BAB I PENDAHULUAN Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kelainan makna dengan ejaan dan pelafalan sama (homonim), dan kelainan makna dengan ejaan dan pelafalan berbeda (homograf). Makalah ini agar mengetahui pembahasan yang belum dipahami sebelumnya. Agar tidak salah menafsirkan kejelasan yang belum dikupas secara mendalam.
BAB I1 PEMBAHASAN SINONIM, HOMONIM, HOMOGRAF 2.1 Sinonim Secara etimologi kata sinonimi atau disingkat sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’ (Chaer, 1994 :82). Sinonim adalah relasi makna antarkata (frasa atau kalimat) yang maknanya sama atau mirip. Di dalam suatu bahasa sangat jarang ditemukan dua kata yang bersinonimi mutlak. (Kushartanti, 2005:117). Sementara menurut H.G Tarigan (1993:78) kata sinonim terdiri dari sin (“sama” atau “serupa”) dan akar kata onim ”nama” yang bermakna “sebuah kata yang dikelompokkan dengan kata-kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makna umum. Dengan perkataan lain : sinonim adalah kata-kata yang mengandung arti pusat yang sama tetapi berbeda dalam nilai kata. Atau secara singkat : sinonim adalah kata-kata yang mempunyai denotasi yang sama tetapi berbeda dalam konotasi. Contoh-contoh sinonim adalah sudah-telah, sebab-karena, meskipun-walaupun, jikalau-apabila, cinta-kasih, mati-meninggal. Istilah sinonim (Inggris: synonymy berasal dari bahasa Yunani Kuno; onoma = nama dan syn =dengan) (Pateda, 2001: 222). Cruse (2000:156) menyatakan bahwa penyederhanaan interpretasi sinonim hanya sebagai ‘kesamaan makna’ menjadikan sinonimi bukan relasi makna yang menarik perhatian. Kata-kata yang bersinonim adalah kata-kata yang lebih kuat menunjukkan kesamaan maknanya daripada perbedaannya.
Perbedaan makna yang ada dalam pasangan kata bersinonim dilihat dari lima hal berikut: 1.
Kata-kata yang bersinonim berasal dari dialek yang berada. Misalnya: dua-duo, kita-kite, ke mana- ke mane
2.
Kata-kata yang bersinonim digunakan dalam ‘gaya’ yang berbeda. Contoh: wafat-meninggal-mati, saya-aku, dia-beliau, makan-santap.
3.
Kata-kata yang bersinonim menampilkan makna emotif atau afektif yang berbeda. Palmer menjelaskan bahwa makna emotif ini antara lain berkenaan dengan pemilihan kata yang dianggap ‘baik’ atau ‘buruk’, kata yang mana yang lebih kuat memiliki efek tertentu. Dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa jawa dapat diambilkan contoh-contoh berikut ini: Rusak-bobrok, mati-mampus, diberhentikan-dipecat, mati-modar.
4.
Kata-kata yang bersinonim memiliki keterbatasan kolokasi yang berbeda. Contoh: rancid-addled ‘tengik’ Kedua kata tersebut menunjukan kondisi bahan makanan yang sudah tidak baik lagi. Kata rancid digunakan untuk daging atau keju, sedangkan kata addled untuk telor. Dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Jawa dapat diambilkan contoh-contoh berikut: Busuk-basi, kandang-sangkar, lambat-pelan
5.
Kata-kata yang bersinonim memiliki kelonggaran ketumpang tindihan makna yang berbeda. Contoh: Kata mature ‘dewasa’ disinonimkan dengan kata-kata: adult ‘dewasa’, ripe ‘matang’, perfect ‘sempurna’.
Berikut jenis dan contohnya! Sinonim Mutlak: kata-kata yang dapat bertukar tempat dalam konteks kebahasaan apa pun tanpa mengubah makna struktural dan makna leksikal dalam rangkaian kata/frasa/klausa/kalimat. Contoh:
kosmetik laris leksikografi kucing
= = = =
kecantikan laku, larap perkamusan meong
Sinonim Semirip: kata-kata yang dapat bertukar tempat dalam konteks kebahasaan tertentu dalam konteks tertentu tanpa mengubah makna struktural dan leksikal dalam rangkaian kata/frasa/klausa/kalimat tersebut saja. Contoh:
melatis = menerobos lahiriah = jasmaniah
Sinonim Selingkung: kata-kata yang dapat saling mengganti dalam satu konteks kebahasaan tertentu saja secara struktural dan leksikal. Contoh:
lemah = lemas
Dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Jawa dapat diambilkan contoh berikut ini: Senang-gembira-bahagia, dewasa-matang-tua, nesu-muring-ngamuk-muni-muni ‘marah’. Cruse (1991: 283-285) menjelaskan bahwa selain perbedaan dialek, perbedaan ragam (register) juga menampilkan pasangan kata sinonim. Mengutip Halliday (1978), ragam ditentukan oleh tiga dimensi, yakni filed, mode, dan style. Field adalah topik pembicaraan. Dalam bahasa Indonesia ditemukan pasangan kata bersinonim obat dan jamu. Kata obat digunakan dalam topik pembicaraan kedokteran, sedangkan kata jamu digunakan dalam topik pembicaraan pengobatan tradisional. Dalam bahasa Jawa, kata kalbu ‘hati’ dijumpai dalam topik pembicaraan religi, sedangkan dalam topic kehidupan sehari-hari dijumpai kata ati ‘hati’. Mode adalah cara atau saluran yang digunakan dalam komunikasi, yakni komunikasi tertulis atau lisan. Dalam bahasa Indonesia ditemukan pasangan kata lalu dan kemudian yang memiliki kemunculan yang berbeda dalam penuturan bahasa tulis. Kata lalu ditemukan dalam ragam lisan, sedangkan kata kemudian ditemukan baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Dalam bahasa Jawa ditemukan pasangan sinonim lan-karo ‘dan’. Kata lan ditemukan dalam ragam tulis, sedangkan karo dalam ragam lisan. Style adalah gaya yang mencakupi situasi hubungan peran antarpartisipan tindak tutur. Dalam bahasa Indonesia ditemukan pasangan kata dia dan beliau yang digunakan untuk menunjukan orang ketiga yang memiliki status setara, sedangkan kata beliau digunakan untuk menunjukan orang ketiga yang memiliki status lebih tinggi dari seorang pembicara. Dalam bahasa jawa
ditemukan
kata
aku-kula
‘saya’
yang
menunjukan
perbedaan
status partisipasi tindak tutur. Kata aku digunakan jika si penutur memiliki status yang setara atau lebih tinggi daripada kawan tutur, sedangkan kata kula digunakan jika status si penutur setara atau lebih rendah daripada kawan tutur.
Perhatikan pasangan kata sinonim lelah dan letih dalam konteks kalimat berikut: (1) Usaha yang tidak mendatangkan hasil itu sangat melelahkan Meletihkan (2) Badannya terasa lelah setelah bekerja keras seharian Letih
(3) Lelah sekali rasanya mengatasi ulah pengacau yang dilakuka teman sendiri *letih (4) jangan dipaksa, jika badan sudah terasa lelah *Letih.
kata lelah dalam kalimat (1) dan (2) ternyata tidak dapat digantikan dengan kata letih. Pada kalimat (3) dan (4) kedua kata tersebut dapat saling menggantikan tanpa mengubah makna. Empat konteks di atas menunjukan bahwa kata lelah dapat digunakan untuk menyatakan ‘rasa yang dialami suatu tubuh kurang bertenaga’ baik secara fisik maupun psikis, sedangkan kata letih hanya dapat digunakan untuk menyatakan ‘menyatakan rasa yang dialami di saat tubuh kurang bertenaga’ secara fisik. Berdasarkan kenyataan di atas, pasangan kata yang bersifat sinonim sulit ditemukan. Dengan demikian dapat dirumuskan pula bahwa tidak ada dua kata yang maknanya mutlak sama. Mengacu pada pernyataan Cruse dapat diketahui bahwa permasalahan penting dalam sinonim adalah kadar kesamaan makna antar kata-kata yang bersinonim, semakin tinggi kadar kesamaan makna pasangan kata yang bersinonim, semakin tinggi pula kadar kesinoniman pasangan kata tersebut. Kata lelah dan letih merupakan pasangan kata yang bersinonim karena makna inti kedua kata tersebut sama. Kata lelah dan letih secara referensial menunjukan
‘rasa yang dialami di saat tubuh kurang bertenaga’. Makna tambahan yang menunjukkan perbedaan, seperti yang ditampilkan oleh kalimat (1)-(4) di atas, adalah ada tidaknya kemungkinan untuk digunakan untuk menunjuk rasa yang bersifat psikis. Selain itu, kata letih juga menyatakan kadar kualitas “rasa” yang berbeda dengan kata lelah. Kata letih digunakan untuk mengacu kondisi badan yang “amat” lelah. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang bersinonim dengan kata bunga. Begitu juga kalau kata buruk bersininom dengan kata jelek. Istilah sinonim dipakai karena pertindihan pada kata-kata yang bersinonim itu cukup sehingga menyebabkan kemiripan fungsi kata-kata yang bersinonim. Kata jejaka dan kata duda dalam bahasa Indonesia memiliki banyak kemiripan mengenai cirri-cirinya kecuali dalam status perkawinan. Pertindihan yang tidak luas itu tidak masuk dalam sinonim karena adanya perbedaan yang mendasar pada kata-kata itu. Memang kedua kata itu memiliki persamaan bahwa yang dimaksud ialah seorang manusia yang berjenis kelamin laki-laki, tetapi persamaan itu tidak pernah dihiraukan orang, justru perbedaanya yang menjadi pusat perhatian yakni perbedaan status perkawinannya. Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kata-kata yang dapat dipertukarkan begitu saja jarang ada. Ketidakmungkinan kita menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim disebabkan oleh beberapa hal: 1.
Faktor waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan.
2.
Faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta.
3.
Faktor sosial. Misalnya kata aku dan saya. Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim.
4.
Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan mengintip, semuanya bersinonim. Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995:208) ada dua syarat suatu dikatakan sinonim, yaitu memiliki kemiripan hampir menyeluruh dan sesuatu yang ada diluar kemiripan itu tidak dianggap penting dan tidak banyak berpengaruh. Pembagian
sinonim dengan
mengikuti
Palmer
dalam T.Fatimah
Djajasudarma (1999:40) sebagai berikut : 1. Perangkat sinonim yang salah satu anggotanya berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing dan yang lainnya, yang terdapat didalam bahasa umum. Misalnya, konde dan sanggul, domisili dan kediaman, khawatir dan gelisah. 2.
Perangkat sinonim yang pemakaiannya bergantung kepada langgam dan laras bahasa. Misalnya, dara, gadis, dan cewek; mati, meninggal, dan wafat. Pemakaian kosakata langgam dan laras bahasa yang berbeda akan menghasilkan kalimat yang tidak apik (ill-formed). Misalnya, “Cewek yang tinggal di rumah besar itu kemarin wafat”.
3.
Perangkat sinonim yang berbeda makna emotifnya, tetapi makna kognitifnya sama. Misalnya, negarawan dan politikus; ningrat dan feodal.
4.
Perangkat sinonim yang pemakaiannya terbatas pada kata tertentu (keterbatasan kolokasi). Misalnya, telur busuk, nasi basi, mentega tengik, susu asam, baju apek, busuk, basi, tengik, asam dan apek memiliki makna yang sama, yakni buruk, tetapi tidak dapat saling menggantikan karena dibatasi persandingan yang dilazimkan.
5.
Perangkat
sinonim
yang
maknanya
kadang-kadang
tumpang-tindih.
Misalnya, bumbu dan rempah-rempah; bimbang, cemas, dan sangsi; nyata dan kongkret.
2.2 Homonim Istilah homonim (Inggris: homonymy) berasal dari bahasa Yunani Kuno, onoma = nama dan hamos = sama). Secara harfiah, homonim adalah nama sama untuk benda yang berlainan. Verhaar (1983: 135) mengatakan, “Homonim adalah ungkapan (kata atau frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan suatu ungkapan lain, tetapi dengan perbedaan makna di antara kedua ungkapan tersebut.” Dengan kata lain, bentuknya sama (bahkan dalam B1 tulisannya sama, lafalnya sama) tetapi berbeda maknanya (Pateda, 2001: 211). Homonimi adalah relasi makna antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. (Kushartanti, 2005:116). Homonimi ujaran ialah dua ujaran dalam bentuk kata yang sama lafalnya dan atau sama ejaannya/tulisannya (Parera, 2004: 81). Dengan demikian, dapat dibedakan berdasarkan lafalnya dan berdasarkan tulisannya. Dua ujuran dalam bentuk kata yang sama lafalnya, tetapi berlainan tulisannya disebut homofon. Misalnya, ‘bank’ dan ‘bang’, ‘sanksi’ dan ‘sangsi’. Selain daripada itu, terdapat pula dua ujaran dalam bentuk kata yang sama ejaannya, tetapi mungkin berlainan lafalnya. Misalnya, ‘teras’ dan ‘teras’, ‘bela’ dan ‘bela’, ‘gang’ dan ‘gang’ dalam bahasa Indonesia. Dua bentuk bahasa yang sama ejaanya, tetapi berbeda lafalnya disebut homograf. Sebagaimana telah kami katakan di atas masalahnya ialah bagaimana kita menentukan bahwa satu bentuk ujaran dalam bentuk kata merupakan homonim (jadi seharusnya dua kata). Nah, bagaimana mengetahui ‘masih ada kaitan makna’? Studi tentang hubungan dan perbedaan antara homonimi dan polisemi menuntut studi semantik secara historis/diakronisi dan studi semantik secara sinkronis. Jika dua ujaran kata yang sama bunyinya dan atau sama ejaannya telah diketahui berasal dari sumber bahasa yang berbeda, maka dua kata yang ejaan dan lafalnya sama itu merupakan homonim. Ini berarti kita melakukan satu studi
semantik secara historis. Misalnya, kata ‘buku’ dalam bahasa Indonesia masih dapat dibedakan atas dua sumber asal, maka kita menyatakan ada homonim: ‘buku 1’ adalah kata Indonesia asli bermakna tulang sendi: bagian yang keras pada pertemua dua ruas, dan ‘buku 2’ yang berasal dari bahasa Belanda yang bermakna beberapa helai kertas yang telah terjilid untuk ditulisi atau telah berisi tulisan’. Salah satu cabang studi semantik secara historis ini disebut etimologi. Analisis homonim menurut Prof. Verhaar adalah analisis linguistik, maka kriteria-kriteria linguistiklah yang dipergunakan untuk menganalisis homonimi. Pertama, secara linguistik hominimin ialah ujaran baik kata, frase, klausa, kalimat yang sama bentuknya dengan ujaran yang lain, tetapi mempunyai perbedaan makna. Kedua, ciri untuk mengkaji perbedaan makna itu ialah ciri suprasegmental, morfofonemik, ciri unsur bawahan langsung (Surlang/ICs), dan ciri hubungan struktural dalam dan struktur luar. Ketiga, homonimi ini dapat terjadi pada satuan kata, frase, klausa dan kalimat. Untuk itu marilah kita uji pendirian Prof. Verhaar tersebut. Homonimi Antar Kata. kita sudah mengenal homonimi antarkata bermorfem tunggal. Mungkin homonimi kata bermorfem tunggallah yang sering dipersoalkan para semantisis. Kita pun mencatat homonim antar kata bermorfem jamak. Dalam bahasa Indonesia ada kata ‘mengukur’ dan mengukur’. Kata mengukur diturunkan dari bentuk dasar ‘kukur’ dan ‘mengukur’ diturunkn dari bentuk dasar ‘ukur’ kata mengenal homonimi kata lain seperti ‘mengurus’ (dari kurus) dan ‘mengurus’ (dari urus), ‘mengurung’ (dari kurung) dan ‘mengurung’ (dari urung). Homonimi Antar Frase. Frase ‘guru bahasa Inggris’ (dapat diparafrasiskan) dengan ‘guru mengenai atau tentang bahasa Inggris’) dan ‘guru bahasa Inggris’ (parafasis guru bahasa orang Inggris); ‘pidati Presiden yang terakhir (sama dengan parafrasis pidato yang terakhir) dan ‘pidato presiden yang terakhir (parafrasis presiden itu yang terakhir); ‘lukisan Toni ‘(tulisan milik Toni), ‘tulisan Toni’
(lukisan karya Toni). Ani mempertugunakan istilah parafrasis untuk menjelaskan perbedaan makna homonimi ini karena analisis ini adalah analisis semantik. Hominimi antar frase secara struktural dapat dijelaskan dengan teknik unsur bawaan langsung (surlang) atau Immediate Constituents (ICs). Homonimi Antar Klausa dan Antar Kalimat. Baju dalam bahasa Indonesia dapat ditemukan homonimi antarklausa pula: ‘baju orang pendek itu putih’ (parafasis “orang itu memakai baju pendek”) dan ‘baju orang pendek itu putih’ (parafase “orang itu memakai baju yang pendek dan putih” atau baju putih orang itu pendek”). Dalam hiponim ini, sebenarnya salah satu dari pasangan kata itu tidaklah berlawanan atau bertentangan sepenuhnya dengan yang satu lagi, tetapi justru yang satu mencakup yang lain. Contoh: Vertabrata
mencakup ikan, reptile (binatang melata), dan mamalia
Gedung
mencakup pencakar langit,rumah besar, rumah, dll
Universitas
mencakup fakultas, departemen, jurusan, dll
Fonem
mencakup vokal, konsonan, diftong, dll
Sastra
mencakup puisi, prosa, drama.
BAB 111 SIMPULAN
Sinonim adalah relasi makna antarkata (frasa atau kalimat) yang maknanya sama atau mirip. Cruse (1991: 283-285) menjelaskan bahwa selain perbedaan dialek, perbedaan ragam (register) juga menampilkan pasangan kata sinonim. Mengutip Halliday (1978), ragam ditentukan oleh tiga dimensi, yakni field, mode, dan style. Secara harfiah, homonim adalah nama sama untuk benda yang berlainan. Verhaar (1983: 135) mengatakan, “Homonim adalah ungkapan (kata atau frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan suatu ungkapan lain, tetapi dengan perbedaan makna di antara kedua ungkapan tersebut.”
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2002. Semantik Bahasa Indonesia.Jakarta: PT Rineka Cipta. Djajasudarma, T. Fatimah. 1991. Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT Refika Aditama
Kushartani, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia. Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Gramedia. Rahyono. 2012. Studi Makna. Jakarta: Penaku. Tarigan,Henry Guntur. 1993. Pengajaran Morfologi. Bandung: Angkasa.