BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberculosis (TB) merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang ditularkan melalui udara (Asih, 2004). Penyakit ini ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Komplikasi penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis dan TB usus. Penderita tuberkulosis di kawasan Asia terus bertambah. Sejauh ini, Asia termasuk kawasan dengan penyebaran tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia. Setiap 30 detik, ada satu pasien di Asia meninggal dunia akibat penyakit ini. Sebelas dari 22 negara dengan angka kasus TB tertinggi berada di Asia, di antaranya Banglades, China, India, Indonesia, dan Pakistan. Empat dari lima penderita TB di Asia termasuk kelompok usia produktif (Kompas, 2007). Di Indonesia, angka kematian akibat TB mencapai 140.000 orang per tahun atau 8 persen dari korban meninggal di seluruh dunia. Setiap tahun, terdapat lebih dari 500.000 kasus baru TB, dan 75 persen penderita termasuk kelompok usia produktif. Jumlah penderita TB di Indonesia merupakan ketiga terbesar di dunia setelah India dan China. Menurut Diah Erti Mustikawati, Kepala sub bidang direktorat pengendalian penyakit Tuberkulosis Kemenkes, jumlah penderita TB paru-paru anak pada 2011 mencapai 10% hingga 12% dari seluruh jumlah kasus TB. Berdasarakan data Riskesdas 2007 (Balitbangkes, 2008), pada 2010, Indonesia menduduki urutan ke-4 jumlah penderitaTB terbanyak didunia dengan 450 ribu kasus. Saat ini secara epidemilogi menurut WHO terdapat lebih dari 250 ribu anak terserang TB dengan angka kematian 100 ribu anak setiap tahunnya. Biasanya anak penderita TB yang beresiko mengalami kematian adalah anak yang mengalami TB berat, seperti TB milier, TB meningitis, TB usus, dan TB hati. Resiko kematian tinggi lainnya juga di alami oleh bayi berusia kurang dari 6 bulan, anak dengan gizi buruk, serta anak yang terkena HIV atau penyakit ganas lainnya.
1
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Sebagai media pembelajaran melalui makalah yang bertujuan untuk menambah ilmu pengetahuan tentang penyakit TB paru pada anak sehingga mahasiswa dapat mengerti dan bisa mengamalkannya ketika praktek di rumah sakit.
1.3.2 Tujuan Khusus a. Untuk menjelaskan definisi TB Paru b. Untuk menjelaskan penyebab penyakit TB Paru, tanda dan gejala serta patofisiologinya dalam tubuh. c. Untuk menjelasan cara penularan TB paru d. Untuk menjelaskan pencegahan dan pengobatan TB paru e. Untuk menjelaskan peran perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada anak dengan TB paru..
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar 2.1.1 Defenisi Tuberkulosis
paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang
parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Suzanne dan Brenda, 2002). Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru (Smeltzer, 2002). Tuberkulosis atau TB ( singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC ) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium tuberculosis (id.wikipedia.org ). Berdasarkan beberapa definisi mengenai tuberkulosis diatas, maka dapat dirumuskan bahwa tuberculosis (TB) paru adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis yang menyerang parenkim paru, bersifat sistemis sehingga dapat mengenai organ tubuh lain, terutama meningen, tulang, dan nodus limfe.
2.1.2 Etiologi Jenis kuman berbentuk batang, ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap kimia , fisik, sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah yang banyak oksigen, dalam hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi kandungan oksigennya yaitu daerah apikal paru, daerah ini yang menjadi prediksi pada penyakit Tuberkulosis.
2.1.3 Klasifikasi Berdasarkan terapi WHO membagi tuberculosis menjadi 4 kategori : 1. Kategori I : ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan batuk TB berat. 2. Kategori II : ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal dengan sputum BTA positf.
3
3. Kategori III : ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas dan kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I. 4. Kategori IV : ditunjukan terhadap TB kronik.
2.1.4 Gejala Klinis Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik. Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik: 1. Gejala respiratorik, meliputi: a. Batuk Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan. b. Batuk darah Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. c. Sesak napas Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain. d. Nyeri dada Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.
2. Gejala sistemik, meliputi: a. Demam Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influeza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek. 4
b. Gejala sistemik lain Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise. Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia. 2.1.5 Patofisiologi Tempat masuk kuman. Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektorya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsifnya. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil ; gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang-biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10 – 20 hari . Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, isi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. 5
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain di paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer menjadi rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk. Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa. Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat
Menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke organorgan tubuh.
2.1.6 Epidemiologi dan Penularan TBC Dalam penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
6
1. Reservoir, sumber dan penularan Manusia adalah reservoir paling umum, sekret saluran pernafasan dari orang dengan lesi aktif terbuka memindahkan infeksi langsung melalui droplet. 2. Masa inkubasi Yaitu sejak masuknya sampai timbulnya lesi primer umumnya memerlukan waktu empat sampai enam minggu, interfal antara infeksi primer dengan reinfeksi bisa beberapa tahun. 3. Masa dapat menular Selama yang bersangkutan mengeluarkan bacil Turbekel terutama yang dibatukkan atau dibersinkan. 4. Immunitas Anak dibawah tiga tahun paling rentan, karena sejak lahir sampai satu bulan bayi diberi vaksinasi BCG yang meningkatkan tubuh terhadap TBC. 2.1.7 Komplikasi Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.
Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus
akibat retraksi bronchial.
Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal. Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis lainnya yaitu terjadi pada sistem pernafasan dan di luar sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan gagal nafas, sedang diluar sistem pernafasan menimbulkan tuberkulosis usus, meningitis serosa, dan tuberkulosis milier.
7
2.1.8 Pencegahan Imunisasi BCG pada anak balita, Vaksin BCG sebaiknya diberikan sejak anak masih kecil agar terhindar dari penyakit tersebut.
Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus segera diobati sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang lebih berat dan terjadi penularan.
Jangan minum susu sapi mentah dan harus dimasak.
Bagi penderita untuk tidak membuang ludah sembarangan.
Pencegahan terhadap penyakit TBC dapat dilakukan dengan tidak melakukan kontak udara dengan penderita, minum obat pencegah dengan dosis tinggi dan hidup secara sehat. Terutama rumah harus baik ventilasi udaranya dimana sinar matahari pagi masuk ke dalam rumah.
Tutup
mulut
dengan
sapu
tangan
bila
batuk
serta
tidak
meludah/mengeluarkan dahak di sembarangan tempat dan menyediakan tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang dianjurkan dokter dan untuk mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran.
2.1.9 Penatalaksanaan 1. Promotif a. Penyuluhan kepada masyarakat apa itu TBC b. Pemberitahuan baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya TBC, cara penularan, cara pencegahan, faktor resiko. c. Mensosialisasiklan BCG di masyarakat. 2. Preventif a. Vaksinasi BCG b. Menggunakan isoniazid (INH) c. Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab. d. Bila ada gejala-gejala TBC segera ke Puskesmas/RS, agar dapat diketahui secara dini. 3. Kuratif a. Obat TB yang digunakan (Medika Mentosa) 1). Isoniazid INH adalah obat antituberkulosis yang efektif saat ini bersifat bakterisida 8
dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, cairan asites, jaringan caseosa dan angka timbulnya reaksi simpang (adverse reaction) sangat rendah. Dosis harian INH biasa diberikan 5-15 mg/kgBB/hari, max 300 mg/hari, secara peroral, diberikan 1x pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml. INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer, tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan bersama dengan Rifampisin dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobartbital atau fenitoin dapat meningkatkan resiko hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan pemberiannya pada keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3x harga normal atau terjadi manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut dan kuning. Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH tetapi manifestasi
klinisnya
jarang
sehingga
tidak
diperlukan
piridoksin
tambahan. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan 1x sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin tiap 100 mg INH. Manifestasi alergi atau hipersensitivitas yang disebabkan INH jarang terjadi. Efek samping yang jarang terjadi antara lain pelagra, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD, dan reaksi mirip lupus yang disertai ruam dan artritis.
2). Rifampisin Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini 9
rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20mg/kgbb/hari, maksimal 600mg/hari dengan dosis 1 kali pemberian perhari. jika diberikan bersama INH, dosis rifampisin tidak melebihi 15mg/kgbb/hari dan dosis INH tidak melebihi 10mg/kgbb/hari. Seperti halnya INH, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus biliaris. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan diginjal dan urin. Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada INH. Efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan hepatotoksisitas (ikterus atau hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang asimptomatik. Rifampisin dapat menyebabkan trombositopenia. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg. sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan.
3). Pirazinamid Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Pemberian PZA secara oral dengan dosis 15-30mb/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2g/hari. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg. efek samping PZA adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensisitivitas dan hiperurisemia jarang timbul pada anak.
4). Etambutol Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Dosis etambutol (EMB) 15-20mg/kg/hari. Maksimal 1,25g/hari dengan dosis tunggal. Ekskresi terutama lewat ginjal dan saluran cerna. EMB tersedia dalam tablet 250mg dan 500mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik dan berdasarkan pengalaman, dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. EMB ditoleransi dengan baik pada dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis 1 atau 2 kali sehari. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merahhijau. Tidak terdapat laporan toksisitas optik pada anak-anak. 10
5). Streptomisin Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik. Kuman ekstraseluler pada keadaan basa atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler. Streptomisin dapat diberikan secara IM dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram perhari, kadar puncak 40-50 mikrogram permilliliter dalam waktu 1-2 jam. Streptomicin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.
a. Panduan obat TB Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 2 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman, juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps.
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni: 1). Tahap intensif ( initial ), dengan memberikan 4 – 5 macam obat anti TB per hari dengan tujuan : - Mendapatkan konversi sputum dengan cepat ( efek bakterisidal ) - Menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut - Mencegah timbulnya resistensi obat
2). Tahap lanjutan ( continuation phase ), denga hanya memberikan 2 macam obat per hari atau secara intermitten dengan tujuan : - Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi ) - Mencegah kekambuhan Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33 kg, 33 – 50 kg dan lebih dari 50 kg.
11
Pengobatan dibagi atas 4 katagori yakni :
a). Katagori I Ditujukan terhadap : -
Kasus baru dengan sputum negative
-
Kasus baru dengan bentuk TB berat seperti meningitis, TB diseminata, perikarditis,
peritonitis,
pleuritis,
spondilitis
dengan
gangguan
neurologis, kelainan paru yang luas dengan BTA negatif, TB usus, TB genito urinarius.
Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan 2RHZS ( E ). Bila setelah dua bulan BTA menjadi negatif, diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah dua bulan masih positif, tahap intensif diperpanjang lagi selama 2 – 4 minggu dengan 4 macam obat. Pada populasi dengan resistensi primer terhadap INH rendah pada tahap intensif cukup diberikan 3 macam obat yakni RHZ.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4 RH atau 4R3H3. Pasien dengan TB berat ( meningitis, TB diseminata, spondilitis dengan kelainan neurologis ), R dan H harus diberikan setiap hari selama 6 – 7 bulan. Paduan obat alternatif adalah 6 HE ( T ).
b). Kategori II Ditujukan terhadap : -
Kasus kambuh
-
Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZE/1RHZE. Bila setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3 bulan tahap intensif BTA tetap positif, maka tahap intensif tersebut diperpanjang lagi 1 bulan dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan BTA masih juga positif pengobatan dihentikan selama 2 – 3 hari, lalu diperiksa biakan dan resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila pasien masih mempunyai data resistensi BTA dan ternyata BTA masih sensitif terhadap semua obat dan setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka tahap lanjutan harus diawasi
12
dengan ketat di RS rujukan. Kemungkinan konversi sputum masih cukup besar. Bila data menunjukkan resiten terhadap R dan H, maka kemungkinan keberhasilan menjadi kecil.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 5 RHE atau paduan 5 R3H3E3 yang perlu diawasi dengan ketat. Bila sputum BTA masih tetap positif setelah selesai tahap lanjutan, maka pasien tidak perlu diobati lagi.
c). Kategori III Ditujukan terhadap : - Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas. - Kasus TBC ekstra paru selain yang disebut dalam kategori I Pengobatan tahap intensif dengan panduan 2 RHZ atau 2 R3H3Z3 Pengobatan tahap lanjutan dengan panduan 2RH atau 2 R3H3. Bila kelainan paru lebih luas dari 10 cm2 atau pada TB ekstra paru yang belum remisi sempurna, maka tahap lanjutan diperpanjang lagi dengan H saja selama empat bulan lagi. Paduan obat alternatif adalah 6 HE ( T )
d). Kategori IV Ditujukan terhadap kasus TB kronik.Prioritas pengobatan disini rendah, terdapat resistensi terhadap obat-obat anti TB (sedikitnya R dan H), sehingga masalahnya jadi rumit. Pasien mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan diberikan obat-obat anti TB tingkat dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis. Di negara yang maju dapat diberikan obat-obat anti TB eksperimental sesuai dengan sensitivitasnya, sedangkan di negara yang kurang mampu cukup dengan pemberian H seumur hidup dengan harapan dapat mengurangi infeksi dan penularan c. Evaluasi hasil pengobatan Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Apabila berespon pengobatan baik yaitu gejala klinisnya hilang dan terjadi penambahan berat badan, maka pengobatan dilanjutkan. Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada, tidak terjadi penambahan berat badan, maka obat anti TB tetap diberikan dengan tambahan merujuk ke sarana lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. 13
Apabila setelah pengobatan 6-12 bulan terdapat perbaikkan klinis, seperti berat badan mengingkat, napsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya menghilang, maka pengobatan dapat dihentikan. Jika masih terdapat kelainan gambaran radiologis maka dianjurkan pemeriksaan radiologis ulangan.
d. Pengobatan dengan non medika mentosa 1). Pendekatan DOTS DOTS adalah strategi yang telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB. Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Sesuai dengan rekomendasi WHO, maka strategi DOTS terdiri atas 5 komponen, yaitu sebagai berikut. - komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. - Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis - Pengobatan dengan panduan OTA jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO) - Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
- Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penganggulangan TBC 2). Sumber penularan dan case finding Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan melakukan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Selain itu perlu dicari pula anak lain di sekitarnya yang mungkin tertular dengan uji tuberkulin. Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnestik, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, yaitu uji tuberkulin.
3). Aspek sosial ekonomi Pengobatan tuberkulosis tidak terlepas dari masalah sosio ekonomi, karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka memerlukan biaya yang cukup besar.
14
BAB III MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. M DENGAN KASUS TB PARU DIRUANG MALIKUSALLEH, RS TK IV IM 07.01
I. Pengumpulan Data A. Identitas Nama
: An. M
Umur
: 10 Tahun
Berat Badan
: 30 kg
Suku/Bangsa
: Aceh / Indonesia
Agama
: Islam
Alamat Rumah
: UjungBlang, Desa Hagu Barat laut
B. Anamnesa ( Data Subyektif ) Pasien datang dengan keluhan nyeri pada dada (+), sesak (+), demam (+), muntah (-) Riwayat Kesehatan a.
Anak anak tidak pernah menderita penyakit menular seperti TBC dan hepatitis, penyakit menurun seperti asma dan DM, penyakit menahun seperti jantung.
b. Keluarga Dari pihak keluarga pernah menderita penyakit menular seperti TBC, tidak pernah menderita hepatitis, penyakit menurun seperti asma dan DM, penyakit menahun seperti jantung.
15
Kebutuhan Biologis a.
Kebutuhan Nutrisi Jenis yang dikonsumsi
: nasi, sayur, ikan, telur, buah, susu
Frekuensi
: 2x sehari
Banyaknya
: ½ piring
b. Eliminasi BAB Frekuensi
BAK : 1x sehari
frekuensi
: 4x sehari
Konsistensi
: lunak
warna
: kuning
Warna
: kuning
bau
: pesing
Masalah
: tidak ada
masalah
: tidak ada
c. Personal Hygiene Mandi
: 2x sehari (dibantu orang tua)
Gosok gigi
: 2x sehari (dibantu orang tua)
Ganti pakaian
: sesuai kebutuhan
Penggunaan popok anti tembus : tidak menggunakan
d. Data Psikososial dan Spiritual orang tua dan keluarga a.
Tanggapan anak tentang keadaan dirinya
: Belum mengerti tentang
dirinya b. Tanggapan keluarga terhadap anaknya
: Baik
c.
: Ayah
d.
Pengambil Keputusan dalam keluarga
Pengetahuan keluarga tentang perawatan anak mengetahuinya dari tenaga kesehatan
16
: Baik, keluarga
. OBJEKTIF DATA 1. Pemeriksaan Umum a.
Keadaan Umum
b. Kesadaran
: Baik :Composmentis
c.
TTV
:
- Nadi
: 99x/menit
- Respirasi
: 37x/menit
- Suhu
: 36,5 0C
2. Pemeriksaan Khusus Kepala
: kulit kepala bersih, pertumbuhan rambut merata, tidak ada benjolan
Muka
: tidak tampak pucat, tidak ada oedem
Mata
: simetris, konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
Telinga
: simetris, bersih, tidak ada pengeluaran serumen
Hidung
: simetris, tidak tampak cuping hidung, tidak tampak sumbatan jalan nafas
Mulut
: bibir tidak tampak pucat, tidak ada sariawan,
pertumbuhan gigi merata Leher
: tampak pembengkakan vena jugularis dan tidak
tampak pembengkakan kelenjar tiroid Dada
17
: pernafasan simetris antara inspirasi dan ekspirasi,
Mamae
: simetris, tidak ada pengeluaran cairan pada putting
susu Abdomen
: tidak tampak benjolan
Ekstremitas atas
: simetris, jari tangan lengkap, tidak terdapat sindaktil
dan Poli daktil Ekstremitas bawah : simetris, tidak tampak fraktur, jari kaki lengkap, tidak terdapat sindaktil dan polidaktil Genetalia
: tidak dilakukan pemeriksaan
II. INTEPRETASI DATA
Diagnosa Keperawatan : An. M, umur 10 tahun dengan TB paru Masalah
: Benjolan di leher belakang
Kebutuhan dokter
: Konseling, health education dan Kolaborasi dengan
III ANTISIPASI MASALAH POTENSIAL
Kolaborasi dengan dokter
IV IDENTIFIKASI KEBUTUHAN SEGERA
Memerlukan tindakan segera
V PERENCANAAN
1. Memberitahu orang tua pasien tentang TB paru : Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, yaitu suatu bakteri tahan asam.“Orang tua pasien mengerti tentang TB paru”
18
2. Memberitahu orang tua cara penularan TB paru, yaitu : kontak langsung dengan penderita TB paru, makanan, droplet ( dahak/liur), alat-alat makanan dan alat mandi yang dipakai bersama dengan penderita TB paru, “ orang tua mengerti cara penularan TB paru” 3. Menganjurkan orang tua agar anaknya tidak meludah sembarangan, apabila batuk anjurkan untuk di tutup. Hal ini dimaksudkan agar tidak menular pada orang lain. “Orang tua bersedia melaksanakan anjuran yang di berikan” 4. Menganjurkan orang tua untuk memberikan nutrisi yang cukup untuk anaknya seperti makanan dengan gizi seimbang : nasi, bubur, sayur (sawi, bayam, wortel, kentang, dll), telur, ikan, buah-buahan, dan susu sebagai tambahan ataupun pendamping asi. Dan memberikan makanan sedikit tapi sering guna memenuhi kebutuhan nutrisi anaknya.“Orang tua mengerti dan bersedia melaksanakan anjuran yang diberikan. 5. Menganjurkan orang tua agar anaknya mendapatkan istirahat yang cukup, serta menganjurkan orang tua untuk mengawasi kegiatan anaknya dan hindari terlalu banyak bermain atau beraktivitas agar anak tidak kelelahan yang bisa menyebabkan anak sesak napas, karena ketidakseimbangan suplai oksigen. Dan untuk mengurangi kebutuhan metabolik serta menghemat energi untuk proses penyembuhan.“Orang tua mengerti dan bersedia melaksanakan anjuran yang di berikan” 6. Menganjurkan orang tua untuk menjaga kebersihan anaknya, menjaga kebersihan rumah, memperbaiki saluran ventilasi untuk memperlancar udara yang keluar masuk, usahakan sinar matahari bisa masuk ke dalam rumah agar rumah terhindar dari kuman dan bakteri. “Orang tua bersedia melaksanakan anjuran yang sudah di berikan” 7. Memberikan orang tua obat anti TB untuk anaknya, yaitu : - Isoniasid 50 mg 1x1 tablet/hari - Pirazinamid 150mg 1x1/hari - Rifamicin 75mg 1x1/hari - B6 (Pirodoksin) 100mg 1x1 tablet/hari Untuk obat anti TB, di minum secara teratur setiap hari saat perut kosong (setelah bangun tidur) dan vitamin b6 diminum setelah makan. Konsumsi obat tidak boleh terputus sampai 6 bulan untuk proses penyembuhan. “orang tua mengerti dan bersedia memberikan obat anti Tb sesuai anjuran” 19
VII EVALUASI
Keluarga memahami saran yang diberikan pada petugas kesehatan
CATATAN PENDOKUMENTASIAN
S
: Keluarga mengatakan anaknya nyeri pada dada (+), sesak (+), demam (+), muntah (-)
O
: K/U Lemah: - Nadi
: 99x/menit
- Respirasi - Suhu
: 37x/menit : 36,5 0C
A
: Masalah Belum teratasi
P
: Intervensi dilanjutkan
20
BAB IV PENUTUP
TB masih merupakan masalah mortalitas dan morbiditas di negara-negara berkembang. TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita Tb dewasa. Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV, maka perhatian pada penyakit TB harus lebih ditingkatkan. Diagnosis TB pada anak sering sulit karena gambaran rontgen paru dan gambaran klinis tidak selalu khas dan sedangkan penemuan basil TB sulit. TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang aerobic tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar UV. Bakteri yang jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M. Avium. Tanda dan Gejala: Penurunan berat badan, Anoreksia, Dispneu, Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning, Demam, Batuk, Sesak nafas, Nyeri dada, Malaise.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengemukakan beberapa saran : 1. Saran untuk tenaga kesehatan a.
Diharapkan seorang tenaga kesehatan agar lebih profesional dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki sehingga dapat mendeteksi dini kasus-kasus patologi khususnya dalam kasus TB paru pada anak
b.
Diharapkan seorang tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya di perlukan adanya kerjasama antar tim dan di perlukan ketersediaan dana dan prasarana yang memadai dan meningkatkan mutu pelayanan asuhan pada klien.
c.
Dalam mengikuti program pengobatan maka perlu kiranya petugas kesehatan perlu ditingkatkan intensitas dalam melakukan bimbingan, pengawasan terhadap penderita (seperti istilah menjemput bola bukan menunggu bola) secara rutin dan kontinu.
21
d.
Untuk meningkatkan kepatuhan penderita TBC paru dalam mengikuti program pengobatan maka perlu ditingkatkan penyuluhan baik “dor to dor” atau pun secara kolektif kepada penderita TBC.
2.
Saran untuk Rumah Sakit Sebaiknya pihak rumah sakit lebih meningkatkan pelayanan pada klien dengan TB paru khususnya pada anak untuk menurunkan angka penderita TB paru pada anak yang semakin meningkat.
3. Saran untuk institusi Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, penerapan asuhan keperawatan dalam pemecahan masalah harus lebih di tingkatkan dan di kembangkan mengingat proses tersebut sangat bermanfaat dalam membina tenaga kesehatan
22
23