Bab I.docx

  • Uploaded by: Teuku Saifol
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,764
  • Pages: 13
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang yang cenderung

mempengaruhi

perilaku

dan

kepribadian

manusia.

Keimanan

sangat

mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual, yang kemudian membentuk kecenderungan prilaku konsumsi di pasar. Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan dan pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin. Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara keinginan (syahwat) dan kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus. Namun manusia harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan konvensional.1 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka penulis dapat mengajukan permasalahan sebagai berikut : 1. Apa Pengertian Kebutuhan? 2. Bagaimanakah konsep islam tentang kebutuhan ? 3. Apa perbedaan antara maslahah versus utilitas ? 4. Bagaimana pengalokasian sumber untuk memenuhi kebutuhan ? 5. Bagaimana konsep pemilihan dalam islam ? 1

Rahmawaty, Anita.. Ekonomi Mikro Islam. ( Kudus: Nora Media Enterprise.2011) h 115

1

6. Hukum Utilitas dan Mashlahah? C. Tujuan Penulisan Berdasarkan uraian dalam rumusan masalah diatas, maka penulis dapat mengajukan tujuan sebagai berikut : 1. Untk Mengetahui Pengertian Kebutuhan 2. Untuk mengetahui konsep islam tentang kebutuhan. 3. Untuk mengetahui perbedaan antara maslahah dengan utilitas. 4. Untuk mengetahui pengalokasian sumber untuk memenuhi kebutuhan. 5. Untuk mengetahui konsep pemilihan dalam islam. 6. Untuk mengetahui Hukum Utilitas dan Mashlahah

2

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Kebutuhan Secara umum yang dimaksud dengan kebutuhan adalah suatu keinginan manusia untuk memperoleh barang dan jasa.Dengan pengertian lain kebutuhan juga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang diperlukan oleh manusia dalam bentuk barang dan jasa untuk mensejahterkan hidupnya.2 Kebutuhan setiap manusia sangat beragam dan tidak terbatas jumlahnya. Karena itu sudah menjadi kodrat atau hakekat dari manusia yang akan selalu merasa kekurangan, tidak akan pernah merasa puas. Setelah salah satu kebutuhannya terpenuhi akan muncul keinginankeinginan lain dalam diri manusia. Menurut Islam semua barang dan jasa yang mempunyai maslahah dikatakan sebagai kebutuhan. Maslahah ialah kepemilikan

atau kekuatan barang/jasa yang mengandung

elemen-elemen dasar dan tujuan kehidupan umat manusia di dunia ini dan perolehan pahala untuk kehidupan akhirat.Jadi tidak hanya kebutuhan akan duniawi saja, dalam Islam suatu kebutuhan itu sejalan dengan tujuan hidup untuk memperoleh pahala guna kehidupan di akhirat. B. Konsep Islam Tentang Kebutuhan3 Menurut Imam al-Ghazali, kebutuhan (hajat) adalah suatu yang dibutuhkan manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya yaitu menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dengan beribadah secara maksimal. Karena ibadah kepada Allah adalah wajib, maka berusaha untuk memenuhi kebutuhan agar kewajiban itu terlaksana dengan baik, hukumnya menjadi wajib juga, sebagaimana kaidah yang berlaku. Menurut Islam, yaitu senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia diciptakan yaitu ibadah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah menghiasi manusia

2 3

Sukirno, Sadono. Mikroekonomi Teori Pengantar. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.2003) h 67 Muhammad.. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. (Yogyakarta: BPFE.2005)h 94

3

dengan hawa nafsu (syahwat), dengan adanya hawa nafsu ini maka muncullah keinginan dalam diri manusia. Allah swt berfirman: Artinya :“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” [QS. Ali Imran: 14] Islam memiliki nilai moral yang ketat dalam memasukkan keinginan dalam motif aktifitas ekonomi. Kebutuhan didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Sementara keinginan didefinisikan sebagai kemauan manusia atas segala hal. Kebutuhan harus lebih diutamakan daripada keinginan. Konsep kebutuhan dalam Islam bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu dikonsumsi akibat motivasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Menurut al-Syathibi, rumusan kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga jenjang, yaitu: 1) Dharuriyat Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kebuthan dharuriyat mencakup: a. Agama (din) b. Kehidupan (nafs) c. Pendidikan (‘aql) d. Keturunan (nasl), dan e. Harta (mal) Untuk memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima pokok yang di atas. Allah swt berfirman : Artinya: 4

“Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 179) Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai. Oleh karena itu hukum syara’ dalam hal ini bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syara’ yang berlatar belakang pemenuhan kebutuhan dharuri adalah “wajib” (menurut jumhur ulama) atau “fhardu” (menurut ulama Hanafiah). Sebaliknya, larangan Allah berkaitan dengan dharuri ini bersifat tegas dan mutlak. Lima kebutuhan dharuriyat (esensial) yang mencakup din, nafs, ‘aql, nasl, dan mal merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bila satu jenis yang sengaja diabaikan, akan menimbulkan ketimpangan dalam hidup manusia. Manusia hanya dapat melangsungkan hidupnya dengan baik jika kelima macam kebutuhan itu terpenuhi dengan baik pula. Inilah kiranya bentuk keseimbangan kebutuhan hidup dan kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. 2) Hajiyat Kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan tersebut tidak terwujudkan, tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan kesulitan itu. Adanya hukum rukhsah (keringinan) adalah sebagai contoh dari kepedulian Syari’at Islam terhadap kebutuhan ini. 3) Tahsiniyat Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan alSyatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak. Jenjang ini merupakan penambahan bentuk kesenangan dan keindahan dharuriyat dan hajiyat. Pembelian merupakan bagian dari keseluruhan perbuatan manusia, yang dilakukan untuk memenuhi kebutahan jasmani (hajatu al-udhawiyah) dan naluri (gharizah) baik berupa sandang, papan, dengan segala kelengkapannya, pangan, sarana transportasi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Semuanya adalah kebutuhan yang telah menjadi potensi kehidupan yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia. 5

Dalam pemasaran, istilah kebutuhan (need) bearti hasrat untuk memenuhi kebutuhan, keinginan adalah hasrat terhadap pemuas spesifik untuk terpenuhinya kebutuhan itu.. Islam, ada kebijakan yang dinamakan politik ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuh-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru, berikutnya, Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebuthan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Islam telah menjamin terpenuhinya hak hidup secara pribadi serta memberikan kesempatan kepada tiap orang tersebut untuk memperoleh kemakmuran hidupnya. Sementara pada saat yang sama, Islam telah membatasi perolehan harta orang tersebut, yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan primer serta kebutuhan sekunder dan tersiernya dengan ketentuan yang khas, termasuk yang menjadikan interaksi orang tersebut sebagai interaksi yang mengikuti gaya hidup yang khas pula. Karenanya, Islam mengharamkan tiap Muslim untuk memproduksi dan mengkonsumsi minuman keras. C. Maslahah Versus Utilitas Teori

ekonomi

konvensional

menjelaskan

utilitas

sebagai

upaya

untuk

menguasai/memiliki barang dan jasa guna memuaskan keinginan manusia.Satisfaction atau kepuasan hanya dapat ditetapkan secara subyektif, sehingga setiap orang dapat menentukan tingkat kepuasannya tergantung pada kriteria yang ia tetapkan sendiri. Semua aktifitas ekonomi, baik itu proses produksi maupun konsumsi, didasari pada semangat utilitas. Namun dalam Ekonomi Islam hanya barang/jasa yang dapat mengembangkan dan menopang maslahahsajalah yang dapat dikategorisasikan sebagai barang/jasa yang mengandung maslahah. Oleh karenanya, dari sudut pandang agama, seorang individu muslim didorong untuk memperoleh atau memproduksi barang/jasa yang mengadung kemaslahatan.

6

Barang/jasa dapat diukur tingkat kemaslahatannya relatif pada kemampuan barang/jasa tersebut untuk mengembangkan maslahah.4 Bagi para ekonom muslim, konsep maslahah lebih obyektif dari pada konsep utilitas untuk menganalisis perilaku para pelaku ekonomi. Meskipun maslahah mungkin akan menyisakan sedikit subyektifitas, namun subyektifitas tersebut tidak membuatnya samar seperti yang terjadi dalam konsep utilitas. Ada tiga alasan mengapa maslahah lebih superior dari pada utilitas, yaitu: 1. Maslahah memang bersifat subyektif, karena setiap individu dapat menentukan sesuatu yang baik/maslahah bagi diri mereka sendiri. Akan tetapi kriteria untuk menentukan maslahah ini lebih jelas dan terarah, dari pada subyektifitas yang ada pada konsep utilitas. Dalam konsep utilitas, alkohol (minuman keras) bisa jadi mengandung utilitas tapi bisa juga tidak, relatif pada individu masing-masing. Namun dalam Ekonomi Islam, karena alkohol tidak mengandung kemaslahatan dan jelas kontradiktif dengan al-kuliyyah al-khamsah maka jelas alkohol tidak akan dikonsumsi. 2. Konflik kepentingan antara kepentingan individu dan kepentingan sosial dapat dihindari, atau setidaknya diminimalisir. Hal ini karena kriteria maslahah antara individu dan sosial dapat disinkronkan, sesuai yang tertuang dalam aturan-aturan syar’i. Dalam pandangan Asad Zaman, perilaku konsumsi muslim terkait dengan tiga hal yaitu, altruisme, penolakan terhadap konsep satiation; dan feeding the poor. 3. Konsep maslahah berlaku pada semua aktifitas ekonomi di masyarakat, baik itu dalam proses produksi dan konsumsi. Berbeda halnya dengan ekonomi konvensional; dimana utilitas adalah tujuan dari konsumsi; sedangkan profit atau keuntungan adalah tujuan dari proses produksi. Dalam ekonomi, utilitas adalah jumlah dari kesenangan atau kepuasan relatif (gratifikasi) yang dicapai. Dengan jumlah ini, seseorang bisa menentukan meningkat atau menurunnya utilitas, dan kemudian menjelaskan kebiasaan ekonomis dalam koridor dari usaha untuk meningkatkan kepuasan seseorang. Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan (utility function) digambarkan oleh kurva indiferen (indifference curve). Biasanya yang digambarkan adalah utility function antara dua barang (atau jasa) yang keduanya memang disukai konsumen. 4

Rahmawaty, Anita.. Ekonomi Mikro Islam. ( Kudus: Nora Media Enterprise.2011) h 122

7

Tujuan

aktifitas

konsumsi

adalah

memaksimalkan

kepuasan

(utility)

dari

mengkonsumsi sekumpulan barang/jasa yang disebut ’consumption bundle’ dengan memanfaatkan seluruh anggaran/ pendapatan yang dimiliki. Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat, kegunaan, kebaikan dan menghindarkan mudharat, kerusakan dan mafsadah. Imam AlGhazali menyimpulkan, maslahah adalah upaya mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Al mashlahah sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam pengembangan ekonomi Islam dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi). Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah) dalam merespon dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah (kemaslahatan umum) merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang dibingkai secara syar’i, bukan semata-mata profit motive dan material rentability sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan kemajuan sains teknologi yang pesat haruslah didasarkan kepada maslahah. Para ulama menyatakan ”di mana ada maslahah, maka di situ ada syariah Allah ”. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di sana ada syariah Allah. Dengan demikian maslahah adalah konsep paling utama dalam syariat Islam. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara' yang paling utama. Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). D. Pengalokasian Sumber Untuk Memenuhi Kebutuhan

8

Sumber daya manusia, disebut juga tenaga kerja (labour). Macam-macam tenaga kerja yaitu ; 1. Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih, contoh buruh rumah tangga 2. Tenaga kerja terdidik dan terlatih, contoh dokter anak 3. Tenaga kerja terlatih, contoh penjahit Unsur pembentuk sumber daya manusia berkualitas, yaitu : 1. Keahlian 2. Kejujuran dan keadilan 3. Kekuatan fisik Sumber daya alam, yaitu segala kekayaan alam didalam maupun diatas permukaan bumi yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran manusia seperti, hutan, laut dll. Sumber daya modal, disebut juga Capital. Macam-macam modal dapat dibedakan menurut beberapa karakteristik sebagai berikut ;5 1. Wujud terdiri dari modal uang dan barang 2. Sifat terdiri dari modal tetap dan modal lancer 3. Subyek terdiri dari modal orang perorangan dan modal kemasyarakatan 4. Bentuk terdiri dari modal konkrit dan modal abstrak 5. Sumber terdiri dari modal sendiri dan modal pmjaman E. Konsep Pemilihan Dalam Komsumsi Bahan makanan dalam konsep gizi seimbang dibagi atas 3 kelompok yaitu: 1. Sumber energi/tenaga

: Padi-padian, umbi-umbian, tepung-tepungan, sagu,

2. Sumber zat Pengatur

: sayur dan buah-buahan

3. Sumber zat pembangun : ikan, ayam, telur, daging, susu, kacang-kacangan dan hasil olahannya seperti tempe, tahu, oncom,susu kedelai. Pengaturan Porsi/jumlah yang dikonsumsi disesuaikan dengan golongan usia, aktifitas, jenis kelamin. Sebagai contoh panduan umum untuk orang dewasa untuk makan dalam 1 hari  sumber tenaga

: 3-5 piring nasi

5

Husain, Abdullah Abdul at-Tariqi, Ekonomi Islam; Prinsip, Dasar dan Tujuan, Yogyakarta Magistra Insani Press, ,2004) hal 34

9

 sumber zat pengatur

: 1 ½ – 2 mangkok sayur, 2-3 potong buah.

 Sumber zat pembangun : 2-3 potong lauk hewani , 3 potong lauk nabati. F. Hukum Utilitas dan Mashlahah6 1. Hukum Penurunan Utilitas Marginal Dalam konsep ilmu ekonomi konvensional dikenal hukum penurunan marginal utilitas(law of diminishing marginal utility). Hukum

Marginal Utilitas : “Hukum ini mengatakan bahwa jika seseorang

mengkonsumsi suatu barang dengan frekuensi yang berulang-ulang, maka nilai tambahan kepuasan dari konsumsi berikutnya akan semakin menurun”. 2. Hukum Mengenai Mashlahah Hukum mengenai penurunan utilitas marginal tidak selamanya berlaku pada mashlahah. Maslahah dalam konsumsi tidak seluruhnya secara langsung dapat dirasakan, terutama mashlahah akhirat atau berkah. Adapun maslahah dunia manfaatnya sudah dapat dirasakan setelah konsumsi. Dalam hal berkah, dengan meningkatkanya frekuensi kegiatan, maka tidak akan ada penurunan berkah karena pahala yang diberikan atas ibadah mahdhah tidak pernah menurun. Sedangkan mashlahah dunia akan meningkat dengan meningkatnya frekuensi kegiatan, namun pada level tertentu akan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan tingkat kebutuhan manusia di dunia adalah terbatas sehingga ketika konsumsi dilakukan berlebih-lebihan, maka akan terjadi penurunan mashlahah duniawi. Dengan demikian, kehadiran mashlahah akan memberi warna dari kegiatan yang dilakukan oleh konsumen mukmin. a) Mashlahah Marginal dari Ibadah Mahdhah Berkah yang diperoleh dari ibadah mahdhah, nilai pahala tetap/tidak akan berkurang dengan semakin tingginya frekuensi melakukan ibadah, sehingga mashlahah totalnya akan meningkat. b) Mashlahah Marginal dari Konsumsi

6

Haroen, Nasrun, , Ushul Fiqh 1, (Jakarta PT Logos Wacana Ilmu, 2001) h. 49

10

Mashlahah marginal dari konsumsi besarnya tergantung kepada jenis konsumsi yang dilakukan, jika dilakukan dengan niat ibadah maka akan mendapatkan manfaat dan berkah sekaligus, tetapi bila tidak hanya akan mendapatkan manfaat saja dan karena adanya berkah maka mashlahah marginal dari konsumsi dengan niat ibadah akan terus meningkat. c) Preferensi terhadap Mashlahah Besarnya mashlahah yang didapat oleh konsumen dipengaruhi oleh tingkat preferensi (preference level) dan tingkat perhatian konsumen (awareness level) kepada mashlahah. Semakin tinggi preferensi dan perhatian konsumen maka semakin besar mashlahah yang akan diperoleh. d) Hukum Penguatan Kegiatan dari Mashlahah Dari kajian preferensi terhadap mashlahah diperoleh bahwa :  Keberadaan berkah akan memperpanjang rentang dari suatu kegiatan konsumsi.  Konsumen yang merasakan adanya mashlahah dan menyukainya akan tetap rela melakukan suatu kegiatan meskipun manfaat dari kegiatan tersebut bagi dirinya sudah tidak ada.

11

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Islam memiliki nilai moral yang ketat dalam memasukkan keinginan dalam motif aktifitas ekonomi. Kebutuhan didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Sementara keinginan didefinisikan sebagai kemauan manusia atas segala hal. Kebutuhan harus lebih diutamakan daripada keinginan. Konsep kebutuhan dalam Islam bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat. Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu dikonsumsi akibat motivasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Menurut al-Syathibi, rumusan kebutuhan manusia dalam Islam terdiri dari tiga jenjang, yaitu:dharuriyat, hajiyat, tahsiniyat. Secara umum, maslahah diartikan sebagai kebaikan (kesejahtraan) dunia dan akhirat. Sedangkan dalam ekonomi, utilitas adalah jumlah dari kesenangan atau kepuasan relatif (gratifikasi) yang dicapai. B. Saran Dalam kehidupan sehari-hari hendaknya kita lebih mengutamakna kebutuhan ketimbang keinginan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup dan menjalankan tugas kita sebagai hamba Allah, yaitu beribadah kepada-Nya secara maksimal.

12

DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun, 2001, Ushul Fiqh 1, PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta. Husain, Abdullah Abdul at-Tariqi, 2004, Ekonomi Islam; Prinsip, Dasar dan Tujuan, Magistra Insani Press, Yogyakarta. Muhammad. 2005. Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE. Rahmawaty, Anita. 2011. Ekonomi Mikro Islam. Kudus: Nora Media Enterprise. Sukirno, Sadono. 2013. Mikroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

13

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"

Bab I.docx
April 2020 4
Daftar Isi.docx
November 2019 13
Bab I.docx
April 2020 6
Kata Pengantar.docx
November 2019 13
Ijarah.docx
April 2020 6