BAB II ANALISIS UNSUR INTRINSIK 2.1 UNSUR – UNSUR INTRINSIK 2.1.1 Tema Tema dalam novel ini adalah tentang kehidupan dan kematian. Kehidupan manusia penuh dengan ketidakpastian, namun kematianlah yang pasti adanya. Kematian adalah puncak dari kehidupan seseorang yang akan menentukan baik buruknya hidup seseorang. Dalam novel ini, pelukis sebagai gambaran kehidupan yang sangat membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan maut, termasuk opseter dan pekuburan. Sedangkan Opseter perkuburan sebagai gambaran dari kematian, karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di kediamannya (kawasan perkuburan). Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut : “Tokoh kita tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tak menyukai siapa saja yang lapang kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan orang mati.” (Ziarah: hlm. 6) “Disini memang tempatnya sejarah berhenti. Dari segi ini saja, saudara sudah seharusnya pergi dari sini. Saudara telah memberikan gambaran tentang diri saudara sebagai manusia prasejarah.” (Ziarah: hlm. 16) “Kalau tidak. Masakan saya ikut boyong kemari. Setidaknya bagi kami berdua, filsafat adalah kursus dari mati. Dari maut. Pekuburan adalah lembaga perguruan paling tinggi dari filsafat, filsafat sebagai ilmu, filsafat bagi kebajikan.” (Ziarah: hlm. 138) 2.1.2 Tokoh dan Penokohan a. Tokoh : Pelukis, istri pelukis, opseter pekuburan kotapraja, walikota kotapraja, wakil walikota kotapraja, perdana menteri kotapraja, kepala dinas pekerjaan umum kotapraja, mandor dan pegawai pekuburan kotapraja, maha guru opseter, ayah opseter, brigadier polisi, nona tua, centeng pekuburan, masyarakat, penjaga pekuburan, wanita bangsa asing, turis dan wartawan. b. Penokohan : 1. Pelukis : protagonis (tokoh utama) Seorang pelukis yang terkenal, digemari oleh banyak orang, baik, penyayang, penyabar, dan pekerja keras. Tetapi ketika ditinggal mati oleh istrinya, dia berubah menjadi orang yang pemabuk, dan bertingkah seperti orang gila. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Dia dulu hanya pelukis, titik. Gagasan seni yang muluk-muluk, dia tak punya. Seluruhnya diserahkannya kepada pergeseran dirinya dengan alam semesta.’’(Ziarah : hlm. 67)
3
’’Tapi, justru lukisan-lukisannya yang lahir dari demam tanpa klimaks inilah yang menurut pada kritikus bermutu amat baik.” (Ziarah : hlm. 68) “Begitu malam jatuh, perutnya dituangnya arak penuh-penuh, memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakkan nama istrinya keraskeras, menangis keras-keras, untuk kemudian pada akhirnya tertawa keraskeras. Tawa keras-keras ini menjadi isyarat bagi orang-orang untuk menuntunnya pulang, ke satu kamar kecil, di satu rumah kecil, di pinggir kota kecil.” (Ziarah: hlm. 1) “Dan oleh sebab dia memang tenaga yang sungguh-sungguh, artinya dalam batas-batas paling banyak lima jam berturut-turut sehari, mereka suka sekali menggunakan tenaganya. Kerja apa saja diterimanya. Mencuci piring di kedai, menjaga orok di rumah yang orang tuanya perlu bepergian, membersihkan pekarangn rumah, menjadi kacung bola tenis, dan seterusnya. Tapi bila ditanyakan kepadanya jenis kerja mana yang paling suka dilakukannya, dengan mata bersinar-sinar dia akan menjawab: mengecat, atau mengapur rumah.” (Ziarah: hlm. 5) “Istri saya dikubur disini. Seorang, yang barusan saja melalui bapak saya ketahui adalah teman saya yang sesungguhnya, kemarin dikubur disini. Saya ingin selalu dekat dengan mereka, ingin dalam keadaan yang secara terus menerus menziarahi mereka. Nanti bapak lihat, kekosongan disini adalah juga kehidupan. Suatu jenis kehidupan tertentu.” (Ziarah : 141) 2. Istri pelukis : protagonis (tokoh pendamping) Seorang istri yang mau menerima suaminya dengan apa adanya, setia, penyayang, patuh, dan berbakti pada suaminya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Dan laki-laki yang menjadi suaminya kini, adalah hanya sebagian saja dari kenyataan itu. Oleh sebab itu, dia menerimanya tanpa menanyakan kartu nama maupun kartu penduduknya terlebih dahulu. Tanpa menanyakan kartu jenis darahnya dari palang merah. Dia menerima kepelukisannya.” (Ziarah: hlm. 97) “Judulnya adalah: Di sorga tak ada kartu nama.” (Ziarah: 89) 3. Opseter perkuburan kotapraja : antagonis (tokoh pendamping) Pintar, cerdas, berpendidikan, berfikir secara berdisiplin dan kritis, pembangkang dan suka membuat hidup hidup orang sengsara. Namun tidak suka dengan keduniawian (harta dan kekayaan). Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Walaupun dia sama sekali belum pernah menerima pendidikan teknik ataupun pertukangan, namun berkat kecerdasan otaknya, dan terutama berkat kebiasaan berfikir secara berdisiplin dan kritis selama sekian 4
tahun mengikuti kuliah-kuliah filsafat, ditambah dengan jiwa artistiknya dan daya fantasinya yang sangat potensial, maka seluruh kejuruan dan ketangkasan yang diharapkan dari seorang opseter pengawas perkuburan segera dapat dimilikinya.” (Ziarah: hlm. 32) “Penglihatan saya sehari-hari di lapangan pekerjaan saya yang kini mengatakan kepada saya, bahwa harta dan kekayaan berhenti mempunyai arti persis pada tembok-tembok luar pekuburan. Selanjutnya, filsafat murni hanya di dapat pada suasana di sebelah dalam dari tembok-tembok itu. Janganlah usik-usik saya lagi di masa yang akan datang. Sayalah kekayaan. Sayalah kebajikan.”(Ziarah: hlm. 46) 4. Walikota kotapraja : tritagonis (tokoh pembantu) Seorang pemimpin yang tegas, keras, berbicara kasar, angkuh, egois, sombong dan selalu menyembunyikan dendan dalam dirinya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut : “Ia menerima pemilihan dan pengangkatannya sebagai walikota dulu hanya untuk sekedar menggunakan kedudukannya sebagai kesempatan sebaik-baiknya untuk pada suatu saat nanti membalaskan dendamnya pada mereka, pada manusia-manusia dari jenis mereka, kerdil, dekil, pandir, bernaluri makan dan pakaian saja, tak lebih.” (Ziarah: hlm 19) 5. Wakil walikota kotapraja (tokoh pembantu) Baik, tidak egois, selalu mengalah, berperasaan lemah , bertanggungjawab, dan ikhlas. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut : “Selamat! Saudara saya doakan bakal jadi walikota seumur hidup. Ah! Saudara memang manusia berbahagia.” (Ziarah: hlm. 85) 6. Perdana menteri kotapraja (tokoh pembantu) Patuh, penurut terhadap atasannya/walikota, tidak suka terhadap segala sesuatu yang berbau filsafat. “Dalam pidato pengangkatannya sebagai kepala negara yang baru, beliau meminta kepada perdana menteri baru yang masih bakal diangkat lagi, agar nanti sudi mencantumkan sebagai program kerjanya, diantaranya membatasi arti dan pengaruh Shakespeare dan pengarang-pengarang lainnya hanya sampai bidang-bidang kesenian dan kebudayaan saja.” (Ziarah: hlm. 40) 7. Kepala dinas pekejaan umum kotapraja (tokoh pembantu) Patuh, penurut terhadap peraturan dan atasannya/walikota. 8. Mandor dan pegawai pekuburan kotapraja (tokoh pembantu) Kasar dalam berbicara, patuh dan penurut terhadap atasannya. 9. Maha guru opseter (tokoh pembantu)
5
Sombong dan angkuh tetapi tetap bijaksana, karena meskipun dia adalah seorang Mahaguru namun ia masih mau belajar dari muridnya (Opseter kedua). Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Sungguh banyak yang telah saya pelajari dari dia. Lebih banyak lagi yang bakal saya terima dari dia. Tiap hari saya mengajukan pertanyaan padanya, sekedar untuk memancing pelajaran bagi dirinya sendiri.” (Ziarah: hlm. 136) 10 Ayah opseter (tokoh pembantu) Sombong, angkuh dan tetapi penyayang. Seorang ayah sekaligus hartawan yang kaya raya, sangat menyayangi dan peduli terhadap anaknya, serta ingin anaknya mewarisi semua harta kekayaannya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “.... Adakah seorang muda yang tampan seperti dia, kaya raya seperti dia, dan pintar seperti dia, layak menghabiskan tahun-tahunnya di sekitar perkubuuran tuan itu?” (Ziarah: hlm. 43) 11. Brigadir polisi (tokoh pembantu) Baik hati, pengertian, dan mengambil keputusan juga berdasarkan kemanusiaan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “....Kebahagiaan yang sedang mereka nikmati kini hendaklah sepenuhnya dan seutuhnya dapat mereka nikmati. Ah, persetan dengan undang-undang dengan hukum, terlebih dengan hukuman! Katanya, dan ia bergegas pulang ke rumahnya.” (Ziarah: hlm 76) 12. Nona tua (tokoh pembantu) Tegar, ikhlas, penyabar dan penyayang. 13. Centeng pekuburan (tokoh pembantu) Baik, penurut, dan humoris. 14. Ibu Hipotesis Ibu yang tegar, ikhlas, sulit menerima kenyataan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Jadi wanita ini rupanya ingin berkata, bahwa anak hipotesisnya itu adalah seorang perempuan, dan bahwa saya… sebagai menantu hipotesisnya, tentulah menurut teorinya yang hipotesis itu kawin dengan anak hipotesisnya itu..” (Ziarah: hlm. 119) 15. Kepala Negara Seorang pemimpin yang bijaksana dan berwawasan filsafat. “Pada suatu hari, kepala negara memiliki pesawat terbang pribadinya dan terbang ke kota kecil tempat tinggal opseter perkuburan muda yang telah menjadi biang keladi dari seluruh heboh dan malapetaka yang menimpa negeri yang sedang dikepalainya.” (Ziarah: hlm. 37)
6
2.1.3 Latar a. Tempat 1. Tikungan 2. Rumah kecil 3.
Kakilima jalan raya
4.
Jalan
5.
Tempat menyewa kamar
6.
Kedai arak
7.
Di ujung jalan
8.
Kota
9. Di kedai 10. Di sebelah tokoh 11. Di pekuburan 12. Di kompleks perkuburan
13. Di rumah dinas opseter 14. Ruang sidang 15. Di alun-alun 16. Di pintu gerbang perkuburan 17. Di mesjid dan gereja 18. Warung kopi 19. Kantor dan pabrik 20. Kotapraja 21. Di jembatan 22. Di garis finish
: “disalah satu tikungan” (hal 1) : “ke satu kamar kecil, di satu rumah kecil, di pinggir kota kecil” (hal 1) : “Dia lari tunggang-langgang ke kakilima jalan raya” (hal 1) : “Selesai mandi dan berpakaian, dia lari ke jalan”(hal 2) : “Ketika sampai di depan rumah tempat dia menyewa kamar” (hal 2) : “Kemudian dia lari sekencang kencangnya ke kedai arak” (hal 2) : “Hanya seekor anjing kurus dan kotor di ujung jalan” (hal 3) : “membuat seolah dia jauh sekali dari kota di mana dia kini ada” (hal 3) : “Mencuci piring di kedai” (hal 5) : “Dia duduk di sebelah tokoh kita” (hal 8) : “Dia tentulah tahu istrinyanya dikubur di perkuburan” (hal 9) : “Opseter lari girang pulang ke rumahnya di kompleks perkuburan” (hal 10) : “dan jendela rumah dinasnya” (hal 11) : “dan jendela-jendela ruang sidang” (hal 12) : “Orang-orang di alun-alun ikut berteriak” (hal 19) : “di ruang kamar tunggu di pintu gerbang perkuburan” (hal 28) : “Bahkan khotbah di mesjid-mesjid dan dan gereja-gereja” (hal 36) : “maupun dalam obrolan-obrolan warung kopi biasa” (hal 37) : “Kantor-kantor dan pabrik-pabrik menjadi sunyi” (hal 37) : “Segera laporan ini diteruskan oleh opseter ke kotapraja” (hal 48) : “kita di jembatan sana tadi?” (hal 59) : “Khalayak ramai di garis finish marathon tadi” (hal 59) 7
23. Studio 24. Hotel dan losmen 25. Di atas aspal 26. Balaikota 27. Kantor polisi 28. Gubuk 29. Rumah dinas walikota 30. Dalam bilik 31. Di perpustakaan 32. Di gubuk tepi pantai 33. Pantai 34. Di lembah 35. Kantor cacatan sipil 36. Di panggung
: “Ketika petangnya dia kembali ke studionya” (hal 68) : “dia diam di hotel-hotel dan di losmen losmen” (hal 70) : “dan gelisah di atas aspal kering” (hal 72) : “Mari saya kawani Saudara-saudara berdua ke balaikota” (hal 74) : “apakah lantas dia dapat digiring ke kantor polisi” (hal 74) : “Setelah istrinya direbahkannya dalam gubuk itu” (hal 77) : “yang membawanya segera ke rumah dinas walikota” (hal 86) : “mengunci dirinya dalam biliknya” (hal 87) : “Inilah acara satu-satunya istrinya sehari itu, di perpustakaan” (hal 88) : “ke gubuk yang masih utuh di pantai” (hal 89) : “pergi mengipas-ngipas mukanya ke pantai” (hal 93) : “Dan seperti bebek-bebek di lembah” ( hal 94) : “Di kantor cacatan sipil dulu” (hal 96) : “pada lampu sorot di panggung” (hal 99)
b. Waktu 1. Pagi hari “Juga pagi itu dia bangun” (hal 1) “Paginya dia selalu gmbira” (hal 1) “di ufuk tiap pagi membawa ingatan putih baginya” (hal 1) “saya minum arak sepagi hari” (hal 7) 2. Tengah hari “persis tengah hari mereka berpisahan” (hal 10) 3. Sore hari “menjelang benamnya matahari, dia berhenti kerja” (hal 11) 4. Malam hari “Begitu malam jatuh, perutnya dituangnya arak penuh-penuh” ( hal 1) “menghidupi detik-detik selanjutnya dari malam yang sisa” (hal 1) “Malam-malamnya seperti ini” (hal 1) 8
“Malamnya, dia menyuruh penjaga perkuburan” (hal 2) “malam itu dia ada melihat matahari sepanjang malam” (hal 2) c. Suasana 1. Gembira “menggeger suatu tawa gempita dari atas tembok” (hal 15) 2. Sunyi “sunyi senyap dipekuburan itu” (hal 113) 3. Ramai “ke tengah orang ramai itu” 4. Panik “hadirin geger” (hal 38) 5. Gelisah “dia mulai gelisah” 6. Hening “sesudah itu hening, sehening-heningnya” (hal 3) 7. Sedih “demi satu titik membasah di matanya” (hal 123,124) 2.1.4 Alur Alur yang digunakan pengarang pada novel Ziarah ialah Flash-back atau Sorot-balik. Diawal cerita, diceritakan sang pelukis begitu kehilangan setelah ditinggal mati istrinya, tetapi dibagian belakang malah pembaca diajak untuk mengikuti kisah pertemuan pelukis dengan istri, kehidupan mereka yang mengundang banyak pesona, dan saat-saat terakhir istrinya mati. Bukan hanya pelukis dan istri saja tetapi pengarang juga mengajak pembaca untuk mengikuti kisah balik kehidupan opseter sebelum menjadi opseter. 2.1.5 Gaya Bahasa Bahasa dalam novel ini sangat penuh dengan ungkapan-ungkapan dan majas-majas sehingga agak sulit dipahami oleh orang awam karena mengajak pembaca untuk sedikit berpikir karena banyak sentuhan filsafat . Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Tiba-tiba, satu garis lurus dilihatnya turun dari langit dan dengan cepatnya menuju ke arahnya. Garis itu makin tebal makin panjang, makin kencang datang menyerbu ke arahnya. Dia tak dapat mengelak lagi... dia berteriak.” (Ziarah: hlm. 19) Selain itu ditemukan beberapa gaya bahasa atau majas, antara lain sebagai berikut: a.
Majas Personifikasi “Rasa riang mendaki dalam dirinya.’’(Ziarah: hlm. 2)
9
“Oleh praktek-praktek menjilat bawahannya.”(Ziarah: hlm. 20)
atasannya
dan
menindas
“Dia, Opseter berpikiran setan…” (Ziarah: hlm.9) “…mereka terbang ke pintu gerbang.” (Ziarah: hlm.28) b. Majas hiperbola “Tuan adalah nabi seni lukis masa datang.’’(Ziarah: hlm. 69) “Balas dendam memerlukan persiapan, pemikiran, memerlukan sistem filsafat tersendiri yang merentangkan isi, tujuan, faedah dan dalih balas dendam itu nanti kepada dirinya sendiri, kepada anak cucunya dan apabila masih ada juga umat manusia dan kemanusiaan sesudah kurun sejarah kini-juga kepada umat manusia dan kemanusiaan yang akan datang.” (Ziarah: hlm. 20) 2.1.6 Sudut Pandang Sudut pandang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pendangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah sudut pandang orang ketiga . Dapat dilihat dalam cerita bahwa narator (pencerita) tidak terlibat langsung dalam peristiwa. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Tokoh kita tak suka pada opseter ini, sebagaimana dia tak menyukai siapa saja yang lapang kerjanya sedikit banyak ada hubungannya dengan orang mati.” (Ziarah: 6) 2.1.7 Amanat a. Jangan suka menambah penderitaan orang lain, karena itu akan menambah penderitaanmu. b. Kesedihan tidak harus selalu ditangisi terus-menerus, akan tetapi kesedihan haruslah diawali dengan kebahagiaan. c. Jangan sewenang-wenang menyalahkan seseorang, tanpa adanya bukti yang pasti. d. Jalanilah kehidupan ini dengan kesederhanaan jiwa, jangan hanya memikirkan diri sendiri, sebab itu akan merendahkan harkat dan martabatmu. e. Kematian tidak perlu ditakuti, sebab dia abadi. Apa yang abadi, pastilah itu yang terbaik (neraka ataupun surga), hal tersebut tersirat pada Ziarah hal: 109. f. Sediakanlah tempat yang layak untuk orang-orang yang sudah mati agar ada tempat untuk dikunjungi dan dikenang. Karena sebagai manusia puncak tertinggi dari kehidupannya adalah kematian.
10
2.2 KETERKAITAN ANTAR UNSUR INTRINSIK 2.2.1 Tema dengan perwatakan Novel “ZIARAH” yang bertemakan kehidupan dan kematian manusia memiliki keterkaitan dengan perwatakan tokoh yang terdapat dalam novel. Tokoh dalam novel memiliki perwatatakan yang unik, disamping tokoh yang tidak disebutkan namanya. Setiap tokoh dalam novel memiliki sifat yang beragam yang menggambarkan manusia yang memiliki bermacam – macam sifat. Perwatakan yang dimiliki tokoh sangat menggambarkan kisah perjalanan hidup. Dalam kehidupan kita tidak dapat menebak apa yang akan terjadi karena setiap perwatakan bisa menimbulkan konflik yang berbeda. 2.2.2 Setting dengan perwatakan Seting dalam novel “ZIARAH” bercirikan kehidupan di masyarakat sehari – hari yang memiliki berbagai latar kehidupan sosial yang dapat mempengaruhi perwatakan dalam lingkungan tersebut.
11