BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Lanjut usia Lanjut usia merupakan kelompok penduduk yang berumur tua. Golongan
penduduk ini sering mendaat perhatian khusus ini berumur 60 tahun atau lebih (Bustan, 2007). Lanjut usia adalah fase menurunya kemampuan akal dan fisik, dimulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagaimana diketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa ia mempunyai kemampuan untuk reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan fungsi dan tugas ini, usia lanjut, kemudian kematian. Bagi manusia yang normal seharusnya telah siap menerima keadaan baru disetiap tahap perkembangan dirinya dan mencoba beradaptasi dalam kondisi lingkungannya (Martono, 2004). Menurut
organisasi
WHO
dalam
phsycologymania
(2013)
mengelompokkan usia lanjut terdiri atas empat kelompok: 1. Kelompok usia pertengahan (middle age) adalah usia antara 45-59 tahun 2. Kelompok lanjut usia (elderly age) usia antara 60-74 tahun 3. Kelompok usia tua (old age) usia antara 75-79 4. Kelompok sangat tua (very old) usia 80 tahun keatas. 2.2
Proses Menua Proses penuaan seringkali dianggap sebagai suatu hal yang harus terjadi
dan sudah ditentukan oleh tuhan dan tidak mungkin dihambat oleh manusia dan harus dialami dan tuhan sudah menentukan kematian seseorang. Proses penuaan memang sedemikian prosesnya dianggap manusia tidak akan mampu melakukan dalam intervensi untuk memperpanjang umurnya. Tetapi yang perlu di pertanyakan mengapa ada orang yang berumur panjang da nada yang cepat mati, bahkan bayi baru lahir atau belum dilahirkan dapat mengalami kematian dan sebaliknya ada orang yang berumur panjang malahan ada yang dapat mencapai usia 100 tahun lebih (Bustan, 2007).
Pada prosen penuaan ini terdapat tanda dan gejala yang menyertai yaitu kemunduran fungsi dari berbagai sistem tubuh. Dikuti dari Morton (2011) perubahan yang dapat terjadi seperti perubahan organic yaitu penurunan kolagen, unsur seluler sistem saraf, otot dan organ vital, Perubahan sitem saraf yaitu penurunan jumlah nefron, perubahan pendengaran, penglihatan, musculoskeletal, reproduksi, endokrin, gastrointestinal dan perubahan yang kerap terjadi adalah pada sistem perkemihan. Pada sistem perkemihan masa ginjal menurun, jumlah nefron yang berfungsi menurun, atrofi pembuluh darah, penurunan tonus otot semua ini yang akan mengakibatkan inkontinensia urine pada lansia. 2.3
Pengertian Inkontinensia Inkontinensia
adalah
ketidakmampuan
mengontrol
eliminasi
urin.
Inkontinensia banyak terjadi pada lansia berusia lebih dari 60 tahun dan dialami oleh sebagian besar panti wredha (Dewi,S.Kep.Ners, 2014). Inkontinensia urine merupakan ketidakseimbangan otot sphincter eksternal sementara atau menetap untuk mengontrol ekstensi urine. Secara umum penyebab dari inkontinensia urine adalah proses penuaan (aging process), pembesaran kelenjar prostat, serta penurunan kesadaran, serta penggunaan obat narkotika dan sedatif (Uliyah & Hidayat, 2008). Inkontinensia urin merupakan urin yang keluar tidak terkendali dan tidak diduga (Baradero & dkk, 2009). Inkontinensia urin ialah kehilangan kontrol berkemih yang dapat bersifat sementara atau menetap (Perry, 2006). 2.4
Klasifikasi Inkontinensia 1. Inkontinensia akut Inkontinensia akut atau transient adalah inkontinensia yang terjadi akibat
adanya gangguan kesehatan atau muncul akibat intervensi dari suatu gangguan penyakit. Inkontinenisa dapat disebabkan oleh: D
: delirium
R
: restricted mobility (hambatan mobilitas), retensi
I
: infeksi, inflamasi, impaksi
P
: pharmaceutical (obat-obatan), poliuria, psikologis
Sebagai perawat kita harus mengingat bahwa inkontinensia transient merupakan kondisi reversibel. Pada kebanyakan kasus, inkontinensia transient dapat diatasi dengan penyakit utama atau dengan menghentikan obat-obatan yang menyebabkan inkontinensia. 2. Inkontinensia kronis Inkontinensia kronis atau inkontinensia persisten. Dapat dikatakan persisten jika inkontinensia tidak menghilang setelah penyakit dasar telah diatasi. Inkontinenisa persisten terjadi secara bertahap, semakin memburuk, dan terjadi jika terdapat kegagalan dalam mengeluarkan atau mengosongkan urine. tipe inkontinensia persisten : 1) Inkontinensia urge Timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, yang mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai dengan ketidakmampuan
menunda
berkemih
setelah
sensasi
berkemih
muncul.
Manifestasinya dapat berupa perasaan ingin kencing yang mendadak (urge), kencing berulang kali (frekuensi), dan kencing di malam hari (nokturia). 2) Inkontinensia stres Inkontinensia ini terjadi apabila urin secara tidak terkontol keluar akibat peningkatan tekanan didalam perut, melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Gejalanya antara lain, kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan tanpa operasi (misalnya dengan kegel exercises, dan beberapa jenis obat-obatan), maupun dengan operasi. Inkontinensia tipe stres dapat dibedakan menjadi 4 jenis yaitu : Tipe 0 : pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan melalui pemeriksaan Tipe 1 : IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stress dan adanya sedikit penurunan uretra pada leher vesika urinaria Tipe 2 : IU terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan uretra pada leher vesika urinaria 2 cm atau lebih
Tipe 3 : uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa kontraksi kandung kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma atau bedah sebelumnya) dengan gangguan neurologic atau keduanya. Tipe ini disebut juga defisiensi intrinsik
3) Inkontinensia overflow Pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan syaraf pada penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakan, atau saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah kencing (merasa urin masih tersisa didalam kandung kemih), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah. Inkontinensia tipe overflow ini paling banyak terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita 4) Inkontinensia mixed (campuran) Merupakan kombinasi dari setiap jenis nkontinensia urin diatas. Kombinasi yang paling umum adalah tipe campuran inkontinensia tipe stress dan tipe urgensi atau tipe stress dan tipe fungsional (Help, 2010). 2.5
Etiologi Inkontinensia Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi
dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein. Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik (Nuari & widayati, 2017). 2.6
Patofisiologi Inkontinensia Dalam proses berkemih yang normal dikendalikan oleh mekanisme
volunter dan involunter. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul bagian bawah adalah kontrol volunteer. Sedangkan pada otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berda pada bawah kontrol sistem saraf otonom. Ketika otot detrusor berleraksasi maka terjadinya proses penisian kandung kemih dan sebaliknya jika otot ini berkontraksi maka proses berkemih atau pengosongan kandung kemih berlangsung. Dengan kontraksi otot detrusor kandung kemih disebabkan dengan aktivitas saraf parasimpatis, dimana aktivitas itu dapat terjadi
kerena dipicu oleh asetil-koline. Ketika terjadi perubahan-perubahan pada mekanisme normal ini maka dapat menyebabkan proses berkemih terganggu. Pada usia lankut baik wanita atau pria terjadinya perubahan anatomis dan fisiologis dari sistem urogenital bagian bawah. Perubahan tersebut akan berkaitan dengan menurunya kadar hormone esterogen pada wanita dan hormone androgen pada pria. Perubahan yang terjadi ini berupa peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen pada dinding kandung kemih yang dapat mengakibatkan fungsi kontraktil dari kandung kemih tidak efektif lagi. Pada otot uretra dapat terjadi perubahan vaskularisasi pada lapisan submukosa, atropi mukosa dan penipisan otot uretra. Dengan keadaan ini menyebabkan tekanan penutupan uretra berkurang. Otot dasar panggul juga dapat mengalami perubahan berupa melemahnya fungsi dan kekuatan otot. Secara keseluruhan perubahan yang terjadi pada sistem urogenital bagian bawah akibat dari proses menua sebagai faktor distributor terjadinya inkontinensia urine (Prierce & Neil, 2006). 2.7
Penatalaksanaan Penanganan inkontinensia urin bergantung pada faktor penyebab yang
mendasarinya, sebelum terapi yang tepat dapat dimulai, munculnya masalah ini harus diidentifikasi dahulu dan kemungkinan keberhasilan terapi diakui. Jika perawat dan petugas kesehatan lainnya menerima inkontinensia sebagai bagian yang tidak terelakan dari proses penuaan dan perjalanan penyakitnya atau menganggap inkontinensia tidak dapat dipulihkan dan tidak dapat diterapi pada usia berapa un, maka keadaan tersebut tidak akan dapat diterapi dengan hasil yang baik. Upaya yang bersifat interdisipliner dan kolaboratif sering sangat penting dalam mengkaji dan mengatasi inkontinensia urin secara efektif.
Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada tipe inkontinensia urin dan faktor penyebabnya. Inkontinensia urin dan faktor penyebabnya. Inkontinensia urin dapat bersifat sepintas atau reversibel; setelah penyebab yang mendasari berhasil diatasi, pola urinasi pasien akan kembali normal.
Penyebab yang bersifat reversibel dan sering terjadi secara singkat dapat diingat melalui singkatan DIAPPERS . penyebab ini mencakup keadaan berikut: delirium, infeksi saluran kemih, atrofik vaginitis atau uretritis, pharmacologic agents
( agens farmakologi; preparat antikolinergik, sedatif, alkohol, analgesik,
diuretik, relaksan otot, preparat adrenergik), psichologic factors (faktor psikologis; depresi, regresi), excessive urin production (asupan cairan yang berlebihan, kelainan endokrin yang menyebabkan diuresis), restricted activity (aktivitas yang terbats), dan stool impaction (impaksi fekal) (AHCPR, 1992), setelah semua ini berhasil diatasi, pola urinasi pasien biasanya kembali normal. 2.8
Pemeriksaan penunjang 1. Urinalisis digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine. 2. Uroflowmeter digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih. 3. Cysometry digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas. Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih. 4. Urografi ekskretori disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih. 5. Kateterisasi residu pasca kemih digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.
Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller: 1. mengurangi faktor resiko 2. mempertahankan homeostasis 3. mengontrol inkontinensia urin 4. modifikasi lingkungan
5. Medikasi 6. latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut, dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum. 2. Terapi non farmakologi dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : 3. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. 4. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. 5. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. 6.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengankebiasaan lansia.
7. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). 8. Terapi farmakologi obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah: 1) Antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine 2) Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi uretra.
3) Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat. Terapi pembedahan Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic(pada wanita). Modalitas lain Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan. 2.9
pathway
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1