Bab I.docx

  • Uploaded by: Dinda Puspita
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 15,550
  • Pages: 90
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Manusia berkembang dari waktu ke waktu dalam kehidupan yang ditandai dengan adanya pertumbuhan fisik, sikap, kecerdasan dan emosi. Setiap individu dalam proses perkembangan berusaha untuk menentukan nilai-nilai, sikap, prinsip, hubungan dan pemahaman. Menurut World Health Organization (WHO) remaja adalah penduduk yang berada pada rentang usia 10 sampai dengan 19 tahun. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014 menyatakan bahwa remaja adalah penduduk yang berada pada rentang usia 10 sampai dengan 18 tahun. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja adalah 10 sampai dengan 24 tahun dan belum menikah. Jumlah kelompok usia 10 sampai dengan 19 tahun di Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2016 sebanyak 43,5 juta atau sekitar 18% dari jumlah penduduk. Di dunia diperkirakan kelompok remaja berjumlah 1,2 milyar atau 18% dari jumlah penduduk dunia (BKKBN, 2016). Remaja sebagai manusia yang sedang bertumbuh mencari jati diri tak lepas dari perubahan secara biologis, sosial, kognitif dan sosioemosi (Santrok, 2008). Perkembangan ini saling berkaitan satu dengan yang lain sehingga dapat berdampak pada kesejahteraan emosional remaja dan menyebabkan stress yang luar biasa (Goldbeck, 2007 dalam Fajarwati,

1

2

2014). Naik turunnya emosi adalah hal yang wajar pada remaja dan merupakan bagian dari peralihan yang dialami remaja, namun hal ini dapat berdampak pada tingkat kebahagiaan remaja (Ekawati, 2012). Kebahagiaan merupakan suatu hal yang penting dalam hidup karena dengan bahagia setiap orang pasti merasakan kehidupan yang nyaman dan terasa lebih berharga. Kebahagiaan adalah tujuan setiap orang dalam hidupnya. Istilah kebahagiaan juga banyak dikenal dalam psikologi positif. Teori dan penelitian psikologi cenderung menggunakan istilah yang lebih tepat yang dapat didefinisikan secara operasional, yakni subjective wellbeing. Diener (Ariati, 2010) menyatakan bahwa subjective well-being adalah evaluasi akan kejadian yang telah terjadi atau dialami dalam kehidupan yang melibatkan proses afektif dan kognitif yang aktif karena menentukan bagaimana informasi tersebut akan diatur. Evaluasi kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan menilai kepuasan mereka terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian evaluatif mengenai aspek-aspek khusus dalam kehidupan, seperti kepuasan kerja, minat dan hubungan. Reaksi afektif dalam subjective well-being yang dimaksud adalah reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Seligman dan Csikszentmihalyi (Luthans, 2009) menyatakan bahwa dalam praktik subjective well-being lebih ilmiah untuk mengartikan istilah

3

kebahagiaan. Kadang-kadang kedua istilah tersebut digunakan secara bergantian tetapi subjective well-being dianggap lebih luas maknanya dan didefinisikan sebagai sisi afektif seseorang (suasana hati dan emosi) dan evaluasi kognitif kehidupan mereka. Kunci dari subjective well-being adalah cara seseorang secara emosional menginterpretasikan dan secara kognitif memproses apa yang terjadi pada diri (Luthans, 2009). Peneliti memilih menggunakan istilah subjective well-being untuk menggambarkan kebahagiaan seseorang, karena mengacu pada pendapat Luthans (2009) bahwa istilah subjective well-being lebih tepat dan dapat didefinisikan secara operasional. Selain itu pendapat dari Seligman dan Csikszentmihalyi (2000) juga memperkuat alasan peneliti menggunakan istilah subjective well-being dalam penelitiannya karena istilah subjective well-being dapat didefinisikan sebagai sisi afektif dari seseorang seperti suasana hati dan emosi serta dalam pengevaluasian secara kognitif dari kehidupan seseorang. Selain itu penelitian Ulfah & Mulyana (2014) menyebutkan komponen-komponen subjective well-being sebagai alat ukur perspektif individu yaitu kepuasan hidup, afeksi positif dan afeksi negatif. Pengalaman dari lingkungan yang dialami remaja lebih berkontribusi pada perubahan emosi dibandingkan dengan perubahan hormon. Perubahan emosi yang disebabkan lingkungan akan berpengaruh pada tingkat afek positif dan tingkat rendahnya afek negatif yang merupakan aspek dari subjective well-being. Perubahan emosi yang disebabkan lingkungan akan mempengaruhi tingkat subjective well-being remaja

4

karena secara tidak langsung lingkungan turut berkontribusi pada tingkat subjective well-being remaja (Santrock, 2014). Banyak dari remaja yang memiliki permasalahan yang berkaitan dengan kesulitan yang terjadi pada saat ini atau yang akan datang, contohnya permasalahan yang berhubungan dengan keluarga, kesehatan, proses pertumbuhan yang sedang dialami maupun masalah pertemanan. Tingkat subjective well-being pada remaja akan menurun ketika sedang merasakan kecemasan, depresi dan khawatir. Usaha remaja untuk mempertahankan subjective well-being menjadi lebih mudah dilakukan jika remaja merasakan adanya dukungan sosial orang tua dan teman sebayanya. Remaja diharapkan bisa menjadi individu yang lebih positif dan dapat

terhindar

dari

hal-hal

yang

negatif

seperti

bunuh

diri,

ketidakmampuan menyesuaikan dengan lingkungan maupun hamil pranikah. Harapannya remaja memiliki subjective well-being yang tinggi agar bisa memiliki pikiran positif serta bisa membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup menjadi lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. Selain itu remaja yang mempunyai subjective well-being yang tinggi juga diharapkan terhindar dari hal-hal negatif seperti rasa putus asa, bunuh diri, pergaulan bebas serta tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan.

5

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 21 Mei 2018 oleh peneliti terhadap 3 orang siswa kelas 2 SMP Muhammadiyah 1 Moyudan dapat diketahui bahwa ada beberapa siswa mengatakan masih merasa kurang puas dengan apa yang telah mereka lakukan. Siswa mengeluh ketika diwawancarai serta cukup sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Kemudian dilakukan wawancara kembali pada tanggal 04 Juni 2018 terhadap 4 orang siswa kelas 1 SMP yang menyatakan bahwa mereka kurang bersyukur dengan apa yang mereka miliki dan merasa kurang bahagia dengan segala yang mereka punya. Hasil wawancara juga menunjukan sebagian besar siswa diantar kesekolah oleh ayah masing-masing siswa. Selain itu, ayah siswa menjemput sepulang sekolah. Selain itu mereka mengatakan masih mudah marah ketika ada teman yang menyinggung tentang pribadinya sehingga menimbulkan rasa kecewa dan menimbulkan ketidakpercayaan pada diri mereka serta ketidakpuasan dalam hidup. Siswa mengatakan kurang rasa percaya diri sehingga tidak mau berbaur dengan yang lainnya dan sebagian lain menjelaskan enggan untuk berbaur karena merasa iri dengan teman-teman yang lainnya dengan alasan siswa tersebut tidak memiliki apa yang teman-temannya miliki. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 21 Mei dan 4 Juni 2018 pada siswa SMP Muhammadiyah 1 Moyudan didapatkan bahwa siswa yang akan menjadi subjek adalah siswa baru yang sedang menjalani

masa

pengenalan

sekolah.

Terlihat

siswa

di

SMP

6

Muhammadiyah 1 Moyudan tersebut banyak yang membuat kelompok pertemanan sehingga terdapat beberapa siswa yang tidak bergabung dengan siswa lain. Selain itu terdapat siswa yang terlihat murung dan menyendiri di saat teman lainnya bermain bersama, enggan untuk ikut bermain dengan teman lainnya. Keadaan ini menggambarkan bahwa remaja mengalami pengalaman dari lingkungan yang akan berkontribusi pada perubahan emosi. Perubahan ini akan berpengaruh pada tingkat afek negatif dan afek posistif yang merupakan komponen dari subjective well-being (Santrock, 2007). Lingkungan dapat terdiri dari rumah dan sekolah. Lingkungan rumah terdiri dari orang tua dan sekolah terdiri dari teman sebaya dan guru. Rueger, Malecki & Demaray (2008) menyatakan bahwa teman sekelas, teman dekat, sekolah, orang tua, guru merupakan sumber dukungan sosial. Sehingga bisa dikatakan bahwa orangtua, guru dan teman yang merupakan sumber dukungan sosial yang berpengaruh pada subjective well-being remaja. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi tersebut peneliti memilih SMP Muhammadiyah 1 Moyudan karena di sekolahan ini menggambarkan permasalahan yang mencakup komponen subjective well-being pada remaja.

Oleh

karena

itu,

peneliti

memutuskan

memilih

SMP

Muhammadiyah 1 Moyudan untuk melakukan penelitian. Perubahan sosial turut mengubah pola pengasuhan orang tua. Pada jaman dahulu sebagian besar ibu berada di rumah serta bertanggung jawab

7

penuh terhadap pengasuhan anak, sedangkan ayah bekerja sebagai pencari nafkah utama, namun sekarang banyak ibu-ibu yang berkarir di luar rumah. Ibu-ibu bekerja adalah suatu bagian dari kehidupan modern dan bukan merupakan aspek kehidupan yang menyimpang dari kebiasaan, tetapi suatu tanggapan terhadap perubahan sosial (Santrock, 2014). Soekanto (Wulandari, 2009) menyatakan bahwa hanya ayah yang mencari penghasilan untuk keluarga dan tugas seorang ibu hanya menjaga anak dan mengurus rumah, namun pada keluarga pola masyarakat yang agraris akan banyak menghadapi persoalan dalam menyongsong modernisasi khususnya industrialisasi. Ikatan keluarga dalam masyarakat agraris dibentuknya atas dasar faktor kasih sayang dan faktor ekonomis, dalam arti keluarga tersebut merupakan suatu unit yang memproduksi sendiri kebutuhan primernya. Dimulainya industrialisasi pada suatu masyarakat agraris menyebabkan peranan keluarga menjadi berubah. Ayah yang biasanya wajib mencari penghasilan namun apabila penghasilan ayah tidak mencukupi maka ibu akan ikut mencari penghasilan tambahan. Sejalan dengan itu, Day dan Lamb (Santrock, 2014) mencatat bahwa terjadi perubahan yang sangat besar pada peran ayah dalam keluarga di Amerika Serikat. Ayah terutama bertanggung jawab atas pengajaran moral anaknya. Fokus peran ayah dengan adanya revolusi industri menjadi berubah untuk menekankan posisinya sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Menjelang tahun 1970, minat ayah sebagai orang tua aktif dan penyayang mulai muncul. Ayah tidak hanya bertanggung jawab untuk

8

mendisiplinkan dan mengontrol anak-anak yang lebih tua namun juga melibatkan diri secara aktif dalam pengasuhan anak. Penelitian Ghiamitasya (2012) menunjukan hasil

bahwa peran

tradisional ayah adalah sebagai pencari nafkah dan terasingkan dari wilayah domestik (rumah tangga), dengan adanya kondisi sosial Jepang (shoushika) menuntut peran ayah untuk kembali dimunculkan dalam keluarga. Sosialisasi dari pemerintah menjadi peran penting dalam pembentukan peran ayah dalam keluarga, terutama dalam hal pengasuhan anak. Oleh karena itu di dalam figur baru seorang ayah perannya dalam hal pengasuhan menjadi hal yang penting. Peran ayah di dalam keluarga dimunculkan kembali seperti pada masa-masa sebelumnya. Lamb (Santrock, 2014) berpendapat bahwa interaksi ibu terpusat dalam aktivitas perawatan anak, seperti memberi makan, mengganti popok dan memandikan anak. Sedangkan interaksi ayah lebih cenderung pada aktivitas bermain yang “bersemangat” seperti mengayun-ngayunkan anak ke udara, menggelitik dan lain-lain. Ibu juga bermain dengan anak, namun jenis permainannya cenderung tidak bersifat fisik dan bersemangat seperti ayah. Keterlibatan ayah secara teratur dan aktif akan memberikan dampak yang positif, meskipun tidak diketahui bentuk khusus keterlibatan yang seperti apa yang akan memberikan dampak lebih baik. Keterlibatan ayah memberikan dampak positif dengan berkurangnya masalah perilaku pada anak laki-laki dan masalah psikologis pada anak perempuan.

9

Remaja memiliki rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahuinya. Banyak remaja yang dipengaruhi oleh teman sebayanya dikarenakan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersama dengan teman-teman sebayanya jika dibandingkan dengan keluarga. Pengaruh teman sebaya sangatlah tinggi dalam mempengaruhi perilaku remaja. Peran teman sebaya dalam pergaulan remaja memang sangat menonjol karena teman sebaya juga dianggap orang yang paling mengerti apa yang dirasakan pada diri individu remajanya. Penelitian Salvy, Haye, Bowker & Hermans (2012) menunjukan hasil bahwa kelompok bermain dan teman sangat berpengaruh terhadap perkembangan fisik, psikologis dan sosial secara signifikan pada remaja. Selain itu keterlibatan kelompok dan teman juga sangat berpengaruh pada remaja dalam upaya pencegahan dan intervensi mungkin penting untuk mempromosikan dan mempertahankan lintasan kesehatan perilaku positif. Mollborn & Lawrence (2018) mengemukakan bahwa faktor keluarga seperti sumber daya dan pola asuh, sekolah serta teman bermain akan mendorong perkembangan serta gaya hidup dan kesehatan pada anakanak untuk menemukan identitas sosial mereka. Teman sebaya atau peers adalah anak-anak dengan tingkat kematangan atau usia yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi tetang dunia di luar keluarga. Remaja melalui kelompok teman sebaya akan menerima umpan balik dari temanteman tentang kemampuan mereka. Remaja akan menilai perilaku yang

10

dilakukan melalui membandingkan dengan perilaku teman-temannya. Hal demikian akan sulit dilakukan dalam keluarga karena saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda (bukan sebaya) (Santrock, 2011). Peran teman sebaya juga sangat membantu remaja untuk memahami jati dirinya agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan luar. Teman sebaya yang baik dapat membentuk kepribadian yang baik pada remaja dan menjadikan remaja tersebut dapat mandiri dan berpikir matang. Apabila teman sebaya memiliki pengaruh yang kurang baik maka akan memiliki ketergantungan terhadap teman sebaya dan tidak memiliki emosi yang matang sehingga dapat berperilaku negatif. Pengaruh negatif yang diberikan oleh teman sebaya dapat berdampak pada perilaku agresif remaja, karena remaja menjadi cenderung melakukan apa saja seperti misalnya kekerasan kepada orang lain karena dipengaruhi oleh teman sebayanya yang juga melakukan hal yang sama. Hal itu dilakukan remaja agar bisa dihargai dan diterima sebagai sahabat oleh teman sebayanya. Subjective well-being merupakan topik yang penting untuk dikaji lebih dalam karena siswa SMP yang memiliki subjective well-being yang tinggi akan memiliki pikiran positif serta bisa membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup menjadi lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. Selain itu subjective well-being yang tinggi

11

juga diperlukan agar remaja bisa mengendalikan diri dari sifat emosional yang akan merugikan diri sendiri sehingga siswa SMP terhindar dari hal-hal negatif seperti rasa putus asa, bunuh diri, pergaulan bebas serta tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan. Selain itu perlu juga diteliti tentang faktorfaktor

yang

mempengaruhi

subjective

well-being

terutama

faktor

keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya. Berdasarkan pada fenomena yang ada maka peneliti ingin menguji apakah ada hubungan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being.

B. Keaslian Penelitian Penelitian yang mengungkap “Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Subjective Well-Being” belum pernah diteliti sebelumnya namun ada beberapa penelitian yang serupa yaitu: 1. Penelitian dengan judul “ Self esteem dan Prestasi Akademik sebagai Prediktor Subjective Well-Being Remaja Awal” yang dilakukan oleh Khairat & Adiyanti (2015). Penelitian ini menggunakan 326 orang dan berada di tinggkat SMP yang hasilnya menunjukan bahwa self-esteem dan prestasi akademik secara bersama-sama tidak dapat memprediksi subjective well-being remaja awal akan tetapi hanya self-esteem yang dapat memprediksi subjective well-being remaja awal. Kontribusi selfesteem lebih besar daripada prestasi akademik terhadap subjective well-

12

being remaja awal. Subjek yang memiliki self-esteem positif akan memiliki subjective well-being yang tinggi. Remaja yang memiliki selfesteem positif mampu mengevaluasi dirinya secara positif dan memiliki standar ideal bagi dirinya. Prestasi akademik tidak berpengaruh pada subjective well-being remaja awal. Hal ini dikarenakan prestasi akademik di masa remaja awal masih belum stabil. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Khairat & Adiyanti (2015) adalah sama-sama menggunakan variabel tergantung subjective well-being. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian Khairat & Adiyanti (2015) terletak pada variabel bebasnya. Penelitian Khairat & Adiyanti (2015) menggunakan variabel bebas self-esteem dan prestasi akademik sedangkan penelitian ini mengunakan keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya. 2. Penelitian dengan judul “Hubungan antara Self-Efficacy dengan Subjective Well-Being pada Siswa SMA Negeri I Belitang ” yang dilakukan oleh Pramudita & Pratisti (2015). Penelitian ini menggunakan 169 siswa SMA N I Belitang kelas X dan XI yang hasilnya menunjukan bahwa

dengan

self-efficacy

sebagai

kemampuan

untuk

mengorganisasikan dan melaksanakan rangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan sesuatu yang ingin dicapai pada akhirnya dapat memberikan kepuasan hidup yang merupakan indikator dari subjective well-being. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Pramudita & Pratisti (2015) adalah sama-sama menggunakan

13

variabel tergantung subjective well-being. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian Pramudita & Pratisti (2015) terletak pada variabel bebasnya. Penelitian Pramudita & Pratisti (2015) menggunakan variabel bebas self-efficacy sedangkan penelitian ini mengunakan keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya. Selain itu penelitian Pramudita & Pratisti (2015) menggunakan siswa SMA sebagai subjeknya sedangkan penelitian ini menggunakan siswa SMP sebagai subjek penelitiannya. 3. Penelitian dengan judul “Kefungsian Keluarga Dan Subjective WellBeing Pada Remaja” yang dilakukan oleh Nayana (2013). Penelitian ini menggunakan 79 siswa SMA Muhammadiyah 1 Malang kelas 1 dan 2 yang

hasilnya

menunjukan

bahwa

tingkat

kefungsian

keluarga

berhubungan secara positif dan signifikan dengan subjective well-being pada remaja. Semakin tinggi skor kefungsian keluarga yang didapatkan subjek maka semakin tinggi pula subjective well-being subjek. Sebaliknya, semakin rendah kefungsian keluarga semakin rendah pula subjective well-being subjek. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian Nayana (2013) adalah sama-sama menggunakan variabel tergantung subjective well-being. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian Nayana (2013) terletak pada variabel bebasnya. Penelitian Nayana (2013) menggunakan variabel bebas kefungsian keluarga sedangkan penelitian ini mengunakan keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya. Selain itu penelitian

14

Nayana (2013) menggunakan siswa SMA sebagai subjeknya sedangkan penelitian ini menggunakan siswa SMP sebagai subjek penelitiannya.

C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being.

D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan bagi ilmu psikologi dan secara khusus dalam

bidang

psikologi

klinis

mengenai

hubungan

antara

keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being pada siswa SMP, serta hubungan di antara ketiga variabel tersebut. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi berbagai pihak seperti keluarga, guru maupun masyarakat supaya siswa SMP memiliki upaya subjective well-being yang tinggi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Subjective Well-Being 1. Definisi Subjective Well-Being Diener (dalam Ariati, 2010) menyatakan bahwa subjective well-being adalah evaluasi akan kejadian yang telah terjadi atau dialami dalam kehidupan yang melibatkan proses afektif dan kognitif yang aktif karena menentukan proses pengaturan informasi. Evaluasi kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan menilai kepuasan terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian evaluatif mengenai aspek-aspek khusus dalam kehidupan, seperti kepuasan kerja, minat dan hubungan. Reaksi afektif dalam subjective well-being (SWB) yang dimaksud adalah reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan. Subjective well-being merupakan evaluasi seseorang mengenai kehidupannya yang mencakup penilaian kognitif terhadap kepuasan hidupnya serta evaluasi afektif yang meliputi perasaan-perasaannya terhadap emosi positif maupun negatif yang telah dialami. Pavot dan Diener (Dewi & Utami, 2013) menjelaskan subjective well-being merupakan salah satu prediktor kualitas hidup individu karena mempengaruhi keberhasilan individu dalam berbagai domain kehidupan. Individu dengan tingkat

15

16

subjective well-being yang tinggi akan merasa lebih percaya diri, dapat menjalin hubungan sosial dengan lebih baik serta menunjukkan perfomansi kerja yang lebih baik (Ulfah & Mulyana, 2014). Kebahagiaan didefinisikan secara operasional sebagai subjective well-being (SWB). Masten & Reed (2002), mendefinisikan subjective wellbeing sebagai evaluasi kognitif dan afektif seseorang dari hidupnya. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional terhadap kejadian serta penilaian kognitif kepuasan dan pemenuhan. Schimmack (2008), membagi subjective well-being atas dua komponen umum, yakni: 1) Komponen kognitif, yaitu penilaian reflektif individu atau hidupnya atau kondisi hidup yang baik. Komponen kognitif terdiri dari kepuasan hidup (life satisfaction) dan kepuasan terhadap domain (domain satisfaction) (Diener, 2009). 2) Komponen afektif yang merupakan evaluasi dari pengalaman emosional yang terjadi pada kehidupan individu (Diener, 2009). Komponen afektif dapat dibagi kembali menjadi afek positif dan afek negatif (Balkis & Masykur, 2016). Studi yang meneliti mengenai penyebab, prediktor dan akibat dari kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup dikaitkan dengan subjective wellbeing. Subjective well-being merupakan suatu aspek yang penting dalam mengembangkan sebuah kualitas hidup yang positif. Kebahagiaan dalam subjective well-being berkaitan dengan tingkatan emosi dan cara individu memahami dunia dan dirinya sendiri. Sedangkan kepuasan dalam hidup

17

merupakan pemahaman yang lebih luas mengenai penerimaan kehidupan individu (Seligman, 2005). Lim, Cappa & Patton (2017) mengemukakan bahwa elemen kesejahteraan subjektif beasal dari kepuasan hidup, kebahagiaan dan optimisme. Hal ini semakin relevan dalam penilaian pembangunan ekonomi kesehatan masyarakat di lima negara Eropa Timur (Belarus, Bosnia, Herzegovina Mantan Republik Yugoslavia Makedonia, Serbia dan Ukraine). Anak muda berusia 15-24 tahun (N=11944), mendapatkan kepuasan hidup, kebahagiaan dan harapan tentang masa depan. Sekitar 40% anak muda menganggap diri mereka sangat bahagia atau sangat puas dengan kehidupan mereka secara keseluruhan. Berdasarkan beberapa pengertian

subjective well-being

yang

dijelaskan, peneliti menyimpulkan bahwa subjective well-being merupakan persepsi individu yang terkait dengan pengalaman kehidupannya yang menyangkut dua komponen yakni komponen kognitif yang berkaitan dengan kepuasan hidup dan komponen afektif yang berkaitan dengan kebahagiaan dan yang dicirikan dengan tingginya tingkat kepuasan terhadap hidup, tingginya tingkat emosi positif dan rendahnya tingkat emosi negatif.

18

2. Komponen Subjective Well-Being Menurut Eid & Larsen (2008) subjective well-being terdiri dalam tiga komponen umum, yaitu: a. Afeksi positif Afeksi positif ditandai dengan pengalaman emosi dan mood yang menyenangkan. Afeksi yang menyenangkan dapat dibagi menjadi emosiemosi spesifik seperti kesenangan, rasa bangga, kasih sayang, kebahagiaan dan perasaan sangat gembira (Diener, Suh, Lucas & Smith, 2005). b. Afeksi negatif Afeksi negatif termasuk suasana hati dan mood yang tidak menyenangkan serta merefleksikan respon negatif yang dialami individu terhadap hidup mereka. Afeksi negatif dapat dibagi menjadi emosi- emosi seperti perasaan bersalah dan malu, kecemasan dan marah dan iri hati. (Diener, Suh, Lucas & Smith, 2005). c. Kepuasan Hidup Kepuasan hidup merupakan suatu penilaian reflektif dalam diri seseorang mengenai bagaimana sesuatu yang baik berjalan dan terjadi terhadap dirinya. Individu yang dapat menerima diri dari lingkungan secara positif

akan

merasa

puas

dengan

hidupnya.

Kepuasan

hidup

dispesifikasikan menjadi keinginan untuk merubah kehidupan, kepuasan pada arus kehidupan, kepuasan pada masa lalu, kepuasan pada masa depan, dan pengaruh lain kehidupan (Diener, Suh, Lucas & Smith, 2005).

19

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa subjective well-being merupakan persepsi dari individu terkait dengan pengalaman yang terjadi di dalam kehidupannya yang terdiri dari afek positif, afek negatif dan kebahagiaan hidup.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Subjective Well-Being Menurut Pavot dan Diener (Linley dan Joseph, 2004) faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being adalah sebagai berikut: 1. Perangai/watak Perangai biasanya diinterpretasikan sebagai sifat dasar dan universal dari kepribadian, dianggap menjadi yang paling dapat diturunkan dan ditunjukkan sebagai faktor yang stabil di dalam kepribadian seseorang. 2. Sifat Sifat ekstrovert berada pada tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi karena mempunyai kepekaan yang lebih besar terhadap imbalan yang positif atau mempunyai reaksi yang lebih kuat terhadap peristiwa yang menyenangkan. 3. Karakter pribadi lain Karakter pribadi lain seperti optimisme dan percaya diri berhubungan dengan subjective well-being. Orang yang lebih optimis tentang masa depannya dilaporkan merasa lebih bahagia dan puas atas hidupnya dibandingkan dengan orang pesimis yang mudah menyerah dan putus asa jika suatu hal terjadi tidak sesuai dengan keinginannya.

20

4. Hubungan sosial Hubungan yang positif dengan orang lain berkaitan dengan subjective well-being, karena dengan adanya hubungan yang positif tersebut akan mendapat dukungan sosial dan kedekatan emosional. Pada dasarnya kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain merupakan suatu kebutuhan bawaan. 5. Pendapatan Dari survei diketahui ada 96 persen orang mengakui bahwa kepuasan hidup bertambah seiring meningkatnya pendapatan pribadi maupun negara bersangkutan. Meski begitu, ketimbang uang, perasaan bahagia lebih banyak dipengaruhi faktor lain seperti merasa dihormati, kemandirian, keberadaan teman serta memiliki pekerjaan yang memuaskan. 6. Pengangguran Adanya masa pengangguran dapat menyebabkan berkurangnya subjective well-being, walaupun akhirnya orang tersebut dapat bekerja kembali. Pengangguran adalah penyebab besar adanya ketidakbahagiaan, namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua pengangguran mengalami ketidakbahagiaan. 7. Pengaruh sosial/budaya Pengaruh masyarakat bahwa perbedaan subjective well-being dapat timbul karena perbedaan kekayaan Negara. Dapat diterangkan lebih lanjut bahwa kekayaan Negara dapat menimbulkan subjective well-being yang tinggi karena biasanya Negara yang kaya menghargai hak asasi manusia,

21

memungkinkan orang yang hidup disitu untuk berumur panjang dan memberikan demokrasi. Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ada tujuh faktor yang mempengaruhi subjective well-being, yaitu: perangai/watak, sifat, karakter pribadi lain, hubungan sosial, pendapatan, pengangguran dan pengaruh sosial/budaya. Faktor-faktor

tersebut

merupakan

bagian

dari

pembentukan

kepribadian di lingkungan rumah maupun sekolah pada remaja. Lingkungan rumah berkontribusi besar dalam pembentukan watak, sifat serta karakter pribadi remaja. Begitupula lingkungan sekolah, sebagian besar waktu remaja berada dilingkungan sekolah bersama teman sebaya sehingga hal ini dapat berkontribusi pada faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being. Remaja akan belajar mengenai hubungna sosial secara luas dari teman sebaya di lingkungan sekolah.

B. Keterlibatan Ayah Dalam Pengasuhan 1. Definisi Keterlibatan Ayah Dalam Pengasuhan Pengasuhan merupakan suatu perilaku yang pada dasarnya mempunyai kata-kata kunci yaitu hangat, sensitif, penuh penerimaan, bersifat resiprokal, ada pengertian dan respon yang tepat pada kebutuhan anak (Hoghughi, 2004). Allen dan Daly (2007) mengemukakan bahwa konsep “keterlibatan ayah” lebih dari sekedar melakukan interaksi positif dengan anak-anak, tetapi juga memperhatikan perkembangan anak-anak,

22

terlihat dekat dengan nyaman, hubungan anak dengan ayah yang kaya dan dapat memahami serta menerima anak-anak mereka. Pengasuhan dengan ciri-ciri tersebut melibatkan kemampuan untuk memahami kondisi dan kebutuhan anak, kemampuan untuk memilih respon yang paling tepat baik secara emosional, afektif, maupun instrumental (Allen dan Daly, 2007). Peran ayah (fathering) adalah peran yang dimainkan oleh seorang ayah dalam kaitannya dengan tugas untuk mengarahkan anak menjadi mandiri dan berkembang secara positif, baik secara fisik dan psikologis (Hart, dalam Yuniardi, 2009). Peran ayah sama pentingnya dengan peran ibu dan memiliki pengaruh pada perkembangan anak walau pada umumnya menghabiskan waktu yang relatif lebih sedikit dengan anak dibandingan dengan ibu (Phares, Rojas, Thurston & Hankinson, 2010). Ayah

dalam

keluarga

dengan

orang

tua

ganda

biasanya

menghabiskan sekitar sepertiga sampai seperempat kali waktu yang dihabiskan ibu dengan anak yang masih kecil, walaupun dalam dekade terakhir para ayah telah sedikit meningkatkan partisipasi. Keberadaan ayah di rumah tidak menjamin adanya keterlibatan ayah yang cukup berarti dengan anak atau remaja. Sementara ada beberapa pengecualian dimana ayah menunjukan komitmennya sebagai orang tua, namun ayah yang lain adalah seorang asing bagi anak mereka walaupun tinggal di dalam rumah yang sama (Santrock, 2012). Perkembangan sosial remaja dapat sangat diuntungkan oleh ayah yang penyayang, mudah dihubungi dan dapat diandalkan yang mendorong

23

tumbuhnya kepercayaan dan keyakinan (Stoll, Clausen, & Bronstein, 1994 dalam Santrock, 2012). Dalam sebuah penelitian terbaru, Furstenberg dan Harris,1992 (dalam Santrock, 2012) mendokumentasikan bagaimana ayah turut membesarkan dan membantu mengatasi masa-masa sulit anak. Di dalam keluarga Afrika-Amerika yang berpendapatan rendah, anak-anak yang memiliki ketertarikan dan perasaan identifikasi yang dekat dengan ayahnya semasa remaja ternyata dua kali lebih cenderung mendapat perkerjaan tetap, atau memasuki universitas, 75 persen lebih cenderung untuk tidak memiliki anak tanpa menikah, 80 persen lebih cenderung untuk tidak masuk penjara dan 50 persen lebih cenderung untuk tidak merasa tertekan. Tetapi sayangnya, hanya 10 persen anak dengan kesulitan ekonomi yang mengalami hubungan dekat yang stabil dengan ayahnya selama masa kanak-kanak dan remaja. Dalam dua penelitian lain, mahasiswa dan mahasiswi memiliki kepribadian dan penyesuaian sosial yang lebih baik ketika tumbuh dewasa di dalam rumah yang memiliki seorang ayah yang terlibat memelihara, dibandingkan dengan seorang ayah yang tidak peduli atau bersikap menolak (Santrock, 2012). Ayah sebagai makhluk berjenis kelamin laki-laki, mempunyai kepribadian yang secara umum dapat dikatakan berbeda dari perempuan. Proses sosialisasi masa kecil akan berperan sangat besar dalam hal ini. Oleh karena itu, munculah apa yang disebut dengan “peran seksual” yang membedakan peran laki-laki dan perempuan. Jika kemudian laki-laki berperan

dalam

pengasuhan,

memang

ada

determinan

yang

24

mendasarinya. Apapun determinan yang mendasari peran ayah hal yang menarik untuk ditekankan adalah efek positif dari keterlibatan dan sensivitas ayah. Ayah yang terlibat dan sensitif dalam pengasuhan anak akan memberikan efek positif paling tidak dalam dua hal yaitu yang pertama adalah pada perkembangan anak dan yang kedua yaitu melalui dukungan pada ibu dalam mengasuh anak, atau efek yang tidak langsung (Maharani & Andayani, 2003). Efek yang pertama adalah pada perkembangan anak. Keterlibatan ayah akan mengembangkan kemampuan anak untuk berempati, bersikap penuh perhatian dan kasih sayang, serta hubungan sosial yang lebih baik (Gottman, 2001). Penelitian juga menunjukan bahwa keterlibatan ayah akan memberikan manfaat yang positif bagi anak laki-laki dalam mengembangkan kendali diri dan kemampuan menunda pemuasan keinginan dan pada penyesuaian sosial remaja laki-laki (Maharani & Andayani, 2003). Dalam perkembangan seorang anak perempuan maka kasih sayang dan perhatian afektif dari ayah juga sangat dibutuhkan. Gottman (2001) menggarisbawahi bahwa meski peran ayah pada prestasi akademik dan karir perempuan belum didukung oleh hasil penelitian yang kuat, namun anak-anak perempuan yang didampingi oleh ayahnya akan cenderung tidak menjadi sexual promiscuous atau mampu mengendalikan diri dalam hal seksual secara dini dan mampu mengembangkan hubungan yang sehat dengan laki-laki dimasa dewasanya. Anak-anak perempuan yang

25

mendapatkan perhatian yang positif dari ayahnya akan mendapatkan pemenuhan kebutuhan afektif dan pada saat yang sama akan belajar tentang cara berhubungan dengan lawan jenis secara sehat. Efek yang kedua adalah melalui dukungan pada ibu dalam mengasuh anak, atau efek yang tidak langsung. Efek dari keterlibatan pada pengasuhan anak akan mengurangi tekanan pada ibu. Ketika ibu dipandang sebagai pengasuh utama dan menjadi orang yang bertanggung jawab penuh atas segala tugas kerumahtanggaan, maka beban ibu akan bertambah, apalagi saat stresor eksternal seperti masalah ekonomi mempengaruhi kondisi keluarga (Maharani & Andayani, 2003). Keterlibatan seorang ayah yang positif diyakini efek positifnya. Keterlibatan itu sendiri tidak dapat dimunculkan secara tiba-tiba pula. Oleh karena itu, sangat disarankan ayah mulai terlibat dengan anak sejak anak dilahirlkan. Ayah disankan untuk ikut terlibat dalam hal pengasuhan dan segala kerepotan mengurus bayi sejak awal supaya kedekatan dan kelekatan akan terbentuk sejak anak masih sangat muda (Andayani & Koentjoro, 2004). Ayah memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan anak usia dini, meskipun perannya agak berbeda dengan peran ibu. Keduanya memberikan kontribusi yang sama besarnya dalam perkembangan anak usia dini, meskipun peran yang diambil agak berbeda. Kelekatan antara anak dan ibu sudah terjalin sejak anak berada di dalam kandungan dan proses menyusui. Sedangkan ayah mampu membentuk hubungan lekat

26

dengan anak setelah periode pasca kelahiran. Secara umum peran yang banyak diambil dalam keluarga adalah sebagai pencari nafkah, sumber perlindungan, sebagai pendamping ibu dan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi ayah untuk mengambil peran dan terlibat dalam pengasuhan adalah kesejahteraan psikologisnya, sikap, kepribadian, motivasi dan jenis pekerjaannya. (Wijanarko & Setiawati, 2016). Sedangkan pada remaja, ayah berperan dalam membangun harga diri agar tetap positif dan juga menguatkan keinginan anak untuk berprestasi khususnya pada remaja perempuan, serta mengembangkan motivasi untuk sukses dalam pekerjaan dan motivasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada remaja laki-laki. Flouri dan Buchanan (Partasari, 2017) juga menyatakan bahwa keterlibatan ayah pada anak usia remaja berhubungan erat dengan kepuasan hidup. Para remaja laki-laki yang tidak mendapatkan keterlibatan ayahnya secara intens menunjukkan tingkat kepuasan hidup yang rendah. Keterlibatan ayah juga dapat meminimalisir remaja pria untuk menjadi korban bullying di sekolah. Sebaliknya, studi longitudinal yang dilakukan Culpin, Heron, Araya & Joinson (2015) menunjukkan bahwa ketidak hadiran ayah biologis dalam tumbuh kembang anak berpotensi untuk mendorong timbulnya depresi sebesar 11% pada anak perempuan ketika beranjak remaja. Hasil penelitian Harmaini, Shofiah, Yulianti (2014) menunjukan hasil bahwa terdapat tiga komponen besar yang dilakukan oleh ayah dalam

27

merawat anaknya yaitu (1) adanya kebutuhan afeksi sebesar 36,7% (2) pengasuhan 35,5 %. (3) dukungan finansial 15,7%. dan lebihnya 12% lainlain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan afeksi dan dukungan pengasuhan lebih dominan dalam cara ayah merawat anaknya. Hal ini mengisyaratkan keberhasilan seorang anak di masa depan lebih ditentukan oleh kekuatan dukungan afeksi dan dukungan pengasuhan ayah. Dukungan afeksi dan pengasuhan dari sudut padang ayah lebih pada perawatan psikologis dan pembentukan karakter anak. Hasil ini mungkin dipengaruhi oleh pandangan nilai-nilai budaya dan tuntutan norma sosial. Berdasarkan

beberapa

penjelasan

di

atas

peneliti

dapat

menyimpulkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan adalah suatu partisipasi aktif ayah secara terus menerus dalam pengasuhan anak yang mengandung aspek frekuensi, inisiatif dan pemberdayaan pribadi dalam dimensi fisik, kognisi dan afeksi dalam semua area perkembangan anak yaitu fisik, emosi, sosial, intelektual dan moral.

2. Dimensi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Phares, Rojas, Thurston & Hankinson (2010) mengemukakan dimensi-dimensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan adalah : a. Engagement, yaitu pengalaman ayah berinteraksi langsung dan melakukan aktivitas bersama misalnya bermain-main, meluangkan waktu bersama dan seterusnya.

28

b. Accessibility, yaitu kehadiran atau kesediaan ayah untuk anak. Orang tua ada di dekat anak tetapi tidak berinteraksi secara langsung dengan anak. c. Responsibility, yaitu sejauhmana ayah memahami dan memenuhi kebutuhan anak, termasuk memberikan nafkah dan merencanakan masa depan anak. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada tiga dimensi

keterlibatan

ayah

dalam

pengasuhan

yaitu

engagement,

accessibility, dan responbility.

3. Manfaat dari Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Menurut Wijanarko & Setiawati (2016), adapun manfaat dari keterlibatan ayah dalam perkembangan anaknya berdasarkan pada aspekaspek perkembangan anak: a. Aspek fisik motorik Anak-anak usia dini biasanya senang sekali bermain dan tidak pernah kenal lelah dalam bermain. Hal itu dapat melatih kemampuan fisik anak dan perkembangan fisik pada anak dapat diklasifikasikan menjadi dua aspek yaitu dapat ditinjau dari perkembangan motorik kasar dan perkembangan motorik halus. b. Aspek emosional Keterlibatan ayah dalam pengasuhan secara positif berhubungan dengan kepuasan hidup anak, lebih sedikit depresi, lebih sedikit yang

29

mengalami tekanan emosi dan lebih sedikit ekspresi emosional negatif seperti takut dan rasa bersalah. c. Aspek kogitif Anak menunjukan fungsi atau kemampuan kognitif yang lebih tinggi, kemampun memecahkan masalah secara lebih baik dan IQ yang lebih tinggi, dengan demikian ayah dapat menghasilkan anak yang lebih logis. d. Aspek sosial Keterlibatan ayah secara positif berhubungan dengan kompetensi sosial anak dan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, mempunyai hubungan dengan teman sebaya yang positif, menjadi populer dan menyenangkan, menunjukan agresivitas ataupun konflik dan kualitas pertemanan yang lebih positif. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ada empat manfaat keterlibatan ayah dalam pengasuhan diantaranya yaitu aspek fisik motorik, aspek emosional, aspek kognitif dan yang terakhir adalah aspek sosial.

C. Dukungan Sosial Teman Sebaya 1. Definisi Dukungan Sosial Teman Sebaya Definisi dukungan sosial yang dikemukakan oleh Jonhson and Jonhson (Wijayanti, 2015) adalah pemberian bantuan seperti materi, emosi dan informasi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia. Dukungan sosial dimaknai sebagai adanya keberadaan seseorang yang

30

dapat diandalkan untuk dimintai bantuan dorongan semangat, perhatian sehingga meningkatkan kesejahteraan. Dukungan sosial adalah informasi atau umpan balik dari orang lain yang menunjukan bahwa seseorang dicintai dan diperhatikan, dihargai dan dihormati serta dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal balik (King, 2012). Teman sebaya dalam masa remaja adalah sekelompok individu yang terdiri dari beberapa anggota remaja yang kira-kira berumur sama dan mulai menyadari akan hubungan sosial dan tekanan sosial dari temanteman sebayanya. Pada masa remaja, individu juga mulai melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tuanya dan mulai melakukan proses sosialisasi dengan dunia yang lebih luas. Menurut Mappire (2001) ada beberapa hal pribadi yang dapat membuat seseorang individu diterima dalam kelompok teman sebayanya, yaitu: penampilan (performance), kemampuan berpikir, sikap, sifat, perasaan dan pribadi. Pada banyak remaja, pandangan tentang teman sebaya merupakan aspek yang cukup penting dalam kehidupan mereka. Beberapa remaja akan melakukan apapun agar dapat dimasukan sebagai anggota. Kelompok remaja yang dikucilkan akan mudah merasa stres, frustasi dan mengalami kesedihan. Dalam hal ini yang merupakan teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Interaksi teman sebaya dengan usia yang sama akan memainkan peran yang unik pada masyarakat Amerika Serikat (Hartup, 2002).

31

Anak-anak menghabiskan semakin banyak waktu untuk berinteraksi dengan teman sebaya pada pertengahan masa anak-anak dan akhir masa anak-anak serta masa remaja. Dalam suatu penelitian, anak-anak berinteraksi dengan teman sebayanya 10% dari satu hari pada usia 2 tahun, 20% pada usia 4 tahun dan lebih dari 40% pada usia antara 7 sampai 11 tahun. Bagi remaja, hubungan teman sebaya merupakan bagian yang sangat besar dalam kehidupannya. Dalam penelitian lain, selama satu minggu remaja muda laki-laki dam perempuan menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak dengan teman sebaya daripada dengan orang tuanya (Santrock, 2014). Sullivan (dalam Santrock, 2014) merupakan ahli teori yang paling berpengaruh dalam pembicaraan mengenai pentingnya persahabatan pada masa remaja yang berpendapat bahwa ada peningkatan yang dramastis dalam kadar kepentingan secara psikologis dan keakraban antar teman dekat pada masa awal remaja. Berbeda dengan teori-teori psikologi analisa yang lain yang menekankan pada pentingnya hubungan orang tua dan anak, Sullivan beranggapan bahwa teman juga memainkan peran yang penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan anak dan remaja. Mengenai kesejahteraan, Sulllivan menyatakan bahwa semua orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar, juga termasuk kebutuhan kasih sayang (ikatan yang aman), teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial, keakraban dan hubungan seksual (Santrock, 2014).

32

Sumber penting bagi dukungan emosional selama masa peralihan yang rumit (masa remaja) dan juga sumber tekanan untuk melakukan perilaku yang tidak disukai oleh orang tua, yaitu meningkatkan keterlibatan remaja dengan teman sebaya. Kelompok teman sebaya adalah sumber kasih sayang, simpati, perhatian dan tuntunan moral, tempat untuk melakukan eksperimen serta sasaran untuk mencapai otonomi dan kemandirian dari orang tua. Kelompok teman sebaya adalah tempat untuk membentuk hubungan dekat yang berfungsi sebagai “latihan” bagi hubungan yang akan mereka bina di masa dewasa (Papalia, 2014). Pengaruh dari teman sebaya paling kuat di saat masa remaja awal, biasanya memuncak di usia 12 sampai 13 tahun serta menurun selama masa remaja pertengahan dan akhir, seiring dengan membaiknya hubungan antara remaja dengan orang tua. Keterikatan dengan teman sebaya di masa remaja awal tidak selalu menyebabkan masalah, kecuali jika keterikatan ini terlaku kuat sehingga remaja bersedia untuk mengabaikan aturan di rumah, lalai mengerjakan tugas sekolah, serta tidak mengembangkan bakat mereka untuk memenangkan persetujuan teman sebaya dan mendapatkan popularitas (Papalia, 2014). Salvy, Haye, Bowker & Hermans (2012) menyatakan bahwa kelompok bermain dan teman sangat berpengaruh terhadap perkembangan fisik, psikologis dan sosial secara signifikan pada remaja. Selain itu keterlibatan kelompok dan teman juga sangat berpengaruh pada remaja dalam upaya

33

pencegahan dan intervensi untuk mempromosikan dan mempertahankan lintasan kesehatan perilaku positif. Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial adalah adanya bantuan atau dukungan yang diterima individu dari orang lain yang memiliki kedekatan dalam kehidupannya sehingga individu tersebut merasa bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintainya.

2. Dimensi Dukungan Sosial Teman Sebaya Menurut Smet (1994) terdapat empat jenis atau dimensi dukungan sosial yaitu: a. Dukungan emosional yaitu mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan, misalnya umpan balik dan penegasan. b. Dukungan

penghargaan

yaitu

terjadi

lewat

ungkapan

hormat

(penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain, misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya. c. Dukungan instrumental yaitu mencakup bantuan langsung seperti kalau orang-orang memberi pinjaman uang kepada orang atau menolong dengan pekerjaan pada waktu mengalami stres.

34

d. Dukungan informatif yaitu mencakup memberi nasehat, petunjukpetunjuk, saran-saran atau umpan balik. Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa dimensi dukungan sosial teman sebaya terdiri dari empat dimensi yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informatif.

3. Manfaat Dukungan Sosial Teman Sebaya Sedangkan menurut Taylor (King, 2012) dukungan sosial memiliki tiga jenis manfaat yaitu: a. Bantuan yang nyata Keluarga dan teman dapat memberikan berbagai barang dan jasa dalam situasi yang penuh stres, misalnya hadiah makanan seringkali diberikan setelah kematian keluarga sehingga anggota keluarga yang berduka tidak akan memasak saat itu ketika energi dan motivasi mereka sedang rendah. b. Informasi Individu yang memberikan dukungan juga dapat merekomendasikan tindakan dan rencana spesifik untuk membantu seseorang dalam copingnya dengan berhasil. Teman-teman dapat memperhatikan bahwa kerja mereka kelebihan beban kerja dan menganjurkan cara-cara baginya untuk mengelola waktu lebih efisien atau medelegasikan tugas lebih efisien.

35

c. Dukungan Sosial Dalam situasi penuh stres, individu seringkali menderita secara emosional

dan

dapat

mengembangkan

depresi,

kecemasan

dan

kehilangan harga diri. Teman-teman dan keluarga dapat menenangkan seseorang yang berada di bawah stres bahwa dirinya adalah orang yang berharga dan dicintai oleh orang lain. Mengetahui orang lain peduli memungkinkan seseorang untuk mengurangi stres dan mengatasinya dengan keyakinan yang lebih besar. Berdasakan pendapat Taylor (King, 2012) di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial memiliki manfaat yang berbeda-beda yaitu bantuan yang nyata atau bantuan secara langsung, informasi serta dukungan sosial.

D. Hubungan antara Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Subjective Well-Being Subjective well-being merupakan bagian penting dalam setiap bagian kehidupan manusia. Evaluasi kehidupan manusia dapat dilihat dari tingkat subjective well-being seseorang, dimana seseorang dengan subjective well-being tinggi akan berdampak pada rasa percaya diri serta hubungan sosial yang baik. (Pavot dan Diener dalam Dewi & Utami (2013); Ulfah & Mulyana (2014). Selain itu, Masten & Reed (2002) menyebutkan bahwa subjective well-being diartikan sebagai bentuk kebahagiaan dan menjadi hal yang penting dalam menentukan kualitas hidup yang positif.

36

Kebahagiaan yang di ungkapkan dalam subjective well-being dapat dilihat dari berbagai tingkatan usia termasuk usia remaja. Penelitian yang dilakukan Lim, Cappa & Patton (2017) menunjukan hasil bahwa usia 15-24 tahun mendapatkan kebahagiaan dan harapan tentang masa depan dengan tingkat kepuasan mencapai 40% dalam menjalani kehidupannya. Kepuasan yang dirasakan dalam subjective wellbeing memiliki hubungan dengan afek positif seseorang. Saat afek positif meningkat seperti rasa suka cita, menikmati kehidupan, kepuasan dalam hidup, rasa harga diri dan rasa bahagia (Diener dalam Eid & Larsen, 2008). Namun demikian, subjective well-being akan menurun dengan adanya afek negatif yang sangat tinggi pada diri seseorang. Remaja dengan afek negatif yang tinggi karena suatu masalah sehingga akan merasa cemas, sedih, marah dan mengalami tekanan yang berlebih akan menurunkan subjective well-being (Diener, Suh & Oishi dalam Eid & Larsen, 2008). Selain afek positif dan negatif, kepuasan hidup juga dapat menentukan

subjective

well-being.

Remaja

akan

menemukan

kesejahteraan hidup yang baik dengan kepuasan hidup yang dirasakan pada masa lalu, saat ini, kehidupan yang telah direncanakan serta pendapat

dari orang terdekat.

Disisi lain

remaja

dengan masa

pertumbuhannya sangat berhubungan dengan faktor yang mempengaruhi. Remaja sebagai individu memiliki sifat dan watak yang berbeda dengan individu lain. Sifat yang terbuka akan menjadikan remaja lebih peka terhadap kejadian yang menjadikan dirinya bahagia. Watak dan sifat remaja

37

akan membentuk karakter pribadi pada remaja yang berhubungan dengan subjective well-being. Pavot dan Diener (dalam Linley dan Joseph, 2004) mengatakan orang dengan rasa optimis tentang masa depan akan merasa lebih bahagia dan lebih puas dalam menjalani hidup. Sifat yang optimis akan membentuk hubungan sosial yang baik sehingga mendapatkan dukungan sosial dan kedekatan emosional. Disisi lain budaya berpengaruh tehadap subjective well-being.

Hubungan ini terbentuk karena pada

beberapa negara akan menerapkan hak asasi bagi penduduknya akan menimbulkan kebahagiaan bagi penduduknya (Pavot dan Diener dalam Linley dan Joseph, 2004). Pada remaja selain beberapa hal yang telah disebutkan peran ayah juga memiliki hubungan dengan subjective well-being. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan yang diartikan sebagai perhatian dalam perkembangan dan memahami keadaan anak remajanya (Allen dan Daly, 2007). Adanya keterlibatan ayah dalam pengasuhan membentuk karakter baik pada anak. Karakter tersebut yaitu berempati, bersikap penuh perhatian dan kasih sayang. Sikap tersebut akan menjadikan hubungan sosial yang lebih baik (Gottman, 2001). Kelekatan yang diciptakan dari keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan memunculkan kepuasan hidup pada anak, menunjukan kemampuan kognitif yang tinggi sehingga dapat memecahkan masalah dengan lebih baik. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan juga akan menjadikan anak memiliki hubungan sosial yang baik dengan lingkungan sekitar (Wijanarko & Setiawati, 2016).

38

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan dapat diungkapkan dengan kehadiran ayah untuk remaja saat menghadapi masalah. Pengalaman ayah dapat dijadikan panduan untuk memecahkan masalah remaja atau memandu remaja dalam menghadapi pertumbuhan atau interaksi dengan lingkungan sosial. Kehadiran ayah sebagai figur contoh bagi remaja akan membuat remaja merasa diperhatikan. Hal ini akan meningkatkan kebahagiaan remaja yang secara tidak langsung akan meningkatkan subjective well-being pada remaja. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan dapat diwujudkan dengan meluangkan waktu bersama dan melakukan hal yang menyenangkan bersama remaja. Kebersamaan ini akan membentuk perasaan positif yang lebih tinggi daripada perasaan negatif. Hal ini menjadikan remaja penuh dengan rasa sayang, meningkatkan harga diri dan menikmati hidup. Semua perasaan tersebut tertanam dalam diri remaja maka secara tidak langsung akan timbul kepuasan hidup remaja sehingga subjective well-being pada remaja akan meningkat. Kehadiran ayah dalam setiap masalah yang remaja hadapi menjadikan remaja merasa percaya diri untuk melewati setiap kesulitan yang dihadapi, dengan demikian harga diri remaja akan terbentuk. Keadaan tersebut menjadikan remaja lebih meningkatkan aspek positif. Berbeda halnya dengan remaja tanpa kehadiran ayah dalam menghadapi masalah akan lebih meningkatkan aspek negatif seperti timbul rasa cemas, kesedihan, timbul tekanan dan rasa marah. Apabila perasaan tersebut

39

dapat dihilangkan dengan adanya kehadiran ayah maka akan timbul kepuasan hidup pada remaja dan muncul subjective well-being dalam diri remaja. Selain interaksi langsung dan kehadiran ayah, hal yang tidak kalah penting adalah keterlibatan ayah dalam pengasuhan dalam bentuk perhatian ayah. Perhatian diwujudkan dengan memenuhi kebutuhan remaja termasuk memberikan nafkah materi dan merencanakan masa depan remaja. Wujud perhatian ini akan memberikan rasa percaya diri dan harga diri pada remaja karena merasa setiap kebutuhannya tercukupi. Remaja tidak lagi khawatir akan masa depan dan dapat dengan senang menjalani kehidupan sehingga terbentuk aspek positif dan kepuasan hidup yang selanjutnya membentuk subjective well-being. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan yang membentuk hubungan sosial pada remaja akan menimbulkan hubungan yang baik antara remaja dan teman sebaya. Hubungan yang baik ini akan menimbulkan dukungan yang baik pula pada remaja dari teman sebaya. Dukungan berupa materi, emosi dan informasi akan meningkatkan kemampuan remaja untuk meningkatkan subjective well-being. Dukungan emosional dan informatif teman sebaya memiliki hubungan dengan terbentuknya subjective well-being pada remaja. Teman sebaya dapat memberikan dukungan berupa kepedulian, ungkapan empati, memberi nasehat serta saran ketika remaja menghadapi permasalahan ataupun dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Smet,1994). Dukungan ini

40

menjadikan remaja lebih bersikap optimis sehingga walaupun remaja sedang menghadapi masalah dalam kehidupam ataupun menjalani perkembangan akan lebih tenang, merasakan kasih sayang dari lingkungan sekitar. Perasaan tersebut dapat meningkatkan aspek positif dan meminimalkan aspek negatif sehingga tercipta kepuasan hidup. Teman sebaya menjadi pendukung yang sangat penting bagi remaja dengan kondisi perkembangan remaja yang masih mecari jati diri. Dengan demikian dukungan penghargaan dan dukungan instrumental berupa ungkapan positif, dorongan untuk lebih maju, bantuan secara langsung atau dengan kehadiran teman saat menghadapi masalah serta bantuan untuk meringankan masalah yang dapat menimbulkan stres. Semua dukungan tersebut akan sangat membantu remaja dalam meningkatkan aspek positif. Lain

halnya

dengan

remaja

yang

tidak

mendapatkan

dukungan

penghargaan dan instrumental dari teman sebaya, remaja akan menghadapi kesulitan dalam melewati masalah ataupun melewati masa perkembangannya. Remaja dengan keadaan seperti ini akan meningkatkan aspek

negatif

dengan

merasakan

perasaan

marah,

kesedihan,

kekhawatiran dan mengalami tekanan. Seiring dengan munculnya perasaan tersebut maka akan menurunkan kepuasan hidup remaja. Maka subjective well-being remaja akan menurun pula dengan keadaan ini.

41

E. Hipotesis 1.

Hipotesis mayor : ada hubungan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya dengan subjective wellbeing.

2.

Hipotesis minor a. Ada hubungan positif antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan subjective well-being. Semakin tinggi keterlibatan ayah dalam pengasuhan maka akan semakin tinggi pula subjective well-being. Sebaliknya jika keterlibatan ayah dalam pengasuhan semakin rendah maka akan semakin rendah pula subjective well-being. b. Ada hubungan positif antara dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being. Semakin tinggi dukungan sosial teman sebaya maka akan semakin tinggi pula subjective well-being. Sebaliknya jika dukungan sosial teman sebaya semakin rendah maka akan semakin rendah pula subjective well-being.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel Tergantung

: Subjective Well-Being

2. Variabel Bebas 1

: Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan

Variabel Bebas 2

: Dukungan Sosial Teman Sebaya

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Subjective Well-Being Subjective well-being merupakan persepsi individu yang terkait dengan pengalaman kehidupannya yang menyangkut komponen kognitif yang berkaitan dengan kepuasan hidup dan komponen afektif yang berkaitan dengan kebahagiaan dan yang dicirikan dengan tingginya tingkat kepuasan terhadap hidup, tingginya tingkat emosi positif dan rendahnya tingkat emosi negatif. Subjective

Well-Being

diungkap

dengan

menggunakan

Skala

Subjective Well-Being yang disusun oleh peneliti. Semakin tinggi skor maka menunjukan semakin tinggi Subjective Well-Being. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah Subjective Well-Being.

43

43

2. Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Keterlibatan ayah dalam pengasuhan adalah suatu partisipasi aktif ayah secara terus menerus dalam pengasuhan anak yang mengandung aspek frekuensi, inisiatif dan pemberdayaan pribadi dalam dimensi fisik, kognisi dan afeksi dalam semua area perkembangan anak yaitu fisik, emosi, sosial, intelektual dan moral yang berkaitan dengan aspek engangement, accessibility serta responsibility. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan diungkap melalui persepsi anak terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan cara mengisi Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan. Keterlibatan

ayah

dalam

pengasuhan

diungkap

dengan

menggunakan Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan yang disusun oleh peneliti. Semakin tinggi skor maka menunjukan semakin tinggi keterlibatan ayah dalam pengsuhan. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah keterlibatan ayah dalam pengasuhan.

3. Dukungan Sosial Teman Sebaya Dukungan sosial adalah adanya bantuan atau dukungan yang diterima oleh individu dari orang lain yang memiliki kedekatan dalam kehidupannya baik berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informasi sehingga individu tersebut merasa bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintainya.

44

Dukungan sosial teman sebaya diungkap dengan menggunakan Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya yang disusun oleh peneliti. Semakin tinggi skor maka menunjukan semakin tinggi dukungan sosial teman sebaya. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah dukungan sosial teman sebaya.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Populasi harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain. Ciri yang dimaksud tidak terbatas hanya sebagai ciri lokasi akan tetapi dapat terdiri dari karakteristik-karakteristik individu (Azwar, 2015). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP Muhammadiyah 1 Moyudan. 2. Sampel Penelitian Sampel adalah sebagian dari populasi yang merupakan bagian dari populasi sehingga harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya. Suatu sampel merupakan suatu representasi yang baik bagi populasinya sangat tergantung pada sejauhmana karakteristik sampel sama dengan karakteristik populasinya. Analisis penelitian didasarkan pada data sampel sedangkan kesimpulannya nanti akan diterapkan ada populasi sehingga sangatlah penting untuk memperoleh sampel yang representatif bagi populasinya (Azwar, 2015).

45

Metode pengambilan sampel menggunakan cluster random sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara mengundi nama-nama kelas dengan asumsi bahwa kelas-kelas tersebut dianalogikan sebagai cluster-cluster seperti misalnya populasi daerah-daerah. Peneliti melakukan teknik cluster random sampling dengan cara menuliskan nama-nama kelas dalam secarik kertas dan digulung, kemudian kertas yang sudah digulung tersebut dimasukan ke dalam botol yang selanjutnya dikocok. Selanjutnya diambil empat gulungan kertas yang terpilih sebagai sampel penelitian. Nama kelas yang tertulis dalam tiga gulungan kertas tersebut yang akan terpilih sebagai sampel penelitian, yaitu kelas VII, VIII dan IX.

D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala yang terdiri dari tiga skala yaitu Skala Subjective WellBeing, Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan serta Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya. Keuntungan dari pengumpulan data dengan menggunakan metode skala adalah praktis dan hemat, karena dalam waku singkat dapat mengumpulkan data yang relatif banyak. Metode skala merupakan pemberian respon yang berwujud pernyataan yang diajukan melalui self report untuk Skala Subjective Well-Being, Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan serta Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya.

46

Penjelasan mengenai alat ukur yang digunakan dalam pengambilan data adalah sebagai berikut: 1. Skala Subjective Well-Being Skala Subjective Well-Being menggunakan metode summated rating scale yang terdiri dari empat pilihan jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Asumsi yang mendasar pada penskoran adalah ada jawaban yang mendukung tujuan penelitian (favorabel) dan pernyataan yang tidak mendukung tujuan penelitian (unfavorabel). Jawaban subjek pada jawaban favorabel diberi bobot yang lebih tinggi daripada pernyataan unfavorabel. Sebaran aitem dalam Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan kisi-kisi Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan sebelum try out dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan 3.2. Skor nilai hasil pengukuran yang diberikan atas jawaban pernyataan favorabel Sangat Sesuai (SS) yaitu 4, Sesuai (S) yaitu 3, Tidak Sesuai (TS) yaitu 2 dan Sangat Tidak Sesuai (STS) yaitu 1. Sedangkan skor nilai hasil pengukuran yang diberikan atas jawaban pernyataan unfavorabel Sangat Sesuai (SS) yaitu 1, Sesuai (S) yaitu 2, Tidak Sesuai (TS) yaitu 3 dan Sangat Tidak Sesuai (STS) yaitu 4.

47

Tabel 3.1. Sebaran Aitem Dalam Skala Subjective Well-Being Aspek

F

Bobot (%)

Afeksi Positif

16

33, 33

Afeksi Negatif

16

33, 33

Kepuasan Hidup

16

33, 33

∑ (Total)

48

100%

Tabel 3.2. Kisi-kisi Skala Subjective Well-Being Sebelum Uji Coba Nomor Aitem Aspek-aspek Favorabel Unfavorabel Afeksi Positif Afeksi Negatif Kepuasan Hidup ∑

1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15 17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 31 33, 35, 37, 39, 41, 43, 45, 47 24

2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 18, 20, 22, 24, 26, 28, 30, 32 34, 36, 38, 40, 42, 44, 46, 48 24

Jumlah 16 16 16 48

2. Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan menggunakan metode summated rating scale yang terdiri dari empat pilihan jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Asumsi yang mendasar pada penskoran adalah jawaban yang mendukung tujuan (favorabel) dan pernyataan yang tidak mendukung tujuan (unfavorabel), jawaban subjek pada jawaban favorabel diberi bobot yang lebih tinggi dari pada pernyataan unfavorabel. Sebaran aaitem dalam Skala

48

Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan kisi-kisi Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan sebelum try out dapat dilihat pada Tabel 3.3 dan 3.4. Skor nilai hasil pengukuran yang diberikan atas jawaban pernyataan favorabel Sangat Sesuai (SS) yaitu 4, Sesuai (S) yaitu 3, Tidak Sesuai (TS) yaitu 2 dan Sangat Tidak Sesuai (STS) yaitu 1. Sedangkan skor nilai hasil pengukuran yang diberikan atas jawaban pernyataan unfavorabel Sangat Sesuai (SS) yaitu 1, Sesuai (S) yaitu 2, Tidak Sesuai (TS) yaitu 3 dan Sangat Tidak Sesuai (STS) yaitu 4. Tabel 3.3. Sebaran Aitem Dalam Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Aspek

F

Bobot (%)

1. Aspek Engagement

16

33, 33

2. Aspek Accessability

16

33, 33

3. Aspek Responbility

16

33, 33

∑ (Total)

48

100%

Tabel 3.4. Kisi-kisi Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Sebelum Uji Coba Nomor Aitem Jumlah Aspek-aspek Favorabel Unfavorabel Aspek Engagement Aspek Accessability Aspek Responbility ∑

1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15 17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 31 33, 35, 37, 39, 41, 43, 45, 47 24

2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 18, 20, 22, 24, 26, 28, 30, 32 34, 36, 38, 40, 42, 44, 46, 48 24

16 16 16 48

49

3. Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya Model skala Dukungan Sosial Teman Sebaya menggunakan metode summated rating scale yang terdiri dari empat pilihan jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Asumsi yang mendasar pada penskoran adalah jawaban yang mendukung tujuan (favorabel) dan pernyataan yang tidak mendukung tujuan (unfavorabel), jawaban subjek pada jawaban favorabel diberi bobot yang lebih tinggi dari pada pernyataan unfavorabel. Kisi-kisi dan tabel sebaran uji coba Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya sebelum try out dapat dilihat pada tabel 3.5 dan 3.6. Skor nilai hasil pengukuran yang diberikan atas jawaban pernyataan favorabel Sangat Sesuai (SS) yaitu 4, Sesuai (S) yaitu 3, Tidak Sesuai (TS) yaitu 2 dan Sangat Tidak Sesuai (STS) yaitu 1. Sedangkan skor nilai hasil pengukuran yang diberikan atas jawaban pernyataan unfavorabel Sangat Sesuai (SS) yaitu 1, Sesuai (S) yaitu 2, Tidak Sesuai (TS) yaitu 3 dan Sangat Tidak Sesuai (STS) yaitu 4. Tabel 3.5. Sebaran Aitem Dalam Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya Aspek

F

Bobot (%)

1. Dukungan Emosional

12

25

2. Dukungan Penghargaan

12

25

3. Dukungan Instrumental

12

25

4. Dukungan Informatif

12

25

∑ (Total)

48

100%

50

Tabel 3.6. Kisi-kisi Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya Sebelum Uji Coba Nomor Aitem Jumlah AspekFavorabel Unfavorabel aspek 12 Dukungan 1, 3, 5, 7, 9, 11 2, 4, 6, 8, 10, Emosional 12 12 Dukungan 13, 15, 17, 19, 14, 16, 18, 20, Penghargaan 21, 23 22, 24 12 Dukungan 25, 27, 29, 31, 26, 28, 30, 32, Instrumental 33, 35 34, 36 12 Dukungan 37, 39, 41, 43, 38, 40, 42, 44, Informatif 45, 47 46, 48 48 ∑ 24 24

E. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2015). Penelitian ini menggunakan validitas isi (content validity), yaitu validitas yang diestimasi dengan pengujian terhadap isi tes menggunakan analisis rasional atau dengan professional judgement dengan cara mencari aspek-aspek dari variabel yang digunakan kemudian dibuat beberapa aitem yang akan diujicobakan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk penelitian (Azwar, 2015). Validitas isi menunjukkan sejauhmana aitem-aitem dalam skala yang telah ditulis sesuai dengan batasan domain ukur yang telah ditetapkan

51

semula dan memeriksa apakah masing-masing aitem telah sesuai dengan indikator yang hendak diungkap (Azwar, 2015). Professsional judgment dilakukan dengan cara meminta pertimbangan kepada dosen pembimbing tentang kesesuaian antara aitem yang disusun dalam skala likert dengan aspek yang diungkap. 2. Reliabilitas Pengukuran yang mempunyai reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel (reliable). Konsep reliabilitas yaitu sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya (Azwar, 2015). Koefisien reliabitilas yang digunakan dalam penelitian ini adalah koefisien reliabilitas Alpha Cronbach. Sedangkan teknik estimasi penelitian yang digunakan adalah teknik konsistensi internal melalui single trial administration yaitu prosedur yang hanya memerlukan satu kali pengenaan sebuah tes kepada sekelompok

individu

sebagai

subjek.

Data

penelitian

dihitung

menggunakan bantuan fasilitas komputer program Statistical Product and Service Sollution (SPSS) 23.0 for windows (Azwar, 2015).

F. Metode Analisis Data Metode yang digunakan untuk analisis data penelitian adalah teknik analisis regresi berganda, yaitu suatu teknik analisis statistik yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung dengan meramalkan nilai atau skor lebih dari satu variabel bebas lainnya yang gejala datanya interval atau rasio.

52

Penggunaan teknik analisis regresi berganda mensyaratkan bahwa variabel-variabel penelitian harus berdistribusi normal dan hubungan antar masing-masing variabel yang diukur linier. Oleh karena itu, sebelum data dianalisis maka akan dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas. Keseluruhan komputasi data penelitian akan dilakukan dengan bantuan fasilitas komputer program Statistical Product and Service Sollution (SPSS) 23.0 for windows.

BAB IV LAPORAN PENELITIAN

A. Orientasi Kancah Penelitian Subjek penelitian ini adalah semua siswa SMP Muhammadiyah 1 Moyudan yang beralamat di Jln. Klangon-Tempel, Barepan-SumberrahayuMoyudan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55563. SMP Muhammadiyah 1 Moyudan berdiri sejak tahun 1976 ditunjukan dengan SK nomor 23/28/MPK/74 yang dikeluarkan pada tanggal 25 Juli 1976. Luas lahan untuk pendirian sekolah yaitu seluas 2575 M2 dengan berbagai sarana sebagai pendukung kegiatan proses belajar mengajar. SMP Muhammadiyah 1 Moyudan dipimpin oleh Bapak Tri Muriana Budianto, S. T sebagai kepala sekolah didukung dengan memiliki sumber daya guru sejumlah 11 orang. SMP Muhammadiyah 1 Moyudan terbagi dari tiga kelas yaitu kelas VII, VIII dan IX. Populasi penelitian ini adalah semua siswa SMP Muhammadiyah 1 Moyudan. Subjek try out menggunakan siswa dalam satu kelas yaitu kelas VIII, sedangkan untuk sampel penelitian adalah siswa dari dua kelas yaitu kelas VII dan kelas IX. Berikut adalah data jumlah siswa di SMP Muhammadiyah 1 Moyudan:

53

54

Keterangan

Jumlah

Siswa Kelas VII A

28 Siswa

Siswa Kelas VII B

29 Siswa

Siswa Kelas VIII A

25 Siswa

Siswa Kelas VIII B

27 Siswa

Siswa Kelas IX A

20 Siswa

Siswa Kelas IX B

26 Siswa Total

155 Siswa

B. Persiapan Penelitian 1. Proses Perijinan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan memenuhi persyaratan yang akan digunakan untuk mendapatkan surat ijin melakukan penelitian di SMP Muhammadiyah 1 Moyudan. Peneliti terlebih dahulu mengajukan Surat Ijin Penelitian kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dengan nomor: F.4/776/H.1/V/2018 pada tanggal 22 Mei 2018. Surat Ijin Penelitian ini digunakan peneliti sebagai pengantar untuk mendapatkan ijin penelitian ke SMP Muhammadiyah 1 Moyudan. Setelah ijin penelitian disetujui maka secara resmi peneliti telah diberikan ijin untuk melakukan uji coba serta penelitian oleh pihak sekolah.

55

2. Persiapan Alat Ukur Penelitian Sebelum penelitian dilakukan, peneliti terlebih dahulu mempersiapkan alat ukur yang akan digunakan. Proses yang menentukan keberhasilan dalam penelitian psikologi yaitu salah satunya menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan uji coba terhadap alat ukur yang digunakan dalam penelitian. Uji coba ini dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan alat ukut yang valid dan reliabel. Pada penelitian ini peneliti menggunakan tiga macam skala sebagai alat ukur yang terdiri dari Skala Subjective Well-Beng, Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya. Peneliti mengambil sampel dengan menggunakan teknik clauster random sampling yaitu melakukan randomisasi terhadap kelompok bukan terhadap subjek secara individual. 3. Persiapan Uji Coba Skala Penelitian Persiapan uji coba yang dilakukan oleh peneliti adalah melakukan konfirmasi terlebih dahulu dengan pihak SMP Muhammadiyah 1 Moyudan untuk meminta ijin waktu yang akan digunakan dalam melakukan penelitian. Selanjutnya peneliti mempersiapkan alat ukur yang akan digunakan yaitu Skala Subjective Well-Being yang terdiri dari 48 aitem, Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan yang terdiri dari 48 aitem dan Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya yang terdiri dari 48 aitem.

56

4. Pelaksanaan Uji Coba Skala Penelitian Uji coba dilakukan pada tanggal 4 Juni 2018 pada kelas VIII dengan jumlah subjek sebanyak 52 siswa. Uji coba skala dilaksanakan oleh peneliti dan dibantu oleh fasilitator. Ketiga skala yang diujicobakan dimaksudkan untuk mengetahui aitem dalam skala saja yang layak untuk dijadikan alat ukur dalam penelitian. 5. Hasil Uji Coba Uji coba alat ukur yang dilaksanakan dengan menggunakan subjek siswa kelas VIII sebanyak 52 siswa yang diminta untuk mengisi pernyataan dalam Skala Subjective Well-Being, Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya. Hasil uji coba pada ketiga skala tersebut dimasukan ke dalam tabulasi untuk memudahkan analisis data. Kualitas aitem ketiga skala dianalisis dengan bantuan fasilitas komputer program Statistical Product and Service Sollution (SPSS) 23.0 for windows. a. Seleksi Aitem 1) Skala Subjective Well-Beng Skala Subjective Well-Being terdiri dari 48 aitem yang kemudian dilakukan pengujian terhadap validitas melalui profesional judgment dan reliabilitas dengan analisis menggunakan bantuan program SPSS 23.0 for windows. Apabila dengan cara membuang aitem tersebut koefisien reliabilitas Alpha dapat menjadi lebih tinggi, maka akan dilakukan dua tahap

57

dalam penyetaraan skala tersebut. Tahap pertama yaitu pembuangan aitem dan tahap kedua yaitu penyesuaian jumlah aitem. Peneliti melakukan seleksi aitem dengan empat kali putaran dalam pembuangan aitem. Pada analisis pertama terdapat 48 aitem dengan koefisien reliabilitas 0,825 dan aitem yang terbuang sebanyak 13 aitem, yaitu aitem nomor 5, 17, 18, 19, 21, 23, 24, 25, 28, 33, 35, 37 dan 44. Pada analisis kedua terdapat 35 aitem dengan koefisien reliabilitas 0,860 dan aitem yang terbuang sebanyak 1 aitem, yaitu aitem nomor 47. Pada analisis ketiga terdapat 34 aitem dengan koefisien reliabilitas 0,860 dan aitem yang terbuang sebanyak 2 aitem yaitu aitem nomor 10 dan 16. Pada analisis terakhir tidak ada aitem yang terbuang karena koefisien reliabilitas sudah mencukupi yaitu 0,859 dengan jumlah sisa aitem sebanyak 32 aitem. Berikut tabel 4.1 yang memuat hasil analisis aitem Skala Subjective Wellbeing yang valid dan gugur pada tahap pertama. Tabel 4.1. Sebaran aitem skala subjective well-being tahap satu Nomor Aitem No Aspek Favorabel Gugur Unfavorabel Gugur 1.

Afeksi Positif

1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15

7, 9, 11, 15

2.

Afeksi Negatif

17, 19, 21, 23, 25

3.

Kepuasan Hidup

17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 31 33, 35, 37, 39, 41, 43, 45, 47 24

Total

33, 35, 37, 47 13

2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 18, 20, 22, 24, 26, 28 34, 36, 38, 40, 42, 44, 46, 48 24

2, 6, 10, 16 18, 24, 28

36, 38, 42, 44 11

58

Tahap kedua yaitu penyesuaian yang dilakukan dengan membuang aitem untuk memenuhi jumlah aitem yang dibutuhkan. Penyetaraan aitem dalam skala dilakukan dengan cara membuang aitem dengan nilai rit terendah. Aitem tersebut yaitu nomor 2, 6, 7, 9, 15, 36, 38 dan 42 sehingga tersisa 24 aitem yang memiliki koefisien reliabilitas Alpha (rtt) sebesar 0, 843. Hasil analisis aitem yang valid dan gugur dalam Skala Subjective WellBeing pada analisis tahap kedua atau penyesuaian disajikan pada tabel 4.2. Tabel 4.2. Sebaran aitem skala subjective well-being tahap penyesuaian Nomor Aitem No

Aspek

1.

Gugur

Afeksi Positif

1, 3, 11, 13

7, 9, 11, 15

4, 8, 12, 14,

2, 6, 10, 16

2.

Afeksi Negatif

27, 29, 31

17, 19, 21, 23, 25

20, 22, 26, 30, 32

18, 24, 28

3.

Kepuasan Hidup

39, 41, 43, 45

33, 35, 37, 47

34, 40, 46, 48

36, 38, 42, 44

Total

11

13

Unfavorabel

Gugur

Favorabel

13

11

Sebaran aitem dalam Skala Subjective Well-Being tahap kedua setelah melakukan penyesuaian disajikan dalam tabel 4.3.

59

Tabel 4.3. Sebaran aitem skala subjective well-being setelah tahap penyesuaian Aitem No

Aspek

Jumlah

Favorabel

Unfavorabel

F

Bobot (%)

1.

Afeksi Positif

1, 3, 11, 13

4, 8, 12, 14

8

33,33 %

2.

Afeksi Negatif

27, 29, 31

20, 22, 26, 30, 32

8

33,33 %

3.

Kepuasan Hidup

39, 41, 43, 45

34, 40, 46, 48

8

33,33 %

Jumlah

11

13

24

100 %

Indeks daya beda aitem-aitem (rit) Skala Subjective Well-being dengan penomoran baru berkisar antara 0,261-0,542. Aitem-aitem dalam Skala Subjective Well-being dengan penomoran baru dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4. Sebaran Aitem skala subjective well-being dengan penomoran baru Aitem No

Aspek

Jumlah

Favorabel

Unfavorabel

F

Bobot (%)

1.

Afeksi Positif

1, 3, 5, 7

2, 4, 6, 8

8

33,33 %

2.

Afeksi Negatif

9, 11, 13

10, 12, 14, 15, 16

8

33,33 %

3.

Kepuasan Hidup

17, 19, 21, 23

18, 20, 22, 24

8

33,33 %

Jumlah

11

13

24

100

60

2) Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan terdiri dari 48 aitem yang kemudian dilakukan pengujian terhadap validitas melalui professional judgment dan reliabilitas dengan analisis menggunakan bantuan program SPSS 23.0 for windows. Apabila dengan cara membuang aitem tersebut koefisien reliabilitas Alpha dapat menjadi lebih tinggi, maka akan dilakukan dua tahap dalam penyetaraan skala tersebut. Tahap pertama yaitu pembuangan aitem dan tahap kedua yaitu penyesuaian jumlah aitem. Peneliti melakukan seleksi aitem dengan tiga kali putaran dalam pembuangan aitem. Pada analisis pertama terdapat 48 aitem dengan koefisien reliabilitas 0,940 dan aitem yang terbuang sebanyak 4 aitem, yaitu aitem nomor 2, 6, 24 dan 38. Pada analisis kedua terdapat 44 aitem dengan koefisien reliabilitas 0,944 dan aitem yang terbuang sebanyak 12 aitem, yaitu aitem nomor 1, 5, 11, 13, 17, 23, 25, 30, 41, 44, 45 dan 46. Pada analisis terakhir tidak ada aitem yang terbuang karena koefisien reliabilitas sudah mencukupi yaitu 0,945 dengan jumlah sisa aitem sebanyak 32 aitem. Berikut tabel 4.5 yang memuat hasil analisis aitem skala keterlibatan ayah dalam pengasuhan yang valid dan gugur pada tahap pertama.

61

Tabel 4.5. Sebaran Aitem skala keterlibatan ayah dalam pengasuhan tahap satu Nomor Aitem No Aspek Favorabel Gugur Unfavorabel Gugur 1.

Aspek Engagement

1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15

1, 5, 11, 13

2.

Aspek Accessability

17, 23, 25

3.

Aspek Responbility

17, 19, 21, 23, 25, 27, 29, 31 33, 35, 37, 39, 41, 43, 45, 47 24

Total

41, 45

9

2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 18, 20, 22, 24, 26, 28, 30, 32 34, 36, 38, 40, 42, 44, 46, 48 24

2, 6

24, 30

38, 44, 46 7

Tahap kedua yaitu penyesuaian yang dilakukan dengan cara membuang aitem untuk memenuhi jumlah aitem yang dibutuhkan. Penyetaraan aitem skala dilakukan dengan cara membuang aitem dengan nilai (rit) terendah. Aitem tersebut yaitu nomor 4, 14, 19, 20, 32, 35, 39 dan 40 sehingga tersisa 24 aitem yang memiliki koefisien reliabilitas Alpha (rtt) sebesar 0, 935. Hasil analisis aitem dalam Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan yang valid dan gugur pada tahap kedua atau penyesuaian disajikan pada tabel 4.6.

62

Tabel 4.6. Sebaran aitem skala keterlibatan ayah dalam pengasuhan tahap penyesuaian Nomor Aitem No

Aspek

1.

Aspek Engagement Aspek Accessability Aspek Responbility Total

2. 3.

Favorabel

Gugur

Unfavorabel

Gugur

3, 7, 9, 15

-

8, 10, 12, 16

4, 14

21, 27, 29, 31 33, 37, 43, 47 12

19

18, 22, 26, 28

20, 32

35, 39

34, 36, 42, 48

40

3

12

5

Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan tahap kedua setelah melakukan penyesuaian disajikan dalam tabel 4.7. Tabel 4.7. Sebaran aitem skala keterlibatan ayah dalam pengasuhan setelah tahap penyesuaian Aitem No 1. 2. 3.

Aspek

Jumlah

Favorabel

Unfavorabel

F

Bobot (%)

Aspek Engagement Aspek Accessability

3, 7, 9, 15

8, 10, 12, 16

8

33,33 %

21, 27, 29, 31

18, 22, 26, 28

8

33,33 %

Aspek Responbility

33, 37, 43, 47

34, 36, 42, 48

8

33,33 %

12

12

24

100 %

Jumlah

Indeks daya beda aitem-aitem (rit) Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dengan penomoran baru berkisar antara 0,468-0,722. Aitem-

63

aitem dalam skala keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan penomoran baru berada pada tabel 4.8. Tabel 4.8. Sebaran Aitem skala keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan penomoran baru Aitem No 1. 2. 3.

Aspek

Jumlah

Favorabel

Unfavorabel

F

Bobot (%)

Aspek Engagement Aspek Accessability

1, 3, 5, 7

2, 4, 6, 8

8

33,33 %

9, 11, 13, 15

10, 12, 14, 16

8

33,33 %

Aspek Responbility

17, 19, 21, 23

18, 20, 22, 24

8

33,33 %

12

12

24

100 %

Jumlah

3) Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya terdiri dari 48 aitem yang kemudian dilakukan pengujian terhadap validitas melalui profesional judgment dan reliabilitas dengan menggunakan bantuan program SPSS 23.0 for windows. Apabila dengan cara membuang aitem tersebut koefisien reliabilitas Alpha dapat menjadi lebih tinggi, maka akan dilakukan dua tahap dalam penyetaraan skala tersebut. Pada tahap pertama yaitu pembuangan aitem dan tahap kedua yaitu penyesuaian jumlah aitem. Peneliti melakukan seleksi aitem dengan empat kali putaran dalam pembuangan aitem. Pada analisis pertama terdapat 48 aitem dengan koefisien reliabilitas 0,929 dan aitem yang terbuang sebanyak 9 aitem, yaitu

64

aitem nomor 11, 14, 20, 26, 28, 33, 34, 41 dan 42. Pada analisis kedua terdapat 39 aitem dengan koefisien reliabilitas 0,938 dan aitem yang terbuang sebanyak 5 aitem, yaitu aitem nomor 1, 9, 12, 21 dan 36. Pada analisis ketiga terdapat 34 aitem dengan koefisien reliabilitas 0,938 dan aitem yang terbuang sebanyak 5 aitem yaitu aitem nomor 7, 22, 27, 35 dan 38. Pada analisis terakhir tidak ada aitem yang terbuang karena koefisien reliabilitas sudah mencukupi yaitu 0,935 dengan jumlah sisa aitem sebanyak 29 aitem. Berikut tabel 4.9 yang memuat hasil analisis aitem dalam Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya yang valid dan gugur pada tahap pertama. Tabel 4.9. Sebaran aitem skala dukungan sosial teman sebaya tahap satu Nomor Aitem No Aspek 1.

Favorabel

Gugur

Unfavorabel Gugur 12

Dukungan Emosional Dukungan Penghargaan

1, 3, 5, 7, 9, 11 13, 15, 17, 19, 21, 23

1, 7, 9, 11 21

2, 4, 6, 8, 10, 12 14, 16, 18, 20, 22, 24

14, 20, 22

3.

Dukungan Instrumental

25, 27, 29, 31, 33, 35

27, 33, 35

26, 28, 30, 32, 34, 36

26, 28, 34, 36

4.

Dukungan Informatif

37, 39, 41, 43, 45, 47

41

38, 40, 42, 44, 46, 48

38, 42

24

9

24

10

2.

Total

Tahap kedua yaitu penyesuaian yang dilakukan dengan cara membuang dan memasukan aitem untuk memenuhi jumlah aitem yang dibutuhkan. Penyetaraan aitem skala dilakukan dengan membuang aitem

65

dengan nilai (rit) terendah. Aitem tersebut yaitu aitem nomor 10, 15, 19, 37, 39 dan 48, kemudian memasukkan aitem dengan mengambil aitem yang sudah terbuang dengan melihat nilai (rit) tertinggi dari aspek yang membutuhkan. Aitem tersebut yaitu nomor 36 untuk aspek dukungan instrumental sehingga tersisa 24 aitem yang memiliki koefisien reliabilitas Alpha (rtt) sebesar 0, 926. Hasil analisis aitem Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya yang valid dan gugur pada tahap kedua atau penyesuaian disajikan pada tabel 4.10. Tabel 4.10. Sebaran aitem skala dukungan sosial teman sebaya tahap penyesuaian Nomor Aitem No

1. 2. 3. 4.

Aspek

Dukungan Emosional Dukungan Penghargaan Dukungan Instrumental Dukungan Informatif Total

Favorabel

Gugur

Unfavorabel

Gugur

Penam bahan

3, 5

-

2, 4, 6, 8, 10

10

-

13, 15, 17, 19, 23 25, 29, 31

15, 19

16, 18, 24

-

-

-

30, 32

-

36

37, 39, 43, 45, 47 15

37, 39

40, 44, 46, 48

48

-

4

13

2

1

Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya tahap kedua setelah melakukan penyesuaian disajikan dalam tabel 4.11.

66

Tabel 4.11. Sebaran aitem skala dukungan sosial teman sebaya setelah tahap penyesuaian Aitem No 1. 2. 3. 4.

Aspek Dukungan Emosional Dukungan Penghargaan Dukungan Instrumental Dukungan Informatif Jumlah

Jumlah

Favorabel

Unfavorabel

F

Bobot (%)

3, 5

2, 4, 6, 8

6

25%

13, 17, 23

16, 18, 24

6

25%

25, 29, 31

30, 32, 36

6

25%

43, 45, 47

40, 44, 46

6

25%

11

13

24

100 %

Indeks daya beda aitem-aitem (rit) Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan penomoran baru berkisar antara 0,426-0,708. Aitem-aitem skala dukungan sosial teman sebaya dengan penomoran baru berada pada tabel 4.12. Tabel 4.12. Sebaran aitem skala dukungan sosial teman sebaya dengan penomoran baru Aitem Jumlah No 1. 2. 3. 4.

Aspek Dukungan Emosional Dukungan Penghargaan Dukungan Instrumental Dukungan Informatif Jumlah

Favorabel

Unfavorabel

F

Bobot (%)

1, 3

2, 4, 5, 6

6

25%

7, 9, 11

8, 10, 12

6

25%

13, 15, 17

14, 16, 18

6

25%

19, 21, 23

20, 22, 24

6

25%

11

13

24

100 %

67

C. Pelaksanaan Penelitian Penelitian di SMP Muhammadiyah 1 Moyudan dilaksanakan pada hari Senin tanggal 23 Juli 2018 jam 11.35 WIB. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan oleh peneliti yang dibantu oleh fasilitator. Peneliti telah melakukan konfirmasi dengan kepala sekolah SMP Muhammadiyah 1 Moyudan sebelum melakukan pengambilan data pada responden. Subjek diambil dengan menggunakan tekhnik cluster random sampling yaitu dengan melakukan randomisasi terhadap kelas bukan terhadap subjek secara individu. Peneliti melakukan tekhnik cluster random sampling dengan cara menuliskan nama-nama kelas dan digulung, kemudian kertas yang sudah digulung tadi dimasukan ke dalam botol kecil kemudian dikocok, dua kelas yang keluar yaitu kelas VII dan kelas IX digunakan untuk penelitian dan satu kelas yang tersisa yaitu kelas VIII untuk try out. Setelah mendapatkan ijin maka peneliti membagikan skala kepada siswa kelas VII dan kelas IX. Pengisian skala dilakukan secara klasikal dan terlebih dahulu peneliti memberikan pengarahan mengenai tata cara pengisian skala. Setiap subjek memperoleh satu eksemplar skala yang berisi tiga skala, yaitu Skala Subjective Well-Being sebanyak 24 aitem, Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan sebanyak 24 aitem dan Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya sebanyak 24 aitem. Durasi waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan ketiga skala selama 30 menit.

68

Data penelitian yang diperoleh mencakup identitas subjek yang meliputi nama, usia, jenis kelamin dan pilihan jawaban subjek yang kemudian akan diberi skor. Setelah skala telah terkumpul, peneliti melakukan skoring dan menganalisis data dengan bantuan komputer program SPSS 23.0 for windows.

D. Hasil Analisis Data Penelitian 1. Kategorisasi Penelitian ini analisis deskriptif ditunjukan untuk memberikan gambaran mengenai kecenderungan respon subjek penelitian (berupa mean atau rata-rata) terhadap variabel-variabel penelitian, yaitu Subjective Well-Being, Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dan Dukungan Sosial Teman Sebaya. Berdasarkan hasil analisis data statistik deskriptif dapat diketahui skor empirik dan skor hipotetik. Pada penelitian ini menggunakan skala dengan empat alternatif jawaban dengan skor bergerak dari 1-4. Skala Subjective Well-Being terdiri dari 24 aitem sehingga kemungkinan skor terendah (Xr) variabel Subjective Well-Being secara hipotetik adalah sebesar 1 x 24 = 24 dan skor tertinggi (Xt) adalah 4 x 24 = 96. Rentang skor Skala Subjective Well-Being adalah 96 – 24 = 72 dan standar deviasinya (96 - 24) : 6 = 12. Mean hipotetiknya yaitu (96 + 24) : 2 = 60. Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan terdiri dari 24 aitem sehingga kemungkinan skor terendah (Xr) variabel Keterlibatan Ayah dalam

69

Pengasuhan secara hipotetik adalah sebesar 1 x 24 = 24 dan skor tertinggi (Xt) adalah 4 x 24 = 96. Rentang skor Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan adalah 96 – 24 = 72 dan standar deviasinya (96 - 24) : 6 = 12. Mean hipotetiknya yaitu (96 + 24) : 2 = 60. Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya terdiri dari 24 aitem sehingga kemungkinan skor terendah (Xr) variabel Dukungan Sosial Teman Sebaya secara hipotetik adalah sebesar 1 x 24 = 24 dan skor tertinggi (Xt) adalah 4 x 24 = 96. Rentang skor Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya adalah 96 – 24 = 72 dan standar deviasinya (96 - 24) : 6 = 12. Mean hipotetiknya yaitu (96 + 24) : 2 = 60. Skor empirik dan skor hipotetik secara terinci dapat dilihat pada tabel 4.13. Tabel 4.13. Data statistik deskriptif skala subjective well-being, keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya Variabel Subjective Well-Being Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Dukungan Sosial Teman Sebaya

Jumlah aaitem 24

Skor Hipotetik Min Maks M SD Min 24 96 60 12 55

Skor Empirik Maks M SD 90 70,60 8,194

24

24

96

60

12

45

92

73,81

9,649

24

24

96

60

12

53

96

70,17

8,085

Keterangan: Perhitungan skor hipotetik 1. Skor minimal (Min) = jumlah butir aitem skala x nilai terendah bobot pilihan jawaban 2. Skor maksimal (Maks) = jumlah butir aitem skala x nilai tertinggi bobot pilihan jawaban

70

3. Rerata Hipotetik (Mean) = (skor maksimal + skor minimal) : 2 4. Standar Deviasi (SD) = (Skor maksimal – skor minimal ) : 6 Berdasarkan deskripsi data penelitian di atas, maka dapat dilakukan suatu pengkategorisasian skor pada ketiga variabel penelitian. Kategorisasi pada masing-masing variabel dengan menetapkan kriteria kategorisasi yang didasarkan oleh suatu asumsi skor subjek dalam populasi terdistribusi secara normal sehingga dapat dibuat skor teoritis yang terdistribusi normal untuk mengetahui tinggi rendahnya skor yang diperoleh subjek. Norma kategorisasi yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 4.14. Tabel 4.14. Norma kategorisasi Norma

Kategorisasi

X < (M – 1,0 SD)

Rendah

(M – 1,0 SD) ≤ x< (M + 1,0 SD)

Sedang

X ≥ (M + 1,0 SD )

Tinggi

Keterangan: M : Rerata SD : Standar Deviasi Kategorisasi tersebut didasarkan pada nilai mean hipotetik dan standar hipotetik pada masing-masing variabel yang dapat dilihat pada tabel 4.15, 4.16 dan 4.17.

71

Tabel 4.15. Kategorisasi skor kecenderungan subjective well-being Variabel Subjective Well-Being

Interval

Frekuensi

Persentase

Kategorisasi

X < 48

0

0%

Rendah

48 ≤ X < 72

61

59,22%

Sedang

X ≥ 72

42

40,78%

Tinggi

Berdasarkan hasil analisis data dan kategori Skala Subjective WellBeing, menunjukan bahwa data mean empirik Subjective Well-Being yaitu 70,60. Hasil kategorisasi Subjective Well-Being menunjukan bahwa sebagian besar siswa mempunyai Subjective Well-Being dalam kategori sedang yaitu sebanyak 59,22% (61 subjek dari 103 subjek keseluruhan). Mean hipotetik Subjective Well-Being yaitu 60. Kategorisasi di atas menggambarkan bahwa 40,78% (42 subjek dari 103 subjek keseluruhan) mengidentifikasikan Subjective Well-Being tinggi dan 0% (0 subjek dari 103 subjek secara keseluruhan) mengidentifikasikan Subjective Well-Being rendah, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa subjek dalam penelitian ini sebagian besar mempunyai Subjective WellBeing yang cenderung sedang.

72

Tabel 4.16. Kategorisasi skor kecenderungan keterlibatan ayah dalam pengasuhan Variabel Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan

Interval

Frekuensi

Persentase

Kategorisasi

X < 48

1

0,97%

Rendah

48 ≤ X < 72

39

37,86%

Sedang

X ≥ 72

63

61,17%

Tinggi

Berdasarkan hasil analisis data dan kategori Skala Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan, menunjukan bahwa data mean empirik Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan yaitu 73,81. Hasil kategorisasi Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan menunjukan bahwa sebagian besar siswa mempunyai Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 61,17% (63 subjek dari 103 subjek keseluruhan). Mean hipotetik Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan yaitu 60. Kategorisasi di atas menggambarkan bahwa 37,86% (39 subjek dari 103 subjek keseluruhan) mengidentifikasikan Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan sedang dan 0,97% (1 subjek dari 103 subjek secara keseluruhan) mengidentifikasikan Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan rendah, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa subjek dalam penelitian ini sebagian besar mempunyai Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan yang cenderung tinggi.

73

Tabel 4.17. Kategorisasi skor kecenderungan dukungan sosial teman sebaya Variabel Dukungan Sosial Teman Sebaya

Interval

Frekuensi

Persentase

Kategorisasi

X < 48

0

0%

Rendah

48 ≤ X < 72

60

58,25%

Sedang

X ≥ 72

43

41,75%

Tinggi

Berdasarkan hasil analisis data dan kategori Skala Dukungan Sosial Teman Sebaya, menunjukan bahwa data mean empirik Dukungan Sosial Teman Sebaya yaitu 70,17. Hasil kategorisasi Dukungan Sosial Teman Sebaya menunjukan bahwa sebagian besar siswa mempunyai Dukungan Sosial Teman Sebaya dalam kategori sedang yaitu sebanyak 58,25% (60 subjek dari 103 subjek keseluruhan). Mean hipotetik Dukungan Sosial Teman Sebaya yaitu 60. Kategorisasi di atas menggambarkan bahwa 41,75% (43 subjek dari 103 subjek keseluruhan) mengidentifikasikan Dukungan Sosial Teman Sebaya tinggi dan 0% (0 subjek dari 103 subjek secara keseluruhan) mengidentifikasikan Dukungan Sosial Teman Sebaya rendah, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa subjek dalam penelitian ini sebagian besar mempunyai Dukungan Sosial Teman Sebaya yang cenderung sedang. 2. Uji Asumsi Uji asumsi dilakukan sebelum pengolahan data atau uji hipotesis. Uji asumsi

mencakup

uji

normalitas

sebaran,

uji

linieritas

dan

uji

74

multikolinearitas. Uji asumsi merupakan syarat sebelum dilakukan pengetesan nilai korelasi agar kesimpulan yang ditarik tidak menyimpang dari kebenaran yang seharusnya. a. Uji Normalitas Sebaran Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah variabel dalam penelitian ini sebarannya normal atau tidak. Distribusi sebaran yang normal memiliki arti bahwa penelitian dapat mewakili populasi yang ada. Sebaliknya apabila sebaran tersebut tidak normal maka dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian itu tidak dapat mewakili keadaan populasi yang sebenarnya, sehingga hasilnya tidak layak untuk digeneralisasikan pada populasi tersebut. Pengujian normalitas menggunakan tekhnik statistik One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test dari program SPSS 23.0 for windows. Pada uji statistik tersebut jika diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,05 atau lebih besar (p>0,05) maka data berdistribusi normal dan jika probabilitas lebih kecil (p<0,05) maka data tersebut tidak berdistribusi normal. Hasil uji normalitas masing-masing variabel disajikan pada tabel 4.18.

75

Tabel 4.18. Hasil uji normalitas sebaran Variabel Kolmogorovsmirnov Z Subjective Well0,087 Being Keterlibatan Ayah 0,079 dalam Pengasuhan Dukungan Sosial Teman Sebaya

0,075

Sig (p)

Keterangan

0,054

Normal

0,111

Normal

0,182

Normal

Berdasarkan hasil analisis uji normalitas yang tertera pada tabel 18 diketahui bahwa variabel Subjective Well-Being dengan nilai K-S Z = 0,087 dan p = 0,054 (p>0,05) sehingga variabel Subjective Well-Being memiliki sebaran normal atau setiap data terdistribusi normal. Variabel Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan dengan nilai K-S Z = 0,079 dan p = 0,111 (p>0,05) sehingga variabel Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan memiliki sebaran normal atau setiap data terdistribusi normal. Variabel Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan nilai K-S Z = 0,075 dan p = 0,182 (p>0,05) sehingga variabel Dukungan Sosial Teman Sebaya memiliki sebaran normal atau setiap data terdistribusi normal. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diasumsikan bahwa skor ketiga variabel terdistribusi secara normal karena p lebih besar dari 0,05 artinya tidak ada perbedaan antara sebaran skor sampel dan skor populasi dengan kata lain sampel yang digunakan mampu mewakili populasi.

76

b. Uji Linearitas Uji linearitas bertujuan untuk melihat apakah dari sebaran titik-titik yang merupakan nilai dari variabel penelitian dapat ditarik garis lurus yang menunjukkan sebuah hubungan linear antara variabel-variabel tersebut atau dapat dikatakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel terkait linear atau tidak. Pengujian dilakukan dengan bantuan SPSS 23.0 for windows. Kriteria pengujian linearitas adalah jika nilai signifikansi pada linearity kurang dari 0,05 (p<0,05) dan deviation from linearity lebih besar dari 0,05 (p>0,05) maka hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung terkait linear. Hasil uji linearitas terhadap masing-masing variabel disajikan pada tabel 4.19. Tabel 4.19. Hasil uji linearitas sebaran Variabel Linearity F Subjective Well- 17,844 Being dengan Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Subjective Well- 4,757 Being dengan Dukungan Sosial Teman Sebaya

Sig (p) 0,000

Dev. from linearity F Sig (p) 1,164 0,293

0,033

1,325

0,167

Keterangan

Linier

Linier

Berdasarkan hasil uji linearitas pada tabel 19 diatas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara variabel keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being adalah linear.

77

c. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas ini untuk membuktikan atau menguji ada tidaknya hubungan yang linear di antara variabel independen. Pada analisis regresi linear berganda dinyatakan bahwa antara variabel independen tidak boleh terjadi hubungan yang sempurna (multikolinearitas). Kriteria yang digunakan adalah jika nilai Tolerance lebih dari 0,1 (>0,1) dan nilai VIF (Variance Inflation Factor) kurang dari 10 (<10) maka tidak terdapat hubungan multikolinearitas. Hasil uji multikolinearitas daapt dilihat pada tabel 4.20. Tabel 4.20. Hasil uji multikolinearitas Variabel Tolerance

VIF

Keterangan

Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan

0,818

1,223

Tidak terjadi multikolinearitas

Dukungan Sosial Teman Sebaya

0,818

1,223

Tidak terjadi multikolinearitas

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pada variabel keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya diketahui nilai Tolerance sebesar 0,818 (>0,1) dan nilai VIF (Variance Inflation Factor) sebesar 1,223 (<10) sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas X1X2.

78

3. Uji Hipotesis Uji hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan posistif antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being pada siswa SMP Muhammadiyah 1 Moyudan diuji dengan menggunakan koefisien korelasi analisis regresi berganda dengan bantuan program SPSS 23.0 for windows. a.

Hubungan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan

dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda diketahui bahwa besarnya koefisien korelasi antara ketiga variabel tersebut (Rxy) = 0,381 dengan taraf signifikansi 0,000 (p<0,01). Berdasarkan hasil tersebut hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Berdasarkan hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat hasil yang sangat signifikan antara variabel keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan teman sebaya dengan subjective well-being. Hasil analisis regresi berganda dua prediktor dapat dilihat pada tabel 4.21 berikut. Tabel 4.21. Hasil analisis regresi ganda dua prediktor R R Adjusted R Change Statistics Square square R Square Change Sig. F Change 0,381

0,145

0,128

0,145

0,000

79

b.

Hubungan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan

subjective well-being berdasarkan hasil analisis regresi berganda diperoleh korelasi sebesar 0,330 dengan taraf signifikansi 0,001 (p<0,01). Berdasarkan hasil tersebut, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Artinya bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan subjective well-being, dengan mengontrol dukungan sosial teman sebaya. Koefisien korelasi dalam penelitian ini diperoleh sebesar 0,330 yang menunjukan adanya korelasi yang kuat antara variabel keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan subjective well-being. c.

Hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan subjective

well-being, berdasarkan hasil analisis regresi berganda diperoleh korelasi sebesar 0,049 dengan taraf signifikansi 0,623 (p>0,05). Berdasarkan hasil tersebut, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini tidak diterima. Artinya bahwa ada hubungan yang tidak signifikan antara dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being, dengan mengontrol keterlibatan ayan dalam pengasuhan. Koefisien korelasi dalam penelitian ini diperoleh sebesar 0,049 yang menunjukan tidak adanya korelasi yang kuat antara variabel dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being. Dalam penelitian ini sumbangan efektif (EGR) variabel keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya (variabel bebas) terhadap subjective well-being (variabel tergantung) dapat dijelaskan

bahwa

variabel

keterlibatan

ayah

dalam

pengasuhan

80

memberikan sumbangan efektif sebesar 13,7% dan variabel dukungan sosial teman sebaya memberikan sumbangan efektif sebesar 0,80%. Sumbangan efektif untuk masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantung secara sendiri-sendiri dapat dilihat dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

(𝟎,𝟑𝟎𝟑) .(𝟒𝟎𝟒𝟐,𝟓) =

((𝟎,𝟑𝟎𝟑).(𝟒𝟎𝟒𝟐,𝟓)) +((𝟎,𝟎𝟓𝟏).(𝟏𝟑𝟕𝟏,𝟐)

x 0,145

𝟏𝟐𝟐𝟒,𝟖𝟕𝟕𝟓 =

(𝟏𝟐𝟐𝟒,𝟖𝟕𝟕𝟓) +(𝟔𝟗,𝟗𝟑𝟏𝟐)

x 0,145

𝟏𝟐𝟐𝟒,𝟖𝟕𝟕𝟓 =

𝟏𝟐𝟗𝟒,𝟖𝟎𝟖𝟕

x 0,145

= 0,9459910951 x 0,145 = 0,1371687088 x 100% = 13,7%

(𝟎,𝟎𝟓𝟏) .( 𝟏𝟑𝟕𝟏,𝟐) =

((𝟎,𝟑𝟎𝟑).(𝟒𝟎𝟒𝟐,𝟓))+((𝟎,𝟎𝟓𝟏) .(𝟏𝟑𝟕𝟏,𝟐))

=

(𝟏𝟐𝟐𝟒,𝟖𝟕𝟕𝟓) +(𝟔𝟗,𝟗𝟑𝟏𝟐)

𝟔𝟗,𝟗𝟑𝟏𝟐

𝟔𝟗,𝟗𝟑𝟏𝟐 =

𝟏𝟐𝟗𝟒,𝟖𝟎𝟖𝟕

x 0,145

= 0,0540089049 x 0,179 = 0,0078312912 x 100% = 0,80%

x 0,145

x 0,145

81

Berdasarkan perhitungan rumus diatas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang yang sangat signifikan (SS) antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya dengan subjective wellbeing dimana pengaruh keterlibatan ayah dalam pengasuhan lebih besar daripada pengasruh dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being.

E. Pembahasan Hasil analisis data dengan menggunakan korelasi analisis regresi berganda dalam penelitian ini menunjukan bahwa adanya hubungan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being pada siswa SMP Muhammadiyah 1 Moyudan dengan nilai R = 0,381 dan p = 0,000 (p<0,01). Berdasarkan penjelasan diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa hipotesis mayor yang diajukan peneliti diterima. Hasil analisis diatas sejalan dengan pendapat Diener (Ariati, 2010) menyatakan bahwa subjective well-being adalah evaluasi akan kejadian yang telah terjadi atau dialami dalam kehidupan yang melibatkan proses afektif dan kognitif yang aktif karena menentukan proses pengaturan informasi. Penelitian-penelitian mengenai subjective well-being telah banyak dilakukan dengan berbagai variabel. Salah satu penelitian yang mendukung mengenai subjective well-being adalah penelitian Nayana

82

(2013) yang mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara kefungsian keluarga dengan subjective well-being pada remaja. Kefungsian keluarga salah satunya adalah keterlibatan ayah yang berperan dalam pelaksanaan fungsi keluarga. Penelitian lain yakni Zahra & Handayani (2014) menyebutkan terdapat hubungan yang signifikan antara keterlibatan ayah dengan self-esteem remaja. Self-esteem merupakan variabel yang dapat memprediksi subjective well-being remaja awal. Hal ini sejalan dengan penelitian Khairat & Adiyanti (2015) yang menjelaskan self-esteem memiliki kontribusi lebih besar terhadap subjective well-being pada remaja awal. Selain itu keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan menurunkan tingkat kenakalan pada remaja. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda pada keterlibatan ayah dalam pengasuhan diperoleh korelasi sebesar 0,330 dengan taraf signifikansi 0,001 (p<0,01) sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Artinya bahwa ada hubungan yang positif yang sangat signifikan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan subjective well-being. Koefisien korelasi dalam penelitian ini diperoleh sebesar 0,330 yang menunjukan adanya korelasi yang kuat antara variabel keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan subjective well-being. Keterlibatan seorang ayah yang positif diyakini efek positifnya. Keterlibatan itu sendiri tidak dapat dimunculkan secara tiba-tiba pula. Oleh karena itu, sangat disarankan ayah mulai terlibat dengan anak sejak anak dilahirlkan. Ayah disarankan untuk ikut terlibat dalam hal pengasuhan dan

83

segala kerepotan mengurus bayi sejak awal supaya kedekatan dan kelekatan akan terbentuk sejak anak masih sangat muda (Andayani & Koentjoro, 2004). Hasil observasi menunjukan keterlibatan ayah dalam pengasuhan diwujudkan dengan mengantar remaja ketika ke sekolah. Observasi yang dilakukan didapatkan lebih dari setengah remaja yang menjadi subjek diantar oleh ayah mereka ketika berangkat sekolah. Hal ini menunjukan keterlibatan ayah meliputi dimensi keterlibatan ayah yaitu kehadiran ayah dan pemenuhan kebutuhan remaja (Phares, Rojas, Thurston & Hankinson, 2010). Pemenuhan aspek interaksi, kehadiran dan perawatan ayah yang didapatkan remaja dalam keterlibatan pengasuhan akan menumbuhkan rasa percaya diri. Selain itu kepuasan akan muncul dalam diri remaja dengan keadaan ini remaja akan mudah memenuhi tugas di sekolah dan berani melakukan hal yang positif. Pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan yakni dapat menekan tingkat stress pada remaja akan lebih tahan dengan berbagai stimulus stress yang ada. Remaja akan cepat mengetahui solusi terhadap berbagai permasalahan yang muncul dalam hidupnya (Allgood, Beckert & Peterson 2012). Hasil analisis regresi berganda pada dukungan sosial teman sebaya diperoleh korelasi sebesar 0,049 dengan taraf signifikansi 0,623 (p>0,05) sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini tidak diterima. Artinya bahwa tidak ada hubungan yang positif antara dukungan sosial teman

84

sebaya dengan subjective well-being. Koefisien korelasi dalam penelitian ini diperoleh sebesar 0,049 yang menunjukan tidak terdapat korelasi yang kuat antara variabel dukungan sosial teman sebaya dengan subjective wellbeing. Hal ini dapat disebabkan karena responden pada penelitian ini mayoritas merupakan remaja yang baru saja memasuki kelas VII SMP. Remaja belum merasakan dukungan sosial yang nyata dari teman sebaya yang berada satu kelas maupun teman sebaya lainnya di sekolah tersebut. Observasi yang dilakukan saat pengambilan data didapatkan belum terdapat kedekatan antara teman sekelas pada remaja. Situasi ini yang membuat remaja belum merasakan dukungan sosial teman sebaya. Dukungan sosial teman sebaya dalam penelitian ini tidak signifikan karena masih belum terbentuk kedekatan atau interaksi yang intens diantara teman sebaya. Jonshon (dalam Wahyuni, 2016) menyatakan terdapat faktor yang mempengaruhi seseorang untuk merasakan dukungan sosial. Salah satunya yaitu menyangkut hubungan individu dengan lingkungan diantaranya keluarga dan masyarakat. Hubungan inilah yang dapat berubah tergantung dengan frekwensi hubungan, komposisi dan kedekatan hubungan dengan individu lain. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara sebagai data penunjang yakni remaja tidak saling membantu dalam pengerjaan tugas dan tidak saling bertukar info tentang tugas sekolah. Maka dapat disimpulkan pada responden belum terbentuk faktorfaktor dukungan sosial teman sebaya. Faktor-faktor dukungan teman

85

sebaya terdiri dari empati yakni merasakan kesusahan orang lain bertujuan untuk memotivasi, norma dan nilai sosial serta pertukaran sosial yaitu hubungan timbal balik perilaku sosial antara cinta, pelayanan dan informasi. Hasil analisis ini sejalan dengan penelitian Wahyuningsih (2013) yang menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara optimisme dan dukungan sosial dengan kesejahteraan subjektif remaja SMA program akselerasi di Kota Surakarta. Dukungan sosial adalah informasi atau umpan balik dari orang lain yang menunjukan bahwa seseorang dicintai dan diperhatikan, dihargai dan dihormati serta dilibatkan dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal balik (King, 2012). Sumbangan efektif keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being dapat dilihat dari koefisien determinan atau koefisien korelasi yang dikuadratkan sebesar 14,5%. Hal ini menginformasikan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya secara umum memberi pengaruh terhadap subjective well-being sebesar 14,5% dan 85,5% subjective well-being dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Sumbangan efektif keterlibatan ayah dalam pengasuhan terhadap subjective well-being sebesar 13,7%. Berdasarkan hasil kategorisasi variabel keterlibatan ayah dalam pengasuhan, terdapat 1 siswa yang memiliki keterlibatan ayah dalam pengasuhan pada kategori rendah, sebanyak 39 siswa berada pada kategori sedang dan sebanyak 63 siswa berada dalam kategori tinggi. Hal

86

tersebut menunjukan bahwa mayoritas siswa dalam penelitian ini memiliki keterlibatan ayah dalam pengasuhan pada kategori tinggi. Artinya keterlibatan ayah dalam pengasuhan seperti aspek engagement, aspek accessibility dan aspek responsibility pada siswa tersebut termasuk dalam kategori tinggi. Berdasarkan hasil kategorisasi variabel dukungan sosial teman sebaya, terdapat 0 siswa yang memiliki dukungan sosilal teman sebaya pada kategori rendah, sebanyak 60 siswa berada pada kategori sedang dan sebanyak 43 siswa berada dalam kategori tinggi. Hal tersebut menunjukan bahwa mayoritas siswa dalam penelitian ini memiliki dukungan sosial teman sebaya pada kategori sedang. Artinya dukungan sosial teman sebaya seperti aspek emosional, aspek penghargaan, aspek instrumental dan aspek informatif pada siswa tersebut termasuk dalam kategori sedang. Berdasarkan hasil kategorisasi variabel subjective well-being, terdapat 0 siswa yang memiliki subjective well-being pada kategori rendah, sebanyak 61 siswa berada pada kategori sedang dan sebanyak 42 siswa berada dalam kategori tinggi. Hal tersebut menunjukan bahwa mayoritas siswa dalam penelitian ini memiliki subjective well-being pada kategori sedang. Artinya subjective well-being seperti aspek positif, aspek negatif dan aspek kepuasan hidup pada siswa tersebut termasuk dalam kategori sedang.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan terhadap hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1) Ada hubungan yang sangat signifikan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya dengan subjective wellbeing. 2) Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan subjective well-being pada siswa dengan mengontrol dukungan sosial teman sebaya. Semakin tinggi keterlibatan ayah dalam pengasuhan, maka semakin tinggi subjective well-being dan semakin rendah keterlibatan ayah dalam pengasuhan, maka semakin rendah subjective well-being. 3) Tidak ada hubungan antara dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being pada siswa dengan mengontrol keterlibatan ayah dalam pengasuhan. 4) Sumbangan efektif keterlibatan ayah dalam pengasuhan terhadap subjective well-being sebesar 13,7%. Artinya, pengaruh keterlibatan ayah dalam pengasuhan lebih besar daripada pengaruh dukungan sosial teman sebaya.

88

89

5) Hasil uji deskriptif didapatkan bahwa mayoritas subjek mempunyai subjective well-being yang tergolong rendah, keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan teman sebaya yang tergolong sedang.

B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, ada beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan, yaitu: 1) Saran Teoritis Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi bagi peneliti selanjutnya yang memiliki teori yang mirip atau sama yaitu tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan dan dukungan sosial teman sebaya dengan subjective well-being. Selain itu hendaknya peneliti selanjutnya mempertimbangkan variabel-variabel lain yang mungkin dapat berpengaruh terhadap subjective well-being. Bagi

peneliti

selanjutnya

diharapkan

mampu

untuk

lebih

mengembangkan penelitian sejenis baik dari segi tema, metode maupun alat ukurnya, sehingga hasil penelitian dapat digunakan sebagai perbandingan dan dapat memberikan manfaat dalam rangka meningkatkan keilmuan. Hal tersebut dimaksudkan agar penelitian selanjutnya menjadi lebih baik lagi dan berkualitas.

90

2) Saran Praktis a. Bagi Siswa Bagi siswa disarankan untuk memiliki hubungan yang lebih baik lagi baik dengan keluarga, teman ataupun lingkungan ekternal lainnya agar lebih bisa meningkatkan subjective wll-being pada diri individu masingmasing. Siswa juga bisa meningkatkan subjective well-being dengan mengarahkan pikiran-pikiran posistif maupun negatif dengan cara rajin beribadah dan mampu memotivasi diri ketika siswa berada dalam keadaan putusasa, rasa cemas ataupun perasaan emosional dan lain sebagainya. b. Bagi Sekolah Bagi sekolah diharapkan untuk meningkatkan kedisiplinan pada siswa agar siswa lebih mudah untuk dikondisikan dalam setiap kegiatan belajar mengajar maupun dalam kegiatan lainnya. Peneliti menyarankan agar guru dapat terus memberikan dukungan dan perhatian bagi siswa agar siswa terhindar dari keputusasaan, kecemasan, rasa iri hati terutama subjective well-being yang negatif. c. Bagi Orangtua Orangtua diharapkan menanamkan disiplin yang baik dan benar agar anak dapat beradaptasi dengan lebih baik lagi, baik itu dilingkungan keluarga maupun dilingkungan masyarakat. Selain itu orangtua diharapkan untuk mengajakan anak tentang kemandirian agar tidak memiliki ketergantunan terhadap orang lain dan rasa percaya diri atau selalu berpikir

91

positif sehingga bisa dengan mudah meningkatkan subjective well-being pada diri individu.

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"