BAB II PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR 1.
Anatomi dan Fisiologi Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan bertanggung jawab terhadap pergerakan. Komponen utama system musculoskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot, dan struktur pendukung lainnya ( tendon, kartilago, ligament, fasia, dan bursae ). a. Tulang Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada bagian intra-seluler. Tulang berasal dari embryonic hyaline cartilage yang mana melalui proses “osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut Osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat menimbunya garam kalsium. Fungsi tulang adalah sebagai berikut: 1. Mendukung jaringan tubuh dan menbuntuk tubuh. 2. Melindungi organ tubuh (jantung, otak, paru-paru) dan jaringan lunak. 3. Memberikan
pergerakan
(otot
yang
berhubungan
dengan
kontraksi
dan
pergerakan ) 4. Membuat sel-sel darah merah di dalam sumsum tulang (hema topoiesis). 5. Menyimpan garam-garam mineral. Misalnya kalsium, fosfor. Tulang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya : 1.
Tulang panjang (femur, humerus ) terdiri dari satu batang dan dua epifisis. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat.epifisis dibentuk oleh spongi bone (Cacellous atau trabecular )
2.
Tulang pendek (carpalas) bentuknya tidak teratur dan cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat.
3.
Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri dari dua lapisan tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang cancellous.
4.
Tulang yang tidak beraturan (vertebra) sama seperti tulang pendek.
5.
Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persendian dan didukung oleh tendon danjaringan fasial,missal patella (kap lutut)
b. Otot Otot dibagi dalam tiga kelompok, dengan fungsi utama untuk kontraksi dan untuk menghasilkan pergerakan dari bagian tubuh atau seluruh tubuh. Kelompok otot terdiri dari: 1. Otot rangka (otot lurik) didapatkan pada system skeletal dan berfungsi untuk memberikan
pengontrolan
pergerakan,
mempertahankan
sikap
dan
menghasilkan panas 2. Otot Viseral (otot polos) didapatkan pada saluran pencernaan, saluran perkemihan dan pembuluh darah. Dipengaruhi oleh sisten saraf otonom dan kontraksinya tidak dibawah control keinginan. 3. Otot jantung didapatkan hanya pada jantung dan kontraksinya tidak dibawah control keinginan. Fungsi sistem muskuler/otot: 1. Pergerakan. Otot menghasilkan gerakan pada tulang tempat otot tersebut melekat dan bergerak dalam bagian organ internal tubuh. 2. Penopang tubuh dan mempertahankan postur. Otot menopang rangka dan mempertahankan tubuh saat berada dalam posisi berdiri atau saat duduk terhadap gaya gravitasi. 3. Produksi panas. Kontraksi otot-otot secara metabolis menghasilkan panas untuk mepertahankan suhu tubuh normal.
Ciri-ciri sistem muskuler/otot: 1. Kontrakstilitas. Serabut otot berkontraksi dan menegang, yang dapat atau tidak melibatkan pemendekan otot. 2. Eksitabilitas. Serabut otot akan merespons dengan kuat jika distimulasi oleh impuls saraf. 3. Ekstensibilitas. Serabut otot memiliki kemampuan untuk menegang melebihi panjang otot saat rileks.
4. Serabut otot dapat kembali ke ukuran semula setelah berkontraksi atau meregang. c. Tendon Tendon adalah tali atau urat daging yang kuat yang bersifat fleksibel, yang terbuat dari fibrous protein (kolagen). Tendon berfungsi melekatkan tulang dengan otot atau otot dengan otot. d. Kartilago Kartilago terdiri dari serat-serat yang dilakukan pada gelatin yang kuat. Kartilago sangat kuat tapi fleksibel dan tidak bervascular. Nutrisi mencapai kesel-sel kartilago dengan proses difusi melalui gelatin dari kapiler-kapiler yang berada di perichondrium (fibros yang menutupi kartilago) atau sejumlah serat-serat kolagen didapatkan pada kartilago. e. Ligamen Ligamen adalah pembalut/selubung yang sangat kuat, yang merupakan jaringan
elastis
penghubung yang terdiri atas kolagen. Ligamen membungkus tulang dengan tulang yang diikat oleh sendi. f. Bursae Bursae adalah suatu kantong kecil dari jaringan penyambung dari suatu tempat, dimana digunakan diatas bagian yang bergerak, misalnya terjadi pada kulit dan tulang, antara tendon dan tulang antara otot. Bursae bertindak sebagai penampang antara bagian yang bergerak seperti pada olecranon bursae, terletak antara presesus dan kulit. g. Fasia Fasia adalah suatu permukaan jaringan penyambung longgar yang didapatkan langsung dibawah kulit sebagai fasia supervisial atau sebagai pembungkus tebal, jaringan penyambung yang membungkus fibrous yang membungkus otot, saraf dan pembuluh darah. h. Sendi Persendian adalah hubungan antar dua tulang sedemikian rupa, sehingga dimaksudkan untuk memudahkan terjadinya gerakan.
Berdasarkan klasifikasinya terdapat 3 kelas utama persendian yaitu: 1. Synarthrosis (suture) Hubungan antara dua tulang yang tidak dapat digerakkan, strukturnya terdiriatas fibrosa. Contoh: Hubungan antara tulang di tengkorak.
2. Amphiarthrosis Hubungan antara dua tulang yang sedikit dapat digerakkan, strukturnya adalahkartilago. Contoh: Tulang belakang. 3. Diarthrosis Hubungan antara dua tulang yang memungkinkan pergerakan, yang terdiri daristruktur sinovial. Contoh: sendi peluru (tangan dengan bahu), sendi engsel(siku), sendi putar (kepala dan leher), dan sendi pelana (jempol/ibu jari).
2.
Fisika dan Biokimia Rheumatoid arthritis merupakan penyakit yang dapat terjadi karena penyebab internal
berupa genetic maupun eksternal berupa antigen-antigen khusus (toksin bakteri dan rokok). Dari segi genetik, seseorang akan mengalami peningkatan prosentase penderita RA apabila ada DNA nya terdapat gen HLA-DRB 1 yang diekspresikan. Pengekspresian gen ini akan menyebabkan perubahan epitope pada sel limfosti yang nantinya akan berikatan dengan MHC dan menghasilakn antibody IgG yang berbeda pada orang normal. Antibody ini disebut dengan ACPA (Anti Citrunilated Protein Antigen). ACPA akan berikatan dengan proteinprotein tersitrunilasi dan menyebabkan pembentukan kompleks imun pada sendi yang disebut Rheumatoid Factor ( RF) (McInnes, 2007) Rheumatoid arthritis merupakan
perubahan
konformasi
pada
sendi
akibat
adanya inflamasi kronis pada persendian tersebut. Inflamasi ini disebabkan karena adanya kelainan pada system imun. RA kerap dihubungkan dengan adanya hipersensitivitas tipe III dan adanya kelainan autoimun yang memicu teraktivasinya system imun secara berlebihan. Hipersensitivitas tipe III ini diawali dengan adanya antigen yang khusus yang dapat memicu pembentukan kompleks dari imunoglubulin tertentu. Beberapa antigen yang dapat memicu kompleks antibody adalah antigen dari dalam diri (autoimun) seperti vimetn, fibrin, dll, kemudian dikatakan adanya infeksi dari bakteri dan virus, serta adanya allergen seperti spoa dari aspergilus yang menyebabkan terjadinya kompleks antibody ada paru-paru. Kompleks antibody kemudian akan terdeposit pada jaringan terdekat (Marc, 2012) Pada penderita RA, dalam cairan sinovialnya terdapat banyak sel myeloid dan sel dendrite yang melimpah. Sel-sel ini akan teraktifasi dengan adanya antigen berupa protein tersitrunilasi sel T helper terutama Th 1 dan Th17 yang teraktivasi akan menghasilkan berbagai mediator-mediator inflamasi seperti IL-17, IL-17F, IL-22, dan TNF alfa sedangkan sel dendrite dan myeloid akan menghasilkan IL-1beta, IL-6, IL-21, dan TGF-beta. Protein-protein
inflamasi ini akan meyebabkan deferensial IL-17 meningkat dan menurunkan deferensiasi sel T regulatory (sel T yang dapat menekan system imun). Pada penderita RA, ditemukan dalam airan sinovialnya sel T regulatory yang mengalami penurunan fungsi, sehingga tidak ada proses supresi dari mediator-mediator inflamasi. Hal ini mengakibatkan adanya inflamasi pada daerah persendian. Sel B (CD20) yang membantu sel T pada membrane synovial juga akan membentuk sel B plasma yang akan mensekresikan IgG. Pada orang dengan allele HSLDRB 1, IgG yang dihasilkan merupakan IgG dengan FC anti protein tersitrunilasi (ACPA) sehingga akan membentuk kompleks imun dengan protein tersitrunilasi. Akibatnya, protein komplemen akan teraktivasi menggunakan jalur klasik sehingga terjadi kerusakan pada persendian (Mc Innes, 2007). B.
MINDMAP 1.
Etiologi
Penyebab utama kelainan ini tidak diketahui. Ada beberapa teori yang dikemukakan mengenai penyebab Rheumatoid Atritis, yaitu: 1. Infeksi Streptokokus hemolitikus dan Streptokokus non-hemolitikus 2. Endokrin 3. Autoimun 4. Metabolic 5. Faktor genetik serta faktor pemicu lingkungan Pada saat ini, Rheumatoid Atritis diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini beraksi terhadap kolagen tipe II, faktor injeksi mungkin disebabkan oleh virus dan organisme mikroplasma atau group difteroid yang menghasilkan antigen kolagen tipe II dari tulang rawan sendi penderita. 1. Kelainan yang dapat terjadi pada suatu Rheumatoid Atritis yaitu: a. Stadium I (stadium sinovitis) b. Stadium II (stadium destruksi) c. Stadium III (stadium deformitas) 2. Kelaianan pada jaringan ekstra-artikuler Perubahan patologis yang dapat terjadi pada jaringan ekstra-artikuler adalah: a. Otot : terjadi miopati
b. Nodul subkutan c. Pembuluh darah perifer: terjadi proliferasi tunika intima, lesi pada pembuluh darah arteriol dan venosa d. Kelenjar limfe: terjadi pembesaran limfe yang berasal dari aloiran limfe sendi, hiperlasi folikuler, peningkatan aktivitas sistem retikuloendotelial dan proliferasi yang mengakibatkan splenomegaly e. Saraf : terjadi nekrosis fokal, reaksi epiteloid serta infiltrasi leukosit f. Visera
2.
Patofisiologi Perubahan histologi RA bukan khusus pada penyakit, namun bergantung pada organ yang terlibat. Lesi sendi melibatkan sinovium. Antibodi RF muncul melawan IgG. Ironisnya, IgG merupakan antibodi ilmiah manusia. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana tubuh memproduksi antibody (RF) terhadap IgG dan mengakibatkan IgG menjadi antigen atau protein asing yang harus dihancurkan. Produk makrofag dan limfosit diduga berperan dalam pathogenesis RA sebagai bagian sistem imun dalam mendeteksi antigen. Lebih lanjut, pembentukan komleks antigen- antibodi tersebut mengaktifkan sistem komplomen dan melepaskan enzim lisosom dari leukosit. Kedua reaksi ini menyebabkan inflamasi. Penelitian awal menunjukkan interleukin 8, yang dikenal sebagai neutrophil activating peptide I (NAP-1) memiliki peran penting dalam roses imflamasi RA dan autoantibodi dalam sirkulasi dapat digunakan sebagai penanda yang berguna untuk deteksi tingkat keparahan RA dan autoantibodi dalam sirkulasi dapat digunakan sebagai penanda yang berguna untuk deteksi keparahan tingkat RA. Dengan pembentukan kompleks imun. Sinovitis muncul seiring dengan mebran sinovial menjadi bengkak, iritasi, dan imflamasi. Seiring penumpukan komleks imun pada membran sinovial, atau permukaan kartilago artikuler, komplek tersebut difagositosit oleh leukosit polimorfonuklear (PMN), monosit, dan limfosit. Sayangnya, fagositosis menghentikan kompleks imun dan melepaskan enzim (radikal oksigen, asam arakidonat) yang menyebabkan hipersemia, edema, bengkak, dan penebalan pelapis sinovial. Hipertrofi synovial secara harfiah menyebar ke jaringan disekitarnya termasuk kartilago, ligamentum, kapsul sendi dan tendon. Selanjutnya, terbentuk granulasi jaringan yang menutupi seluruh permukaan kartilago artikuler, mengakibatkan pembentukan pannus, yang merupakan jaringan parut dengan banyak
pembuluh darah yang disusun oleh limfosit, makrofag, histosit, fibroblast, dan sel mast. Tidak diragukan lagi, bahwa elemen paling merusak pada RA dan pannus. Pannus dapat mengikis dan merusak kartilago artikuler, akhirnya menghasilkan erosi tulang subkondral, kista tulang, fisura dan pertumbuhan tulang laju, dan osteofit. Penelitian termasuk tumor nekrosis faktor (TNF) dapat menyebabkan kerusakan kartilago. Pannus juga melukai dan memperpendek tendo dan ligamen menyebabkan kelemahan ligamentum, sublukasi, dan kontraktur. Peta konsep di halaman selanjutnya membahas patofisiologi dan terapi artritis rheumatoid.
3.
Manifestasi
RA dapat saja ringan dan kekambuhan melibatkan beberapa sendi dalam periode yang singkat atau progresif dengan perkembangan kecacatan dan penyakit sistemik parah. Secara keseluruhan RA ditandai siklus penderitaan dan keringanan, durasi kondisi psikologis dan diamalamiklien adalah perasaan ketidak berdayaan dan ketidakpastian, sedikit sekali klien dengan sakit parah yang tidak berespons terhadap pengobatan yang agresif. Klasifikasi RA oleh American College of Rheumatology (ACR). Diagnosis sistem klasifikasi kurang jelas dalam menentukan diagnosis. RA adalah diagnosis klinis. Temuan lain sepertin hasil uji laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan analisis cairan synovial membantu dalam penegakan diagnosis.
Kriteria
menggaris
bawahin
simetris
imflamasi
sendi
pergelangan
tangan.
Sendi
metakarpofageal (MCP) dan sendi interfalang proksimal (PIP). Sendi intra falang distal (DIP) jarang terlibat dalam RA dan lebih sering terpengaruh osteoarthritis. Empat atau lebih dari enam kriteria harus ada sebelum penyakit di katagorikan sebagai RA. empat kriteria utama berkaitan dengan kekakuan dan pembengkakan harus ada paling tidak 6 minggu dan 2 dari 5 (bengkak dan nodus kulit) harus diperiksa oleh dokter. Kriteria ini merupakan kriteria penanda untuk RA. Gambaran klinis RA bervariasi bukan han ya per klien, namun dalam satu individu tersebut selama perjalanan penyakit tersebut. Ledakan akut poliartikuler selama beberapa hari dapat saja muncul. RA akan muncul bertahap selama beberapa minggu hingga bulan dan diikuti dengan gejala sistemik, seperti anoreksia, penurunan berat badan, kelelahan, nyeri otot, dan kaku. Nyeri sendi dan pembengkakan berhubungan dengan kak-kaku di pagi hari selama beberapa jam. Keterlibatan sendi biasanya simetris dan poliartikuler, paling sering terjadi pada jari tangan, pergelangan tangan, pergelangan tangan, lutut, dan kaki.
Keterlibatan simetris bilateral tangan (pergelangan tangan, sendi MCP, dan sendi PIP dan berkontribusi pada jari berbentuk seperti gelondong. Tenosinovitis tendon fleksor jari biasa terjadi bersamaan dengan pembengkakan dan pelunakan ulnar stiloid. Penurunan dorsisifleksi pergelangan tangan terjadi pada awal perkembangan penyakit dan dapat sangat menyakitkan dibandingkan perubahan bentuk sendi jari. Seiring pertambahan waktu, perusakan sinovial mengikabatkan perubahan bentuk tangan, deviasi ulnar sendi MCP jari dan deviasi medial pergelangan tangan. Figur 77-1 menggambarkan tiga jenis deformasi tangan yang merupakan karakteristik RA. Kelainan bentuk leher angsa (hiperekstensi sendi PIP dengan lengkungan sendi MCP dan PIP) diakibatkan oleh kontraktur otot internal dan tendon. Deformitas Boutonniere (fleksi sendi PIP dan hiperekstensi sendi DIP) disebabkan ruptur tendon ekstensor jari. Sindrom lorong karpal, kompresi daraf medial menyebabkan tenosinovitis pada volar pergelangan tangan, sering terjadi pada RA. Seluruh perubahan ini menyebabkan penurunan kekuatan tangan dan kemampuan melakukan cubitan keras. Bahu, siku, dan tulang belakang juga terpengaruh. Arthirits bahu terlihat pada tahap lanjutan, siku akan tertekuk dan mnyusut pada awal penyakit. Keterlibatan tulang belakang terbatas di daerah tengkuk. Subluksasi atlantoaaksial dapat menyebabkan kelemahan, kejang otot, kepala miring menetap, sakit kepala. Pada ekstremitas bawah, RA sering mempengaruhi kaki dan lutut. Kaki ayam merupakan hasil dari subluksasi kepala metatarsal. Berjalan akan menjadi sulit karena keterbatasan fleksi dan ekstensi pergelangan kaki. Sinovitis aktif sering terlihat pada bengkak bagian medial dan lateral patela. Kista popliteal (kista baker) dapat muncul dibelakang sendi kaki. Sebagai penyakit sistemik, RA mempengaruhi hampir seluruh sistem tubuh. Tiga dari gejala ini merupakan yang paling sering nampak. Gejala ini antara lain nodulus reumatoid, sindrom Sjorgen, dan sindrom Felty. Nodulud reumatoid, yaitu granuloma yang muncul di sekitar pembuluh darah kecil dapat muncul pada 50% klien RA. Biasanya yang memiliki kadar FE tinggi. Biasanya akan muncul benjolan padat, dapat digerakkan dan tidak terasa sakit, nodulud muncul pada permukaan sendi ekstensor, seperti siku dan jari, serta pada bagian tubuh yang lain seperti paru. Nodulus ini mudah pecah/ ruptur dan terinfeksi.
4.
Masalah keperawatan
C. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. Faktor Reumatoid, Fiksasi lateks, Reaksi – reaksi aglutinasi 2. Laju Endap Darah : Umumnya meningkat pesat (80 – 100 mm/h) mungkin kembali normal sewaktu gejala – gejala meningkat 3. Protein C – reaktif : positif selama masa eksaserbasi 4. Sel Darah Putih : meningkat ada waktu timbul proses inflamasi 5. Hemoglobin : : umumnya menunjukkan anemia sedang 6. Ig (IG M dan Ig G) : peningkatan besar meunjukkan proses autoimun sebagai penyebab AR 7. Sinar X dari sendi yang sakit : menunjukkan pembengkakan pada jaringan lunak, erosi sendi, dan osteoporosis dari tulang yang berdekatan (perubahan awal) berkembang menjadi formasi kista tulang, memperkecil jarak sendi dan subluksasio. Perubahan osteoartristik yang terjadi secara bersamaan 8. Scan radionuklida : identifikasi peradangan sinovium 9. Artroskopi Langsung, Aspirasi cairan sinovial 10. Biopsi membran sinovial : menunjukkan perubahan inflamasi dan perkembangan panas D. PENATALAKSANAAN Tujuan utama penatalaksana AR adalah mencegah kerusakan sendi,mencegah hilangnya fungsi sendi, mencegah hilangnya fungsi sendi, mengurangi nyeri pada sendi, mencapai remisi secepat mungkin pada sendi yang terserang AR, dan mengupayakan agar pasien tetap bisa bekerja dan hidup sedia kala. Pada prinsipnya, terapi yang dilakukan adalah mengistirahatkan sendi yang meradang karena penggunaan sendi yang terserang AR, anatar lain : mengompres sendi dengan air hangat dan air dingin secara bergantian memberi obat nyeri
E.
ASUHAN KEPERAWATAN
F.
EBN
G. GLOSARIUM