METODOLOGI PENELITIAN PENGARUH SISTEM BUKAAN TERHADAP SIRKULASI UDARA UNTUK MENCAPAI KENYAMAN TERMAL PADA RUMAH ADAT UYAU I’OT
Nama : Andi Arham NPM : 2016 11 013
Dosen Pengampuh : Solehah, S.T, M.T
UNIVERSITAS KALTARA TANJUNG SELOR FAKULTAS TEKNIK JURUSAN ARSITEKTUR 2018
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis dimana terletak pada garis khatulistiwa atau equator yang wilayahnya hanya terdapat Dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau serta wilayahnya terpapar oleh sinar matahari sepanjang tahun. Bangunan pada daerah ini rata – rata membutuhkan penghawaan ruangan yang alami ataupun buatan demi mencapai kenyaman thermal. Penghawaan ruangan buatan yang sering kali digunakan tentunya sangat boros energi, sedangkan bahan bakar untuk pembangkit energi semakin menipis serta penggunaan energi yang berlebihan dapat menjadi salah satu penyebab percepatan efek rumah kaca. Efek rumah kaca yang berlebihan akan berdampak buruk terhadap lapisan ozon, oleh karena itu sangat penting untuk mencari cara agar mengurangi efek rumah kaca. Pengurangan penggunaan pendingin buatan yang diganti dengan penghawaan alami merupakan salah satu upaya mendukung pengurangan penggunaan energi. Bangunan tradisional ialah salah satu contoh bangunan yang tidak menggunakan penghawaan buatan pada zamannya melainkan memanfaatkan fasade bangunan dengan bukaan-bukaan tertentu sehingga kenyamanan thermal dapat terpenuhi. Indonesia terkenal dengan keberagaman suku yang banyak salah satu diantaranya yaitu suku Dayak dengan Rumpun yang sangat banyak yang tersebar di pulau Kalimantan yang tentunya mempunyai rumah adat tradisional yang nyaman terhadap iklim disekitarnya. Salah satu rumpun suku Dayak yang bermukiman di Provinsi Kalimantan Utara ialah Suku Dayak Lepu’Tau yang salah satu bangunan adatnya adalah Rumah Adat Uyau I’ot di Desa Teras Nawang Kabupaten Bulungan. Rumah adat ini memiliki bukaan yang lebar dengan kemiringan tertentu sehingga memaksimalkan penghawaan dan meminimalisir terpaan sinar matahari langsung yang masuk kedalam bangunan. Rumah Adat Uyau I’ot ini masih dimanfaatkan dengan baik sampai sekarang, oleh karena itu dapat diteliti sistem bukaannya yang dapat beradaptasi terhadap iklim setempat yang diharapkan nantinya dapat diterapkan pada bangunan di era modern ini,
Untuk itu perlu dilakukan Penelitian dengan Judul “ Pengaruh Sistem Bukaan Terhadap Sirkulasi Udara untuk Mencapai Kenyamanan Termal pada Rumah Adat Uyau I’ot ”. 1.2 Identifikasi Masalah Dari latar belakang yang telah ditulis terdapat beberapa identifikasi masalah yang akan dijadikan bahan penelitian, yaitu a. Penggunaan energi yang boros pada bangunan b. Banyaknya penggunaan penghawaan buatan dalam pencapaian kenyamanan termal c. Perlu pembelajaran dari masyarakat setempat terhadap kearifan lokal mengenai penghawaan alami pada huniannya sehingga dapat diaplikasikan pada pemukiman
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk bukaan pada rumah adat Uyau I’ot? 2. Berapa besar pengaruh bukaan pada rumah adat Uyau I’ot terhadap kenyamanan Termal?
1.4 Tujuan dan Sasaran Adapun tujuan dari penelitian ini, yaitu 1. Mendeskripsikan bukaan rumah adat uyau I’ot terhadap sirkulasi udara yang berpengaruh pada kenyamanan termal 3. Mengetahui besar pengaruh bukaan pada rumah adat Uyau I’ot terhadap kenyamanan Termal Adapun sasaran dari penelitian ini, yaitu 1. Mengamati hasil penelitian yang terkait kenyamanan thermal pada bangunan 2. Mengamati hasil penelitian yang terkait balai adat suku Dayak
1.5 Batasan Penelitian Agar penelitian ini dapat dilakukan dengan fokus, maka penulis membatasi yang perlu diteliti, yaitu mengamati bukaan pada rumah adat uyau I’ot serta pengaruhnya terhadap kenyamanan thermal pada bangunan tersebut.
1.6 Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat Penelitian ini dapat dijadikan dasar dalam pembangunan hunian masyarakat setempat yang berkaitan dengan kearifan lokal dan penghematan energi 2. Bagi Mahasiswa Penelitian ini dapat dijadikan literatur dalam pembelajaran atau dalam penelitian berikutnya dengan objek atau tema yang sama 3. Bagi Peneliti Dapat menambah wawasan dan pengalaman peneliti serta mendapat inovasi baru dalam perancangan 4. Bagi Pemerintah Dapat menjadi refrensi terkait penelitian bangunan vernakuler setempat 1.7 Sistematika Penulisan Susunan penulisan penelitian ini berdasarkan pengelompokan pokok – pokok pikiran yang tercantum dalam bab – bab berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas tentang latar belakang, identifikasi masalah, Rumusan masalah, tujuan & sasaran, batasan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan, dan kerangka alur piker BAB II LANDASAN TEORI Bab ini menjelaskan tentang landasan – landasan teori yang digunakan penulis dalam penyusunan penelitian. Diurakan juga buku – buku yang relevan terkait pembahasan masalah pada penelitian. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menjelaskan cara yang ditempuh peneliti dalam meperoleh, memperoses, dan mengolah data.
BAB IV PEMBAHASAN Bab ini menguraikan hal – hal yang berhubungan dengan masalah penelitian uang di dalamnya berisi analisis – analisis untuk memecahkan masalah BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan serta saran untuk masalah dalam penelitian ini. 1.8 Kerangka Akur Pikir
Latar Belakang
Rumusa Masalah
Tinjauan Pustaka
Landasan Teori
Penentuan Objek
Penentuan Variabel
Pelaksanaan Penelitian
Pengumpulan Data: Observasi lapangan, Wawancara, dan pengukuran
Mengolah dan Anilisis Data
Hasil Temuan Penelitian dan Pembahasan
Penyajian Laporan Penelitian
Kesimpulan dan Saran
Alat Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Arsitektur Vernakuler 2.1.1 Pengertian Arsitektur Vernakuler Arsitektur vernakular adalah gaya arsitektur yang dirancang berdasarkan kebutuhan lokal, ketersediaan bahan bangunan, dan mencerminkan tradisi lokal. Definisi luas dari arsitektur vernakular adalah teori arsitektur yang mempelajari struktur yang dibuat oleh masyarakat lokal tanpa intervensi dari arsitek profesional. Arsitektur vernakular bergantung pada kemampuan desain dan tradisi pembangunan lokal. Namun, sejak akhir abad ke-19 telah banyak arsitek profesional yang membuat karya dalam versi gaya arsitektur vernakular ini. Istilah vernakular berasal dari kata vernaculus di Bahasa Latin, yang berarti "domestik, asli, pribumi", dan dari Verna, yang berarti "budak pribumi" atau "budak rumah-lahir". Dalam linguistik, vernakular mengacu pada penggunakan bahasa tertentu pada suatu tempat, waktu, atau kelompok. Dalam arsitektur, vernakular mengacu pada jenis arsitektur yang asli pada waktu atau tempat tertentu (tidak diimpor atau disalin dari tempat lain). Arsitektur vernakular ini paling sering digunakan untuk bangunan tempat tinggal. 2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Arsitektur Vernakuler Arsitektur vernakular dipengaruhi oleh berberapa aspek berbeda, yaitu 1. Iklim
Rumah suku Toraja (Sumber: awitour.com dalam www.greenwood.id )
Salah satu pengaruh paling besar pada arsitektur vernakular adalah iklim dari daerah tempat bangunan tersebut dibuat. Bangunan yang berada di iklim dingin biasanya lebih tertutup dengan jendela yang berukuran kecil atau sama sekali tidak ada. Sebaliknya, bangunan di iklim hangat cenderung dibangun dengan material yang ringan dan ukuran ventilasi yang besar. Bentuk bangunan juga bergantung pada tingkat curah hujan di wilayah tersebut. Contohnya seperti rumah panggung yang dibangun pada daerah sering banjir. Demikian pula untuk daerah dengan angin kencang, pasti bangunan dibuat khusus untuk melindungi mereka dari angin dan cenderung melawan arah angin.
Taman di tengah rumah di Timur Tengah (Sumber: sillon-mosellan.fr dalam www.greenwood.id) Pengaruh iklim pada arsitektur ini bisa membuat struktur bangunan menjadi sangat kompleks. Struktur bangunan vernakular di wilayah Timur Tengah contohnya, seringkali memiliki halaman di bagian tengah rumah dengan air mancur atau kolam untuk mendinginkan udara. Hal-hal seperti ini tidak didesain khusus oleh seseorang apalagi arsitek modern, tetapi muncul akibat trial and error yang telah dirasakan oleh berbagai generasi, jauh sebelum adanya teori yang dapat menjelaskan bagaimana cara membuat bangunan.
2.
Budaya
Arsitektur vernakular Afrika (Sumber: radiotataouine.tn dalam www.greenwood.id) Cara hidup dari penggunanya, serta bagaimana mereka menggunakan bangunan, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap bentuk bangunan pada arsitektur vernakular. Banyaknya anggota keluarga, bagaimana mereka membagi ruangan untuk tiap anggota keluarga, bagaimana makanan disiapkan dan dimakan, bagaimana mereka berinteraksi, dan masih banyak pertimbangan budaya lainnya yang akan memengaruhi tata letak dan ukuran tempat tinggal. Contohnya di wilayah Afrika Timur yang memiliki masyarakat poligami, terdapat tempat tinggal terpisah untuk istri yang berbeda, atau tempat tinggal terpisah untuk anak laki-laki yang sudah dewasa agar tidak satu rumah dengan anak perempuan. Struktur pemisah ini mengatur interaksi sosial dan juga privasi dari tiap anggota keluarga. Sebaliknya, di Eropa Barat, struktur pemisah seperti ini dilakukan di dalam satu rumah, dengan membagi bangunan menjadi beberapa kamar terpisah. 3. Lingkungan dan Material Bangunan
Arsitektur vernakulasr Jepang dengan material bambu yang dominan (Sumber: ebizbydesign.com dalam www.greenwood.id)
Suasana lingkungan setempat dan bahan konstruksi bangunan dapat memberikan aspek tersendiri pada arsitektur vernakular. Daerah dengan banyak pohon biasanya menggunakan kayu sebagai bahan bangunan, sementara daerah tanpa kayu biasanya menggunakan lumpur atau batu sebagai material bangunan. Di negara Timur biasanya mereka menggunakan bambu untuk membuat bangunan karena di sana bambu sangat berlimpah. Namun, harus diingat bahwa arsitektur vernakular sangat ramah lingkungan dan tidak memakai bahan-bahan alami dari alam secara berlebihan. 2.1.3 Beberapa Kategori Tradisi Vernakular Arsitektur di Indonesia beberapa kategori tradisi vernakular arsitektur dan langggam bangunan Indonesia (sahroni, 2012), yaitu: a. Rumah Batak Rumah tradisional masyarakat Batak yang mendiami pedalaman pegunungan di sekitar Danau Toba dan di Pulau Samosir di Provinsi Sumatra Utara merupakan bentuk umum dan fitur tradisi arsitektur kuno di Indonesia. Masyarakat Batak terbagi atas enam keluarga besar, yang membangun rumah tradisional dan pengaturan rumah mereka dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada pertanian yang mereka garap. Disamping itu, tradisi arsitektur vernakular Batak juga terdapat pada bangunan komunal (bale), lumbung padi (soro), serta bangunan untuk menggiling beras dan rumah untuk orang menyimpan jenazah (joro).
Gambar Rumah Batak Sumber : http://www.prof-marlon.blogspot.com dalam (sahroni, 2012)
Karakter dan fitur rumah yang menampilkan perpaduan antara tradisi vernakular kuno dan tradisi arsitektural asing sudah lebih sulit dkenali. Karakter umum rumah-rumah tersebut adalah perpaduan antara bentuk dasar dan fitur tradisional dan langgam Austronesia berpadu kedalam tradisi dan langgam bangunan yang datang sesudahnya yaitu, Hindu-Buddha, Islam, China, dan kolonial Belanda yang mana menghasilkan berbagai bentuk percampuran dengan karakter yang berbeda-beda dan sering disebut dengan nama yang khusus, seperti tipe “rumah tradisional melayu”. Beberapa dari rumah tersebut sangat serupa dengan bangunan yang dibangun dengan tradisi arsitektural dan langgam bangunan kuno Austronesia, tetapi beberapa diantaranya telah sulit dipahami akarnya, salah satu contoh yaitu rumah Aceh dan Gayo. b. Rumah Aceh Rumah tradisional masyarakat Aceh merupakan sebuah contoh percampuran tradisi arsitektural dan langgam bangunan Austronesia dengan tradisi dan langgam bangunan masyarakat melayu. Bentuk luar rumah merupakan bentuk rumah Austronesia yaitu struktur tegak berupa tiang kayu, lantai yang ditinggikan sebagai ruang keluarga, dan bentuk atap pelana yang meruncing tinggi. Pembagian ruang dalam sama dengan rumah Melayu, yaitu lantai bagian yang berbeda berada diketinggian yang berbeda pula dan diatur secara berurutan. Ruang tidur yang terletak dibagian tengah rumah dengan lantai yang paling tinggi merupakan bagian yang paling penting, biasanya ditutupi dengan atap dan langit-langit dimana terdapat ruang yang digunakan untuk menyimpan benda-benda keramat, alat makan, dan pusaka. Didepan dan belakang terdapat beranda yang terletak diketinggian lantai yang lebih rendah, beranda depan digunakan untuk laki-laki dan menerima tamu, sedangkan beranda belakang digunakan untuk perempuan. Rumah tradisional Aceh biasanya disusun saling berhadapan sepanjang jalan yang membentang dari timur-barat. Hasilnya adalah rumah yang menghadap ke utara atau ke selatan.
Rumah Aceh Sumber : http://www.christineyunita.blogspot.com (sahroni, 2012)
Beberapa daerah di Indonesia yaitu Jawa, Madura, Bali, dan Lombok Barat, bentuk dan fitur yang umum dipakai pada tradisi arsitektur vernakular kuno telah dilebur dengan tradisi dan langgam bangunan yang datang setelahnya. Dengan adanya peleburan ini, maka bentuk dan fitur telah diubah hingga sulit untuk dikenali lagi dan ada juga yang telah diganti secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan adanya dampak dari pengglobalan dan pembudayaan Hindu-Buddha (antara abad kedua hingga kelima), dan ekspansi kultural islam (sesudah abad kedua belas), ditambah dengan adanya pertumbuhan politik berbasis Negara yang sangat tersentralisasi yang mempengaruhi semua sektor kehidupan sosial dan mempengaruhi semua sisi kehidupan, Dengan kata lain tipe rumah tradisional dibagian kepulauan Indonesia ini adalah hasil dari proses transformasi dari prinsip arsitektural asing dengan bentuk dan fitur yang merupakan warisan dari tradisi kultural domestik.
c. Rumah Bali Warisan aritektur tradisional masyarakat Bali merupakan contoh percampuran antara bentuk dan fitur lama dan baru. Hal ini sebagian besar disebabkan dari sekelompok masyarakat elite migrasi Hindu-Buddha dari Jawa Timur untuk menghindari dominasi rajaraja islam. Karena kehadiran mereka yang lama dan dominasi politis serta pengaruh budaya maka tradisi arsitektural masyarakat yang lebih tua didaerah dataran rendah ikut berubah. Namun tradisi vernakular dan langgam bangunan kuno tetap dipraktikkan oleh masyarakat Aga yang mendiami daerah pedalaman dan pegunungan Bali. Dengan demikian, ada dua tipe
rumah tradisional Bali, tipe rumah kelompok pemukiman masyarakat Bali yaitu percampuran bentuk tradisi antara fitur lama dan baru, yang kedua yaitu tipe rumah tradisional Bali Aga yang masih berpegang pada tradisi vernakular dan langggam bangunan kuno.
Rumah Bali www. wacananusantara.org dalam (sahroni, 2012) Bagian timur kepulauan Indonesia, didiami oleh masyarakat yang berbeda-beda namun tetap mempunyai beberapa kesamaan karakter kultural yaitu menghormati arwah para nenek moyang, ritual pemakaman yang sangat rumit, tradisi panjang peperangan antar suku dan antardesa yang baru-baru ini saja ditinggalkan dibandingkan dengan bagian lain dari kepulauan Indonesia. Apapun bentuk yang dibangunnya, rumah asli mereka masih memainkan peran yang sangat penting, beberapa contoh rumah yang paling dikenal dari tradisi vernakular arsitektur yaitu rumah tradisional masyarakat Sasak dibagian timur Pulau Lombok, masyarakat Manggarai dan Ngada di pulau Flores, masyarakat Atoni di pulau Timor, dan masyarakat Dani di pedalaman Papua, di bagian barat New Guinea. Di kepulauan ini, rumah tradisional terbagi dalam dua bentuk arsitektural utama, yang pertama adalah rumah yang mewakili sejumlah fitur dasar dan karakteristik tradisi arsitektur vernakular Austronesia dan terdapat dua variasi yaitu rumah yang didirikan diatas struktur tiang, terletak di permukaan tanah dan bentuk rumah tradisional yang berdenah lantai melingkar, dengan struktur atap kerucut melingkar seperti rumah tawon, sehingga menciptakan rumah tradisioanl yang unik yang membedakannya dengan rumah tradisional lain di kepulauan Indonesia. d. Rumah Sasak Masyarakat Sasak mendiami pulau Lombok dibagian timur dan selatan. Lain halnya dengan tradisi kultural Hindu-Buddha masyarakat Bali yang mendiami bagian barat pulau, kultur masyarakat sasak adalah sinkretis antara keimanan Islam dan kepercayaan serta praktik animistis. Merefleksikan hal ini, maka arsitektur rumah tradisional dan bangunan lain jelas mewakili percampuran antara tradisional Bali dan gaya tipikal bangunan Indonesia Timur.
Adapun contoh bangunan yang dapat diklasifikasikan sebagai arsitektur vernakular yaitu rumah tradisional Sasak dan gudang padi atau lumbung. Jika dipandang dari luar, struktur atap rumah tradisional Sasak kelihatan sama dengan rumah tradisioanal tipe joglo yang dibangun masyarakat Jawa. Gudang atau tempat penyimpanan padi sangat serupa dengan beberapa jenis rumah tradisional yang ditemukan dibagian lain daerah Nusa Tenggara yang mengarah ke timur.
Rumah Sasak www. ahgidaman.blogspot.com dalam (sahroni, 2012) 2.2 Arsitektur Vernakular Suku Dayak Arsitektur Dayak (Wikipedia) merupakan seni arsitektur yang berkembang pada masyarakat Dayak yang pada umumnya memiliki kemiripan satu sama lain di antara sub-sub Rumpun Dayak, umumnya berupa rumah panjang yang disebut dalam berbagai istilah seperti rumah panjai (Dayuk Iban Sarawak), rumah radank (Dayak Kanayatn), huma betang (Dayak Ngaju), Rumah Balay (Dayak Meratus), rumah Baloy (Dayak Tidung). Di kalimantan Timur terdapat Rumah Lamin, namun setiap sub etnis sebenarnya mempunyai sebutan sendiri untuk rumah lain tersebut. Orang Tonyooi (Tunjung) menyebutnya Luuq, orang Benuaq menyebutnya dengan Lou, orang Bahau menyebutnya sebagai Amin, orang Kenyah menyebutnya dengan nama Amin Bioq dan orang Aoheng menyebutkannya Baang Adet serta orang Melayu (Kutai) menyebutkannya dengan nama Lamin
2.2.1 Rumah Adat Kalimantan Barat Rumah adat di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah di sebut rumah Betang, rumah tersebut biasanya digunakan atau dihuni oleh masyarakat Dayak. Rumah betang mempunyai ciri-ciri yaitu; bentuk Panggung, memanjang. pada suku Dayak tertentu, pembuatan rumah panjang bagian hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya kearah matahari terbenam, sebagai simbol kerja-keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari tumbuh dan pulang ke rumah di matahari padam. Di Kalimantan Barat mulai dari Kota Pontianak dapat kita jumpai rumah adat Dayak. Salah satunya berada di jalan Letjen Sutoyo. Walaupun hanya sebuah Imitasi, tetapi rumah Betang ini, cukup aktif dalam menampung aktivitas kaum muda dan sanggar seni Dayak. Kemudian jika kita ke arah kabupaten Landak, maka kita akan menjumpai sebuah rumah Betang Dayak di Kampung Sahapm Kec. Pahauman. Kemudian jika kita ke kabupaten Sanggau, maka kita dapat melihat Rumah Betang di kampung Kopar Kecamatan Parindu. Selanjutnya di kabupaten Sekadau, kita dapat menjumpai rumah betang di Kampung Sungai Antu Hulu, Kecamatan Belitang Hulu. Kemudian di kabupaten Sintang kita dapat melihat rumah Betang di Desa Ensaid panjang, Kecamatan Kelam, dan di Kapuas Hulu, kita juga bisa melihat banyak rumah-rumah betang Dayak yang masih lestari. 2.2.2 Rumah Adat Kalimantan Selatan Rumah adat di Kalimantan Selatan ada beberapa macam, diantaranya ada rumah suku Banjar yang disebut Rumah Bubungan Tinggi dan rumah dari suku Dayak Bukit yang dikenal dengan sebutan Balai. Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional ciricirinya antara lain memiliki perlambang, memiliki penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah type-type rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Pada tahun 1871 pemerintah kota Banjarmasin mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah Bubungan Tinggi di kampung Sungai Jingah yang merupakan rumah tertua yang pernah dikeluarkan segelnya.
Umumnya rumah tradisional Banjar dibangun dengan ber-anjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung. Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa type Rumah Banjar yang tidak ber-anjung. Tipe rumah yang paling bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk bangunan keraton (Dalam Sultan),Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai keraton. Keagungan seorang penguasa pada masa pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar terdiri dari bermacam-macam jenis rumah Banjar yang mencerminkan status sosial maupun status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut rumah dibangun dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan kering. Rumah Balai merupakan rumah adat untuk melaksanakan ritual pada religi suku mereka. Bentuk balai, "memusat" karena di tengah-tengah merupakan tempat altar atau panggung tempat meletakkan sesajen. Tiap balai dihuni oleh beberapa kepala keluarga, dengan posisi hunian mengelilingi altar upacara. Tiap keluarga memiliki dapur sendiri yang dinamakan umbun. Jadi bentuk balai ini, berbeda dengan rumah adat suku Dayak umumnya yang berbentuk panjang (Rumah Panjang). 2.2.3 Rumah Adat Kalimantan Timur Rumah lamin, rumah adat suku Dayak Kenyah di Kalimantan Timur, berbentuk panggung setinggi 3 meter dari tanah yang dihuni oleh 25-30 kepala keluarga. Ujung atap rumah diberi hiasan kepala naga, simbol keagungan, budi luhur dan kepahlawanan. Halaman rumah diisi oleh patung-patung blontang yang menggambarkan dewa-dewa sebagai penjaga rumah atau kampung. Rumah lamin merupakan rumah tradisional berbagai suku bangsa yang berddiam di Kalimantan Timur, misalnya suku bangsa Dayak Tunjung, Bahau, Benuak dan lain-lain. Di bagian daerah yang lain juga terdapat rumah-rumah tradisional dengan bentuk yang hampir sama, misalnya rumah betang yang merupakan rumah suku bangsa Dayak Ngaju dan Ot Danum di Kalimantan Tengah.
Lamin merupakan rumah panjang berbentuk panggung yang biasanya didirikan di tepi-tepi sungai. Tinggi rumah tersebut sekitar 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah dengan panjang sekitar 25-50 meter serta lebar 8-10 meter. 2.2.4 Rumah Adat Kalimantan Utara Rumah Baloy adalah rumah khas suku Dayak tidung yang terletak di Kalimantan utara. Hampir seluruh bahan yang digunakan untuk membangun rumah ini berasal dari kayu ulin. Sebagian besar rumah adat di Kalimantan dibuat dari bahan ini. Sebab, kayu ini adalah kayu yang kuat dan tahan lama. Sesuai dengan struktur bangunannya, Rumah Baloy biasanya terletak di wilayah tepi pantai. Fungsi utamanya yakni untuk balai atau tempat khusus kepala adat. Hal tersebut berpengaruh terhadap penataan ruang rumah Baloy. Ruangan ditata dan disesuaikan dengan menjunjung tinggi fungsi social. Ruang di dalam Rumah Baloy diantaranya ialah sebagai berikut ; 1. Ambir Kiri. Bagi masyarakat ruangan ini dikenal dengan sebutan Alad Kait. Digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu yang berkaitan dengan keadaatan. 2. Amir Tenga/ Lamin Bantong. Tempat ini dipakai sebagai tempat bersidang bagi ketua adat. 3. Ambir Kanan/ Ulad Kemagot. Kalau ruangan ini merupakanruang istirahat susai melakukan siding atau musyawarah adat. 4. Di dalam rumah juga terdapat Lamin Dalom, yakni singgasana Kepala Adat Suku Tidung. 5. Di Bagian belakang ada kolam, dan ada bagunan yang disebut dengan Lubung Kilong. Sebuah panggung yang biasa digunakan sebagai tempat pagelaran adat suku Tidung. Tidak lupa pula ditambahkan bangunan untuk penontong (Lubung Intamu) 2.3 Kenyamanan Termal 2.3.1 Pengertian Kenyamanan Termal Menurut ASHRAE (American society of heating, refrigerating and air conditioning engineers, 1989), kenyamanan termal merupakan kondisi dimana seseorang merasa nyaman
dengan keadaan temperatur lingkungannya, yang apabila digambarkan dalam konteks sensasi dimana seseorang tidak merasakan temperatur udara terlalu panas maupun terlalu dingin. Ada tiga pemaknaan kenyamanan thermal menurut Peter Hoppe2, yaitu a)
Pendekatan thermophysiological
b)
Pendekatan heat balance (keseimbangan panas)
c)
Pendekatan psikologis.
Kenyamanan thermal sebagai proses thermophisiological, menganggap bahwa nyaman dan tidaknya lingkungan thermal akan tergantung pada menyala dan matinya signal syarat reseptor thermal yang terdapat di kulit dan otak. Pendekatan heat balance (keseimbangan panas), kenyamanan thermal dicapai bila aliran panas keadaan dari badan manusia seimbang dan temperatur kulit serta tingkat berkeringat badan ada dalam range nyaman. Pendekatan
psikologis,
kenyamanan
thermal
adalah
kondisi
pikiran
yang
mengekspresikan tingkat kepuasan seseorang terhadap lingkungan thermalnya. Di antara tiga pemaknaan tersebut, pemaknaan berdasarkan pada pendekatan psikologis lebih banyak digunakan oleh pakar pada bidang ini. Prinsip dari kenyamanan termal sendiri yaitu terciptanya keseimbangan antara suhu tubuh manusia dengan suhu tubuh sekitarnya. Karena jika suhu tubuh manusia dengan lingkungannya memiliki perbedaan suhu yang signifikan maka akan terjadi ketidaknyamanan yang diwujudkan melalui kepanasan atau kedinginan yang dialami oleh tubuh. Keseimbangan suhu tubuh manusia rata-rata adalah 37º C. Faktor-faktor alami yang dirasakan manusia akan merasa nyaman dengan lingkungannya secara sadar ataupun tidak sadar yang disebut daerah nyaman (comfort zone).
2.3.2 Faktor – Faktor yang Mempenggaruhi Kenyamanan Termal Menurut ASHRAE (1989), kenyamanan termal dipengaruhi oleh Enam faktor diantaranya: 1. Temperatur Udara Temperatur udara merupakan faktor utama dari kenyamanan termal walaupun hal ini tergantung pada ciri perasaan subjektif dan kenyamanan berperilaku. Standar kenyamanan termal untuk kategori hangat nyaman menurut SNI 03-6572-2001 adalah 25,8OC – 27,1OC. 2. Kelembaban udara Kelembaban udara relatif untuk daerah tropis menurut SNI 03-6572-2001 adalah sekitar 40% - 50%.
Untuk ruangan yang memiliki kapasitas padat seperti ruang
pertemuan, kelembaban udara relatif yang dianjurkan adalah antara 55%-60% . 3. Kecepatan Angin Kecepatan udara yang baik menurut SNI 03-6572-2001 0,25 m/s. Kecepatan udara tersebut dapat dibuat lebih besar dari 0,25 m/s tergantung dari kondisi temperatur udara kering dalam ruang. 4. Temperatur radiant radiasi matahari mempunyai pengaruh yang besar terhadap sensasi termal. 5. Insulasi pakaian Jenis dan bahan pakaian yang digunakan oleh individu dapat berpengaruh terhadap kenyamanan termal. Manusia dapat memilih dan menentukan jenis pakaian yang dikenakan sesuai kondisi lingkungan sekitar. 6. Aktivitas Segala aktivitas yang dilakukan manusia akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan metabolisme tubuh.
Salah satu aspek dalam memenuhi kenyamanan termal, yakni melalui kondisi suhu yang ada pada sekitar. Untuk itu berikut merupakan standar tingkat kenyamanan iklim pada suhu tropis lembab Indonesia menurut SNI 1991: 1. Sejuk Nyaman: TE diantara 20,5°C - 22,8°C 2. Nyaman optimal: TE diantara 22,8°C - 25,8°C 3. Panas Nyaman: TE diantara 25,8°C – 27,1°C Bentuk maupun desain bukaan udara sangat berkaitan dengan kenyamanan suhu kelak. Setiap bangunan haruslah bisa menyesuaikan dengan keadaan iklim lokasi setempat, hal ini bertujuan agar bangunan dapat memberikan rasa nyaman bagi penggunanya. 1. Orientasi bangunan untuk bentuk bangunan yang tidak memiliki sudut menciptakan aliran udara bergerak melalui selunung bangunan tanpa adanya tabrakan antara bangunan dengan aliran udara yang menyebabkan bayangan angin.
Orientasi Bangunan Bersudut dan Tidak Bersudut Terhadap Aliran Angin (Sumber: Boutet, Terry S, 1987) 2. Konfigurasi Bangunan Peletakkan bentuk maupun dimensi pada sebuah bangunan dapat mempengaruhi lebar bayangan angin. Yang dimaksud dengan bayangan angin pada bangunan yakni sebuah daerah yang tidak terlewati oleh aliran angin yang disebabkan arah angin berubah akibat terbentur dari sisi fasad bangunan.
Aliran Udara Pada Bangunan (Sumber: Boutet, Terry S, 1987)
2.3.3 Kenyamanan Termal Berdasarkan Desain Bukaan 1. Perletakan dan Orientasi Bukaan Perletakan dan orientasi bukaan inlet tidak hanya mempengaruhi kecepatan udara, tetapi juga pola aliran udara dalam ruangan, sedangkan lokasi outlet hanya memiliki pengaruh kecil dalam kecepatan dan pola aliran udara. Posisi inlet dan outlet bukaan terdiri menjadi 3 yaitu berhadapan, bersebelahan dan pada sisi yang sama. 2. Lokasi Bukaan Salah satu syarat untuk bukaan yang baik yaitu harus terjadi cross ventilation. Dengan memberikan bukaan pada kedua sisi ruangan maka akan memberi peluang supaya udara dapat mengalir masuk dan keluar. Untuk memperoleh kenyamanan termal, posisi inlet dan outlet hendaknya tidak saling berhadapan tetapi berada pada elevasi yang berbeda sehingga terbentuk cross ventilation dengan arah gerak udara yang lebih merata 3. Dimensi Bukaan Berdasarkan standar yang telah ditetapkan SNI Departemen Umum, sebuah ruang pada rumah tinggal harus memiliki ventilasi tidak kurang dari 5% dari luas lantai ruangan dan jendela 10% dari luas lantai ruangan. Bukaan bangunan sangat berpengaruh terhadap upaya pemanfaatan angin dalam pengkondisian ruangan.Ukuran bukaan dapat disesuaikan dengan Kebutuhan aliran angin.Kecepatan angin yang memasuki ruangan dipengaruhi oleh perbandingan luas inlet dan outlet. Ketika inlet lebih besar dari pada outlet, maka kecepatan udara di dalam ruangan akan lebih rendah dari pada di luar. Ketika inlet lebih kecil dari outlet, maka kecepatan udara di dalam ruangan akan lebih tinggi dari pada di luar.
4. Tipe Bukaan
Gambar Jenis-jenis jendela (Sumber: Beckett et at., 1974) Gerak udara atau angina merupakan potensi untuk mencapai kenyamanan termal, maka dari itu dibutuhkan tipe inlet sebagai berikut: a. tipe inlet harus dapat mengarahkan gerak udara dalam ruang semaksimal mungkin b. tipe inlet harus optimal dalam mendukung laju udara (air flow) dan pergantian udara dalam ruang c. tipe inlet harus fleksibel untuk dibuka tutup sesuai kebutuhan Fungsi bukaan dalam bangunan yaitu • Untuk memenuhi persyaratan kesehatan. Keperluan dasar ini perlu dipatuhi tanpa pengecualian. Secara mudah persyaratan ini bermaksud untuk memberikan oksigen yang cukup untuk pernafasan dalam bangunan, serta untuk mencegah kenaikan kadar kandungan karbondioksida dan bau dalam ruangan. Contoh : sebuah ruang pada rumah tinggal harus memiliki ventilasi tidak kurang dari 5% dari luas lantai ruangan dan jendela 20% dari luas lantai ruangan, syarat-syarat minimum dalam SNI Departemen Pekerjaan Umum seperti inilah untuk memenuhi fungsi bukaan untuk kesehatan. Oleh sebab itu, apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka dampak-dampak negatif yang mengancam kesehatan seperti sesak nafas, rasa penggap dan bau dalam ruangan yang tidak diingini senantiasa mengganggu hidung akan dialami oleh penghuninya. Suasana tidak nyaman ini kerapkali berlaku pada waktu malam atau hujan apabila penghuni
menutup semua jendela dan tidak terdapat bukaan permanen pada dinding atau atap bangunan. • Untuk menghasilkan Kenyamanan Termal. Kandungan Kelembaban Udara dan panas matahari yang senantiasa tinggi menyebabkan kulit kita senantiasa terasa lekit dan tidak nyaman. Fenomena iklim panas lembab ini hanya boleh diredakan dengan meniupkan angin untuk mempercepat proses penguapan pada kulit dengan menghadirkan bukaanbukaan pada bangunan yang memenuhi syarat standar bukaan bangunan untuk daerah iklim tropis. Dalam hal menyediakan keadaan termal yang nyaman, yaitu mencegah ketidaknyaman yang disebabkan oleh kepanasan dan kelekikan kulit, diperlukan Kecepatan Aliran Udara dan Kadar Udara yang cukup dalam ruangan, yang dipengaruhi oleh Geometri Ruang dan Luas Bukaan. • Untuk Pendinginan Ruang. Dengan menghadirkan ventilasi pada ruangan, diharapkan bahwa udara segar dan bersuhu lebih rendah dari pada suhu dalam ruang dapat menghambat naiknya suhu udara dalam ruang. 2.3.4 Berbagai Penelitian tentang Batas - Batas Kenyamanan Termal Szokolay dalam ‘Manual of Tropical Housing and Building’ menyebutkan kenyamanan tergantung pada variabel iklim (matahari/radiasinya, suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin) dan beberapa faktor individual/subyektif seperti pakaian, aklimatisasi, usia dan jenis kelamin, tingkat kegemukan, tingkat kesehatan, jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, serta warna kulit. Teori Fanger, Standar Amerika (ANSI/ASHRAE 55-1992) dan Standar Internasional untuk kenyamanan termis (ISO 7730:1994) juga menyatakan hal yang sama bahwa kenyamanan termis yang dapat dirasakan manusia merupakan fungsi dari faktor iklim serta dua faktor individu yaitu jenis aktifitas yang berkaitan dengan tingkat metabolisme tubuh serta jenis pakaian yang digunakan. Menurut teori ini, kenyamanan suhu tidak secara nyata dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin, tingkat kegemukan, faktor usia, suku bangsa, tempat tinggal geografis, adaptasi, faktor kepadatan, faktor warna dan sebagainya. Menurut Humphreys dan Nicol kenyamanan suhu juga dipengaruhi oleh adaptasi dari masing-masing individu terhadap suhu luar di sekitarnya. Manusia yang biasa hidup pada
iklim panas atau tropis akan memiliki suhu nyaman yang lebih tinggi dibanding manusia yang biasa hidup pada suhu udara rendah seperti halnya bangsa Eropa. Tabel 2.1Perbandingan Faktor Penentu Suhu Nyaman Fanger, Standar Amerika Szokolay
(ANSI/ASHRAE 55-1992), Standar
Humphreys dan Nicol
Internasional (ISO 7730:1994 ‰ Iklim:
‰ Iklim:
‰ Iklim:
• matahari (besarnya radiasi),
• matahari (besarnya radiasi),
• matahari (besarnya radiasi),
• suhu udara,
• suhu udara,
• suhu udara,
• angin (kecepatan udara),
• angin (kecepatan udara),
• angin (kecepatan udara),
• kelembaban udara luar
• kelembaban udara luar
• kelembaban udara luar
‰ Faktor Individu:
‰ Faktor Individu:
‰ Faktor Individu:
• Pakaian
• Aktifitas
• Aktifitas
• Aklimatisasi
• Pakaian
• Pakaian
• Usia dan jenis kelamin
• adaptasi individu
• Tingkat kegemukan • Tingkat kesehatan • Jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi • Warna kulit (suku bangsa)
2.3.5 Pergerakan Angin dalam Bangunan Penghawaan alami atau ventilasi alami (sulthoni, 2011) adalah proses pertukaran udara di dalam bangunan melalui bantuan elemen-elemen bangunan yang terbuka. Sirkulasi udara yang baik di dalam bangunan dapat memberikan kenyamanan. Aliran udara dapat mempercepat proses penguapan di permukaan kulit sehingga dapat memnerikan kesejukan bagi penghuni bangunan. Jika fungsinya untuk mengalirkan udara panas dari dalam ruangan keluar, maka lubang angin diletakkan di bagian tertinggi. Misalnya lubang berkipas angin di plafon kamar mandi (exhaust fan). Lubang angin demikian, efektif untuk mengalirkan udara panas akibat penggunaan air panas untuk mandi. Selain bukaan pada dinding, perlu diperhatikan adanya angin yang mengalir di bawah atap. Dengan demikian suhu udara di dalam ruangan menjadi lebih rendah.
“jendela nako dapat menghasilkan sirkulasi udara yang optimal. Bilah-bilah pada jendela dapat diubah posisinya sehingga aliran udara dapat diarahkan sesuai keinginan. Pada saat kecepatan angin tinggi jendela nako dapat menjadi penahan angin sehingga kecepatan angin yang masuk dapat berkurang”
Selain bukaan pada dinding, penghawaan alami dapat ditambah dengan cara membuat daun pintu yang tidak massif. Daun pintu dibuat dengan desain semi terbuka, bagian
atasnya berbentuk jeruji yang ditutup dengan kawat nyamuk. Dengan demikian, dalam keadaan pintu tertutup dan terkunci pun aliran angin tetap masuk ke dalam ruangan. Apabila diperlukan lebih banyak privasi, cukup ditambahkan gorden, dan aliran udara tetap masuk.
Bukaan pada sopi-sopi mengalirkan udara dari ruang atap keluar.
Ventilasi pada plafon di dapur mengalirkan udara panas ruangan ke ruang di bawah atap
Lubang angin untuk mengalirkan udara panas dari ruangan keluar.
Cara untuk memaksimalkan potensi angin untuk penghawaan, perlu adanya aliran udara di dalam bangunan. Untuk itu diperlukan bukaan yang lebih dari satu buah dalam satu ruangan, dengan posisi yang berhadapan, agar tercipta ventilasi silang (cross ventilation). Sistem cross ventilation atauventilasi silang adalah system penghawaan ruangan yang ideal dengan cara memasukkan udara ke dalam ruangan melalui bukaan penangkap angin dan mengalirkannya ke luar ruangan melalui bukaan yang lain. System ini bertujuan agar selalu terjadi pertukaran udara di dalam ruangan sehingga tetap nyaman bagi penghuninya. Udara di dalam ruangan harus selalu diganti oleh udara segar karena udara di dlaam ruangan ini banyak mengandung CO2 (karbondioksida)hasil aktivitas penghuni ruangan seperti bernapas, merokok, menyalakan lilin,memasak, dan sebagainya. Sementara itu, udara bersih yang dimasukkan ke dalam ruangan adalah udara yang banyak mengandung O2 (oksigen). Dalam system cross ventilation ini dikenal dua macam bukaan, sebagai berikut :
Inlet, merupakan bukaan yang menghadap ke arah datangnya angin sehingga berfungsi untuk memasukkan udara ke dalam ruangan.
Outlet, merupakan bukaan lain di dalam ruangan yang berfungsi untuk mengeluarkan udara.
Bukaan inlet dam outlet Sumber : (sulthoni, 2011)
Bukaan yang dimaksud di atas dapat berupa lubang angin, kisi-kisi, jendela yang bias dibuka, pintu yang senantiasa terbuka atau pintu tertutup yang bias mengalirkan udara (misalnya pintu kasa atau pintu berjalusi.vAgar ruangan dapat teraliri udara secara optimal maka perletakan bukaan harus disesuaikan dengan arah datangnya angin. Perletakan/posisi bukaan inlet dan outlet dalam system cross ventilation dapat dibedakan menjadi dua jenis, sebagai berikut
Posisi diagonal (cross). Bukaan inlet dan outlet diletakkan dengan posisi ini apabila angin dating secara tegak lurus (perpendicular) ke arah bukaan inlet.
posisi diagonal cross Sumber : (sulthoni, 2011)
Posisi berhadapan langsung. Bukaan inlet dan outlet diletakkan pada posisi ini mana kala angin dating bersudut/tidak tegak lurus (obligue) ke arah bukaan inlet.
posisi bukaan tegak lurus Sumber (sulthoni, 2011)
Ada kalanya perletakan bukaan ini tidak dapat disusun seperti teknik di atas. Hal ini mungkin terjadi karena bidang yang mengarah ke luar tidak saling berhadapan. Disamping itu, sebab lain yang mungkin timbul adalah faktor keterbatasan lahan sehingga ruang tersebut hanya memiliki satu bidang saja yang menghadap kea rah luar bangunan. Pada kondisikondisi semacam ini, cross ventilation tetap dapat dilakukan yaitu dengan menambahkan sirip-sirip vertikal di tepi bukaan sebagai pengarah udara untuk masuk atau keluar ruangan. Sirip-sirip vertikal ini bisa terbuat dari batu bata, kayu, maupun beton
Alternatif posisi bukaan lainnya Sumber (sulthoni, 2011)
Pada inlet dan outlet secara vertikal juga harus diperhatikan. Posisi inlet yang lebih rendah daripada outlet akan mengalirkan udar pada ketinggian tubuh manusia sehingga tubuh manusia bias merasakan kesejukan dari udara tersebut. Sebaliknya,posisi inlet yang lebih tinggi daripada outlet justru akan membuat aliran udara hanya menjangkau sebagian kecil tubuh manusia bagian atas sehingga kesegaran tidak dapat dirasakan penghuni rumah tersebut. Detail pemasangan bukaan juga harus diperhatikan agar diperoleh cross ventilation yang sempurna. Posisi bukaan penangkap udara (inlet) sebaiknya berada pada ketinggian aktivitas manusia, yaitu sekitar 0,5-0,8 m, sementara bukaan outlet sebaiknya dibuat lebih tingggi karena udara yang akan dikeluarkan dari ruangan itu adalah udara yang panas dan udara yang panas selalu berada di bagian atas ruangan.
Alternatif lain perletakan outlet adalah pada atap apabila menggunakan atap bertipe jack roof. Lubang antara atap induk dengan atap ‘topi’ pada jack roof dapat diberi kisi-kisi sebagai bukaan keluarnya udara (outlet). Posisi outlet pada atap inilebih efektif untuk mengeluarkan udara panas yang banyak berkumpul di bagian atas ruangan tersebut.
penerapan bukaan pada atap Sumber (sulthoni, 2011) Dimensi atau kecepatan aliran udara dari bukaan inlet dan outlet juga harus diperhatikan. Jika bukaan inlet memiliki dimensi atau kecepatan aliran udara lebih kecil daripada bukaan outlet maka kecepatan aliran udara di dalam ruangan akan meningkat 30% dari kecepatan udara di luar ruang. Namun, jika bukaan inlet memiliki dimensi atau kecepatan aliran udara lebih besar daripada bukaan outlet maka kecepatan aliran udara di dalam ruang akan turun 30% dari kecepatan di luar ruangan.
Perbandingan dimensi bukaan Sumber : (sulthoni, 2011) Dari kedua tipe dia atas, pemilihan dimensi bukaan inlet yang lebih kecil dari bukaan outlet atau memakai dimension yang sama besar namun dengan model yang berbeda (kemampuan alir udara berbeda) lebih direkomendasikan.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini penulis akan melakukan penelitian di Balai Adat Uyau I’ot yang terletak di Desa Tras Nawang. Balai adat ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai tempat pertemuan adat maupun desa. 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kuantitatif yaitu penelitian yang menekankan pada data - data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2007: 5). Tahap awal dalam penelitian ini yaitu pengumpulan data dari objek penelitian kemudian diolah dengan metode statistika serta menarik kesimpulan dan saran. 3.3 Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah jumlah keseluruhan yang merupakan hasil pengukuran dan perhitungan dari semua data dengan metode tertentu, Adapun populasi yang ada pada penelitian ini yaitu seluruh pengukuran pada titik yang telah ditentukan terhadap objek penelitian. 2. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang dapat mewakili karakteristik atau sifat keselurauhan populasi.
3.4 Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan langkah – langkah sebagai beriku: 1. Wawancara Teknik pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara langsung dengan pimpinan dan karyawan tentang objek objek observasi yang sedang diteliti wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak terstruktur, menurut Sugiyono (2008).
Teknik pengumpulan data dengan wawancara pada penelitian ini dapat
dilakukan kepada kepala desa dan masyarakat setempat yang paham terhadap objek tersebut. 2. Pengukuran Pengukuran adalah cara yang digunakan untuk mengetahui dimensi bangunan, tingkat kelembaban pada bangunan, temperatur, pencahayaan dan kecepatan aliran udara dalam bangunan. 3. Dokumentasi Dokumentasi dilakukan dengan mengambil gambar – gambar bangunan yang diperlukan terkait penelitian. 3.5 Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini akan dilakukan pengolah data dengan mencari suhu relatif pada masing – masing titik ukur serta melakukan perbandingan terhadap data yang lainnya