Bab Ii Hiv Aids.docx

  • Uploaded by: Fia
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii Hiv Aids.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,179
  • Pages: 31
BAB 1 HIV / AIDS A. Pendahuluan AIDS atau acquired immunodeficiency syndrome didefinisikan sebagai suatu sindrom atau kumpulan gejala penyakit dengan karakteristik defisiensi kekebalan tubuh yang berat dan merupakan stadium akhir infeksi HIV (notoatmodjo,2017). AIDS merupakan penyakit defisiensi imun sekunder yang menjadi masalah epidemic dunia yang serius. HIV ditemukan oleh Barre-Sinoussi, Montagnier, dan kawankawan di institute Pasteur tahun 1983 yang menyebabkan limfadenopati sehingga LAV (lymphadenopathy Associated virus). Tahun 1984, popovic, gallo dan teman kerjanya menggambarkan adanya perkembangan sel yang tetap berlangsung dan produktif setelah diinfeksi oleh firus yang sama dengan LAV yang kemudian disebut HTLV-III. Tahun 1986 komisi taksonomi internasional memberi nama baru Human immunodeficiency virus (HIV). HIV (human immunodeticiency virus). Virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Setelah beberapa tahun jumlah virus semakin banyak sehingga sistem kekebalan tubuh tidak lagi mampu melawan penyakit yang masuk. Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi tempat berkembang biak virus HIV baru kemudian merusaknyasehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat di perlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidakmemiliki pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal dunia terkena pilek biasa. Pengertian AIDS AIDS (Acquired Immuno Deticiency syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIV. Ketika individu sudah

tidak lagi memiliki sistem kekebalan tubuh maka semua penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi sangat berbahaya. Istilah HIV / AIDS Sering Bersama Tapi terpisah Orang yang baru terpapar HIV belum tentu menderita AIDS. Hanya saja lama kelamaan sistem kekebalan tubuhnya makin lama semakin lemah, sehingga semua penyakit dapat masuk kedalam tubuh pada tahapan itulah penderita disebut sudah terkena AIDS. AIDS berasal Belum diketahui dengan jelas dari mana dan kapan jelasnya HIV / AIDS muncul. Diperkirakan pada akhir 1970-an di daerah sub sahara Afrika HIV sudah berkembang dan meluas. Perkiraan ini dibuat berdasarkan catatan kasus-kasus penyakit yang ada di rumah sakit di beberapa negara afrika pada saat itu. Hal ini juga diperkuat oleh beberapa contoh darah pada tahun 1950-an yang telah mengandung HIV. Terapi kasus HIV / AIDS pertama kali dilaporkan oleh Gottleib dan kawan-kawan di Los Angeles pada tanggal 5 juni 1981. Penemu virus HIV HIV ditemukan oleh Dr. Luc Montaigner dan kawan-kawandari Institute Pasteur perancis. Mereka berhasil mengisolasivirus penyebab AIDS ini dengan mengisolasi virus dari kelenjar getah bening dalam tubuh ODHA(Orang Dengan HIV/AIDS) yang membengkak. Kemudianpada bulan juli1994 Dr. Robert Gallo dari Lembaga Kanker nasional di Amerika Serikat menyatakan bahwa dia menemukan virus baru dari seorang penderita AIDS yang diberi nama HTLV-lll. Kemudian Ilmuwan lainnya, J. Levy juga menemukan virus penyebab AIDS yang iya namakan AIDS Related Virus yang di singkat ARV. Akhir Mei 1986 Komisi Taksonomi International sepakat menyebut nama virus AIDS ini dengan HIV. Kasus HIV/AIDS Pertama di Indonesia Secara resmi kasus AIDS pertama di Indonesia yang dilaporkan adalah pada seorang turis asing di bali pada tahun 1987. Walaupun sebelumnya sudah ada berita tidak resmi

bahwa sedikitnya ada tiga kasus AIDS di Jakarta pada tahun 1983 tetapi Karena tidak tercatat di Indonesia maka kasus pertama di Indonesia di sepakati pada tahun 1987. Perkembangan kasus HIV/AIDS Di Indonesia saat ini Melonjak tajam sejak akhir tahun 90-an. Banyak diidap oleh laki-laki dari pada perempuan. Penyebaran penyakit ini sudah dimulai sejak tahun 1987. Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia cukup tinggi Dari tahun ke tahun kasus HIV maupun kasus AIDS di Indonesia semakin bertambah jumlahnya. Menurut jaringan Epidemiologi Nasional ada beberapa kondisi yang membuat penyebaran AIDS di Indonesia menjadi cepat, antara lain: a. Meluasnya pelacuran b. Peningkatan hubungan seks pra nikah (sebelum menikah) dan ekstra marital (di luar nikah). c. Pravalensi penyakit menular seksual yang tinggi d. Kesadaran pemakaian kondom masih rendah e. Urbanisasi dan migrasi penduduk yang tinggi f. Penggunaan jarum suntik yang tidak steril g. Lalu lintas dari dan keluar negeri yang bebas Tahapan perubahan HIV/AIDS Fase 1 Umur infeksi 1-6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar dan terinfeksi tetapi ciri-ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah. Pada fase ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat mengalamin gejala-gejala ringan, seperti flu ( biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri). Fase 2 Umur infeksi : 2-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada orang

lain, Bisa saja terlihat/mengalami gejala-gejala ringan, seperti flu (biasanya 2-3 hari dan sembuh sendiri).

Fase 3 Mulai muncul gejala-gejala awal penyakit. Belum disebut sebagai gejala AIDS. Gejala-gejala yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare terus menerus, pembekaan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh-sembuh, nafsu makan berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sstem kekebalan tubuh mulai berkurang. Fase 4 Sudah masuk pada fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel-T nya Timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik yaitu TBC, infeksi paru-paru yang menyebabkan radang paru-paru dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma Kaposi,infeksi usus yang menyebabkan diare parah berminggu-minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan mental dan sakit kepala. Penularan HIV/AIDS Media penularan HIV/AIDS a. Aliran darah, bisa berbentuk luka b. Cairan sperma c. Cairan vagina Cara penularan HIV/AIDS Hubungan Seksual Hubungan seksual yang tidak aman dengan orang yang lelah terpapar HIV Transfusi darah

Melalui transfuse darah yang tercemar HIV Penggunaan jarum suntik, tindik, tato, pisau cukur,dll yang dapat menimbulkan luka yang tidak disterikan secara bersama-sama dipergunakan dan sebelumnya dipakai orang yang terinfeksi Hiv. Cara-cara ini dapat menularkan HIV karena terjadi kontak darah. Ibu hamil kepada anak yang dikandungnya Anternatal Saat bayi masih berada didalam rahim, melalui plasenta Intranatal Saat proses persalinan, bayi terpapar darah ibu atau cairan vagina. Postnatal Setelah proses persalinan, melalui air susu ibu, Kenyataannya 25-35% dari semua bayi yang dilahirkan oleh ibuyang sudah terinfeksi di negara berkembang tertular HIV,dan 90% bayi dan anak yang tertular HIV tertular dari ibunya. Perilaku Berisiko yang menularkan HIV/AIDS Menggunakan jarum dan peralatan yang sudah tercemar HIV Berhubungan seks melalui dubur, oral maupun melalui vagina tanpa perlindungan Memiliki banyak pasangan seksual atau mempunyai pasangan yang memiliki banyak pasangan lain. Pernyataan-pernyataan Seputar Penularan HIV Beberapa pendapat yang salah, mengenai penularan HIV diantaranya: a. HIV /AIDS menular melalui hubungan kontak social biasa dari satu orang ke orang lain dirumah,tempat kerja atau tempat umum lainnya.

b. HIV /AIDS menular melalui makanan HIV /AIDS menular melalui udara dan air (kolam renang, toilet,dll) c. HIV /AIDS menular melalui serangga / nyamuk d. HIV /AIDS menular melalui batuk, brsin, meludah e. HIV /AIDS menular melalui bersalaman,menyentuh, berpelukanatau cium pipi Hubungan antara HIV /AIDS dangan penyalahgunaan Napza dan hubungan seks Bebas Tidak aman. HIV /AIDS –hubungan seks Bebas dan tidak aman Salah satu media penularan HIV AIDS yaitu melalui cairan sperma maupun cairan vagina, maka perilaku hubungan seks bebas tidak aman merupakan perilaku yang beresiko tertular maupun menularkan virus HIV. HIV / AIDS – Penyalah gunaan Napza Walau tidak seluruh pengguna NAPZA, namun sebagian besar pengguna beberapa jenis NAPZA cenderung menggunakan jarum Suntik sebagai media pemakaiannya. Pengguna jarum suntik yang tidak seril dan dilakukan secara pergantian sangat rentan terhadap penularan vitus HIV / AIDS (tertular maupun menularkan). Hal yang lebih mengerikan, Pengguna Napza yang merupakan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) akan membuatnya lbih cepat memasukan fase AIDS. Hal ini dikarenakan karakterstik NAPZA yang bersifat menggerogoti organ tubuh. Termasuk juga perokok karena rokokmemiliki sifat yang sama. Pencegahan penularan Secara umum Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C D, E),yaitu:

A. Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko tinggi, terutama seks pranikah B. Faithful – saling setia C. Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar D. Drugs – tolak penggunaan NAPZA E. Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama Untuk pengguna Napza Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV / AIDS jika: Mulai berhenti menggunakan Napza, sebelum terinfeksi HIV. Atau paling tidak, tidak memakai jarum suntik atau paling tidak, sehabis dipakai, jarum suntik langsung dibuang atau paling tidak kalau menggunakan jarum yang sama, sterikan dulu, yaitu dengan merendam pemulih (dengan kadar campuran yang benar) atau direbus dengan ketinggian suhu yang benar. Proses ini biasa disebut bleaching (sterilisasi dengan pemutih). Untuk remaja Karena semua orng tanpa kecuali dapat tertular HIV apabila perilakunya seharihari termasuk tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Yang ditekankan disini yaitu, hubungan seks tidak aman berisiko IMS, dan IMS memperbesar risiko penularan HIV /AIDS. Mencari informasi yang lengkap dan benar yang berkaitan dengan HIV / AIDS. Mendiskusikan secara terbuka permasalahan yang sering dialami remaja dalam hal ini tentang msalah perilaku seksual dengan orang tua,guru, teman maupun orang yang memang paham mengenai hal ini . menghindari penggunaan obatobatan terlarang dan jarum suntik,tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung percampuran darah dengan orang yang sudah terpapar HIV. Mnghindari perilaku yang dapat mengarah pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab. Mengetahui seseorang Terinfeksi HIV / AIDS 1. Tes darah HIV / AIDS

Orang tidak akan tahu apakah dia terpapar, HIV/AIDS atau tidak tanpa melakukan tes HIV/AIDS lewat contoh darah yang bersangkutan.

Tes HIV/AIDS Tes HIV adalah tes yang dilakukan untuk memastikan apakah individu yang bersangkutan telah dinyatakan terkenal HIV atau tidak. Tes HIV berfungsi untuk mengetahui adanya antibodi terhadap HIV atau mengetes adanya antigen HIV dalam dara. Ada beberapa jenis tes yang biasa dilakukan diantaranya yaitu tes Elisa,dipstick dan tes wesrern Blot. Masing-masing alat tes memiliki sensitivitas atau kemampuan untuk menemukan orang yang mengidap HIV dan spesifitas atau kemampuan untuk menemukan individu yang yang tidak mengidap HIV. Untuk tes antibodi HIV semacam Elisa memiliki sensitivitas yang tinggi. Dengan kata lain persentase pengidap HIV yang memberikan hasil negative

palsu sangat kecil. Sedangkan

spesivitasnya adalah 99,7% -99,90% dalam anti 0,1%-0,3% dari semua orang yang tidak berantibodi HIV akan dites positif untuk antibody tersebut. Untuk itu hasil Elisa positif perlu diperiksa ulang (dikonfirmasi)dengan metode westem Blot yang mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi. Syarat dan prosedur Tes Darah HIV/AIDS Syarat tes darah untuk keperluan HIV: a. Bersifat rahasia b. Harus dengan konseling baik pra tes maupun c. Tidak ada unsur paksaan d. Sedangkan prosedur pemeriksaan darah untuk Tahapan HIV/AIDS Pre tes konseling: a. Identifikasi risiko perilaku seksual (pengukuran tingkat risiko perilaku) b. Penjelasan arti hasil tes dan prosedurnya (positif/negatif) c. Informasi HIV/AIDS sejelas-jelasnya. d. Identifikasi kebutuhan pasien, setelah mengetahui hasil tes

e. Rencana perubahan perilaku Tes darah Elisa Hasil tes Elisa (-) kembali melakukan konseling untuk penataan perilaku seks yang lebih aman (safer sex). Pemeriksaan diulang kembali dalam waktu 3-6 bulan berikutnya. Hasil tes Elisa (+), konfirmasikan dengan western Blot. Tes western Blot Hasil tes western blot (+) laporkan kedinas kesehatan (dalam keadaan tanpa nama). Lakukan pasca konseling dan pendampingan (menghindari emosi putus asa keinginan untuk bunuh diri). Hasil tes western blot (-) sama dengan Elisa (-). Pengobatan HIV/AIDS HIV/AIDS belum dapat disembuhkan Sampai saat ini beum ada obat-obatan yang dapat menghilangkan HIV dari dalam tubuh individu. Ada beberapa kasus yang menyatakan bahwa HIV/AIDS dapat disembuhan.Setelah diteliti lebih lanjut, pengobatannya tidak dilakukan dengan standar medis,tetapi dengan pengobatan alternatif atau pengobatan lainnya. Obat-obat selama ini digunakan berfungsi menahan perkembang biakan virus HIV dalam tubuh, bukan menghilangkan HIV dari dalam tubuh. Hal inilah yang dialami magic Johnson, pebasket tim LA Lakers. Konsumsi obat-obatan dilakukan untuk menahan jalannya virus sehingga kondisi tubuh tetap terjaga. Obat-obatan ARV sudah dipasarkan secara umum, untuk obat generic, biaya obat ARV yaitu sekitar Rp:380.000,-per paket. Namun tidak semua orang yang HIV positif sudah membutuhkan obat-obat ARV, ada kriteria khusus. Jadi pengobatan HIV Magic Johnson belum tentu dapat diterapkan pada orang lain. Meskipun semakin hari makin banyak individu yang dinyatakan HIV, namun sampai saat ini belum ada informasi adanya obat yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS. Bahkan sampai sekarang belum ada perkiraan resmi mengenai kapan obat yang dapat menyembuhkan AIDS atau vaksian yang dapat mencegah AIDS ditemukan. Pengobatan HIV/AIDS

Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat yang ada adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik.obat antiretroviral adalah obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna menghambatan perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang termasuk anti retroviral yaitu AZT, didanoisne, zaecitabine, stavudine. Obat enfeksioportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang muncul sebagai efek samping rusaknyakekebalan tubuh. Yang penting untuk pengobatan oportunistik yaitu menggunakan obat-obat sesuai jenis penyakitnya, contoh: obat-obat antiTBC,dll. Stigma dan diskriminasi Diskriminasi terhadap ODHA dan OHIDHA a. Oleh masyarakat Masyarakat banyak meminta ODHA untuk dikarantina ke shelter khusus pengidap HIV/AIDS, padahal tanpa media dan cara yang ada diatas HIV/AIDS tidak akan tertular. Sebagian masyarakat melakukan diskriminasi karena : 1. Kurang informasi yang benar bagaimana cara penularan HIV/AIDS,hal-hal apa saja yang dapat menularkan dan apa yang tidak menularkan. 2. Tidak percaya pada informasi yang ada sehingga ketakutan mereka terhadap HIV/AIDS berlebihan. b. Oleh penyedia layanan kesehatan Masih ada penyedia layanan kesehatan yang tidak mau memberikan pelayanan kepada penderita HIV/AIDS. Hal ini disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap penyakit ini yang dan juga kepercayaan yang mereka miliki. Yang harus dilakukan Oleh ODH a. Mendekatkan diri pada tuhan b. Menjaga kesehatan fisik c. Tetap bersikap / berpikir positif d. Tetap mengaktualisasikan dirinya

e. Masuk dalam kelompok dukungan (support group) f. Menghindari penyalahgunaan NAPZA g. Menghindari seks bebas dan tidak aman h. Berusaha mendapatkan terapi HIV/AIDS. Yang dapat dilakukan Oleh masyarakat terhadap ODHA Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan kepada ODHA yaitu dengan memberikan dukungan. Dukungan disini tentunya dalam pengertian yang luas, yaitu misalnya dengan memberikan kesempatan,dsb. Diantaranya anggota masyarakat harus peduli dengan penanggulangan epidemic AIDS dengan mendukung ODHA untuk melawan diskriminasi, peduli terhadap ODHA yang sering mendapatkan penolakan dari orang lain.

B. Etiologi Banyak orang yang mempunyai risiko tinggi untuk terkena AIDS. Oleh karena itu upaya preventif dan kehati-hatian dari setiap individu harus selalu diperhatikan mengingat HIV dapat ditularkan melalui beberapa cara, diantaranya adalah (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2005) : 1. Hubungan seks / heteroseksual / homoseksual (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindung dengan orang yang telah terinfeksi HIV. 2. IDU / Penggunaan jarum suntik secara bergantian. 3. Perinatal / Ibu hamil mengidap HIV kepada bayi yang dikandungnya. 4. Tidak diketahui / Kemungkinan karena kecelakaan kerja di rumah sakit. Khusus untuk kasus HIV/AIDS pada anak, paling besar karena faktor perinatal. Dimana ibu sudah menderita aids sebelumnya, entah itu karena didapat dari suami atau yang lainnya. Kemungkinan yang lain adalah karena faktor kecelakaan di rumah

sakit (klien mungkin terkena jarum suntik yang sudah terinfeksi virus HIV atau bisa karena transfusi darah yang juga mengandung virus HIV). C. Stadium HIV/AIDS Menurut Gunung (2002). Gejala dari HIV/AIDS dibagi menjadi tiga stadium, yaitu; satidum infeksi akut, infeksi kronis dan AIDS. 1. Stadium infeksi akut Pada fase stadium akut ini, tidak semua penderita menunjukkan gejala yang spesifik, biasanya dalam kurun waktu 3-6 minggu mengalami flu, panas dan rasa lelah yang berlangsung selama 1-2 minggu. Gejala timbul gejala lain seperti : a). Bisul dengan bercak kemerahan, biasanya pada tubuh bagian atas tidak gatal, b). Sakit kepala, c). Sakit pada otot-otot, d). Sakit tenggorokan, e). Pembengkakan kelenjar, f). Daire (mencret), g). Mual-mual, h). Muntah. 2. Stadium infeksi kronis Infeksi kronis mulai 3-6 minggu setelah tubuh terinfeksi. Karena pada saat terpapar tubuh memberikan perlawanan yang kuat terhadap virus HIV. Pada stadium ini penderita tidak memperlihatkan gejaa apapun dan bisa berlangsung sampai 10 tahun. Walaupun tidak menunjukkan gejala yang spesifik, sistem imunitass penderita semakin menurun. Pada orang normal CD4 sebesar 450-12000 sel per ml, sedangkan pada penderita semakin turun, dan apabila CD4-nya berada dibawah 200, maka penderita sudah masuk pada stadium AIDS. 3. Stadium AIDS AIDS bukan penyakit tersendiri melainkan merupakan sekumpulan gejala infeksi oportunistik yang menyertai infeksi HIV tersebut. Disini sistem imun sudah rusak,sehingga didapatkan gejala yang sudah mulai khas, diantaranya adalah: a). Selalu merasa elah, b). Pembengkakan kelenjar pada leher atau lipatan paha, c). Panas yang berlangsung lebih dari 1a0 hari, d). KeRingat malam, e). Penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya, f). Bercak keunguan pada kulit yang tidak

kunjung hilang, g). Pernafasan memendek, h). Diare berat yang berlangsung lama, i). Infeksi jamur (candida) pada mulut, tenggorokan, vagina, j). Mudah memar / perdarahan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya. D. Penanggulangan HIV?AIDS Dua puluh tahun yang lalu, pencegahan epidemi HIV/AIDS merupakan sebuah tantangan yang nyata pada ilmu kesehatan masyarakat. Sampai saat ini belum ada cara efektif melawan penyakit ini. Selain itu, obat-obatan yang tersedia di pasaransaat ini juga belum dapat dimanfaatkan oleh semua penderita. Penanggulangan terhadap merebaknya penularan HIV/AIDS dapat dilakukan dengan berbagai upaya sebagai berikut: 1. Upaya Promotif Program pencegahan HIV/AIDS harus difokuskan pada pembentukan perilaku individu untuk tidak terpapar pada rantai penularan HIV/AIDS, antar lain melalui kontak seksual dan kontak jarum suntik. Bentuk kegiatannya akan banyak berupa pendidikan pekerja (Workers Education) untuk meningkatkan kesadaran akan risiko HIV / AIDS dan adopsi perilaku aman untuk mencegah kontak dengan rantai penularan HIV / AIDS. Upaya promotif yang bisa dilakukan antara lain: 1. Pelayanan Promotif: Meningkatkan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV AIDS. 2. Promosi Perilaku Seksual Aaman (Promoting Safer Sexual Behavior). 3. Promosi dan distribusi kondom (Promoting and Distributing Condom). 4. Norma Sehat di Tempat Kerja : tidak merokok, tidak mengkonsumsi Napza. 5. Penggunaan alat suntik yang aman (Promoting and Safer Drug Injection Behavior). 2. Upaya Preventif Upaya pencegahan penyakit ini merupakan cara yang terbaik untuk menekan terus meningkatnya kejadian penyakit dan kematian akibat AIDS. Untuk pencegahan HIV /

AIDS, terkena konseling merupakan satu-satunya cara untuk mempromosikan berbagai perubahan perilaku masyarakat. Untuk jangka panjang diharapkan masyarakat diharapkan akan mau mengadopsi perubahan perilaku yang berisiko. Konseling sangat mutlak diperlukan pada saat seseorang mulai diketahui mengidap HIV. Penderita akan merasa kehilangan harapan hidup dan tidak mampu mengambil keputusan yang bertanggung jawab tentang hidupnya. Bagi individu atau kelompok yang berperilaku risiko tinggi, mereka tidak mampu mengambil keputusan apakah akan melakukan test HIV atau tidak?. Isu penting lainnya dalam penanggulangan HIV / AIDS adalah tentang menjaga rahasia penderita baik untuk keluarga atau partner seks nya. Dengan kondisi seperti itu, konseling sangat membantu penderita untuk lebih berani menerima kenyataan hidupnya setelah HIV masuk kedalam tubuhnya. Mereka dibantu agar mampu berbuat sesuatu secara berimbang. Upaya Preventif dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut: 1. Peningkatan gaya hidup sehat. 2. Memahami penyakit HIV ? AIDS, bahaya dan pencegahannya. 3. Memahami penyakit IMS, bahaya dan cara pencegahannya. 4. Diadakannya konseling tentang HIV / AIDS pada pekerja sukarea dan tidak dipaksa. 3. Upaya Kuratif Upaya kuratif bertujuan untuk merawat dan mengobati ODHA (orang dengan HIV / AIDS. Pada saat ini terapi AIDS/HIV yang dilakukan adalah secara kimia (Chemotherapy) yang menggunakan obat Anti Retroviral Virus (ARV) yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Dalam terapi dengan menggunakan ARV ini umumnya dilakukan dengan cara kombinasi dengan beberapa jenis obat yang lain. Upaya kuratif dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Depkes, 2004): 1. Pencegahan dan pengobatan IMS (Infeksi Menular Seksual). 2. Penyediaan dan Transfusi darah yang aman.

3. Mencegah komplikasi dan penularan terhadap keluarga dan teman sekerjanya. 4. Dukungan sosial ekonomi ODHA. Ada beberapa risiko relatif seseorang terinfeksi HIV setelah terpapar secara perkutaneus dari darah yang mengandung HIV. Jika hanya melalui penglihatan / inspeksi tidaklah dapat diketahui apakah seseorang sudah terinfeksi HIV atau tidak karena pada kenyataannya, pengidap HIV umumnya terlihat sangat sehat. Satusatunya cara untuk mengetahui hal ini adalah dengan melalui tes darah HIV. Tes ini harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu : 1). Bersifat rahasia. 2). Atas persetujuan dari orang yang akan di tes. 3). Bersifat sukarela atau tidak boleh dipaksa. 4). Disertai dengan konseling. Faktor risiko tinggi terkena AIDS tersebut adalah : Luka yang dalam, tampak darah pada kulit, Prosedur pasang jarum pada vena atau arteri serta pasien dengan AIDS terminal (CDC, 2001). 3.1 Pencatatan sesudah terpapar darah yang mengandung HIV a. Waktu dan tanggal terjadinya paparan b. Rincian prosedur yang sudah dilaksanakan dan penggunaan alat proteksi pada saat terjadinya paparan. c. Jenis, parahnya paparan dan jumlah cairan yang mengenai petugas kesehatan d. Rincian keadaan sumber dari pajanan (pasien HIV-AIDS). e. Dokumentasi medik tentang rincian manajemen pasca pajanan HIV-AIDS 3.2 Manajemen umum a. Luka dan kulit sekitarnya segera dibersihkan dengan sabun dan air. Mukosa dibilas dengan air. 2. Profilaksi ARV segera diberikan pada pajanan dari komponen darah atau cairan lain seperti semen, sekret vaginal, cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan sinovial, peritoneal, perikardial, amnion.

c. Bila status HIV belum jelas, pemeriksaan HIV secara suka rela segera dijalankan. d. Bila hasil pemeriksaan HIV tidak bisa segera didapatkan, tidak perlu penundaan pemberian profilaksi HIV. 3.3 Jenis pajanan yang perlu segera diberikan profilaksi ARV a. Koyaknya kulit oleh karena benda tajam seperti trocart, jarum suntik, pecahan gelas yang terkontaminasi produk darah, caira tubuh dan material infeksius lainnya yang berasal dari pasien HIV. b. Gigitan pasien HIV yang menampakkan darah pada mulut pasien dan terdapat luka berdarah pada petugas kesehatan. c. Terpapar produk darah atau cairan tubuh dan material infeksius pada lapisan mukosa seperti mulut, hidung dan mata. d. Terpapar produk darah atau cairan tubuh dan material infeksius pada lapisan kulit yang tidak intak, atau luka kulit terbuka. 3.4 Implementasi pemakaian ARV a. ARV segera diberikan dalam waktu dua jam sesudah terpajan, dan jangan lebih dari 36 jam sesudah terpapar. b.

Regimen

ARV

yang diberikan

merupakan

obat

pilihan

yang sudah

direkomendasikan, kombinasi selain itu, harus dikonsultasikan pada spesialis HIVAIDS. c. Obat ARV harus selalu tersedia setiap saat ditempat kerja petugas kesehatan. d. Ketersediaan obat ARV profilaksis: a). Apakah ARV profilaksis tersedia untuk penggunaan dalam waktu 2 jam sesudah pajanan? b). Apakah ketersediaan ARV profilaksis untuk penggunaan selama 24-48 jam?

c). Siapa yang berwenang untuk otorisasi pemberian ARV profilaksis? d). Bagaimana petugas kesehatan yang terpajan bisa mendapatkan ARV untuk pengobatan selama 1 bulan? e). Pemeriksaan HIV secara rahasia dilakukan terhadap petugas kesehatan yang terpajan pada saat terpapar dan dalam waktu 72 jam sesudah pengobatan ARV profilaksis. Pemeriksaan HIV pada sumbernya dilakukan secara rahasia dan sukarela, segera sesudah ada laporan adanya petugas kesehatan yang terpajan. f). Pemeriksaan HIV pada sumbernya dilakukan secara rahasia dan sukarela, segera sesudah ada laporan adanya petugas kesehatan yang terpajan. g). Bila sumber pajanan HIV negatif, petugas kesehatan diberi tahu tentang kemungkinan terjadinya negatip palsu pada pemeriksaan HIV. h). Bila dinyatakan pemberian ARV profilaksi dihentikan, harus dicatat dalam rekam medis. i). Pemberian ARV profilaksis selama 4 minggu. j). Regimen ARV profilaksis yang diberikan terdiri dari Duviral 2 x 1 tablet perhari daei Neviral dimulai dari 1 x 1 tablet perhari selama 2 minggu berikutnya. k). Pemeriksaan HIV dilakukan pada hari 1 terpapar, 1 bulan sesudah terpajan, 3 bulan sesudah terpajan dan 6 bulan sesudah terpajan. l). Bila terjadi efek samping obat, segera dilaporkan ke spesialis HIV-AIDS dan dicatat. 3.5 Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan selama terapi ARV profilaksis a. Serum transaminase hari q, minggu ke – 2 dan ke -4. b. Serum HIV hari 1, bulan 1,3 dan 6. c. Darah lengkap hari 1, minggu ke -2 dan ke -4.

d. Pemeriksaan fisik bulan 1,2,3,6. 4. Upaya Rehabilitatif Upaya pemulihan / rehabilitasi terhadap ODHA sangatlah penting demi kelangsungan hidup penderita tersebut. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Spritia pada tahun 2002 menunjukkan bahwa masih banyak terjadi stigma (cap / pandangan buruk) dan diskriminasi di sektor perawatan kesehatan termasuk didalamnya konseling dan test HIV. Sebanyak 30% responden yang diwawancarai pernah mengalami penolakan oleh petugas pelayanan kesehatan dan bahkan 15% diantaranya mengalami penundaan pelayanan karena HIV. Dengan demikian kedepan kasus-kasus diskriminasi seperti ini tidak terjadi kembali. Adapun usaha yang perlu dilakukan adalah: 1. Latihan dan pendidikan pekerja untuk dapat menggunakan kemampuan yang masih ada secara maksimal. 2. Penempatan pekerja sesuai kemampuannya. 3. Penyuluhan kepada pekerja dan pengusaha untuk menerima penderita ODHA untuk bekerja seperti pekerja lain. 4. Menghilangkan Stigma dan Diskriminasi terhadap pekerja ODHA oleh rekan dan pengusaha. E. Voluntary Counselling and Testing Menurut organisasi kesehatan sedunia (WHO), VCT HIV / AIDS merupakan komunikasi yang bersifat rahasia antara klien dengan konselor yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kemampuan klien dalam menghadapi stress serta mengambil keputusan yang berkaitan dengan HIV / AIDS. Proses konseling itupun sudah termasuk dalam evaluasi risiko personal penularan HIV, fasilitas pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien menghadapi hasil test positif (Depkes, 2004)

Layanan VCT ini dapat digunakan untuk mengubah perilaku berisiko dan memberikan

informasi

tentang pencegahan

HIV.

Disini

klien

diharapkan

mendapatkan pengetahuan tentang cara penularan , pencegahan dan pengobatan HIV. Sebagai contoh; penggunaan kondom saat melakukan seks, penggunaan alat suntik yang steril dan tidak saling pinjam meminjam bagi pengguna narkoba suntik. Seorang konselor dituntut untuk memberikan pengetahuan tentang hubungan antara infeksi menular seksual (IMS) dengan HIV serta dapat merujuk klien ketika IMS perlu dikenali dan diobati lebih lanjut. Konseling HIV / AIDS harus dilakukan secara terarah dan difokuskan pada kebutuhan fisik, sosial, psikologik serta spiritual klien. Hal penting yang harus dipertimbangkan oleh setiap konselor adalah; masalah infeksi dan penyakit, kematian, kesedihan, diskriminasi sosial, seksualitas, gaya hidup serta pencegahan penularan. Daam melakukan konseling, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang konselor, adapun tahapan tersebut adalah (Depkes, 2004): 1. Tahap Satu, dalam tahap ini seorang konselor harus membangun hubungan yang baik serta membina kepercayaan dengan klien, adapun caranya adalah sebagai berikut: a. Meyakinkan kerahasiaan dan mediskusikan batas kerahasiaan pada klien selama menjalani konseling. b. b. Mengizinkan ventilasi, dalam arti klien dibiarkan untuk mengungkapkan segala perasaannya tanpa adanya paksaan dari konselor. c. Mengizinkan ekspresi perasaan klien, untuk mengetahui adanya ketakutan maupun kecemasan yang dirasakannya. d. Menggali masalah, meminta klien menceritakan kisah mereka dan tidak ada yang disembunyikan dari petugas demi terciptanya pemecahan masalah yang tepat. e. Memperjelas harapan klien untuk konseling f. Menjelaskan apa yang dapat konselor tawarkan dan cara kerjanya g. Pernyataan dari konselor tentang komitmen mereka untuk bekerjasama klien.

2. Tahap Dua, dalam tahap ini diungkapkan mengenai definisi dan pengertian peran, batasan serta kebutuhannya yang melipiuti: a. Mengemukakan peran dan batas dari hubungan dalam konseling b. Memaparkan dan mengklarifikasi tujuan dan kebutuhan klien c. Membantu mengurutukan prioritas tujuan dan kebutuhan klien d. Melakukan pengambilan riwayat secara rinci, menceritakan riwayat dengan sedetildetilnya. e. Menggali keyakinan, pengetahuan dan perhatian klien terhadap masalah kesehatan yang dihadapinya. 3. Tahap Tiga merupakan proses dukungan konseling berkelanjutan yang meliputi; a. Melanjutkan ekspresi pikiran dan perasaan dari klien. b. Mengenali berbagai alternatif dari pemecahan masalah yang ada. c. Mengenali keterampilan penyesuaian diri yang sudah ada. d. Mengembangkan keterampilan penyesuaian diri lebih lanjut. e. Mengevaluasi alternatif pemecahan masalah dan dampaknya. f. Memungkinkan perubahan perilaku dari klien setelah konseling. g. Mendukung dan mempertahankan bekerja dengan masalah klien. h. Memonitor perjalanan kemajuan menuju tujuan. i. Rencana alternatif yang dibutuhkan. j. Rujukan sesuai kebutuhan. 4. Tahap Empat merupakan penutup atau mengakhiri hubungan konseling yang dapat dilakukan dengan cara;

a. Klien bertindak sesuai dengan rencana yang telah disusunnya. b. Klien menatalaksanai dan menyesuaikan diri dengan fungsi sehari-hari c. Sistem dukungan yang tersedia yang dapat diakses d. Kenali strategi untuk memelihara perubahan yang sudah terjadi e. Diskusi dan rencanakan pengungkapan status f. Interval perjanjian diperpanjang g. Sumber dan rujukan yang tersedia dan diketahui serta dapat diakses h. Meyakinkan klien tentang pilihan untuk kembali mengikuti konseling sesuai dengan kebutuhan. F. Masalah Yang lazim muncul pada klien HIV/Aids a. Kelelahan berhubungan dengan status penyakit, anemia, malnutrisi b. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan infeksi, nyeri abdomen c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan pencernaan d. Diare berhubungan dengan proses penyakit G. Discharge Planning a. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk menghubungi tim kesehatan bila terdapat tanda-tanda atau gejala infeksi b. Ajarkan pada anak dan keluarga untuk mengamati respon terhadap pengobatan dan memberitahu dokter tentang adanya efek samping c. Ajarkan pada anak dan keluarga tentang penjadwalan pemeriksaan lebih lanjut.

BAB II A. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERMINAL ILLNESS ( PALLIATIVE CARE )

B. STRATEGI PENCEGAHAN PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK

Penceghan penularan HIV pada wanita dilakukan secara primer yang mengcakup mengubah perilaku seksual dengan menerapkan prinsip ABC, yakni absitinence ( tidak melakukan hubungan seksual ), Be faithful (setia pada pasangan

) dan condom

(merupakan kondom jika terpaksa melakukan hubungan dengan pasangan ).wanita juga di sarankan untuk tidak menggunakan narkoba,terutama narkoba suntikan dengan pemakaian jarum yang bergantian , serta pemakaian alat menore kulit dan benda tajam secara bergantian dengan orang lain ( misalnya tindik, tato, silet,cukur dan lain -lain0. petugas kesehatan perlu menerapkan kewaspadaan universal dan menggunakan darah serta produk darah yang bebas dari HIV untuk pasien.. ( Nursalam 2005 ) Mennurut depkes RI 2003) ,WHO mencanangkan empat strategi untuk mengcegah penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak ,yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS , apabila sudah dengan HIV/AIDS dicega supaya tidak hamil ,apabila sudah hamil dilakukan

pencegahan

supaya tidak menular pada bayi dan

anaknya,namun bila ibu dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawat bagi ODHA dan keluarganya. Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa di cegah melalui empat cara , mulai saat hamil, saat melahirkan,dan setelah lahir yaitu : penggunaan antiretroviral selama kehamilan ,pengunaan anti retroviral saat persalinan dan bayi yang baru di lahirkan ,penagngan obstetrik selamaa persalinan, pentalaksanaan selama menyusui .pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load renda sehingga jumlah virus yang ada dalam darah dan carian tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa di pilih untuk negara

berkembang adalah nevirapine, pada ibu saat persalinan deberikan 200 mg dosis tungga sedangkan pada bayi bisa di berikan 2mg/kg BB 72

jam pertama setelah dosis

tunggal.obat lain yang bisa di pilih adalah AZT yang di berikan mulai kehamilan 36 minggu 2x300 mg perhari dan 300 mg setiap jam selama persalinan berlangsung ( depkes RI 2003-) Persalinan sebaiknya dipilih dengan metode sectio caesaria karna terbukti mengurangi resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sampai 80%.bila bedah caesar selektif di sertai perngunaan terapi antiretroviral, maka resiko daopat di turunkan sampai 87% .walaupun demikian bedah caesar juga mempunyai resiko karena imunitas yang rendah sehingga bisa terjadi keterlambatan penyembuhan luka .bahkan bisa terjadi saat operasi . oleh karena itu persalinan per vagina atau sectio caesaria harus dipertimbangkan sesuai kondisi gizi, keuangan ,dan faktor lain. Bila persalinan oer vagina yang di pilih , tindakkan invasif seperti episiotomi rutin, ekstraksi vakum ,ekstraksi cunam, ,emecahkan ketuban sebelum pembukaan lengkao, terlalu sering melakukan periksa dalam, serta memantau analisa gas darah dengan mengambil sampel dari kulit kepala janin selama persalinan harus dihindari karena meningkatkan resiko penuran HIV dari kejanin (depkes RI,2003)

a. Perawatan kehamilan ,persalinan,dan pascasalin Wanita dengan HIV/AIDS yang hamil harus di berikan penyuluhan tentang kehamilanya , baik beupa penghentian atau ke lanjutan kehamilan karena adanya resiko transmisi vertikal HIV/AIDS dari ibu ke bayi sebesar 25%-45%, pada wanita hamil di perlukan pemeriksaan awal pada kunjungan pertama meliputi antibodi toksoplasmosis dan virus sitomegalo ,tes mantounx ,kultur serviks untuk mengetahui adanya neissria gonorrhea dan chlamydia trchomatis, HBsAg, VDRL, antigen, triptokokus , pemeriksaan CD4 setiap 3 bulan ( setiap bulan jika <300 mm) untuk menentukan apakah pasien perlu diberikan profilaksis terhadap pneumocystis carinii atau zidouudine. Pengbotan wanita hamil HIV tidak berbedah dengan wanita tidak hamil karena terapi ARV hanya ada sedikit memiliki kemampuan mengangguan janin ( Richard.et al.,1997) Pertolongan persalinan dilakukan dengan berhati-hati dan menerapkan kewaspadaan universal dan alat perlindung diri lengkap .penyisapan lendir bayi tidak boleh di lakukan

dengan penhisap mulut,melainkan dengan kateter penghisap yang dihubungkan deangan mesin penghisap .semua janin harus diperlukan seperti individu yang tidak terinfeksi saat persalinan karena transmisi vertikal hanya sebesar 25%-35%.pencegahan harus dilakukan agar bayi terhindar dari transmisi infeksi dari ibu ke bayi . ibu harus di anjurkan agar menghindari bayinya terkena sekresi tubunya . Setelah persalinan ,wanita bisa dianjurkan untuk memiliki metode kontraksepsi mereka sukai untuk mencegah kehamilan selajutnya . kontrasepsi harus segera di pakai paling lambat 4 minggu setelah persalinan (Depkes RI, 2003) . Metode kontrasepsi yang bisa di sarankan adalah pemakaian kondom karena memberikan perlindungan terhadap infeksi HIV dan PMS.( Penyakit menular seksual ). metode diafragma dan respon sama sekali tidak efektif sehingga tidak perlu di sarankan pada ibu . alternatif lain yang bisa di sarankan adalah kontrasepsi oral atau hormon injeksi . pemakaian IUD, MOW ( sterilisasi ) tidak di sarankan pada wanita yang terinfeksi HIV karena dapat menyebabkan penyakit radang pelvis dan peningkatan resiko perdarahan sehingga memudahkan transmisi HIV ( Richartd , et,al.,1997)

b . Nutrisi pada wanita dan anak dengan HIV/AIDS Kebanyakkan wanita mengurus keluarga dan anak-anaknya selain mengurus dirinya sendiri, sehingga nutrisi pada wanita dengan HIV/AIDS memerlukan perhatian khusus..wanita dengan HIV/AIDS sebaiknya beristirahat cukup ,melakukan olahraga secara teratur ,lebih dari hanya sekedar jalan kaki,makan makanan yang sehat,minum obat tepat

waktu,dan menempatkan kebutuhan diri sendiri pada prioritas tinggi

(HRSA,2002)

1.

Wantita HIV/AIDS yang hamil dan menyusui :kehamilan memerlukan lebih banyak nutrisi untuk ibu dan bayi ,kekurangan nutrisi menyebabkan wanita hamil rentan terhadap infeksi. Pada saat hamil, asupan gizi di tingkatkan :300 kalori dan 10 gram protein sehari.sebaiknya berat badan meningkat 25-35pon selama hamil . 5pon pada trimester pertama, 10--15 pon pada trimester kedua, dan 15 pon pada trimester ketiga.asupan vitamin ekstra,minaral ,ion, cairan ,serat juga diperlukan. Menghindari

kaopi ,teh ,caklat. Alkohol,dan minuman bersoda seperti coca kola ,pepsi dan sebagainya .wanita memyusui juga memerlukan lebih banyak asupan makanan. 2.

Wanita HIV/AIDS saat mengalami menstruasi dan sindrom prmenstruasi:HIV/AIDS dapat mengubah siklus haid memperberat simdrow pramentruasi ,misalnya kelakuan payudara,mudah marah ,depresi ,kram dan sebagainya . dalam keadaan ini , wanita penderita HIV/AIDS sebaiknya mengonsumsi makanan rendah gula dan tinggi serat selama fase sebelum menstruasi dan saat menstruasi . membatasi membatasi komsusi garam dan makanan ringan dapat membantu mengurangi kram dan nyeri payudarah. Sebaiknya wanita tetap melakukan latihan teratur dan beristirahat cukup (HRSA,2002)

3.

Wanita HIV/AIDS menopause: wanita menopause sebaiknya menungkatka asupan kandungan kalsium dalam makanan 4-5 kali lebih banyak . makanan ini misalnya susu ,keju, yughurt , jus jeruk, jambu, dan sardine, serta sumber kalsium yang lain .

4.

Wanita HIV/AIDS dengan infeksi dan berat badan : jika wanita mengalami kegemukan, maka berat badan harus di turunkan, sebaliknya kalau sangat kurus harus ditingkatkan asupan nutrisinya. Pasien dengan infeksi uga harus makan banyak lebih makanan terutama protein dan vitamin .

c .Nutrisi pada anak dengan HIV/AIDS Pemberian nutrisi pada bayi dan anak dengan HIV/AIDS tidak berbeda dengan anak yang sehat , hanya saja asupan protein dan kalori perlu di tinggkat . selain itu juga perlu diberikan multivitamin , dan antiosidan untuk memepertahankan kekebalan tubuh dan menghambat replikasi virus HIV. Sebaiknya di pilih bahan makanan yang risiko alerginya rendah di masak dengan baik untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik . sayur dan buah-buahan juga harus di cuci dengan baik dan sebaiknya dimasak sebelum di berikan pada anak .pemberian nutrisi pada ODHA . Bayi yang sudah terinfeksi dengan HIV sebaiknya diberi ASI eksklusif selama 4-6 bulan karena terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas akitabat infeksi selain HIV. Namun jika bayi belum terbukti positif ,sebaiknya ibu tidak menyusui bayinya karena dapat terjadi transmisi vertikal HIV kebayi sebesar 10-20% terutama bila puting ibu lecet atau radang . namun bila tersedia air bbersih dan keluarga tidak mampu membeli susu

formula untuk bayi , serta tidak terjamin kesinambungan dan kemanan perberian susu formula , bayi sebaiknya di berikan ASI eksklusif , selanjutnya baru disapih karena resiko bayi meninggal akibat kurang gizi lebih besar dari pada risiko meninggal karena HIV/AIDS . pemberian PASI sebaiknya menggunakan cangkir dan bukan botol karena cangkir lebih mudah di bersihkan. Makanan campuran ( ASI, susu, makanan,dan air ) sebaiknya tidak di berikan karena meningkat resiko penularan dan angka kematian bayi . Pemberian nutrisi pada bayi dan anak juga harus di sertai dengan pemantauan status nutrisi yang dapat di lakukan dengan menggunakan A-B-C-D ,yaitu antropometri biochemical data, clinical sign , and symptoms, serta diet .pengukuran antropometri meliputi pengukuran TB dan BB untuk mengetahui indeks masa tubuh ,serta pengukuran lingkar lengan atas untuk mengetahui beberapa jauh kekuranga zat gizi makro, misalnya kekurangan energi protein.

Pemeriksaan laboratorium yang penting misanya

Hb,albumin,prealbumin, kolesterol, trigliserida,fungsi hati, dan kadar gizi mikro dalam darah, misalnya zat besi ,magnesium, asam folat,vitamin B12,vitamin A,dan lain lain.pemeriksaan tanda klinis mengcakup pemeriksaan ada atau tidaknya infeksi opotunistik pada sistem pencernaan , sistem pernapasan, sistem integumen dan persarafan . sedangkan pemeriksaan pemeiksaan diet dilakukan dengan menanyakan pola makan dan asupan zat gizi serta mengetahui potensi kekurangan zat gizi.

d .Pemberian ARV pada ibu dan anak dengan HIV/AIDS Prinsip pemberian ARV pada wanita dan anak hampir sama dengan dewasa ,tetapi pemberian ART pada ibu dan anak memerlukan perhatian khusus tentang dosis dan toksitasnya terutama pada anak -anak . sistem kekebalan bayi mulai dibentuk dan berkembang selama beberapa tahun pertama . efek obat ARV pada bayi dan anak juga akan bedah dengan orang dewasa.

e.Dukungan sosial spiritual pada wanita dan anak dengan HIV/AIDS Wanita banyak menerima diskiminasi saat membutuhkan pengobatan HIV,bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, dan pencobaan riset karena dia sedang hamil atau sedang dalam masa subur . wanita keturunan afrika amerika dan hispanik seringkali mengalami siksaan fisik jika dia menyarankan pengunaan kondom pada pasangan karena pria

hispanik menganggap kondom hanya di gunakan untuk wanita yang tidak mempunyai moral yang baik atau bukan pada istri atau pasangan tetapnya. Wanita juga lebih jarang menanyakan kebiasaan seksual pasangannya di bandingkan

pria, dan bila mereka

bertanya tidak ada jaminan bahwa pasangannya mengatakan hal yang sebenarnya . Anak yang dia di diagnosis HIV juga mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. Orang tua harus menghadapi masalah berat dalam perawatan anak, pemberian kasih sayang, dan sebagaianya sehingga dapat mempengaruhi tumbuhan mental anak, orang tua memerlukan waktu untuk mengatasi masalah emosi, syok,kesedihan,penolakkan, perasaan berdosa, cemas, marah, dan berbagai perasaas lain Wanita dan anak perlu di berikan dukungan terhadap kehilangan dan perubahan mencakup: 1.

Memberi dukungan dengan memperoleh kan pasien dan keluarga untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan perasaan keluarga

2.

Membangkitkan harga diri wanita dan serta keluarganya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah.

3.

Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya

4.

Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah , dapat mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau lain. Selain itu perlu di berikan perawatan paliatif dan terminal yang mencakup empat hal,

yaitu pemberian kenyamanan, pengelolaan nyeri , serta menyiapkan pasien menghadapi kematian .perawatan kenyamanan mencakup tindakkan relaksasi dan distraksi , menjaga pasien tetap bersih dan kering,pergantian posisi secara teratur , memberikan toreransi maksimal terhadap permintaan pasien dan keluarga serta menghormat kebutuhan untuk mandiri. Pengelolaan nyeri bisa di lakukan bisa dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi , meditasi, maupun pengobatan anti nyeri. Persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang keadaan penderita,bantuan persiapan pemakaman, serta pengurusan jenazah sesuai budaya pasien.

f . Diagnosis HIV pada wanita dan anak Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode neonatal.penyakit penanda AIDS tersering di temukan pada anak adalah pneumonia yang

di sebabkan pneumocystis carinii.gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang,kandidiasi oral,

diare kronis, atau

hepastosplenomegali (pembesaran hepar lien) Karena anti bodi ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan maka tes ELISA dan watern blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes tes ini berdasarkan ada atau tidaknya anti bodi terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk mengindentifikasi HIVadalah PCR untuk DNA HIV.kultur HIV yang positif juga menunjukkan pasien terinfeksi HIV. Untuk pemeriksaan PCR, bayi harus melakukan pengambilan sampel darah untuk tes PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama diambil pada saat bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitif selama periode 1 bulan setelah lahir.CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang paada saat bayi berusia 4 bulan . jika tes ini negatif, maka bayi tidak terinfeksi HIV. Terapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI, maka bayi berisiko tertular HIV sehingga ter PCR perlu di ulanng setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan , pemeriksaan ELISA bila dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain. Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV sering mengalami infeksi bakteri kumat-kumatan , gagal tumbuh atau wasting ,limfadenopati menetap,keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring. Anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagosis dengan ELISA dan tes komfirmasi lain seperti pada dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa digunakan untuk mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO. CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan

anak berdasarkan hitung

limfosit CD4 dan manifestasi klinis penyakit, pasien dikategorikan berdasarkan derajat imunosupresi (1,2 atau 3) dan katekori ( N, A, B, C, E, ). klasifikasi ini memungkinkan adanya surveilansserta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi klinis imunolgis ini bersifat eksklusif, sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu kategori maka klasifikasi ini tidak merubah meskipun menjadi perbaikkan status karena pemberian terapi atau faktor lain.

WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya menyebabkan penyakit klinis dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor . seorang anak mempunyai gejala 2 gejala mayor dan 2 gejalah minor bisa didiagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lain.

g .Diagnosis HIV pada wanita Gejala HIV pada wanita sering kali ditandai dengan gejala ginekologis, tetapi belum termasuk dalam gejala HIV/AIDS menurut CDC sehingga dokter tidak mencurigainya sebagai infeksi HIV. Maka diagnosis HIV/AIDS pada wanita sering terlambat . faktor lain menjadi penyebabnya adalah sulitnya fasilitas untuk didatangi, buruknya penggunaan fasilitas kesehatan, sedikitnya kecurigaan tenaga kesehatan terhadap kemungkinan timbulnya AIDS pada wanita. Selain itu wanita yang mempunyai risiko tinggi terkena HIV/AIDS tidak menyadari gejala awal dari infeksi HIV.banyak wanita yang mengetahui status HIV mereka melalui pemeriksaan prenatal. Gejala ginegologis HIV pada wanita antara lain kandidiasis vulva vaginal persinten sering timbul dan tidak responsif terhadap terapi, displasia serviks sering sampai invasif, penyakit inflamasi pelvi di sertai absis tuba ovarium , ulkus hespes simpleks yang timbul lebih dari satu bulan. Gejalah lain adalah kulkus genital, human papiloma,sifilis, dan kondiloma kuminata. Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada wanita yang terdiagnosis HIV meleiputi 1.

Pengambilan riwayat ginkologis lengkap , termasuk riwayat menstruasi, obstetri, konsepsi, dan aktivitas seksual.

2.

Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan payudara dan pelvis.

3.

Pemeriksaan laboratorium : pap smear, kultur serviks untuk mencari adanya klamedia dan gonoria ,VDRL , dan tes kehamilan jika ada indikasi.

4.

Mammogram untuk wanita yang berusia 35-39 tahun, dua tahun sekali sampai berusia 49 tahun dan kemudian setiap untuk wanita yang berusia 50 atau lebih , serta (5) kolposkopi Komplikasi medis HIV /AIDS pada wanita

antara lain esofagitis kandida dan

pneumocystis carinii,. selain itu juga bisa di temukan virus human papiloma dan penyakit

serviks, virus harpes simpleks, chancrpod, sifilis ulkus genital HIV ,penyakit infalamsi pelvis,dan kandidasi vagina. C.PRINSIP KEPERAWATAN PADA HIV NEGATIF DAN ANAK PENDERITA HIV/AIDS ATAU DENGAN ORANG TUA HIV/AIDS

D. WAKTU DAN RISIKO PENULARAN HIV DARI IBU KE ANAK Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual atau homo seksual), pemakaian narkoba infeksi dengan jarum bergantian bersama mengidap HIV, tertular melalui darah dan produk darah , pengunaan alat kesehatan yang tidak steril ,serta alat untuk menoreh kulit. Menurut CDC penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara berurutan dari yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui infeksi 51%, wanita hetoroseksual 34% ,tranfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%. Penularan HIV ke bayi dan anak bisa dari ibu ke anak ,penularan melalui darah , penularan melalui hubungan seks ( pelecehan seksual pada anak) .penularan ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar ( 85%) berusia subur (15-44 tahun ) sehingga terdapat risiko penularan infeksi yang bisa terjadi pada saat kehamilan ( in utero). berdasarkan laporan CDC amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,07%. bila ibu baru infeksi HIV dan belom ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20% sampai 35% sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%. Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sereksi maternal saat melahirkan . makin lama proses kelahiran, semakin besar risiko penularan , sehingga lama persalinan bisa di cegah dengan operasi sectio caesaria.transmisi lain terjadi saat periode postpartum melalui ASI, risiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%.

Related Documents

Bab Ii Hiv Aids.docx
December 2019 24
Bab Ii
November 2019 85
Bab Ii
June 2020 49
Bab Ii
May 2020 47
Bab Ii
July 2020 48
Bab Ii
June 2020 44

More Documents from ""