan perawatan definitif.

c. Tegakkan diagnosis penyebab perdarahan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, endoskopi fleksibel adalah pilihan prosedur untuk menentukan penyebab perdarahan. Dapat dipasang selang nasogastrik untuk mengkaji tingkat perdarahan, tetapi ini merupakan intervensi yang kontoversial. Dapat juga dilakukan pemeriksaan barium, meskipun seringkali tidak menentukan jika terdapat bekuan dalam lambung, atau jika terdapat perdarahan superfisial. Angiografi digunakan jika sumber perdarahan tidak dapat dikaji dengan endoskopi. d. Rencanakan dan laksanakan perawatan definitif. 1) Terapi Endoskopi Scleroterapy adalah pilihan tindakan jika letak perdarahan dapat ditemukan dengan menggunakan endoskopi. Letak

perdarahan hampir selalu disclerosiskan

menggnukan agen pengsclerosis seperti natrium morhuat atau natrium tetradesil sulfat. Agen ini melukai endotel menyebakan nekrosis dan akhirnya menyebabkan sklerosis

21

pada pembuluh yang berdarah. Metode endoskopi tamponade thermal mencakup probe pemanas foto koagulasi laser dan elektro koagulasi. 2) Bilas Lambung Bilas lambung mungkin diperintahkan selama periode perdarahan akut, tetapi ini merupakan modalitas pengobatan kontroversial. Beberapa dokter yakin bahwa tindakan ini dapat mengganggu pembekuan mekanisme pembekuan normal tubuh diatas tempat perdarahan. Sebagian dokter yang lain meyakini bahwa bilas lambung dapat membantu membersihkan darah dari dalam lambung, membantu mendiagnosis penyebab perdarahan selama endoskopi. Jika diinstruksikan bilas lambung, maka 1000-2000 ml air atau normal salin steril dalam suhu kamar dimasukan dalam selang nasogasatrik. Cairan tersebut kemudian dikeluarkan menggunakan tangan dengan spuit atau dipasang pada suction intermiten sampai sekresi lambung jernih. Irigasi lambung dengan cairan normal saline agar menimbulkan vasokontriksi. Setelah diabsorbsi lambung, obat dikirim melalui sistem vena porta ke hepar dimana metabolisme terjadi, sehingga reaksi sistemik dapat dicegah. Pengenceran biasanya menggunakan 2 ampul dalam 1000 ml larutan. Pasien beresiko mengalami apsirasi lambung karena pemasangan nasogastrik dan peningkatan tekanan intragastrik karena darah atau cairan yang digunakan untuk membilas. Pemantauan distensi lambung dan membaringkan pasien dengan kepala ditinggikan penting untuk mencegah refluk isi lambung. Bila posisi tersebut kontraindikasi, maka diganti posisi dekubitus lateral kanan memudahkan mengalirnya isi lambung melewati pilorus. 3) Pemberian Pitresin  Dilakukan bila dengan bilas lambung atau skleroterapi tidak menolong, maka diberikan vasopresin (Pitresin) intravena.  Obat ini menurunkan tekanan vena porta dan oleh karenanya menurunkan aliran darah pada tempat perdarahan. Dosis 0,2-0,6 unit permenit.  Karena vasokontsriktor maka harus diinfuskan melalui aliran pusat.  Hati-hati dalam penggunaan obat ini karena dapat terjadi hipersensitif.  Obat ini dapat mempengaruhi output urine karena sifat antidiuretiknya. 4) Mengurangi Asam Lambung 22

Karena asam lambung menyebabkan iritasi terhadap tempat perdarahan pada traktus gastrointestinal bagian atas, adalah penting untuk menurunkan keasaman asam lambung. Ini dapat digunakan dengan obat-obat antihistamin (H2)-antagonistik. Contohnya : simetidin (tagamet), ranitidine hipoklorida (zantac), dan famotidin (pepsid). Obat-obat ini menurunkan pembentukan asam lambung dengan menghambat antihistamin. Antasid juga biasanya diberikan. Kerja antasid sebagai buffer alkali langsung diberikan untuk mengontrol pH lambung. Perawat bertanggung jawab terhadap ketepatan aspirasi isi lambung untuk pemeriksaan pH dan pemantauan efek-efek samping dari terapi. Sucralfate, garam alumunium dasar dari sukrosa oktasulfat, yang beraksi secara lokal sebagai obat pelindung mukosa juga dapat diperintahkan untuk profilaksis perdarahan stress. 5) Memperbaiki Status Hipokoagulasi Adalah bukan hal yang tidak lazim untuk mendapati pasien yang mengalami perdarahan gastrointestinal berat yang mempunyai status hipokuagulasi karena defisiensi berbagai faktor pembekuan. Salah satu masalah yang paling penting dalam kategori ini adalah kegagalan hepar pada pasien yang tidak mampu untuk menghasilkan faktor-faktor pembekuan darah. Situasi klinis umum lainnya adalah pemberian makanan melalui intravena jangka panjang pada pasien yang mendapat berbagai antibiotik dan pasien yang mengalami defisiensi vitamin K. tanpa memperhatikan penyebabnya seseorang harus memperbaiki keadaan ini untuk mengurangi jumlah perdarahan. Jika diduga adanya faktor defisiensi utama lain, plasma segar diberikan untuk memperbaiki abnormalitas. 6) Balon Tamponade Terdapat bermacam balon tamponade antara lain tube Sangstaken-Blakemore, Minnesota, atau Linton-Nachlas. Alat ini untuk mengontrol perdarahan gastrointestinal bagian atas karena varises esofagus. Tube Sangstaken-Blakemore mengandung 3 lumen: a) Balon gastrik yang dapat diinflasikan dengan 100-200 ml udara. b) Balon esopagus yang dapat diinflasikan dengan 40 mm Hg (menggunakan spigmomanometer). 23

c) Lumen yang ke-3 untuk mengaspirasi isi lambung. Tube Minnesota, mempunyai lumen tambahan dan mempunyai lubang untuk menghisap sekresi paring. Sedangkan tube Linton-Nachlas terdiri hanya satu balon gaster yang dapat diinflasikan dengan 500-600 ml udara. Terdapat beberapa lubang/bagian yang terbuka baik pada bagian esofagus maupun lambung untuk mengaspirasi sekresi dan darah. Tube/selang Sangstaken-Blakemore setelah dipasang di dalam lambung dikembangkan dengan udara tidak lebih dari 50 ml. Kemudian selang ditarik perlahan sampai balon lambung pas terkait pada kardia lambung. Setelah dipastikan letaknya tepat (menggunakan pemeriksaan radiografi), balon lambung dpat dikembangkan dengan 100-200 ml udara. Kemudian selang dibagian luar ditraksi dan difiksasi. Jika perdarahan berlanjut balon esopagus dapat dikembangkan dengan tekanan 250 40 mmHg (menggunakan spigmomanometer) dan dipertahankan dalam 24-48 jam. Jika lebih lama depat menyebabkan edema, esopagitis, ulserasi atau perforasi esopagus. Hal yang penting dilakukan saat menggunakan balon ini adalah observasi konstan dan perawatan cermat, dengan mengidentifikasi ketiga ostium selang, diberi label dengan tepat dan diperiksa kepatenannya sebelum dipasang. 7) Terapi-terapi Pembedahan Pembedahan dilakukan pada pasien yang mengalami perdarahan massive yang sangat membahayakan nyawa dan pada pasien yang mengalami perdarahan yang terus menerus meskipun telah menjalani terapi medis agregasif. Terapi pembedahan untuk penyakit ulkus peptikum atau ulcer yang disebabkan oleh stress mencakup reseksi lambung (antrektomi), gastrektomi, gastroenterostomi, atau kombinasi operasi untuk mengembalikan keutuhan gastrointestinal. Vagotomi akan mengurangi sekresi asam lambung. Antrektomi mengangkat sel-sel penghasil asam dalam lambung. Billroth I adalah prosedur yang mencakup vagotomi dan antrektomi dengan anastomosis lambung pada duodenum. Billroth II meliputi vagotomi, reseksi antrum, dan anastomosis lambung pada jejunum. Perforasi lambung dapat diatasi hanya menutup atau menggunakan patch untuk menutup lubang pada mukosa.

24

Operasi dekompresi hipertensi porta dapat dilakukan pada pasien yang mengalami varises esophagus dan varises gaster. Dalam pembedahan ini, disebut pirai kava porta, dimana dibuat hubungan antara vena porta dengan vena kava inferior yang mengalihkan aliran darah ke dalam vena cava untuk menurunkan tekanan.

25

3.3

Asuhan Keperawatan pada klien dengan Perdarahan Saluran Pencernaan

3.3.1 Pengkajian Primer Pengkajian yang dilakukan menggunakan pendekatan Airway, Breathing, Circulation, dan Diasability (ABCD). a. Airway Untuk mengkaji airway, maka yang dilakukan perawat adalah dengan teknik look, listen and feel. Look yang dilakukan adalah melihat kebersihan jalan nafas. Pada kasus perdarahan saluran pencernaan, khususnya saluran cerna bagian atas biasanya terjadi muntah darah. Oleh karena itu, perawat harus melakukan pengkajian terhadap risiko terjadinya aspirasi pada saluran napas. Pada teknik listen, biasanya pada perdarahan saluran cerna bagian atas terdapat suara napas gurgling karena adanya cairan (darah) pada saluran pernapasan. Untuk feel, perawat merasakan hembusan napas pasien. Pada kasus perdarahan saluran pencernaan bagian atas, biasanya bisa terjadi sumbatan parsial atau total pada saluran napas akibat menggumpalnya (clothing) darah. b. Breathing Pada breathing yang perlu dikaji oleh perawat adalah adanya perubahan frekuensi napas pasien, adanya penggunaan otot-otot pernapasan. Pada kejadian perdarahan saluran pencernaan, biasanya terjadi penurunan kadar haemoglobin dalam darah, sehingga transportasi oksigen ke sel terganggu akibat berkurangnya pengangkut oksigen (Hb) dan berdampak pada peningkatan frekuensi napas dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan. c. Circulation Untuk mengevaluasi keparahan kehilangan darah dan untuk mencegah atau memperbaiki penyimpangan klinis syok hipovolemik, perawat harus lebih sering mengkaji pasien. Pada fase pertama perdarahan, kehilangan darah kurang dari 800 ml, pasien mungkin hanya akan menunjukkan tanda-tanda lemah, ansietas, dan berkeringat. Dengan perdarahan yang berlebihan suhu tubuh meningkat sampai 38,40–390 C sebagai respon terhadap perdarahan, dan bising usus menjadi hiperaktif karena sensitivitas usus besar terhadap darah. Jika tingkat kehilangan darah berkisar antara sedang sampai berat (kehilangan >800 ml), respon system saraf simpatis menyebabkan pelepasan katekolamin, epinefrin, dan norepinefrin. Keadaan ini pada awalnya menyebabkan peningkatan frekuensi jantung dan 26

vasokonstriksi vascular perifer dalam upaya untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Dengan tingkat kehilangan darah sedang sampai berat, akan timbul tanda-tanda dan gejala syok. Sejalan dengan berkembanganya gejala-gejala syok, pelepasan katekolamin akan memicu pembuluh darah pada kulit, paru-paru, intestine, hepar, dan ginjal untuk berkontraksi, dengan demikian akan meningkatkan aliran volume darah ke jantung dan otak. Karena penurunan aliran darah pada kulit, maka kulit pasien akan sangat dingin saat disentuh. Dengan berkurangnya aliran darah ke paru-paru, terjadi hiperventilasi untuk mempertahankan pertukaran gas yang adekuat. Seiring dengan penurunan aliran darah ke hepar, produk sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah. Produk sisa ini, ditambah dengan absorbsi darah busuk dari traktus intestinal dan penurunan aliran darah melalui ginjal, akan menyebabkan peningkatan dalam kadar urea darah. Nitrogen urea darah (BUN) dapat digunakan untuk mengikuti perjalanan perdarahan gastrointestinal. Nilai BUN di atas 40-dalam lingkup perdarahan gastrointestinal dan kadar kreatinin normal-menandakan perdarahan major. BUN akan kembali normal kira-kira 12 jam setelah perdarahan berhenti. Haluaran urin adalah pengukur yang paling sensitif dari volume intravascular yang harus diukur setiap jam. Dengan menurunnya volume intravascular, haluaran urin menurun, mengurangi reabsorbsi air oleh ginjal sebagai respon oleh pelepasan hormon antidiuretik (ADH) oleh lobus posterior kelenjar pituitary. Perubahan tekanan darah yang lebih besar dari 10 mmHg, dengan peningkatan frekuensi jantung 20 kali per menit baik dalam posisi berdiri maupun duduk, menandakan kehilangan darah lebih besar dari 1000 ml. respon pasien terhadap kehilangan darah tergantung dari jumlah dan kecepatan kehilangan darah, usia, derajat kompensasi, dan kecepatan perawat. Pasien mungkin akan melaporkan rasa nyeri dengan perdarahan gastrointestinal dan hal ini diduga peningkatan asam lambung yang mengenai ulkus lambung. Nyeri tekan pada daerah epigastrium merupakan tanda yang tidak umum terjadi. Abdomen dapat menjadi lembek atau distensi. Hipertensi sering hiperaktif karena sensitivitas usus terhadap darah. Pemasangan IV line 2 jalur dengan menggunakan IV cath ukuran besar diperlukan untuk mengantisipasi penambahan cairan dan tranfusi darah. 27

d. Disability Pada disability yang perlu dikaji perawat adalah tingkat kesadaran. Untuk mengkaji tingkat kesadaran digunakan GCS (Glasgow Coma Scale). Selain itu reaksi pupil dan juga reflek cahaya juga harus diperiksa. e. Exposure Pada exposure, yang dilakukan perawat adalah membuka seluruh pakaian pasien dan melakukan pengkajian dari ujung rambut sampai ujung kaki. Perawat mengkaji adanya etiologi lain yang mungkin menyebabkan gangguan pencernaan.

3.3.2 Pengkajian Sekunder a. Riwayat Penyakit Yang perlu dikaji pada pengkajian primer ini antara lain penyakit yang pernah diderita pasien, misalnya hepatitis, penyakit hepar kronis, hemorrhoid, gastritis kronis, dan juga riwayat trauma. b. Status Nutrisi Yang perlu dikaji pada status nutrisi adalah menggunakan prinsip A, B, C, D, yaitu:  Anthopometri Yang bisa dikaji dari anthopometri antara lain : BB dan TB pasien sebelum sakit.  Biochemical Pada biochemical, pengkajian dengan mempertimbangkan nilai laboratorium, diantaranya : nilai Hb, Albumin, globulin, protein total, Ht, dan juga darah lengkap.  Clinical Pada pengkajian clinical, perawat harus mempertimbangkan tanda-tanda klinis pada pasien, misalnya tanda anemis, lemah, rasa mual dan muntah, turgor, kelembaban mukosa.  Diit Pada diit, perawat bisa berkolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan kalori pada pasien. Selain itu, komposisi nutrisi pada pasien juga harus diperhatikan. Pemberian nutrisi enteral dini lebih menguntungkan pada penderita perdarahan saluran cerna karena pemberian nutrisi enteral dini dapat memperkecil permiabilitas intestinal, menurunkan translokasi bakteri dan juga dapat mencegah multi organ failure. Selain itu 28

pemberian nutrisi enteral pada pasien dengan perdarahan saluran cerna juga dapat meningkatkan aliran darah pada gaster, mempertahankan aliran darah pada kolon. Selain itu, pemberian nutrisi enteral dan ranitidine juga dapat menurunkan insiden perdarahan gastrointestinal. Nutrisi enteral (karbohidrat, lemak, dan protein), juga dapat memicu vasodilatasi lapisan mukosa saluran cerna. Karbohidrat dapat meningkatkan aliran darah mesenterika 70%, lemak dapat meningkatkan aliran darah mesenterika 40%. Pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas yang bukan karena varises dan tidak ada penyakit hati kronis, maka pasien tidak perlu dipuasakan. Perawat atau ahli gizi harus memberikan diit secara bertahap, mulai dari diit cair, saring, lunak, dan padat (normal). Komposisi nutrisi dan kebutuhan kalori yang diberikan harus sesuai dengan penyakit dasar pasien. Tetapi jika perdarahan saluran cerna atas tersebut berasal dari varises esofagus, maka tidak ada anjuran untuk dipuasakan, tetapi pemberian nutrisi enteral ditunda saat perdarahan aktif. Nutrisi enteral dapat dilanjutkan tanpa menunggu produk NGT jernih. Bila perlu, pemberian parenteral nutrisi sampai perdarahan berhenti lalu dilanjutkan diit secara bertahap mulai diit cair, saring, lunak dan normal lagi dengan komposisi nutrisi dan kebutuhan kalori sesuai penyakit dasar. Pada pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian bawah, terutama pada Chron disease nutrisi parenteral dapat meredakan symptom selama “acute attack” dan kambuh ketika kembali ke nutrisi oral. Prinsip pamberian nutrisi pada inflammatory bowel disease tidak membebani bagian/segmen saluran cerna yang sedang sakit berat. Pada pasien yang mengalami diare berat 10-20x/hari, maka pemberian elektrolit dan cairan harus dilakukan untuk menggantikan kehilangan cairan dan elektrolit.

3.3.3 Pemeriksaan diagnostik Hitung hematokrit dan hemoglobin diperintahkan dengan hitung darah lengkap. Adalah penting untuk menganggap bahwa hematokrit umumnya tidak berubah pada jam-jam pertama setelah perdarahan gastrointestinal akut karena mekanisme kompensasi. Cairan yang diberikan pada saat masuk juga mempengaruhi hitung darah. Jumlah sel darah putih dan glukosa mungkin meningkat, mencerminkan respon tubuh terhadap stress. Penurunan kalium dan natrium kemungkinan terjadi karena disertai muntah. Tes fungsi hepar biasa digunakan 29

untuk mengevaluasi integritas hematologi pasien. Perpanjangan masa protombin dapat menandakan penyakit hepar atau terapi bersamaan jangka panjangf anti koagulan. Alkalosis respiratori umumnya terjadi karena adanya aktivasi dari system saraf simpatik terhadap kehilangan darah. Jika kehilangan sebagian besar darah, maka akan terjadi asidosis metabolik sebagai akibat dari metabolisme anaerobic. Hipoksemia mungkin juga akan terjadi karena penurunan kadar hemoglobin yang bersirkulasi dan dihasilkan kerusakan transport oksigen ke sel-sel. Pemeriksaan PT/PTT diperlukan untuk mengetahui apakah ada gangguan dalam hal waktu perdarahan dan waktu pembekuan darah. Pemeriksaan cross-match diperlukan juga sebelum dilaksanakan tranfusi darah. Endoskopi adalah prosedur pilihan untuk mendiagnosa ketepatan letak dari perdarahan, karena inspeksi langsung mukosa adalah mungkin dengan menggunakan skop serat optik. Endoskopi yang fleksibel memungkinkan tes ini dilakukan di tempat tidur dan tes ini secara rutin dilakukan oleh dokter setelah pasien secara hemodinamik stabil. Ketepatan diagnostik dari tes ini berkisar antara 60% sampai 90%.

3.3.4 Rencana Asuhan Keperawatan a. Diagnosa

:

Defisit volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah akut.

Kriteria hasil / :

Pasien akan tetap stabil secara hemodinamik

Tujuan-tujuan pasien Intervensi Keperawatan

:

1. Pantau tanda-tanda vital setiap jam. 2. Pantau nilai-nilai hemodinamik (missal SAP, DAP, TDKP, IJ, CJ, TVS). 3. Ukur haluaran urin setiap 1 jam. 4. Ukur

masukan

dan

haluaran

dan

kaji

keseimbangan. 5. Berikan cairan pengganti dan produk darah sesuai instruksi. Pantau adanya reaksi-reaksi yang merugikan terhadap komponen terapi 30

(missal reaksi transfusi). 6. Tirah baring total, baringkan pasien pada posisi terlentang dengan kaki ditinggikan untuk meningkatkan

preload

pasien

jika

pasien

mengalami hipotensif. Jika terjadi normotensif, tempatkan tinggi bagian kepala tempat pada 45 dewrajat untuk mencegah aspirasi lambung. 7. Perkecil jumlah darah yang diambil untuk analisa laboratorium. 8. Pantau hemoglobin dan hematokrit. 9. Pantau elektrolit yang mungkin hilang bersama cairan atau berubah karena kehilangan atau perpindahan cairan. 10. Periksa feses terhadap darah untuk 72 jam setelah masa akut. b. Diagnosa

:

Kerusakan pertukaran gas : yang berhubungan dengan penurunan kapasitas angkut oksigen dan dengan faktorfaktor risiko aspirasi.

Kriteria hasil / :

Pasien

akan

mempertahankan

Tujuan-tujuan

pertukaran gas yang adekuat.

oksigenasi

dan

pasien Intervensi Keperawatan

:

1. Pantau SaO2 dengan menggunakan oksimetri atau ABGs. 2. Pantau bunyi nafas dan gejala-gejala pulmonal. 3. Gunakan supplemental O2 sesuai instruksi. 4. Pantau suhu tubuh. 5. Pantau adanya distensi abdomen. 6. Baringkan pasien pada bagian kepala tempat tidur ditinggikan jika segalanya memungkinkan. 7. Pertahankan

fungsi

dan

patensi

kateter

nasogastrik dengan tepat. 31

8. Atasi segera mual. c. Diagnosa

:

Resiko tinggi terhadap infeksi : yang berhubungan dengan aliran intravena.

Kriteria hasil / :

Pasien tidak akan mengalami i9nfeksi nosokomial.

Tujuan-tujuan pasien Intervensi

:

Keperawatan

1. Pertahankan

kestabilan

selang

intravena.

Amankan aplians intravena berikut selangnya. 2. Ukur suhu tubuh setiap 4 jam. 3. Pantau system intravena terhadap patensi, infiltrasi,

dan

tanda-tanda

infeksi

(nyeri

setempat, inflamasi, demam, sepsis). 4. Ganti letak intravena setiap 48-72 jam dan prn. 5. Ganti larutan intravena sedikitnya setiap 24 jam. 6. Pantau letak insersi setiap penggantian tugas. 7. Dokumentasikan tentang selang, penggantian balutan, dan keadaan letak insersi. 8. Gunakan teknik aseptic saat mengganti balutan dan selang. Pertahankan balutan yang bersih, transparan, dan steril. 9. Ukur SDP terhadap kenaikan. 10. Lepaskan dan lakukan pemeriksaan kultur bila terjadi tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi. d. Diagnosa

:

Ansietas : yang berhubungan dengan sakit kritis, ketakutan akan kematian ataupun kerusakan bentuk tubuh, perubahan peran dalam lingkup sosial, atau ketidakmampuan yang permanen.

Kriteria hasil / : Tujuan-tujuan pasien

1. Pasien akan mengekspresikan ansietasnya pada nara sumber yang tepat. 2. Pasien akan mulai mengidentifikasi sumber 32

ansietasnya. Intervensi Keperawatan

:

1. Berikan lingkungan yang mendorong diskusi terbuka untuk persoalan-persoalan emosional. 2. Gerakan system pendukung pasien dan libatkan sumber-sumber ini sesuai kebutuhan. 3. Berikan

waktu

pada

pasien

untuk

mengekspresikan diri. Dengarkan dengan aktif. 4. Berikan-berikan penjelasan yang sederhana untuk

peristiwa-peristiwa

dan

stimuli

lingkungan. 5. Identifikasi sumber-sumber rumah sakit yang memungkinkan untuk mendukung pasien atau keluarganya. 6. Berikan dorongan komunikasi terbuka antara perawat-keluarga mengenai masalah-masalah emosional. 7. Validasikan pengetahuan dasar pasien dan keluarga tentang penyakit kritis. 8. Libatrkan system pendukung religious sesuai kebutuhan

33

3.4 Asuhan Keperawatan dengan Obstruksi Usus dan Ileus 3.4.1 Definisi Ileus atau obstruksi usus adalah suatu gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran isi usus. Obstruksi usus dapat akut dengan kronik, partial atau total.Intestinal obstruction terjadi ketika isi usus tidak dapat melewati saluran gastrointestinal(Nurarif& Kusuma, 2015). Ileus adalah gangguan/hambatan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut yang segera membutuhkan pertolongan atau tindakan (Indrayani, 2013). Obstruksi usus mekanis adalah Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat diatasi oleh peristaltik. Ileus obstruktif ini dapat akut seperti pada hernia stragulata atau kronis akibat karsinoma yang melingkari. Misalnya intususepsi, tumor polipoid dan neoplasma stenosis, obstruksi batu empedu, striktura, perlengketan, hernia dan abses(Nurarif& Kusuma, 2015). 3.4.2 Etiologi Penyebab terjadinya ileus obstruksi pada usus halus antara lain 1. Hernia inkarserata : Hernia inkarserata timbul karena usus yang masuk ke dalam kantung hernia terjepit oleh cincin hernia sehingga timbul gejala obstruksi (penyempitan)dan strangulasi usus (sumbatan usus menyebabkan terhentinya aliran darah ke usus). Pada anak dapatdikelola secara konservatif dengan posisi tidur Trendelenburg. Namun, jikapercobaan reduksi gaya berat ini tidak berhasil dalam waktu 8 jam, harus diadakanherniotomi segera (Indrayani, 2013) 2. Non hernia inkarserata, antara lain : a. Adhesi atau perlekatan usus Adhesi bisa disebabkan oleh riwayat operasi intraabdominal sebelumnya atau proses inflamasi intraabdominal. Dapat berupa perlengketanmungkin dalam bentuk tunggal maupun multiple, bisa setempat atau luas. Umunya berasal dari rangsangan peritoneum akibat peritonitis setempat atau umum.Ileus karena adhesi biasanya tidak disertai strangulasi. Obstruksi yang disebabkan oleh adhesi berkembang sekitar 5% dari pasien yang mengalami operasi abdomen dalam hidupnya. Perlengketan 34

kongenital juga dapat menimbulkan ileus obstruktif di dalam masa anak-anak (Indrayani, 2013). b. Invaginasi (intususepsi) Disebut juga intususepsi, sering ditemukan pada anak dan agak jarang pada orang muda dan dewasa. Invaginasi pada anak sering bersifat idiopatikkarena tidak diketahui penyebabnya. Invaginasi umumnya berupa intususepsi ileosekal yang masuk naik kekolon ascendens dan mungkin terus sampai keluar dari rektum. Hal ini dapat

mengakibatkan

nekrosis

iskemik

pada

bagian

usus

yang

masuk

dengankomplikasi perforasi dan peritonitis. Diagnosis invaginasi dapat diduga atas pemeriksaan fisik, dandipastikan dengan pemeriksaan Rontgen dengan pemberian enema barium (Indrayani,2013). c . Askariasis Cacing askaris hidup di usus halus bagian yeyunum, biasanya jumlahnya puluhan hingga ratusan ekor. Obstruksi bisa terjadi di mana-mana di usus halus, tetapi biasanya di ileum terminal yang merupakan tempat lumen paling sempit. Obstruksi umumnya disebabkan oleh suatu gumpalan padat terdiri atas sisa makanan dan puluhan ekor cacing yang mati atau hampir mati akibat pemberian obat cacing. Segmen usus yang penuh dengan cacing berisiko tinggi untuk mengalami volvulus, strangulasi, dan perforasi (Indrayani,2013). d. Volvulus Merupakan suatu keadaan di mana terjadi pemuntiran usus yang abnormal dari segmen usus sepanjang aksis usus sendiri, maupun pemuntiran terhadap aksis sehingga pasase (gangguan perjalanan makanan) terganggu. Pada usus halus agak jarang ditemukan kasusnya. Kebanyakan volvulus didapat di bagian ileum dan mudah mengalami strangulasi (Indrayani,2013). e . Tumor Tumor usus halus agak jarang menyebabkan obstruksi Usus, kecuali jika ia menimbulkan invaginasi . Hal ini terutama disebabkan oleh kumpulan metastasis (penyebaran kanker) di peritoneum atau di mesenterium yang menekan usus (Indrayani,2013). f. Batu empedu yang masuk ke ileus. 35

Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan fistul (koneksi abnormal antara pembuluh darah, usus, organ, atau struktur lainnya) dari saluran empedu keduodenum atau usus halus yang menyebabkan batu empedu masuk ke raktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus halus, umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan obstruksi. Penyebab obstruksi kolon yang paling sering ialah karsinoma (anker yang dimulai di kulit atau jaringan yang melapisi atau menutupi organ-organ tubuh) , terutama pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri distal (Indrayani,2013).

3.4.3 Prognosis Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur, etiologi,tempatdan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda ataupun tua maka toleransinyaterhadap penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan sangat rendah sehingga meningkatkan mortalitas. Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus halus (Indrayani,2013).

3.4.4 Manifestasi Klinis a. Mekanik sederhana – usus halus atas Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah, peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen. b. Mekanik sederhana – usus halus bawah Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat, bising usus meningkat, nyeri tekan abdomen. c. Mekanik sederhana – kolon Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir, kemudian terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen. d. Obstruksi mekanik parsial Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada penyakit Crohn. Gejalanya kram nyeri abdomen, distensi ringan. e. Strangulasi

36

Gejala berkembang dengan cepat: nyeri hebat, terus menerus dan terlokalisir, distensi sedang, muntah persisten, biasanya bising usus menurun dan nyeri tekan terlokalisir hebat. Feses atau vomitus menjadi berwarna gelap atau berdarah atau mengandung darah samar. (Price &Wilson, 2007)

3.4.5 Klasifikasi Menurut sifat sumbatannya Menurut sifat sumbatannya, ileus obstruktif dibagi atas 2 tingkatan : a) Obstruksi biasa (simple obstruction) yaitu penyumbatan mekanis di dalam lumen usus tanpa gangguan pembuluh darah, antara lain karena atresia usus dan neoplasma b) Obstruksi strangulasi yaitu penyumbatan di dalam lumen usus disertai oklusi pembuluh darah seperti hernia strangulasi, intususepsi, adhesi, dan volvulus (Pasaribu, 2012).

Menurut letak sumbatannya Menurut letak sumbatannya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 2 : a) Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus b) Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar (Pasaribu, 2012).

Menurut etiologinya Menurut etiologinya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 3: a) Lesi ekstrinsik (ekstraluminal) yaitu yang disebabkan oleh adhesi (postoperative), hernia (inguinal, femoral, umbilical), neoplasma (karsinoma), dan abses intraabdominal. b) Lesi intrinsik yaitu di dalam dinding usus, biasanya terjadi karena kelainan kongenital (malrotasi), inflamasi (Chron’s disease, diverticulitis), neoplasma, traumatik, dan intususepsi. c) Obstruksi menutup (intaluminal) yaitu penyebabnya dapat berada di dalam usus, misalnya benda asing, batu empedu (Pasaribu, 2012).

Menurut stadiumnya ileus obstruktif dapat dibedakan menjadi 3 berdasarkan stadiumnya, antaralain : 37

a) Obstruksi sebagian (partial obstruction) : obstruksi terjadi sebagian sehingga makanan masih bisa sedikit lewat, dapat flatus dan defekasi sedikit. b) Obstruksi sederhana (simple obstruction) : obstruksi / sumbatan yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah (tidak disertai gangguan aliran darah). c) Obstruksi strangulasi (strangulated obstruction) : obstruksi disertai dengan terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren (Indrayani, 2013).

3.4.6 Komplikasi a) Peritonitis septicemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peradangan pada selaput rongga perut (peritonium) yang disebabkan oleh terdapatnya bakteri dalam dalah (bakteremia). b) Syok hypovolemia terjadi abikat terjadi dehidrasi dan kekurangan volume cairan. c) Perforasiusus adalah suatu kondisi yang ditandai dengan terbentuknya suatu lubang usus yang menyebabkan kebocoran isi usus ke dalam rongga perut. Kebocoran ini dapat menyebabkan peritonitis d) Nekrosisusus adalah adanya kematian jaringan pada usus e) Sepsis adalah infeksi berat di dalam darah karena adanya bakteri. f) Abses adalah kondisi medis dimana terkumpulnya nanah didaerah anus oleh bakteri atau kelenjar yang tersumbat pada anus. g) Sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi adalah suatu keadaan dimana tubuh sudah tidak bisa mengabsorpsi nutrisi karena pembedahan. h) Gangguan elektrolit ; terjadi karena hipovolemik

3.4.7 Pemeriksa Diagnostic 1. HB (hemoglobin), PCV (volume sel yang ditempati sel darah merah) : meningkat akibat dehidrasi 2. Leukosit : normal atau sedikit meningkat ureum + elektrolit, ureum meningkat, Na+ dan Cl- rendah. 3. Rontgen toraks : diafragma meninggi akibat distensi abdomen

38

a. Usus halus (lengkung sentral, distribusi nonanatomis, bayangan valvula connives melintasi seluruh lebar usus) atau obstruksi besar (distribusi perifer/bayangan haustra tidak terlihat di seluruh lebar usus) b. Mencari penyebab (pola khas dari volvulus, hernia, dll) 4. Enema kontras tunggal (pemeriksaan radiografi menggunakan suspensi barium sulfat sebagai media kontras pada usus besar) : untuk melihat tempat dan penyebab. 5. CT Scan pada usus halus : mencari tempat dan penyebab, sigmoidoskopi untuk menunjukkan tempat obstruksi (Pasaribu, 2012).

3.4.8 Penatalaksanaan Tujuan

utama

penatalaksanaan

adalah

dekompresi

bagian

yang

mengalami

obstruksiuntuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatupenyumbatan sembuh dengansendirinya tanpa pengobatan, terutama jikadisebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus di rawat dirumah sakit(Nurarif& Kusuma, 2015). 1. Persiapan Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi danmengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudiandilakukan juga

resusitasi

cairan

dan

elektrolit

untuk

perbaikan

keadaan

umum.Setelah

keadaanoptimum tercapai barulah dilakukan laparatomi. Pada obstruksiparsial atau karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan konservatif(Nurarif& Kusuma, 2015). 2. Operasi Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organvital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalahpembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila :-Strangulasi-Obstruksi lengkap-Hernia inkarserata-Tidak ada perbaikan dengan pengobatankonservatif (dengan pemasangan NGT, infus,oksigen dan kateter)(Nurarif& Kusuma, 2015). 3. Pasca Bedah Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan danelektrolit.Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikankalori yang cukup.Perlu diingat bahwa pasca bedah usus pasien masih dalamkeadaan paralitik. 39

3.4.9 Pengkajian I.

Pengkajian a. Biodata klien yang penting meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku dan gaya hidup. b. Riwayat kesehatan  Keluhan utama . Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat dikaji. Pada umumnya akan ditemukan klien merasakan nyeri pada abdomennya biasanya terus menerus, demam, nyeri tekan lepas, abdomen tegang dan kaku.  Riwayat kesehatan sekarang Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari pertolongan, dikaji dengan menggunakan pendekatan PQRST : P : Apa yang menyebabkan timbulnya keluhan. Q :Bagaiman keluhan dirasakan oleh klien, apakah hilang, timbul atau

terus-

menerus (menetap). R : Di daerah mana gejala dirasakan S : Seberapa keparahan yang dirasakan klien dengan memakai skala numeric 1 s/d 10. T :Kapan keluhan timbul, sekaligus factor yang memperberat dan memperingan keluhan.  Riwayat kesehatan masa lalu Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit yang sama, riwayat ketergantungan terhadap makanan/minuman, zat dan obat-obatan.  Riwayat kesehatan keluarga Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit yang sama dengan klien.

II.

Pemeriksaan a. Aktivitas/istirahat Gejala :Kelelahan dan ngantuk. Tanda :Kesulitan ambulasi b. Sirkulasi 40

Gejala :Takikardia, pucat, hipotensi ( tandasyok) c. Eliminasi Gejala :Distensi abdomen, ketidakmampuan defekasidan Flatus Tanda :Perubahan warna urine dan feces d. Makanan/cairan Gejala :anoreksia,mual/muntah dan haus terus menerus. Tanda :muntah berwarna hitam dan fekal. Membran mukosa pecah - pecah.Kulit buruk. e. Nyeri/Kenyamanan Gejala :Nyeri abdomen terasa seperti gelombang dan bersifat kolik. Tanda :Distensi abdomen dan nyeri tekan f. Pernapasan Gejala : Peningkatan frekuensi pernafasan, Tanda : Napas pendek dan dangkal 3.4.10 Diagnosa Keperawatan 1. Mual (00134, domain 12 kenyamanan, kelas 1 kenyamanan fisik) 2. Konstipasi (00011, domain: 3 eliminasi dan pertukaran, kelas: 2 fungsi gastrointestinal) 3. Resiko syok (hipovolemia) (00205, Domain: 11 keamanan/perlindungan, Kelas: 2 cedera fisik) 4. Nyeri akut(00132, Domain 12 : Kenyamanan Kelas 1 : Kenyamanan Fisik) 5. Ansietas (00146, domain 9 koping atau toleransi terhadap stress, kelas 2 respon koping) 6. Hipertermi (00007, domain 11 keamanan atau perlindungan, kelas 5 proses defensive) 7. Ganguan pola tidur (00095, domain 4 aktivitas/istirahat, kelas 1 tidur/istirahat)

41

3.4.11 Rencana keperawatan No. Dx keperawatan

NOC

NIC

Rasional

1.

NOC :

NIC

Observasi -

Mual (00134) Domain: 12 (kenyamanan)

-

Selera makan

Observasi

Kelas: 1 (kenyamanan fisik)

-

Status gizi



-

Tingkat kenyamanan

mual pada pasien

-

Pengendalian mual dan 

Kaji penyebab mual

Definisi: perasaan subjektif , seperti gelombang yang

belakang tenggorokan,

Kriteria hasil :

epigastrium, atau abdomen

Setelah

yang mendorong keinginan

Keperawatan

Batasan karakteristik: -

gejala

gejala

subjektif

mengetahui mual

yang

dirasakan oleh pasien -

muntah

Untuk

mengetahui

apakah mual dirasakan

tidak menyenangkan di

untuk muntah.

Pantau

Untuk

dilakukan

Mandiri

akibat efek penyakit atau



efek samping obat

tindakan

... X 24 jam  Berat badan stabil dan nutrisi 

Manajemen cairan/elektrolit

Mandiri

Manajemen mual

-

Mengatur dan mencegah komplikasi

Manajemen muntah

akibat

teratasi dengan

perubahan kadar cairan

-

dan elektrolit

Menghindari

Tidak ada tanda-tanda mal HE nutrisi.  Jelaskan penyebab mual

makanan

-

Berat badan stabil

Sensasi ingin muntah

-

Pasien

tidak

mengalami



-

Mencegah

Beritahu pasien seberapa

meredakan mual

lama kemungkinan mual -

Mencergah

dan

dan

42

-

Peningkatan produksi -

saliva -

Melaporkan “mual” atau “eneg”

-

-

Melaporkan terbebas dari 

Ajarkan pasien menelan

mual

untuk secara sadar atau HE

Mengidentifikasi

dan

mulut

dapat menurunkan mual

Iritasi lambung (mis.

meredakan muntah

-

nafas dalam

melakukan tindakan yang Kolaborasi

Akibat

 

Berikan

Menginformasikan penyebab-penyebab

obat

yang

antiemetic

dapat

sesuai anjuran

menimbulkan mual

Manajemen cairan: berikan -

Agar

terapi IV, sesuai anjuran

menangani

klien

dapat

mual

saat

mual itu dirasakan.

agen

farmakologis (seperti

-

Untuk mengurangi stress dan

mengalihkan

inflamasi nonsteroid,

perhatian

dari

steroid,

sehingga

aspirin,

-

akan terjadi

Rasa asam di dalam

Faktor yang berhubungan: -

mual muntah.

obat

anti

antibiotic),

mual, dapat

alcohol, zat besi, dan

membantu pasien untuk

darah.

makan

dan

minum.

Selain

itu

untuk

Distensi (mis. pengosongan

lambung Akibat

mekenan reflex muntah Kolaborasi

43

lambung

yang

lambat;

-

obstruksi

dan

pylorus usus; distensi genitourinarius

dan

Untuk mengurangi mual memungkinkan

pasien untuk makan -

Untuk memenuhi cairan

biliaris; stasis usus

yang hilang akibat mual

bagian atas; kompresi

dan muntah

eksternal

pada

lambung, hati limpa atau

organ

pembesaran

lain; yang

memperlambat fungsi lambung;

kelebihan

asupan makanan) -

Agen

farmakologis

(mis. Analgesic, anti virus

untuk

HIV,

aspirin, opioid) dan agen kemoterapeutik -

Toksin

44

2.

Konstipasi (00011)

NIC :

Observasi

domain: 3 eliminasi dan  Defekasi

Observasi

-

pertukaran



kelas:

NOC :

Kriteria Hasil : 2

fungsi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24

gastrointestinal



jam, masalah konstipasi Definisi

:

-

dan

pascaoperasi;

yang

pengeluaran

dibuktikan oleh indikator

warna

feses yang sulit atau tidak

defekasi sebagai berikut:

feses;

lampias

atau

pengeluaran -

dan

apakah dapat

menyebabkan

frekuensi,

komplikasi peritonitis

konsistensi

keluarnya

melihat konstipasi

pertama

frekuensi normal defekasi  Konstipasi menurun disertai

konsisensi -

feses

sebagai acuan rencana penanganan yang efektif

Kaji dan dokumentasikan: (warna

Penurunan pasien teratasi dengan

dan gejala sulit BAB

Monitor tanda dan gejala konstipasi

untuk mengetahui tanda

flatus; -

melihat

faktor

Tidak mengalami

adanya impaksi; ada atau

berkontribusi

feses yang sangat keras dan

gangguan pola eliminasi

tidak ada bisisng usus dan

konstipasi

kering

(dalam rentang yang

distensi

diharapkan)

keempat kuadran abdomen

Batasan Karakteristik : 

Nyeri abdomen



Nyeri tekan pada

-

Tidak ada gangguan feses lunak dan membentuk

-

Tidak mengalami



abdomen

yang pada

pada Mandiri -

membentuk

dan

Pantau tanda dan gejala

mempertahankan

pola

ruptur usus atau peritonitis

eliminasi defekasi yang teratur

45



abdomen dengan atau

gangguan mengeluarkan

tanpa resistensi otot

feses tanpa bantuan

(misalnya

Tidak ada darah dalam

tirah baring, dan diet) yang HE

feses

dapat menyebabkan atau -

untuk

Tidak nyeri saat defekasi

berkontribusi

pengeluaran feses tanpa

yang dapat dipalpasi. 

Anoreksia



Perasaan penu atau

-

-

mencegah

dan

mengatasi konstipasi

pengobatan,

terhadap

memfasilitasi

nyeri

konstipasi

tekanan pada rektum 

faktor -

Identifikasi

-

Peningkatan tekanan

agar

pasien

dapat

abdomen

Mandiri

menghindari obat yang



Indigesti

- manajemen defekasi

dapat



Mual

- manajemen konstipasi

konstipasi



Nyeri saat defekasi



Tampilan atipikal

HE

pada lansia

 Anjurkan

-

pasien

untuk

menghindari

pasien

mengonsumsi

makanan

untuk

mengakibatkan

yang

(misalnya,perubahan

meminta obat nyeri sebelum

diperbolehkan/

status

defekasi

serat

mental,inkontinensia

 Informasikan kepada pasien -

urine, jatu tanpa

kemungkinan

sebab jelas,dan

akibat obat

konstipasi

untuk

tidak rendah

mencegah

perubahan pada tanda vital, perdarahan kolaborasi

46

peningkatan suhu 

meningkatkan makanan

tentang efek diet (misalnya,

yang berserat agar

Darah merah segar

cairan

mempermudah dalam

menyertai

eliminasi

dan

serat)

 Tekankan

Perubahan pada suara

menghindari

abdomen

selama defekasi

(borborigmi) 

pasien -

kepada

tubuh.

pengeluaran feses 

 Ajarkan

pada

BAB pentingnya mengejan

tercapainya intervensi yang diberikan dengan mendengar apakah

Kolaborasi 

untuk mengetahui

Konsultasi dengan ahli

bising usus normal atau

defekasi

gizi untuk meningkatkan

tidak



Penurunan frekuensi

serat dan ciran dalam diet



Penurunan volume

Perubahan pada pola



Konsultasi dengan dokter

feses

tentang penurunan atau



Distensi abdomen

peningkatan



Feses yang

bising usus

frekuensi

kering,keras,dan padat 

Bising usus hipoaktif

47

atau hiperaktif 

Pengeluaran feses cair



Massa abdomen dapat dipalpasi



Massa rectal dapat dipalpasi



Bunyi pekak pada perkusi abdomen



Adanya feses seperti pasta direktum



Flatus berat



Mengejan saat defekasi



Tidak mampu mengeluarkan feses



Muntah.

Faktor yang Berhubungan

48

:  Fungsional Kelemahan otot abdomen Kebiasan defekasi yang tidak teratur Perubahan lingkungan saat ini  Psikologis Depresi Stress emosi Konfusi mental  Farmakologi Antasida yang mengandung aluminium Kalsium karbonat  Mekanis Ketidakseimbangan

49

elektrolit Obesitas Hemoroid  Fisiologis Dehidrasi Pola makan yang buruk. 3.

Resiko syok (hipovolemik) NOC

NIC

Observasi

(00205)

-

Domain:

-

pencegahan syok

Observasi:

11 -

manajemen syok

-

monitor input dan output

yang masuk dan keluar

-

monitor tanda awal syok

dari dalam tubuh

-

monitor status cairan

keamanan/perlindungan Kelas: 2 cedera fisik

Criteria hasil: Setelah dilakukan tindakan

Definisi: rentan mengalami keperawatan selama … x24

-

untuk mengetahui tandatanda syok yang terjadi

Mandiri: -

melihat jumlah cairan

tempatkan

pasien

pada klien

kaki -

mengetahui

ketidakcukupan aliran darah jam, masalah pasien teratasi

posisi

ke

elevasi

ketidakseimbangan cairan pada klien

jaringan

tubuh,

yang dengan

supinasi,

pada

dapat

mengakibatkan -

nadi dalam batas yang -

berikan cairan intravena

disfungsi

seluler

diharapkan

dan oral dengan tepat

yang

mengancam jiwa, yang dapat -

irama

pernafasan

mengganggu kesehatan.

batas yang diharapkan

Mandiri

dalam HE: -

ajarkan

keluarga

dan

untuk

peningkatan

preload dengan tepat

50

Faktor resiko:

serum-serum

elektrolit

dalam batas normal -

pasien tentang tanda dan -

untuk mengganti cairan

gejala datangnya syok

yang hilang

-

Hipovolemia

ajarkan

keluarga

dan -

-

Hipoksemia

pasien

tentang

langkah HE

-

Hipoksia

untuk

mengatasi

gejala -

-

Infeksi

syok

-

Sepsis

Menambah

informasi

pada klien dan keluarga mengenai syok

Kolaborasi: -

Agar klien dan keluarga dapat mengatasi syok secara mandiri

Kolaborasi : 4.

Nyeri akut (00132) Domain NOC :

NIC :

12 : Kenyamanan Kelas 1 :  Pengendalian nyeri

Observasi

 Tingkat nyeri

Kenyamanan Fisik)

Definisi

:

Pengalaman Kriteria Hasil :

sensori dan emosi yang tidak menyenangkan

Setelah dilakukan tindakan

akibat keperawatan selama … x24

adanya kerusakan jaringan jam, masalah nyeri akut

 Lakukan pengkajian nyeri

Observasi -

Untuk

mengetahui

nyeri

secara

secara komprehensif

keseluruhan meliputi

termasuk lokasi,

lokasi

nyeri,

karakteristik, durasi,

karakteristik

nyer,

frekuensi, kualitas dan

durasi

nyeri,

faktor presipitasi

frekuensi

nyeri,

51

yang actual atau potensial, pasien teratasi dengan atau

digambarkan

dengan

 Observasi reaksi nonverbal

kualitas dan faktor presipitasi

dari ketidaknyamanan

istilah seperti (International  Memperlihatkan

 Evaluasi pengalaman nyeri

nyeri

yang dirasakan

Association forbthe study of

pengendalian nyeri yang

pain) ; awitan yang tiba-tiba

dibuktikan oleh indikator

atau

dengan

sebagai berikut:

Mandiri

ketidaknyamanan

sampai

- Sering mengalami

 Ajarkan tentang teknik non

yang dirasakan klien

perlahan

intensitas

ringan

berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diantisipasi

atau

dapat

diramalkan dan durasinya kurang dari 6 bulan.

awitan nyeri - Sering menggunakan tindakan pencegahan



Mengucapkan secara verbal atau melaporkan nyeri dengan isyarat



Posisi untuk

Untuk

mengetahui

reaksi nonverbal dari

-

farmakologi (distraksi,

Untuk

mengetahui

tehnik relaksasi, imajinasi

pengalaman

nyeri

terbimbing, dll)

klien dimasa lampau

- Sering melaporkan nyeri dapat dikendalikan  Menunjukkan tingkat nyeri

Batasan Karakteristik :

-

masa lampau

HE  Informasikan kepada pasien

yang dibuktikan dengan

tenang prosedur yang dapat

indikator sebagai berikut:

meningkatkan nyeri dan

- Tidak ada ekspresi nyeri pada wajah - Tidak ada gelisah atau ketegangan otot

Mandiri

tawarkan strategi koping yang disarankan  Intstruksikan pasien untuk

-

Untuk

mengurangi

nyeri yang dirasakan

HE -

Agar

klien

dapat

mencegah meningkatnya nyeri

52

mengindari nyeri 

Perubahan tonus otot (dengan rentang dari lemas tidak bertenaga rentang dari lemas tidak



nyeri - Tidak merintih dan

menginformasikan kepada

dengan

perawat jika peredaan nyeri

menggunakan

tida dapat dicapai

strategi koping

menangis - Tidak gelisah

 Tentukan pilihan analgesik

tindakan

kaku)

beratnya nyeri  Tentukan analgesik pilihan,

(misalnya,diaphoresi

rute pemberian, dan dosis

s,perubahan tekanan

optimal

terapi

keperawatan

Kolaborasi -

Agar analgesik (obat penahan sakit) dapat

 Berikan analgesik tepat

diberikan sesuai tipe

nadi ; dilatasi pupil).

waktu terutama saat nyeri

dan beratnya nyeri

Perubahan selera

hebat

sehingga nyeri dapat teratasi.

makan 

mengetahui

tercapainya

tergantung tipe dan

Respon autonomic

Untuk

Kolaborasi

bertenaga sampai

dara,pernapasan atau 

- Tidak ada durasi episode

Perilaku distraksi

-

Agar analgesik (obat

(misalnya,mondar-

penahan sakit) dapat

mandir,mencari

diberikan sesuai rute pemberian dan dosis

53

orang dan/atau

sehingga nyeri dapat

aktivitas

teratasi.

lain,aktivitas 

-

Agar analgesik (obat

berulang).

penahan sakit) dapat

Perilaku ekspresif

diberikan sesuai rute

(misalnya

pemberian dan dosis

gelisah,merintih,men

sehingga nyeri dapat

angis, kewaspadaan

teratasi.

berlebian,peka

-

Agar analgesik (obat

terhadap

penahan sakit) dapat

rangsang,dan

diberikan saat nyeri

menghela napas

hebat sehingga nyeri

panjang).

dapat berkurang



Wajah topeng (nyeri)



Bukti nyeri yang dapat diamati



Gangguan tidur (mata terlihat

54

kuyu,gerakan tidak teratur atau tidk menentu,dan menyeringai).

Faktor yang Berhubungan : Agens-agens

penyebab

cedera (misalnya, biologis, kimia, fisik, dan psikologis) 5.

Ansietas (00146) Domain:

9

koping

NOC atau -

toleransi terhadap stress

-

Kelas: 2 respon koping Definisi:

perasaan

tidak -

Tingkat ansietas

NIC

Observasi -

Observasi: Kaji

ansietas

tingkat kecemasan pasien

diukur

dengan

Konsentrasi

termasuk reaksi fisik

HARS

(Hamilton

-

Gali

dokumentasi

mengetahui

Pengendalian diri terhadap -

Koping

dan

Untuk

bersama

pasien

nyaman atau kekhawatiran

tentang

yang sangat disertai respons Criteria hasil:

berhasil dan tidak berhasil

autonom (sumber sering kali

menurunkan ansietas

Setelah dilakukan tindakan

tehnik

kecemasan

yang

Anxiety

yang

Rating

Scale) -

Agar perawat dapat melanjutkan

55

tidak

spesifik

diketahui

atau

oleh

perasaan

tidak keperawatan selama … x24

individu), jam, masalah nyeri akut

takut

yang pasien teratasi dengan

tindakan Mandiri:

keperawatan

-

Bimbingan antisipasi

selanjutnya

disebabkan oleh antisipasi -

Ansietas berkurang

-

Penurunan ansietas

terhadap bahaya

Menunjukkan

-

Tehnik menenangkan diri

-

pengendalian diri terhadap -

Peningkatan koping

ansietas

Dukungan emosi

-

Mandiri -

Batasan karakteristik: Gelisah

HE:

-

resah

-

-

Peningkatan ketegangan

-

Kesedihan

yang

sebelum

Informasikan

tentang

gejala ansietas

dapat

-

Ajarkan anggota keluarga bagaimana

membedakan

Nyeri mendalam

antara serangan panic dan gejala penyakit fisik

terjadi

sesuatu -

mendalam

Untuk

mengurangi

ansietas klien -

Untuk menenangkan diri terdahap ansietas

-

Faktor yang berhubungan:

Untuk mengurangi rasa ansietas pada

-

Stress

Kolaborasi:

-

Kebutuhan yang tidak

-

terpenuhi

klien

mempersiapkan diri

-

-

Agar

Berikan

klien obat

untuk

menurunkan ansietas jika

-

Untuk

mendukung

klien

mengurangi

56

-

Terpajan toksin

perlu. -

Beri

ansietas dorongan

kepada

dirasakan

pasien

untuk

mengungkapkan

secara HE

verbal pikiran dan perasaan

yang

-

Agar

klien

/

keluarga klien dapat mengetahui

gejala

nyeri -

Agar keluarga klien dapat

membedakan

serangan panik dan gejala penyakit fisik

Kolaborasi -

untuk

mengurangi

ansietas

yang

dirasakan klien -

agar perawat dapat mengetahui

57

tercapainya tindakan keperawatan

yang

dilakukan agar dapat melakukan tindakan keperawatan selanjutnya 6.

Hipertermi (00007)

NOC

NIC

Observasi

Domain: 11 keamanan atau -

Termoregulasi

Observasi:

perlindungan

Tanda-tanda vital

-

Pantau hidrasi

-

Pantau

-

Kelas: 5 proses defensive

tubuh diatas rentang normal

Batasan karakteristik: -

-

tekanan

darah,

denyut nadi, dan frekuensi

Kriteria Hasil: Definisi: peningkatan suhu

-

Setelah dilakukan tindakan

pernafasan

keperawatan selama … x24

untuk

mengetahui

pengeluaran

cairan

saat

terjadi

hipertermi -

untuk

mengetahui

ketidaknormalan

jam, masalah nyeri akut

Mandiri:

tekanan

pasien teratasi dengan

-

Terapi demam : Kompres

denyut

dengan air hangat

frekuensi pernapasan

Regulasi suhu

saat

Gunakan mandi air hangat

hipertermi

Suhu tubuh meningkat diatas rentang normal

-

Suhu tetap normal

-

Teraba hangat

-

Keseimbangan cairan tetap -

darah, nadi

dan

terjadi

stabil

58

Faktor yang berhubungan: -

Dehidrasi

-

Penyakit atau trauma

-

Peningkatan

-

Komplikasi seperti kejang HE: dapat dihindari

-

Mandiri

Ajarkan

pasien

atau

-

keluarga dalam mengukur laju

mengenali

-

secara

mengurangi

hipertermi klien

suhu untuk mencegah dan

metabolisme

untuk

-

dini

agar

klien

mempertahankan

hipertermia

suhu

Ajarkan indikasi keletihan

batas normal

akibat panas dan tindak kedaruratan

dapat

-

yang

klien

untuk

mengurangi

gangguan

diperlukan

pada

suhu

tubuh klien HE -

Kolaborasi: -

Berikan

obat

antipiretik

agar

klien

mencegah

jika perlu

dapat dan

mengenali hipertermia

secara

komprehensif -

agar

tidak

keletihan

terjadi akibat

panas dan tindakan

59

kedaruratan

saat

terjadi hipertermia

Kolaborasi -

untuk

mengurangi

suhu tubuh klien 7.

Ganguan pola tidur (00095)

NOC

NIC

Observasi:

Domain: 4 aktivitas/istirahat

-

reduksi ansietas

Observasi:

- Untuk mengoptimalkan

Kelas: 1 tidur/istirahat

-

tingkat kenyamanan

-

-

tingkat nyeri

Definisi: gangguan kualitas -

istirahat: tingkat dan pola

dan kuantitas waktu tidur -

tidur: tingkat dan pola

minum dengan waktu tidur -

akibat faktor eksternal

Batasan karakteristik: Perubahan

pola

Setelah dilakukan tindakan

atau

catat - Untuk mengetahui berapa

kebutuhan

tidur

pasien lama kebutuhan tidur pasien

jam, masalah nyeri akut

-

Ketidak puasan tidur

pasien teratasi dengan

-

menyatakan tidak merasa -

jumlah jam tidur dalam

setiap harinya

Mandiri: -

tidur keperawatan selama … x24

normal

sesuai kebetuhan

monitor

setiap hari dan jam criteria hasil:

-

monitor waktu makan dan kebutuhan tidur pasien

determinasi medikasi

efek-efek Mandiri: terhadap

pola -

tidur -

fasilitasi

untuk

mempertahankan aktivitas

Untuk

mencegah

terjadinya

gangguan

pola tidur karena efek medikasi.

60

cukup istirahat

batas normal 6 sampai 8 jam perhari

faktor yang berhubungan: -

gangguan

-

kurang control tidur

-

-

sebelum tidur

-

Untuk timbulnya

HE:

merangsang keletihan

pola tidur, kualitas dalam -

Jelaskan pentingnya tidur

sehingga pasien lebih

batas normal

yang adekuat

mudah dalam istirahat.

perasaan

segar

sesudah -

tidur atau istirahat

Instruksikan untuk monitor HE: tidur pasien

-

Agar pasien memahami

Kolaborasi:

pentingnya

-

tidur.

Kolaborasi pemberian obat tidur

-

-

Diskusikan dengan pasien

kebutuhan

Agar pola tidur pasien terjaga dan teratur.

dan keluarga tentang tehnik tidur pasien

Kolaborasi: -

Untuk membantu pasien mencapai kebutuhan tidurnya.

-

Untuk membantu pasien menemukan cara mudah untuk tidur.

-

61

8.

Resiko infeksi (00004) Domain:

NOC 11 -

NIC

Observasi

Status imun

Observasi:

-Untuk mencegah terjadinya

Keperahan infeksi

-

keamanan/perlindungan

-

Kelas: 1 infeksi

criteria hasil:

Definisi: beresiko terhadap invasi organisme patogen

infeksi

Setelah dilakukan tindakan

jam, masalah nyeri akut

terhadap infeksi

mencegah terjadinya infeksi

Pantau hasil laboratorium

-Untuk mengetahui

-

Penekanan sistem imun

-

-

Penngkatan

pemajanan

-

patogen

-

Terbebas dari tanda dan gejala infeksi

-

kerentanan terjadinya infeksi dan

Faktor resiko infeksi akan Mandiri: hilang

tehadap -

Kerusakan jaringan

Kaji faktor yang dapat yang dapat memicu meningkatkan

pasien teratasi dengan

-

-

-Untuk mengetahui faktor

keperawatan selama … x24

Faktor resiko:

lingkungan

Pantau tanda dan gejala infeksi

-

Mengindikasikan

status -

gastrointestinal,

penyebab terjadinya infeksi

Perawatan

sirkulasi: Mandiri :

insufisiensi arteri

-Untuk mengembalikan

Skrining kesehatan

sirkulasi pembuluh darah

Pengendalian infeksi

arteri dapat menutup dan membuka dengan normal.

HE:

pernafasan,

genitourinari, -

instruksikan untuk menjaga - Untuk mengetahui keadaan

dan

dalam

higiene

imun

batas

normal.

personal

untuk normal atau abnormal organ

melindungi tubuh terhadap tubuh maupun fungsinya infeksi -

bantu

-Untuk menyembuhkan pasien/keluarga infeksi

62

untuk faktor

mengidentifikasi lingkungan

hidup

atau

kesehatan

gaya HE : praktek yang

meingkatkan resiko infeksi -

untuk melindungi tubuh terhadap infeksi

-

Agar

pasien

dan

pengendalian

infeksi:

keluarga

ajarkan

dengan

faktor-faktor yang dapat

pasien

mengetahui

keluarga mengenai tanda

mempengaruhi

dan gejala infeksi serta

infeksi.

kapan harus melakukannya -

Agar pasien mengetahui

kepenyedia

tanda dan gejala infeksi

layanan

resiko

kesehatan Kolaborasi: -

Kolaborasi: -

-

Untuk mengurangi dan

Berikan terapi antibiotik

membunuh bakteri atau

bila diperlukan

virus penyebab infeksi.

Melakukan

tindakan -

operasi apabila diperlukan

Untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi pada pasien.

63

3.5 Hepatitis 3.5.1 Pengertian Hepatitis adalah suatu peradangan pada hati yang terjadi karena toksin seperti; kimia atau obat atau agen penyakit infeksi (Asuhan keperawatan pada anak, 2002; 131) Hepatitis adalah keadaan radang/cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus, obat atau alkohol (Ptofisiologi untuk keperawatan, 2000;145). Hepatitis virus akut meupakan penyakit infeksi yang penyebarannya luas dalam tubuh walaupun efek yang menyolok terjadi pada hati dgn memberikan gambaran klinis yang mirip yang dapat berfariasi dari keadaan subklinis tanpa gejala hingga keadaan infeksi akut yang fatal. (Sylvia A. price, 1995; 439). Hepatitis adalah inflamasi hati. Inflamasi ini bisa disebabkan oleh virus, bakteri atau substansi toxic. (luckmann dan sorense. 1987; 1353U). Hepatitis merupakan infeksi yang menyerang bagian hati dengan menunjukan berbagai perbedaan masa inkubasi tergantung dari unsure virus hepatitis yang menyerang. (Barbara. C. long. 1996, perawatan medical bedah: 119).

3.5.2 Etiologi dan Faktor Resiko Penyebaran paradangan hati, ataua yang lebih dikenal dengan hepatitis, penyebabnya bisa noninfeksius atauinfeksius (katak 41-13). Hepatitis akut berlangsung kurang dari 6 bulan dan dapat sembuh dengan sempurna disertai kembalinya fungsi hati normal, atau dapat memburuk menjadi hepatitis kronis, kemudian menjadi sirosis, dan kemungkinan menjadi gagal hati. Hepatitis kronis adalaha proses peradangan yang berlangsung lebih dari 6 bulan dan dapat juga memburuk menjadi sirosis dankemungkinan terjadi gagal hati. 1. Hepatitis A a. Virus hepatitis A (HAV) terdiri dari RNA berbentuk bulat tidak berselubung berukuran 27 nm. b. Ditularkan melalui jalur fekal – oral, sanitasi yang jelek, kontak antara manusia, dibawah oleh air dan makanan. c. Masa inkubasinya 15 – 49 hari dengan rata – rata 30 hari. d. Infeksi ini mudah terjadi didalam lingkungan dengan higiene dan sanitasi yang buruk dengan penduduk yang sangat padat. 64

2. Hepatitis B (HBV) a. Virus hepatitis B (HBV) merupakan virus yang bercangkang ganda yang memiliki ukuran 42 nm. b. Ditularkan melalui parenteral atau lewat dengan karier atau penderita infeksi akut, kontak seksual dan fekal-oral. Penularan perinatal dari ibu kepada bayinya. c. Masa inkubasi 26 – 160 hari dengan rata- rata 70 – 80 hari. d. Faktor resiko bagi para dokter bedah, pekerja laboratorium, dokter gigi, perawat dan terapis respiratorik, staf dan pasien dalam unit hemodialisis serta onkologi laki-laki biseksual serta homoseksual yang aktif dalam hubungan seksual dan para pemaki obat-obat IV juga beresiko. 3. Hepatitis C (HCV) a. Virus hepatitis C (HCV) merupakan virus RNA kecil, terbungkus lemak yang diameternya 30 – 60 nm. b. Ditularkan melalui jalur parenteral dan kemungkinan juga disebabkan juga oleh kontak seksual. c. Masa inkubasi virus ini 15 – 60 hari dengan rata – 50 hari. d. Faktor resiko hampir sama dengan hepetitis B 4. Hepatitis D (HDV) a. Virus hepatitis D (HDV) merupakan virus RNA berukuran 35 nm. b. Penularannya terutama melalui serum dan menyerang orang yang memiliki kebiasaan memakai obat terlarang dan penderita hemofilia. c. Masa inkubasi dari virus ini 21 – 140 hari dengan rata – rata 35 hari. d. Faktor resiko hepatitis D hampir sama dengan hepatitis B. 5. Hepatitis E (HEV) a. Virus hepatitis E (HEV) merupakan virus RNA kecil yang diameternya + 32 – 36 nm. b. Penularan virus ini melalui jalur fekal-oral, kontak antara manusia dimungkinkan meskipun resikonya rendah. c. Masa inkubasi 15 – 65 hari dengan rata – rata 42 hari. d. Faktor resiko perjalanan kenegara dengan insiden tinggi hepatitis E dan makan makanan, minum minuman yang terkontaminasi. 65

3.5.3 Insiden 1. Hepatitis A Penyakit endemik dibeberapa bagian dunia, khususnya area dengan sanitasi yang buruk. Walaupun epidemik juga terjadi pada negara – negara dengan sanitasi baik. 2. Hepatitis B Ditemukan dibeberapa negara insidennya akan meningkat pada area dengan populasi padat dengan tingkat kesehatan yang buruk. 3. Hepatitis C 90 % kasus terjadi akibat post transpusi dan banyak kasus sporadik, 4 % kasus hepatitis disebabkan oleh hepatitis virus dan 50 % terjadi akibat penggunaan obat secara intra vena 4. Hepatitis D Selalu ditemukan dengan hepatitis B, delta agent adalah indemik pada beberapa area seperti negara mediterania, dimana lebih dari 80 % karier hepatitis B dapat menyebabkan infeksi 5. Hepatitis E Adalah RNA virus yang berbeda dari hepatitis A dan eterovirus biasanya terjadi di India, Birma, Afganistan, Alberia, dan Meksiko.

3.5.4 Manifestasi Klinis Menifestasi klinik dari semua jenis hepatitis virus secara umum sama. Manifestasi klinik dapat dibedakan berdasarkan stadium. Adapun manifestasi dari masing – masing stadium adalah sebagai berikut. 1. Stadium praicterik berlangsung selama 4 – 7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, muntah, demam, nyeri pada otot dan nyeri diperut kanan atas urin menjadi lebih coklat. 2. Stadium icterik berlangsung selama 3 – 6 minggu. Icterus mula –mula terlihat pada sklera, kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan – keluhan berkurang, tetapi klien masih lemah, anoreksia dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.

66

3. Stadium pascaikterik (rekonvalesensi). Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi. Penyebuhan pada anak – anak menjadi lebih cepat pada orang dewasa, yaitu pada akhir bulan ke 2, karena penyebab yang biasanya berbeda

3.5.5 Komplikasi Komplikasi hepatitis B virus yang paling sering di jumpai adalah perjalanan penyakitnya yang memanjang hingga 4-8 bulan. Keadaan ini dikenal dgn hepatitis kronis akan tetapi keadaan ini akan sembuh kembali sekitar 5% dari pasien hepatitis kronis akan mengalami kekambuhan setelah serangan awal, kekambuhan biasanya dihubungkan dgn minum alcohol atau aktifitas fisik yang berlebihan.

3.5.6 Patofisiologi Untuk memperbaiki keadaan pasien, penting bahwa perawat keperawatan kritis memiliki pengetahuan dasar yang mendalam tentang patofisiologi yang mendasari, pengkajian dan penatalaksanaan penyakit hati kronik. Hepatosit, sel hati yang memiliki fungsi metabolik, memiliki banyak fungsi yang paling penting dari sel dari sel hepatosit adalah metabolisme zat gizi (mis, glukosa, protein, lipid dan vitamin) dan berfungsi untuk detoksifikasi obat-obatan, alcohol, ammonia, racun, dan hormone. Selain itu, hepatosit berfungsi untuk membentuk faktor pembkuan darah, konjugasi dan sekresi bilirubin, dan sintesis garam empedu. Fungsi hati yang abnormal biasanya tidak terlihat kecuali terjadi gangguan akut yang signifikan atau penyakit hati kronis berkembang dengan cepat. Gagal hati terjadi kehilangan hepatosit sebanyak 60% dan gejala biasanya terdeteksi setelah 75% atau lebih hepatosit cedera atau mati. Pemeriksaan fungsi hati dan evalusi dimulai dengan riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik lengkap. Interpretasi enzim serum hati, fungsi sintesis, dan pemeriksaan kolestasis (atau fungsi ekskretorik) penting dipahami oleh perawat keperawatan kritis dan akan dibahas lebih lanjut pada bab ini. Penyakit hati akut, khususnya yang disebabkan oleh infeksi virus atau agens kimia, terjadi secara mendadak dan sembuh, menjadi kronis, atau menyebabkan sirosis, terutama penyakit hati kronis menyebabkan tidak diketahui, merupakan penyebab kematian terbanyak ke-12 di Amerika Serikat. Proses penyakit didalam hati dapat memengaruhi hepatosit, pembuluh darah, dan sel Kupffer, yang berfungsi untuk pengambilan dan kemudian 67

degradasi benda asing dan benda yang berpotensi membahayakan tubuh.jika dera yang terjadi ringan dan dapat sembuh, hepatosit dapat melakukan regenerasi dan fungsi hati kembali normal. Namun jika cedera yang terjadi lebih berat dan menetap, regenerasimungkin kurang sempurna atau proses penyembuhan dapat menyebabkan fibrosis. Perupahan fibrostik merubah bentuk hati dan dapat menyebabkan sirosis dan gangguan aliran darah yang melalui hati. Cedera hati akut dapat berkembang menjadi gagal hati fulminan, yang menyebabkan terjadinya

ensefalopati

hepatic

adalah

keadaan

fungsi

mental

abnormal

akibat

ketidakmampuan hati membuang ammonia dan racun yang lain dari dalam darah. Jika fungsi hati tidak normal kembali dan transplantasi hati tidak dapat dilakukan , gagal hati fulminan dapat berkembang menjadi edema selebral, koma, dan kematian akibat berniasi otak.

3.5.7 Pemeriksaan Diagnostik 1. ASR (SGOT) / ALT (SGPT) Awalnya meningkat. Dapat meningkat 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun. SGOT/SGPT merupakan enzim – enzim intra seluler yang terutama berada dijantung, hati dan jaringan skelet, terlepas dari jaringan yang rusak, meningkat pada kerusakan sel hati 2. Darah Lengkap (DL) SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup SDM (gangguan enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan. 3. Leukopenia Trombositopenia mungkin ada (splenomegali) 4. Diferensia Darah Lengkap Leukositosis, monositosis, limfosit, atipikal dan sel plasma. 5. Alkali phosfatase Agaknya meningkat (kecuali ada kolestasis berat) 6. Feses Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati) 7. Albumin Serum Menurn, hal ini disebabkan karena sebagian besar protein serum disintesis oleh hati dan karena itu kadarnya menurun pada berbagai gangguan hati. 68

8. Gula Darah Hiperglikemia transien / hipeglikemia (gangguan fungsi hati). 9. Anti HAVIgM Positif pada tipe A 10. HbsAG Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A) 11. Masa Protrombin Mungkin memanjang (disfungsi hati), akibat kerusakan sel hati atau berkurang. Meningkat absorbsi vitamin K yang penting untuk sintesis protombin. 12. Bilirubin serum Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk, mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler) 13. Tes Eksresi BSP (Bromsulfoptalein) Kadar darah meningkat. BPS dibersihkan dari darah, disimpan dan dikonyugasi dan diekskresi. Adanya gangguan dalam satu proses ini menyebabkan kenaikan retensi BSP. 14. Biopsi Hati Menunjukkan diagnosis dan luas nekrosis 15. Scan Hati Membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkin hati. 16. Urinalisa 17. Peningkatan kadar bilirubin. Gangguan eksresi bilirubin mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Karena bilirubin terkonjugasi larut dalam air, ia dsekresi dalam urin menimbulkan bilirubinuria.

3.5.8 Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan primer hepatitis akut dari berbagai jenis utamanya dalah terapi suportif. Upaya yang dilakukan berupa memberikan istirahat dan asupan nutrisi yang adekuat dan mencegah cedera hati lebih lanjut engan cara menyadari obat-obatan dan zat hepatotoksik. Hospitalisasi jarang dibutuhkan terapi diperlukan pada kasus penyakit yang

69

dipersulit oleh ketidakstabilan hemodinamik, kegagalan mempertahankan asupan nutrisi dan cairan yang adekuat, ensefalopati, koagulopati darah, dan gagal ginjal. Pada kondisi ketidakstabilan hemodinamik, sangat penting untuk melakukan pemantauan tekanan darah, frekuensi jantung, distritmia jantung, dan haluaran penting untuk menghindari cairan ringer laktat karena ketidak mampuan hati yang rusak untuk metabolisme laktat, yang dapat memicu atau memburuk asidosis metabolic. Pemantauan sering terhadap enzim hati dan fungsisintesis hati akan diiistruksikan untuk mengevaluasi perburukan penyakit, malnutrisi, mual dan muntah membutuhkan terapi . Perawat Keperawatan Kritis harus membantu terapi atau prosedur invansif, seperti pemasangan slang Sengsraken-Blakemore untuk mengendalikan pendarahan varises esophagus, parasentesis untuk asistes, dan biopi hati. Pada saat terjadi kelebihan beban volume cairan, diuretic, albumin, dan suplemen proteindapat diberikan. Pengukuran yang akurat asupan dan haluaran harian, berat badan harian, dan lingkar abdomen merupakan sinyal bagi Perawat Keperawatan Kritis untuk mewaspadai perpindahan volume cairan kemungkinan masaah hemodinamik dan respirasi. Mempertahankan keadekuatan nutrisi merupakan prioritas. Makan porsi kecil tetapi sering dan obat anti emtik diberikan sesuai kebutuhan. Diet tinggi-kalori dan rendah protein dianjurkan untuk mencegah komplikasi akibat gangguan metabolisme protein dan ammonia yang berhubungan dengan ensefalopati hepatik akut. Sayangnya, diet rendah-protein hanya digunakan untuk jangka pendek karena keparahan penyakit pasien sebenernya telah meningkatkan kebutuhan protein untuk membentuk dan mempertahankan massa otot dan untukmembantuproses penyembuhan dan perbaikan. Pemberian makanan lewat IV diperlukan hanya jika asupan oral mengalami gangguan karena mual dan muntah hebat. Pasien yang mengalami keletihan berat membutuhkan istirahat yang sering dan pengaturan aktivitas. Karena pasien berisiko mengalami koagulopati, Perawat Keperawatan Kritis harus membantu pendarahan gusi, epistaksis, petekie, hematemesis, hematuria, dan melena. Vitamin K adapat diresepkan untuk membantu menguranggi dampak kecenderungan pendarahan dan PT dapat diinstruksikan untuk membantu efikasi terapi. Dianjurkan mmenghindari alcohol, narkotika, barbitirat, dan obat-obatan yang dimetabolisme oleh hati. Dianjurkan untuk mengamati dan mendokumentasikan secara 70

cermat respons pasien (mis., status mental, tingkat kesadaran.) terhadap regimen pengobatan dan terapi akibat ketidakmampuan hati memetabolisme atau mendetoksifikasi berbagai makanan, obat-obatan, dan racun, Perawat Keperawatan Kritis dapat diminta member obat metronidazol untuk mengobati ensefalopati hepatic. Laktulosa adalah suatu laktasif yang mengasamkan kolon untuk mencegah absorsi ammonia. Dosis laktulosa dititrasi sehingga pasien mendapatkan pelunak feses dua sampai tiga kali setiap hari tanpa diare, neomisin dan metrenida zol bekerja sebagai antibiotik untuk membersikan bakteri kolon pembentuk ammonia. Jika terjadi pruritus hebat akibat ikterus, agens sekuestrasi garam empedu(mis., kolestiramin), emolien topical, atau keduanya dapat digunakan untuk membantu mengurangi gejala ini. Sarung tangan mungkin perlu digunakan untuk mencegah penggarukan yang berlebihan dan kerusakan kuliy lanjutan pada pasien yang bingung. Penyuluhan pasien untuk pasien hepatitis terdiri atas tindakan untuk mencegah infeksi dan penularan, pembatasan diet dan menghindari alcohol, dan perlu perawatan lanjutan. Pasien dianjurkan untuk memantau toleransi aktivitas dan keletihan. Jika tanda dan gejala menetap dan enzim hati tetap tinggi lebih dari 6 bulan, penyakit pasien akan memburuk menjadi kronis, hal ini lebih sering terjadi pada infeksi HBV dan HCV dan dipastikan dengan biopsy hati.

3.5.9 Diet untuk Pasien Hepatitis Beberapa pantangan yang harus dihindari antara lain : 

Semua makanan yang mengandung lemak tinggi seperti daging kambing dan babi, jerohan, otak, es krim, susu full cream, keju, mentega/ margarine, minyak serta makanan bersantan seperti gulai, kare, atau gudeg.



Makanan kaleng seperti sarden dan korned.



Kue atau camilan berlemak, seperti kue tart, gorengan, fast food.



Bahan makanan yang menimbulkan gas, seperti ubi, kacang merah, kool, sawi, lobak, mentimun, durian, nangka.



Bumbu yang merangsang, seperti cabe, bawang, merica, cuka, jahe.



Minuman yang mengandung alkohol dan soda.

Sedangkan bahan makanan yang baik dikonsumsi penderita hepatitis : 71



Sumber hidrat arang seperti nasi, havermout, roti putih, umbi-umbian.



Sumber protein antara lain telur, ikan, daging, ayam, tempe, tahu, kacang hijau, sayuran dan buah-buahan yang tidak menimbulkan gas.



Makanan yang mengandung hidrat arang tinggi dan mudah dicerna seperti gula-gula, sari buah, selai, sirup, manisan, dan madu.

72

3.6

Asuhan Keperawatan dengan Hepatitis

3.6.1 Pengkajian 1. Biodata a. Identitas a) Identitas klien meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, No register, dan dignosa medis. b) Identitas orang tua yang terdiri dari : Nama Ayah dan Ibu, agama, alamat, pekerjaan, penghasilan, umur, dan pendidikan terakhir. c) Identitas saudara kandung meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, dan hubungan dengan klien. 2. Keluhan utama Keluhan anak sehingga anak membutuhkan perawatan. Keluhan dapat berupa nafsu makan menurun, muntah, lemah, sakit kepala, batuk, sakit perut kanan atas, demam dan kuning. 3. Riwayat kesehatan a. Riwayat Kesehatan Sekarang Gejala awal biasanya sakit kepala, lemah anoreksia, mual muntah, demam, nyeri perut kanan atas. b. Riwayat Kesehatan Masa lalu Riwayat kesehatan masa lalu berkaitan dengan penyakit yang pernah diderita sebelumnya, kecelakaan yang pernah dialami termasuk keracunan, prosedur operasi dan perawatan rumah sakit serta perkembangan anak dibanding dengan saudarasaudaranya. c. Riwayat kesehatan keluarga Berkaitan erat dengan penyakit keturunan, riwayat penyakit menular khususnya berkaitan dengan penyakit pencernaan. d. Data dasar tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan/gangguan hati. 4. Pola pengkajian Fungsional a. Aktivitas 

Kelemahan



Kelelahan 73



Malaise

b. Sirkulasi 

Bradikardi ( hiperbilirubin berat )



Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa

c. Eliminasi 

Urine gelap



Diare feses warna tanah liat

d. Makanan dan Cairan 

Anoreksia



Berat badan menurun



Mual dan muntah



Peningkatan oedema



Asites

e. Neurosensori 

Peka terhadap rangsang



Cenderung tidur



Letargi



Asteriksis

f. Nyeri / Kenyamanan 

Kram abdomen



Nyeri tekan pada kuadran kanan



Mialgia



Atralgia



Sakit kepala



Gatal ( pruritus )

7. Keamanan 

Demam



Urtikaria



Lesi makulopopuler



Eritema



Splenomegali 74



Pembesaran nodus servikal posterior

8. Seksualitas 

Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan

3.6.2 Diagnosa Keperawatan Beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada penderita hepatitis : 1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah. 2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta. 3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar. 4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis 5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu. 6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen, asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi secret. 7. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus

3.6.3 Rencana Asuhan Keperawatan 1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah. Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam nutrisi pasien terpennuhi. Kriteria hasil : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi. Intervensi : 75

1. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan R/ keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan 2. Awasi pemasukan diet/jumlah kalori, tawarkan makan sedikit tapi sering dan tawarkan pagi paling sering R/ adanya pembesaran hepar dapat menekan saluran gastro intestinal dan menurunkan kapasitasnya. 3. Pertahankan hygiene mulut yang baik sebelum makan dan sesudah makan R/ akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah baru dan rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan. 4. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak R/ menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan 5. Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak R/ glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap/dimetabolisme sehingga akan membebani hepar. 2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta. Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam nyeri pasien berkurang atau teratasi. Kriteria hasil : Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya) Intervensi : 1. Kolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang dapat digunakan untuk intensitas nyeri R/ nyeri yang berhubungan dengan hepatitis sangat tidak nyaman, oleh karena terdapat peregangan secara kapsula hati, melalui pendekatan kepada individu yang mengalami perubahan kenyamanan nyeri diharapkan lebih efektif mengurangi nyeri. 2. Tunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap nyeri 

Akui adanya nyeri



Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan klien tentang nyerinya

R/ klienlah yang harus mencoba meyakinkan pemberi pelayanan kesehatan bahwa ia mengalami nyeri 76

3. Berikan informasi akurat dan 

Jelaskan penyebab nyeri



Tunjukkan berapa lama nyeri akan berakhir, bila diketahui

R/ klien yang disiapkan untuk mengalami nyeri melalui penjelasan nyeri yang sesungguhnya akan dirasakan (cenderung lebih tenang dibanding klien yang penjelasan kurang/tidak terdapat penjelasan) 4. Bahas dengan dokter penggunaan analgetik yang tak mengandung efek hepatotoksi R/ kemungkinan nyeri sudah tak bisa dibatasi dengan teknik untuk mengurangi nyeri. 3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar. Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam suhu badan pasien normal Kriteria hasil : Tidak terjadi peningkatan suhu Intervensi : 1. Monitor tanda vital : suhu badan R/ sebagai indikator untuk mengetahui status hypertermi 2. Ajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat (sedikitnya 2000 l/hari) untuk mencegah dehidrasi, misalnya sari buah 2,5-3 liter/hari. R/ dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi 3. Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur R/ menghambat pusat simpatis di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan 4. Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat R/ kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur. Juga akan mengurangi kenyamanan klien, mencegah timbulnya ruam kulit. 4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam keletihan pasien berkurang Kriteria hasil : tidak terjadi keletihan 77

Intervensi : 1. Jelaskan sebab-sebab keletihan individu R/ dengan penjelasan sebab-sebab keletihan maka keadaan klien cenderung lebih tenang 2. Sarankan klien untuk tirah baring R/ tirah baring akan meminimalkan energi yang dikeluarkan sehingga metabolisme dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit. 3. Bantu individu untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan, kemampuan-kemampuan dan minat-minat R/ memungkinkan klien dapat memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang sangat penting dan meminimalkan pengeluaran energi untuk kegiatan yang kurang penting 4. Analisa bersama-sama tingkat keletihan selama 24 jam meliputi waktu puncak energi, waktu kelelahan, aktivitas yang berhubungan dengan keletihan R/ keletihan dapat segera diminimalkan dengan mengurangi kegiatan yang dapat menimbulkan keletihan 5. Bantu untuk belajar tentang keterampilan koping yang efektif (bersikap asertif, teknik relaksasi) R/ untuk mengurangi keletihan baik fisik maupun psikologis 5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu. Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam tidak terjadi kerusakan intergritas kulit dan jaringan. Kriteria hasil : Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus. Intervensi : 1. Pertahankan kebersihan tanpa menyebabkan kulit kering 

Sering mandi dengan menggunakan air dingin dan sabun ringan (kadtril, lanolin)



Keringkan kulit, jaringan digosok

R/ kekeringan meningkatkan sensitifitas kulit dengan merangsang ujung syaraf 2. Cegah penghangatan yang berlebihan dengan pertahankan suhu ruangan dingin dan kelembaban rendah, hindari pakaian terlalu tebal 78

R/ penghangatan yang berlebih menambah pruritus dengan meningkatkan sensitivitas melalui vasodilatasi 3. Anjurkan tidak menggaruk, instruksikan klien untuk memberikan tekanan kuat pada area pruritus untuk tujuan menggaruk R/ penggantian merangsang pelepasan hidtamin, menghasilkan lebih banyak pruritus 4. Pertahankan kelembaban ruangan pada 30%-40% dan dingin R/ pendinginan akan menurunkan vasodilatasi dan kelembaban kekeringan 6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen, asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret. Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam pasien tidak mengalami gangguan pola nafas. Kriteria hasil : Pola nafas adekuat Intervensi : 1. Awasi frekwensi , kedalaman dan upaya pernafasan R/ pernafasan dangkal/cepat kemungkinan terdapat hipoksia atau akumulasi cairan dalam abdomen 2. Auskultasi bunyi nafas tambahan R/ kemungkinan menunjukkan adanya akumulasi cairan 3. Berikan posisi semi fowler R/ memudahkan pernafasan denagn menurunkan tekanan pada diafragma dan meminimalkan ukuran sekret 4. Berikan latihan nafas dalam dan batuk efektif R/ membantu ekspansi paru dalam memobilisasi lemak 5. Berikan oksigen sesuai kebutuhan R/ mungkin perlu untuk mencegah hipoksia 7. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 24 jam tidak terjadi infeksi pada pasien. Kriteria hasil : Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi. Intervensi : 79

1. Gunakan kewaspadaan umum terhadap substansi tubuh yang tepat untuk menangani semua cairan tubuh 

Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan semua klien atau spesimen



Gunakan sarung tangan untuk kontak dengan darah dan cairan tubuh



Tempatkan spuit yang telah digunakan dengan segera pada wadah yang tepat, jangan menutup kembali atau memanipulasi jarum dengan cara apapun

R/ pencegahan tersebut dapat memutuskan metode transmisi virus hepatitis 2. Gunakan teknik pembuangan sampah infeksius, linen dan cairan tubuh dengan tepat untuk membersihkan peralatan-peralatan dan permukaan yang terkontaminasi R/ teknik ini membantu melindungi orang lain dari kontak dengan materi infeksius dan mencegah transmisi penyakit 3. Jelaskan pentingnya mencuci tangan dengan sering pada klien, keluarga dan pengunjung lain dan petugas pelayanan kesehatan. R/ mencuci tangan menghilangkan organisme yang merusak rantai transmisi infeksi 4. Rujuk ke petugas pengontrol infeksi untuk evaluasi departemen kesehatan yang tepat R/ rujukan tersebut perlu untuk mengidentifikasikan sumber pemajanan dan kemungkinan orang lain terinfeksi

3.6.3 Evaluasi 1. Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi. 2. Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya). 3. Tidak terjadi peningkatan suhu. 4. Tidak terjadi keletihan. 5. Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus. 6. Pola nafas adekuat. 7. Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.

80

3.7 Asuhan Keperawatan dengan Pankreatitis 3.7.1 Pengertian Pankreatitis adalah inflamasi yang mengenai pankreas yang bersifat serius dengan intensitas yang ringan sampai berat dan berakibat fatal.Pankreatitis juga didefinisikan sebagai peradangan pada pankreas yang menggangu fungsi eksokrin dalam membantu menjalankan metabilisme dalam tubuh. Pankreatitis adalah kondisi inflamasi yang menimbulkan nyeri dimana enzim pankreas diaktifasi secara prematur mengakibatkan autodigestif dari pankreas. Pankreatitis (inflamasi pankreas) merupakan penyakit yang serius pada pankreas dengan intensitas yang dapat berkisar mulai dari kelainan yang relatif ringan dan sembuh sendiri hingga penyakit yang berjalan dengan cepat dan fatal yang tidak bereaksi terhadap berbagai pengobatan.

3.7.2 Epidemiologi Usia umumnya manusia mengalami perubahan fisologi secara drastic menurun dengan cepat selah usia 40 tahun. Pancreatitis sering muncul pada pasien yang pecandu alcohol yang berumus dari yang berumur 40 tahun. Tetapi dapat muncul jua pada usia muda sebagai pencandu berat alcohol.Pada orang dengan pendapatan tinggi dan rentan stress. Cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji dan minum-minuman yang banyak mengandung alcohol sebagai pelarian untuk mengurangi stress psykologinya, oleh karena itu penyakit ini banyak dialami oleh anak pejabat, kontraktor, pekerja biasa dengan gaji lembur yang tinggi dan rendah nilai agamanya.

3.7.3 Etiologi  Konsumsi alcohol cukup lama Konsumsi alcohol akanmengakibatkan suasana lebih alkalis pada enzim-enzim pankreas. Suasana itu akan berakibat timbulnya kerusakan pada pancreas.  Infeksi bakteri Walaupun jarang bakteri juga dapat mencapai pankreas untuk merusak organ pankreas. Kerusakan ini akan berdampak pada peningkatan enzim pankreas yang justru dapat merusak pankreas. 81

 Infeksi virus Virus yang sering menimbulkan kerusakan pada pankreas adalah virus parotitis

3.7.4 Patofisiologi Konsumsi alcohol, infeksi bakteri/virus akan serta faktor-faktor yang berisiko mengakibatkan edema pada pankreas (terutama daerah ampula vater). Dengan demikian didalam pankreas akan terjadi peningkatan kadar enzim yang mengakibatkan peradangan pada pankreas. Proses peradangan ini kalau ditumpangi oleh mikroorganisme maka akan berakibat terbawanya toksik kedalam darah yang merangsang hipotalamus untuk meningkatkan ambang suhu tubuh (unsure panas). Adanya refluk enzim agar meningkatkan volume enzim dan distensi pada pankreas yang merangsang reseptor nyeri yang dapat dijalarkan ke daerah abdomen dan punggung.Kondisi ini memunculkan adanya keluhan nyeri hebat pada abdomen yang menjalar sampai punggung. Distensi pada pankreas yang melampaui beban akan berdampak pada penekanaan dinding duktus dan pankreas serta pembuluh darah pankreas. Pembuluh darah dapat mengalami cidera bahkan sampai rusak sehingga darah dapat keluar dan menumpuk pada pankreas atau ke jaringan sekitar yang berakibat pada ekimosis pinggang dan umbilicus. Kerusakan yang terjadi pada pankreas secara sistemik dapat meningkatkan respon asam lambung sebagai salah satu pertahanan untuk mengurangi tingkat kerusakan. Akan tetapi kelebihan ini justru akan merangsang respon gaster untuk meningkatkan ritmik kontraksi yang dapat meningkatkan rasa mual dan muntah. Mual akan berdampak pada penurunan intake cairan sedangkan muntah akan berdampak pada peningkatan pengeluaran cairan tubuh. Dua kondisi ini menurunkan volume dan komposisi cairan dalam tubuh yang secara otomatis akan menurunkan volume darah. Penurunan volume darah inilah yang secara klinis akan berakibat hipotensi pada penderita.

3.7.5 Manifestasi klinis 

Nyeri perut hebat, melintang dan tembus sampai bagian punggung.



Distensi abdomen



Mual Muntah



Kembung 82



Terdapat memar (ekimosis) pada pinggang dan sekitar umbilicus (pada pancreatitis hemoragik).



Hipotensi



Panas



Agitasi



Dispnea



Hematemesis dan melena



Takikardi



Nyeri tekan pada epigastrium

3.7.6 Komplikasi  Nekrosis pankreas. Nekrosis pankreas terjadi karena adanya sekresi pankreas yang mengalami refluk ke pankreas setelah dari empedu yang dapat mengakibatkan kerusakan pada pankreas.  Syok dan kegagalan organ multiple. Syok dan kegagalan organ terjadi karena adanya penurunan volume cairan yang dapat berakibat pada penurunan volume darah dan vaskulerissai,sehingga organ dapat mengalami kegagalan fungsi akibat penurunan perfusi.  Gagal ginjal

3.7.7 Pemeriksaan Diagnostik dan Hasil Diagnosis pancreatitis dapat ditegakkan melalui riwayat nyeri abdomen di daerah epigatrik, pemeriksaan fisik serta faktor-faktor resiko yang tergali (contohnya trauma abdomen,konsumsi obat-obatan seperti yang tertera diatas). Data-data lain yang dapat menunjang antara lain:  Kadar amylase dan lipase serum. Kadar amylase serum akan naik cepat dalam waktu 24 jam dan akan menurun dengan cepat pada waktu 48 jam-72 jam. Sedangkan lipase serum akan meningkat dalam 48 jam dan akan tetap tinggi dalam waktu 5-7 hari.

83

 Hiperglikemia dan glukosuria yang bersifat sementara. Terjadinya pancreatitis dapat mempengaruhi fungsi dari pulau-pulau Langerhans yang merupakan produksi insulin.  Kenaikan kadar bilirubin. Kenaikan ini terjadi karena pada pancreatitis akut dapat terjadi refluk pada getah empedu.  Kenaikan kadar fibrinogen. Kenaikan ini sebagai dampak kerusakan dari pankreas.  Pada ambilan cairan peritoneum banyak mengandung sekresi pankreas. Plasma pankreas dapat mengalir ke rongga abdomen disertai dengan hasil sekresi pada pankreas.  Feses penderita yang berwarna pucat dan berbau sangat busuk. Ini terjadi karena kandungan lemak yang tinggi pada feses.  Pada USG terlihat peningkatan diameter pankreas karena mengalami edema.

3.7.8 Penatalaksanaan  Pengobatan yang bersifat simptomatik seperti pemberian analgetik contohnya meperidin untuk mengurangi nyeri penderita, memberi obat antiemetic untuk mengurangi mual dan muntah.  Semua asupan oral harus dihentikan karena dapat mempengaruhi sekresi pada gaster dan pankreas dimana sekresi itu akan naik apabila ada bahan makanan yang masuk.  Pemberian makanan melalui Total pareteral nutrision (TPN).  Pemasangan NGT disertai dengan pengisapan. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi volume sekresi yang ada pada gaster, juga untuk mengurangi mual dan muntah.  Pemberian preparat yang dapat mengurangi sekresi gaster seperti simetidin.  Pemberian cairan parenteral untuk mengatasi defist cairan dalam tubuh.  Pemberian insulin(bila terdapat hiperglikemia yang berat).  Drainase billier. Tindakan pemasangan drainase pada pankreas mempunyai tujuan mengurangi timbunan sekresi pada pankreas dan akan melancarkan aliran pada pankreas.

84

3.7.9 Pengobatan Pengobatan awal utama pada pankreatits akut adalah obat-obatan,sedangakan pembedahan hanya dilakukan bila terjadi obstruksi atau komplikasi khusus seperti pseudokista pankreas. Sasaran pengobatan adalah:  Mengatasi nyeri  Mengurangi sekresi pankreas  Mencegah atau mengobati syok  Memulihkan keseimbangan cairan dan elektrolit  Mengobati infeksi sekunder.

85

3.8 Asuhan Keperawatan pada klien dengan Pankreatitis 3.8.1 Pengakajian keperawatan a. Anamnesa 1)

Nama:

2)

Jenis kelamin:

3)

Umur :

4)

Usia: Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologi secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun. Pankreatitis sering muncul pada pasien yang pecandu alkohol yang berumur lebih dari 40 tahun. Tetapi dapat pula muncul pada usia muda sebagai pecandu berat alkohol.

5)

Pendidikan dan pekerjaan Pada orang dengan pendapatan tinggi dan rentan stress. cenderung untuk mengkonsumsi makanan cepat saji dan minum minuman yang banyak

6)

Keluhan utama Penderita biasanya datang dengan keluhan perut terasa sakit dan panas terbakar pada abdomen sampai tembus ke punggung terutama daerah epigastrik.

7) Riwayat penyakit Riwayat perjalanan penyakit ini biasanya mulai dari rasa tidak enak di perut, rasa perih sehingga kadang orang awam menganggapnya sebagai gangguan lambung. Rasa perih itu kemudian berubah cepat menjadi rasa terbakar dan sakit pada abdomen terutama epigastrik. 8) Pengkajian pola kebutuhan: a. Kebutuhan nutrisi Penderita pankreatitis sering mengeluh tidak nafsu makan bahkan dapat juga terjadi keluhan muntah. b. Kebutuhan rasa aman dan nyaman Pasien dengan pankreatitis akut mengalami gangguan rasa nyeri panas pada abdomen dengan tingkat (skala nyeri rata-rata di atas 6 ) yang rata-rata hebat. Pada ekspresi pasien terlihat menahan nyeri hebat pada abdomen, kadang ada yang sampai berteriak kesakitan. Rasa aman yang mungkin tidak terpenuhi 86

mungkin aman dari rasa sakit yang mengganggu kehidupannya. Untuk lebih lengkapnya perlu pengkajian nyeri dengan unsur P (palliative), Q (quality), R (region), S (scale), T (time) dan memakai alat bantu skala nyeri yang ditulis dalam kertas lengkap dengan penjelasan nyeri skala 0 sampai 10.

b. Pemeriksaan fisik  B1: Inspeksi frekuensi : irama, kedalaman dan upaya bernafas antara lain : dispnea, takipnea, hipernea pada pernafasan (karena tedapat distensi abdomen).  B2:  Pada TTV: Frekuensi nadi dan tekanan darah: takikardi (karena terjadi kompensasi terhadap nyeri.  B3: adanya nyeri pada abdomen,

pada punggung dan nyeri tekan pada

epigastrium.  B5: adanya mual muntah, anoreksia,dehidrasi karena penurunan intake cairan 

Inspeksi: adanya mual muntah, anoreksia



Auskultasi : bising usus dan gaster mungkin meningkat sebagai respon mekanik terhadap peradangan pankreas.





Perkusi: bunyi usus masih normal ( tympani)



Palpasi:Nyeri tekan pada epigastrik.

B6: penurunan kekuatan musculoskeletal, kelemahan, turgor kulit menurun karena dehidarasi.

87

3.8.2 Diagnosa keperawatan 1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan nyeri  DS: Mengeluh sesak napas, klien mengeluh nyeri  DO: Dypsnea, takikardi 2) Hypertermi berhubungan dengan penyakit  DS: Klien mengeluh badan panas  DO: Suhu tubuh > 37,5 3) Nyeri akut b.d agen cedera (biologi)  DS: Klien mengeluh sangat lemah, mengatakan nyeri hebat di punggung abdomen.  DO: Perubahan tanda-tanda vital, wajah menahan nyeri, pucat, perilaku berlindung, perilaku distraksi: menangis, meringis dan gelisah. 4) Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif.  DS : Klien mengatakan rasa haus.  DO: Perubahan status mental, penurunan tekanan darah, penurunan tekanan nadi, penurunan volume nadi, penurunan turgor kulit, penurunan turgor lidah, penurunan haluaran urine, penurunan pengisian vena, membran mukosa kering, kulit kering. 5) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah  DS : Klien mengeluh adanya gangguan sensasi pengecap, pemasukan makanan tidak adekuat.  DO : Tidak menghabiskan porsi makan, penurunan berat badan, tonus otot buruk. 6) Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum  DS: klien mengeluh penurunan toleransi terhadap aktivitas, mengeluh lemah dan lelah.  DO: palpitasi, takikardia, peningkatan TD, respon pernapasan dan kerja jaringan meningkat.

88

3.8.2 Perencanaan Keperawatan a. Nyeri akut b.d agen cedera (biologi) Goal : Klien akan terbebas dari nyeri akut selama dalam perawatan Objective : Klien tidak akan mengalami agen cedera (biologi) selama dalam perawatan. Outcomes : selama perawatan, klien :  Melaporkan nyeri hilang/terkontrol  menunjukkan postur rileks  menunjukkan tanda-tanda vital normal.

Intervensi:  Berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai indikasi R/ Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar atau sensitivitas pada cahaya dan meningkatkan istirahat/relaksasi.  Berikan latihan rentan gerak aktif/pasif secara tepat dan masase otot daerah leher/bahu. R/ Dapat membantu merelaksasikan ketegangan otot yang meningkatkan reduksi nyeri atau rasa tidak nyaman tersebut.  Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting. R/ Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri.  Berikan analgetik, seperti asetaminofen, kodein. R/ Mungkin diperlukan untuk menghilangkan nyeri yang berat. b. Hypertermi berhubungan dengan penyakit Goal: Klien tidak akan mengalami hypertermi selama dalam perawatan Objektif: klien akan terbebas dari penyakit selama dalam perawatan Outcomes:selama perawatan, klien:  Tidak mengeluh badan panas  Suhu kembali normal Intervensi :  Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alkohol.

89

R/ dengan membantu mengurangi demam. Catatan : penggunaan air es/alkohol mungkin menyebabkan kedinginan, peningkatan suhu secara aktual. Selain itu, alkohol dapat mengeringkan kulit.  Observasi suhu pasien (derajat dan pola), perhatikan mengigil/diaphoresis. R/ 38,9-41,1˚ C menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Pola demam dapat membantu dalam diagnosis.  Observasi suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur, sesuai indikasi R/ Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal. c. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan nyeri Goal

: Klien menunjukkan pola nafas yang efektif

Objektif : Klien tidak mengalami nyeri Outcomes : selama perawatan, klien :  Tidak mengeluh sesak napas  Frekuensi nafas normal  Nadi kembali normal Intervensi:  Ajarkan pasien laithan napas dalam efektif R/ membantu mengurangi rasa nyeri  Bantu untuk berada dalam posisi yang nyaman yang memungkinkan ekspansi dada maksimal. R/untuk memudahkan bernapas.  Berikan obat nyeri bila diinstrusikan R/ untuk memungkinkan ekspansi dada yang maksimal.  Observasi dan catat status pernapasan setiap 4 jam R/ mendeteksi tanda-tanda awal gangguan  Observasi nyeri setiap 3 jam R/nyeri dapat menurunkan usaha bernapas dan ventilasi. d. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif. Goal : Klien akan meningkatkan volume cairan yang adekuat selama dalam perawatan. Objektif : Klien tidak akan mengalami kehilangan cairan aktif selama dalam perawatan. 90

Outcomes : selama perawatan, klien memperlihatkan :  Heluaran urine dalam batas normal  Konsentrasi urine dalam batas normal  BB normal  Turgor kulit normal  TD normal  Kulit/membrane mukosa lembab  Tidak adanya tanda dan gejala dehidrasi Intervensi :.  Jelaskan alasan kehilangan cairan dan ajarkan kepada pasien cara memantau volume cairan. (contohnya dengan mencatat berat badan setiap hari dan mengatur asupan serta haluaran). R/ tindakan ini mendorong keterlibatan pasien dalam perawatan personal.  Selimuti pasien hanya dengan kain yang tipis. Hindari terlalu panas. R/ untuk mencegah vasodilatasi dan berkurangnya volume darah sirkulasi.  Periksa berat jenis urine tiap 8 jam. R/ peningkatan berat jenis urine dapat mengindikasikan dehidrasi.  Kaji turgor kulit dan membrane mukosa mulut setiap 8 jam. R/ memeriksa dehidrasi. Berikan perawatan mulut dengan cermat setiap 4 jam.menghindari dehidrasi membrane mukosa merupakan indikator yang baik untuk status cairan.  Pantau dan catat tanda-tanda vital setiap 2 jam atau sesering mungkin sesuai keperluan sampai stabil. Kemudian pantau dan catat tanda-tanda vital setiap 4 jam. R/ takikardia, dispnea, atau hipotensi dapat mengindikasikan kekurangan volume cairan atau ketidakseimbangan elektrolit. e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah Goal : klien akan meningkatkan asupan nutrisi secara adekuat selama dalam perawatan Objektif : klien akan terbebas dari mual, muntah selama dalam perawatan Outcomes : selama perawatan klien : 

Mengatakan tidak ada gangguan sensasi pada indera pengecap 91



Mengatakan dapat memasukkan makanan secara adekuat



Menghabiskan porsi makan



Menunjukkan peningkatan berat badan



Menunjukkan tonus otot baik

Intervensi:  Berikan perawatan oral R/ Menurunkan rangsangan muntah dan inflamasi/ iritasi membran mukosa kering sehubungan dengan dehidrasi dan bernapas dengan mulut bila NGT dipasang  Berikan obat sesuai indikasi : (vitamin A, D, E, K) R/ kebutuhan penggantian seperti metabolisme lemak terganggu, penurunan absorpsi atau penyimpangan vitamin larut dalam lemak  Kaji abdomen, catat adanya karakter bising usus, distensi abdomen dan keluhan mual R/ distensi abdomen dan atoni usus sering terjadi, mengakibatkan penurunan/ tak ada bising usus. Kembalinya bisisng usus dan hilangnya gejala menunjukan kesiapan untuk penghentian aspirasi gaster (selang NG)  Observasi warna/ konsistensi/ jumlah feses. Catat konsistensi; lembek atau bau busuk R/ steatorea terjadi karena pencernaan lemak tak sempurna

f. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum Goal : Klien akan meningkatkan toleransi aktivitas selama dalam perawatan Objektif: Klien akan terbebas dari kelemahan selama dalam perawatan Outcomes : selama perawatan, klien :  Menunjukkan toleransi terhadap aktivitas  mengatakan tidak lemah dan lelah  tidak adanya palpitasi dan takikardia,  tekanan darah dan pernapasan serta kerja jaringan kembali normal.. Intervensi :

92

 Anjurkan pasien untuk menghentikan aktivitas bila palpitasi, nyeri dada, napas pendek, kelemahan atau pusing terjadi. R/ regangan/ stres kardiopulmonal berlebihan/ stres dapat menimbulkan dekompensasi/ kegagalan.  Berikan lingkungan tenang. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan. Batasi pengunjung, telepon, dan gangguan berulang tindakan yang tidak direncanakan. R/ meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru.  Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas normal. Catat laporan kelemahan, keletihan, dan kesulitan menyelesaikan tugas. R/ mempengaruhi pilihan intervensi atau bantuan. 3.8.3 Implementasi keperawatan Tindakan keperawatan dilakukan dengan mengacu pada rencana tindakan/intervensi keperawatan yang telah ditetapkan/dibuat. 3.8.4 Evaluasi keperawatan Evaluasi keperawatan dilakukan untuk menilai apakah masalah keperawatan telah teratasi, tidak teratasi atau teratasi sebagian dengan mengacu pada kriteria hasil.

93

3.9 Asuhan Keperawatan dengan Sindroma Hepatorenal 3.9.1 Definisi Defenisi Sindroma Hepato Renal yang diusulkan oleh International Ascites Club (1994) adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi diluar ginjal terdapat vasodilasi arteriol yang luas menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi. Meskipun sindroma hepatorenal lebih umum terdapat pada penderita dengan sirosis lanjut, hal ini dapat juga timbul pada penderita penyakit hati kronik atau penyakit hati akut lain seperti hepatitis alkoholik atau kegagalan hati akut.

3.9.2 Etiologi Meskipun sindrom hepatorenal lebih umum terdapat pada penderita dengan sirosis hati yang kronis, hal ini dapat juga timbul pada penderita penyakit hati kronik atau penyakit hati akut lain seperti hepatitis alkoholik atau kegagalan hati akut. Faktor predisposisi terjadinya SHR yang terpenting adalah adanya komplikasi SBP (Spontaneous Bacterial Peritonitis) dan usia tua. Translokasi bakteri dari intestinal mungkin sangat penting dalam memperburuk endotoksinemia dan barangkali mempunyai efek langsung terhadap ginjal pada pasien sirosis, melalui perantaraan tumor necrosis factor dan interleukin, seperti dilaporkan pada pasien sirosis dengan komplikasi infeksi. Faktor predisposisi lainnya termasuk parasintesis yang berlebihan, terapi antibiotik berlebihan dan berkepanjangan, perdarahan gastrointestinal, atau penyebab lainnya yang berhubungan dengan penururnan volume plasma seperti diare menetap, restriksi cairan berlebihan. Di samping itu pemberian NSAIDs meskipun dosis kecil, mungkin menyebabkan penurunan fungsi ginjal pada pasien sirosis. NSAIDs menghambat siklooksigenase yang bekerja mengubah asam arakidonat menjadi prostaglandin sehingga kadarnya meningkat . prostaglantin merupakan vasodilator, pada sirosi hati dapat terjadi peningkatan prostaglandin secara spontan. Pada pasien sirosis, terapi dengan albumin

94

intravena dan antibiotic mengurangi insidensi gangguan faal ginjal dan mortalitas jika dibandingkan dengan terapi antibiotika saja.

3.9.3 Manifestasi Klinis Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang menimbulkan ascites, edema, dan hiponatremi dilusional, yang ditandai oleh ekresi natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan berkemih (oliguri –anuria ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah sistemik. Gambaran klinis uremia jarang dijumpai, begitu juga pada analisis urin didapatkan keadaan sebagai berikut: a. Penurunan produksi urin b. Urin warna teh pekat c. Ikterus (yellow-orange color) d. Penambahan berat badan e. Perut membesar (abdominal swelling) f. Penurunan kesadaran (dementia, delirium, confusion) g. Kejang otot h. Mual i. Muntah j. Hematemesis k. Melena

Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan tanda-tanda ensefalopati, asites dan jaundice dan tanda gagal hati lain bersamaan dengan penurunan fungsi ginjal. Refleks tendon meningkat dan adanya refleks abnormal lain menunjukkan adanya gangguan sistem saraf. Bisa juga terdapat ginekomasti, penurunan ukuran testis, adanya spider naevi (spider telangiectasia) di kulit, atau tanda-tanda gagal hati lainnya. Secara klinis SHR dapat dibedakan atas 2 tipe yaitu : 1. Sindrom Hepatorenal tipe I 95

Tipe I ditandai oleh peningkatan yang cepat dan progresif dari BUN (Blood urea nitrogen) dan kreatinin serum dimana nilai kreatinin >2,5 mg/dl atau penurunan kreatinin klirens dalam 24 jam sampai 50%, keadaan ini timbul dalam beberapa hari hingga 2 minggu. Gagal ginjal sering dihubungkan dengan penurunan yang progresif dari jumlah urin, Gangguan hemodinamik yang sering ditemukan pada sindrom hepatorenal: a. Cardiac output meninggi b. Tekanan arterial menurun c. Total tahanan pembuluh darah sistemik menurun d. Total volume darah meninggi e. Aktifasi sistem vasokonstriktor meninggi. f. Tekanan portal meninggi g. Portosystemic shunting h. Tekanan pembuluh darah splangnik menurun i. Tekanan pembuluh darah ginjal meninggi. j. Tekanan arteri brachial dan femoral meninggi. k. Tahanan pembuluh darah otak meninggi l. Retensi natrium dan hiponatremi.

Penderita dengan tipe ini biasanya dalam kondisi klinik yang sangat berat dengan tanda gagal hati lanjut seperti ikterus, ensefalopati, atau koagulopati. Tipe ini umum terjadi pada sirosis alkoholik yang berhubungan dengan hepatitis alkoholik, tetapi dapat juga timbul pada sirosis non alkoholik. Kira-kira setengah kasus SHR tipe ini timbul spontan tanpa ada faktor presipitasi yang diketahui. Kadang-kadang pada sebagian penderita terjadi hubungan sebab akibat yang erat dengan beberapa komplikasi atau intervensi terapi (seperti inveksi bakteri, perdarahan gastrointestinal, dan parasintesis). Spontaneus bacterial peritonirtis (SBP) adalah penyebab umum dari penurunan fungsi ginjal pada sirosis. Kira-kira 35% penderita sirosis dengan SBP timbul SHR tipe I. SHR tipe I adalah komplikasi dengan prognosis yang sangat buruk pada penderita sirosis, dengan mortalitas mencapai 95%. Rata-rata waktu harapan hidup penderita ini 96

kurang dari dua minggu. Lamanya harapan hidup pada penderita SHR tipe I ini lebih buruk dibanding dengan gagal ginjal akut dengan penyebab lainnya. 2. Sindroma Hepatorenal tipe II Tipe II SHR ini ditandai dengtan penurunan yang sedang dan stabil dari laju filtrasi glomerulus (BUN dibawah 50 mg/dl dan kreatinin serum < 2 mg / dl). Tidak seperti tipe I SHR, tipe II SHR ini biasanya terjadi pada penderita dengan fungsi hati yang relatif baik. Biasanya terjadi pada penderita dengan ascites resisten diuretik. Diduga harapan hidup penderita dengan kondisi ini lebih panjang dari pada SHR tipe I. 3.9.4 Patofisiologi Patofisiologi SHR sampai sekarang belum secara lengkap diketahui sampai saat ini. Hipotesis SHR adalah sebagai berikut : akibat dari sirosis hati atau penyakit hati akut lain dan bersama-sama dengan hipertensi portal akan mengakibatkan vasodilatasi arteri splanknik. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan hipovolemi atau arteri sentral sehingga merangsang aktivasi system rennin angiostensis aldosteron, dan hormone antidiuretik yang secara keseluruhan akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah ginjal. Di ginjal seharusnya akan terjadi mekanisme kompensasi, namun dengan alasan yang belum jelas justru terjadi ketidakseimbangan mekanisme kompensasi yaitu: 1. Faktor Vasokonstriktor Sistem renin-angiotensin tampaknya berperan penting dalam mempertahankan vasokonstriksi pada sindrom hepatorenal. Konsentrasi renin plasma akan meningkat pada penderita dengan sirosis dekompensata, mungkin sebagai akibat penurunan inaktivasi renin oleh hati. Walaupun terjadi peningkatan konsentrasi renin plasma, akan terjadi juga pengurangan substrat renin, dan ketika ditransfusi dengan plasma darah yang kaya akan substrat renin, pada penderita sindrom hepatorenal akan terjadi peningkatan tekanan darah dan ekskresi urin berhubungan dengan penurunan renin plasma. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan renin plasma adalah merupakan respon terhadap penurunan perfusi ginjal dan efek ini dibatasi oleh penurunan substrat renin. Sekresi renin sebagai respon terhadap penurunan perfusi ginjal memegang peranan utama dalam mempertahankan filtrasi glomerulus. Penurunan perfusi disertai sekresi

renin

akan

menyebabkan

aktivasi

angiotensin,

lalu

menimbulkan 97

vasokonstriksi arteriolar eferen untuk mempertahankan tekanan intraglomerular dan filtrasi glomerulus. Ketika perfusi ginjal makin menurun, maka angiotensin akan menyebabkan vasokonstriksi arteriolar aferen sehingga menurunkan perfusi dan filtrasi glomerulus. Beberapa studi melaporkan beberapa perubahan biokimiawi pada pasien sirosis hepatis dengan SHR sebagai berikut : a. Hati 1) penurunan sintesis angiotensinogen dan kininogen. 2) Penurunan pemecahan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin, dan vasopressin. b. Plasma 1) Peningkatan kadar rennin, angiotensin II, aldosteron, endotoksin noradrenalin vasopressin, endotelin, 2 dan 3, leukotrien C4 dan D4, kalsitonin peptida, dan hormon antidiuretic. 2) Penurunan kadar kalikrein, bradikinin, dan faktor natriuretik arterial . c. Urin atau ginjal Peningkatan rennin, angiotensin II, aldosteron, endotelin, tromboksan A2, lekotrien E4, prostaglandin E2, prostasiklin, bradikinin.

Dari beberapa penelitian pada penderita SHR memperlihatkan perbaikan fungsi ginjal setelah pemberian antagonis spesifik reseptor endotelin–A. Beberapa penelitian melaporkan terjadinya peningkatan produksi sisteinil leukotrien yang berperan sebagai vasokonstriktor ginjal yang kuat pada penderita SHR. Substansi vasoaktif lainnya seperti adenosin, F2 – isoprostan dapat juga berperan sebagai faktor yang mempengaruhi patogenesis vasokonstriksi ginjal dalam SHR, tapi mekanisme yang pasti masih belum diketahui. Baru-baru ini disebutkan endotoksin dan sitokin juga berperan dalam timbulnya vasokonstriksi ginjal yang poten pada SHR yang timbul setelah infeksi bakteri yang berat pada sirosis. Hal ini diduga karena peningkatan translokasi bakteri dan portosystemic shunting. Bagaimanapun peran endotoksin dan sitokin dalam disfungsi ginjal pada sirosis masih merupakan perdebatan. 98

2. Faktor Vasodilator Sebuah penelitian pada penderita dengan sirosis atau percobaan pada binatang memperlihatkan bahwa sintesis faktor vasodilator lokal pada ginjal memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan perfusi ginjal dengan melindungi sirkulasi ginjal dari efek yang merusak dari faktor vasokonstriktor. Mekanisme vasodilator ginjal yang paling penting adalah prostaglandin (PGs). PGs membentuk sistem yang unik dimana ginjal mampu mengimbangi efek peningkatan kadar vasokonstriktor tanpa merusak fungsi sistemiknya. Bukti paling kuat yang menyokong peran PGs ginjal dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis dengan ascites diperoleh dari penelitian yang menggunakan obat non steroid anti inflamasi untuk menghambat pembentukan prostaglandin di ginjal. Pemberian NSAIDs, sekalipun dalam dosis tunggal pada penderita sirosis hati dengan ascites menyebabkan penurunan yang nyata dalam aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, yang perubahannya menyerupai kejadian dalam SHR pada penderita dengan aktifitas vasokonstriktor yang nyata, tetapi tidak atau sedikit efek pada penderita tanpa aktifitas vasokonstriktor. Vasodilator ginjal lainnya yang mungkin berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida. Jika produksi nitrit oksida dan PGs dihambat, secara tidak langsung dalam percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi ginjal. Vasodilator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal pada sirosis adalah natriuretik peptida. Gulberg dkk menemukan peningkatan jumlah C Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita sirosis dan gagal ginjal fungsional. Selanjutnya ditemukan hubungan yang terbalik antara CNP di urin dengan ekskresi natrium urin. CNP ini berperan dalam pengaturan keseimbangan natrium. Penemuan ini membuktikan aktifitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan berperan dalam pengaturan perfusi ginjal, terutama pada aktifitas vasokonstriktor ginjal yang berlebih.

99

3. Sistem saraf simpatis Stimulasi sistem saraf simpatis sangat tinggi pada penderita SHR dan menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan meningkatkan retensi natrium. Hal ini telah diperlihatkan oleh beberapa peneliti yang membuktikan adanya peningkatan sekresi katekolamin di pembuluh darah ginjal dan splangnik. Kostreva dkk mengamati terjadinya vasokonstriksi arteiol afferen ginjal yang menimbulkan penurunan aliran darah ginjal dan GFR dan meningkatkan penyerapan air dan natrium di tubulus.

3.9.5 Pemeriksaan Penunjang 

Pemeriksaan laboratorium



USG abdomen

3.9.6 Penatalaksanaan Medis Dengan mengetahui beberapa faktor pencetus untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan ascites, maka kita dapat mencegah timbulnya gagal ginjal pada penderita ini. Pemberian plasma ekspander setelah parasintesis dalam jumlah besar, terutama albumin, mengurangi insiden SHR. Begitu pula pemberian antibiotic untuk mencegah SBP pada penderita sirosis hati dengan resiko tinggi untuk timbulnya komplikasi ini akan mengurangi insiden SHR. Ada beberapa modalitas terapiyang digunakan pada penderita dengan SHR : 1. Vasodilator Obat-obatan dengan aktifitas vasodilator terutama PGs telah dipakai pada penderita dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Pemberian PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi renal. Dopamin pada dosis non pressor juga digunakan dalam usaha menimbulkan vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamin selama 24 jam hanya menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis endotelin spesifik dapat segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan SHR.

100

2. Vasokonstriktor Hipoperfusi ginjal pada SHR pada penderita sirosis berhubungan dengan pengurangan pengisian sirkulasi arteri. Vasokonstriktor telah digunakan dalam usaha memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik. Pemberian vasokonstriktor segera (norepinefrin, angiotension II, dan ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan SHR menyebabkan vasokonstriksi arteri,yang mana meningkatkan tekanan arteri dan resistensi vaskuler sistemik. Vasokonstriktor pada dosis yang digunakan pada penelitian yang dipublikasikan dan pemberian pada periode waktu yang singkat hanya menyebabkan perubahan yang ringan atau tidak ada dalam aliran darah ginjal meskipun perubahan yang menguntungkan dalam pengamatan di sirkulasi sistemik mungkin berhubungan baik dengan efek vasokonstriksi obat pada sirkulasi ginjal atau aktifitas yang menetap dari vasokonstriktor. Kombinasi pemberian vasokonstriktor (ornipressin dan norepineprin) dan vasodilator ginjal (dopamin dan prostasiklin) juga gagal memperbaiki fungsi ginjal. Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin dengan penambahan volume plasma dengan almumin memperbaiki fungsi ginjal dan menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis dengan SHR. Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat menormalkan aktifitas yang berlebihan dari rennin – angiotensin dan sistem saraf simpatis, peningkatan kadar natriuetik peptida arteri, dan hanya memperbaiki sedikit fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi ini dapat digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi. Pada beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan karena komplikasi iskemik. Angeli dkk memberikan Midodrine dan Ocreotide pada 13 penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakukan transplantasi hati, dan yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal hati.

101

3. Peritoneovenous shunt Peritoneovenous shunt telah digunakan secara sporadis pada masa lalu untuk penatalaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt menyebabkan cairan ascites mengalir terus menerus dari rongga peritoneum ke sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac output) dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari peritoneovenous shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari aktifitas system vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium, dan pada beberapa kasus dapat memperbaiki aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan rasionalisasi tindakan pada penderita SHR.

4. Portosystemic shunt Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan terapi standar dalam penatalaksanaan SHR karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi dihubungkan dengan prosedur operasi ini pada sebagian pasien dengan penyakit hati lanjut. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode nen bedah untuk kompresi portal yaitu Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS). Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt adalah penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada pasien yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan obstruksi dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cenderung memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada pasien sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati. Penelitian diatas menunjukkan bahwa TIPS memberikan banyak keuntungan pada penatalaksanaan SHR. Walaupun demikian, penggunaan TIPS masih memerlukan penelitian kontrol untuk dapat direkomendasikan. Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal, menurunkan aktifitas renin angiotension dan sistem saraf simpatis.

102

5. Dialisis Hemodialisis atau peritoneal dialisis telah dipergunakan pada penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas dari dialisis pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat penelitian, hemodialisis masih tetap digunakan untuk pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati.

6. Transplantasi Hati Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya. Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam pertama. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai mengalami perbaikan.

103

STUDI KASUS

KASUS. Tn.SS 45 tahun datang ke RSUD AA dengan keluhan badan terasa lemah sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis didapatkan badan terasa lemah, mual (+), tidak mau makan dan minum, kedua mata kuning. Perut membesar, batuk berdahak (+), sesak nafas saat berbaring. Volume BAK, BAK kuning pekat, BAB berwarna hitam. Berat badan turun drastis, nyeri di ulu hati dan didiagnosis mengalami penyakit hati 5 bulan yang lalu. Riwayat kebiasaan minum alkohol (+), merokok (+). Dari pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik, udema tungkai (+). Dari pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit 13800 /µL, trombositopenia (trombosit: 74000/ µL), Hipoalbuminemia (1,7 ml/dl), BUN meningkat (83mg/dl), kreatinin meningkat 4,06 mg/dl

ASUHAN KEPERAWATAN I.

Pengakajian A. Identitas Nama

: Tn SS

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 45 tahun

Pekerjaan

: Swasta

Agama

: Protestan

Diagnosa Medis : Sindrom Hepatorenal Alamat

: Pekanbaru

Masuk RS

: 28 Juli 2012

B. Riwayat kesehatan 1. Keluhan Utama Badan terasa lemah seja 1 hari sebelum masuk rumah sakit 2. Riwayat Kesehatan saat ini 104

 Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh badannya terasa lemah, tidak mau makan dan minum, pasien merasa mual, namun tidak ada muntah. Batuk berdahak, dahak berwarna putih, dan sesak nafas yang semakin bertambah jika pasien tidur terlentang. BAK pasien jumlahnya sedikit dibandingkan biasanya, BAK berwarna kuning keruh.  2 bulan yang lalu pasien mengeluh pasien semakin membesar perut membesar disertai dengan rasa sesak. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua kaki. Kedua mata kuning, BAB berwarna hitam, BAK kuning pekat, tidak nyeri dan lancar. BB turun derastis  5 bulan yang lalu, pasien mengeluh nyeri pada ulu hati, hilang timbul, tidak menjalar. Nyeri ulu hati disertai mual dan muntah. BAB pasien normal. Mata kuning dan perut disertai membesar, pasien berobat kerumah sakit dan di diagnosa mengalami penyakit hati 3. Riwayat Penyakit Dahulu  Tidak ada riwayat hipertensi  Riwayat penyakit DM disangkal pasien 4. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini 5. Riwayat Kebiasaan  Minum alkohol (+)  Merokok (+)

C. Pengkajian Fungsional 1. Pola Bernafas Pasien mengatakan sesak nafas saat berbaring, dikarenakan ada penumpukan secret akibat batuk berdahak 2. Kebutuhan Cairan & elektrolit Pasien mengatakan minum sehari ± 7 gelas, selama sakit pasien minum 2 gelas sehari 105

3. Pola Nutrisi-Metabolik Pasien mengatakan tidak nafsu makan dikarekan mengeluh mual dan muntah setiap kali makan 4. Pola Eliminasi BAK dan BAB Pasien mengatakan BAK 5x sehari dengan warna kuning jernih. BAB 2x sehari dengan intensitas warna kuning sedikit lembek. Selama sakit pasien BAK 2x sehari seperti anyang-anyangen dan berwarna kuning pekat. BAB 1x sehari berwarna hitam 5. PolaAktivitas dan Latihan Sebelum sakit klien dapat melakuka aktivitasnya secara mandiri, selama sakit klien hanya terbaring lemah di tempat tidur. 6. Pola Istirahat Tidur Pasien mengatakan sering terbangun karena mengeluh sesak nafas

D. Pemeriksaan Fisik Status Generalis: 1. Keadaan Umum Kesadaran

: Tampak sakit berat : Composmentis

Tanda Vital Tekanan Darah

: 90/60 mmHg

Nadi

: 100x/menit

Pernafasan

: 32x/menit

Suhu

: 36,5

2. Kepala/Leher Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), odema periorbita (-/-), sianosis (-/-), fetor hepatikum (-), fetor uremikum (-), pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), peningkatan JVP (-) 3. Dada a) Pulmo:

106

Inspeksi

: bentuk dan gerakan simetris, retraksi interkosta (), spider nevi (-), venektasi (-)

Palpasi

: Fremitus raba dekstra = sinistra

Perkusi

: sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

: suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

b) Cor: Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi

: S1, S2 regular, suara tambahan (-)

c) Abdomen: Inspeksi

: cembung, ceput medusaae (+)

Auskultasi

: bising usus (+) menurun

Palpasi

:distensi (+), nyeri tekan (-) pada semua kuadran, hepar/lien/ginjal

sulit

untuk

dinilai,

defans

muskular (-), LP=98 cm Perkusi

: Shifting dullness (+)

4. Ekstremitas: Akral hangat, eritema palmaris (-), leukonikia (-), hepatic flapping (-), clubbing finger (-), edema (+)

E. Data Penunjang a. Pemeriksaan Laboratium Darah Rutin (28 Juli 2012) Hb : 13,8 g/dl Ht : 39,4 % Leukosit : 13,800/µl Trombosit : 74,000/µl Kimia Darah (28 Juli 2012) Glu : 74 mg/dl BUN : 83 mg/dl 107

CR-S : 4,06 mg/dl AST : 209 IU/L ALT : 50 IU/L ALB : 1,7 mg/dl T.Bil : 32,7 mg/dl D.Bil : 14,5 mg/dl Ureum : 177,6 mg/dl

b. Terapi IVFD D5% 10 tpm Injeksi furosemid 3 x 1 ampul Injeksi ranitidin 2 x 1 ampul Injeksi ceftriaxon 2 x 1 gr Substitusi albumin Rencana hemodialisa cito

A. Analisa Data No Hari

Data

Tanggal 1.

Sabtu, 23 Mei DS 2014

:

Kemungkinan

Masalah

Penyebab

Keperawatan

Klien Kelemahan Umum

Imobilisasi

mengeluh badannya terasa lemah DO

:

klien

terlihat lemah -KU

:Tampak

sakit berat -Kesadaran: Composmentis -Tanda Vital 108

TD:

90/60

mmHg Nadi: 100x/menit RR: 32x/menit Suhu: 36,5

2.

Sabtu, 23 Mei DS 2014

:

Klien Anoreksia

mengatakan

Gangguan Nutrisi

tidak

nafsu

makan

karna

mual muntah DO : A : 50 = 0,29 170 B: -Leukosit

:

13,800/µl C : klien tampak lemah D : kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diit 3.

Sabtu, 23 Mei DS 2014

:

Klien Karna inflamasi

Nyeri Kronis

mengatakan nyeri

perut

bagian tegah DO : 109

Klien

tampak

meringis kesakitan Nyeri skala 6 P : nyeri pada saat melakukan aktifitas Q : Nyeri seperti di tusuk-tusuk R : nyeri pada perut

bagian

tengah S : Skala 6 T: nyeri sudah dirasakan ±1tahun

A. Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan umum 2. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia 3. Nyeri kronik b.d adanya inflamasi

B. Rencana Keperawatan N

Hari

o

Tangg

Tanga

al

n

1

Sabtu,

Tujuan

Setelah

23 Mei dilakukan 2014

tindakan keperawatan ...x24jam

Rencana Tindakan

1. Obs tanta-tanda vital 2. Kaji

kekuatan

Tanda

1. Tanda-tanda vital

otot 3. Bantu

Rasional

kebali

normal 2. Untuk

klien

mengetahui 110

diharapkan

latihan

aktivitas

gerak

kembali normal

rentan

kemampuan otot

4. Dorong

3. Klien

dapat

dengan Kriteria

kemandirian

beraktivitas

Hasil :

dalam mobilitas

secara

1. Tanda-

5. Kolaborasi

tanda

dengan

vital

medis

mandiri tim

4. klien

dapat

melakukan

kembali

aktivitas

normal

sendiri

2. Dapat

5. Membantu

melakuk

proses

an

penyembuha

aktivitas

n klien

secara mandiri 2.

Sabtu,

Setelah

1. Mengkaji pola

23 Mei dilakukan 2014

tindakan

makan klien

mengetahui

2. Hidangkan

pola

keperawatan

makanan dalam

...x24jam

kondisi hangat

diharapkan BB klien

3. Memberikan

kembali

makan yg di

normal dengan

sukai sesuai diit

kriteria Hasil : 1. BB

4. Menganjurkan klien

untuk

kembali

makan

normal

tapi sering

2. Nafsu

1. Untuk

sedikit

makan

klien 2. Untuk menambah nafsu makan 3. Untuk menambah nafsu makan 4. Agar kebutuhan

5. Kolaborasi

nutrisi

makan

dengan

tim

meningk

medis dan ahli

terpenuhi 5. Sesuai 111

at 3.

Sabtu,

gizi

Setelah

1. Kaji skala nyeri

23 Mei dilakukan 2014

dengan diit

tindakan keperawatan

2. Berikan posisi

mengetahui

semi fowler

skala nyeri

3. Ajarkan teknik

...x24jam

relaksasi

diharapkan nyeri berkurang

dengan

s.d

medis

2. Untuk memberikan

4. Kolaborasi

hilang

1. Untuk

posisi tim

yg

nyaman 3. Mengurangi

dengan Kriteria

nyeri

Hasil :

nyeri timbul

1. Nyeri

ketika

4. Membantu

berkuran

proses

g

penyembuha

s.d

hilang

n

2. Skala nyeri 1-0

112

3.10 Asuhan Keperawatan dengan Sirosis Hepatis 3.10.1 Pengertian Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer, FKUI, 2001). Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas. Pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Smeltzer & Bare, 2001). Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono, 2002). Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang ditandai oleh adanya peradangan difus pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel hati disertai nodul dan merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati. 3.10.2 Anatomi dan Fisiologi Hati merupakan organ terbesar didalam tubuh, beratnya sekitar 1500 gram. Letaknya dikuadaran kanan atas abdomen, dibawahdiafragma dan terlindungi oleh tulang rusuk (costae). Hati dibagi menjadi 4 lobus dan setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang kedalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi unit-unit kecil, yang disebut lobulus.Sirkulasi darah ke dalam dan keluar hati sangat penting dalam penyelenggaraan fungsi hati. Hati menerima suplai darahnya dari dua sumber yang berbeda. Sebagian besar suplai darah datang dari vena porta yang mengalirkan darah yang kaya akan zat-zat gizi dari traktus gastrointestinal. Bagian lain suplai darah tersebut masuk ke dalam hati lewat arteri hepatika dan banyak mengandung oksigen. Kedua sumber darah tersebut mengalir ke dalam kapiler hati yang disebut sinusoid hepatik. Dengan demikian, 113

sel-sel hati (hepatosit) akan terendam oleh campuran darah vena dan arterial. Dari sinusoid darah mengalir ke vena sentralis di setiap lobulus, dan dari semua lobulus ke vena hepatika. Vena hepatika mengalirkan isinya ke dalam vena kava inferior. Jadi terdapat dua sumber yang mengalirkan darah masuk ke dalam hati dan hanya terdapat satu lintasan keluarnya.Disamping

hepatosit,

sel-sel

fagositosis

yang

termasuk

dalam

sistem

retikuloendotelial juga terdapat dalam hati. Organ lain yang mengandung sel-sel retikuloendotelial adalah limpa, sumsum tulang, kelenjar limfe dan paru-paru. Dalam hati, sel-sel ini dinamakan sel kupfer. Fungsi utama sel kupfer adalah memakan benda partikel (seperti bakteri) yang masuk ke dalam hati lewat darah portal.Fungsi metabolik hati: 1. Metabolisme glukosa Setelah makan glukosa diambil dari darah vena porta oleh hati dan diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam hepatosit. Selanjutnya glikogen diubah kembali menjadi glukosa dan jika diperlukan dilepaskan ke dalam aliran darah untuk mempertahankan kadar glukosa yang normal. Glukosa tambahan dapat disintesis oleh hati lewat proses yang dinamakan glukoneogenesis. Untuk proses ini hati menggunakan asam-asam amino hasil pemecahan protein atau laktat yang diproduksi oleh otot yang bekerja.

2. Konversi amonia Penggunaan asam-asam amino untuk glukoneogenesis akan membentuk amonia sebagai hasil sampingan. Hati mengubah amonia yang dihasilkan oleh proses metabolik ini menjadi ureum. Amonia yang diproduksi oleh bakteri dalam intestinum juga akan dikeluarkan dari dalam darah portal untuk sintesis ureum. Dengan cara ini hati mengubah amonia yang merupakan toksin berbahaya menjadi ureum yaitu senyawa yang dapat diekskresikan ke dalam urin.

3. Metabolisme protein Organ ini mensintesis hampir seluruh plasma protein termasuk albumin, faktor-faktor pembekuan darah protein transport yang spesifik dan sebagian besar lipoprotein plasma. Vitamin K diperlukan hati untuk mensintesis protombin dan sebagian faktor pembekuan lainnya. Asam-asam amino berfungsi sebagai unsur pembangun bagi sintesis protein.

114

4. Metabolisme lemak Asam-asam lemak dapat dipecah untuk memproduksi energi dan benda keton. Benda keton merupakan senyawa-senyawa kecil yang dapat masuk ke dalam aliran darah dan menjadi sumber energi bagi otot serta jaringan tubuh lainnya. Pemecahan asam lemak menjadi bahan keton terutama terjadi ketika ketersediaan glukosa untuk metabolisme sangat terbatas seperti pada kelaparan atau diabetes yang tidak terkontrol.

5. Penyimpanan vitamin dan zat besi

6. Metabolisme obat Metabolisme umumnya menghilangkan aktivitas obat tersebut meskipun pada sebagian kasus, aktivasi obat dapat terjadi. Salah satu lintasan penting untuk metabolisme obat meliputi konjugasi (pengikatan) obat tersebut dengan sejumlah senyawa, untuk membentuk substansi yang lebih larut. Hasil konjugasi tersebut dapat diekskresikan ke dalam feses atau urin seperti ekskresi bilirubin.

7. Pembentukan empedu Empedu dibentuk oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam kanalikulus serta saluran empedu. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam empedu. 8. Bilirubin Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh sel-sel pada sistem

retikuloendotelial

yang mencakup

sel-sel

kupfer

dari

hati.

Hepatosit

mengeluarkanbilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnyalewat konjugasi menjadi asam glukuronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut didalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasidiekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus

empedu

didekatnya

dan

akhirnya

dibawa

dalam

empedu

ke

duodenum.Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati, bila aliran empedu terhalang atau bila terjadipenghancuran sel-sel darah merah yang

115

berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.(Smeltzer & Bare, 2001) 3.10.3 Etiologi Menurut FKUI (2001), penyebab sirosis hepatis antara lain : 1. Malnutrisi 2. Alkoholisme 3. Virus hepatitis 4. Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika 5. Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan) 6. Hemokromatosis (kelebihan zat besi) 7. Zat toksik

Ada 3 tipe sirosis atau pembetukan parut dalam hati :

1. Sirosis Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis. 2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadisebelumnya. 3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati disekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis)

3.10.4 Patofisiologi Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis, konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi dengan frekuensi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupanalkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab yang utama padaperlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasaan minum minuman keras dan pada individu yang dietnya normal tetapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi (Smeltzer & Bare, 2001). 116

Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini dibanding individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki kebiasaan meminum minuman keras ataukah menderita malnutrisi. Faktor lainnya dapat memainkan peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen terklorinasi, asen atau fosfor) atau infeksi skistosomiasis yang menular. Jumlah laki-laki penderita sirosis adalah dua kali lebih banyak daripada wanita, danmayoritas pasien sirosis berusia 40-60 tahun (Smeltzer & Bare, 2001). Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi utama akibat induksi alkohol adalah perlemakan hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan sirosis alkoholik (Tarigan, 2001).

3.10.5 Manifestasi Klinis Menurut Smeltzer & Bare (2001) manifestasi klinis dari sirosis hepatis antara lain: 1. Pembesaran Hati Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba berbenjol-benjol (noduler).

2. Obstruksi Portal dan Asites Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akanberkumpul dalam vena porta dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ117

organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.Cairan yang kaya protein dan menumpuk dironggaperitoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh. 3. Varises Gastrointestinal Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah diseluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau hemoroid tergantung pada lokasinya.Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus. 4. Edema Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium Defisiensi Vitamin dan AnemiaKarena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yang tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), 118

maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin seharihari. 5. Kemunduran Mental Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara. 3.10.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan menurut Tarigan (2001) adalah: 1. Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang baik cukup dilakukan kontrol yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori tinggi protein, lemak secukupnya. 2. Pasien sirosis dengan penyebab yang diketahui seperti : a. Alkohol dan obat-obatan dianjurkan menghentikan penggunaannya. Alkohol akan mengurangi pemasukan protein ke dalam tubuh. Dengan diet tinggi kalori (300 kalori), kandungan protein makanan sekitar 70-90 gr sehari untuk menghambat perkembangan kolagenik dapat dicoba dengan pemberian D penicilamine dan Cochicine. b. Hemokromatis Dihentikan pemakaian preparat yang mengandung besi/ terapi kelasi (desferioxamine). Dilakukan vena seksi 2x seminggu sebanyak 500cc selama setahun. c. Pada hepatitis kronik autoimun diberikan kortikosteroid. 3. Terapi terhadap komplikasi yang timbul 119

a. Asites Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram/ hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/ hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/ hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/ hari. Pemberian furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160 mg/ hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin. b. Perdarahan varises esofagus (hematemesis, hematemesis dengan melena atau melena saja) 1. Lakukan aspirasi cairan lambung yang berisi darah untuk mengetahui apakah perdarahan sudah berhenti atau masih berlangsung. 2. Bila perdarahan banyak, tekanan sistolik dibawah 100 mmHg, nadi diatas 100 x/menit atauHb dibawah 99% dilakukan pemberian IVFD dengan pemberian dextrose/ salin dan tranfusi darah secukupnya. 3. Diberikan vasopresin 2 amp 0,1 gr dalam 500cc D5% atau normal salin pemberian selama 4 jam dapat diulang 3 kali. c. Ensefalopati 1. Dilakukan koreksi faktor pencetus seperti pemberian KCL pada hipokalemia. 2. Mengurangi pemasukan protein makanan dengan memberi diet sesuai. 3. Aspirasi cairan lambung bagi pasien yang mengalami perdarahan pada varises. 4. Pemberian antibiotik campisilin/ sefalosporin pada keadaan infeksi sistemik. 5. Transplantasi hati. d. Peritonitis bakterial spontan Diberikan antibiotik pilihan seperti cefotaksim, amoxicillin, aminoglikosida. e. Sindrom hepatorenal/ nefropatik hepatic Mengatur keseimbangan cairan dan garam. 120

3.10.7 Komplikasi Komplikasi sirosis hepatis menurut Tarigan (2001) adalah: 1. Hipertensi portal 2. Coma/ ensefalopaty hepatikum 3. Hepatoma 4. Asites 5. Peritonitis bakterial spontan 6. Kegagalan hati (hepatoselular)

121

3.10.8 Pengkajian Pengkajian pada pasien sirosis hepatis menurut Doenges (2000) sebagai berikut: 1. Demografi a. Usia : diatas 30 tahun b. Laki-laki beresiko lebih besar daripada perempuan 2. Riwayat Kesehatan a. Riwayat hepatitis kronis b. Penyakit gangguan metabolisme : DM c. Obstruksi kronis ductus coleducus d. Gagal jantung kongestif berat dan kronis e. Penyakit autoimun f. Riwayat malnutrisi kronis terutama KEP 3. Pola Fungsional a. Aktivitas/ istirahat Gejala : Kelemahan, kelelahan. Tanda : Letargi, penurunan massa otot/ tonus. b. Sirkulasi Gejala : Riwayat Gagal Jantung Kongestif (GJK) kronis, perikarditis, penyakit jantung rematik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati), disritmia, bunyi jantung ekstra, DVJ; vena abdomen distensi. c. Eliminasi Gejala : Flatus.

122

Tanda : Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites), penurunan/ tak adanya bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap, pekat. d. Makanan/ cairan Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/ tak dapat mencerna, mual/ muntah. Tanda : Penurunan berat badan/ peningkatan (cairan), kulit kering, turgor buruk, ikterik : angioma spider, napas berbau/ fetor hepatikus, perdarahan gusi. e. Neurosensori Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian, penurunan mental. Tanda : Perubahan mental, bingung halusinasi, koma, bicara lambat/ tak jelas. f. Nyeri/ kenyamanan Gejala : Nyeri tekan abdomen/ nyeri kuadran kanan atas. Tanda : Perilaku berhati-hati/ distraksi, fokus pada diri sendiri. g. Pernapasan Gejala : Dispnea. Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi paru terbatas (asites), hipoksia. h. Keamanan Gejala : Pruritus. Tanda : Demam (lebih umum pada sirosis alkohlik), ikterik, ekimosis, petekie. i. Seksualitas Gejala : Gangguan menstruasi, impoten. Tanda : Atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan, pubis)

123

3.10.9 Pemeriksaan Fisik a. Tampak lemah b. Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada kelebihan cairan) c. Sclera ikterik, konjungtiva anemis d. Distensi vena jugularis dileher e. Dada : 1. Ginekomastia (pembesaran payudara pada laki-laki) 2. Penurunan ekspansi paru 3. Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan 4. Disritmia, gallop 5. Suara abnormal paru (rales)

f. Abdomen : 1. Perut membuncit, peningkatan lingkar abdomen 2. Penurunan bunyi usus 3. Ascites/ tegang pada perut kanan atas, hati teraba keras 4. Nyeri tekan ulu hati g. Urogenital : 1. Atropi testis 2. Hemoroid (pelebaran vena sekitar rektum) h. Integumen :Ikterus, palmar eritema, spider naevi, alopesia, ekimosis i. Ekstremitas :Edema, penurunan kekuatan otot a. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium Menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu: 1. Darah lengkap Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan. Kerusakan SDM dan anemia 124

terlihat dengan hipersplenisme dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin ada sebagai akibat hiperplenisme. 2. Kenaikan kadar SGOT, SGPT 3. Albumin serum menurun 4. Pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia 5. Pemanjangan masa protombin 6. Glukosa serum : hipoglikemi 7. Fibrinogen menurun 8. BUN meningkat Pemeriksaan diagnostic Menurut smeltzer & Bare (2001) yaitu: 1) Radiologi Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal. 2) EsofagoskopiDapat menunjukkan adanya varises esofagus. 3) USG 4) Angiografi Untuk mengukur tekanan vena porta. 5) Skan/ biopsi hati Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati. 6) Partografi transhepatik perkutaneus Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal. 3.10.10 Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada klien sirosis hepatis menurut Doenges (2000) antara lain: 1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, asites. 2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat. 3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema. 4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik. 5. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu pada kulit. 6. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme protein. 7. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh.

125

8. Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan peningkatan amonia dalam darah. 3.10.11 Intervensi dan Rasional Menurut Doenges (2000) pada klien sirosis hepatis ditemukan diagnosa keperawatan dengan intervensi dan rasional sebagai berikut: 1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru, asites. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pola nafas menjadi efektif. Kriteria hasil : a. Melaporkan pengurangan gejala sesak nafas. b. Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18 x/ menit) tanpa terdengarnya suara pernapasan tambahan. c. Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan dangkal. d. Tidak mengalami gejala sianosis. Intervensi : 1) Awasi frekuensi, kedalaman dan upaya pernapasan. Rasional : Pernapasan dangkal cepat/ dispnea mungkin ada hubungan dengan akumulasi cairan dalam abdomen. 2) Pertahankan kepala tempat tidur tinggi, posisi miring. Rasional : Memudahkan pernapasan dengan menurunkan tekanan pada diafragma. 3) Ubah posisi dengan sering, dorong latihan nafas dalam, dan batuk. Rasional : Membantu ekspansi paru dan memobilisasi sekret. 4) Berikan tambahan oksigen sesuai indikasi.

126

Rasional : Untuk mencegah hipoksia. 2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kebutuhan nutrisi tubuh terpenuhi. Kriteria hasil : a. Menunjukkan peningkatan berat badan secara progresif. b. Tidak mengalami tanda malnutrisi lebih lanjut. Intervensi : 1) Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori. Rasional : Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan. 2) Berikan makan sedikit tapi sering. Rasional : Buruknya toleransi terhadap makanan banyak mungkin berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdomen/ asites. 3) Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan. Rasional : Klien cenderung mengalami luka dan perdarahan gusi dan rasa tidak enak pada mulut dimana menambah anoreksia. 4) Timbang berat badan sesuai indikasi. Rasional : Mungkin sulit untuk menggunakan berat badan sebagai indikator langsung status nutrisi karena ada gambaran edema/ asites. 5) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh glukosa serum, albumin, total protein dan amonia. Rasional : Glukosa menurun karena gangguan glukogenesis, penurunan simpanan glikogen, atau masukan tidak adekuat.

127

3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam terjadi balance cairan. Kriteria hasil : a. Menunjukkan volume cairan stabil dengan keseimbangan pemasukan dan pengeluaran. b. Berat badan stabil. c. Tanda vital dalam rentang normal dan tidak ada edema. Intervensi : 1) Ukur masukan dan haluaran, catat keseimbangan positif. Rasional : Menunjukkan status volume sirkulasi. 2) Auskultasi paru, catat penurunan/ tidak adanya bunyi napas dan terjadinya bunyi tambahan. Rasional : Peningkatan kongesti pulmonal dapat mengakibatkan konsolidasi, gangguan pertukaran gas, dan komplikasi. 3) Dorong untuk tirah baring bila ada asites. Rasional : Dapat meningkatkan posisi rekumben untuk diuresis. 4) Awasi TD dan CVP Rasional : Peningkatan TD biasanya berhubungan dengan kelebihan volume cairan. 5) Awasi albumin serum dan elektrolit. Rasional : Penurunan albumin serum mempengaruhi tekanan osmotik koloid plasma, mengakibatkan edema. 4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam klien toleran terhadap aktivitas. Kriteria hasil : 128

a. Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan klien. b. Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat yang cukup. c. Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan dengan bertambahnya kekuatan. Intervensi : 1) Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP). Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan. 2) Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K) Rasional : Memberikan nutrien tambahan. 3) Motivasi klien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat. Rasional : Menghemat tenaga klien sambil mendorong klien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi klien. 4) Motivasi dan bantu klien untuk melakukan latihan dengan

periode waktu yang

ditingkatkan secara bertahap. Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri 5. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi garam empedu pada kulit. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam integritas kulit terjaga. Kriteria hasil : a. Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubuh. b. Tidak memperlihatkan luka pada tubuh. c. Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna atau peningkatan suhu didaerah tonjolan tulang. Intervensi :

129

1) Batasi natrium seperti yang diresepkan. Rasional : Meminimalkan pembentukan edema. 2) Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit. Rasional : Jaringan dan kulit yang edematous mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma. 3) Balik dan ubah posisi klien dengan sering. Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema. 4) Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematous. Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema. 5) Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, dan tonjolan tulang lain. Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar. 6. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme protein. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam tidak terjadi perdarahan. Kriteria hasil : a. Mempertahankan homeostasis dengan tanpa perdarahan. b. Menunjukkan perilaku penurunan resiko perdarahan. Intervensi : 1) Kaji adanya tanda-tanda dan gejala perdarahan gastrointestinal. Rasional : Traktus GI paling bisa untuk sumber perdarahan sehubungan dengan mukosa yang mudah rusak dan gangguan dalam homeostasis karena sirosis.

130

2) Observasi adanya ptekie, ekimosis, perdarahan dari satu atau lebih sumber. Rasional : Adanya gangguan faktor pembekuan. 3) Awasi nadi, TD, dan CVP bila ada. Rasional : Peningkatan nadi dengan penurunan TD dan CVP dapat menunjukkan kehilangan volume darah sirkulasi, memerlukan evaluasi lanjut. 4) Awasi Hb/ Ht dan faktor pembekuan. Rasional : Indikator anemia, perdarahan aktif. 5) Catat perubahan mental/ tingkat kesadaran. Rasional : Perubahan dapat menunjukkan penurunan perfusi jaringan serebral sekunder terhadap hipovolemia, hipoksemia. 7. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam tidak terjadi infeksi. Kriteria hasil : a. Tanda-tanda vital dalam batas normal. b. Menunjukkan teknik melakukan perubahan pola hidup untuk menghindari infeksi ulang. Intervensi : 1) Kaji tanda vital dengan sering. Rasional : Tanda adanya syok septik. 2) Lakukan teknik isolasi untuk infeksi, terutama cuci tangan efektif. Rasional : Mencegah transmisi penyakit virus ke orang lain. 3) Awasi/ batasi pengunjung sesuai indikasi. Rasional : Klien terpajan terhadap proses infeksi potensial resiko komplikasi sekunder. 131

4) Berikan obat sesuai indikasi : antibiotik. Rasional : Pengobatan untuk mencegah/ membatasi infeksi sekunder. 8. Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan peningkatan amonia dalam darah. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam tidak terjadi perubahan proses pikir. Kriteria hasil : a. Mempertahankan tingkat mental/ orientasi kenyataan. b. Menunjukkan perilaku/ pola hidup untuk mencegah/ meminimalkan perubahan mental. Intervensi : 1) Observasi perubahan perilaku dan mental. Rasional : Karena merupakan fluktuasi alami dari koma hepatik. 2) Konsul pada orang terdekat tentang perilaku umum dan mental klien. Rasional : Memberikan dasar untuk perbandingan dengan status saat ini 3) Pertahankan tirah baring, bantu aktivitas perawatan diri.Rasional : Mencegah kelelahan, meningkatkan penyembuhan, menurunkan kebutuhan metabolik hati. 4) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh : amonia, elektrolit, pH, BUN, glukosa dan darah lengkap.Rasional : Peningkatan kadar amonia, hipokalemia, alkalosis metabolik, hipoglikemia, anemia, dan infeksi dapat mencetuskan terjadinya koma hepatik.

132

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Sistem pencernaan terdiri atas saluran pencernaan dan organ glandular aksesorius yang menghasilkan sekresi. Struktur utama saluran pencernaan adalah mulut, faring, esophagus, lambung, usus halus (duodenum, yeyunum, ileum) dan usus besar (kolon, rectum, anus). Organ glandular tambahan meliputi kelenjar saliva, hati, kandung empedu, dan pancreas.

133

DAFTAR PUSTAKA

Kirnanoro et al. (2008). Anatomi Fisiologi. Yogyakarta; Pustaka Baru Press. Morton G.P et al. (2008). Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC.

134

Related Documents


More Documents from "Putri Farahmida"