Bab Ii 18

  • Uploaded by: novia alzahra danih
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii 18 as PDF for free.

More details

  • Words: 7,972
  • Pages: 42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Khitan atau Sunat Menurut bahasa, khitan berasal dari bahasa Arab Khatana yang berarti memotong. Dalam Ensiklopedi Islam, kata Khatana berarti memotong atau mengerat. Menurut Ibnu Hajar bahwa al-Khitan adalah isim masdar dari kata Khatana yang berarti memotong, Khatn yang berarti memotong sebagian benda yang khusus dari anggota badan yang khusus pula. Kata memotong dalam hal ini mempunyai makna dan batasan-batasan khusus. Maksudnya, bahwa makna dasar kata khitan adalah bagian kemaluan yang harus dipotong. Menurut istilah, khitan adalah membuka atau memotong kulit (quluf) yang menutupi ujung kemaluan dengan tujuan agar bersih dari najis. Selain itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdullah Nasih Ulwan, khitan adalah memotong yaitu tempat pemotongan penis, yang merupakan timbulnya konsekuensi hukum-hukum syara. Sementara Imam al-Mawardi mendefinisikan khitan sebagai berikut: Khitan adalah pemotongan kulit yang menutupi kepala penis (khasafah), yang baik adalah mencakup memotongan pangkal kulit dan pangkal kepala penis (khasafah), minimal tidak ada lagi kulit yang menutupinya. Sedangkan menurut Imam Haramain mendefinisikan sebagai berikut; Khitan adalah memotong qulfah, yaitu kulit yang menutupi kepala penis sehingga tidak ada lagi sisa kulit yang menjulur. Sementara Abu Bakar Usman al-Bakri mendefinisikan khitan sebagai berikut; Khitan adalah memotong bagian yang menutupi khasafah (kepala kemaluan) sehingga kelihatan semuanya, apabila kulit yang menutupi khasafah tumbuh kembali maka tidak ada lagi kewajiban untuk memotongnya kembali.

6

Dalam pelaksanaan khitan biasanya digunakan untuk laki-laki atau istilah orang jawa disebut sunnatan, dalam ilmu kedokteran disebut circumcisio, yaitu pemotongan kulit yang menutupi kepala penis (praeputium glandis). Qulfah atau qhurlah adalah bagian kulit yang dipotong saat dikhitan (disebut pula kuluf). Yang dikhitan dari seorang lakilaki adalah bagian kulit yang melingkar dibawah ujung kemaluan. Itulah kulit kemaluan yang diperintahkan untuk dipotong. Berdasarkan pengertian khitan tersebut, disimpulkan bahwa khitan adalah perbuatan memotong bagian kemaluan laki-laki yang harus dipotong, yakni memotong kulup atau kulit yang menutupi bagian ujungnya sehingga seutuhnya terbuka. Pemotongan kulit ini dimaksudkan agar ketika buang air kecil mudah dibersihkan, karena syarat dalam ibadah adalah kesucian.1 2.2 Keluhan Muskuloskeletal 2.2.1 Pengertian Moskuluskeletal Menurut Occupational Health and Safety Council of Ontario (OHSCO) tahun 2007, Keluhan muskuloskeletal adalah serangkaian sakit pada tendon, otot, dan saraf. Aktifitas dengan tingkat pengulangan tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri dan rasa tidak nyaman pada otot. Keluhan musculoskeletal dapat terjadi walaupun gaya yang dikeluarkan ringan dan postur kerja yang memuaskan. Muskuloskeletal disorders atau gangguan otot rangka merupakan kerusakan pada otot, saraf, tendon, ligament, persendian, kartilago, dan discus invertebralis. Kerusakan pada otot dapat berupa ketegangan otot, inflamasi, dan degenerasi. Sedangkan kerusakan pada tulang dapat berupa memar, mikro faktur, patah, atau terpelintir (Merulalia, 2010).

1

Sahil, Irdion. Skripsi “Nilai-nilai Pendidikan dalam Khitan”. Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 2011.

7

Musculoskeletal disorders adalah gangguan pada bagian otot skeletal yang disebabkan oleh karena otot menerima beban statis secara berulang dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dan akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon.2 Berdasarkan pada definisi yang telah

diungkapkan

dari

beberapa

sumber,

dapat

disimpulkan

bahwa

musculoskeletal disorders (MSDs) adalah serangkaian gangguan yang dirasakan pada bagian otot, tendon, saraf, persendian yang menimbulkan rasa nyeri dan ketidaknyamanan akibat dari aktifitas yang berulang-ulang (repetitive) dalam jangka waktu yang lama. 2.2.2 Faktor Penyebab Menurut Peter Vi (2004), faktor penyebab keluhan muskuloskeletal antara lain: 1. Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan yang besar, seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, menahan beban yang berat. 2. Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus. Seperti mencangkul, membelah kayu, angkat-angkat dan sebagainya. 3. Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk dan sebagainya. Selain itu terdapat factor penyebab sekunder dari keluhan muskuloskeletal yaitu: 1. Tekanan : Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak secara berulang-ulang dapat menyebabkan nyeri yang menetap. 2

Wulandari, Rizka Indri. Skripsi “Penilaian Resiko Ergonomi Terhadap Muscoluskeletal Disorders (MSDs) Menggunakan Metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) Pada Pengrajin Batik Tulis di Kampung Batik Jetis Sidoardjo Jawa Timur Tahun 2011”. Depok : Universitas Indonesia, 2012.

8

2. Getaran : Getaran dengan frekuensi yang tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot. 3. Mikroklimat : Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga pergerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Perbedaan besar suhu yang besar antara lingkungan dan suhu tubuh akan mengakibatkan sebagian energi yang ada di dalam tubuh akan diigunakan untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan asupan energi yang cukup, suplai energi di otot akan menurun, terhambati proses metabolisme karbohidrat dan terjadinya penimbunan asam laktat yang dapat menyebabkan nyeri otot. Penyebab lain yang berperan dalam terjadinya keluhan muskuloskeletal di hadapkan pada beberapa factor risiko dalam waktu yang bersamaan, yaitu: 1. Umur : Keluhan muskuloskeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu pada usia 25-65 tahun. Keluhan biasanya akan mulai dirasakan pada usia 35 tahun dan akan semakin meningkat semakin bertambahnya usia. Hal ini terjadi karena pada usia setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot akan meningkat. 3 2. Jenis Kelamin : Jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita lebih

3

Dryastiti, P.E. Skripsi “Hubugan Antara Beban Kerja dengan Tingkat Keluhan Muskuloskeletal pada Perawat di Ruang Ratna dan Ruang Medical Surgical RSUP Sanglah Denpasar”. Denpasar : Universitas Udayana, 2013.

9

rendah daripada pria. Prevalensi sebagian besar gangguan tersebut meningkat dan lebih menonjol pada wanita dibandingkan pria (3:1) sehingga daya tahan otot wanita untuk bekerja lebih rendah dibandingkan pria. 3. Kebiasaan merokok : Semakin lama dan semakin tinggi tingkat frekuensi merokok, semakin tinggi pula keluhan otot yang dirasakan. Kebiasaan merokok dapat menurunkan kapasitas paru-paru sehingga kemampuan untuk mengkosumsi oksigen menurun. 4. Kesegaran jasmani : Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot. 5. Kekuatan fisik : Secara fisiologis ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang mempunyai kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. 6. Ukuran tubuh (antrometri) : Keluhan muskuloskeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka di dalam menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan. 2.2.3 Gejala Gejala keluhan muskuloskeletal dapat menyerang secara cepat maupun lambat (berangsur-angsur), menurut Kromer4, ada tiga tahap terjadinya MSDs yang dapat diidentifikasi yaitu: 1. Tahap 1 : Sakit atau pegal-pegal dan kelelahan selama jam kerja tapi gejala ini biasanya menghilang setelah waktu kerja (dalam satu malam). Tidak berpengaruh pada kinerja. Efek ini dapat pulih setelah istirahat.

4

Kromer. Cumulative Trauma Disorders, their recognition and egonomics measure to avoid them. Appl Ergonomics, 20 (4) : 274-280, 1989.

10

2. Tahap 2 : Gejala ini tetap ada setelah melewati waktu satu malam setelah bekerja.

Tidak

mungkin

terganggu.

Kadang-kadang

menyebabkan

berkurangnya performa kerja. 3. Tahap 3 : Gejala ini tetap ada walaupun setelah istirahat, nyeri terjadi ketika bergerak secara repetitif. Tidur terganggu dan sulit untuk melakukan pekerjaan, kadang-kadang tidak sesuai kapasitas kerja. 2.2.4 Jenis Keluhan Jenis-jenis keluhan Keluhan muskuloskeletal antara lain: 1. Sakit Leher : Sakit leher adalah penggambaran umum terhadap gejala yang mengenai leher, peningkatan tegangan otot atau myalgia, leher miring atau kaku leher. Pengguna komputer yang terkena sakit ini adalah pengguna yang menggunakan gerakan berulang pada kepala seperti menggambar dan mengarsip, serta pengguna dengan postur yang kaku; 2. Nyeri Punggung : Nyeri punggung merupakan istilah yang digunakan untuk gejala nyeri punggung yang spesifik seperti herniasi lumbal, arthiritis, ataupun spasme otot. Nyeri punggung juga dapat disebabkan oleh tegangan otot dan postur yang buruk saat menggunakan komputer; 3. Carpal Tunnel Syndrome : Merupakan kumpulan gejala yang mengenai tangan dan pergelangan tangan yang diakibatkan iritasi dan nervus medianus. Keadaan ini disebabkan oleh aktivitas berulang yang menyebabkan penekanan pada nervus medianus. Keadaan berulang ini antara lain seperti mengetik, arthritis, fraktur pergelangan tangan yang penyembuhannya tidak normal, atau kegiatan apa saja yang menyebabkan penekanan pada nervus medianus;

11

4. Thoracic Outlet Syndrome : Merupakan keadaan yang mempengaruhi bahu, lengan, dan tangan yang ditandai dengan nyeri, kelemahan, dan mati rasa pada daerah tersebut. Terjadi jika lima saraf utama dan dua arteri yang meninggalkan leher tertekan. Thoracic outlet syndrome disebabkan oleh gerakan berulang dengan lengan diatas atau maju kedepan. 5. Tennis Elbow : Tennis elbow adalah suatu keadaan inflamasi tendon ekstensor, tendon yang berasal dari siku lengan bawah dan berjalan keluar ke pergelangan tangan. Tennis elbow disebabkan oleh gerakan berulang dan tekanan pada tendon ekstensor. f. Low Back Pain : Low back pain terjadi apabila ada penekanan pada daerah lumbal yaitu L4 dan L5. Apabila dalam pelaksanaan pekerjaan posisi tubuh membungkuk ke depan maka akan terjadi penekanan pada discus. Hal ini berhubungan dengan posisi duduk yang janggal, kursi yang tidak ergonomis, dan peralatan lainnya yang tidak sesuai dengan antopometri pekerja. 2.2.5 Pengukuran Muskuloskeletal disorders dengan Nordic Body Map Pengukuran muskuloskeletal disorders melalui Nordic Body Map Quisioner (NBM) dapat diketahui bagian-bagian yang mengalami keluhan, mulai dari rasa tidak sakit sampai sangat sakit. Nordic Body Map Quisioner merupakan salah satu metode pengukuran subyektif untuk mengukur rasa sakit otot para pekerja. Kuisioner Nordic Body Map merupakan salah satu bentuk kuisioner checklist ergonomi. 5

5

Wulandari, Rizka Indri. Skripsi “Penilaian Resiko Ergonomi Terhadap Muscoluskeletal Disorders (MSDs) Menggunakan Metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) Pada Pengrajin Batik Tulis di Kampung Batik Jetis Sidoardjo Jawa Timur Tahun 2011”. Depok : Universitas Indonesia, 2012.

12

Kuisioner Nordic Body Map adalah kuesioner yang paling sering digunakan untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja karena sudah terstandarisasi dan tersusun rapi. Pengisian kuisioner Nordic Body Map ini bertujuan untuk mengetahui bagian tubuh dari pekerja yang terasa sakit sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan pada stasiun kerja. Survei ini menggunakan banyak pilihan jawaban yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian umum dan terperinci. Bagian umum menggunakan bagian tubuh yaitu yang dilihat dari bagian depan dan belakang. Berikut Nordic Body Map pada gambar 2.1 berikut :

Gambar 2.1 Nordic Body Map Sumber : Tirtasayasa 2003

13

Responden yang mengisi kuisioner diminta untuk memberikan tanda ada tidaknya gangguan pada bagian area tubuh tersebut. Nordic Body Map memiliki 28 pertanyaan tentang tingkat keluhan muskuloskeletal dari leher hingga ujung kaki. Masing-masing sisi tubuh kiri dan kanan memiliki pertanyaan yang berbeda, sehingga seluruh tubuh yang nyeri akan dinilai dengan cermat. Pada NBM terdapat empat rentang skor yaitu skor satu untuk tidak sakit, skor dua untuk agak sakit, skor tiga untuk sakit dan skor empat untuk sangat sakit. Setelah kuesioner diisi, skor dari masing-masing pertanyaan akan diakumulasi untuk mengetahui tingkatan keluhan musculoskeletal yang diderita (Dryastiti, 2013). 2.3 Ergonomi 2.3.1 Sejarah dan Perkembangan Ergonomi. Di dalam buku Eko Nurmianto6, Istilah "ergonomi" mulai dicetuskan pada tahun 1949, akan tetapi aktivitas yang berkenaan dengannya telah bermunculan puluhan tahun sebelumnya. Beberapa kejadian penting diilustrasikan sebagai berikut: 1. C.T. Thackrah, England, 1831. Thackrah adalah seorang dokter dari Inggris/England yang meneruskan pekerjaan dari seorang Italia bernama Ramazzuu, dalam serangkaian kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan kerja yang tidak nyaman yang dirasakan oleh para operator ditempat kerjanya. la mengamati postur tubuh pada saat bekerja sebagai bagian dari masalah kesehatan. Pada saat it Thackrah mengamati seorang penjahit yang bekerja dengan posisi dan dimensi kursi, meja yang kurang sesuai secara anthropometri, serta

6

E. Nurmianto. Ergonomi konsep dasar dan aplikasinya. Surabaya : Guna Widya, 2004.

14

pencahayaan

yang

tidak

ergonomis

sehingga

mengakibatkan

membungkuknya badan dan iritasi indera penglihatan. Disamping itu juga mengamati para pekerja yang berada pada lingkungan kerja dengan temperatur tinggi, kurangnya ventilasi, jam kerja yang panjang, dan gerakan kerja yang berulang-ulang (repetitive work). 2. F. W. Taylor, U.S.A., 1898. Frederick W. Taylor adalah seorang insinyur Amerika yang menerapkan metoda ilmiah untuk menentukan cara yang terbaik dalam melakukan suatu pekerjaan. Beberapa metodanya merupakan konsep ergonomi dan manajemen modern. 3. F .B. Gilberth, U.S.A., 1911. Gilbreth juga mengamati dan mengoptimasi metoda kerja, dalam hal ini lebih mendetail dalam Analisa Gerakan dibandingkan dengan Taylor. Dalam bukunya Motion Study yang diterbitkan pada tahun 1911 ia menunjukkan bagaimana postur membungkuk dapat diatasi dengan mendesain suatu sistem meja yang dapat diatur naik-turun (adjustable). 4. Badan Penelitian untuk Kelelahan Industri (Industrial Fatigue Research Board), England, 1918. Badan ini didirikan sebagai penyelesaian masalah yang terjadi di pabrik amunisi pada Perang Dunia Pertama. Mereka menunjukkan bagaimana output setiap harinya meningkat dengan jam kerja per hari-nya yang menurun Disamping itu mereka juga mengamati waktu siklus optimum untuk siste kerja berulang (repetitive work systems) dan menyarankan adanya variasi dan rotasi pekerjaan.

15

5. E. Mayo dan teman-temannya, U.S.A., 1933. Elton Mayo seorang warga negara Australia, memulai beberapa studi di suatu Perusahaan Listrik yaitu Western Electric Company, Hawthorne,Chicago Tujuan studinya adalah untuk mengkuantifikasi pengaruh dari variabel fisik seperti misalnya pencahayaan dan lamanya waktu istirahat terhadap fakto efisiensi dari para operator kerja pada unit perakitan. 6. Perang Dunia Kedua, England dan U.S.A. Masalah operasional yang terjadi pada peralatan militer yang berkembang secara cepat (seperti misalnya pesawat terbang) harus melibatkan sejumlah kelompok interdisiplin ilmu secara bersama-sama sehingga mempercepat perkembangan ergonomi pesawat terbang. Masalah yang ada pada saat itu adalah penempatan dan identifikasi untuk pengendali pesawat terbang, efektifitas alat peraga (display), handel pembuka, ketidaknyamanan karena terlalu panas atau terlalu dingin, desain pakaian untuk suasana kerja yang terlalu panas atau terlalu dingin dan pengaruhnya pada kinerja operator. 7. Pembentukan Kelompok Ergonomi. Pembentukan Masyarakat Peneliti Ergonomi (the Ergonomics Research Society) di England pada tahun 1949 melibatkan beberapa profesional yang telah banyak berkecimpung dalam bidang ini. Hal ini menghasilkan jurna (majalah ilmiah) pertama dalam bidang Ergonomi pada Nopember 1957. Perkumpulan

Ergonomi

Internasional

(The

Internationa

Ergonomics

Association) terbentuk pada tahun 1957, dan The Human Faktors Society di Amerika pada tahun yang sama. Di samping itu patut diketahui pula bahwa Konperensi Ergonomi Australia yang pertama diselenggarakan pada tahun

16

1964, dan hal ini mencetuskan terbentuknya Masyarakat Ergonomi Australia dan New Zealand (The Ergonomics Society of Australia and New Zealand). 2.3.2 Definisi Ergonomi. Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia merancang suatu sistem kerja, sehingga manusia dapat hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman, dan nyaman. Fokus dari ergonomi adalah manusia dan interaksinya dengan produk, peralatan, fasilitas, prosedur dan lingkungan dan pekerja serta kehidupan sehari-hari dimana penekanannya adalah pada fakto manusia. Menurut Pulat, ergonomi merupakan studi tentang interaksi antara manusia dengan objek yang mereka gunakan, dan lingkungan di mana mereka bekerja. Beberapa hal yang penting dalam pengertian tersebut adalah komponen manusia, obyek, lingkungan, serta interaksi antar komponen-komponen tersebut. Sedangkan menurut Sritomo Wignjosoebroto adalah Ergonomi atau ergonomics (bahasa Inggrisnya) sebenarnya berasal dari kata yunani yaitu Ergo yang berarti kerja dan Nomos yang berarti hukum. Ergonomi dapat didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem kerja. Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun (design) ataupun rancang ulang (redesign). Hal ini dapat meliputi perangkat keras misalnya perkakas kerja (tools), bangku kerja (benches, platform, kursi, pegangan alat kerja (workholders),

17

sistem pengendali (controls), alat peraga (display), jalan/lorong (acces ways), pintu (doors), jendela (windows), dan lain-lain. Masih dalam kaitan dengan hal yang ada di atas adalah bahasan tentang rancang bangun lingkungan kerja (working environment), karena jika sistem perangkat keras berubah maka akan berubah pula lingkungan kerjanya.7 Tujuan ergonomi adalah menambah efektifitas penggunaan objek fisik dan fasilitas yang digunakan oleh manusia dan merawat atau menambah nilai tertentu, misalnya kesehatan, kenyamanan dan kepuasan pada proses penggunaan tersebut. Ergonomi dapat pula berperan sebagai desain pekerjaan pada suatu organisasi, misalnya: penentuan jumlah jam istirahat, pemilihan jadwal pergantian waktu kerja atau shift kerja, meningkatkan variasi pekerjaan dan lain-lain. Ergonomi dapat pula berfungsi sebagai desain perangkat lunak karena dengan semakin banyaknya pekerjaan yang berkaitan erat dengan komputer. Penyampaian informasi dalam suatu sistem komputer harus pula diusahakan sekompatibel mungkin sesuai dengan kemampuan dalam pemrosesan informasi oleh manusia. Ilmu ergonomi ini secara khusus akan mempelajari tentang keterbatasan dan kemampuan manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya. Disiplin ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki batas-batas kemampuan, baik di dalam jangka pendek maupun panjang. Pada saat berhadapan dengan keadaan lingkungan kerja yang berupa perangkat keras (hardware mesin, peralatan kerja, dan sebagainya) dan perangkat lunak

7

Pulat, B. Mustafa. Ergonomi : Fundamentals of Industrial Ergonomic. AT&T Network System, Oklahoma. 1992.

18

(metode kerja, sistem, dan prosedur). Prinsip penting yang harus selalu diterapkan pada setiap perancangan adalah fitting the job to the man rather than the man to the job, dalam hal ini pekerjaan harus disesuaikan agar selalu berada dalam jangkauan kemampuan serta keterbatasan manusia. Dengan demikian, setiap perancangan kerja harus disesuaikan dengan faktor manusianya dimana dimensi fisik dan fungsi harus mengikuti karakteristik dari manusia yang akan menggunakan sistem kerja tersebut. 2.3.3 Bidang Kajian Ergonomi. Pada berbagai sumber literatur, bidang kajian Ergonomi tidak berbeda secara signifikan, perbedaan hanya menyangkut pengelompokan bidang kajian. Pengelompokan bidang kajian yang lengkap dan mencakup seluruh prilaku manusia dalam bekerja adalah kajian Ergonomi yang dikelompokkan oleh Dr. Ir.Iftikar Z. Sutalaksana sebagai berikut : 1. Anthropometri Anthropometri adalah cabang ergonomi yang mengkaji masalah dimensi tubuh manusia, Informansi dimensi tubuh manusia diperlukan untuk merancang sistem kerja yang ergonomis. Data Anthropometri selalu berbeda untuk setiap individu. Perbedaan itu merupakan suatu kodrat bahwa tidak ada manusia yang sama dalam segala hal. 2. Faal Kerja Perilaku manusia yang dibahas dalam Faal kerja adalah reaksi tubuh selama bekerja, khususnya mengenai energi yang dikeluarkannya. Hal-hal yang banyak dibahas dalam Faal kerja manusia adalah kelelahan (fatique) kerja otot.

19

3. Biomekanika Kerja Biomekanika kerja mengkaji perilaku manusia dalam aspek-aspek mekanika gerakan. Objek penelitian sehubungan dengan masalah biomekanika ini adalah kekuatan kerja otot, kecepatan dan ketelitian gerak anggota badan, serta daya tahan jaringan-jaringan tubuh terhadap beban. 4. Penginderaan Manusia pada dasarnya memiliki lima indera utama, yaitu indera penglihatan (mata), indera pendengaran (telinga), indera penciuman (hidung), indera perasa (kulit), serta indera perasa (lidah). Dalam ergonomi, penglihatan dan pendengaran dikaji untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan indera tersebut dalam merespon informasi dari sitem kerja. 5. Psikologi Kerja Psikologi kerja membahas masalah-masalah kejiwaan yang ditemukan ditempat kerja, yakni menyangkut faktor diri manusia, termasuk didalamnya: kebiasaan, jenis kelamin, usia, sifat dan kepribadian, sistem nilai, karakteristik fisik, minat, motivasi, pendidikan, pengalaman dan sebagainya. Masalah faktor diri ini dikaji sebagai bagian dari ergonomi Karena pada setiap individu manusia terdapat faktor diri yang khas sebagai bawaan lahir. Ketidakcocokan seorang pekerja dan tuntunan pekerjaan yang dihadapinya dapat menimbulkan tekanan (stress) dan rendahnya motivasi untuk bekerja, sehingga mengakibatkan rendahnya produktivitas yang dihasilkan. 2.4 Rapid Entire Body Assessment (REBA) Rapid Entire Body Assessment (REBA) adalah sebuah metode yanng dikembangkan dalam bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai postur kerja

20

atau postur leher, punggung, lengan, pergelangan tangan dan kaki seorang pekerja. Selain itu metode inni juga dipengaruhi oleh faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktivitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adana penguragan resiko yang diakibatkan postur kerja seseorang.8 Teknologi ergonomitersebut mengevaluasi postur, kekuatan, aktivitas dan faktor coupling yang menimbulkan cidera akibat aktivitas yang berulang-ulang. Penilaian postur kerja dengan metode ii dengan cara pemberian skor resiko antara astu sampai lima belas, yang mana skor tertinggi menandakan level yang mengakibatkan resiko ang besar (bahaya) untuk dilakukan dalam bekerja. Hal ini berarti bahwa skor terendah akan menjamin pekerjaan yang diteliti bebas dari ergonomic hazard. REBA dikembangkan untuk mendeteksi postur kerja yang berisiko dalam melakukan perbaikan sesegera mungkin. Pemeriksaan REBA dapat dilakukan di tempat yang terbatas tanpa mengganggu pekerja. Pengembangan REBA terjadi dalam empat tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data postur pekerja dengn menggunakan bantuan video atau foto, tahap kedua adalah penentuan sudut-sudut dari bagian tubeh pekerja, tahap ketiga adalah penentuan berat benda yang diangkat, penentuan coupling, dan penentuan aktivitas pekerja, tahap keempat adalah perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan. REBA tersebut digunakan untuk mengetahui level resiko dan kebutuhan akan tindakan yang perlu dilakukan untuk perbaikan kerja. Penilaian menggunakan metode REBA yang

8

Hignett, S., & McAtamney, L. Rapid Entire Body Assessment (REBA). Applied Ergonomic, 2000.

21

telah dilakukan oleh Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn McAttamney melalui tahapantahapan sebagai berikut : 1. Tahap 1 : Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan video atau foto. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher, punggung, lengan , pergelangan tangan hingga kaki, dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini dilakukan agar peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail, sehingga dari hasil rekaman atau hasil foto bisa didapatkan data akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya. 2. Tahap 2 : Penentuan sudut-sudut dari bagian tubuh pekerja. Setelah didapatkan hasil rekaman atau foto postur tubuh dari pekerja dilakukan perhitungan besar sudut dari masing-masing segmen tubuh yang meliputi punggung, leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki. Pada metode REBA segmen-segmen tubuh tersebut dibagi menjadi dua grup, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung, leher dan kaki, dan grup B meliputi lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Dari data sudut segmen tubuh pada masing-masing grup dapat diketahui skornya, kemudian dengan skor tersebut digunakan untuk melihat tabel A untuk grup A dan tabel B untuk grup B agar diperoleh skor untuk masing-masing tabel. Pergerakan punggung dapat ditunjukkan pada gambar 2.2 berikut ini :

Gambar 2.2 Pergerakan punggung Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

22

Dari gambar 2.2 diatas, skor pergerakan punggung dapat dilihat pada tabel 2.1 sebagai berikut : Tabel. 2.1 Skor pergerakan punggung Pergerakan Skor Tegak

Perubahan Skor

1

0° - 20° Flexion 0° - 20° Extension 20° - 60° Flexion

2 +1 jika memutar atau ke samping 3

>20° Extension

>60° Flexion 4 Sumber : McAtamney dan Hignett, 2000

Dari tabel 2.1 diketahui bahwa, pada posisi tegak skor yang didapat adalah 1, pada pergerakan dengan sudut 0°- 20° memungkuk ke depan atau kebelakang mendapat skor 2, pada pergerakan dengan sudut 20°- 60° membungkuk ke depan dan >20° ke belakang mendapat skor 3, dan > 60° ke membungkuk ke depan mendapatkan skor 4. Adapun perubahan skor +1 jika punggung memutar atau ke samping. Pergerakan leher dapat ditunjukkan pada gambar 2.3 berikut ini :

Gambar 2.3 Pergerakan leher Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Dari gambar 2.3 diatas, skor pergerakan punggung dapat dilihat pada tabel 2.2 sebagai berikut : Tabel 2.2 Skor pergerakan leher Pergerakan

Skor

Perubahan Skor

0° - 20° Flexion

1

>20° Flexion atau Extension

2

+1 jika memutar atau miring kesamping

Sumber : McAtamney dan Hignett, 2000

23

Pada tabel 2.2 diketahui bahwa, pada posisi leher dengan sudut 0°- 20° menunduk ke depan mendapat skor 1, jika >20° ke depan atau ke belakang mendapat skor 2, dan ada perubahan skor +1, jika leher memutar atau miring ke samping. Pergerakan kaki dapat ditunnjukkan pada gambar 2.4 berikut ini :

Gambar 2.4 Pergerakan kaki Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Dari gambar 2.4 diatas, skor pergerakan kaki dapat dilihat pada tabel 2.3 sebagai berikut : Tabel 2.3 Skor pergerakan kaki Pergerakan Kaki tertopang, bobot tersebar merata, jalan atau duduk Kaki tidak tertopang, bobot tersebar merata/postur tidak stabil Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Skor

Perubahan Skor

1

+1 jika lutut antara 30° dan 60° flexion , +2 jika lutut >60° flexion (tidak ketika duduk)

2

Pada tabel 2.3 diketahui bahwa, pergerakan kaki bertopang, bobot tersebar merata, jalan atau duduk mendapatkan skor 1, jika kaki tidak bertopang, bobot terseba merata atau postur tidak stabil mendapatkan skor 2, menambahan skor +1 jika lutut antara 30°-60° menekuk ke depan, dan +2 jika lutut >60° menekuk ke depan, tidak berlaku ketika duduk.

24

Pergerakan lengan atas dapat ditunjukkan pada gambar 2.5 berikut ini :

Gambar 2.5 Pergerakan lengan atas Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Dari gambar 2.5 diatas, skor pergerakan lengan atas dapat dilihat pada tabel 2.4 sebagai berikut : Tabel 2.4 Skor pergerakan lengan atas Pergerakan

Skor

20° Extension - 20° Flexion

1

>20° Extension 2 20° - 45° Flexion 45° - 90° Flexion

3

>90° Flexion

4

Perubahan Skor +1 jika posisi lengan: adducted, rotated, jika bahu ditinggikan, jika bersandar, obot lengan ditopang atau sesuai gravitasi

Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Pada tabel 2.4 diketahui bahwa pergerakan dengan besar sudut 20° ke belakang sampai 20° ke depan mendapatkan skor 1, jika pergerakan dengan sudut >20° ke belakang dan besar sudut 20°- 45° ke depan mendapatkan skor 3, jika pergerakan membentuk sudut 45° – 90° ke depan menghasilkan skor 3, jika pergerakan dengan sudut >90° ke depan mendapatkan skor 4, dan penambahan skor +1 terjadi jika posisi lengan pada posisi adducted ataupun rotated, jika bau ditinggikan, dan jika bersandar atau bobot lengan ditopang atau sesuai gravitasi.

25

Pergerakan lengan bawah dapat ditunjukkan pada gambar 2.6 berikut ini :

Gambar 2.6 Pergerakan lengan bawah Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Dari gambar 2.6 diatas, skor pergerakan lengan bawah dapat dilihat pada tabel 2.5 sebagai berikut : Tabel 2.5 Skor pergerakan lengan bawah Pergerakan

Skor

60° - 100° Flexion

1

<60° Flexion atau >100° Flexion

2

Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Tabel pada 2.5 diketahui bahwa, jika pergerakan lengan bawah membentuk sudut 60°-100° mendapatkan skor 1, dan jika membentuk sudut <60° atau >100° ke depan mendapatkan skor 2. Pergerakan pergelangan tangan dapat ditunjukkan pada gambar 2.7 berikut ini :

Gambar 2.7 Pergerakan pergelangan tangan Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Dari gambar 2.7 diatas, skor pergerakan pergerlangan tangan dapat dilihat pada tabel 2.6 sebagai berikut :

26

Tabel 2.6 Skor pergerakan pergelangan tangan Pergerakan Skor

Perubahan Skor

0° - 15° Flexion atau Extension

1

+1 jika pergelangan tangan menimpa

>15° Flexion atau Extension

2

atau berputar

Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Dari tabel 2.6 diketahui bahwa, jika pergerakan membenuk 0°-15° ke depan atau ke belakang mendapatkan skor 1, jika membentuk sudut >15° k depan atau ke belakang mendapatkan skor 2, dan penambahan skor +1 jika pergelangan tangan menimpa atau berputar. Grup A meliputi punggung, leher dan kaki. Hasil penilaian dari pergerakan punggung, leher dan kaki kemudian digunakan untuk menentukan skor A dengan menggunakan tabel 2.7 berikut ini Tabel 2.7 Tabel A Leher 1

Table A

2

3

Kaki

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

1

2

3

4

1

2

3

4

3

3

5

6

2

2

3

4

5

3

4

5

6

4

5

6

7

3

2

4

5

6

4

5

6

7

5

6

7

8

4

3

5

6

7

5

6

7

8

6

7

8

9

5 4 6 Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

7

8

6

7

8

9

7

8

9

9

Punggung

Sementara grup B meliputi lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Hasil penilaian dari pergerakan lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan kemudian digunakan untuk menentukan skor B dengan menggunakan tabel 2.8 sebagai berikut.

27

Tabel 2.8 Tabel B Lengan Bawah 1

Table B

2

3

Pergelangan Tangan

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

1

2

3

4

1

2

3

4

3

3

5

6

2

2

3

4

5

3

4

5

6

4

5

6

7

3

2

4

5

6

4

5

6

7

5

6

7

8

4

3

5

6

7

5

6

7

8

6

7

8

9

4

6

7

8

6

7

8

9

7

8

9

9

Lengan Atas

5 Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Hasil skor yang diperoleh dari Tabel A dan Tabel B digunakan untuk melihat Tabel C sehingga didapatkan skor dari Tabel C, dapat dilihat dari tabel 2.9 dibawah ini Tabel 2.9 Tabel C Tabel C Skor A

Skor B 1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

1

1

1

1

2

3

3

4

5

6

7

7

7

2

1

2

2

3

4

4

5

6

6

7

7

8

3

2

3

3

3

4

5

6

7

7

8

8

8

4

3

4

4

4

5

6

7

8

8

9

9

9

5

4

4

4

5

6

7

8

8

9

9

9

9

6

6

6

6

7

8

8

9

9

10

10

10

10

7

7

7

7

8

9

9

9

10

10

11

11

11

8

8

8

8

9

10

10

10

10

10

11

11

11

9

9

9

9

10

10

10

11

11

11

12

12

12

10

10

10

10

11

11

11

11

12

12

12

12

12

11

11

11

11

11

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

3. Tahap 3 : Penentuan berat benda yang diangkat, coupling dan aktivitas pekerja. Selain skoring pada masing-masing segemen tubuh, faktor lain yang perlu

28

disertakan adalah berat beban yang diangkat, coupling dan aktivitas pekerjanya. Masing-masing faktor tersebut juga mempunyai kategori skor. Besarnya skor berat beban yang diangkat dapat ditunjukkan seperti pada tabel 2.10 dibawah ini. Tabel 2.10 Skor berat beban Berat Beban

Skor

Perubahan Skor

<5 kg

0

+1 Penambahan beban yang

5 - 10 kg

1

secara tiba-tiba atau secara

>10kg

2

cepat

Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Dari tabel 2.10, diketahui bahwa jika berat beban <5 kg mendapatkan skor 0, jika berat beban 5 – 10 kg mendapatkan skor 1, jika berat beban >10 kg mendapatkan skor 2, dan pembahan skor +1 jika penambahan beban yang secara tiba-tiba atau secara cepat.

Besarnya skor coupling dapat ditunjukkan seperti pada tabel 2.11 di bawah ini. Tabel 2.11 Skor coupling Coupling

Skor

Keterangan

0

Good

1

Fair

2

Poor

3

Unaccepttable

Pegangan pas dan kuat ditengah, genggaman kuat Pegangan tangan bisa diterima tapi tidak ideal atau coupling lebih sesuai digunakan oleh bagian lain dari tubuh Pegangan tangan tidak bisa diterima walaupun memungkinkan Dipaksakan, genggaman yang tidak aman, tanpa pegangan, coupling tidak sesuai digunakan oleh tubuh Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

29

Dari tabel 2.11 diketahui bahwa, jika pegangan pas dan kuat ditengah, genggaman kuat mendapatkan skor 0 yang artinya Good (Baik), jika pegangan tangan bisa diterima tapi tidak ideal atau coupling lebih sesuai digunakan oleh bagian lain dari tubuh mendapatkan skor 1 yang artinya Fair (Cukup), jika pegangan tangan tidak bisa diterima walaupun memungkinkan mendapatkan skor 2 yang artinya Poor (Lemah), dan jika dipaksakan, genggaman yang tidak aman, tanpa pegangan, coupling tidak sesuai digunakan oleh tubuh mendapatkan skor 3 yang artinya Unacceptable (Tidak dapat diterima).

Sementara itu besarnya skor aktivitas dapat ditunjukkan seperti pada tabel 2.12. Tabel 2.12 Skor Aktivitas Aktivitas

Skor

1 atau lebih bagian tubuh statis, ditahan lebih dari satu menit

+1

Pengulangan gerakan dalam rentang waktu singkt, diulang lebih dari +2 4 kali permenit (tidak termasuk berjalan) Gerakan menyebabkan perubahan atas pergeseran postur yang cepat +3 dari posisi awal Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Untuk Skor Aktivitas dapat dilihat dari tabel 2.12, jika aktivitas dengan 1 atau lebih bagian tubuh statis, ditahan lebih dari satu menit mendapatkan skor +1, jika tejadi pengulangan gerakan dalam rentang waktu singkt, diulang lebih dari 4 kali permenit (tidak termasuk berjalan) mendapatkan skor +2, dan jika gerakan menyebabkan perubahan atas pergeseran postur yang cepat dari posisi awal mendapatkan skor +3.

30

4. Tahap 4 : Perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan. Setelah didapatkan skor dari Tabel A kemudian dijumlahkan dengan skor untuk berat beban yang diangkat sehingg didapatkan nilai bagian A. Sementara skor dari Tabel B dijumlahkan dengann skor dari tabel coupling sehingga didapatkan nilai bagian C dari Tabel C yang ada. Nilai REBA didapatkan dari hasil penjumlahan nilai bagian activitas pekerja. Nilai REBA tersebut dapat diketahui level resiko pada muckuloskeletal disorders dan tindakan yang perlu dilakukan untuk mengurangi resiko serta perbaikan kerja. Lebih jelasnya, alur cara kerja dengan menggunkan metode REBA dapat dilihat pada gambar 2.8 sebagai berikut.

Gambar 2.8 Skor REBA Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Level resiko yang terjadi dapat diketahui berdasarkan nilai REBA. Level resiko dan tindakan yang harus dilakukan dapat dilihat pada tabel 2.13 berikut ini.

31

Tabel 2.13 Pengkategorian Skor REBA Action Level Skor REBA

Level Resiko

Tindakan Perbaikan

0

1

Bisa Diabaikan

Tidak Perlu

1

2-3

Rendah

Mungkin Perlu

2

3-7

Sedang

Perlu

3

8-10

Tinggi

Perlu Segera

4

11+

Sangat Tinggi

Perlu saat ini juga

Sumber : McAttamney dan Hignett, 2000

Pada tabel 2.13 yang merupakan tabel resiko di atas dapat diketahui dengan nilai REBA yang didapatkan dari hasil perhitungan sebelumnya dapat diketahui level resiko yang terjadi dan perlu atau tidaknya tindakan dilakukan untuk perbaikan. Perbaikan kerja yang mungkin dilakukan antara lain berupa perancangan ulang peralatan kerja berdasarkan prinsip-prinsip ergonomi. 2.5 Ketinggian Kerja Optimal Pekerjaan tidak selalu dilakukan dengan duduk, banyak para pekerja yang melakukannya dengan berdiri. Tinggi meja ditentukan berdasarkan beban yang dikerjakan. Dapat dilihat dari gambar 2.9 dibawah ini.

Gambar 2.9 Optimal working heights Sumber : Noor Fitrihana, 2008

32

Dari gambar 2.9 dapat dilihat bahwa tinggi meja yang biasa digunakan adalah pada siku tinggi diukur dengan lengan atas dalam posisi netral. Untuk pekerjaan berat, tinggi meja diantara tinggu siku dan tingi pinggang. Untuk pekerjaan ringan, tinggi meja disekitar tinggi siku. Dan untuk pekerjaan presisi atau yang harus dengan ketelitian, tinggi meja yaitu sekitar 5cm/2 inchi di atas tinggi siku. 2.6 Anthropometri 2.6.1 Definisi Anthropometri. Menurut Sritomo Wignjosoebroto (2003) dalam bukunya istilah antropometri berasal dari "anthro" yang berarti manusia dan "metri" yang berarti ukuran. Secara definitif antropometri dapat dinyatakan sebagai satu studi yang berkaitan dengan pengukurandimensi tubuh manusia. Manusia pada dasarnya akan memiliki bentuk, ukuran (tinggi, lebar dsb.) berat dan lain-lain. Yang berbeda satu dengan yang lainnya. Antropometri secara luasakan digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan ergonomis dalam proses perancangan (desain) produk maupun sistem kerja yang akan memerlukan interaksimanusia. Data antropometri yang berhasil diperoleh akan diaplikasikan secara luas antara lain dalam hal : 1. Perancangan areal kerja (work station, interior mobil, dll ). 2. Perancangan peralatan kerja seperti mesin, equipment, perkakas (tools) dan sebagainya. 3. Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi/meja, dll. 4. Perancangan lingkungan kerja fisik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data antropometri akan menentukan bentuk, ukuran dan dimensi yang tepat yang berkaitan dengan produk yang

33

dirancang dan manusia yang akan mengoperasikan / menggunakan produk tersebut. Dalam kaitan ini maka perancangan produk harus mampu mengakomodasikan

dimensi

tubuh

dari

populasi

terbesar

yang

akan

menggunakan produk hasil rancangannya tersebut. Secara umum sekurang kurangnya 90% - 95% dari populasi yang menjadi target dalam kelompok pemakai suatu produk haruslah mampu menggunakannya dengan selayaknya. 2.6.2 Data Anthropometri dan Cara Pengukurannya. Manusia pada umumnya akan berbeda – beda dalam hal bentuk dan dimensi ukuran tubuhnya. Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi ukuran tubuh manusia , yaitu (Stevenson, 1989; Nurmianto, 2004) : 1. Umur Secara umum dimensi tubuh manusia akan tumbuh dan bertambah besar seiring dengan bertambahnya umur yaitu sejak awal kelahiran sampai dengan umur sekitar 20 tahunan. Dari suatu penelitian ysng dilakukan oleh A. F. Roche dan G. H. Davila (1972) di USA diperoleh kesimpulan bahwa laki-laki akan tumbuh dan berkembang naik sampai dengan usia 21,2 tahun, sedangkan wanita 17,3 tahun. Meskipun ada 10 % yang masih terus bertambah tinggi sampai usia 23,5 tahun (laki-laki) dan 21,1 tahun (wanita). Setelah itu, tidak lagi akan terjadi pertumbuhan bahkan justru akan cenderung berubah menjadi pertumbuhan menurun ataupun penyusutan yang dimulai sekitar umur 40 tahunan (Wignjosoebroto, 2003). 2. Jenis kelamin (sex) Dimensi ukuran tubuh laki-laki umumnya akan lebih besar dibandingkan dengan wanita, terkecuali untuk beberapa bagian tubuh tertentu seperti pinggul, dan sebagainya.

34

3. Suku bangsa (etnic) Setiap suku bangsa ataupun kelompok etnic akan memiliki karakteristik fisik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dimensi tubuh suku bangsa Negara Barat pada umumnya mempunyai ukuran yang lebih besar daripada dimensi tubuh suku bangsa negara Timur. 4. Keacakan / Random. Hal ini menjelaskan bahwa walaupun telah terdapat dalam satu kelompok populasi yang sudah jelas sama jenis kelamin, suku atau bangsa, kelompok usia dan pekerjaannya, namun masih akan ada perbedaan yang cukup signifikan antara berbagai macam masyarakat. 5. Jenis Pekerjaan. Beberapa jenis pekerjaan tertentu menuntut adanya persyaratan dalam seleksi karyawan. Misalnya, buruh dermaga harus mempunyai postur tubuh yang relatif lebih besar dibandingkan dengan karyawan perkantoran pada umumnya. Apalagi jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan militer. 6. Pakaian. Tebal tipisnya pakaian yang dikenakan, dimana faktor iklim yang berbeda akan memberikan varisi berbeda-beda pula dalam bentuk rancangan dan spesifikasi pakaian. Dengan demikian dimensi tubuh orangpun akan berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lainnya. 7. Faktor Kehamilan. Kondisi semacam ini akan mempengaruhi bentuk dan ukuran tubuh khususnya bagi perempuan. Hal tersebut jelas memerlukan perhatian khusus terhadap produk-produk yang dirancang bagi segmen seperti ini.

35

8. Tubuh Cacat. Hal ini jelas menyebabkan perbedaan antara yang cacat dengan yang tidak terhadap ukuran dimensi tubuh manusia. Posisi tubuh (posture). Sikap ataupun posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh oleh karena itu harus posisi tubuh standar harus diterapkan untuk survei pengukuran. Berkaitan dengan posisi tubuh manusia dikenal dua cara pengukuran, yaitu: 1. Antropometri Statis (Structural Body Dimensions). Disini tubuh diukur dalam berbagai posisi standard dan tidak bergerak (tetap tegak sempurna). Dimensi tubuh yang diukur meliputi berat badan, tinggi tubuh, dalam posisi berdiri, maupun duduk, ukuran kepala, tinggi/panjang lutut, pada saat berdiri/duduk, panjang lengan, dan sebagainya. 2. Antropometri Dinamis (Functional Body Dimensions). Disini pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat berfungsi melakukan gerakan-gerakan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan yang harus diselesaikan (Wignjosoebroto, 2003) . Selanjutnya untuk memperjelas mengenai data antropometri yang tepat diaplikasikan dalam berbagai rancangan produk ataupun fasilitas kerja diperlukan pengambilan ukuran dimensi anggota tubuh. Penjelasan mengenai pengukuran dimensi antropometri tubuh yang diperlukan dalam perancangan dijelaskan pada gambar 2.10 sampai gambar 2.18 dibawah ini.

36

Gambar 2.10 Dimensi Tubuh Manusia D1 sampai dengan D4 Sumber: Antropometri Indonesia (2014)

Dari gambar 2.10 di ketahui D1; Dimensi Tinggi Tubuh berdiri yang diukur dari atas kepala sampai telapak kaki, D2; Dimensi Tinggi Mata yang diukur dari telapak kaki sampai mata saat berdiri, D3; Dimensi Tinggi Bahu yang diukur dari telapak kaki sampai leher saat berdiri, dan D4; Dimensi Tinggi Siku yang diukur dari telapak kaki hinggi siku saat keadaan berdiri.

Gambar 2.11 Dimensi Tubuh Manusia D5 sampai dengan D8 Sumber: Antropometri Indonesia (2014)

Dari gambar 2.11 di ketahui D5; Dimensi Tinggi pinggul berdiri yang diukur dari pinggul sampai telapak kaki, D6; Dimensi Tinggi Tulang Ruas yang diukur dari telapak kaki sampai tulang ruas saat berdiri, D7; Dimensi Tinggi Ujung Jari yang diukur dari telapak kaki sampai ujung jari saat berdiri, dan D8; Dimensi Tinggi yang diukur dari atas kepala saat posisi duduk.

37

Gambar 2.12 Dimensi Tubuh Manusia D9 sampai dengan D12 Sumber: Antropometri Indonesia (2014)

Dari gambar 2.12 di ketahui D9; Dimensi Tinggi Mata yang diukur dari mata saat posisi duduk, D10; Dimensi Tinggi Bahu yang diukur dari bahu saat posisi duduk, D11; Dimensi Tinggi siku yang diukur dari siku saat posisi duduk, dan D12; Dimensi Tebal Paha yang diukur pada posisi duduk.

Gambar 2.13 Dimensi Tubuh Manusia D13 sampai dengan D16 Sumber: Antropometri Indonesia (2014)

Dari gambar 2.13 diketahui bahwa D13; Dimensi Panjang Lutut yang diukur dari ujung lutut sampai bagian belakang saat posisi duduk, D14; Dimensi Panjang Popliteal yang diukur dari dalam betis sampai bagian belakang saat posisi duduk, D15; Dimensi Tinggi Lutut yang diukur dari atas lutut sampai telapak kaki saat posisi duduk, dan D16; Dimensi Tinggi Popteal yang diukur dari bawah paha sampai telapak kaki saat posisi duduk.

38

Gambar 2.14 Dimensi Tubuh Manusia D17 sampai dengan D20 Sumber: Antropometri Indonesia (2014)

Dari gambar 2.14 diketahui bahwa D17; Dimensi Lebar Sisi Bahu yang diukur dari ujung bahu sebelah kanan sampai ujung bahu sebelah kiri saat posisi duduk, D18; Dimensi Lebar Bahu Bagian Atas yang diukur dari atas bahu sebelah kanan sampai atas bahu sebelah kiri saat posisi duduk, D19; Dimensi Lebar Pinggul saat posisi duduk, dan D16; Dimensi Tebal Dada saat posisi duduk.

Gambar 2.15 Dimensi Tubuh Manusia D21 sampai dengan D24 Sumber: Antropometri Indonesia (2014)

Dari gambar 2.15 diketahui bahwa D21; Dimensi Tebal Perut yang diukur dari perut sampai bagian belakang perut pada posisi duduk, D22; Dimensi Panjang Lengan Atas yang diuku dari atas bahu sampai siku dalam posisi duduk, D23; Dimensi Panjang Lengan Bawah diukur dari suku sampai ujung jari pada posisi duduk , dan D24; Dimensi Panjang Rentang Tangan ke depan diukur dari atas bahu sampai ujun jari pada posisi berdiri

39

Gambar 2.16 Dimensi Tubuh Manusia D25 sampai dengan D28 Sumber: Antropometri Indonesia (2014)

Dari gambar 2.16 diketahui bahwa D25; Dimensi Panjang Bahu Genggaman Tangan ke depan diukur dari bawah bahu sampai telapak tangan dalam posisi berdiri, D26; Dimensi Panjang Kepala yang diukur dari dahi hingga kepala belakang saat posisi duduk, D27; Dimensi Lebar Kepala yang diukur dari kepala sisi kanan sampai kepala sisi kiri, dan D28; Dimensi Panjang Tangan yang diukur dari pergelangan tangan hingga ujung jari tengah.

Gambar 2.17 Dimensi Tubuh Manusia D29 sampai dengan D32 Sumber: Antropometri Indonesia (2014)

Dari gambar 2.17 diketahui bahwa D29; Dimensi Lebar Tangan diukur lebar telapak tangan, D30; Dimensi Panjang Kaki yang diukur dari ujung jari kaki sampai belakang telapak kaki, D31; Dimensi Lebar Kaki yang diukur lebar dari telapak kaki, dan D32; Dimensi Panjang Rentangan Tangan ke samping yang diukur dari ujung jari tengah tangan kanan sampai ujung jari tengah tangan kiri dalam keadaan tangan di rentangkan.

40

Gambar 2.18 Dimensi Tubuh Manusia D33 sampai dengan D36 Sumber: Antropometri Indonesia (2014)

Dari gambar 2.18 diketahui bahwa, D33; Dimensi Panjang Rentangan Siku yang diukur dari siku tangan kanan sampai siku tangan kiri, D34; Dimensi Tinggi Genggaman Tangan ke atas dalam posisi berdiri yang diukur dari telapak tangan hingga telapak kaki saat posisi berdiri, D35; Dimensi Tinggi Genggaman Tangan ke atas dalam posisi duduk yang diukur dari telapak tangan sampai bawah bokong pada posisi duduk, dan D36; Dimensi Panjang Genggaman Tangan ke depan yang diukur dari sisi belakang tubuh hingga telapak tangan. 2.6.3 Uji Keseragaman Data. Tes keseragaman data secara visual dilakukan secara sederhana mudah dan cepat. Di sini kita hanya sekedar melihat data yang terkumpul dan seterusnya mengidentifikasikan data yang telalu “ekstrim”. Yang dimaksudkan dengan data ekstrim disini ialah data yang terlalu besar atau terlalu kecil dan jauh menyimpang dari trend rata-ratanya. Data yang terlalu ekstrim ini sewajarnya kita buang jauh-jauh dan tidak dimasukkan dalam perhitungan selanjutnya. Langkah pertama dalam uji keseragaman data yaitu menghitung besarnya ratarata dari setiap hasil pengamatan, dengan persamaan berikut : x

..................................................................................... Persamaan 2.1

41

Dimana: x = Rata-rata data hasil pengamatan. Xi = Jumlah Data hasil pengukuran. n = Banyak Jumlah Pengamatan Langkah kedua adalah menghitung deviasi standar dengan persamaan berikut:

σ

=



x

........................................................................ Persamaan 2.2

Dimana:

= Standar deviasi n = Banyaknya jumlah pengamatan. xi = Data hasil pengukuran Langkah ketiga adalah menentukan batas kontrol atas (BKA) dan batas kontrolbawah (BKB) yang digunakan sebagai pembatas dibuangnya data ektrim dengan menggunakan persamaan 2.3 dan 2.4 berikut : BKA = x + k......................................................................... Persamaan 2.3 BKB = x - k.......................................................................... Persamaan 2.4 Dimana: x = Rata-rata data hasil pengamatan.

= Standar deviasi dari populasi. k = Koefisien indeks tingkat kepercayaan, yaitu: Tingkat kepercayaan 0 % - 68 % harga k adalah 1. Tingkat kepercayaan 69 % - 95 % harga k adalah 2. Tingkat kepercayaan 96 % - 100 % harga k adalah 3.

42

2.6.4 Uji Kecukupan Data Analisis kecukupan data dilakukan dengan tujuan untuk menguji apakah data yang diambil sudah mencukupi denganmengetahui besarnya nilai N’. Apabila N’ < N maka data pengukuran dianggap cukup sehingga tidak perlu dilakukan pengambilan data lagi. Sedangkan jika N’ > N maka data dianggap masih kurang sehingga diperlukan pengambilan data kembali. Adapun tahapan dalam uji kecukupan data adalah sebagai berikut : 1. Menentukan Tingkat Ketelitian dan Tingkat Keyakinan. Tingkat ketelitian menunjukan penyimpangan maksimum hasil pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Hal ini biasanya dinyatakan dalam persen. Sedangkan tingkat keyakinan atau kepercayaan menunjukan besarnya keyakinan atau kepercayaan pengukuran bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat tadi. Ini pun dinyatakan dalam persen. Jadi tingkat ketelitian 5% dan tingkat keyakinan 95% memberi arti bahwa pengukuran membolehkan rata-rata hasil pengukuranya menyimpang sejauh 5% dari ratarata sebenarnya dan kemungkinan berhasil mendapatkan hal ini adalah 95%. Atau dengan kata lain berate bahwa sekurang-kurangnya 95 dari 100 harga rata-rata dari sesuatu yang diukur akan memiliki peyimpangan tidak lebih dari 5%. 2. Pengujian Kecukupan Data. Rumus pengujian kecukupan data, sebagai berikut:

(





) ......................................... Persamaan 2.5

Dimana: N’ = Jumlah pengamatan yang seharusnya dilakukan.

43

x = Data hasil pengukuran. s = Tingkat ketelitian yang dikehendaki (dinyatakan dalam desimal). k = Harga indeks tingkat kepercayaan, yaitu: Tingkat kepercayaan 0 % - 68 % harga k adalah 1 Tingkat kepercayaan 69 % - 95 % harga k adalah 2 Tingkat kepercayaan 96 % - 100 % harga k adalah 3 Setelah mendapatkan nilai N’ maka dapat diambil kesimpulan apabila N’ N maka data belum mencukupi dan perlu dilakukan pengambilan data lagi. 2.6.5 Penetapan Persentil Data anthropometri diperlukan agar supaya rancangan suatu produk bisa sesuai dengan orang yang akan mengoperasikannya. Ukuran tubuh yang diperlukan pada hakekatnya tidak sulit diperoleh dari pengukuran secara individual. Adanya variansi ukuran sebenarnya akan lebih mudah diatasi bilamana kita mampu merancang produk yang memiliki fleksibilitas dan sifat mampu suai9 dengan suatu ukuran tertentu. Pada penetapan data anthropometri, pemakaian distribusi normal akan umum diterapkan. Distribusi normal dapat diformulasikan berdasarkan harga rata-rata dan simpangan standarnya dari data yang ada. Berdasarkan nilai yang ada tersebut, maka persentil (nilai yang menunjukkan persentase tertentu dari orang yang memiliki ukuran pada atau di bawah nilai tersebut) bisa ditetapkan sesuai tabel probabilitas distribusi normal. Bilamana diharapkan ukuran yang mampu 9

Memperbaiki kekurangan pada meja kerja lama serta menambah fungsi. (Yuli Pratiwi, 2009)

44

mengakomodasikan 95% dari populasi yang ada, maka diambil rentang 2,5th dan 97,5th percentile sebagai batasbatasnya (Wignjosoebroto, 2008).

Gambar 2.19 Persentil Antropometri Sumber: Antropometri Indonesia (2014)

Menurut Panero dan Zelnik (2003) disamping berbagai variasi, pola umum dari Suatu distribusi data antropometri, seperti juga data-data lain, biasanya daat diduga dan diperkirakan seperti pada distribusi Gaussian10. Distribusi semacam itu, bila disajikan melalui grafik dengan membandingkan kejadian yang muncul terhadap besaran, biasanya berbentuk kurva simetris atau berbentuk lonceng. Ciri umum kurva berbentuk lonceng tersebut adalah besarnya prosentase pada bagian tengah dengan sediki saja perbedaan yang mencolok pada bagian ujung dari skala grafik tersebut. Secara statistik sudah diperlihatkan bahwa data hasil pengukuran tubuh manusia pada berbagai populasi akan terdistribusi dalam grafik sedemikian rupa sehingga data-data yang bernilai kurang lebih sama akan terkumpul di bagian tengah grafik. Sedangkan data-data dengan nilai penyimpangan yang ekstrim akan terletak pada ujung-ujung grafik. Telah disebutkan pula bahwa merancang untuk kepentingan keseluruhan populasi sekaligus merupakan hal yang tidak praktis. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan perancangan dengan tujuan dan data yang 10

Nama lain dari distribusi normal. (Miqbal (2016), 5/7/18 14:56)

45

berasal dari segmen populasi dibagian tengah grafik. Jadi merupakan hal logis untuk mengesampingkan perbedaan yang ekstrim pada bagian ujung grafik dan hanya menggunakan segmen terbesar yaitu 90% dari kelompok populasi tersebut. Adapun distribusi normal ditandai dengan adanya nilai mean (rata-rata) dan SD (standar deviasi). Sedangkan persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih rendah dari nilai tersebut. Misalnya : 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 95 persentil; 5% dari populasi berada sama dengan atau lebih rendah dari 5 persentil. 11 Persentil ke-50 memberi gambaran yang mendekati nilai rata-rata dari suatu kelompok tertentu, namun demikian pengertian ini jangan disalah artikan sama dengan mengatakan bahwa rata-rata orang pada kelompok tersebut memiliki ukuran tubuh yang dimaksudkan tadi. Ada dua hal penting yang harus selalu diingat bila menggunakan persentil. Pertama, persentil anthropometrik dari tiap invidu hanya berlaku untuk satu data dimensi tubuh saja. Kedua, tidak dapat dikatakan seseorang memilki persentil yang sama, ke-95 atau ke-90 atau ke-5, untuk keseluruhan dimensi tubuhnya. 12 Pemakaian nilai-nilai persentil yang umum diaplikasikan dalam perhitungan data anthropometri, ditunjukan dalam tabel 2.14 berikut.

11 12

E. Nurmianto. Ergonomi konsep dasar dan aplikasinya. Surabaya : Guna Widya, 2004. Panero, Julius dan Martin Zelnik. Dimensi Manusia dan Ruang Interior. Jakarta: Erlangga, 2003.

46

Tabel 2.14 Macam Persentil dan Perhitungan dalam Distribusi Normal

Sumber: Wignjosoebroto, 2003

Keterangan tabel 2.14 di atas, yaitu: x = mean data

= standar deviasi dari data x Pada pengolahan data anthropometri yang digunakan adalah data anthropometri hasil pengukuran dimensi tubuh manusia yang berkaitan dengan dimensi dari perancangan fasilitas kerja. Sedangkan pada penentuan dimensi rancangan fasilitas kerja dibutuhkan beberapa persamaan berdasarkan pendekatan anthropometri. Ini berkaitan dengan penentuan penggunaan persentil.

47

Related Documents

Bab Ii 18
August 2019 51
Bab 18
May 2020 31
Bab Ii
November 2019 85
Bab Ii
June 2020 49
Bab Ii
May 2020 47
Bab Ii
July 2020 48

More Documents from ""

002 Pemberitahuan
August 2019 41
Bab I 7
August 2019 38
Bab Ii 18
August 2019 51
Catatan.docx
November 2019 14
Novia Zahroh G41161108.docx
December 2019 48
Asuhan Keperawatan.docx
October 2019 64