BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara berkembang yang berada dalam taraf menuju industrialisasi, tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat. Otomatis dalam hal ini akan terjadi peningkatan penggunaan alat-alat transportasi untuk memenuhi kebutuhannya, salah satunya kendaraan bermotor. Dengan peningkatan penggunaan kendaraan bermotor ini akan menambah “Kesemrawutan” arus lalu lintas terutama di daerah perkotaan. Arus lalu lintas yang tidak teratur dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan tersebut seringkali menyebabkan cidera tulang atau yang disebut fraktur. Fraktur merupakan suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Arif Mansjoer, 2000). Kondisi fraktur akan bertambah fatal bila tidak segera ditangani, diantaranya akan terjadinya infeksi, kerusakan bagian jaringan sekitar tulang.akibat tertusuknya soft tissue (pembuluh darah,syaraf, dll) oleh tulang serta bisa menyebabkan kelumpuhan. Keadaan ini dapat menimpa siapa saja dari yang muda hingga yang tua. Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah dengan mengimobilisasikan bagian fraktur ditambah pemberian obat-obatan tertentu, misalnya antibiotik dan analgetik sehingga dapat mencegah komplikasi sedini mungkin.
1
Secara otomatis dalam penanganan fraktur ini tidak bisa berdiri sendiri-sendiri tetapi harus melibatkan tim, diantaranya perawat. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana penerapan tindakan pengobatan selanjutnya yang berkaitan dengan peran perawat dalam memberikan pelayanan yang prima dan paripurna.
1.2. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk memperoleh informasi atau gambaran umum tentang pelaksanaan penanganan fraktur. 2. Tujuan Khusus a. Memahami pengertian, jenis-jenis, etiologi, manifestasi klinis, dan penanganan. b. Memperoleh gambaran yang nyata dalam menetapkan pengkajian, analisa dan diagnosa medis yang terjadi pada klien dengan gangguan kesehatan/sistem musculoskeletal. c. Memperoleh gambaran tentang kesenjangan yang terjadi antara teori dan praktek serta perbandingan antara kasus yang sama. d. Dapat mendokumentasikan pelayanan yang telah dibuat.
1.3. Metode Penulisan Metode penulisan yang dibuat oleh penulis adalah metode objektif praktis, dimana setiap permasalahan yang timbul dikembalikan kepada buku sumber yang dijadikan referensi oleh penulis
2
1.4. Sistematika Penulisan BAB I
: PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang 1.2. Tujuan 1.3. Metode penulisan 1.4. Sistematika penulisan BAB II
: TINJAUAN TEORITIS FRAKTUR
2.1. Pengertian 2.2. Ciri-ciri 2.3. Jenis-jenis 2.4. Etiologi 2.5. Manifestasi klinis 2.6. Penatalaksanaan 2.7. Dampak masalah terhadap sistem tubuh 2.8. Pathway 2.9. Pengkajian dan Perencanaan Keperawatan
BAB III
: PENUTUP
3.1. Kesimpulan 3.2. Saran DAFTAR PUSTAKA
3
BAB II TINJAUAN TEORI BONE FRACTURES ( PATAH TULANG )
2.1.Pengertian Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smelter & Bare, 2002). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi (Doenges, 2000). Fraktur bisa bersifat patahan sebagian atau patahan utuh pada tulang yang disebabkan oleh pukulan langsung atau pelintiran. Fraktur bisa mengkhawatirkan jika terjadi kerusakan pada lempeng pertumbuhan, yaitu area tulang tempat pertumbuhan terjadi karena kerusakan pada area ini bisa menyebabkan pertumbuhan yang tidak teratur atau pemendekan pada tulang. Fraktur juga melibatkan jaringan otot, saraf, dan pembuluh darah di sekitarnya. Pada tulang anak-anak lebih mudah pulih setelah suatu fraktur terjadi dibandingkan tulang orang dewasa, karena tulang pada anak memiliki lebih banyak pembuluh darah serta lapisan pelindung yang lebih tebal dan kuat yang mengandung lebih banyak sel-sel pembentuk tulang dari pada tulang dewasa.
4
2.2.Ciri-ciri patah tulang antara lain: a.
Situasi sekitar menimbulkan dugaan bahwa telah terjadi cedera (tulang mencuat keluar kulit)
b.
Terasa nyeri yang menusuk pada area cedera
c.
Terjadi pembengkakan, ini disebabkan oleh darah dan cairan tubuh lain yang mengumpul di sekitar area cidera
d.
Kelainan bentuk, kadang-kadang kepatahan tulang menyebabkan bentuk yang tidak biasa atau pembengkokan dari bagian tubuh.
e.
Hilangnya
kemampuan
gerak,
penderita
mungkin
bisa
sedikit
mengerakkan bagian yang cedera, tetapi tidak bisa mengerakkan secara penuh. 2.3.Jenis-jenis Fraktur Berdasarkan sifat fraktur a.
Fraktur tertutup (closed) Apabila fagmen tulang yang patah tidak tampak dari luar. Fraktur ini tidak menyebabkan robeknya kulit.
b.
Fraktur terbuka (open/compound) Apabila fragmen tulang yang patah tampak dari luar. Patah tulang terbuka lebih mudah terinfeksi.
5
Fraktur terbuka digradasi menjadi : Grade I : Luka tembus dengan diameter 1 cm atau kurang dan keadaan luka relative bersih, tidak disertai dengan adanya kontisio otot atau jaringan lunak disekitarnya. Penyebabnya energy ringan. Grade II : terdapat luka laserasi lebih dari 1 cm, tanpa disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. Grade III : patah tulang yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak yang luas,termasuk otot,kulit dan system neurovaskuler.
Berdasarkan komplit / tidak komplit fraktur a.
Fraktur komplit Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran bergeser dari posisi normal
b.
Fraktur inkomplit
6
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang Misal : Fraktur Greenstick yaitu fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi yang lain membengkok
Berdasarkan bentuk garis patah & hubungan dengan mekanisme trauma a.
Fraktur transversal Arah melintang dan merupakan akibat trauma angulasi / langsung
b.
Fraktur oblik Arah garis patah membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma langsung
7
c.
Frakturspiral Arah garis patah spiral dan akibat dari trauma rotasi
d.
Fraktur kompresi Fraktur dimana permukaan tulang terdorong kearah permukaan tulang lain
8
Istilah lain : e.
Fraktur komunitif Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
f.
Fraktur depresi Fraktur dengan bentuk fragmen terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
g.
Fraktur patologik Suatu fraktur yang disebabkan oleh beberapa penyebab. Sebelum terjadinya fraktur sudah terdapat penyakit yang menyertainya sehingga tampa benturan yang cukup keras pun tulang bisa patah dengan sendirinya. Penyakit ini diantaranya neoplasma dan osteoporosi.
h.
Fraktur avulsi
9
Tertariknya
fragmen
tulang
oleh
ligamen
atau
tendon
pada
perlekatannya.
i.
Fraktur Segmental
Fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa bagian
j.
Fraktur Traumatik Fraktur yang disebabkan oleh suatu benturan atau kekerasan yang timbul secara mendadak, dimana trauma itu dapat bersifat direk yaitu tempat fraktur sesuai dengan tempat trauma berlangsung sedangkan indirek yaitu trauma yang terjadi jauh letaknya dari tempat fraktur.
Berdasarkan kedudukan fragmen 1) Tidak ada dislokasi 2) Adanya dislokasi, yaitu fraktur dengan komplikasi keluarnya atau terlepasnya tulang dari sendiatau dengan kata lainberpindahnya ujung tulang patah disebabkan oleh berbagai kekuatan. seperti : cedera otot, tonus atau kontraksi otot dan tarikan. Dibedakan menjadi:
10
a.
Disklokasi at axim yaitu membentuk sudut
b.
Dislokasi at lotus yaitu fragmen tulang menjauh
c.
Dislokasi at longitudinal yaitu berjauhan memanjang
d.
Dislokasi at lotuscum controltinicum yaitu fragmen tulang berjauhan dan memendek
2.4.Etiologi fraktur / patah tulang
Fraktur akibat peristiwa trauma Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
11
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh (osteophorosis). Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh:
Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang
Usia penderita
Kelenturan tulang
Jenis tulang
2.5.Manifestasi Klinis 1. Nyeri Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya. 2. Bengkak/edama Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya. 3. Memar/ekimosis Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya. 4. Spame otot Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadu disekitar fraktur. 5. Penurunan sensasi
12
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema. 6. Gangguan fungsi Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot. paralysis dapat terjadi karena kerusakan syaraf. 7. Mobilitas abnormal Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang. 8. Krepitasi Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan. 9. Defirmitas Posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya. 10 Shock hipouolemik Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat. 11. Gambaran X-ray menentukan fraktur Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur.
2.6.Penatalaksanaan/penanganan patah tulang : Pengelolaan patah tulang secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran padaumumnya yaitu : 1.
Diagnosis tepat
13
2.
Pengobatan yang tepat dan memadai
3.
Bekerjasama dengan hukum alam
4.
Memilih pengobatan dengan memperhatikan setiap pasien secara individu
Untuk patah tulangnya sendiri prinsipnya adalah : 1.
Mengembalikan bentuk tulang seperti semula (reposisi).
2.
Mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi).
3.
Mobilisasi
berupa
latihan-latihan
seluruh
sistem
gerak
untuk
mengembalikanfungsi anggota badan seperti sebelum patah.
Ada 4 konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur (4 R Fraktur): 1.
Rekognisi (Pengenalan) Riwayat kecelakaan, parah tidaknya, jenis kekuatan yang berperanan dan deskriptif tentang kejadian tersebut oleh pasien itu sendiri, menentukan kemungkinan tulang yang patah yang dialami dan kebutuhan pemeriksaan spesifik untuk fraktur. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka perkiraan diagnosis fraktur pada tempat kejadian dapat dilakukan sehubungan dengan adanya rasa nyeri dan bengkak lokal, kelainan bentuk, dan ketidakstabilan.
2.
Reduksi
14
Adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya. Fraktur tertutup pada tulang panjang seringkali ditangani dengan reduksi tertutup. Sebelum dilakukan reposisi beri dahulu anestesi/narkotika intravena, sedativ atau anastesi blok syaraf lokal. Ini seringkali dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang pembalut gips. 3.
Retensi reduksi (mempertahankan reduksi)
Pemasangan gips
Traksi
Tindakan pembedahan Reposisi terbuka dilakukan melalui operasi/pembedahan. Metode
perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka (ORIF : Open Reduction Internal Fixation).
Keuntungan perawatan fraktur dengan operasi antara lain:
Ketelitian reposisi fragmen-fragmen fraktur
Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf di sekitarnya.
Stabilitas fiksasi yang cukup memadai dapat dicapai.
Perawatan di RS yang relatif singkat pada kasus tanpa komplikasi.
Potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang mendekati normal serta kekuatan otot selama perawatan fraktur.
Kerugian yang potensial juga dapat terjadi antara lain :
15
Setiap anastesi dan operasi mempunyai resiko komplikasi bahkan kematian akibat dari tindakan tersebut.
Penanganan
operatif
memperbesar
kemungkinan
infeksi
dibandingkan pemasangan gips atau traksi.
Penggunaan stabilisasi logam interna memungkinkan kegagalam alat itu sendiri.
Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak, dan struktur yang sebelumnya tak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi.
4.
Rehabilitasi Rencana program rehabilitasi yang paling rasional sudah harus dimulai sejak permulaan perawatan di rumah sakit dan oleh karena itu bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihanlatihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi. Jadi berdasarkan stadium-stadium penyembuhan terdiri dari :
Stadium penyatuan adalah absorbsi energi pada tempat fraktur.
Stadium inflamasi adalah hematoma, nekrosis tepi fraktur, pelepasan sitokin, jaringan granulasi dalam celah-celah berlangsung sekitar 2 minggu.
Stadium reparatif adalah kartilago dan tulang berdiferensiasi dari periost atau sel-sel parenkim, kartilago mengalami klasifikasi endokondral, dan tulang membranosa yang dibentuk oleh osteoblas pada perifer dini kalus, secara bertahap mengganti kartilago yang
16
berklasifikasi dengan tulang berlangsung selama satu sampai beberapa bulan.
Stadium remodelling adalah tulang yang berongga-rongga berubah menjadi lamellar melalui resorpsi dan pembentukan ganda. Tulang cenderung untuk mempunyai bentuk aslinya melalui remodelling dibawah pengaruh dari stress mekanik berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.
2.7.Dampak masalah terhadap sistem tubuh 1.
Perubahan Muskuloskeletal a.
Terhadap Otot Perubahan musculoskeletal dipengaruhi oleh aktivitas dan gravitasi. Kurangnya rangsang stress dan starin menyebabkan penurunan kekuatan otot dan masa otot serta atropi. Atropi terjadi sebagai akibat imobilisasi dimana hal tersebut akan mempengaruhi kurangnya impuls dari motor neuron dan tidak terjadi pelepasan acetil kollin, sehingga tidak terjadi potensial aksi dan kontraksi. Apabila kondisi ini terus terjadi kelelahan pada otot yang dikenal dalam kondisi atropi.
b.
Terhadap Tulang Dengan imobilitas, aktivitas pertumbuhan tulang (osteoblast) dan penghancuran tulang (osteoklast) akan terganggu karena terjadi peningkatan osteoklast lebih banyak dari osteoblast kondisi ini
17
mengakibatkan matriks tulang rusak dan kalsium keluar, sehingga dapat terjadi osteoporosis. c.
Terhadap Sendi Jaringan otot yang di ganti dengan jaringan penyambung akan menyebabkan persendian menjadi kaku, tidak dapat digerakkan secara maksimal dan terjadi cacat yang tidak dapat disembuhkan. Klasifikasi ektopik pada jaringan lunak sekitar persendian dapat mengakibatkan ankilosis yang menetap pada persendian itu.
2.
Perubahan Sistem Kardiovaskuler Perubahan sistem kardiovaskuler disebabkan oleh perubahan irama sirkadian, posisi tubuh, kekuatan kontraksi otot sari perubahan endokrin. Perubahan ini meliputi peningkatan beban kerja jantung, peningkatan denyut nadi, penurunan kardiak output, orthostatic hipotensi dan plebottrombosis a.
Peningkatan beban kerja jantung Klien imobilitas yang tebaring dengan posisi horizontal akan menongkatkan aliran balik vena. Darah yang terkumpul di ekstremitas bawah akan mengalir ke jantung lebih cepat, sehingga bebam kerja jantung juga meningkat, dimana jantung harus meningkatkan isi sekuncupnya.
b.
Peningkatan denyut nadi Telah kita ketahui bahwa pengaruh faktor metabolik, endokrin dan metabolisme pada keadaan yang menghasilkan adrenegik,
18
manifestasinya adalah peningkatan denyut nadi. Peningkatan denyut nadi lebih dari 80 x/menit sering ditemukan pada klien immobilitas. c.
Orthostatik Hipotensi Orthostatik Hipotensi adalah penurunan tekanan darah kurang lebih 15 mmHg, pada saat klien bangun dari posisi tidur. Klien dengan immobilitas berisiko tinggi untuk mengalami orthostatic yamg lama akan menyebabkan peningkatan proses pembekuan darah sehingga akan terbentuk thrombus. Terjadinya thrombosis disebabkan oleh terlepasnya
thrombus,
yang
akan
menyebabkan
Plebotrombosis biasanya terjadi pada daerah ekstremitas.
2.8.Pathway
19
emboli.
2.9. Pengkajian Dan Perencanaan Keperawatan
1.
Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:
Gejala-gejala fraktur tergantung pada lokasi, berat dan jumlah kerusakan pada struktur
lain. Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk.
(2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah: 1)
Aktivitas/istirahat: Gejala: Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri.
2)
Sirkulasi: Tanda: -
Peningkatan tekanan darah mungkin terjadi akibat respon terhadap nyeri/ansietas, sebaliknya dapat terjadi penurunan tekanan darah bila terjadi perdarahan.
-
Takikardia
-
Penurunan/tak ada denyut nadi pada bagian distal area cedera, pengisian kapiler lambat, pucat pada area fraktur.
-
3)
Hematoma area fraktur.
Neurosensori: Gejala:
20
-
Hilang gerakan/sensasi
-
Kesemutan (parestesia)
Tanda: -
Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi, spasme otot, kelemahan/kehilangan fungsi. -
Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
(mungkin segera akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri. -
Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau
trauma lain.
4)
Nyeri/Kenyamanan: Gejala: -
Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area fraktur, berkurang pada imobilisasi.
-
5)
Spasme/kram otot setelah imobilisasi.
Keamanan: Tanda: -
Laserasi kulit, perdarahan
-
Pembengkakan lokal (dapat meningkat bertahap atau tibatiba)
21
6)
2.
Penyuluhan/Pembelajaran: -
Imobilisasi
-
Bantuan aktivitas perawatan diri
-
Prosedur terapi medis dan keperawatan
Pengkajian Diagnostik:
Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada fraktur adalah: 1) X-ray: menentukan lokasi/luasnya fraktur 2) Scan tulang: memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak 3) Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler. 4) Hitung Darah Lengkap hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada perdarahan; peningkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan. 5) Kretinin trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal 6) Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau cedera hati.
22
J.
Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
a.
Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang
INTERVENSI KEPERAWATAN
1.
Pertahankan tirah baring dan imobilisasi sesuai indikasi.
RASIONAL
Meningkatkan stabilitas, meminimalkan gangguan akibat perubahan posisi.
2.
Bila terpasang gips/bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan
Mencegah gerakan yang tak perlu akibat perubahan posisi.
selimut untuk mempertahankan posisi yang netral.
3.
Evaluasi pembebat terhadap resolusi edema.
Penilaian kembali pembebat perlu dilakukan seiring dengan berkurangnya edema
4.
Bila terpasang traksi, pertahankan
Traksi memungkinkan tarikan pada
posisi traksi (Buck, Dunlop,
aksis panjang fraktur tulang dan
Pearson, Russel)
mengatasi tegangan otot untuk mempercepat reunifikasi fragmen tulang
5.
Yakinkan semua klem, katrol dan tali berfungsi baik.
Menghindari iterupsi penyambungan fraktur.
23
6.
Pertahankan integritas fiksasi eksternal.
Keketatan kurang atau berlebihan dari traksi eksternal (Hoffman) mengubah tegangan traksi dan mengakibatkan kesalahan posisi.
7.
Kolaborasi pelaksanaan kontrol
Menilai proses penyembuhan tulang.
foto.
b.
Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips,
RASIONAL
Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.
bebat dan atau traksi
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.
Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.
24
4. Lakukan tindakan untuk
Meningkatkan sirkulasi umum,
meningkatkan kenyamanan (masase, menurunakan area tekanan lokal dan perubahan posisi)
5. Ajarkan penggunaan teknik
kelelahan otot.
Mengalihkan perhatian terhadap
manajemen nyeri (latihan napas
nyeri, meningkatkan kontrol terhadap
dalam, imajinasi visual, aktivitas
nyeri yang mungkin berlangsung
dipersional)
lama.
6. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama)
Menurunkan edema dan mengurangi
sesuai keperluan.
rasa nyeri.
7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.
8. Evaluasi keluhan nyeri (skala,
Menilai erkembangan masalah klien.
petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)
c.
Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
25
INTERVENSI KEPERAWATAN
1.
Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan
RASIONAL
Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.
jari/sendi distal cedera.
2.
3.
Hindarkan restriksi sirkulasi akibat
Mencegah stasis vena dan sebagai
tekanan bebat/spalk yang terlalu
petunjuk perlunya penyesuaian
ketat.
keketatan bebat/spalk.
Pertahankan letak tinggi
Meningkatkan drainase vena dan
ekstremitas yang cedera kecuali ada
menurunkan edema kecuali pada
kontraindikasi adanya sindroma
adanya keadaan hambatan aliran
kompartemen.
arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.
4.
Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.
5.
Pantau kualitas nadi perifer, aliran
Mengevaluasi perkembangan
kapiler, warna kulit dan kehangatan
masalah klien dan perlunya
kulit distal cedera, bandingkan
intervensi sesuai keadaan klien.
dengan sisi yang normal.
26
d.
Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
INTERVENSI KEPERAWATAN
1.
Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.
2.
Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan
RASIONAL
Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.
Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.
klien.
3.
Kolaborasi pemberian obat
Mencegah terjadinya pembekuan
antikoagulan (warvarin, heparin)
darah pada keadaan tromboemboli.
dan kortikosteroid sesuai indikasi.
Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak.
4.
Analisa pemeriksaan gas darah,
Penurunan PaO2 dan peningkatan
Hb, kalsium, LED, lemak dan
PCO2 menunjukkan gangguan
trombosit
pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan
27
penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.
5.
Evaluasi frekuensi pernapasan dan
Adanya takipnea, dispnea dan
upaya bernapas, perhatikan adanya
perubahan mental merupakan tanda
stridor, penggunaan otot aksesori
dini insufisiensi pernapasan, mungkin
pernapasan, retraksi sela iga dan
menunjukkan terjadinya emboli paru
sianosis sentral.
tahap awal.
e.
Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
1.
2.
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
Pertahankan pelaksanaan aktivitas
Memfokuskan perhatian,
rekreasi terapeutik (radio, koran,
meningkatakan rasa kontrol
kunjungan teman/keluarga) sesuai
diri/harga diri, membantu
keadaan klien.
menurunkan isolasi sosial.
Bantu latihan rentang gerak pasif
Meningkatkan sirkulasi darah
aktif pada ekstremitas yang sakit
muskuloskeletal, mempertahankan
maupun yang sehat sesuai keadaan
tonus otot, mempertahakan gerak
klien.
sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium
28
karena imobilisasi.
3.
Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai
Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
indikasi.
4.
5.
Bantu dan dorong perawatan diri
Meningkatkan kemandirian klien
(kebersihan/eliminasi) sesuai
dalam perawatan diri sesuai kondisi
keadaan klien.
keterbatasan klien.
Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)
6.
Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.
Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.
7.
Berikan diet TKTP.
Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
8.
Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual.
29
9.
Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.
f.
Menilai perkembangan masalah klien.
Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
INTERVENSI KEPERAWATAN
1.
Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih,
RASIONAL
Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).
2.
Masase kulit terutama daerah
Meningkatkan sirkulasi perifer dan
penonjolan tulang dan area distal
meningkatkan kelemasan kulit dan
bebat/gips.
otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.
3.
Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal.
4.
Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, Menilai perkembangan masalah
30
insersi pen/traksi.
g.
klien.
Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
INTERVENSI KEPERAWATAN
1.
Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol
2.
Ajarkan klien untuk
RASIONAL
Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.
Meminimalkan kontaminasi.
mempertahankan sterilitas insersi pen.
3.
Kolaborasi pemberian antibiotika
Antibiotika spektrum luas atau
dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.
4.
Analisa hasil pemeriksaan
Leukositosis biasanya terjadi pada
laboratorium (Hitung darah lengkap, proses infeksi, anemia dan LED, Kultur dan sensitivitas
peningkatan LED dapat terjadi pada
luka/serum/tulang)
osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme
31
penyebab infeksi. Observasi tanda-tanda vital dan
Mengevaluasi perkembangan
tanda-tanda peradangan lokal pada
masalah klien.
luka. h.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d salah interpretasi
terhadap
informasi,
keterbatasan
kognitif,
kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada. INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
Kaji kesiapan klien mengikuti
Efektivitas proses pemeblajaran
program pembelajaran.
dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.
Diskusikan metode mobilitas dan
Meningkatkan partisipasi dan
ambulasi sesuai program terapi fisik. kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan program terapi fisik. Ajarkan tanda/gejala klinis yang
Meningkatkan kewaspadaan klien
memerlukan evaluasi medik (nyeri
untuk mengenali tanda/gejala dini
berat, demam, perubahan sensasi
yang memerulukan intervensi lebih
kulit distal cedera)
lanjut.
32
Persiapkan klien untuk mengikuti
Upaya pembedahan mungkin
terapi pembedahan bila diperlukan.
diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.
33