Bab Ii Iii Crs Stemi.docx

  • Uploaded by: khusnul
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii Iii Crs Stemi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,742
  • Pages: 13
BAB 2 ILUSTRASI KASUS Seorang laki-laki usia 55 tahun datang ke IGD RSUP M. Djamil Padang dengan keluhan nyeri dada sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dada serasa terhimpit di belakang dada, kurang lebih 30 menit, tidak menjalar dan muncul saat istirahat. Terdapat keluhan keringat dingin, sesak napas, namun tidak ada keluhan mual muntah, berdebar-debar, pusing dan pingsan. Terdapat riwayat nyeri dada sebelumnya pada 4 minggu dan 2 minggu yang lalu, dan tidak ada riwayat sesak napas sebelumnya. Kaki sembab, PND, DOE, OP tidak ada. Pasien diketahui meminum jamu 3 jam yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus, gastritis dan riwayat dyslipidemia tidak diketahui. Pasien seorang perokok aktif kurang lebih 30 tahun dan biasanya merokok 2 bungkus per hari. Tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan yang sama dengan pasien. Pasien tidak memiliki riwayat asma dan stroke. Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis, TD 106/78, nadi 78 kali/menit, nafas 25 kali/menit, suhu afebris, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, edem tungkai -/-. Pada pemeriksaan fisik thorax terlihat bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan. Pemeriksaan paru ditemukan fremitus kiri dan kanan sama, perkusi sonor, auskultasi suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-. Pemeriksaan fisik jantung iktus kordis tidak terlihat, auskultasi S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-). Pada pemeriksaan abdomen didapatkan dalam batas normal, saat inspeksi abdomen tidak distensi, supel, hepar dan lien tidak teraba. Perkusi yaitu timpani. Auskultasi, bising usus normal. Pada pemeriksaan punggung tidak didapatkan kelainan. Alat kelamin dan anus tidak diperiksa. Pada ekstremitas tidak ditemukan adanya pitting edema pada kedua tungkai dan akral hangat.

EKG :

Interpretasi EKG: Irama sinus, QRS rate 70x/menit, aksis normal, P wave normal, PR interval 0,16 detik, durasi QRS 0,06 detik, ST elevasi di lead V2-V4, ST depresi di lead II, III, aVF, LVH (-), RVH (-), PVC (+).

Rontgen thorax :

Interpretasi rontgen: CTR 52%, segmen aorta normal, segmen pulmonal normal, pinggang jantung normal, tidak tampak inflitrat dan kranialisasi. Dapat disimpulkan pasien juga mengalami prekardiomegali. Pada pemeriksaan laboratorium rutin ditemukan : Hb = 17 g/dl, leukosit = 11.240 /mm3, trombosit = 335.000/mm3, hematokrit 51%, ureum 83 mg/dl, kreatinin 1,1 mg/dl, Ca 8,3 mg/dl, Na+ 140 mmol/L, K+ 3,4 mmol/L, Cl 110 mmol/L, Troponin I 16,4 ng/ml, CK-MB 46 u/l. Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium: Ureum dan CK-MB meningkat. TIMI Score didapatkan 5/14 yaitu usia 55 tahun (0), riwayat angina + (1), TDS 106 mmHg (0), HR 78 kali/menit, killlip II (2), BB 65 (1), ST elevasi anterior (1), time to treat < 2 jam (0). Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab, pemeriksaan EKG, pemeriksaan rontgen thorax, pasien ini didiagnosis dengan akut STEMI Anterior onset 2 jam TIMI 5/14. Tindakan pengobatan pada pasien ini di IGD berupa pemberian oksigen nasal kanul 4L/menit, IVFD RL 24 jam/kolf. Follow up pasien : Tanggal 11 November 2018 S/ keluhan nyeri dada tidak ada O/ KU: sedang, Kes: CM, TD: 104/68, ND: 90, RR: 20 Cor : S1 S2 reguler, Murmur (-) Gallop (-) Pulmo : SN Vesikuler Rh -/-, Wh -/Ekstremitas : hangat, edema -/A/ Akut STEMI anterior onset 2 jam TIMI 5/14 Killip II post trombolitik

P/ cek lipid profile. BAB III DISKUSI Seorang pasien, laki-laki, 55 th, datang ke IGD RSUP M.Djamil, Padang tanggal 10 November 2018 dengan keluhan nyeri dada sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan di bagian tengah dada seperti dihimpit, nyeri dada tidak menjalar, durasi 30 menit, tidak membaik dengan istirahat dan disertai dengan keringat dingin, mual dan muntah serta sesak napas saat nyeri dada. Pada kasus sindroma koroner akut, jenis nyeri yang dirasakan pasien adalah nyeri khas infark, yakni nyeri yang bercirikan oleh : (1) nyeri dirasakan di tengah dada, (2) nyeri dirasakan saat istirahat, dan (3) durasi nyeri lebih dari 20 menit. Nyeri yang terjadi pada pasien ini disebabkan adanya pelepasan mediator seperti adenosin dan laktat daripada proses sel iskemik miokardial ke ujung saraf. Proses iskemik pada fase akut bersifat persisten dan mengarah kepada proses nekrosis dimana provokasi mediator tadi akan terus menurus menumpuk pada saraf afferent dalam jangka masa lama. Rasa nyeri ini akan menjalar ke region C7 melalui dermatom T4, termasuk di lengan. Pasien juga mengeluh ada keringan dingin, mual, dan muntah. Keluhan ini merupakan respon para simpatik dari MI.1 Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya dan riwayat penyakit jantung dalam keluarga juga tidak ada. Nyeri dada yang dialami pasien merupakan nyeri dada tipikal (angina) pertanda infark miokard. Keluhan ini juga disertai dengan keringat dingin dan mual. Hal ini dapat membantu untuk menyingkirkan nyeri dada karena penyebab lain seperti gangguan paru, masalah vaskular.1,3 STEMI ini diawali dari suatu proses aterosklerosis yang telah lama terbentuk. Lesi aterosklerosis terutama terjadi pada lapisan paling dalam dari dinding arteri yaitu lapisan intima. Lesi tersebut meliputi fatty streak, fibrous plaque, advance (complicated) plaque.2 Proses aterosklerosis telah dimulai pada masa kanak-kanak dari terbentuknya lapisan/timbunan kaya lemak. Lesi ini terdiri dari lapisan makrofag dan sel otot polos yang

mengandung lemak yaitu kolesterol dan kolesterol oleat yang berwarna kekuningan yang disebut fatty streak. Fatty streak mula-mula tampak pada dinding aorta yang jumlahnya semakin banyak pada usia 8-18 tahun dan baru nampak arteri koronaria pada usia 15 tahun.2 Fibrous plaque merupakan kelanjutan dari fatty streak dimana terjadi poliferasi sel, penumpukan lemak lebih lanjut dan terbentuknya jaringan ikat serta bagian dalam yang terdiri dari campuran lemak dan sel debris akibat dari sel nekrosis. Lesi yang semakin matang ini tampak pada usia sekitar 25 tahun.2 Secara makro lesi ini tampak berwarna putih dengan permukaan semakin meninggi ke dalam lumen arteri. Bila lesi ini semakin berkembang maka diameter lumen akan semakin sempit dan akan mengganggu aliran darah. Pada fase ini terjadi poliferasi dari sel otot polos dimana sel ini akan membentuk fibrous cap. Fibrous cap ini akan menutup timbunan lemak ekstraseluler dan sel debris. Fibrous plaque mendapat vaskularisasi baik dari lumen maupun dari tunika media. Pada lesi yg telah lanjut (advance) jaringan nekrosis yang merupakan inti dari lesi semakin membesar dan sering mengalami perkapuran (calcified), fibrous cap menjadi semakin tipis dan pecah sehingga lesi ini akan mengalami ulserasi dan perdarahan serta terjadi trombosis yang dapat menyebabkan terjadinya oklusi aliran darah.2 Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.3 Pada sebagian kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian

histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red thrombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap trombolitik.3 Selanjutnya, pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (Kolagen, ADP, Epinefrin, Serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten).3 Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap skuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.4 Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.4 Banyak faktor yang mempengaruhi terbentuknya ateroma pembuluh darah koroner seperti, hiperkolesterol, hipertensi, diabetes, dan kebiasaan merokok. Faktor ini menyebabkan terjadinya pembentukan plak melalui akumulasi lipid ekstraseluler dalam intima pembuluh darah. Jika plak ini ruptur maka akan menstimulasi terjadinya trombogenesis dan penyumbatan.5 Pasien memiliki factor resiko berupa riwayat kebiasaan merokok sejak lama. Hal ini sejalan dengan penelitian Yagi dkk yang menyatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan factor dependen terjadinya SKA. Rokok mengandung bahan yang berbahaya yang dapat merusak endotel pembuluh darah seperti tar, nikotin, karbon monoksida, dan kompoen karbon lainnya.6

Pasien ini mempunyai faktor risiko untuk mendapat penyakit jantung koroner dimana merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap dinding arteri. Karbon monoksid dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambah reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding arteri.6 Merokok memainkan peran yang kuat tidak hanya pada inisiasi penyakit kardiovaskular tetapi juga memberikan kontribusi signifikan pada perkembangan penyakit kardiovaskular. Proses kunci dalam aterogenesis yang diinduksi merokok adalah kerusakan dan disfungsi endotel, peningkatan dan oksidasi lipid proatherogenic, serta penurunan high-density lipoprotein, induksi inflamasi, dan pergeseran pada keadaan prokoagulan dalam sirkulasi. Data saat ini jelas menunjukkan bahwa secondhand smoking dapat memicu kondisi yang mengancam jiwa (termasuk pada anak-anak).7 Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan hematologi, pemeriksaan elektrolit, pemeriksaan gula darah sewaktu, elektrokardiografi dan foto polos toraks. Didapatkan hasil pemeriksaan hematologi meliputi hemoglobin 17 g/dL, leukosit 11.240 /mm3, hematokrit 51%, trombosit 335.000/ mm2 sehingga diinterpretasikan adanya peningkatan nilai leukosit yang signifikan (leukositosis). Pada pemeriksaan elektrolit didapatkan hasil Na+ 140, K+ 3,5, Cl- 110, Ca2+ 8,3, yang dalam batas normal. Pada pemeriksaan gula darah sewaktu didapatkan kadar gula darah dalam batas normal, yakni sebesar 126 mg/dl. Pemeriksaan foto rontgen toraks di dapatkan CTR 52%, segmen aorta normal, segmen pulmonal normal, pinggang jantung normal, tidak tampak infiltrat dan kranialisasi. Dapat disimpulkan pasien juga mengalami prekardiomegali. Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar Troponin I yaitu 16,4 ng/l dengan nilai normal <2. Kadar CKMB juga

meningkat yaitu 46 u/l dengan nilai normal <24. Troponin I merupakan marka yang memiliki sensitifitas dan spesifitas yang lebih tinggi dari troponin T. Peningkatan marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit. Troponin merupakan pengatur kerja aktin dan myosin dalam otot jantung dan lebih spesifik jika dibandingkan dengan CKMB. Enzim troponin I mulai meningkat pada 3-12 jam setelah onset iskemik dan puncaknya dalam 12-24 jam, masih tetap tinggi sampai hari ke -7 sampai 14 hari.8 Pada pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan hasil yaitu irama sinus, QRS rate 70x/ menit, aksis normal, P wave normal, PR interval 0,16, QRS duration 0,06, , segmen ST elevasi di lead V2-V4, ST depresi lead II, III, AVF, LVH (-) RVH (-) PVC (+). Gambaran EKG menunjukkan irama jantung sinus, konduksi masih diawali dengan nodus sinoatrial, dengan frekuensi denyut jantung normal. Hasil EKG menunjukkan adanya elevasi segmen ST di sadapan V2-V4. Lokasi ini menunjukkan adanya tanda-tanda infark di bagian anterior. 9,10

Tabel 3.1 Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG11 Hasil EKG pada pasien ini dapat menggolongkan pasien ke dalam kelompok ST elevasi myocardial infarction (STEMI). Hal yang perlu diketahui adalah pada pasien dengan STEMI terjadi perubahan EKG sebelum akhirnya muncul gambaran ST elevasi pada EKG pasien.9

Gambar 3.1 Evolusi ST selama STEMI9

Kriteria Usia ≥ 75 tahun 65-74 tahun Riwayat diabetes mellitus atau hipertensi atau angina Tekanan darah sistolik < 100 mmHg Denyut jantung > 100x/menit Kelas KILLIP II-IV Berat badan <67 kg (150 lbs) ST elevasi anterior atau LBBB Waktu hingga pengobatan awal > 4 jam

Pasien Usia 52tahun

Skor

angina TDS 107 HR 70 KILLIP II BB 65 kg STEMI ant 2 jam

1 0 0 2 1 1 0

0

Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien serta pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, elektrokardiografi dan foto polos toraks seperti yang dijabarkan diatas, maka pasien dapat didiagnosis STEMI. Diagnosis STEMI pada pasien ini ditegakan berdasarkan ketentuan yang telah dikeluarkan oleh WHO dan AHA (American Heart Association), yakni adanya 2 dari 3 kriteria berikut: gejala-gejala dengan karakteristik SKA, perubahan EKG, dan adanya perubahan pada marka biokimia.12 Hal lain yang perlu dilakukan pada pasien yang didiagnosis dengan STEMI adalah melakukan stratifikasi risiko pasien. Stratifikasi risiko pada pasien akan menentukan prognosis pasien. Stratifikasi risiko dapat dilakukan dengan merujuk kepada skor TIMI dan criteria KILLIP9,10,12,13 Tabel 3.3 Risiko mortalitas dalam 30 hari menurut skor TIMI13,14 Skor risiko TIMI untuk STEMI Dalam memprediksi kematian dalam 30 hari 0 0,8% 1 1,6% 2 2,2% 3 4,4% 4 7,3% 5 12,4% 6 16,1% 7 23,4% 8 26,8% >8 35,9% Pada pasien ini didapatkan skor TIMI pasien sebesar 5/14. Hal ini menandakan risiko Skor risiko

mortalitas pasien dalam 30 hari adalah 12,4%. Semakin tinggi skor TIMI seorang pasien, risiko mortalitas pasien akan semakin besar.

Pasien pada kasus ini dikategorikan ke dalam kelas KILLIP II, dimana pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda kongesti. Angka mortalitas pasien ini berdasarkan kriteria KILLIP adalah sebesar 17%. Kriteria Killip ini juga digunakan untuk menentukan besar risiko mortalitas pada pasien setelah 30 hari.9,10,12,13 Tabel 3.4 Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas KILLIP 12,13 Kelas KILLIP I II III IV

TemuanKlinis Tidak terdapat gagal jantung (tidak terdapatronkhi maupun S3) Terdapat gagal jantung ditandai dengan S3 dan ronkhi basah pada setengah lapangan paru Terdapat edema paru ditandai oleh ronkhi basah di seluruh lapangan paru Terdapat syok kardiogenik ditandai oleh tekanan darah sistolik <90 mmHg dan tanda hipoperfusi jaringan

Mortalitas 6% 17% 38% 81%

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini menghasilkan sebuah kesimpulan berupa diagnosis pasien, yakni STEMI anterior onset 2 jam TIMI 5/14 KILLIP II. Tatalaksana pertama kali di IGD yang diberikan pada pasien ini yaitu pemberian oksigen 5 liter/menit dan IVFD RL 1 kolf/ 24 jam. ISDN 3 mg, lasix 40 mg, 3 mg/ jam dan morfin 2 x 2,5 mg. Pasien STEMI ditekankan untuk segera mendapatkan pengobatan awal medikamentosa yaitu morfin, O2, nitrat, aspirin, clopidogrel (MONACO) yang tidak harus diberikan secara bersamaan.15 Aspirin diberikan pada pasien SKA 160 mg (2 tablet dikunyah). Ini diberikan pada pasien yang belum mendapatkan aspirin sebelumnya, tidak ada riwayat alergi, tidak ada perdarahan lambung. Aspirin sendiri sebagai anti platelet dapat menurunkan oklusi koroner dan berulangnya kejadian iskemik.14 Clopidogrel sebagai anti platelet terutama bermanfaat bagi pasien STEMI dengan dosis 300 mg (4 tab) ditelan yang dilanjutkan dengan dosis maintanance 75 mg, sedangkan pada pasien hanya diberikan terapi maintenance saja yaitu sebanyak 75 mg. Atorvastatin 1x40 mg

diberikan untuk stabilisasi plak. Trombolitik direncanakan dilakukan sebagai tindakan reperfusi.15

1. PERKI. Pedoman Tatalaksana SKA. Jakarta Centra Communication. 2015. 2. Joewono, Boedi Soesetyo. Penyakit Jantung Koroner dalam Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University Press; 2003. p 121-34. 3. Alwi, Idrus et al. 2009. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST dalam Buku AjarIlmu Penyakit Dalam edisi V jilid II. Jakarta : EGC. (Halaman 1741-1754). 4. Alwi, I. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Setiati S, Idrus A, Aru WS, Marcelius SK, Bambang S, Ari FS, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi VI jilid II. Jakarta : Interna Publishing; 2014 p. 1457-72. 5. Kumar A, Cannon CP. Acute coronary syndromes: diagnosis and management. Mayo Clin Proc. 2009; 84 (10).917-38 6. Yagi H, Komukai K, Hashimoto K. Difference in risk factors between acute coronary syndrome and stable angina pectoris in the Japanese: Smoking as a crusial risk factor of acute coronary syndrome. Journal of Cardiology. 2010; 55. 345-53 7.

Messner B dan Bernhard D. Smoking and cardiovascular disease: mechanisms of endothelial dysfunction and early atherogenesis. Arterioscler Thromb Vasc Biol Journal of the American Heart Association. 2014; 34: 509-515.

8. Rendi DP, Masyrul S, Efrida. Gambaran kadar Troponin T dan CKMB pada infark miokard akut. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3). 9. Rhee JW, Sabatine MS, Lilly LS. Chapter 7: Acute Coronary Syndrome. Pathophysiology of heart disease : a collaborative project of medical students and faculty / editor Leonard S. Lilly.—5th ed.Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia. 2011. 10. ‘Alim AM. Pocket ECG, Buku Saku Belajar EKG. Yogyakarta. Intan Cendekia. 2009. 11. Thygesen K, et al. Third universal definition of myocardial infarction. European Heart Journal. 2012; 33, 2551-67. 12. Pacheco HG, Mendoza AA, Sangabriel AA, Herrera UJ, Damas F, Lidt GE, Manzur FA, Sánchez CM. The TIMI risk score for STEMI predicts in-hospitalmortality and adverse events in patients without cardiogenic shock undergoingprimary angioplasty. Mexico. Arch CardiolMex 2012;82(1):7 13. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, Cairns R, Murphy SA, de Lemos JA, Giugliano RP, McCabeCH, Braunwald E. TIMI risk score for ST-elevation myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk assessment at presentation: An intravenous nPA for treatment of infracting myocardium early II trial substudy. Circulation. 2000 Oct 24; 102(17):2031-7

14. Torry SRV, Panda L, Ongkowijaya J. Gambaran faktor risiko penderita sindroma koroner akut. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Unsrat. 2013. 15. Amsterdam EA, et al. 2014 AHA/ACC Guideline for the Management of Patiens With Non-ST Elevation-A Report of the American College of Cardiology or American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. JACC. 2012. p 13,15.

Related Documents

File Iii (bab Ii)
October 2019 35
Bab Iii Kala Ii
May 2020 27
Bab Ii-iii Kariogenik.docx
November 2019 28
Bab Ii , Iii
June 2020 20

More Documents from "Asrori Anwar"