BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Dalam mempelajari bumi, ada dua macam gaya pembentuk permukaan bumi, yaitu gaya endogen dan gaya eksogen. Gaya endogen berupa pergerakan antar lempeng yang membentuk benua-benua yang ada pada masa sekarang. Pertemuan antar lempeng tersebut akan menyebabkan interaksi antar lempeng. Interaksi yang terjadi akan akan membuat dua lempeng atau lebih bergerak saling mendekat ataupun saling menjauh. Salah satu bentukan yang khas pada pertemuan dua lempeng yang saling mendekat dalam hal ini dua lempeng tersebut saling bertumbukan sehingga ada salah satu lempeng yang menunjam di bawah lempeng yang lain adalah terbentuknya cekungan sedimen. Ada berbagai macam cekungan sedimen yaitu cekungan muka busur, cekungan antar busur, cekungan belakang busur, cekungan muka benua, dan cekungan kantong. Indonesia sendiri memiliki lebih dari dua puluh cekungan. Salah satu cekungan sedimen yang ada di Indonesia yaitu cekungan Kutai, Kalimantan Timur.
1.2
Rumusan Masalah 1. Bagaimana geometri cekungan kutai ? 2. Bagaimana Tektonik dan struktur geologi regional Cekungan Kutai ? 3. Apa saja litostratigrafi Cekungan Kutai dari masa Paleogen, Neogen dan Kuarter ?
1.3
Tujuan Masalah 1. Memahami bagaimana geometri cekungan kutai 2. Mengerti bagaimana tektonik dan struktur geologi regional Cekungan Kutai 3. Mengetahui Apa saja litostratigrafi Cekungan Kutai dari masa Paleogen, Neogen dan Kuarter
1
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Geometri Cekungan Cekungan Kutai memiliki luas sekitar 43.680 km2. Cekungan ini merupakan salah satu cekungan tersier terbesar dan terdalam di Indonesia. Cekungan ini termasuk dalam klasifikasi Paleogene Continental Fracture-Neogene Passive Margin. Secara geografis, cekungan Kutai terletak dibagian timur Pulau Kalimantan pada koordinat 103 o LU - 2o LS, dan 113o - 118o BT (Gambar 36.1). Batuan dasar dari Cekungan Kutai tersusun oleh kerak kontinen yang diinterpretasikan sebagai bagian dari Kraton Sunda dan akresi dari lempeng mikro. Adang Flexure dengan arah umum baratlaut – tenggara (batas patahan Paternosfer) membatasi bagian selatan dari cekungan ini dengan Cekungan Barito. Di utara, arah utarabaratlaut Busur Mangkalihat memisahkan Cekungan Kutai dengan Cekungan Tarakan. Cekungan Kutai berdampingan dengan Cekungan Lariang di bagian timur dan Tinggian Kuching di sebelah baratnya.
Cekungan Kutai merupakan cekungan hidrokarbon terbesar kedua di Indonesia saat ini. Cekungan Kutai mengandung cadangan minyak sebesar 2,47 MMBO dan 28,1 TCF gas. Merupakan cekungan Tersier yang berlokasi di Propinsi Kalimantan Timur, memanjang ke arah timur menuju lepas pantai Selat Makassar. Cekungan Kutai memiliki tebal sedimen antara 1.500-12.000 m, dengan kedalaman cekungan antara 0-14.000 m (Gambar 36.2, Gambar 36.4 dan Gambar 36.5). Sebagian besar wilayah Cekungan Kutai menempati wilayah daratan dengan sebagian kecil menempati wilayah perairan Selat Makasar.
2
Nilai anomali gaya berat yang rendah berkorelasi dengan ketetebalan sedimen yang sangat tebal. Pola distribusi anomali gaya berat ini memperlihatkan pula tinggiantinggian batuan dasar yang diperlihatkan dengan nilai anomali gaya berat yang tinggi (30100 mgal), yang merupakan batas terluar dari cekungan ini (Gambar 36.3).
Gambar 36.1 Peta indeks Cekungan Kutai.
3
Gambar 36.2 Peta konfigurasi batuan dasar Cekungan Kutai (dimodifikasi dari Wilson & Moss, 1999)
Gambar 36.3 Peta anomali gaya berat Cekungan Kutai (Pusat Survei Geologi, 2000).
4
Gambar 36.4 Peta ketebalan sedimen dan distribusi sumur di Cekungan Kutai.
2.2 Sejarah Eksplorasi Sejarah eksplorasi di Cekungan Kutai dimulai dengan kegiatan pemboran yang dilakukan di dekat rembesan minyak pada komplek Antiklinorium Samarinda. Minyak pertama kali ditemukan pada kedalaman 46 m pada sumur Louise-1 di dekat SangaSanga pada tahun 1897. Lapangan Balikpapan (atau Klandasan) diketemukan pada 1898 dengan kedalaman minyak pada 180 m. Lapangan Sambodja yang terletak di antara Lapangan Louise dan Balikpapan diketemukan pada 1923. Sedangkan Lapangan Sangatta diketemukan sebagai hasil dari survei gaya berat yang dilakukan oleh BPM pada tahun 1939. PSC (Production Sharing Contract) pertama dilakukan pada akhir tahun 1960-an, pada saat itu perusahaan-perusahaan PSC giat melakukan survei geofisika yang dengan sukses menemukan beberapa lapangan minyak dan gas raksasa di Cekungan Kutai, baik di darat maupun di lepas pantai. Lapangan Attaka merupakan lapangan pertama yang diketemukan oleh perusahaan PSC yakni UNOCAL dan Inpex pada tahun 1970 berdasarkan pemetaan struktur bawah permukaan yang diidentifikasi dari data seismik.
5
UNOCAL secara intensif melakukan survei di Lapangan Kerindingan dan Melahin pada tahun 1972, Lapangan Sepinggan (1975), dan Lapangan Yakin pada 1976. Pada saat ini survei dilakukan dengan pemboran yang ditentukan berdasarkan data seismik 3D. Survey mutakhir ini telah menemukan beberapa lapangan baru di Cekungan Kutai antara lain Lapangan Serang 1973 dan Lapangan Santan (1971). Roy Huffington Co menemukan Lapangan Badak (1973), Nilam (1974), Semberah Utara (1974), Wailawi (1975), Pamuguan (1975), dan Lapangan Mutiara (1981). TOTAL pertama kali terlibat di cekungan Kutai sebagai rekanan dari JAPEX. Dua perusahaan ini menemukan Lapangan Bekapai (1972), Tunu (1973), dan lapangan raksasa Handil dan Tambora pada tahun 1974. Hingga kini TOTAL masih bekerja di Lapangan Sisi, Nubi, dan Peciko. Peciko pertama kali di bor pada tahun 1982 dan diaktifasi kembali pada 1991.
2.3 TEKTONIK DAN STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL Dalam tatanan tektonik, Cekungan Kutai terbentuk sebagai bagian dari bagian tenggara dari Kraton Sunda yang dipengaruhi oleh tiga lempeng utama yakni Eurasia, India-Australia, dan Pasifik. Struktur batuan dasar dari Cekungan Kutai merupakan produk tektonik Mesozoik Akhir hingga Tersier Awal (Gambar 36.6). Pada kala Paleosen hingga Eosen Awal pada wilayah ini terjadi pengangkatan dan juga erosi dari Paparan Sunda. Aktivitas tektonik ini berlanjut dengan peregangan dan penipisan kerak pada tepian benua dan pemekaran lantai samudra di Laut Sulawesi. Episode ini membentuk terban-terban rift terisi sedimen sungai dan danau, pensesaran bongkah pada tepi bukaan, serta intrusi gunungapi pada bagian tengah bukaan. Elemen tektonik ini memisahkan bagian barat Sulawesi dari bagian timur Kalimantan. Sementara itu, pemekaran lantai samudra di Laut Sulawesi meluas ke Selat Makasar pada kala Oligosen Tengah. Setelah tektonik ekstensi di sepanjang Selat Makasar, terbentuk rendahan pada Cekungan Kutai. Proses penurunan suhu (thermal) pada tepi benua dan poros cekungan tersebut juga berakibat pada pengendapan “post-rift-sag”. Pada saat ini, terjadi suatu transgresi besar yang menghasilkan lautan luas epikontinental, pertumbuhan karbonat pada paparan dan juga pengendapan suspensif dan “massflow” pada rendahan cekungan. 6
Pada awal Miosen Tengah tektonik kompresif bekerja pada tepian Paparan Sunda yang mengakibatkan karbonat paparan dan endapan delta pada tepian rendahan Makasar terlipat kuat serta terangkat dengan topografi tinggian membentuk antiklinorium Samarinda, sementara itu di kawasan Mahakam dan paparan di selatan telah mengalami perubahan oleh sedimentasi klastik progradatif. Antiklinorium Samarinda selanjutnya menjadi suatu daerah sumber pasir kuarsa bagi tahap regresi berikutnya. Demikian juga, Kalimantan Tengah menjadi sumber klastik kasar mengisi lepas pantai Cekungan Kutai dan rendahan Selar Makasar. Sejak kala Neogen pusat pengendapannya bergeser kearah lepas pantai. Pada kala Pliosen terjadi penurunan pada bagian utara dasar cekungan dan berlanjut menjadi suatu lereng paparan regresif. Sementara itu, Sulawesi Barat menjadi sumber klastik pengisi Selat Makasar.
Gambar 36.6 Elemen struktur regional Cekungan Kutai (van de Weerd dan Armin, 1992).
7
Evolusi tektonik di cekungan Kutai menurut Asikin (1995) dalam laporan internal VICO Indonesia terdiri dari 8 kejadian utama (Gambar 36.7), antara lain: a. Berpisahnya lempeng Australia dari Antartika pada masa Jurasik hingga Kapur Awal, yang memulai pergerakan dari lempeng India-Australia menuju ke Utara (Gambar 36.8). Dalam waktu ini, Cekungan Kutai masih bagian dari Lempeng Kontinen Eurasia yang dipisahkan dari Gondwana oleh lautan Tethys. b. Terbukanya Laut Cina Selatan selama Kapur Akhir untuk pertama kali yang diikuti oleh pemekaran samudra (spreading) yang terjadi pada masa Eosen Tengah,. Dalam kurun waktu ini, Kalimantan berada di sebelah Pulau Hainan yang terpisah dari daratan Cina dan berkembang ke arah selatan yang mengakibatkan terbentuknya cekungan Pre-Laut Cina Selatan. Bagian batas timur dari Kalimantan mencerminkan seri dari suatu seri struktur regangan dengan arah strike utama NE. Kejadian rift pertama ini mengakibatkan pembentukan intra-cratonic graben di daratan Cina dan Kalimantan sepanjang patahan ekstensi yang berarah NE-SW. Rifting ini kemungkinan berkaitan dengan tahap awal dari ekstrusi daratan Sunda (Tapponier, 1986). c. Subduksi dari kerak samudra India-Australia terhadap kerak kontinen Sunda yang membentuk kompleks subduksi Meratus pada Kapur akhir hingga Paleosen Awal. Pada masa ini, punggungan Kutai yang terletak di bagian barat dari danau Kutai kemungkinan terbentuk sebagai kelanjutan dari pembentukan zona subduksi Meratus. Cekungan Kutai atas (Upper Kutai Basin), yang terletak di bagian Barat dari punggungan Kutai terbentuk sebagai bagian dari fore arc basin dan busur magmatik. Sebagai konsekuensinya Cekungan Kutai bawah (Lower Kutai Basin) masih berperan sebagai cekungan samudra tanpa pengendapan sedimen yang signifikan pada masa ini. Mendekati akhir dari kejadian ini, fragmen kontinen dari Gondwana yang dikenal dengan blok Kangean-Paternosfer mengalami collision dengan kompleks subduksi Meratus. Pemotongan ini disebabkan oleh sayatan dari aktifitas magmatik. d.
Subduksi Lupar pada Paleosen Akhir hingga Miosen Tengah. Subduksi ini merupakan hasil dari kelanjutan proses rifting pada Laut Cina selatan yang memicu terjadinya proses pemekaran (Spreading). Pada masa ini, Cekungan Kutai Atas (Upper Kutai basin) merupakan busur magmatik, dan Cekungan Kutai Bawah (Lower Kutai basin) merupakan suatu back arc basin, yang dicerminkan oleh pengendapan formasi Mangkupa dan formasi Marah/Berium. Cekungan ini terletak 8
di bagian barat yang terbentuk di bagian atas dari kerak transisi yang terdiri dari accretional wedge dan busur magmatik, dimana Cekungan Kutai dilandasi oleh kerak kontinen sebagai bagian dari kompleks collisional Kangean-Paternosfer fragmen allochtonous kontinen (Gambar 36.9). e.
Terjadinya collision antara lempeng India dengan Asia pada Eosen tengah, yang memicu perputaran berlawanan arah jarum jam dari Kalimantan. Kejadian ini dihasilkan oleh modifikasi kembali lempeng besar Asia. Pergerakan terjadi sepanjang struktur patahan strike-slip, (patahan Sungai Merah, NNE-SSW Vietnam Selatan, Adang dll.), yang menyatu menjadi sebuah rotasi besar yang berlawanan arah jarum jam dari Kalimantan dengan lantai samudera Sulawesi dan membuka serta mekarnya sebagian besar dari laut Cina Selatan. Pergerakan patahan strike slip en-echelon berasosiasi dengan displacement besar ke arah selatan dari fragmen Asia sepanjang patahan Sungai Merah, di lempeng Indo-Cina hingga zona Lupar di Kalimantan, telah menghasilkan transtension (wrench) basin di Laut Cina Selatan (Cekungan Natuna) dan di bagian Kalimantan Tengah dan Barat.
f.
Pemekaran di selat Makasar pada masa Eosen tengah hingga Oligosen akhir (Gambar 36.10). Penekanan ke arah tenggara berhubungan dengan terjadinya ekstrusi dari fragmen kontinen yang terpicu oleh terjadinya collision antara lempeng India terhadap Asia. Hal ini mengakibatkan pembentukan regangan di Selat Makasar yang mengaktivasi kembali patahan-patahan tua yakni Adang, Mangkalihat, Baram Barat, dan lain-lain. Selama masa ini Cekungan Kutai didefinisikan sebagai rift basin. Pengangkatan dan deformasi regangan sepanjang shear paralel pada batuan dasar kerak kontinen telah menghasilkan pemekaran (rifting) tersebut. g. Tahap kedua membukanya laut Cina Selatan pada masa Oligosen Akhir hingga Miosen Awal yang diikuti oleh collision antara Lempeng Palawan-Red Bank (Miosen Awal) yang diakhiri oleh proses pemekaran (akhir dari Miosen Awal), dan mengakhiri terjadinya rotasi dari Kalimantan (Miosen Tengah), dan terjadinya pengangkatan Tinggian Kucing (Gambar 36.11). h. Collision dari kontinen Banggai-Sula terhadap Sulawesi, dan pada saat yang sama terjadi pengangkatan Pegunungan Meratus pada Miosen Tengah (Gambar 35.12).
9
Gambar 36.7 Diagram evolusi tektonik Cekungan Kutai (Asikin dkk., 1995)
10
Gambar 36.8 Rekonstruksi pergerakan lempeng pada Kapur Akhir (80-60 jtl), memperlihatkan tahap pertama dari membukanya Laut Cina Selatan yang memisahkan Kalimantan dari Daratan Cina (Asikin dkk., 1995)
11
12
13
14
Gambar 36.10 Rekonstruksi lempeng pada Eosen-Oligosen Awal (40-32 Juta tahun y.l).
Pemekaran Selat Makasar (Asikin dkk., 1995).
15
Gambar 36.11 Rekonstruksi lempeng pada Oligosen Akhir-Miosen Tengah (32-16 jtl). Tahap
kedua membukanya Laut Cina Selatan (Asikin dkk., 1995).
16
Gambar 36.12 Rekonstruksi penampang pada:
A)
Oligosen-Miosen Tengah (32-16.2 jtl)
B)
Miosen Tengah-Sekarang (16.2-0 jtl)
17
2.3 STRATIGRAFI REGIONAL Litostratigrafi Cekungan Kutai telah ditulis oleh Courtney dkk (1991) dalam kolom stratigrafi regional Cekungan Kutai (Gambar 36.14). Berikut penjelasan litostratigrafi Cekungan Kutai dari masa Paleogen, Neogen dan Kuarter 2.3.1 Endapan Paleogen Cekungan Kutai memiliki batuan dasar yang tersusun atas asosiasi batuan mafik dan sedimen dengan tingkat metamorfisme yang berbeda. Batuan dasar volkanik yang dilaporkan tersingkap di Sungai Mahakam merupakan hasil aktivitas volkanik pada Eosen Awal-Tengah. Batuan ini berbeda dengan batuan dasar volkanik yang terdapat pada sumur Gendring-1 yang berumur Kapur Awal. Batuan sedimen Tersier tertua pada stratigrafi Cekungan Kutai adalah Formasi Boh, yang terdiri dari batu serpih, lanau, dan batupasir sangat halus. Batuan-batuan tersebut mengandung foraminifera planktonik yang berumur Eosen Tengah. Pada beberapa lokasi, formasi ini berasosiasi dengan batuan volkaniklastik (daerah Mangkalihat) dan aliran Lava (ketebalan 1.400 meter). Ketebalan total dari Formasi Boh diperkirakan sekitar 300 meter, tanpa lapisan lava. Distribusi dari perlapisan batupasir pada formasi ini tidak diketahui. Pada batas Eosen Tengah-Akhir, fase regresi ditunjukan oleh terjadinya pembajian lapisan sedimen klastik yang diikuti oleh endapan laut berumur Eosen Akhir hingga Oligosen Awal. Lapisan sedimen klastik ini diberi nama Keham Halo Beds, suksesi lapisan batuserpih-batulumpur dikenal sebagai Atan Beds. Di Sungai Muru (Cekungan Kutai bagian selatan) dan Sungai Atan (bagian barat Kutai Tengah), endapan ini onlap terhadap batuan dasar dan secara tidak selaras menutupi Formasi Boh. Ketidakselarasan ini secara progresif menghilang ke arah bagian dalam dari cekungan, seperti yang terlihat pada Sumur Kariorang dan Sambang yang berlokasi di bagian utara dari cekungan.
18
Keham Halo Beds terdiri dari batupasir dan konglomerat dengan ketebalan antara 1.400-2.000 meter. Batupasir pada lapisan ini merupakan suatu batupasir sangat halus dengan ketebalan 400-600 meter. Horizon Tufa ditemukan pada lapisan Keham Halo Beds pada bagian utara dari Cekungan Kutai. Lapisan ini memiliki potensi yang baik sebagai reservoar, khususnya pada bagian-bagian dangkal dari cekungan. Atan Beds terdiri dari batuserpih dan batulumpur dan terkadang bersifat karbonatan. Ketebalan dari lapisan ini sangat sulit ditentukan karena kuat nya deformasi pada lapisan tersebut, namun dapat diperkirakan bahwa ketebalan lapisan ini berkisar antara 200-400 meter. Interkalasi batugamping hadir pada lapisan Atan Beds, dengan ketebalan sekitar 70 meter. Selain itu interkalasi tipis batupasir juga hadir pada lapisan ini. Pengendapan dari Atan Beds diakhiri oleh fase regresi yang diindikasikan oleh kehadiran klastik kasar (Marah Beds). 2.3.2 Endapan Oligosen Akhir-Miosen Tengah Pengendapan sedimen pada Oligosen Akhir-Miosen Tengah terdiri dari sikuen tunggal dan beberapa terdiri dari dua siklus transgresi dan regresi yang terpisahkan oleh Klinjau Beds. Marah Beds secara tidak selaras menutupi endapan yang lebih tua. Ketidakselarasan ini diakibatkan oleh fase tektonik yang secara intensif mempengaruhi struktur batuan di daerah dan membentuk keadaan Cekungan Kutai saat ini. Pengendapan dimulai pada Oligosen Akhir yang ditandai dengan pengendapan klastik dari Marah Beds yang berubah secara berangsur menjadi serpih dan batulumpur dari Formasi Pamaluan, yang diikuti oleh pengendapan batuan karbonat dari Formasi Bebulu dan pada akhir pengendapannya diendapkan serpih napal dan batulanau dari Formasi Pulau Balang yang berumur Miosen Awal-Tengah.
19
2.3.3 Endapan Miosen Tengah-Miosen Akhir. Kelompok batuan pada umur ini pada umumnya tersusun sangat kompleks dan masih membingungkan. Dalam stratigrafi regional, kelompok batuan ini dinamai Grup Balikpapan (Marks dkk., 1982). Bagian bawah dari kelompok batuan ini tersusun atas batuan klastik Formasi Mentawir dan dapat dibedakan dari bagian atasnya yang tersusun atas serpihkarbonat Formasi Mentawir. Batupasir Formasi Mentawir memiliki ciri litologi masif, berbutir halus-sedang, berlapis dengan serpih, lanau, dan batubara. Ketebalan unit batuan ini kurang lebih 450 meter, Secara selaras Grup Balikpapan ini ditutupi oleh Formasi Klandasan, yang tersusun atas serpih, napal dan karbonat. Ke arah barat, Formasi Klandasan semakin intensif tererosi. Batupasir basal dengan ketebalan 1000 meter berubah secara berangsur menjadi lanau dan serpih. Formasi Klandasan dengan interval karbonat dikenal dengan Formasi Meruat, yang berangsur ke arah basinward menjadi napal. Formasi Sepinggan menutupi Formasi Klandasan secara selaras. Formasi Sepinggan disusun oleh sikuen serpih-batulumpur dengan ketebalan kurang lebih 1.000 meter. Di bagian barat laut dari Cekungan Kutai, unit sikuen pengendapan ini menyatu menjadi sikuen serpih-napal (Birah-1) yang membentuk unit batuan Bongas Beds. Di daerah Runtu-Agar dan Sangatta, interkalasi batupasir sangat halus dan batubara mencirikan endapan delta bagian distal dari bagian timur kompleks delta prograding yang menyatu dengan klastik anggota Grup Balikpapan. Sikuen ini dikenal dengan Formasi Sangatta (batubaraan) dengan ketebalan mencapai 2.200 meter.
20
Pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir, siklus sedimentasi ditutup oleh regresi pada Miosen Akhir, yang diindikasikan oleh pembajian klastik yang membentuk bagian dari Formasi Kampung Baru. 2.3.4 Endapan Pliosen dan Kuarter Formasi Kampung Baru dapat dikenali dengan baik pada area tepi pantai di daerah tenggara dari Cekungan Kutai (daerah Balikpapan), yang secara tidak selaras menutupi Formasi Balikpapan. Formasi ini tersusun atas batupasir, batulanau dan serpih yang kaya akan batubara. Klastik yang lebih kasar umumnya lebih banyak terdapat pada bagian bawah dari formasi ini dengan ketebalan 30-120 meter. Batupasir ini membaji ke arah timur menjadi unit serpih seluruhnya. Unit klastik pada bagian atas lapisan ini merupakan sebuah bukti transgresi pada pliosen awal. Ke arah basinward unit ini bergradasi menjadi fasies karbonat (Batugamping Sepinggan).
21
22
2.4 SISTEM PETROLEUM Sistem Petroleum di Cekungan Kutai ini didokumentasikan dengan baik oleh Duval, dkk (1992). Dalam publikasinya, batuan induk di Cekungan Kutai merupakan batubara yang telah matang dan batu serpih yang kaya akan bahan organik di daerah kitchen, yang dibatasi oleh nilai Ro 0,6% di bagian atas dan zona bertekanan tinggi (overpressured zone) di bagian bawahnya. 36.4.1 Batuan Induk Analisis batuan induk yang dilakukan oleh Oudin dan Picard (1982) serta Burus dkk (1992) di daerah Mahakam menyimpulkan bahwa batuan induk yang membentuk hidrokarbon di daerah itu berjenis ”humic”. Serpih yang berasosiasi dengan Batubara yang terendapkan diantara endapan paparan pantai yang merupakan anggota dari formasi Balikpapan dan Kampung Baru, kaya akan kandungan bahan organik. Batuan ini memiliki kerogen yang melimpah yang berasal dari endapan darat yang banyak mengandung sisa tumbuhan. Analisis hidrokarbon di Cekungan Kutai menunjukan bahwa minyak yang berasal dari batuan induk ini mencapai tingkat kematangan sedang-akhir. Kandungan TOC pada batuan induk ini bervariasi dan dipengaruhi oleh struktur dan elemen sikuen (Burrus dkk., 1992). Di bagian dasar dari sikuen dengan jenis endapan laut dan pro delta, nilai TOC rata-rata nya adalah 1%. Batupasir endapan delta anggota batuan induk tidak memiliki kerogen, dan serpih yang berseling dengan batupasir ini memiliki TOC 2,5 - 8%. Pada bagian atas dari sikuen ini lapisan batubara dengan ketebalan 0,1 - 5 meter memiliki TOC di atas 80%.
23
36.4.2 Kematangan Tingkat kematangan batuan induk yang berumur Miosen awal sangat tinggi dengan nilai Ro lebih dari 0,4%. Hal ini dapat dikenali dari peta kematangan permukaan dan data sumur. 36.4.3 Batuan Reservoir Batuan reservoir utama yang berumur Miosen Akhir-Pliosen pada umunya merupakan batupasir yang berasal dari endapan paparan delta, delta front, prodelta/marine, dan fasies prograding lowstand. Pada arah struktur Badak-Nilam-Handil, objektif reservoirnya merupakan endapan bar dan endapan sungai yang berumur Miosen Tengah-Akhir. Reservoir ini merupakan anggota dari Grup Balikpapan dan juga Formasi Kampung Baru (Miosen Akhir-Pliosen). Batupasir ini hadir dalam lapisan yang multilayer, dengan ketebalan 0,5 - 30 meter, porositas rata-rata 14 - 19%, permeabilitas rata-rata 1 – 3.000 md dan kumulatif ketebalan netpay antara 200300 meter. Pada formasi Kampung Baru, batupasirnya merupakan endapan delta front dengan porositas rata-rata 25 - 30% dan permeabilitas rata-rata 2 - 300 md. Pada tren struktur Attaka-Tunu-Bakapai, reservoir utamanya berumur Miosen AkhirPliosen dari formasi Kampung Baru. Fasies batupasir dari reservoir ini bervariasi, dari endapan upper tidal delta hingga marine delta front. Porositas rata-rata dari reservoir ini adalah 16 - 30%. Pada bagian bawah dari lapisan reservoir ini, fasies pro delta hadir dengan kualitas batupasir yang buruk. Pada tren struktur Sisi-Nubi-Dian, fasies prograding lowstand dariperlapisan batupasir yang berumur Miosen Akhir-Pliosen dari Formasi Kampung Baru dan batuan karbonat berumur Pliosen menjadi reservoir yang paling potensial. Batuan reservoir utama penghasil hidrokarbon berupa batupasir endapan delta yang berumur Miosen Awal – Miosen Tengah dari Formasi Pamaluan, Pulubalang, dan Balikpapan dengan porositas berkisar 15% - 30%. Di daerah Tanjung, batuan sedimen dari Formasi Tanjung bagian bawah menjadi batuan reservoir dengan kualitas baik-sangat baik. Di daerah Mamahak, batuan reservoir
24
merupakan batupasir dan konglomerat dari Formasi Kehamhaloq. Di daerah Teweh, batuan reservoirnya merupakan batuan karbonat Oligosen yang terisolasi. 36.4.4 Perangkap Perangkap yang paling berperan dalam akumulasi hidrokarbon di Cekungan Kutai merupakan perangkap struktural dengan tipe closure empat arah, seperti yang ditemukan di Lapangan Badak, Handil, Bekapai, dan Attaka. Selain itu, perangkap stratigrafi pula menjadi perangkap yang paling penting pada saat ini, namun lebih sulit diidentifikasi keberadaannya bila dibandingkan dengan perangkap struktur. Kombinasi dari perangkap struktur dan stratigrafi lebih umum ditemukan pada lapangan-lapangan di Cekungan Kutai. hidrodinamik juga berperan dalam akumulasi hidrokarbon di Cekungan Kutai. Perangkap hidrodinamik ini terutama berhubungan dengan aliran hidrodinamik dari air meteorik dan tekanan yang tinggi pada aliran tersebut. Perangkap hidrokarbon yang berkembang berupa perangkap struktur berupa perangkap lipatan dan perangkap sesar inversi, maupun kombinasi antara lipatan dan sesar naik, disamping itu beberapa perangkap stratigrafi umum dijumpai pada kawasan ini berupa pembajian dari lensa-lensa batupasir. 36.4.5 Batuan Penyekat Batuan tudung yang berkembang dikawasan Cekungan Kutai berasal dari serpih. Grup Balikpapan dan Formasi Kampung Baru memiliki serpih yang sangat potensial sebagai batuan tudung. Serpih ini berinterkalasi dengan batupasir yang membentuk cebakan hidrokarbon. Dalam konteks stratigrafi sikuen, maximum flooding surface merupakan lapisan tudung yang efektif, karena mengandung banyak serpih. Patahan dapat pula berperan sebagai tudung yang sangat efektif di beberapa lapangan minyak di Cekungan Kutai. 36.4.6 Migrasi Migrasi primer yang merupakan ekspulsi dari hidrokarbon dari batuan induk yang telah matang dapat diperhitungkan dari beberapa metoda pendekatan, seperti indeks plot silang kematangan – produksi dan pemodelan kinetik. Dengan menggunakan plot silang RoOPI, secara semu dapat terlihat bahwa hidrokarbon terekspulsi pada Ro=0.7%. Pada Ro 1.2%, semua cairan dari hidrokarbon akan terkonversi menjadi gas dan memicu migrasi 25
sekunder. Model Kinetik menunjukan bahwa efisiensi ekspulsi dari batuan induk yang berumur Miosen berkisar antara 25% - 40%. Migrasi sekunder dari batuan induk menuju reservoir kebanyakan dipengaruhi oleh strukturisasi yang intensif pada area tersebut. Mekanisme yang dominan yakni migrasi vertikal sepanjang sistem patahan. Pada beberapa area, ditemukan migrasi lateral. Rembesan minyak dan gas ditemukan sepanjang Zona Patahan Saka Kanan-Loa Haur-Separi.
2.5 KONSEP PLAY REGIONAL Pendekatan konsep play di Cekungan Kutai akan dijabarkan berdasarkan kombinasi konsep stratigrafi, mekanisme pemerangkapan, dan litologi reservoir. Hal ini dilakukan karena sebuah pendekatan saja tidak dapat merepresentasikan konsep play untuk suatu cebakan hidrokarbon pada lapangan minyak tertentu. Tabel 36.51 Tipe-tipe konsep play umum di Cekungan Kutai (PERTAMINA-BPPKA, 1996). NO
1
PLAY OBJECTIVE
EOCENE
PROVEN
NOT PROVEN
TANJUNG
MAMAHAK
2
OLIGOCENE
KERENDAN
3
MIOCENE
DELTA
TURBIDIT
LOW RESISTIVITY SANDS
OVERPRESSURE
HIDRODYNAMIC
26
LOWSTAND WEDGE
CARBONATE
2.5.1 Play Eosen 2.5.1.1 Lapangan Tanjung Akumulasi hidrokarbon di Lapangan Tanjung berhubungan dengan struktur berumur Paleogen yang memiliki karakteristik antiklin asimetris dengan arah umum NE-SE. Sesar naik dengan arah kemiringan ke NE memotong antiklin, dan juga memotong sesar normal berarah NW-SE (Gambar 36.15 dan Gambar 36.16). 2.5.1.2 Lapangan Mamahak Lapangan ini terletak di Sungai Mahakam, kurang lebih 275 km dibagian barat dari Samarinda dan 100 km di bagian utara lapangan gas Kerendan. Sumur ini di bor pada tahun 1939 oleh BPM berdasarkan identifikasi struktur antiklin di permukaan. Antiklin ini memiliki arah umumn SSW-ENE. Lapisan reservoir di lapangan ini merupakan batupasir Kehamhaloq yang tertutupi oleh serpih dan batulumpur dari Formasi Atan. Play pada umur Eosen ini merupakan tipe perangkap struktur dengan dip closure 2 arah. Jenis play ini kemungkinan menerus sepanjang antiklin Mamahak. 2.5.2 Play Oligosen Di area Teweh, akumulasi hidrokarbon terdapat pada batuan karbonat Oligosen yang terisolasi. Batuan ini terdapat pada daerah tinggian batuan dasar. Fasies slope-nya terdiri dari seprih laut.Play pada batuan karbonat ini merupakan play stratigrafi. 2.5.3 Play Miosen Lapangan minyak dan gas yang telah berproduksi di Cekungan Kutai secara garis besar diproduksi dari batuan reservoir berumur Miosen. Total cadangan terbukti dari interval
27
reservoir ini adalah 8.6 MMBO minyak dan 28.1 TCF gas yang setara dengan total 2.4 juta bbl minyak ekivalen. Secara umum dapat disebutkan bahwa seluruh tipe play pada cebakan minyak berumur Miosen seluruh nya berjenis endapan delta. Play untuk endapan delta ini dibagi lagi menjadi tipe play lain seperti lowstand wedge, hidrodinamik, overpressure dan batupasir dengan tingkat resistivitas rendah.
Gambar 36.5.1 Konfigurasi play struktur pada Paleogen di Lapangan Tanjung Raya
(PERTAMINA-BPPKA, 1996).
28
29
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Cekungan Kutai memiliki luas sekitar 43.680 km2. Cekungan ini merupakan salah satu cekungan tersier terbesar dan terdalam di Indonesia. Cekungan ini termasuk dalam klasifikasi Paleogene Continental Fracture-Neogene Passive Margin. Secara geografis, cekungan Kutai terletak dibagian timur Pulau Kalimantan pada koordinat 103o LU - 2o LS, dan 113o - 118o BT . Batuan dasar dari Cekungan Kutai tersusun oleh kerak kontinen yang diinterpretasikan sebagai bagian dari Kraton Sunda dan akresi dari lempeng mikro. Adang Flexure dengan arah umum baratlaut – tenggara (batas patahan Paternosfer) membatasi bagian selatan dari cekungan ini dengan Cekungan Barito. Di utara, arah utarabaratlaut Busur Mangkalihat memisahkan Cekungan Kutai dengan Cekungan Tarakan. Cekungan Kutai berdampingan dengan Cekungan Lariang di bagian timur dan Tinggian Kuching di sebelah baratnya. Dalam tatanan tektonik, Cekungan Kutai terbentuk sebagai bagian dari bagian tenggara dari Kraton Sunda yang dipengaruhi oleh tiga lempeng utama yakni Eurasia, India-Australia, dan Pasifik. Struktur batuan dasar dari Cekungan Kutai merupakan produk tektonik Mesozoik Akhir hingga Tersier Awal Litostratigrafi Cekungan Kutai telah ditulis oleh Courtney dkk (1991) dalam kolom stratigrafi regional Cekungan Kutai. Jadi litostratigrafi Cekungan Kutai dari masa Paleogen, Neogen dan Kuarter terdiri dari Endapan Paleogen , Endapan Oligosen AkhirMiosen Tengah , Endapan Miosen Tengah-Miosen Akhir , Endapan Pliosen dan Kuarter
30
DAFTAR PUSTAKA Burrus, J., Brosse, E., Choppin de janvry,G., Grosjean, Y., Oudin, J.L.,1992, Basin Modelling In The Mahakam Delta Based On the Integrated 2D Model Temispack. Indonesian Pet. Assoc., 21st Annual Convention Proceeding I.
Courteney, S., Cockcroft, P. Lorentz, R. A. Miller, R. Ott, H. L. Prijosoesilo, P. Suhendan, A. R. & Wight, A. W. R. 1991. Indonesia-Oil and Gas Field Atlas. Volume 2 Central Sumatra. Indonesian Petroleum Association. Duval, B.C., G.C. de Janvry, and B.Loiret, 1992, Detailed Geoscience Re-Interpretation of Indonesia’s Mahakam Delta Score, Oil and Gas Journal, 10 Agustus 1992. Laporan Internal VICO, 1995, Regional Tectonic Projects, Tidak dipublikasikan.
Marks, E.L., Sujatmiko, L. samuel, H. Dhanutirto, T. Ismoyati, dan B.B. Sidik, 1982, Cenozoic stratigraphic nomenclature in East Kutei Basin, Kalimantan, Indonesian Pet. Assoc., 11th Annual Convention Proceeding.
Oudin, J.L., dan P.F. Picard, 1982, Genesis of Hydrocarbons in the Mahakam Delta and the Relationship Between their distribution and the overpressured zones. , Indonesian Pet. Assoc., 11th Annual Convention Proceeding.
PERTAMINA dan BEICIP FRANLAB, 1992, Global Geodynamics, Basin Classification and Exploration Play-types in Indonesia, Vol I, Kutai Basin, PERTAMINA, Jakarta.
PERTAMINA dan BPPKA; 1996; Petroleum Geology of Indonesian Basins: Principles, Methods and Application, Vol XI: Kutai Basins.
Wilson,
M.E.J.,
and
Moss,
S.J.,
1999.,
Cenozoic
Evolution
of
Borneo-Sulawesi.
Palaeogeography, Palaeoclimatology and Palaeooceanography. Vol. 145.
31
32
33
34
35
36
37