7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Pengertian Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) adalah metabolisme berupa hilangnya toleransi karbohidrat ditandai dengan hiperglikemia, aterosklerotik, penyakit vaskular mikroangiopati dan neuropati (Smeltzer 2010). Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit kronik yang melibatkan kelainan metabolisme karboh idrat, protein dan lemak serta berkembangnya komplikasi makrovaskuler neurologis (Soegondo & Subekti 2015). Diabetes Melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (ADA, 2017). 2.1.2 Klasifikasi Diabetes Klasifikasi menurut Amarican Diabetes Association’s Standards of Medical Care in Diabetes (2018) : 1. Diabetes tipe 1 (karena kerusakan sel β-sel autoimun, biasanya meneybabkan defisiensi insulin absolut) 2. Diabetes melitus tipe 2 ( karena hilangnya sel beta β-sel yang progresif sekresi sering pada latar belakang resistensi insulin) 3. Diabetes melitus gestasional (GDM) (diabetes didiagnosis di trimester kedua atau ketiga kehamilan yang tidak jelas diabetes nyata sebelum kehamilan) 4. Spesifik jenis diabetes karena penyebab lain, misalnya monogenik sindrom diabetes (seperti diabetes neonatal dan onset maturitas diabetes muda), penyakit dari pankreas eksokrin (seperti fbrosis kistik dan pankreatitis), dan
8
obat- atau kimia yang diinduksi diabetes (seperti dengan penggunan glukokortikoid, dalam perawatan HIV/AIDS, dan setelah organ transplantasi) 2.1.3 Faktor Resiko Peningkatan jumlah penderita DM sebagian besar DM tipe 2, berkaitan dengan faktor resiko yang tidak dapat diubah, faktor resiko yag dapat diubah dan faktor lain. Menurut American Diabetes Association (ADA) (2010) bahwa DM berkaitan dengan faktor resiko yang tidak dpat diubah melewati riwayat keluarga DM (first degree relative), umur > 45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi berat badan lahir bayi >4000 gram atau <2500 gram, riwayat pernah menderita DM gestasional. Faktor resiko yang dapat diubah meliputi obesitas bedasarkan IMT >25kg/M2 atau lingkar perut >80 cm untuk wanita, >90 cm pada laki-laki, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak sehat. Faktor lain yang terkait dengan resiko diabetes adalah penderita polycystic ovarysindrome (PCOS), Penderita sindrome metoblik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT), memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler seperti stroke, penyakit jantung koroner (PJK), peripheral arterial Diseases (PAD), konsumsi alkohol, faktor stres, kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein (kahn, Cooper & Del Prato 2014) 2.1.4 Patofisiologi
9
Kelainan dasar yang terjadi pada diabetes tipe 2 yaitu: 1). Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot, dan hati yang mneyebabkan respon reseptor terhadap insulin berkurang sehingga ambilan, penyimpanan dan penggunaan glukosa pada jaringan tersebut menurun: 2). Kenaikan glukosa oleh hati mengakibatkan kondisi hiperglikemia; 3) kekurangan sekresi insulin oleh pankreas yang menyebabkan turunnya kecepatan transport glukosa ke jaringan lemak, otot dan hepar (Guyton &Hall, 2014) Resistensi insulin adalah kondisi dimana sensitivitas insulin menurun, sensitivitas insulin adalah kemampuan dari hormon insulin untuk menurunkan kadar gula darah dengan cara menekan produksi glukosa hepatik dan menstimulasi pemanfaatan glukosa di dalam otot skelet dan jaringan adipose. Resistensi insulin awalnya belum menyebabkan diabetes secara klinis. Sel beta pankreas masih dapat melakukan kompensasi bahkan sampai overkompensasi, insulin disekresi secara berlebihan sehingga terjadi kondisi hiperinsulinemia dengan tujuan normalisasi kadar glukosa darah. Mekanisme komponsasi yang terjadi terus menerus menyebabkan kelelahan sel beta pankreas (exhaustion) yang
10
absolut. Kondisi resistensi insulin diperberat oleh produksi insulin yang menurun akibatnya kadar glukosa darah semakin meningkat sehingga memenuhi kriteria diagnosis diabetes (Guyton & Hall, 2014). 2.1.5 Kriteria Dignosis Diabetes Menurut PERKENI (2015) Diagnosis pemeriksaan
DM ditegakkan
kadar glukosa darah. Pemeriksaan
atas dasar
glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah
vena. Pemantauan
menggunakan
pemeriksaan
hasil pengobatan
dapat
dilakukan
dengan
glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti: a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita Tabel 2. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus ( PERKENI, 2015) Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam ATAU Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/ dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram ATAU Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik ATAU Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi terhadap hasil
11
pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi. 2.1.6 Tanda dan Gejala Gejala diabetes pada setiap penderita tidak selalu sama. Gejala umum yang ditunjukkan pada permulaan gejala meliputi: banyak makan (polifagia), banyak minum (polidipsia), banyak kencing (poliuria). Apibila gejala tersebut tidak segera diobati, maka dapat menimbulkan gejala lain seperti nafsu makan berkurang, berat badan menurun cepat, mudah lelah dan bahkan sampai jatuh koma (Tjokroprawiro 2011) Beberapa keluhan dan gejala klasik pada penderita DM tipe 2 yang perlu mendapat perhatian menurut Subekti (2009), yaitu : a. Penurunan berat badan (BB) dan rasa lemah Penurunan berat badan disebabkan karena penderita kehilangan cadangan lemak dan otot digunakan sebagai sumber energi untuk menghasilkan tenaga akibat dan kekurangan glukosa yang masuk ke dalam sel. b. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin) Kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan penderita DM lebih banyak mengeluarkan urin. Terutama pada malam hari. c. Polidipsi (peningkatan rasa haus) Peningkatan rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang keluar melalui sekresi urin lalu akan berakibat pada terjadianya dehidrasi intrasel sehingga merangsang pengeluaran ADH (Anti Diuretik Hormone) dan menimbulkan rasa haus. d. Polifagia (peningkatan rasa lapar)
12
Kalori yang dihasilkan dari makanan setelah di metabolisasikan menjadi glukosa dalam darah, tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan sehingga penderita selalu merasa lapar. Selain itu terdapat keluhan lain seperti gangguan saraf tepi berupa kesemutan, gangguan penglihatan (mata kabur), gatal, bisul, gangguan ginekologis berupa keputihan , dan gangguan ereksi (Subekti, 2009) 2.1.7 Komplikasi Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) Komplikasi akut Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang dibawah nilai normal (<50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1. Kadar gula darah yang terlalu rendah meneybabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan (smeltzer et al. 2010; Soegondo et al. 2002). Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabilisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik. Koma hiperosmoler Non Ketotik (KHONK) dan kemolakto asidosis (Soegondo, Soegondo & Subekti 2002). KHONK merupakan sindroma dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis dan disertai menurunnya kesadaran, kejang, parastesia, koma, poliuria, polidpsi, palifagia, nafas tidak berbau aseton dan kadar glukosa darah meningkat hingga >600 mg/Dl(Smeltzer 2010) 2) Komplikasi Kronis
13
Komplikasi diabetes dibagi menjadi 2 yaitu: (1) Komplikasi makrovaskuler Makrovaskuler merupakan penyakit yang mengenai pembuluh darah besar. Komplikasi makrovaskuler khususnya penyakit pembuluh darah koroner paling umum menyebabkan kematian. Adapun komplikasi penyakit makrovaskuler adalah: penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskuler, penyakit pembuluh darah perifer, infeksi dan penyakit hipertensi (tjokroprawiro 2011) (2) Komplikasi mikrovaskuler Menurut Smeltzer (2010) mikrovaskuler merupakan penyakit yang mengenai pembuluh darah kecil ditandai oleh penebalan membran basalis pembuluh kapiler. Mikroangiopati merupakan perubahan yang terjadi pada retina, ginjal dan kapiler perifer DM. (3) Komplikasi lain seperti kerentanan terhadap infeksi, gangguan gestasional, penyakit kulit dan kaki diabetikum. 2.1.8 Penatalaksanaan Menurut Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 (2015), Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan pentalaksanaan meliputi: 1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut. 2. Tujuan jangka panjang: mencgah dan menghambat proresivitas penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
14
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif. a. Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum. Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yang meliputi: 1. Riwayat penyakit -
Usia dan karakteristik saat onset diabetes
-
Pola makan, status gizi, status aktivitas fisik, dan riwayat perubahan berat badan.
-
Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
-
Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri
-
Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani.
-
Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis obat yang digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani)
-
Faktor resiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain).
-
Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status kimia.
15
2. Pemeriksaan Fisik -
Pengukuran tinggi dan berat badan.
-
Pengukuran
tekanan
darah,
termasuk
pengukuran tekanan
darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik. -
Pemeriksaan funduskopi.
-
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
-
Pemeriksaan jantung.
-
Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan
-
stetoskop.
-
Pemeriksaan
-
kelainan vaskular, neuropati, dan adanya deformitas).
-
Pemeriksaan
kaki secara
kulit
hiperpigmentasi,
komprehensif (evaluasi
(akantosis
necrobiosis
nigrikans,
bekas
diabeticorum,
luka,
kulit kering,
dan bekas lokasi penyuntikan insulin). -
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain
3. Evaluasi Laboratorium -
Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam setelah TTGO.
-
Pemeriksaan kadar HbA1c
4. Penapisan Komplikasi 5. Penapisan yang -
baru
komplikasi
harus
dilakukan
pada
setiap penderita
terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan:
Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High
16
-
Density Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan trigliserida.
-
Tes fungsi hati
-
Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
-
Tes urin rutin
-
Albumin urin kuantitatif
-
Rasio albumin-kreatinin sewaktu.
-
Elektrokardiogram.
-
Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit
-
jantung kongestif).
-
Pemeriksaan kaki secara komprehensif.
Penapisan komplikasi dilakukan di Pelayanan Kesehatan Primer. Bila fasilitas belum tersedia, penderita dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder dan/atau Tersier. b. Langkah Langkah Penatalaksanaan Khusus. Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pada keadaan emergensi dengan dekompensasi metabolik berat, misalnya: ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, atau adanya ketonuria, harus segera dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder atau Tersier. Pengetahuan
tentang
pemantauan
17
mandiri,
tanda
dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien. 2.1.9 Diet Diabetes Melitus Diet (Terapi Nutrisis Medis) merupakan
bagian
penting
dari
penatalaksanaan DMT2 secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya
diberikan
sesuai
dengan
kebutuhan setiap
penyandang DM Menurut Lanywati (2007), diet diabetes melitus adalah berupa pantangan atau larangan keras untuk mengkonsumsi gula dan karbohidrat lainnya. Misalnya nasi dan roti, tetapi tanpa adanya pembatasan jumlah konsumsi protein dan lemak. Berdasarkan para ahli kedokteran, diet semacam itu akhirnya diubah dengan diet baru yang berprinsip pada pembatasan kalori total. Dengan demikian, makanan yang dikonsumsi boleh mengandung relatif banyak karbohidrat dan serat-serat gizi, dengan jumlah protein normal dan relatif sedikit lemak. Tujuan utama dari diet baru tersebut aalah mengendalikan kadar gula darah agar tetap berada di antara nilai normal yaitu 60 mg%-13mg%. Prinsip terapi diet menurut (lanywati, 2007) pada diabetes melitus adalah memberikan kalori yang cukup dan komposisi yang memadai, dengan memperhatikan 3J, yaitu jumlah makanan, jadwal makanan, dan jenis makanan. a) Jumlah makanan harus disesuaikan dengan jumlah kalori yang dibutuhkan
18
setiap harinya. Kebutuhan ini ditentukan secara individual berdasarkan berat badan (obesitas, kurus, atau ideal), jenis kelamin, usia, cara hidup atau kegiatan pekerjaan (pekerjaan fisik atau karyawan kantor). b) Jadwal makan atau frekuensi makan, umumnya dibagi menyaji 6, yaitu 3 porsi besar dan 3 porsi kecil. Pembagian berdasarkan jumlah kalori yang dibutuhkan ini dilakukan dengan tujuan untuk membagi secara merata pemasukan kalori sepanjang harinya, sehingga dapat menghindari kenaikan kadar gula darah yang terlalu tinggi. 1. Tujuan diet DM menurut Hartono (2006), antara lain: 1) Mengendalikan kadar glukosa dan lemak darah agar komplikasi diabetes dapat dicegah atau ditunda. 2) Mendapatkan dan mempertahankan berat badan normal atau ideal 3) Mencegah terjadinya komplikai 4) Mencapai berat badan yang diinginkan 5) Menghasilkan kebugaran dan rasa nyaman tubuh karena pengendalian gula darah. 2. Komposisi Makanan yang dianjurkan terdiri dari (PERKENI, 2015) a) Karbohidrat -
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 25-65% tital asupan energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
-
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
-
Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
-
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
19
-
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake/ADI).
-
Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai
bagian
dari kebutuhan kalori sehari. b) Lemak -
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
-
Komposisi yang dianjurkan: lema jenuh <7 % kebutuhan kalori. lemak tidak jenuh ganda <10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
-
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream.
-
Konsumsi kolesterol dianjurkan
c) Protein -
Kebutuhan protein sebesar 10-20% total asupan enegi
-
Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacangkacangan, tahu dan tempe.
-
Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu
penurunan
asupan
protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya
bernilai biologik
tinggi. Kecuali pada
20
penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari. d) Natrium -
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat yaitu <2300 mg perhari.
-
Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan pengurangan natrium secara individual.
-
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
e) Serat -
Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan, buah dan suyuran serta sumber karbohidrat yang tingi serat
-
Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai sumber bahan makanan.
f) Pemanis Alternatif -
Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily Intake/ ADI)
-
Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
-
Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
-
Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
21
-
Fruktosa
tidak dianjurkan
digunakan pada penyandang DM karena
dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami. -
Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose, neotame..
2.2.0 Aktivitas fisik Diabetes Melitus Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DMT2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu
selama
sekitar
30-45 menit,
dengan
total
150
menit
perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar
glukosa
darah
<100
mg/dL
pasien
harus
mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau aktivitas seharihari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari.(PERKENI, 2015) Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali
glukosa
darah.
Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70%
denyut
jantung
maksimal) seperti: jalan cepat,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal
22
dihitung
dengan
cara
mengurangi angka 220 dengan usia pasien.
(PERKENI, 2015) Pada osteoartritis,
penderita hipertensi
yang
dianjurkan juga melakukan kali/perminggu sebaiknya
DM
tanpa
kontraindikasi (contoh:
tidak terkontrol, retinopati, nefropati)
resistance
training (latihan
sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan
disesuaikan
beban)
2-3
jasmani
dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM yang relatif sehat bisa ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing individu (PERKENI, 2015).
2.2 Konsep Teori Motivasi 2.2.1 Pengertian Motivasi Motivasi berasal dan kata “motif’ yang artinya daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam diri subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Berawal dan kata “motif’, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak (Sardiman, 2003). Menurut Purwanto (2002) motivasi adalah suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan, mengarahkan dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau
23
tujuan tertentu. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai oleh timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan (Hamalik, 2002). Motivasi adalah suatu konstruk yang dimulai dari adanya need atau kebutuhan pada diri individu dalam bentuk energi aktif yang menyebabkan timbulnya dorongan dengan intensitas tertentu yang berfungsi mengaktifkan, memberi arah, dan membuat persisten (berulang-ulang) dari suatu perilaku untuk memenuhi kebutuhan yang menjadi penyebab timbulnya dorongan itu sendiri (Winardi J, 2007) Motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi juga dapat diartikan sebagai perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam berperilaku (Suchri, 2007) 2.2.2 Teori-teori motivasi Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang motivasi yang dapat dikelompokan sebagai berikut(Winardi J, 2007) : 1. Teori kepuasan (content theory) Yaitu pendekatannya atas faktor-faktor kebutuhan dan kepuasan individu yang menyebabkan bertindak dan berperilaku dengan cara tertentu. Teori yang memusatkan pada faktor dalam diri orang yang menguatkan, mengarahkan,
mendukung
dan
menghentikan
perilakunya,
yang
memotivasi semangat seseorang untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan. 2. Teori motivasi proses (process theory)
24
Yaitu merupakan proses sebab akibat bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa yang diperolehnya. Jika bekerja baik saat ini, maka hasilnya akan diperoleh baik di hari esok. Jadi hasi yang diperolehnya tercermin dalam bagaimana proses kegiatan yang dilakukan seseorang, hasil hari ini merupakan kegiatan hari kemarin. Teori motivasi proses ini meliputi teori harapan, teori keadilan dan teori pengukuhan. 2.2.3 Faktor motivasi Orang-orang tidak hanya berbeda dalam kemampuan untuk berbuat, akan tetapi juga berbeda dalam kemauan untuk berbuat atau motivasi. Motivasi seseorang tergantung kepada kekuatan motif mereka. Motif kadang-kadang didefinisikan sebagai kebutuhan, keinginan, dorongan atau gerak hati dalam individu (Moekijat, 2002) . Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi manusia untuk berperilaku adalah sebagai berikut (Walgito, 2003). 1. Jenis kelamin Tingkah laku antara pria dan wanita mempunyai perbedaan, hal ini terjadi karena pengaruh hormonal, struktur fisik maupun norma pembagian tugas. Oleh karena itu pria cenderung lebih termotivasi melakukan sesuatu karena fisik yang kuat. Jenis kelamin merupakan aspek identitas yang sangat berarti, wanita dan pria mempunyai pengalaman yag berbeda tentang pembentukan identitas jenis kelamin. Identitas jenis kelamin terbentuk sekitar usia tiga tahun. Anak laki-laki dan perempuan mulai mengenal tingkah laku dan ciriciri kepribadian yaang sesuai bagi masing-masing jenis kelaminnya
25
2. Wanita dan pria mempunyai perbedaan secara psikologis dimana wanita lebih emosional daripada pria karena wanita lebih mudah tersinggung, mudah terpengaruh, sangat peka, menonjolkan perasaan, dan mudah meluapkan perasaan. Sementara pria tidak emosional, sangat objektif, tidak mudah terpengaruh, mudah memisahkan antara pikiran dan perasaan sehingga terkadang kurang peka dan mampu memendam perasaannya. 3. Lingkungan Lingkungan adalah sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun lingkungan sosial. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap tingkah laku manusia. 4. Pendidikan Pendidikan mencakup seluruh proses kehidupan dan segala bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal maupun informal. Hasil dari proses belajar adalah seperangkat perubahan tingkah laku. Seseorang yang berpendidikan tinggi tingkah lakunya akan berbeda. 5. Pengetahuan Besar
kecilnya
pengetahuan
yang
dimiliki
seseorang
akan
berpengaruh pada tingkah lakunya. 5. Kebudayaan Kebudayaan antar daerah berbeda-beda dan ini sangat berpengaruh pada tingkah lakunya. 6. Sosial ekonomi
26
Lingkungan sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang. Keadaaan ekonomi keluarga yang relatif mencukupi akan mampu manyediakan fasilitas dan kebutuhan untuk keluarganya. Sehingga pasien yang mempunyai tingkat sosial ekonomi tinggi akan mempunyai motivasi yang berbeda dengan pasien yang tingkat sosial ekonominya rendah. Pernyataan lain tentang faktor yang mempengaruhi motivasi adalah kepribadian, sikap, pengalaman, cita-cita atau harapan, dorongan orang tua, saudara dan lingkungan sekitar. Sebenaarnya kedua pernyataan diatas saling mendukung hanya saja pernyataan yang pertama tadi sudah diklasifikasikan untuk pengaruh internal dan eksternal. Dari kedua pernyataan tersebut ada komponen yang belum dijelaskan yaitu sikap, harapan, dan dorongan keluarga sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003): 1. Sikap Sikap merupakan penilaian terhadap stimulus atau obyek, sehingga seseorang tersebut akan menilai atau bersikap enggan terhadap stimulus tersebut. Sikap sering diperoleh dari pengalaman diri sendiri maupun orang lain. 2. Harapan Harapan merupakan kemungkinan yang dilihat untuk memenuhi kebutuhan tertentu dari seorang individu yang di dasarkan atas pengaman yang telah lampau, baik pengalaman dari sendiri maupun dari orang lain.
27
3. Dukungan keluarga Dukungan keluarga itu merupakan dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan.
2.3 Konsep dan teori Perilaku 2.3.1 Pengertian Perilaku Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas pada manusia itu sendiri. Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas organisme tersebut, baik yang dapat diamati secara langsung atau tidak langsung (Notoatmodjo, 2007) Perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori skiner disebut teori “S - O - R”atau Stimulus Organisme Respon. Skiner membedakan adanya dua respons, yaitu (Notoatmodjo, 2007) : 1. Respondent respons atau reflexsive Yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan – rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut electing stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Misalnya : makanan yang
28
lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons ini juga mencakup perilaku emosinal misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya ddengan mengadakan pesta, dan sebagainya. 2. Operant respons atau instrumental respons Yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respon. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atsannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya. 2.3.2
Bentuk Perilaku Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua : 1.
Bentuk pasif Adalah respons internal, yaitu respon yang terjadi didalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain (Covert behaviour), respons atau reaksi terhadap stimulus masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap. Misalnya seorang ibu tahu bahwa imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut tidak membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi.
29
2. Bentuk aktif Yaitu respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain (Overt behaviour). Misalnya pada contoh di atas, si ibu sudah membawa anaknya ke Puskesmas atau fasilitas kesehatan lain untuk imunisasi.. 2.3.3
Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok (Notoatmodjo, 2007) : 1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintanance) Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek, yaitu : 1) Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behavior), misalnya makan makanan yang bergizi, olah raga, dan sebagainya. 2) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior) adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya : tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasai, dan sebagainya. Termasuk juga perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain.
30
3) Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seekingbehavior) yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan, misalnya usaha-usaha mengobati sendiri penyakitnya, atau mencari pengobatan ke fasilitas-fasikitas kesehatan modern (puskesmas, mantri, dokter praktek, dan sebagainya), maupun ke fasilitas kesehatan tradisional (dukun, sinshe, dan sebagainya) 4) Perilaku
sehubungan
dengan
pemulihan
kesehatan
(health
rehabilitation behavior) yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit. Misalnya melakukan diet, mematuhi anjuran-anjuran dokter dalam rangka pemulihan kesehatan. 2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan Adalah respons seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respons terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatannya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas, dan obat-obatan. 3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior) Yakni respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung didalamnya (zat gizi), pengelolaan makanan, dan sebagainya sehubungan kebutuhan tubuh kita.
31
4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (enviromental health behavior) Adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri. Perilaku ini antara lain mencakup : a. Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk didalamnya komponen, manfaat, dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan. b. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut
segi-segi
higiene,
pemeliharaan,
teknik,
dan
penggunaannya. c. Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair, termasuk didalamnya sistem pembuangan sampah dan air limbah yang sehat, serta dampak pembuangan limbah yang tidak baik. d. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat, yang meliputi ventilasi, pencahayaan, lantai, dan sebagainya. e. Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang-sarang nyamuk (vektor), dan sebagainya. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru terjadi proses berikut secara berurutan; awareness (kesadaran), interest (tertarik terhadap stimulus), evaluation (menimbang-nimbang), (perilaku baru).
trial (mencoba) dan adoption
32
2.3.4
Teori Motivasi 1. Teori Lawrence Green Lawrence Green (Notoatmodjo, 2012) menganalisis bahwa perilaku kesehatan di tentukan oleh adanya 3 faktor utama, yaitu : a. Faktor predisposisi (predisposing faktors) Faktor predisposisi adalah faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadiya perilaku seseorang. Faktor predisposisi antara lain adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai, dan tradisi. b. Faktor pemungkin (enabling factors) Faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan atau memberi fasilitas terhadap terjadinya perilaku atau tindakan. Faktor pemungkin diantaranya adalah sarana dan prasarana serta fasilitas yang memungkinkan terjadinya perilaku kesehatan. c. Faktor penguat (reinforcing faktors) Faktor penguat adalah faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya suatu perilaku atau tindakan. Seseorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk berperilaku sehat terkadang tidak melakuakan perilaku sehat tanpa adanya dorongan dari orang yang menjadi panutan, seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama. 2. Teori Snehandu B kar Snehandu B.Kar (Notoatmodjo, 2012) menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari :
33
a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behaviour intention) b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitar (sosial support). Perilaku seseorang di dalam masyarakat cenderung memerlukan legitimasi dari masyarakat di sekitarnya. Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak mendapat dukungan dari masyarakat, maka ia akan merasa kurang nyaman hidup di dalam masyarakat tersebut. c. Ketersediaan informasi atau fasilitas kesehatan yang berhubungan dengan perilaku atau tindakan yang diambil (accessebility of information) d. Otonomi pribadi kemampuan pribadi dalam bertindak/memutuskan (personal autonomy) e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak/ tidak bertindak (action situation). Kondisi dari situasi yang tepat sangat dibutuhkan untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku. Kondisi dan situasi memiliki pengertian luas, baik fasilitas maupun kemampuan yang ada. 3. Teori WHO WHO (Notoatmodjo, 2012) mengidentifikasi determinan perilaku bersal dari adanya 4 faktor sebagai berikut : a. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling) Hasil pemikiran dan perasaan seseorang atau pertimbangan seseorang terhadap objek atau stimulus untuk bertindak atau melakukan perilaku kesehatan. b. Referensi pribadi (personal references)
34
Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau pribadi yang dapat dipercaya. Referensi pribadi pada masyarakat salah satunya adalah tokoh masayarakat setempat. Hal tersebut berkaitan dengan sikap paternalistic yang masih kuat pada masyarakat Indonesia c.
Sumber daya (resources) Sumber daya yang tersedia merupakan pendukung untuk terjadinya perilaku seseorang. Sumber daya mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Keseluruhan sumber daya tersebut berpengaruh
terhadap
perilaku
seseorang
atau
kelompok
masyarakat. d. Sosio budaya (culture) Sosio budaya setempat pada umumnya dapat berpengaruh pada terbentuknya perilaku atau tindakan seseorang. Perilaku setiap etnis atau suku di Indonesia berbeda, hal tersebut terjadi karena setiap etnis atau suku memiliki sosio budaya yang berbeda satu sama lain. 2.3.5
Determinan Perilaku Perilaku merupakan bentuk respon dari stimulus (rangsangan dari luar). Hal ini berarti meskipun bentuk stimulusnya sama namun bentuk respon akan berbeda dari setiap orang. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus disebut determinan perilaku. Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena perilaku manusia merupakan resultan dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, yaitu pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi
35
dan sikap. Sedangkan gejala kejiwaan tersebut juga ditentukan atau dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan sosial budaya masyarakat (Notoatmodjo, 2007) 2.3.6
Strategi perubahan perilaku Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan perilaku menurut WHO dikelompokan menjadi tiga(Walgito, 2003) : 1.
Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan Perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau masyarakat sehingga ia mau berperilaku seperti yang diharapkan. Cara ini dapat ditempuh misalnya degan adanya peraturan/undang-undang yg harus dipatuhi masyarakat. Cara ini menghasilkan perilaku yang cepat, tetapi belum tentu berlangsung lama, karena belum/tidak didasari kesadaran sendiri.
2. Pemberian informasi Pemberian informasi tentang cara-cara mencapai hidup
sehat,
cara
pemeliharaan
kesehatan,
dan
lain-lain
akan
meningkatkan pengetahuan masyarakat. Perubahan perilaku degan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai bersifat langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri (bukan karena paksaan). 3. Diskusi partisipasi Sebagai peningkatan cara yang kedua di atas. Masyarakat tidak hanya pasif, tapi harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-diskusi
tentang
informasi
yang
diterimanya.
membutuhkan waktu lebih lama dari cara kedua.
Cara
ini
36
2.4 Konsep Hubungan Motivasi dan Perilaku Motivasi merupakan suatu tenaga yang terdapat dalam diri manusia yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasi tingkah laku (Perilaku). Perilaku ni timbul karena adanya dorongan faktor internal dan faktor eksternal. Perilaku dipandang sebagai reaksi atau respons terhadap suatu stimulus. Woodhworth, mengungkapkan bahwa perilaku terjadi karena adanya motivasi atau dorongan (drive) yang mengarahkan individu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai. Karena tanpa dorongan tadi tidak akan ada suatu kekuatan yang mengarahkan individu pada suatu mekanisme timbulnya perilaku. Dorongan diaktifkan oleh adanya kebutuhan (need), dalam arti kebutuhan membangkitkan dorongan, dan dorongan ini pada akhirnya mengaktifkan atau memunculkan mekanisme perilaku. Lebih lanjut dijelaskan bahwa motivasi sebagai penyebab dari timbulnya perilaku menurut Woodworth mempunyai 3 (tiga) karakteristik, yaitu: 1.
Intensitas, menyangkut lemah dan kuatnya dorongan sehingga menyebabkan individu berperilaku tertentu
2.
Pemberi arah, mengarahkan individu dalam menghindari atau melakukan suatu perilaku tertentu
3. Persistensi atau kecenderungan untuk mengulang perilaku secara terus menerus. Dengan kata lain, jika ketiga hal tersebut lemah, maka motivasi tak akan mampu menimbulkan perilaku. Pandangan lain dikemukakan oleh Hull yang menegaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh motivasi atau dorongan oleh kepentingan mengadakan pemenuhan atau pemuasan terhadap
37
kebutuhan yang ada pada diri individu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perilaku muncul tidak semata-mata karena dorongan yang bermula dari kebutuhan individu saja, tetapi juga karena adanya faktor belajar. Faktor dorongan ini dikonsepsikan sebagai kumpulan energi yang dapat mengaktifkan tingkah laku atau sebagai motivasional faktor, dimana timbulnya perilaku menurut Hull adalah fungsi dari tiga hal yaitu : kekuatan dari dorongan yang ada pada individu, kebiasaan yang didapat dari hasil belajar, serta interaksi antara keduanya. Berdasarkan uraian di atas, baik konsep yang dikemukakan Woodhworth maupun Hull, keduanya menjelaskan bahwa motivasi berkaitan erat dengan perilaku
2.5 Konsep Theory Of Reasoned Action (TRA) 2.5.1
Pengertian Theory of Reasoned Action Theory of Reasoned Action (TRA) atau Behavioural Intention Theory dari Fishbein dan Ajzen masih relatif baru dan kurang banyak digunakan dan dikenal. Model ini juga mengunakan pendekatan kognitif dan didasari ide bahwa “humans are resonable animals who, in deciding what action to take, systematically process and utilize the information available to the” (Ajzen dan Fishbein, 1980; Fishbein dan Middlestadt. 1989). TRA merupakan teori perilaku manusia secara umum. Teori ini dipergunakan di dalam berbgai macam perilaku manusia, khususnya yang berkaitan dengan permaalahan sosial-psikologis, kemudian makin bertambah
38
digunakan untuk menentukan faktor faktor yang berkaitan dengan perilaku kesehatan (Smert, Bart, 1994). Theory of Reasoned Action (TRA) pertama kali diperkenalkan oleh Martin Fishbein dan Ajzen dalam Jogiyanto (2007). Teori ini menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak (intention) dan perilaku (behavior). Kehendak merupakan prediktor terbaik perilaku, artinya jika ingin mengetahui apa yang akan dilakukan seseorang, cara terbaik adalah mengetahui kehendak orang tersebut. Namun, seseorang dapat membuat pertimbangan berdasarkan alasanalasan yang sama sekali berbeda (tidak selalu berdasarkan kehendak). Konsep penting dalam teori ini adalah fokus perhatian (salience), yaitu mempertimbangkan
sesuatu
yang dianggap penting. Kehendak
(intetion) ditentukan oleh sikap dan norma subyektif (Jogiyanto, 2007). Ajzen (1991) yang mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya terbatas hanya pada tiga hal; Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh norma-norma objektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain inginkan agar kita perbuat. Ketiga, sikap terhadap suatu perilaku bersama norma- norma subjektif membentuk suatu intensi atau niat berperilaku tertentu. Teori perilaku beralasan diperluas dan dimodifikasi oleh (Ajzen dalam Jogiyanto 2007) dan dinamai Teori Perilaku Terencana (theory of
39
planned behavior). Inti teori ini mencakup 3 hal yaitu; yaitu keyakinan tentang kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioral beliefs), keyakinan tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs), serta keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor tersebut (control beliefs). Jogiyanto (2007) berpendapat bahwa Intensi atau niat merupakan fungsi dari dua determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal) dan persepsi individu terhadap
tekanan
sosial
untuk
melakukan
atau untuk
tidak
melakukan perilaku yang disebut dengan norma subyektif. Secara singkat, praktik atau perilaku menurut Theory of Reasoned Action (TRA) dipengaruhi oleh niat, sedangkan niat dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif.
Sikap sendiri dipengaruhi oleh keyakinan
akan hasil dari tindakan yang telah lalu. Norma subyektif dipengaruhi oleh keyakinan akan pendapat orang lain serta motivasi untuk menaati pendapat tersebut. Secara lebih sederhana, teori ini mengatakan bahwa
seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia
memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. 2.5.2
Sejarah Theory of Reasoned Action Teori ini awalnya dinamai Theory of Reasoned Action (TRA), dikembangkan Tahun 1967, selanjutnya teori tersebut terus direvisi dan
40
diperluas oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein. Mulai tahun 1980 teori tersebut digunakan untuk memepelajari perilaku manusia dan untuk mengembangkan intervensi intervensi yang lebih bermakna. Pada tahun 1988 hal ini ditambahkan pada model reasoned action yang sudah ada tersebut dan kemudian dinamai Theory of Planned Behaviour (TPB) untuk mengatasi kekurangan yang ditemukan oleh Ajzen dan Fishbein melalui penelitianpenelitian mereka dengan menggunakan TRA. Icek Ajzen adalah seorang profesor psikologi di University of Massachussetts, Ia meneram gelar Ph.D dibidang psikologi sosial dari University of Illinois dan selama beberapa tahun menjadi Visiting Professor at Tel-Aviv University di Israel. Ia banyak menulis artikel, dan bersama Martin Fishbein menulis berbagai paper, jurnal dan bukubuku mengenai Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behaviour. Ajzen dan Fishbein menulis buku Understanding Attitude and Predicting Social Behaviour yang telah banyak dipakai di akalangan akademik dan di wilayah psikologi sosial, yang diterbitkan pada tahun 1980. Martin Fishbein adalah seorang profesor pada Dapartment of psychology and the institute of Communications Research pada University of Illinois di Urbana. Ia seorang konsultan pada the International Atomic Energy Agency, The Federal Trade Commission and Warner Communications, Inc. Bersama dengan Ajzen, ia telah menulis buku Belief, Attitude, Intention and Behavior An Introduction to Theory and Research pada tahun 1975. Ia juga telah banyak menulis buku-buku teks, dan artikel-artikel Ia mulai berfikir mengenai peran sikap dalam mempengaruhi perilaku di awal 1960-an dan di awal 1970 an berkolaborasi
41
denga Ajzen mengebangkan Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behavior
2.5.3 Tujuan dari Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) Ada beberapa tujuan dan manfaat dari teori ini, antara lain adalah untuk meramakan dan memahami pengaruh-pengaruh motivasional terhadap perilaku yang bukan dibawah kendali atau kemauan individu sendiri. Untuk mengidentifikasi bagaimana dan kemana mengarahkan strategi-strategi untuk perubahan perilaku dan juga untuk menjelaskan pada tiap aspek penting beberapa perilaku manusia seperti mengapa seseorang membeli rumah baru, memilih seorang calon dalam pemilu, mengapa tidak masuk kerja atau mengapa melanggar peraturan dan lain sebagainya. Teori ini menyediakan suatu kerangka untuk mempelajari sikap terhadap perilaku. Berdasarkan teori tersebut, penentu terpenting perilaku seseorang adalah intensi untuk berprilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku adalah kombinasi dari sikap untuk menampilkan suatu perilaku tersebut dan norma subjektif. Sikap individu terhadap perilaku meliputi kepercayaan mengenai suatu perilaku, evaluasi terhadap hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaan-kepercayaan normatif dan motivasi untuk patuh. Jika seseorang mempersepsikan bahwa hasil dari menampilkan suatu perilaku tersebut positif ia akan memiliki sikap positif terhadap perilaku tersebut. Sebaliknya juga dapat dinyatakan bahwa jika suatu perilaku difikirkan negatif. Jika orang lain yang relevan memandang bahwa menampilkan perilaku tersebut sebagai sesuatu yang positif dan orang tersebut termotivasi untuk
42
memenuhi harapan orang-orang lain yang relevan, maka itulah yang disebut dengan norma subjektif yang positif. Jika orang-orang lain melihat perilaku yang akan ditampilkan sebagai sesuatu yang negatif dan seseorang tersebut ingin memenuhi harapan orang-orang lain tersebut, itu yang disebut dengan norma subjektif negatif. Sikap dan norma subjektif diukur dengan skala (misalnya skala likert) menggunakan frase suka/tidak suka, baik/buruk, dan setuju/tidak setuju (Mahyarni, 2013) 2.5.4 Komponen Theory of Reasoned Action
Teori ini menghubungkan keyakinan (belief), sikap (attittude), kehendak atau intensi (intention), dan perilaku (behaviour). Keyakinan terdiri dari komponen behavioral belief dan normative belief. Sikap terdiri dari attitude towards behaviour dan subjective norms. 1) Behavioral Belief Behaviour belief mengacu pada keyakinan seseorang terhadap perilaku tertentu. Seseorang akan memepertimbangkan untung atau rugi dari perilaku tersebut (outcome of the behavior) dan pentingnya konsekuensi-
43
konsekuensi yang akan terjadi bagi individu (evaluation regarding of the outcome). Keyakinan memengaruhi sikap terhadap perilaku (Ajzen, 2005). 2) Normative Belief Normative belief mencerminkan dampak keyakinan normative, yaitu norma-norma subjektif dan norma soaial yang mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap penting oleh individu (referent persons) dan motivasi seseorang untuk mengikuti perilaku tersebut (Ajzen, 2005). 3) Sikap (Attitude Towards The Behaviour) Menurut Ajzen (2005) sikap merupakan besarnya perasaan positif atau negatif, positif terhadap objek (favorable) atau negatif (unfavorable) terhadap suatu objek, orang, institusi, atau kejadian. Konsep sentral yang menentukan beliefs. Beliefs mempresentasikan pengetahuan yang dimiliki seseorang terhadap suatu objek, dimana beliefs menghubungkan suatu objek dengan beberapa atribut. Kekuatan hubungan ini diukur dengan prosedurr yang menempatkan seseorang dengan dimensi probablitas subjektif yang melibatkan obajek dengan atribut terkait. Sikap seseorang terhadap suatu objek sikap dapat diestimasikan dengan menjumlahkan hasil kali antara evaluasi terhadap atribut yang diasosiasikan pada objek memiliki atau tidak memilki atribut tersebut (behavioral belief). Pengukuran sikap tidak bisa di dapatkan melalui pengamatan lansung, melainkan harus melalui pengukuran respon. Pengukuran sikap ini didapatkan dari interaksi antara beliefs content-otcome evaluation dan beliefs strength (Nursalam 2013). Beliefs seseorang mengenai suatu objek
44
atau tindakan dapat dimunculkan dalam format respon bebas dengan cara meminta subjek untuk menuliskan karakteristik, kualitas dan atribut dari objek atau konsekuensi tingkah laku tertentu disebut dengan elisitasi. Elisitasi digunakan untuk menentukan beliefs utama ( salient beliefs) yang akan digunakan dalam penyusunan alat ukur instrumen (Conis 2015). Sikap adalah fungsi dari kepercayaan tentang konsekuensi perilaku atau keyakinan normatif, persepsi terhadap konsekuensi suatu perilaku, dan penilaian terhadap perilaku tersebut. Sikap juga berarti perasaan umum yang menyatakan keberkenaan atau ketidakberkenaan seseorang terhadap suatu objek yang mendorong tanggapannya. Faktor sikap merupakan poin penentu perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh perubahan sikap seseorang dalam menghadapi sesuatu. Peruabahan sikap tersebut dapat berbentuk penerimaan ataupun penolakkan. 4) Norma Subjektive Norma subjektif merupakan kepercayaan seseorang mengenai persetujuan orang lain terhadap suatu tindakan atau persepsi individu tentang apakah orang lain akan mendukung atau tidak terwujudnya tindakan tersebut (Uddin et al 2012). Norma Subjektif adalah pihak-pihak yang dianggap berperan dalam perilaku seseorang dan memiliki harapan pada orang tersebut, dan sejauh mana keinginan untuk memenuhi harapan tersebut (Nursalam 2013) Menurut Ajzen (2005) norma subjektif adalah produk dari persepsi individu tentang beliefs yang dimiliki orang lain. Orang lain di sebut refrent, dan dapat merupakan orang tua, shabat, atau orang yang dianggap
45
ahli atau penting. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi norma subjektif: normative beliefs, yaitu keyakinan individu bahwa referent berpikir ia harus atau harus tidak melakukan suatu perilaku dan motivation to comply yaitu motivasi individu untuk memenuhi norma dari referent tersebut. Subjektif norms adalah norma subjektif atau norma yang dianut 2.5.5
Keuntungan Theory of Reasoned Action (TRA) Teori ini memberikan pegangan untuk menganalisis komponen perilaku dalam item yang operasional. Fokus sasaran adalah prediksi dan pengertian perilaku yang dapat diamati secara langsung dan berada dalam kendali seseorang, artinya perilaku sasaran harus diseleksi dan diidentifikasi secara jelas. Tuntutan ini memerlukan pertimbangan mengenai perbedaan tindakan (action), sasaran (target), konteks, dan perbedaan waktu serta komponen model sendiri termasuk intensi, sikap, norma subjektif, dan keyakinan. Konsep penting dalam TRA adalah fokus perhatian (salience). Hal ini berarti, sebelum mengembangkan intervensi yang efektif, pertama-tama harus menentukan hasil dan kelompok referensi yang penting bagi perilaku populasi. Dengan demikian, harus diketahui nilai dan norma kelompok sosial yang diselidiki (yang penting bukan budaya itu sendiri, tetapi cara budaya mempengaruhi sikap, kehendak, dan perilaku). Contohnya, terdapat nilai dan norma di masyarakat bahwa diare bukan suatu penyakit, tetapi sebagai hal yang alami dari tumbuh kembang anak. Hal tersebut berarti masyarakat memandang diare bukan fokus perhatian yang penting. Contoh lain, fokus perhatian perilaku seksual dan pencegahan AIDS tidak akan sama antara kelompok homoseksual dan kelompok lain tentang penggunaan kondom.
46
Kelompok homoseksual percaya kondom dapat mencegah mereka terkena AIDS, tetapi bagi kelompok lain, pengguna kondom justru akan menyebarluaskan perilaku seksual. 2.5.6
Kelemahan Theory of Reasoned Action (TRA) Kelemahan TRA adalah bahwa kehendak dan perilaku hanya berkorelasi sedang, kehendak tidak selau menuju pada perilaku itu sendiri, terdapat hambatan-hambatan yang mencampuri atau mempengaruhi kehendak dan perilaku (Van Oost, 1991 dalam Smet, 1994). Selain itu, TRA tidak mempertimbangkan
pengalaman
sebelumnya
dengan
perilaku
dan
mengabaikan akibat-akibat jelas dari variabel eksternal (variabel demografi, gender, usia, dan keyakinan kesehatan) terhadap pemenuhan kehendak perilaku. Meskipun demikian, kelebihan TRA dibandingkan HBM adalah bahwa pengaruh TRA berhubungan dengan norma subjektif. Menurut TRA, seseorang dapat membuat pertimbangan berdasarkan alasan-alasan yang sama sekali berbeda. Hal ini berarti keputusan seseorang untuk melakukan suatu tindakan tidak dibatasi pertimbangan-pertimbangan kesehatan.
1
1