BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. GIZI BALITA Balita merupakan istilah yang digunakan bagi anak usia 1 - 3 tahun (batita) dan usia 3 - 5 tahun (pra-sekolah). Berdasarkan karakteristiknya Balita dibedakan menjadi dua kategori yaitu anak usia 1 - 3 tahun yang merupakan konsumen pasif sedangkan anak usia 3 - 5 tahun merupakan konsumen aktif (Uripi, 2004)1. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa berdasarkan karakteristiknya Balita dibedakan menjadi konsumen pasif dan konsumen pasif. Konsumen pasif di sini merupakan Batita dimana anak menerima makanan apapun yang diberikan ibu atau pengasuhnya. Laju pertumbuhan pada masa ini lebih cepat dari laju pertumbuhan masa pra-sekolah sehingga kebutuhan akan asupan makanan sangat besar. Sehingga pola makan yang baik adalah porsi kecil dengan frekuensi sering (Uripi, 2004)1. Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Anak sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga anak akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap makanan (Uripi, 2004)1. Menurut Sunita Almatsier (2005)2 Kekurangan gizi secara umum menyebabkan gangguan pada proses pertumbuhan anak menjadi tidak potensial, pertahanan tubuh
terhadap tekanan dan stress menurun, sistem imunitas dan atibodi berkurang sehingga mudah terserang penyakit infeksi seperti pilek, batuk dan diare. Serta terganggunya struktur dan fungsi otak secara permanen. Perilaku baik anak maupun orang dewasa yang kurang gizi menunjukkan perlaku tidak tenang, sering tersinggung, cengeng dan apatis. B. STATUS GIZI BALITA 1. Definisi Status Gizi Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari status tubuh yang berhubungan dengan gizi dalam bentuk variabel tertentu. Jadi intinya terdapat suatu variabel yang diukur (misalnya berat badan dan tinggi badan) yang dapat digolongkan ke dalam kategori gizi tertentu (lebih, baik, kurang, dan buruk) (Supariasa et al., 2002)3. Status gizi menjadi indikator ketiga dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang baik juga dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga diharapkan tubuh akan bebas dari segala penyakit. Status gizi ini dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah kesehatan. Pemantauan status gizi dapat digunakan sebagai bentuk antisipasi dalam merencanakan perbaikan status kesehatan anak (Supariasa et al., 2002)3. 2. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan : 1) Antropometri Antropometri gizi adalah hal-hal yang berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur dan gizi. Penilaian status gizi dengan antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan antara energi dan protein (Supariasa, 2002)3. Indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi adalah: a. BB/U (Berat Badan menurut Umur) Indeks antropometri dengan BB/U mempunyai kelebihan diantaranya mudah dan lebih cepat dimengerti masyarakat umum, baik untuk mengukur status gizi akut atau kronis, berat badan dapat berfluktuasi, sangat sensitif terhadap perubahan kecil dan dapat mendeteksi kegemukan (Supariasa, 2002)3. Indeks BB/U adalah pengukuran total berat badan termasuk air, lemak, tulang dan otot. Untuk pengkategorian status gizi berdasarkan BB/U dapat dilihat dalam tabel 2.1. Tabel 2.1. Status Gizi dengan Indikator BB/U Menurut Baku WHO NCHS Kategori
Z - Score
Status Gizi Lebih
>2,0 SD
Status Gizi Baik
-2,0 sampai 2,0 SD
Status Gizi Kurang
< -2,0 SD
Status Gizi Buruk
≤ -3,0 SD Sumber : Persagi, 20114
b. TB/U (Tinggi Badan menurut Umur) Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Keuntungan indeks TB/U diantaranya
adalah baik untuk menilai status gizi masa lampau, pengukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa (Supariasa, 2002)3. Tabel 2. Status Gizi dengan Indikator TB/U Menurut Baku WHO NCHS Kategori
Z - Score
Normal
≥ -2,0 SD
Pendek
< -2,0 SD Sumber : Persagi, 20114
c. BB/TB (Berat Badan menurut Tinggi Badan) Dalam keadaan normal berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu, keuntungan dari indeks TB/BB adalah tidak memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, kurus) (Supariasa, 2002)3. Tabel 3. Status Gizi dengan Indikator BB/TB Menurut Baku WHO NCHS Kategori
Z – Score
Gemuk
> 2,0 SD
Normal
-2,0 sampai + 2 SD
Kurus
< -2 SD
Sangat Kurus
< -3 SD Sumber : Persagi, 20114
2) Klinis Metode ini, didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal tersebut dapat dilihat pada
jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI BALITA 1. Tingkat Pendidikan Ibu / Pengasuh Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak, karena pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara mengasuh anak yang baik, bagaimana cara menjaga kesehatan anak dan pendidikannya. Demikian juga wanita yang berkependidikan lebih rendah atau tidak berpendidikan biasanya mempunyai anak lebih banyak dibandingkan yang berpendidikan tinggi. Mereka yang berpendidikan rendah umumnya sulit diajak untuk memahami dampak negatif dari bahaya mempunyai anak banyak, sehingga kurang kasih sayang, kurus dan menderita penyakit (Yayuk, Farida Baliwati, 2004)5. 2. Tingkat Pengetahuan Ibu / Pengasuh Pada keluarga tingkat pengetahuan yang rendah sering kali anak harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan. Pengetahuan gizi yang diperoleh ibu sangat bermanfaat, apabila ibu tersebut mengaplikasikan pengetahuan gizi yang dimiliki. Aspek-aspek dalam pengetahuan gizi meliputi pangan dan gizi untuk balita, pangan dan gizi ibu hamil, pemantauan pertumbuhan anak, kesehatan anak, dan pengetahuan tentang pengasuh anak (Yayuk, Farida Baliwati, 2004)5. Pengetahuan gizi merupakan faktor penting dalam menentukan dan menyediakan makanan dengan gizi seimbang dalam keluarga. Hidangan yang akan
dimakan dan disajikan di meja dalam dapur keluarga ditentukan oleh tingkat pengetahuan mengolah makanan, bila susunan hidangan memenuhi kebutuhan gizi dan penggunaan zat gizi dalam tubuh baik dan berlangsung secara berkesinambungan maka akan dicapai kondisi kesehatan dan keadaan gizi yang sebaik-baiknya (Yayuk, Farida Baliwati, 2004)5. Pengetahuan gizi merupakan faktor penting dalam menentukan dan menyediakan makanan dengan gizi seimbang dalam keluarga. Hidangan yang akan dimakan dan disajikan di meja dalam dapur keluarga ditentukan oleh tingkat pengetahuan mengolah makanan, bila susunan hidangan memenuhi kebutuhan gizi dan penggunaan zat gizi dalam tubuh baik dan berlangsung secara berkesinambungan maka akan dicapai kondisi kesehatan dan keadaan gizi yang sebaik-baiknya (Jurnal Medika Nusantara Vol. 22 No.4, 2001 : 469)6. 3. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga yang memadahi akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun sekunder. Keadaan ekonomi keluarga mudah diukur dan berpengaruh besar terhadap konsumsi pangan. Dua perubah ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan konsumsi adalah pendapatan keluarga dan harga (Yayuk, Farida Baliwati, 2004)5. Menurut Sajogyo, dkk (1985)7, rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli dalam jumlah yang diperlukan. Rendahnya pendapatan itu disebabkan oleh sulitnya mencari pekerjaan sehingga banyak yang menganggur.
Status ekonomi menurut saraswati (2009) dalam Suparyanto (2010)8: 1. Tipe Kelas Atas (> Rp. 2.000.000). 2. Tipe Kelas Menengah ( Rp. 1.000.000 – 2.000.000) 3. Tipe Kelas Bawah (< Rp. 1.000.000) 4. Pola Asuh Makan Menurut Karyadi dalam Supriatin (2004)9 pola asuh makan merupakan praktekpraktek yang diterapkan ibu kepada anak Balita yang berkaitan dengan cara dan situasi makan. Pola asuh makan sering dikaitkan dengan pola asuh gizi dimana menurut Eveline dan Djamaludin (2010)10 pola asuh gizi merupakan asupan makanan dalam rangka menopang tumbuh kembang fisik dan biologis Balita secara tepat dan berimbang. Sasaran asuhan makanan bagi anak adalah 1) asupan makan yang cukup; 2) anak terampil makan sendiri; 3) anak mempunyai bermacam-macam makanan keluarga (Supriatin, 2004)9. Menurut Wilson (2011)11 terdapat empat tipe pola asuh makan dimana pada pola asuh makan yang keempat merupakan tipe pola asuh yang dibedakan secara tipologi dari tipe pola asuh permisif. Keempat tipe tersebut adalah : 1) Otoriter Orang tua/pengasuh dikategorikan sebagai orang tua/pengasuh dengan pola asuh makan otoriter berdasarkan CSFQ (Hughes et al.,2005)12 dimana orang tua dengan pola asuh makan jenis ini akan sangat ketat dalam menentukan makanan si anak sehari-hari. Orang tua/pengasuh juga memberikan tekanan emosi yang cukup berat ada saat si anak makan dan
terkadang memberikan hukuman fisik jika si anak dianggap membandel (Hughes et al., 2005)12. 2) Otoritatif Pola asuh makan ini merupakan keseimbangan antara pola asuh makan tipe otoriter dan tipe permisif. Keseimbangan disini maksudnya orang tua/pengasuh
selain
tetap
mengontrol
pola
makan
anak
juga
mempertimbangkan keinginan sang anak (Patrick et al., 2007)13. Gaya pengasuhan ini dikaitkan dengan tingkat yang lebih tinggi dari pemantauan, pemeliharaan, pendidikan manajemen makan, disiplin, dan penalaran, Sebuah gaya otoritatif ibu (yang terutama ditandai oleh tingginya tingkat pengasuhan) secara khusus dikaitkan dengan konsumsi rendah kalori pada remaja (Hughes et al.,2005)12. 3) Primitif (Indulgent) Tipe pola asuh ini memungkinkan seorang anak untuk membuat keputusan sendiri tentang apa, di mana dan berapa banyak dimakan. Biasanya orang tua/pengasuh akan memanjakan anaknya dimana orang tua/pengasuh tidak terlalu terlibat dalam pola makan anak serta kurang tegas dalam memberikan arahan pola makan pada anak (Hughes et al., 2005)12. Efek negatif yang ditimbulkan oleh pola asuh permisif biasanya lebih sedikit daripada pola asuh otoriter dan pola asuh otoritatif. Namun efek negatif yang ditimbulkan cukup serius yaitu masalah kelebihan berat badan atau obesitas (Hughes et al., 2005)12.
4) Tipe Lain-Lain Pada tipe ini orang tua/pengasuh sama sekali tidak memberikan perhatian kepada anak. Orang tua/pengasuh tidak memiliki tujuan yang jelas dalam pengasuhan. 5. Faktor-faktor lain Faktor-faktor
lain
yang
mempengaruhi
status
gizi
balita
menurut
Prawirohartono (1996)13 dibagi menjadi 2 kekompok yaitu : (1) Faktor Langsung : Penyakit Infeksi, dan Asupan Makanan. (2) Faktor Tidak Langsung : Usia Menyusui, BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah), Pemberian Makanan Terlalu Dini, Banyaknya Anggota Keluarga, Kesehatan Lingkungan, Pelayanan Kesehatan. D. KERANGKA TEORI
Faktor – Faktor yang mempengaruhi Status Gizi Balita
-
Asupan Makanan Penyakit Infeksi Jumlah Keluarga Kesehatan Lingkungan Pelayanan Kesehatan Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks Antropometri BB/U
-
Tingkat Pengetahuan Tingkat Pendidikan Jumlah Pendapatan Keluarga Pola Asuh
Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti Gambar 2.1 Kerangka Teori Mini Project