BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan individu dapat dilakukan melalui pendidikan formal, non formal maupun informal. Salah satu tempat untuk mendapatkan pendidikan secara formal adalah perguruan tinggi, yakni merupakan pendidikan lanjutan bagi peserta didik setelah selesai menempuh pendidikan menengah atas. Menurut UU No. 12 Tahun 2012, perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi (Pasal 1 Ayat 6), penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Pasal 1 Ayat 9).1 Aktifitas pendidikan atau belajar bagi setiap individu, tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Setiap individu memang tidak ada yang sama. Perbedaan individu ini pula lah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku dikalangan anak didik. Siswa yang tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar merupakan kekurangan yang tidak nampak secara lahiriah. Ketidak mampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami masalah kesulitan belajar.1 Kesulitan belajar pada siswa dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi minat, perhatian, motivasi dan kebiasaan belajar. Sedangkan faktor eksternal meliputi metode pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar.2 Gangguan belajar merupakan terjemahan dari istilah Bahasa Inggris lerning disorder. Namun amat langka pembahasan tersebut akan dijumpai baik dari versi bahasa Inggris maupun Indonesia. Yang paling sering dijumpai adalah handaya kesulitan belajar (learning disability). Tulisan berikutnya menyamakan gangguan belajar dengan handaya kesulitan belajar. Tulisan ini beusaha untuk mengidentifikasi factor yang berperan mempengaruhi kesulitas belajar pada anak.1
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gangguan Belajar Gangguan belajar adalah defisit pada anak dan remaja didalam mencapai keterampilan
membaca,
menulis,
berbicara,
penggunaan
pendengaran,
memberikan alasan, atau metematika yang diharapkan, dibandingkan dengan anak lain berusia sama dan dengan kapasitas intelektual yang sama. Gangguan belajar lazim ditemukan, mengenai sedikitnya 5 persen anak usia sekolah. Edisi keempat Diagnostic and Statistica/ Manual of Mental Disorder (DSM-IV) memperkenalkan istilah gangguan belajar, yang secara formal disebut gangguan keterampilan akademik. Semua diagnosis gangguan belajar saat ini mensyaratkan bahwa pencapaian anak dalam gangguan belajar tertentu secara signifikan lebih rendah dari yang diharapkan, dan bahwa gangguan belajar mengganggu pencapaian akademik atau aktivitas kehidupan sehari-hari.3 Revisi teks DSM-IV (DSM-IV-TR) mencakup empat kategori diagnostik di dalam bab gangguan belajar: gangguan membaca, gangguan matematika, gangguan ekspresi tertulis, dan gangguan belajar yang tidak tergolongkan. Anak dengan gangguan belajar seperti gangguan membaca, contohnya, dapat diidentifikasi dengan dua cara: anak yang buruk dalam membaca dibandingkan dengan sebagian besar anak Iain yang berusia sama; dan anak yang pencapaiannya dalam membaca secara signifikan lebih rendah daripada yang diperkirakan dari keseluruhan intelligence quotient (IQ) yang diperkirakan. Kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan belajar mengharuskan adanya ketimpangan antara pencapaian dengan IQ dasar serta pencapaian yang buruk di dalam membaca dibandingkan dengan sebagian besar anak berusia sama.3
2
2.2 Gangguan Membaca 2.2.1 Definisi Didalam DSM-IV-TR, gangguan membaca (dahulu disebut disleksia) didefinisikan sebagai pencapaian membaca dibawah tingkat yang diharapkan untuk usia, pendidikan, dan intelegensi anak; hendaya ini secara signifikan mengganggu keberhasilan akademik atau aktivitas harian yang melibatkan membaca. Gangguan ini ditandai dengan gangguan kemampuan mengenali kata, membaca dengan lambat dan tidak akurat, serta pemahaman yang buruk. Disamping itu, anak dengan gangguan defisit atensi/hiperaktivitas (ADHD) memiliki risiko tinggi gangguan membaca.3 Kesulitan membaca adalah suatu keadaan ketika siswa tidak mampu mengidentifikasi kata sehingga siswa memiliki kemampuan membaca rendah berdasarkan rerata kemampuan membaca yang telah ditetapkan. Kesulitan membaca perlu dilakukan agar guru dapat mengidentifikasi kesulitan yang dialami siswa sehingga dapat memberi tindak lanjut yang tepat.4 2.2.2 Epidemiologi Suatu perkirakan sebesar 4 persen anak usia sekolah di Amerika Serikat memiliki gangguan membaca: studi prevalensi menemukan angka yang berkisar antara 2 dan 8 persen. Anak laki-laki tiga hingga empat kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan, dilaporkan memiliki ketidakmampuan membaca pada sampel yang dirujuk secara klinis. Studi epidemiologis yang diteliti menemukan angka yang hampir sama antara anak laki-laki dan perempuan yang memiliki gangguan membaca. Anak laki-laki dengan gangguan membaca mungkin lebih sering dirujuk untuk evaluasi dibandingkan anak perempuan karena masalah perilaku yang sering terkait.3 Kesulitan membaca yang dialami siswa di Indonesia hampir serupa dengan kesulitan membaca dialami siswa di luar negeri. Salah satu contohnya yaitu kesulitan membaca yang dialami siswa kelas empat sekolah dasar di Ogong,
3
Namibia. Hasil penelitian Mule (2014) menunjukkan beberapa jenis kesulitan membaca sebagai berikut:4 a) siswa membaca kata secara terbalik seperti /on/ menjadi /no/ atau /who/ menjadi /how/; b) siswa menghilangkan kata dalam kalimat, misalnya ada kalimat “semua anak mengambil balon dan membawanya ke dalam ruangan” menjadi “anak mengambil balon ke dalam ruangan”; c) siswa mengubah makna kalimat, misalnya ada kalimat “Samson menendang batu” menjadi “Samson ditendang batu”; d) siswa menambahkan kata dalam kalimat, misalnya ada kalimat “Samson duduk di tribun” menjadi “Samson duduk di atas tribun”. 2.2.3 Etiologi Tidak ada satu etiologi tunggal pun yang diidentifikasi sebagai penyebab gangguan membaca; faktor genetik, faktor perkembangan, dan faktor lingkungan dapat turut berperan terhadap defisit inti gangguan membaca. Riset terkini mengenai gangguan membaca menunjukkan bahwa pada sebagian besar kasus, anak yang bergulat dalam membaca memiliki defisit keterampilan memroses fonologis. Anak-anak ini tidak mampu mengidentifikasi bagian dari kata secara efektif yang menunjukkan bunyi spesifik, yang menimbulkan kesulitan berat didalam mengenali dan menyebut kata. Anak-anak dengan gangguan membaca ditemukan lebih lambat dalam menamai huruf dan angka, bahkan saat dikontrol untuk IQ. Dengan demikian, defisit utama pada anak dengan gangguan membaca terletak didalam domain penggunaan bahasa.3 Banyak studi menyokong hipotesis bahwa faktor genetik memainkan peran utama pada adanya gangguan membaca. Studi menunjukkan bahwa 35 hingga 40 persen kerabat derajat pertama anak dengan gangguan membaca juga memiliki derajat tertentu hendaya membaca. Beberapa studi terkini mengesankan bahwa
pemahaman
fonologis
(yi.,
kemampuan
memahami
bunyi
dan
mengeluarkan kata-kata) terkait dengan kromosom 6. Lebih jauh lagi, kemampuan identifikasi kata tunggal terkait dengan kromosom 15.3
4
Insiden gangguan membaca yang lebih tinggi dari rata-rata terdapat pada anak dengan intelegensi normal yang mengalami palsi serebral. Insiden gangguan membaca yang sedikit meningkat terdapat diantara anak-anak yang mengalami epilepsi. Komplikasi selama kehamilan; kesulitan pranatal dan perinatal termasuk prematuritas; dan berat lahir rendah lazim ada didalam riwayat anak dengan gangguan membaca. Anak dengan lesi otak pasca lahir dilobus oksipital kiri, yang menimbulkan kebutaan lapang pandang, dapat memiliki gangguan membaca sekunder, demikian juga anak dengan lesi dispenium korpus kalosum yang menyekat trasmisi informasi visual dari hemisfer kanan yang intak ke area bahasa di hemisfer kiri.3 2.2.4 Diagnosa Gangguan membaca didiagnosis jika pencapaian membaca seorang anak secara signifikan dibawah tingkat yang diharapkan pada anak dengan usia dan kapasitas intelektual yang sama. Ciri diagnosis yang khas mencakup kesulitan mengingat kembali, membangkitkan, dan merangkai huruf dan kata yang tercetak; memroses konstruksi gramatis yang canggih; dan membuat kesimpulan.3 2.2.5 Gambaran Klinis Anak yang mengalami gangguan membaca biasanya dapat diidentifikasi pada usia 7 tahun (kelas 2). Kesulitan membaca dapat tampak jelas pada anak didalam kelas saat keterampilan membaca diharapkan diperoleh pada kelas satu. Anak kadang-kadang dapat mengkompensasi gangguan membaca pada tingkat dasar awal dengan memori dan kesimpulan, terutama ketika gangguan ini disertai dengan intelegensi yang tinggi. Pada keadaan seperti ini, gangguan bisa tidak terlihat nyata sampai usia 9 tahun (kelas 4) atau lebih. Masalah-masalah yang terkait mencakup kesulitan berbahasa, sering ditunjukkan dengan gangguan diskriminasi bunyi dan kesulitan merangkai kata-kata dengan sesuai.3 Sebagian besar anak dengan gangguan membaca tidak menyukai dan menghindari membaca serta menulis. Banyak anak dengan gangguan ini yang tidak mendapatkan pendidikan untuk memperbaikinya, memiliki rasa malu atau terhina karena kegagalan mereka yang terus menerus serta kemudian frustasi.
5
Anak yang lebih tua cenderung marah dan depresi, dan mereka menunjukkan harga diri yang buruk.3 2.2.6 Patologi dan Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada tanda fisik atau ukuran laboratorium spesifik yang membantu didalam menegakkan diagnosis gangguan membaca. Diagnosis gangguan membaca ditegakkan setelah mengumpulkan data dari tes intelegensi standar dan penilaian pencapaian pendidikan. Rangkaian diagnostik umumnya mencakup tes mengeja standar, komposisi tulisan, memroses dan menggunakan bahasa oral, serta membuat salinan--penilaian keadekuatan penggunaan
pensil. Subtes
membaca yaitu Woodcock-Johnson Psycho-Educational Battery—Revised, dan Peabody Individual Achievement Test—Revised berguna untuk mengidentifikasi ketidakmampuan membaca. Rangkaian proyektif penapisan dapat mencakup gambar manusia, tes menceritakan gambar, dan melengkapi kalimat. Evaluasi harus mencakup pengamatan sistematik mengenai variabel perilaku.3 2.2.7 Perjalanan Gangguan dan Prognosis Banyak ada dengan gangguan membaca mendapatkan pengetahuan dari bahasa yang dicetak pada masa 2 tahun pertama sekolah dasar, bahkan tanpa bantuan untuk memperbaikinya. Jika diberikan dini, pada kasus yang lebih ringan, tidak diperlukan lagi terapi perbaikan diakhir kelas satu atau dua. Pada kasus yang berat dan bergantung pada pola defisit dan kekuatan, terapi remedial dapat dilanjutkan hingga sekolah menengah atau tingkat SMU.3 2.2.8 Diagnosis Banding Gangguan membaca sering disertai gangguan lain seperti gangguan bahasa eksprensif, gangguan ekspresi tulisan, dan ADHD. Studi terkini menunjukkan bahwa anak dengan gangguan membaca secara terus-menerus menunjukkan kesulitan dengan kemampuan bahasa, sedangkan anak dengan ADHD tidak demikian. Defisit didalam bahasa ekspresif dan diskriminasi bicara yang terdapat didalam gangguan membaca dapat cukup berat sehingga memerlukan diagnosis tambahan gangguan bahasa ekspresif atau gangguan bahasa campuran reseptif-
6
ekspresif. Gangguan membaca harus dibedakan denagn sindrom retardasi mental yaitu membaca, dan juga keterampilan lain, berada dibawah tingkat pencapaian yang diharapkan untuk usia kronologis seorang anak. Tes intelektual membantu membedakan defisit global dengan kesulitan membaca yang lebih spesifik. Gangguan mendengar dan melihat juga disingkirkan menggunakan uji penapisan.3 2.2.9 Terapi Banyak program terapi remedial yang efektif dimulai dengan mengajari anak tersebut untuk membuat hubungan yang akurat antara huruf dan bunyi. Setelah keterampilan itu dikuasai, terapi remedial dapat menargetkan komponen membaca yang lebih besar, seperti suku kata dan kata. Fokus pasti setiap program membaca hanya dapat ditentukan setelah dilakukan penilaian akurat mengenai defisit spesifik seorang anak secara kelemahannya. Strategi koping yang positif mencakup kelompok membaca kecil dan terstruktur yang memberikan perhatian individual sehingga membuat anak tersebut lebih mudah meminta bantuan.3 Program instruksi membaca dimulai dengan memusatkan pada setiap huruf dan bunyi, kemudian meningkatkan ke penguasaan inti fonetik sederhana, diikuti dengan menyatukan unit-unit ini menjadi kata dan kalimat. Program terapi remedial membaca lainnya, seperti program Merill dan SRA Basic Reading Program, dimulai dengan memperkenalkan keseluruhan kata terlebih dahulu, kemudian mengajari anak bagaimana memecahkan dan mengenali bunyi suku kata serta setiap huruf didalam kata tersebut. Pendekatan lain, seperti Bridge Reading Program, mengajari anak dengan gangguan membaca untuk mengenali keseluruhan kata melalui penggunaan bantuan visual dan meminta proses “membunyikannya”. Metode Ferald menggunakan pendekatan multisensorik yang mengombinasikan antara mengajari keseluruhan kata dengan teknik melacak sehingga anak tersebut memiliki stimulasi kinestetik sambil belajar membaca kata-kata.3
7
2.3 Gangguan Matematika Anak dengan gangguan matematika memiliki kesulitan mempelajari dan mengingat angka, tidak dapat mengingat fakta dasar mengenai angka, dan lambat serta tidak akurat didalam menghitung. Pencapaian yang buruk didalam empat kelompok keterampilan telat diidentifikasi didalam gangguan matematika; keterampilan linguistik (yang terkait dengan pemahaman istilah matematis dan mengubah soal tertulis menjadi simbol matematika), keterampilan persepsi (kemampuan mengenali dan memahami simbol dan mengurutkan serangkaian angka),
keterampilan
matematis
(penambahan,
pengurangan,
pengalian,
pembagian dasar, dan serangkaian operasi matematika dasar), serta keterampilan atensional (menyalin angka dengan tepat serta mengamati simbol-simbol operasional dengan benar).3 2.3.1 Epidemiologi Prevalensi gangguan matematika sendiri memperkirakan terjadi dalam kira-kira 1 persen anak-anak usia sekolah, yaitu kira-kira satu dari lima anak dengan gangguan belajar. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hingga 6 persen anak-anak usia sekolah memiliki kesulitan dalam matematika. Gangguan matematika dapat terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada anak perempuan.3 2.3.2 Etiologi Timbulnya gangguan matematika, serupa dengan gangguan belajar lain, cenderung disebabkan setidaknya sebagian oleh faktor genetik. Suatu teori awal mengajukan defisit neurologis dihemisfer serebri kanan, terutama pada area lobus oksipitalis. Regio ini bertangguang jawab untuk memproses stimulus visuospasial yang selanjutnya bertanggung jawab untuk keterampilan matematis.3 Saat ini, penyebabnya dianggap multifaktor, sehingga faktor kematangan, kognitif, emosional, pendidikan, dan sosioekonomik turut berperan didalam berbagai derajat dan kombinasi untuk gangguan matematika.3
8
2.3.3 Diagnosis Diagnosis
gangguan
matematika
ditegakkan
ketika
keterampilan
matematika seorang anak jatuh secara signifikan dibawah tingkat yang diharapkan untuk usia anak, kemampuan intelektual, dan pendidikannya. Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya setelah anak tersebut menjalani tes aritmatika standar yang diberikan secara individual serta nilainya secara nyata berada dibawah tingkat yang diharapkan, dalam hal kapasitas intelektual dan sekolah anak seperti yang diukur melalui tes intelegensi standar. Gangguan perkembangan pervasif dan retardasi mental juga harus disingkirkan sebelum meyakinkan diagnosis gangguan matematika.3 2.3.4 Gambaran Klinis Gambaran gangguan matematika yang lazim ditemukan mencakup kesulitan dengan berbagai komponen matematika, seperti mempelajari nama angka, mengingat tanda untuk penambahan dan pengurangan, mempelajari tabel perkalian, menerjemahkan soal dalam kata menjadi perhitungan, dan melakukan perhitungan dengan kecepatan yang diharapkan.3 Gangguan matematika sering terdapat bersamaan dengan gangguan lain dalam hal membaca, tulisan ekspresif, koordinasi, dan bahasa ekspresif serta reseptif. Masalah dalam mengeja, defisit atensi atau memori, serta masalah emosional dan perilaku dapat ditemukan. Anak kelas awal pertama kali sering menunjukkan gangguan belajar lain dan harus diperiksa adanya gangguan matematika. Anak dengan palsi serebral dapat memiliki gangguan matematika dengan intelegensi keseluruhan yang normal.3 Hubungan antara gangguan matematika dan gangguan komunikasi serta gangguan belajar lainnya tidak jelas. Meskipun anak dengan gangguan campuran bahasa reseptif-reseptif serta gangguan bahasa ekspresif tidak selalu mengalami gangguan matematika, keadaan tersebut sering terdapat bersamaan karena terkait dengan hendaya didalam proses mengurai dan membuat kode.3
9
2.3.5 Patologi dan Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada tanda atau gejala fisik yang menunjukkan gangguan matematika, tetapi uji edukasional dan ukuran fungsi intelektual standar diperlukan untuk menegakkan diagnosis ini. Keymath Diagnostic Arithmetic Test mengukur beberapa area matematika termasuk pengetahuan akan kandungan, fungsi, dan perhitungan matematis. Tes ini digunakan untuk menilai kemampuan matematika pada anak kelas 1 sampai 6.3 2.3.6 Perjalanan Gangguan dan Prognosis Anak dengan gangguan matematika biasanya dapat diidentifikasi pasa usia 8 tahun (kelas 3). Pada beberapa anak, gangguan ini dapat terlihat pada usia 6 tahun (kelas 1); pada anak lain, bisa tidak terlihat hingga usia 10 tahun (kelas 5) atau lebih. Sejauh ini, sejumlah kecil data studi longitudinal tersedia untuk memperkirakan pola jelas perjalanan perkembangan dan akademik pada anak yang digolongkan memiliki gangguan matematika pada kelas awal. Disisi lain, anak dengan gangguan matematika sedang yang tidak mendapatkan intervensi bisa mengalami komplikasi, termasuk kesulitan akademik yang berlanjut, rasa malu konsep diri yang buruk, frustasi dan depresi. Komplikasi ini dapat menimbulkan keengganan untuk datang ke sekolah, bolos, dan akhirnya putus asa mengenai keberhasilan akademiknya.3 2.3.7 Diagnosis Banding Gangguan matematika harus dibedakan dengan penyebab global gangguan fungsi seperti sindrom retardasi mental. Kesulitan aritmatika didalam retardasi mental disertai dengan hendaya menyeluruh didalam keseluruhan fungsi intelektual. Pada kasus retardasi mental ringan yang tidak biasa, keterampilan aritmatika dapat secara signifikan berada dibawah tingkat yang diharapkan, berdasarkan derajat pendidikan dan tingkat retardasi mental orang tersebut. Pada kasus seperti itu, diagnosis tambahan gangguan matematika harus ditegakkan; terapi kesulitan aritmatika terutama dapat membantu bagi kesempatan anak dipekerjakan dimasa dewasanya. Sekolah yang tidak adekuat sering dapat mempengaruhi kinerja aritmatika yang buruk pada uji aritmatika standar.
10
Gangguan tingkah laku atau ADHD dapat terjadi bersama dengan gangguan matematika; dan pada kasus ini, kedua diagnosis harus ditegakkan.3 2.3.8 Terapi Saat ini, terapi yang paling efektif untuk gangguan matematika menggabungkan antara mengajarkan konsep matematika dengan praktik terusmenerus didalam menyelesaikan soal matematika. Defisit keterampilan sosial dapat turut berperan didalam keengganan anak untuk meminta bantuan sehingga anak yang di identifikasi dengan gangguan matematika bisa mendapatkan keuntungan dari mendapatkan keterampilan menyelesaikan masalah didalam lingkungan sosial juga didalam matematika.3 2.4 Gangguan Ekspresi Tertulis Gangguan ekspresi tertulis ditandai dengan keterampilan menulis yang secara signifikan dibawah tingkat yang diharapkan untuk usia dan kapasitas intelektual anak. Kesulitan ini mengganggu kinerja akademik dan tuntutan untuk menulis dalam kehidupan sehari-hari. Banyak komponen gangguan ekspresi tertulis mencakup mengeja yang buruk, kesalahan tata bahasa dan tanda baca, serta tulisan tangan yang buruk.3 Ada lima faktor penyebab ketidakmampuan menulis yaitu:5 a) sikap tidak merasa malu sebagian besar masyarakat Indonesia bila memakai Bahasa Indonesia secara salah b) guru-guru Bahasa Indonesia sangat sibuk di luar jam kerjanya, sehingga mereka tidak sempat lagi memikirkan metode pengajaran mengarang yang menarik dan efektif c) sebagai akibat dari faktor (2), maka metode dan teknik pengajaran mengarang kurang bervariasi serta mungkin sekali hasil karangan siswa yang ada pun tidak sempat diperiksa d) bagi siswa pelajaran mengarang dirasakan sebagai beban dan kurang menarik e) latihan mengarang sangat kurang dilakukan oleh siswa.
11
Kemampuan berekspresi tulis akan sukses apabila didukung kemampuan verbal yang baik. Kemampuan verbal adalah kemampuan menjelaskan pemikiran atau kemampuan mengaitkan berbagai informasi yang diperoleh dan membuat hipotesis. Kemampuan verbal memungkinkan siswa untuk berkomunikasi secara lisan maupun secara tertulis, siswa mampu mengkomunikasi suatu objek atau peristiwa,
menarik
relasi
atau
hubungan
antar
sederetan
peristiwa,
mendeskripsikannya, dengan kata lain kemampuan verbal juga menjadi dasar proses berpikir atau menjadi roda berpikir, misalnya kemampuan membuat karangan merupakan manifestasi ketrampilan berbahasa.5 2.4.1 Epidemiologi Prevalensi gangguan ekspresi tertulis saja belum dipelajari, tetapi seperti gangguan membaca, diperkirakan terjadi pada kira-kira 4 persen anak usia sekolah. Diperkirakan bahwa rasio gender pada gangguan ekspresi tertulis serupa dengan gangguan membaca, terjadi sekitar tiga kali lebih banyak pada laki-laki. Gangguan ekspresi tertulis sering terjadi bersama dengan gangguan membaca, tetapi tidak selalu.3 2.4.2 Etiologi Penyebab gangguan ekspresi tertulis diyakini serupa dengan gangguan membaca—yaitu defisit didalam penggunaan komponen bahasa yang terkait dengan bunyi huruf. Tampaknya, faktor genetik memainkan peranan didalam timbulnya gangguan ekspresi tertulis. Predisposisi herediter terhadap gangguan ini disokong dengan temuan bahwa sebagian besar anak dengan gangguan ekspresi tertulis memiliki kerabat derajat pertama dengan gangguan ini. Anak dengan rentang perhatian yang terbatas dan sangat mudah teralih perhatiannya dapat merasakan bahwa menulis merupakan tugas yang melelahkan.3 2.4.3 Diagnosis Diagnosis gangguan ekspresi tertulis didasari pada kinerja anak yang buruk dalam menyusun teks tertulis, termasuk tulisan tangan dan gangguan kemampuan untuk mengeja serta meletakkan kata berurutan dalam kalimat yang
12
koheren, dibandingkan dengan sebagian besar anak yang berusia dan dengan kemampuan intelektual yang sama.3 2.4.4 Gambaran Klinis Anak dengan gangguan ekspresi tertulis memiliki kesulitan diawal sekolahnya didalam mengeja kata-kata dan dalam mengekspresikan pikirannya sesuai dengan norma tata bahasa yang sesuai usia. Gambaran lazim gangguan ekspresi tertulis ini mencakup kesalahan pengejaan, kesalahan tata bahasa, kesalahan tanda baca, penyusunan paragraf yang buruk, dan tulisan tangan yang buruk. Gambaran lain yang terkait pada gangguan ini mencakup penolakan atau keengganan untuk pergi kesekolah dan melakukan pekerjaan rumah tertulis yang ditugaskan, kinerja akademik yang buruk diarea lain (cth; matematika), penghindaran umum terhadap pekerjaan sekolah, bolos, defisit atensi, dan gangguan tingkah laku.3 Banyak anak dengan gangguan ekspresi tertulis menjadi frustasi dan marah karena perasaan kekurangan dan kegagalan kinerja akademik. Pada kasus yang berat, gangguan depresif dapat timbul akibat semakin tumbuhnya rasa isolasi, asing, dan putus asa.3 2.4.5 Patologis dan Pemeriksaan Laboratorium Meskipun tidak ada stigmata fisik pada gangguan menulis, tes pendidikan digunakan didalam menegakkan diagnosis gangguan ekspresi tertulis. Tes bahasa tertulis yang sekarang tersedia mencakup TOWL, DEWS, dan Test of Early Written Language (TEWL). Seorang anak yang dicurigai memiliki gangguan ekspresi tertulis pertama kali harus diberikan tes intelektual standar, seperti WISC-III atau Wechsler Adult Intelligence Scale yang telah direvisi (WAIS-R) untuk menentukan kapasitas intelektual keseluruhan seorang anak.3 2.4.6 Perjalanan Gangguan dan Prognosis Pada kasus yang berat, gangguan ekspresi tertulis tampak nyata pada usia 7 tahun (kelas dua); pada kasus yang lebih ringan, gangguan ini bisa tidak terlihat jelas hingga usia 10 tahun (kelas lima) atau lebih. Sebagian besar orang dengan
13
gangguan ekspresi tertulis ringan atau sedang cukup baik jika mereka mendapatkan edukasi remedial pada waktu yang tepat diawal masa sekolah dasarnya. Gangguan ekspresi tertulis yang berat memerlukan terapi remedial yang ekstensif dan berkelanjutan sepanjang bagian akhir masa SMU dan bahkan hingga akademi.3 Prognosis bergantung pada keparahan gangguan, usia atau kelas ketika intervensi remedial dimulai, lama dan berkelanjutan terapi, dan ada atau tidaknya masalah perilaku atau emosional sekunder atau terkait.3 2.4.7 Diagnosis Banding Seseorang harus menentukan apakah gangguan lain seperti ADHD atau gangguan depresif membuat anak tidak dapat berkonsentrasi pada tugas tertulis, tanpa adanya gangguan ekspresi tertulis itu sendiri. Jika keadaan seperti ini, terapi untuk gangguan diatas seharusnya memperbaiki kinerja menulis seorang anak. Gangguan ekspresi tertulis juga dapat terjadi bersama dengan berbagai gangguan belajar serta bahasa lainnya. Gangguan terkait yang lazim lainnya adalah gangguan membaca, gangguan campuran bahasa reseptif-ekspresif, gangguan bahasa ekspresif, gangguan matematika, gangguan koordinasi perkembangan, dan perilaku mengganggu serta gangguan defisit atensi (attention-deficit disorder).3 2.4.8 Terapi Terapi remedial untuk gangguan ekspresi tertulis mencakup praktik langsung mengeja dan menulis kalimat, serta mengkaji ulang aturan tata bahasa. Pemberian terapi menulis kreatif dan ekspresif yang intensif, berkelanjutan dan dirancang khusus secara individual dan satu-satu tampak memberi hasil yang baik.3 2.5 Gangguan Belajar yang Tidak Tergolongkan Gangguan belajar yang tidak tergolongkan adalah kategori baru didalam DSM-IV-TR untuk gangguan yang tidak memenuhi kriteria gangguan belajar spesifik, tetapi menimbulkan hendaya dan mencerminkan kemampuan belajar dibawah tingkat yang diharapkan untuk intelegensi, pendidikan, dan usia
14
seseorang. Suatu contoh hendaya yang dapat ditempatkan pada kategori ini adalah defisit keterampilan mengeja.3
15