BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer, 2007). Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang akan menetukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap ( Price, A dan L.Wilson, 2010). Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008). Fraktur terjadi jika tulang dikenal stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart, 2000). ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi),open reduksi merupakan suatu tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah / fraktur sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya.Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu intramedulary (IM) untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
B. Anatomi Fisiologi Tulang adalah jaringan yang kuat dan tangguh yang memberi bentuk pada tubuh. Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebu korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya 24
terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES). Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,2015 dan Ignatavicius, Donna. D,2015).
Gambar 1 : Struktur Tulang
Tulang berguna untuk menyangga serta menggerakkan tubuh. Tulang ekstrimitas bawah atau anggota gerak bawah dikaitkan pada batang tubuh dengan perantara 25
gelang panggul terdiri dari 31 pasang antra lain: tulang koksa, tulang femur, tibia, fibula, patella, tarsalia, meta tarsalia, dan falang (Price dan Wilson, 2006). Osteum tibialis dan fibularis (tulang kering dan tulang betis) merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang membentuk persendian lutut dengan OS femur, pada bagian ujungnya terdapat tonjolan yang disebut OS maleolus lateralis atau mata kaki luar. OS tibia bentuknya lebih kecil dari pada bagian pangkal melekat pada OS fibula pada bagian ujung membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut OS maleolus medialis. Agar lebih jelas berikut gambar anatomi os tibia dan fibula.
Gambar 2 : Anatomi tulang tibia dan fibula Sumber : www.adam.com
C. Klasifikasi Fraktur Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada tidaknya hubungan patahan tulang dengan dunia luar, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur cruris terbuka adalah fraktur yang disertai kerusakan kulit pada tempat fraktur (Fragmen frakturnya menembus kulit), dimana bakteri dari
luar bisa menimbulkan
infeksi pada tempat fraktur (terkontaminasi oleh benda asing) (Ayres,1995). Sedangkan fraktur cruris tertutup adalah terputusnya tulang tibia dan fibula tanpa disertai luka terbuka fragmen tulang
yang disebabkan oleh cedera dari trauma langsung atau tidak
langsung yang mengenai kaki. Fraktur cruris tertutup tidak menyebabkan robeknya kulit, jadi fragmen frakturnya tidak menembus jaringan kulit. (Ayres,1995). 26
Fraktur sangat bervariasi dari segi klinis, namun untuk alasan praktis, fraktur dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : 1. Complete fractures Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patahan fraktur yang dilihat secara radiologi dapat membantu untuk memprediksi tindakan yang harus dilakukan setelah melakukan reduksi. Pada fraktur transversal (gambar 3a), fragmen tetap pada tempatnya setelah reduksi, sedangkan pada oblik atau spiral (gambar 3c) lebih cenderung memendek dan terjadi pergeseran meskipun tulang telah dibidai. Fraktur segmental (gambar 3b) membagi tulang menjadi 3 bagian. Pada fraktur impaksi fragmen menumpuk saling tumpang tindih dan garis fraktur tidak jelas. Pada raktur kominutif terdapat lebih dari dua fragmen, karena kurang menyatunya permukaan fraktur yang membuat tidak stabil (Solomon et al., 2010). 2. Incomplete fractures Pada fraktur ini, tulang tidak terbagi seutuhnya dan terdapat kontinuitas periosteum. Pada fraktur buckle, bagian yang mengalami fraktur hampir tidak terlihat (gambar 1d). Pada fraktur greenstick (gambar 3e dan 3f), tulang melengkung atau bengkok seperti ranting yang retak. Hal ini dapat terlihat pada anak‒anak, yang tulangnya lebih elastis daripada orang dewasa. Pada fraktur kompresi terlihat tulang spongiosa tertekan kedalam (Solomon et al., 2010).
a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 3: Variasi fraktur. Keterangan : Complete fractures: (a) transversal; (b) segmental; (c) spiral. Incomplete fractures: (d) fraktur buckle; (e, f) fraktur greenstick (Solomon et al., 2010). 27
D. Proses Penyembuhan Fraktur Penyembuhan fraktur umumnya dilakukan dengan cara imobilisasi. Akan tetapi, penyembuhan fraktur alamiah dengan kalus dan pembentukan kalus berespon terhadap pergerakan bukan terhadap pembidaian. Pada umumnya fraktur dilakukan pembidaian hal ini dilakukan tidak untuk menjamin penyatuan tulang namun untuk meringankan nyeri dan menjamin penyatuan tulang pada posisi yang benar dan mempercepat pergerakan tubuh dan pengembalian fungsi (Solomon et al., 2010). Fraktur
disembuhkan
dengan
proses
perkembangan
yang melibatkan
pembentukan fibrokartilago dan aktivitas osteogenik dari sel tulang utama. Fraktur merusak pembuluh darah yang menyebabkan sel tulang terdekat mati. Pembekuan darah dibuang bersamaan dengan debris jaringan oleh makrofag dan matriks yang rusak, tulang yang bebas dari sel di resorpsi oleh osteoklas (Mescher, 2013). Proses penyembuhan dengan kalus adalah bentuk alamiah dari penyembuhan fraktur pada tulang tubular tanpa fiksasi, proses ini terdiri dari lima fase, yaitu (Solomon et al., 2010) : 1. Destruksi jaringan dan pembentukan hematom Pembuluh darah robek dan terjadi pembentukan hematom disekitar fraktur. Tulang pada permukaan yang patah, kehilangan asupan darah, dan mati (gambar 4a). 2. Inflamasi dan proliferasi selular Dalam 8 jam, fraktur mengalami reaksi inflamasi akut dengan migrasi sel inflamatorik dan inisiasi proliferasi dan diferensiasi dari stem sel mesenkimal dari periosteum menembus kanal medular dan sekitar otot. Sejumlah besar mediator inflamasi seperti sitokin dan beberapa factor pertumbuhan dilibatkan. Selanjutnya bekuan darah hematom diabsorbsi perlahan dan membentuk kapiler baru pada area tersebut. 3. Pembentukan kalus Diferensiasi stem sel menyediakan sejumlah sel kondrogenik dan osteogenik. Pada kondisi yang tepat mereka akan mulai membentuk tulang dan pada beberapa kasus, juga membentuk kartilago (gambar 4b). Di sejumlah sel ini terdapat osteoklas yang siap membersihkan tulang yang mati. Massa seluler yang tebal bersama pulau‒pulau tulang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau rangka pada permukaan periosteum endosteum.
Saat anyaman
dan
tulang yang imatur termineralisasi menjadi lebih keras
(gambar 4c), pergerakan pada lokasi fraktur menurunkan progresivitas dan fraktur menyatu dalam 4 minggu setelah cidera. 28
4. Konsolidasi Tulang anyaman terbentuk menjadi tulang lamelar dengan aktivitas osteoklas dan osteoblas yang kontinyu. Osteoklas pada proses ini melakukan pelubangan melalui debris pada garis fraktur, dan menutup kembali jaringan tersebut. Osteoblas mengisi ruang yang tersisa antara fragmen dan tulang baru. Proses ini berjalan lambat sebelum tulang cukup kuat untuk menopang beban dengan normal. 5. Remodeling Fraktur telah dijembatani dengan lapisan tulang yang solid. Pada beberapa bulan atau bahkan tahun, dilakukan pembentukkan ulang atau reshaped dengan proses yang kontinu dari resorpsi dan pembentukan tulang (gambar 4d).
a. Pembentukan hematom pada fraktur
b. Pembentukan kalus fibrokartilago
c. Pembentukkan kalus yang keras
d. Tulang yang mengalami remodeling
Gambar 4 : Proses Penyembuhan Fraktur (Mescher,2013)
Sedangkan penyembuhan dengan penyatuan langsung (direct union)
tidak lagi
melibatkan proses pembentukan kalus. Jika lokasi fraktur benar‒benar dilakukan imobilisasi dengan menggunakan plate, tidak dapat memicu kalus. Namun, pembentukan tulang baru dengan osteoblas timbul secara langsung diantara fragmen. Gap antar permukaan fraktur diselubungi oleh kapiler baru dan sel osteoprogenitor tumbuh dimulai dari pangkal dan tulang baru terdapat pada permukaan luar (gap healing). Saat celah atau gap sangat kecil, osteogenesis memproduksi tulang lamelar, gap yang lebar pertam-tama akan diisi dengan tulang anyaman, yang selanjutnya dilakukan remodeling untuk menjadi tulang lamelar. Setelah 3‒4 minggu, fraktur sudah cukup kuat untuk melakukan penetrasi dan bridging mungkin kadang ditemukan tanpa adanya fase pertengahan atau contact healing (Solomon et al., 2010).
29
E. Etiologi Menurut Oswari E (1993), penyebab fraktur adalah : 1. Trauma langsung Trauma langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. 2. Trauma tidak langsung Trauma tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. 3. Trauma akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, gerakan puntir mendadak,gaya meremuk, penekukan, penekukan dan penekanan, dan penarikan kontraksi otot ekstrim. 4. Keletihan karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh. 5. Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis. 6. Degenerasi, terjadi kemunduran patologis karena penuaan
F. Patofisiologi Setelah fraktur dapat terjadi kerusakan pada sumsum tulang, endosteum dan jaringan otot. Pada fraktur cruris dextra upaya penanganan dilakukan tindakan operasi dengan menggunakan internal fiksasi. Pada kasus ini, hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan incisi. Dengan incisi maka akan terjadi kerusakan pada jaringan lunak dan saraf sensoris. Apabila pembuluh darah terpotong dan rusak maka cairan dalam sel akan menuju jaringan dan menyebabkan oedema. Oedema ini akan menekan saraf sensoris sehingga akan menimbulkan nyeri pada sekitar luka incisi. Bila terasa nyeri biasanya pasien cenderung untuk malas bergerak. Hal ini akan menimbulkan perlengketan jaringan otot sehingga terjadi fibrotik dan menyebabkan penurunan lingkup gerak sendi (LGS) yang dekat dengan perpatahan dan potensial terjadi penurunan nilai kekuatan otot. Perubahan patologi setelah dilakukan operasi adalah : 1. Oedema Oedema dapat terjadi karena adanya kerusakan pada pembuluh darah akibat dari 30
incisi, sehingga cairan yang melewati membran tidak lancar dan tidak dapat tersaring lalu terjadi akumulasi cairan sehingga timbul bengkak. 2. Nyeri Nyeri dapat terjadi karena adanya rangsangan nociceptor akibat incisi dan adanya oedema pada sekitar fraktur. 3. Keterbatasan LGS Permasalahan ini timbul karena adanya rasa nyeri, oedema, kelemahan pada otot sehingga pasien tidak ingin bergerak dan beraktivitas. Keadaan ini dapat menyebabkan perlengketan jaringan dan keterbatasan lingkup gerak sendi (Apley, 1995). 4. Potensial terjadi penurunan kekuatan otot Pada kasus ini potensial terjadi penurunan kekuatan otot karena adanya nyeri dan oedema sehingga pasien enggan menggerakkan dengan kuat. Tetapi jika dibiarkan terlalu lama maka penurunan kekuatan otot ini akan benar-benar terjadi. Intervensi medis fraktur cruris dengan penatalaksanaan pemasangan fiksasi interna menimbulkan masalah risiko tinggi infeksi pasca bedah, nyeri akibat trauma jaringan lunak, dan dampak psikologis ansietas akibat rencana bedah dan prognosis penyakit serta pemenuhan informasi.
G. Tanda Dan Gejala Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut (Elizabeth J. Corwin, 2009). 1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat melekatnya otot. 3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci). 4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat. 31
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. H. Penatalaksanaan Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. 1. Rekognisi (Pengenalan): Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. 2. Reduksi (manipulasi/ reposisi): Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. 3. Retensi (Immobilisasi): Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau externa. ORIF (Open Reduction Internal Fixation) merupakan reposisi secara operatif yang diikuti dengan fiksasi interna. Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa plate and screw. Keuntungan ORIF adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi segera bisa dilakukan. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi tulang (Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Prinsip umum dari fiksasi interna antara lain dengan menggunakan pin and wire, plate and screw, tension‒band principle, intramedullary nails dan biodegradable fixation (gambar 8). Pin and wires menggunakan metode Kirschner wires (K‒wires) dan Steinmann pins memiliki beberapa kegunaan, mulai dari traksi skeletal hingga fiksasi fraktur yang sementara dan definitif. Metode ini juga memberikan fiksasi sementara untuk rekonstruksi dari fraktur yang melibatkan kerusakan tulang dan soft tissue yang minimal (Lakatos, 2014). Bone screw adalah bagian dasar dari metode fiksasi interna modern dan dapat digunakan baik secara independen atau dengan kombinasi dengan tipe implantasi lain. Kekuatan dipengaruhi oleh pemasangan pengencangan screw. Seiring berjalannya waktu, sejumlah kekuatan kompresif menurun secara lambat saat tulang mengalami remodeling terhadap tekanan. Namun, waktu penyembuhan fraktur biasanya lebih singkat dibandingkan waktu yang dibutuhkan dari substansi yang hilang akibat kompresi dan fiksasi (Lakatos, 2014). Metode lain dengan menggunakan plate memiliki 32
berbagai macam ukuran dan bentuk untuk tulang dan lokasi yang berbeda. Dynamic compression plates (DCPs) tersedia dalam ukuran 3,5 mm dan 4,5 mm. Lubang screw pada DCP membentuk sudut kemiringan pada satu sisi berlawanan dari bagian tengah plate (Lakatos, 2014).
a.
pin and wire
b. plate and screw
c. intramedullary nails
d. biodegradable fixation
Gambar 5 : Variasi ORIF (Solomon et al, 2010) Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. 4. Rehabilitasi Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihanlatihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi. I. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan radiologi dari fraktur. Pemeriksaan foto polos menunjukkan adanya garis patah pada tulang tibia dan fibula, gambaran fraktur, dan deformitas. Venogram / anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks. 2. Pemeriksaan Laboratorium; Tes Darah lengkap. Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. 3. Arteriografi; dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. 4. Kreatinin; trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
33
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL Diagnosa keperawatan fraktur menurut Doengoes (2000), dan Barbara (1999) adalah 1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/ immobilisasi, stress, ansietas. 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolic, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik. 3. Gangguan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
nyeri
/
ketidak
nyamanan, kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktifitas, penurunan kekuatan / tahanan. 4. Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respon inflamasi tertekan, prosedur invasi dan jalur penusukan, luka/ kerusakan kulit, insisi pembedahan. 5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan factor (kolaboratif): traksi atau gibs pada ekstrimitas 6. Resiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubunngan dengan intake yang tidak adekuat. 7. Harga diri rendah berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh.
34
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius Mutaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta. EGC. Price & Wilson. 2010. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-propses Penyakit Edisi. 6. Jakarta.EGC Appley,A.G and Louis Solomon.(1995).Terjemahan Ortopedi dan Fraktur Sistem Appley ( edisi ke7).Widya Medika. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EG Ayres ,S.M.,Shoemaker,W.C.,et al. 1995. Textbook of Critical Care, 3 edition.Philadelphia : W.B. Saundres Company
35
36
37