Bab Ii Modul 3.docx

  • Uploaded by: Rani Deswidia
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii Modul 3.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,465
  • Pages: 33
BAB II LANDASAN TEORI

2.1

Biomekanika Biomekanika adalah ilmu yang mempelajari tentang gerakan tubuh manusia

yang dikaji dengan sudut pandang teknis. Biomekanika dibagi menjadi dua, yaitu general biomechanic dan occupational biomechanic. General biomechanic adalah konsep biomekanika yang mempelajari tentang posisi tubuh manusia baik dalam posisi bergerak maupun diam. General biomechanic dibagi menjadi dua (Akshinta dan Susanty, 2017) : 1.

Biostatics, yaitu biomekanika yang menganalisis gerakan tubuh pada kondisi diam maupun bergerak pada garis lurus atau kecepatan seragam.

2.

Biodynamics, yaitu biomekanika umum yang berkaitan dengan gambaran gerakan-gerakan tubuh tanpa mempertimbangkan gerakangerakan yang terjadi dan gerakan yang disebabkan gaya yang bekerja dalam tubuh. Selain general biomechanic, ada pula occupational biomechanic yaitu

biomekanika terapan yang mempelajari interaksi fisik antara pekerja dengan mesin, material, dan peralatan dengan tujuan meminimumkan keluhan pada system kerangka – otot agar produktifitas kerja meningkat. Pada biomekanika banyak melibatkan bagian-bagian tubuh yang berkolaborasi untuk menghasilkan gerak, yaitu kolaborasi antara tulang, jaringan penghubung, dan otot. Hal yang perlu diperhatikan para ergonom untuk sedapat mungkin dihindari (Akshinta dan Susanty, 2017) : 1.

Beban otot statis

2.

Oklusi (penyumbatan aliran darah) karena tekanan, misalnya tekanan segi kursi pada popliteal (lipat lutut).

3.

Bekerja dengan lengan berada di atas siku yang menyebabkan aliran darah bekerja berlawanan dengan arah gravitasi.

4.

Kekuatan kerja otot bergantung pada posisi anggota tubuh yang bekerja, arah gerakan kerja, perbedaan kekuatan antar bagian tubuh dan usia

5.

Kecepatan dan ketelitian dan daya tahan jaringan tubuh terhadap beban.

2.1.1 Faktor dalam Biomekanika Berikut ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan keluhan otot rangka (Akshinta dan Susanty, 2017), antara lain : 1.

Peregangan otot berlebihan. Peregangan yang berlebihan (over exertion) biasa dialami oleh pekerja yang melakukan aktifitas kerja yang menuntut kekuatan fisik yang besar. Apabila pekerjaan tersebut sering dilakukan, maka resiko terjadinya keluhan otot akan semakin tinggi, hal yang lebih buruk adalah terjadinya cidera otot skeletal.

2.

Aktifitas berulang. Aktifitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan terus menerus. Efek yang ditimbulkan dari aktifitas berulang adalah kelelahan otot karena otot bekerja tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.

3.

Sikap kerja yang tidak alamiah. Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi-posisi bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alaminya. Semakin jauh posisi tubuh dari pusat gravitasi, maka resiko keluhan otot skeletal juga semakin tinggi.

4.

Faktor lainnya seperti tekanan. Jika terjadi tekanan langsung pada jaringan otot lunak seperti pada saat tangan memegang alat pada waktu yang cukup lama, akan dapat menyebabkan keluhan pada otot, getaran. Getaran dengan frekuensi tiniggi dapat menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini dapat menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat dan berakibat rasa nyeri pada otot dan Suhu. Suhu yang dingin dapat menyebabkan kekakuan pada otot sehingga dapat menguragi kelincahan dan reflek kerja. Suhu yang panas dapat menyebabkan kelelahan.

5.

Faktor kombinasi Resiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin tinggi dengan meningkatnya tugas yang ditanggung oleh tubuh. Hal yang mempengaruhi faktor kombinasi antara lain : a.

Umur Keluhan otot skeletal biasa dialami oleh orang pada usia kerja (24 – 65 tahun). Biasanya keluhan pertama dialami oleh pekerja usia 35 tahun dan keluhan akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur.

b.

Jenis kelamin Jenis kelamin sangat berpengaruh pada beban kerja yang akan diberikan, umumnya beban kerja yang diberikan pada pria lebih besar dibandingkan beban kerja yang diberikan kepada wanita.

c.

Kesegaran jasmani Pada umumnya, keluhan otot jarang dialami oleh seseorang yang dalam aktifitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk beristirahat. Sebaliknya, bagi pekerja yang dalam kesehariannya menggunakan tenaga besar serta waktu istirahat yang kurang, akan mengalami resiko keluhan otot. Tingkat kesegaran tubuh yang rendah juga menambah resiko keluhan otot.

2.1.2 Prinsip Biomekanika Prinsip-prinsip yang berlaku dalam biomekanika adalah sebagai berikut (Akshinta dan Susanty, 2017) : 1.

Mengurangi berat dari benda/beban kerja.

2.

Memanfaatkan 2 orang atau lebih untuk memindahkan barang yang berat

3.

Mengubah pola aktivitas jika memungkinkan, dengan tujuan meringankan beban dan meminimalisir bahaya

4.

Meminimasi jarak horizontal antara tempat mulai dan berakhir pada tempat pemindahan barang

5.

Material tidak terletak lebih tinggi dari bahu

6.

Mengurangi frekuensi pemindahan

7.

Waktu istirahat

8.

Memberlakukan rotasi kerja untuk pekerjaan yang membutuhkan tenaga

9.

Merancang kontainer yang memiliki pegangan (grip) yang baik dan dipegang dekat dengan tubuh dan benda yang berat dijaga setinggi lutut.

2.2

Ovako Working Posture Analysis System (OWAS) Metode OWAS merupakan salah satu metode yang memberikan output

berupa kategori sikap kerja yang beresiko terhadap kecelakaan kerja pada bagian musculoskeletal. Metode OWAS mengkodekan sikap kerja pada bagian punggung, tangan, kaki, dan berat beban. Masing-masing bagian memiliki klasifikasi sendirisendiri. Postur dasar OWAS disusun dengan kode yang terdiri empat digit, dimana

disusun secara berurutan mulai dari punggung, lengan, kaki dan berat beban yang diangkat ketika melakukan penanganan material secara manual. Berikut ini adalah klasifikasi sikap bagian tubuh yang diamati untuk dianalisa dan dievaluasi (Sriyanto Dkk, 2015) : 1.

Sikap Punggung : a.

Lurus

b.

Membungkuk

c.

Memutar atau miring kesamping

d.

Membungkuk dan memutar atau membungkuk kedapan dan menyamping

Gambar 2.1 Klasifikasi Sikap Punggung (Sumber : Sriyanto Dkk, 2015)

2.

Sikap Lengan : a.

Kedua lengan berada dibawah bahu

b.

Satu lengan berada pada atau diatas bahu

c.

Kedua lengan pada atau diatas bahu

Gambar 2.2 Klasifikasi Sikap Lengan (Sumber : Sriyanto Dkk, 2015)

3.

Sikap Kaki : a.

Duduk

b.

Berdiri bertumpu pada kedua kaki lurus

c.

Berdiri bertumpu pada satu kaki lurus

d.

Berdiri bertumpu pada kedua kaki dengan lutut ditekuk

e.

Berdiri bertumpu pada satu kaki dengan lutut ditekuk

f.

Berlutut pada satu atau kedua lutut

g.

Berjalan

Berikut gambar pada klasifikasi sikap kaki :

Gambar 2.3 Klasifikasi Sikap Kaki (Sumber : Sriyanto Dkk, 2015)

4.

Berat Beban : a.

Berat beban adalah kurang dari 10 Kg (W = 10 Kg)

b.

Berat beban adalah 10 Kg – 20 Kg (10 Kg < W ≤ 20 Kg)

c.

Berat beban adalah lebih besar dari 20 Kg (W > 20 Kg) Hasil dari analisa postur kerja OWAS terdiri dari empat level skala sikap kerja yang berbahaya bagi para pekerja. KATEGORI 1 : Pada sikap ini tidak ada masalah pada sistem muskuloskeletal. Tidak perlu ada perbaikan. KATEGORI 2 : Pada sikap ini berbahaya pada sistem musculoskeletal, postur kerja mengakibatkan pengaruh ketegangan yang signifikan. Perlu perbaikan dimasa yang akan datang. KATEGORI 3 : Pada sikap ini berbahaya pada sistem musculoskeletal, postur kerja mengakibatkan pengaruh ketegangan yang sangat signifikan. Perlu perbaikan segera mungkin. KATEGORI 4 : Pada sikap ini sangat berbahaya pada sistem muskuloskeletal ,postur kerja ini mengakibatkan resiko yang jelas. Perlu perbaikan secara langsung atau saat ini juga.

2.3

Rapid Upper Limb Assessment (RULA) Rapid Upper Limb Assessment (RULA) merupakan suatu metode penelitian

untuk menginvestigasi gangguan pada anggota badan bagian atas. Metode ini dirancang oleh Lynn Mc Atamney dan Nigel Corlett (1993) yang menyediakan sebuah perhitungan tingkatan beban muskuluskeletal di dalam sebuah pekerjaan yang memiliki resiko pada bagian tubuh dari perut hingga leher atau anggota badan bagian atas. Metode ini tidak membutuhkan peralatan spesial dalam penetapan

penilaian postur leher, punggung, dan lengan atas. Setiap pergerakan di beri skor yang telah ditetapkan. RULA dikembangkan sebagai suatu metode untuk mendeteksi postur kerja yang merupakan faktor resiko. Metode didesain untuk menilai para pekerja dan mengetahui beban musculoskletal yang kemungkinan menimbulkan gangguan pada anggota badan atas. Metode ini menggunakan diagram dari postur tubuh dan tiga tabel skor dalam menetapkan evaluasi faktor resiko (Amri Dkk, 2016). Faktor resiko yang telah diinvestigasi dijelaskan oleh McPhee sebagai faktor beban eksternal yaitu : 1.

Jumlah pergerakaN

2.

Kerja otot static

3.

Tenaga atau kekuatan

4.

Penentuan postur kerja oleh peralatan

5.

Waktu kerja tanpa istirahat

2.3.1 Penilaian Postur Tubuh Adapun penilaian postur tubuh pada metode Rapid Upper Limb Assessment (RULA) adalah sebagai berikut (Amri Dkk, 2016) : 1.

Penilaian postur tubuh grup A Postur tubuh grup A terdiri atas lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), pergelangan tangan (wrist) dan putaran pergelangan tangan (wrist twist). Lengan atas (upper arm) Penilaian terhadap lengan atas (upper arm) adalah penilaian yang dilakukan terhadap sudut yang dibentuk lengan atas pada saat melakukan aktivitas kerja. Sudut yang dibentuk oleh lengan atas diukur menurut posisi batang tubuh. Adapun postur Tubuh Bagian Lengan Atas (Upper Arm) Range pergerakan lengan atas (a) postur 200 flexion dan extension, (b) postur 200 atau lebih extension dan postur 20-450 flexion, (c) postur 45- 900 flexion, (d) postur 900 atau lebih flexion

Dapat dilihat pada Gambar berikut :

Gambar 2.4 Postur Tubuh Bagian Lengan Atas (Upper Arm) Range pergerakan lengan atas. (Sumber : Amri Dkk, 2016)

Lengan Bawah (lower arm) Penilaian terhadap lengan bawah (lower arm) adalah penilaian yang dilakukan terhadap sudut yang dibentuk lengan bawah pada saat melakukan aktivitas kerja. Sudut yang dibentuk oleh lengan bawah diukur menurut posisi batang tubuh. Adapun postur Range pergerakan lengan bawah (a) postur 60-1000 flexion, (b) postur 600 atau kurang flexion dan 1000 atau lebih flexion dapat dilihat pada Gambar berikut :

Gambar 2.5 Range pergerakan lengan bawah (Sumber : Amri Dkk, 2016)

Pergelangan Tangan (wrist) Penilaian terhadap pergelangan tangan (wrist) adalah penilaian yang dilakukan terhadap sudut yang dibentuk oleh pergelangan tangan pada saat melakukan aktivitas kerja. Sudut yang dibentuk

oleh pergelangan tangan diukur menurut posisi lengan bawah. Adapun postur pergelangan tangan (wrist) (a) postur alamiah, (b) postur 0-150 flexion maupun extension, (c) postur 150 atau lebih flexion, (d) postur 150 atau lebih extension dapat dilihat pada Gambar berikut :

Gambar 2.6 Range pergerakan pergelangan tangan (Sumber : Amri Dkk, 2016)

2.

Penilaian postur tubuh grup B Postur tubuh grup B terdiri atas leher (neck), batang tubuh (trunk), dan kaki (legs). Penilaian terhadap leher (neck) adalah penilaian yang dilakukan terhadap posisi leher pada saat melakukan aktivitas kerja apakah operator harus melakukan kegiatan ekstensi atau fleksi dengan sudut tertentu. Adapun postur leher a) postur 200 atau flexion, (b) postur extension dapat dilihat pada Gambar berikut :

Gambar 2.7 Range pergerakan leher (Batang Tubuh (Trunk) (Sumber : Amri Dkk, 2016)

Penilaian terhadap batang tubuh (trunk), merupakan penilaian terhadap sudut yang dibentuk tulang belakang tubuh saat melakukan aktivitas kerja dengan kemiringan yang sudah diklasifikasikan. Adapun klasifikasi kemiringan batang tubuh saat melakukan aktivitas kerja (a) postur alamiah, (b)postur 0-200 flexion, (c) postur 20-600 flexion, (d) postur 600 flexion dapat dilihat pada Gambar berikut :

Gambar 2.8 Range pergerakan punggung (Sumber : Amri Dkk, 2016)

2.4

Antropometri Antropometri berasal dari kata antropo (manusia) dan metri (ukuran).

Antropometri yaitu studi yang berkaitan dengan pengukuran tubuh manusia yang akan digunakan sebagai pertimbangan ergonomis dalam memerlukan intraksi manusia. Antropometri adalah satu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia, ukuran, bentuk dan kekuatan serta penerapan dari data tersebut untuk penanganan masalah desain. Anthropometri secara lebih luas digunakan sebagai pertimbangan ergonomis dalam proses perencanaan produk maupun sistem kerja yang memerlukan interaksi manusia. Data antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara lebih luas antara lain dalam hal perancangan areal kerja (work station), perancangan alat kerja seperti mesin, equipment, perkakas (tools), perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi, meja, dan perancangan lingkungan fisik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data anthropometri akan menentukan bentuk, ukuran, dan

dimensi yang tepat berkaitan dengan produk yang akan dirancang sesuai dengan manusia yang akan mengoperasikan atau menggunakan produk tersebut (Amri Dkk, 2016). Beriktu gambar dari antropometri telapak tangan adalah :

Gambar 2.10 Antropometri Telapak Tangan (Sumber : Amri Dkk, 2016)

Berdasarkan pada Gambar 1 diatas didapat 25 dimensi tangan yang diukur yaitu : Lebar ibu jari (Lij), Lebar jari telunjuk (Ljt), Lebar jari tengah (Ljtg), Lebar jari manis (Ljm), Lebar jari kelingking (Ljk), Panjang ibu jari (Pij), Panjang jari telunjuk (Pjt), Panjang jari tengah (Pjtg), Panjang jari manis (Pjm), Panjang jari kelingking (Pjk), Tebal tangan metakarpal (Ttm), Tebal tangan ibu jari (Ttij), Tebal

ibu jari (Tij), Tebal jari (Tj), Panjang tangan menggegam (Ptm), Lebar tangan menggegam (Ltm), Panjang tangan (Pt), Panjang telapak tangan (Ptt), Lebar tangan metakarpal (Ltmk), Lebar tangan sampai ibu jari (Ltij), Jarak ibu jari kelingking (Jjk), Diameter genggaman maksimal (Dgmak), Diameter genggaman minimal (Dgmin), Lebar kepalan tangan (Lkt), Tinggi kepalan tangan (Tgkt), 2.5

Uji Statistik Adapun beberapa uji statistik adalah sebagai berikut :

2.5.1 Uji Normalitas Data klasifikasi kontinue, data kuantitatif yang termasuk dalam pengukuran data skala interval atau ratio, untuk dapat dilakukan uji statistik parametrik dipersyaratkan berdistribusi normal. Pembuktian data berdistribusi normal tersebut perlu dilakukan uji normalitas terhadap data. Uji normalitas berguna untuk membuktikan data dari sampel yang dimiliki berasal dari populasi berdistribusi normal atau data populasi yang dimiliki berdistribusi normal. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuktikan suatu data berdistribusi normal atau tidak. Metode klasik dalam pengujian normalitas suatu data tidak begiturumit. Berdasarkan pengalaman empiris beberapa pakar statistik, data yang banyaknya lebih dari 30 angka (n > 30), maka sudah dapat diasumsikan berdistribusi normal. Biasa dikatakan sebagai sampel besar. Namun untuk memberikan kepastian, data yang dimiliki berdistribusi nor mal atau tidak, sebaiknya digunakan uji statistiknormalitas. Karena belum tentu data yang lebih dari 30 bisadipastikan berdistribusi normal, demikian sebaliknya data yang banyaknya kurang dari 30 belum tentu tidak berdistribusi normal,untuk itu perlu suatu pembuktian. Pembuktian normalitas dapat dilakukan dengan manual, yaitu dengan menggunakan kertas peluang normal, atau dengan menggunakan uji statistik

normalitas.

Banyak

jenis

uji

statistik

normalitas

yang

dapat

digunakandiantaranya Kolmogorov Smirnov, Lilliefors, Chi-Square, ShapiroWilk atau menggunakan soft ware computer. Soft ware computer dapat digunakan misalnya SPSS, Minitab, Simstat, Microstat, dsb.Pada hakekatnya soft ware

tersebut merupakan hitungan ujistatistik Kolmogorov Smirnov, Lilliefors, ChiSquare, ShapiroWilk, dsb yang telah diprogram dalam soft ware komputer. 2.5.2 Uji Keseragaman Data Uji keseragaman data dilaksanakan dengan mengaplikasikan peta control (control chart) adalah suatu alat yang cocok untuk menguji keseragaman data yang diperoleh dari pengamatan. Data yang diperoleh dari pengukuran dikelompokkan ke dalam sub group-sub group (Darsini, 2014). Uji keseragaman data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Memasukkan data ke dalam sub group dan menghitung rata-rata dari setiap sub group. Lalu Menghitung harga rata-rata dari harga rata sub group dengan rumus sebagai berikut : X=

𝜎𝑋 𝑛

... (2.1)

Keterangan: X = Rata-rata dari seluruh sub group X1 = Waktu penyelesaian yang diamati n = Banyaknya data dari sub group ke-i 2. Menghitung harga standar deviasi sebenarnya dari waktu penyelesaian dengan rumus sebagai berikut :

𝜏=

√σ(Xi-X)2 (N-1)

...(2.2)

Keterangan : N = Jumlah pengamatan pendahulu yang sudah dilakukan X1 = Data waktu pengamatan 1.

Menghitung batas control atas dan batas control bawah dengan rumus sebagai berikut : BKA = X + k.σ. X

BKB = X – k.σ. X Keterangan : K = Jarak batas pengendali dari garis tengah - Tingkat kepercayaan 68% maka nilai k = 1 - Tingkat kepercayaan 95% maka nilai k = 2 - Tingkat kepercayaan 99% maka nilai k = 3 Data yang berada di luar batas kontrol atas dan batas kontrol bawah data tersebut adalah data ekstrim dan harus dibuang (Darsini, 2014). 2.5.3 Uji Kecukupan Data Menurut Darsini (2014) dikutip dari Sutalaksana (1980), pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah sampel data yang telah diambil cukup mewakili atau populasi atau belum. Yang ideal adalah dengan melakukan pengukuran atau pengamatan yang jumlahnya cukup banyak. Namun hal tersebut tidak mungkin mengingat factor waktu, tenaga, dan biaya. Untuk menetapkan berapa jumlah pengamatan yang seharusnya dilakukan disini diputuskan dahulu tingkat keyakinan (confidence of accurancy) untuk mengukuran ini yang merupakan tingkat kepastian yang diinginkan oleh pengamat atau analis berkenaan dengan pengamatan yang dilakukan tersebut. Di dalam aktifitas pengukuran kerja biasanya diambil 95% tingkat keyakinan, dan 5% derajat ketelitian. Hal ini berarti bahwa sekurang-kurangnya 95 dari 100 rata-rata dari waktu dicatat atau diukur untuk suatu elemen kerja akan memiliki penyimpangan lebih dari 5% dengan demikian formula yang digunakan sebagai berikut : k⁄ √N ∑ X2 –( ∑ X)2 s N’ = [ ] ∑ Xi

Dimana : N` = keseragaman dan kecukupan data N = banyak data yang diukur k = tingkat kepercayaan

...(2.3)

s = derajat ketelitian Dari langkah uji keseragaman data data dan kecukupan data akan didapat harga N`sehingga dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.

N` ≤ N maka data yang telah diambil sudah cukup dan tidak perlu melakukan pengambilan data kembali.

2.

N` ≥ N maka data belum cukup dan harus melakukan pengambilan data tambahan sebanyak N`- N data Dalam penelitian ini penulis mengambil tingkat kepercayaan 95% (k-2) dan

derajat ketelitian 5% (s – 0,05). 2.6

Lingkungan Kerja Lingkungan kerja adalah tempat di mana karyawan melakukan aktivitas

setiap harinya. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja optimal. Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosional karyawan. Jika karyawan menyenangi lingkungan kerja di mana dia bekerja, maka karyawan tersebut akan betah di tempat kerjanya, melakukan aktivitasnya sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif. Produktivitas akan tinggi dan otomatis prestasi kerja karyawan juga tinggi. Lingkungan kerja itu mencakup hubungan kerja antara bawahan dan atasan serta lingkungan

fisik

tempat

karyawan

bekerja

(Kamus

Besar

Bahasa

Indonesia).“Lingkungan kerja adalah lingkungan dimana pegawai melakukan pekerjaannya sehari- hari.” Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan para karyawan untuk dapat berkerja optimal. Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosi karyawan. Jika pegawai menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja, maka karyawan tersebut akan betah di tempat kerjanya untuk melakukan aktivitas sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif dan optimis prestasi kerja karyawan juga tinggi. Lingkungan kerja tersebut mencakup hubungan kerja yang terbentuk antara sesama karyawan dan hubungan kerja antar bawahan dan atasan serta lingkungan fisik tempat pegawai bekerja. Lingkungan Kerja adalah “Ke- seluruhan alat pekakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitar di mana

ia bekerja, metode kerjanya baik perorangan maupun kelompok” (Darmayanti, 2017). Lingkungan kerja merupakan bagian komponen yang sangat penting di dalam karyawan melakukan aktivitas bekerja. Dengan memperhatikan lingkungan kerja yang baik atau menciptakan kondisi kerja yang mampu memberikan motivasi karyawan untuk bekerja, maka dapat membawa pengaruh terhadap semangat kerja karyawan. Pengertian lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugastugas yang dibebankan. Menurut Saydam (2000:226) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai “keseluruhan sarana prasarana kerja yang ada disekitar karyawan yang sedang melaksanakan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pekerjaan itu sendiri”. Walaupun lingkungan kerja merupakan faktor penting serta dapat mempengaruhi kinerja karyawan, tetapi saat ini masih banyak perusahaan yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan kerja disekitar perusahaannya. Suatu kondisi lingkungan kerja dapat dikatakan baik apabila lingkungan kerja tersebut sehat, nyaman, aman dan menyenangkan bagi karyawan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Menurut Lewa dan Subono (2005:235) bahwa lingkungan kerja didesain sedemikian rupa agar dapat tercipta hubungan kerja yang mengikat pekerja dengan lingkungan. Lingkungan kerja yang menyenangkan dapat membuat para karyawan merasa betah dalam menyelesaikan pekerjaannya serta mampu mencapai suatu hasil yang optimal. Sebaliknya apabila kondisi lingkungan kerja tersebut tidak memadai akan menimbulkan dampak negatif dalam penurunan tingkat produktifitas kinerja karyawan. Menurut Sedarmayati (2009:21) definisi lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya dimana sesorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun kelompok (Rahmawanti, 2014). Fisik Lingkungan kerja fisik dapat di artikan semua keadaan yang ada disekitar tempat kerja, yang dapat mempengaruhi kinerja karyawan. Menurut Sedarmayanti (2009:22) yang dimaksud lingkungan kerja fisik yaitu semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat disekitar tempat kerja dimana dapat mempengaruhi kerja karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan menurut

Sumartono dan Sugito (2004:146) lingkungan kerja fisik adalah kondisi fisik dalam perusahaan disekitar tempat kerja, seperti sirkulasi udara, warna tembok, keamanan, ruang gerak dan lain-lain. Menurut Sihombing (2004:175) lingkungan kerja fisik adalah salah satu unsur yang harus digunakan perusahaan sehingga dapat menimbulkan rasa aman, tentram dan dapat meningkatkan hasil kerja yang baik untuk peningkatan kinerja karyawan. Selanjutnya menurut Nitisemito (2000:184) beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja fisik meliputi warna, kebersihan, sirkulasi udara, penerangan dan keamanan. Sedangkan menurut Setiawan (2008:83) faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya suatu lingkungan kerja diantaranya adalah temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis dan keamanan. Dari beberapa pendapat di atas yang telah dijelaskan mengenai unsur-unsur lingkungan kerja fisik mencakup pencahayaan, sirkulasi udara, warna, kebersihan dan keamanan (Rahmawanti, 2014). Berikut ini adalah unsur-unsur dari lingkungan kerja fisik : 1.

Pencahayaan

2.

Sirkulasi Udara

3.

Warna

4.

Kebersihan

5.

Keamanan Menurut Mangkunegara (2004:67) yang dimaksud kinerja (performance)

adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Simanjuntak (2005:122) berpendapat bahwa kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas-tugas tertentu. Menurut Simamora (2006:338) penilaian kinerja (performance appraisal) adalah proses yang dipakai oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan maupun kelompok. Dengan adanya penilaian kinerja, perusahaan akan memiliki informasi mengenai tingkat kemampuan karyawan dalam melaksanakan tugas yang diberikan perusahaan. Kinerja dalam setiap organisasi dapat diukur dengan menggunakan metode tertentu. Seperti yang dikemukakan Prawirosentono (2002:193) kinerja

setiap unit organisasi harus diukur dengan metode statistik, khususnya tentang mutu suatu produksi. Dalam standar pengukuran kinerja perlu dirumuskan untuk dijadikan indikator perbandingan antara apa yang telah dihasilkan dengan apa yang telah diharapkan, kaitannya dengan pekerjaan yang telah dikerjakan seseorang. Menurut Dharma (2003:355) kriteria utama dalam pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Rahmawanti, 2014) : 1.

Pengukuran kualitas, yang melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan.

2.

Pengukuran

kuantitas,

mencerminkan

yang

pengukuran

melibatkan tingkat

perhitungan

kepuasan

yaitu

keluaran

yang

seberapa

baik

penyelesaiannya. Hal ini berkaitan dengan mutu pekerjaan yang dihasilkan. 3.

Pengukuran ketepatan waktu, merupakan jenis pengukuran khusus dan pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan penyelesaian waktu pekerjaan yang dilakukan. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi kinerja karyawan seperti yang

dikemukakan Robbins (2002:36), bahwa para karyawan menaruh perhatian yang besar terhadap lingkungan kerja mereka, baik dari segi kenyamanan pribadi maupun kemudahan melakukan pekerjaan dengan baik. Lingkungan kerja dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non fisik. Terciptanya lingkungan kerja yang baik dapat berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non fisik juga berpengaruh terhadap motivasi dan semangat kerja karyawan karena apabila lingkungan kerja di perusahaan tersebut nyaman dan menyenangkan tentunya karyawan dapat meningkatkan kinerjanya sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai dengan baik (Rahmawanti, 2014). 2.6.1 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) 5S (seiri, seiton, seiso, seiketsu, shitsuke) merupakan lima langkah penataan dan pemeliharaan tempat kerja yang dikembangkan melalui upaya intensif dalam bidang manufaktur. Bila diterjermahkan ke dalam bahasa Indonesia, lima langkah

pemeliharaan tempat kerja ini disebut sebagai 5R (Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin) dengan pengertian sebagai berikut (Nugraha Dkk, 2015) : 1.

Seiri, membedakan antara yang diperlukan dan tak diperlukan di area kerja dan menyingkirkan yang tak diperlukan. Membuat tempat kerja ringkas, yang hanya menampung barang-barang yang diperlukan saja.

2.

Seiton, segala sesuatu harus diletakkan sesuai posisi yang ditetapkan sehingga siap digunakan pada saat diperlukan.

3.

Seiso, menjaga kondisi mesin yang siap pakai dan dalam keadaan bersih. Menciptakan kondisi tempat dan lingkungan kerja yang bersih. Pembersihan bukan hanya sekedar membersihkan namun harus dipandang sebagi suatu bentuk pemeriksaan. Pembersihan adalah suatu proses yang menganggap setiap mesin atau alat penting karena memiliki tuntutan dan kemampuan sendiri dan berusaha untuk merawatnya dengan baik.

4.

Seiketsu, memperluas konsep kebersihan pada diri pribadi dan terus menerus mempraktekan tiga langkah terdahulu. Selalu berusaha menjaga keadaan yang sudah baik melalui standart. Seiketsu dimaksudkan agar masing-masing individu dapat menerapkan secara kontinyu ketiga prinsip sebelumnya. Pelaksanaan fase seiketsu ini akan membuat lingkungan selalu terjaga secara terus menerus

5.

Shitsuke, membangun disiplin diri pribadi dan membiasakan diri untuk menerapkan 5S melalui norma kerja dan standarisasi. Penekanannya adalah untuk menciptakan tempat kerja dengan kebiasaan dan perilaku yang baik. Mengajarkan setiap orang apa yang harus dilakukan dan memerintahkan setiap orang untuk melaksanakannya, maka kebiasaan buruk akan terbuang dan kebiasaan baik akan terbentuk.

2.6.2 Metode 5S (Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, Shitsuke) Langkah-langkah untuk memecahkan masalah adalah sebagai berikut (Nugraha Dkk, 2015) : 1.

Identifikasi metode pemecahan masalah. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan dengan 5S.

2.

Identifikasi proses produksi. Pada tahap ini dilakukan survei dan mengamati area kerja mulai dari aktifitas operator, lingkungan kerja, tata letak barang, dan proses komunikasi antar karyawan untuk membuat checklist dengan kondisi pada area produksi di perusahaan.

3.

Perancangan checklist audit sheet dan checklist evaluasi. Pada tahap ini akan dirancang lembar checklist yang berisi item-item pertanyaan yang disusun berdasarkan butir-butir yang harus diperhatikan dalam konsep 5S dan penyesuaian terhadap kondisi di lantai produksi.

Gambar 2.11 Daftar Periksa (Sumber : Nugraha Dkk, 2015)

Gambar 2.12 Daftar Periksa (Lanjutan) (Sumber : Nugraha Dkk, 2015)

Gambar 2.13 Checklist Evaluasi (Sumber : Nugraha Dkk, 2015)

4.

Penentuan auditor checklist audit sheet. Auditor yang dipilih adalah pihak perusahaan yang mengerti kondisi di lapangan dan mempunyai jobdesk mengurusi program audit yaitu manajer representatif. Auditor akan diberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai proses audit, dan cara mengisi checklist. Setelah diberikan penjelasan kemudian auditor diberikan item pertanyaan dalam checklist untuk melakukan skoring di area yang akan di audit.

5.

Skoring pada kondisi sebelum perbaikan. Pada tahap ini dilakukan skoring menggunakan checklist audit sheet yang telah disusun. Skor total untuk kondisi sempurna adalah 4 x 38 item = 152.

6.

Rekapitulasi hasil temuan. Berdasarkan hasil skoring dilakukan pengamatan di area kerja untuk mengetahui permasalahan sesungguhnya dan dijadikan sebagai hasil temuan.

7.

Evaluasi sebelum perbaikan. Pada tahap ini dilakukan penilaian 5S menggunakan checklist evaluasi yang telah disusun.

8.

Tuntutan kebutuhan. Tahapan dalam perancangan konsep perbaikan adalah dengan memenuhi tuntutan yang yang terjadi dari catatan masalah yang muncul di area kerja, sehingga didapat hasil akhir adalah rancangan perbaikan sesuai dengan kebutuhan.

9.

Usulan perbaikan. Usulan perbaikan diberikan berdasarkan tuntutan kebutuhan yang telah diidentifikasi sebelumnya.

10. Implementasi

usulan

perbaikan.

Implementasi

merupakan

aktifitas

pelaksanaan usulan yang telah dibuat berdasarkan kebutuhan pada setiap kriterianya. Pada tahap implementasi langkah pertama melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan mengenai kebutuhan pada masing-masing kriteria untuk improvement area kerja, selanjutnya pihak perusahaan melaksanakann usulan perbaikan yang telah dirancang untuk menghasilkan hasil yang maksimal. 11. Evaluasi setelah perbaikan. Checklist evaluasi kembali digunakan untuk menilai hasil implementasi 5S di perusahaan. 12. Kesimpulan dan saran.

2.7

Display Display adalah bagian dari lingkungan yang berkomunikasi keadaannya

kepada manusia. Contohnya, kalau kita ingin mengetahui beberapa kecepatan motor yang sedang kita kemudikan, maka dengan melihat jarum speedometer, kita akan mengetahui keadaan lingkungan (Hidayat dan Hasdiputra, 2015). 2.7.1 Ciri-Ciri Display Ciri - ciri display yang baik pada umumnya adalah: 1.

Dapat rnenyarnpaikan pesan.

2.

Bentuk atau garnbar rnenarik dan rnenggarnbarkan kejadian.

3.

Menggunakan warna-warna rnencolok dan rnenarik perhatian.

4.

Proporsi garnbar dan huruf rnernungkinkan untuk dapat dilihat atau dibaca.

5.

Menggunakan kalimat -kalirnat pendek.

6.

Menggunakan huruf yang baik sehingga rnudah dibaca.

7.

Realistis sesuai dengan perrnasalahan.

8.

Tidak mernbosankan Penggunaan warna pada sebuah display adalah sebagai berikut :

1.

Merah rnenunjukkan Larangan

2.

Biru rnenunjukkan Petunjuk atau Aturan

3.

Kuning rnenunjukkan Perhatian Terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan dalarn penggunaan warna

pada pernbuatan display, diantaranya :

Gambar 2.14 Kelebihan dan Kekuraogan Penggunaan Warna (Sumber : Hidayat dan Hasdiputra, 2015)

2.7.2 Prinsip - Prinsip Mendesain Visual Display Adapun prinsip - prinsip mendesain visual display ada sebagai berikut (Hidayat dan Hasdiputra, 2015) : 1.

Proximity Jarak terhadap susunan display yang disusun secara bersama-sama dan saling memiliki dapat membuat suatu perkiraan atau pernyataan.

2.

Similarity Menyatakan bahwa item-item yang sarna akan dikelompokkan bersamasama (dalam konsep wama, bentuk dan ukuran) bahwa pada sebuah display tidak boleh menggunakan lebih dari 3 warna.

3.

Symetry Menjelaskan perancangan untuk memaksimalkan display artinya elemenelemen dalam perancangan display akan lebih baik dalam bentuk simetrikal. Antara tulisan dan gambar harus seimbang

4.

Continuity Menjelaskan sistem perseptual mengekstrakan informasi kualitatif menjadi satu kesatuan yang utuh. Metode dalam pembuatan display ini mengacu kepada prinsip-prinsip dalam pembuatan visual display yaitu proximity, similarity, simetry dan continuity. Agar display ini mudah dipahami dan dimengerti.

2.7.3 Typografi Typografi adalah seni memilih jenis huruf dari ratusan jumlah rancangan jenis huruf yang tersedia, menggabungkan jenis huruf yang berbeda, menggabungkan sejumlah kata yang sesuai dengan ruang yang tersedia dan menandai naskah untuk proses type setting, menggunakan ketebalan dan ukuran huruf yang berbeda. Tipe huruf untuk display yang terpasang di jalan raya adalah arial, karena arial adalah tipe yang paling simple dan paling cepat dimengerti oleh pengguna jalan. Model penyusunan capitalize each words mudah dibaca dari pada model penyusunan uppercase. Namun, model uppercase sangat tepat untuk penegasan maksud (Rudianto, 2017). 2.7.4 Ukuran Huruf Menurut Grandjien memformulasikan ukuran huruf dalam perancangan display sebagai berikut (Rudianto, 2017) :

1.

Tinggi huruf H=

2.

Jarak Visual (mm)

Tebal huruf Tebal huruf =

3.

H

H

...(2.6)

5

Tinggi huruf kecil Tinggi huruf Kecil =

5.

...(2.5)

6

Jarak huruf Jarak huruf =

4.

...(2.4)

200

2H 3

...(2.7)

Spasi Spasi =

2H 3

...(2.8)

2.7.5 Komposisi Warna Pekerjaan yang berhubungan dengan indera penglihatan dapat dikerjakan dengan baik jika indera telah mendapatkan ransangan dari gelombang cahaya. Perbedaan dua warna atau lebih dapat mengakibatkan kontras. Kombinasi hitamputih merupakan kombinasi yang memiliki nilai kontras tertinggi sebesar 98 % Ketajaman visual dapat dipengaruhi oleh kontras objek yang dilihat oleh mata (Rudianto, 2017). C=

L1-L0 L1

...(2.9)

Masing-masing mempunyai daya pantul yang berbeda, warna dengan kontras tinggi akan memudahkan mata menyerap objek, kombinasi warna yang tepat dapat mempengaruhi kecepatan manusia dalam menyerap persepsi visual. Bila terlalu banyak objek dan terlalu banyak warna, maka akan terjadi “hiruk pikuk warna” sehingga membingungkan. Penataan warna tidak berarti multi warna,

sehingga perlu dibatasi maksimal lima warna saja. Kombinasi warna legal dengan lampu putih adalah sebagai berikut (Rudianto, 2017).

Gambar 2.15 Legibilitas Warna (Sumber : Rudianto, 2017).

Efek psikis warna terdiri dari ilusi dan efek psikis yang ditentukan oleh alam bawah sadar. Efek psikis warna dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 2.16 Efek Psikis Warna (Sumber : Rudianto, 2017).

2.8

Beban Kerja Beban kerja menurut (Tjiabrata Dkk, 2017) dikutip dalam buku (Tarwaka,

2011:106) adalah suatu kondisi dari pekerjaan dengan uraian tugasnya harus diselesaikan pada batas waktu tertentu.

2.8.1 Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja Secara umum hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat komplek, baik faktor internal maupun faktor eksternal (Tarwaka, 2011:106). 2.8.1.1 Beban Kerja oleh Karena Faktor Eksternal Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja. Yang termasuk beban kerja eksternal adalah tugas (task) itu sendiri, organisasi dan lingkungan kerja. Ketiga aspek ini sering disebut sebagai stressor (Tarwaka, 2011:106).. 1.

Tugas-tugas (tasks) yang dilakukan baik yang bersifat fisik seperti, stasiun kerja, tata ruang tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi atau medan kerja, sikap kerja, cara angkat-angkut, beban yang diangkat-angkut, alat bantu kerja, sarana informasi termasuk displai dan control, alur kerja dll. Sedangkan tugastugas yang bersifat mental seperti, kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan pekerjaan yang mempengaruhi tingkat emosi pekerja, tanggung jawab terhadap pekerjaan dll.

2.

Organisasi kerja yang dapat mempengaruhi beban kerja seperti, lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, sistem kerja, musik kerja, model struktur organisasi, pelimpahan tugas dan wewenang dll.

3.

Lingkungan kerja yang dapat memberikan beban tambahan kepada pekerja adalah: a. Lingkungan kerja fisik seperti: mikroklimat (suhu udara ambien, kelembaban udara, kecepatan rambat udara, suhu radiasi), intensitas penerangan, intensitas kebisingan, vibrasi mekanis, dan tekanan udara. b. Lingkungan kerja kimiawi seperti: debu, gas-gas pencemar udara, uap logam, fume dalam udara dll. c. Lingkungan kerja biologis seperti: bakteri, virus dan parasit, jamur, serangga, dll. Lingkungan kerja psikologis seperti: pemilihan dan penempatan tenaga kerja, hubungan antara pekerja dengan pekerja, pekerja

dengan atasan, pekerja dengan keluarga dan pekerja dengan lingkungan sosial yang berdampak kepada performansi kerja di tempat kerja 2.8.1.2 Beban Kerja oleh karena Faktor Internal Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri sebagai akibat adanya reaksi dari beban kerja eksternal. Reaksi tubuh tersebut dikenal sebagai strain. Berat ringannya strain dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif. Penilaian secara objektif yaitu melalui perubahan reaksi fisiologis. Sedangkan penilaian subjektif dapat dilakukan melalui perubahan reaksi psikologis dan perubahan perilaku. Karena itu strain secara subjektif berkait erat dengan harapan, keinginan, kepuasan dan penilaian subjektif lainnya. Secara lebih ringkas faktor internal meliputi (Tarwaka, 2011:106) : 1.

Faktor somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, kondisi kesehatan, status gizi); serta

2.

faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan, kepuasan dll.).

2.8.2 Penilaian Beban Kerja Fisik Menurut Astrand & Rodahl (1977) dan Rodahl (1989) bahwa penilaian beban kerja fisik dapat dilakukan dengan dua metode secara objektif, yaitu metode penilaian langsung dan metode tidak langsung. Metode pengukuran langsung yaitu dengan mengukur energi yang dikeluarkan (energy expenditure) melalui asupan oksigen selama bekerja. Semakin berat beban kerja akan semakin banyak energi yang diperlukan atau dikonsumsi. Meskipun metode dengan menggunakan asupan oksigen lebih akurat, namun hanya dapat mengukur untuk waktu kerja yang singkat dan diperlukan peralatan yang cukup mahal. Sedangkan metode pengukuran tidak langsung adalah dengan menghitung denyut nadi selama kerja (Tarwaka, 2011:106).. Lebih lanjut Christensen (1991) dan Grandjean (1993) menjelaskan bahwa salah satu pendekatan untuk mengetahui berat ringannya beban kerja adalah dengan menghitung nadi kerja, konsumsi oksigen, kapasitas ventilasi paru dan suhu inti tubuh. Pada batas tertentu ventilasi paru, denyut jantung dan suhu tubuh

mempunyai hubungan yang linier dengan konsumsi oksigen atau pekerjaan yang dilakukan. Kemudian Konz (1996) mengemukakan bahwa denyut jantung adalah suatu alat estimasi laju metabolisme yang baik, kecuali dalam keadaan emosi dan vasodilatasi. Katagori berat ringannya beban kerja didasarkan pada metabolisme, respirasi, suhu tubuh dan denyut jantung menurut Christensen (1991). Dapat dilihat pada gambar (Tarwaka, 2011:106):

Gambar 2.17 Kategori Beban Kerja Berdasarkan Metabolisme, Respirasi, Suhu Tubuh dan Denyut Jantung. (Sumber : Tarwaka, 2011:106)

Berat ringannya beban kerja yang diterima oleh seorang tenaga kerja dapat digunakan untuk menentukan berapa lama seorang tenaga kerja dapat melakukan aktivitas pekerjaannya sesuai dengan kemampuan atau kapasitas kerja yang bersangkutan. Di mana semakin berat beban kerja, maka akan semakin pendek waktu kerja seseorang untuk bekerja tanpa kelelahan dan gangguan fisiologis yang berarti atau sebaliknya. 2.8.3 Penilaian Beban Kerja Berdasarkan Jumlah Kebutuhan Kalori Salah satu kebutuhan utama dalam pergerakan otot adalah kebutuhan akan oksigen yang dibawa oleh darah ke otot untuk pembakaran zat dalam menghasilkan energi. Sehingga jumlah oksigen yang dipergunakan oleh tubuh untuk bekerja merupakan salah satu indikator pembebanan selama bekerja. Dengan demikian

setiap aktivitas pekerjaan memerlukan energi yang dihasilkan dari proses pembakaran. Semakin berat pekerjaan yang dilakukan maka akan semakin besar pula energi yang dikeluarkan. Berdasarkan hal tersebut maka besarnya jumlah kebutuhan kalori dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan berat ringannya beban kerja (Tarwaka, 2011:106). Berkaitan dengan hal tersebut, Menteri Tenaga Kerja melalui Keputusan Nomor 51 (1999) menetapkan kategori beban kerja menurut kebutuhan kalori sebagai berikut: 1.

Beban kerja ringan : 100-200 Kilo kalori/jam

2.

Beban kerja sedang : >200-350 Kilo kalori/jam

3.

Beban kerja berat : > 350-500 Kilo kalori/jam Kebutuhan kalori dapat dinyatakan dalam Kalori yang dapat diukur secara

tidak langsung dengan menentukan kebutuhan oksigen. Setiap kebutuhan 1 liter oksigen akan memberikan 4,8 Kilo kalori (Suma’mur, 1982). Sebagai dasar perhitungan dalam menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan oleh seseorang dalam melakukan aktivitas pekerjaannya, dapat dilakukan melalui pendekatan atau taksiran kebutuhan kalori menurut jenis aktivitasnya. Taksiran kebutuhan kalori per jam untuk setiap kg berat badan dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.18 Kebutuhan Kalori Per Jam Menurut Jenis Aktivitas (Sumber : Tarwaka, 2011:106)

Gambar 2.19 Kebutuhan Kalori Per Jam Menurut Jenis Aktivitas (Lanjutan) (Sumber : Tarwaka, 2011:106)

Kebutuhan kalori per jam tersebut merupakan pemenuhan kebutuhan kalori terhadap energi yang dikeluarkan akibat beban kerja utama. Sehingga masih diperlukan tambahan kalori apabila terdapat beban kerja tambahan seperti, stasiun kerja tidak ergonomis, sikap paksa waktu kerja, suhu lingkungan yang panas, dll. 2.8.4 Penilaian Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi Kerja Pengukuran denyut jantung selama kerja merupakan suatu metode untuk menilai cardiovasculair strain. Salah satu peralatan yang dapat digunakan untuk menghitung denyut nadi adalah telemetri dengan menggunakan rangsangan ElectroCardio Graph (ECG). Apabila peralatan tersebut tidak tersedia, maka dapat

dicatat secara manual memakai stopwatch dengan metode 10 denyut (Kilbon, 1992). Dengan metode tersebut dapat dihitung denyut nadi kerja sebagai berikut (Tarwaka, 2011:106) : Denyut Nadi (Denyut/Menit) =

10 Denyut Waktu Perhitungan

x 60

...(2.10)

Selain metode 10 denyut tersebut, dapat juga dilakukan penghitungan denyut nadi dengan metode 15 detik atau 30 detik. Penggunaan nadi kerja untuk menilai berat ringannya beban kerja mempunyai beberapa keuntungan. Selain mudah; cepat; sangkil dan murah juga tidak diperlukan peralatan yang mahal serta hasilnya cukup reliabel. Di samping itu tidak terlalu mengganggu proses kerja dan tidak menyakiti orang yang diperiksa. Kepekaan denyut nadi terhadap perubahan pembebanan yang diterima tubuh cukup tinggi. Denyut nadi akan segera berubah seirama dengan perubahan pembebanan, baik yang berasal dari pembebanan mekanik, fisika maupun kimiawi (Tarwaka, 2011:106). Grandjean (1993) juga menjelaskan bahwa konsumsi energi sendiri tidak cukup untuk mengestimasi beban kerja fisik. Beban kerja fisik tidak hanya ditentukan oleh jumlah kJ yang dikonsumsi, tetapi juga ditentukan oleh jumlah otot yang terlibat dan beban statis yang diterima serta tekanan panas dari lingkungan kerjanya yang dapat meningkatkan denyut nadi. Berdasarkan hal tersebut maka denyut nadi lebih mudah dan dapat digunakan untuk menghitung indek beban kerja. Astrand & Rodahl (1977); Rodahl (1989) menyatakan bahwa denyut nadi mempunyai hubungan linier yang tinggi dengan asupan oksigen pada waktu kerja. Dan salah satu cara yang sederhana untuk menghitung denyut nadi adalah dengan merasakan denyutan pada arteri radialis di pergelangan tangan (Tarwaka, 2011:106). Denyut nadi untuk mengestimasi indek beban kerja fisik terdiri dari beberapa jenis yang didefinisikan oleh Grandjean (1993) (Tarwaka, 2011:106). 1.

Denyut nadi istirahat: adalah rerata denyut nadi sebelum pekerjaan dimulai.

2.

Denyut nadi kerja: adalah rerata denyut nadi selama bekerja.

3.

Nadi kerja: adalah selisih antara denyut nadi istirahat dan denyut nadi kerja.

Peningkatan denyut nadi mempunyai peran yang sangat penting di dalam peningkatan cardiac output dari istirahat sampai kerja maksimum. Peningkatan yang potensial dalam denyut nadi dari istirahat sampai kerja maksimum tersebut oleh Rodahl (1989) didefinisikan sebagai heart rate reserve (HR reserve). HR reserve tersebut diekspresikan dalam persentase yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Tarwaka, 2011:106) : % HR Reserve =

Denyut Nadi Kerja-Denyut Nadi Istirahat Denyut Nadi Maksimum-Denyut Nadi Istirahat

x 100

...(2.11)

Lebih lanjut, Manuaba & Vanwonterghem (1996) menentukan klasifikasi beban kerja berdasarkan peningkatan denyut nadi kerja yang dibandingkan dengan denyut nadi maksimum karena beban kardiovaskuler (cardiovasculair load = %CVL) yang dihitung dengan rumus sebagai berikut (Tarwaka, 2011:106) ; % CVL Reserve =

100 (Denyut Nadi Kerja-Denyut Nadi Istirahat) Denyut Nadi Maksimum-Denyut Nadi Istirahat

...(2.12)

Di mana denyut nadi maksimum adalah (220-umur) untuk laki-laki dan (200- umur) untuk wanita. Dari hasil penghitungan %CVL tersebut kemudian dibandingkan dengan klasifikasi yang telah ditetapkan sebagai berikut (Tarwaka, 2011:106) : < 30%

= Tidak terjadi kelelahan

30 s.d < 60%

= Diperlukan perbaikan

60 s.d. <80%

= Kerja dalam waktu singkat

80 s.d. <100% = Diperlukan tindakan segera >100%

= Tidak diperbolehkan beraktivitas

2.8.5 Beban Kerja Mental Selain beban kerja fisik, beban kerja yang bersifat mental harus pula dinilai. Namun demikian penilaian beban kerja mental tidaklah semudah menilai beban kerja fisik. Pekerjaan yang bersifat mental sulit diukur melalui perubahan fungsi faal tubuh. Secara fisiologis, aktivitas mental terlihat sebagai suatu jenis pekerjaan yang ringan sehingga kebutuhan kalori untuk aktivitas mental juga lebih rendah. Padahal secara moral dan tanggung jawab, aktivitas mental jelas lebih berat

dibandingkan dengan aktivitas fisik karena lebih melibatkan kerja otak (whitecollar) dari pada kerja otot (blue-collar). Dewasa ini aktivitas mental lebih banyak didominasi oleh pekerja-pekerja kantor, supervisor dan pimpinan sebagai pengambil keputusan dengan tanggung jawab yang lebih besar, pekerja di bidang teknik informasi, pekerja dengan menggunakan teknologi tinggi, pekerjaan dengan kesiapsiagaan tinggi, pekerjaan yang bersifat monotoni dll. Menurut Grandjean (1993) setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi, interpretasi dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ sensoris untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang lampau (Tarwaka, 2011:106). Dengan demikian penilaian beban kerja mental lebih tepat menggunakan penilaian terhadap tingkat ketelitian, kecepatan maupun konstansi kerja. Di mana waktu reaksi sering dapat digunakan sebagai cara untuk menilai kemampuan dalam melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan mental (Tarwaka, 2011:106).

Related Documents

Bab Ii Modul 3.docx
November 2019 16
Modul Ii
June 2020 16
Bab Ii
November 2019 85
Bab Ii
June 2020 49
Bab Ii
May 2020 47

More Documents from ""